Anda di halaman 1dari 31

DRAFT KAJIAN TOL LAUT DI INDONESIA

1 Latar Belakang
Indonesia Poros Maritim Dunia merupakan salah satu visi yang disampaikan oleh
Presiden Indonesia saat ini yaitu Joko Widodo. Dengan dicanangkannya visi tersebut
seakan-akan meberi angin segar untuk kebangkitan kemaritiman di Indonesia. Hal yang
sangat menarik memang jika berbicara tentang kemaritiman di Indonesia. Hal tersebut
dikarenakan history atau sejarah pada zaman dahulu, dimana dahulu seitkali tepatnya
ketika zaman kerajaan, dimana 2 kerajaan besar di Nusantara yaitu Sriwijaya dan
Majapahit berhasil menjadi kerajaan di Nusantara yang mampu menguasai kemaritiman
dunia. Hal tersebut pun terus berlanjut ke kerajaan-kerajaan lain, dimana dahulu banyak
sekali kerajaan-kerajaan di Nusantara yang mampu menguasai perdagangan dunia,
melalui kemaritiman. Namun, sejarah tersebut secara perlahan terlupakan, dimana pola
pikir Indonesia Negara Maritim, secara cepat berubah menjadi Indonesia Negara Agraris.
Dan sejak saat itu pun kemaritiman di Indonesia pun seakan dilupakan, dan segala
macam pembangunan semua terfokus ke daratan. Namun, ketika Presiden Joko Widodo
mencoba mencanangkan kembali Indonesia Poros Maritim Dunia, dunia kemaritiman
Indonesia pun seakan-akan kembali dari tidurnya. Sekarang pembangunan di sektor
maritim menjadi tidak dilupakan lagi.
Tol laut lah salah satu program andalan dari Indonesia Poros Maritim Dunia
tersebut. Dimana tol laut ini memiliki konsep pendistribusian logistik secara merata ke
seluruh negeri tanpa henti melalui jalur laut. Latar belakang dari tol laut ini adalah
adanya disparitas harga kebutuhan di Indonesia. Dimana harga kebutuhan untuk wilayah
Indonesia Timur jauh lebih tinggi dibanding harga kebutuhan di wilayah Indonesia Barat.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka diusung lah tol laut tersebut dengan tujuan
semua pembangunan merata ke seluruh negeri. Dan jika kita menghitung hari kira-kira
kurang lebih sudah hampir 2 tahun Presiden Joko Widodo memimpin negeri, dan hampir
2 tahun pula tol laut ini dijalankan. Apakah efek dari tol laut yang dicanangkan sudah
terlihat? Apakah tujuan dari adanya tol laut itu sudah mulai tercapai? Dan sudh sejauh
mana progres dari tol laut itu sendiri. Berkaca dari hal tersebut maka kami pun mencoba
melakukan kajian perihal tol laut tersebut. Dimana kajian ini terfokus pada sudah sejauh
mana progress dari tol laut sejak dicanangkan 2 tahun lalu.
2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas adapun rumusan masalah yang dapat dirumuskan
adalah:
1. Apa Pengertian Tol Laut
2. Progres Tol Laut selama 2 tahun kepengurusan Presiden Jokowi?
3. Bagaimana Kondisi dan perkembangan industri perkapalan saat ini sebagai salah
penunjang tol laut?
4. Bagaimana Kesiapan Industri perkapalan di Indonesia untuk mensukseskan program
tol laut?

3 Pembahasan
3.1 Pengertian Tol Laut
3.1.1 Pengertian Secara Umum
Tol laut adalah membangun transportasi laut dengan kapal atau
sistem logistik kelautan, yang melayani tanpa henti dari Sabang hingga
Merauke. Tujuannya menggerakkan roda perekonomian secara efisien dan
merata.

3.1.2 Pengertian Menurut Presiden Joko Widodo


Pengertian Tol Laut yang ditekankan oleh Presiden Joko Widodo
merupakan suatu konsep memperkuat jalur pelayaran yang dititik beratkan
pada Indonesia bagian Timur. Konsep tersebut selain untuk
mengkoneksikan jalur pelayaran dari barat ke timur Indonesia juga akan
mempermudah akses niaga dari negara-negara Pasifik bagian selatan ke
negara Asia bagian Timur.

3.2 Konsep Tol Laut


3.2.1 Konsep Wilayah Depan dan Wilayah Dalam
Terbukanya akses regional melalui implementasi konsep tol laut
dapat memberikan peluang industri kargo/logistik nasional untuk berperan
dalam distribusi internasional, dimana saat ini 40% melalui wilayah
Indonesia. Untuk menjadi pemain di negeri sendiri serta mendukung asas
cabotage serta beyond cabotage, maka saat ini Pemerintah telah
menetapkan dua pelabuhan yang berada di wilayah depan sebagai hub-
internasional, yaitu pelabuhan Kuala Tanjung dan pelabuhan Bitung.
Konsep Wilayah Depan dalam Logistik Nasional

Jaringan Sistem Logistik Nasional


Dengan posisi pelabuhan hub internasional di wilayah depan maka
kapal yang melakukan ekspor/impor dengan Indonesia akan berlabuh di
wilayah depan. Untuk melanjutkan distribusi logistik ke wilayah dalam akan
menggunakan kapal berbendera Indonesia/lokal. Konsep tersebut tidak
hanya akan meminimalisir pergerakan kapal dagang internasional (saat ini
masih didominasi kapal berbendera asing) di wilayah dalam Indonesia,
namun juga meminimalisir penetrasi produk asing hingga wilayah dalam
Indonesia.

3.2.2 Konsep Pelabuhan Hub dan Pelabuhan Feeder


Distribusi logistik di wilayah depan (pelabuhan hub internasional)
akan dihubungkan ke wilayah dalam melalui pelabuhan-pelabuhan hub
nasional (pelabuhan pengumpul) yang kemudian diteruskan ke pelabuhan
feeder (pelabuhan pengumpan) dan diteruskan ke sub-feeder dan atau
pelabuhan rakyat. Sesuai dengan konsep wilayah depan dan wilayah dalam
tersebut maka armada kapal yang melayani pergerakan kargo/logistik
internasional akan berbeda dengan armada kapal yang melayani pergerakan
kargo domestik.
Mendukung hal tersebut, kemudian juga dikembangkan rute armada
kapal/pelayaran yang menghubungkan kedua pelabuhan hub internasional
serta melalui pelabuhan hub nasional dari wilayah timur hingga wilayah
barat Indonesia. Kemudian kargo/logistik dari pelabuhan hub nasional akan
didistribusikan ke pelabuhan feeder menggunakan kapal yang berbeda pula.
Konsep konektivitas laut diatas kemudian dilayani oleh armada kapal secara
rutin dan terjadwal dari barat sampai timur Indonesia kemudian disebut
sebagai konsep “Tol Laut”.
3.2.3 Trayek Tol Laut

Sejak diresmikan awal November 2015 sebagai operator Tol Laut,


Pelni sudah membuka enam trayek untuk menyalurkan bahan-bahan
makanan pokok.

 Trayek pertama, Tanjung Perak – Tual – Fakfak – Kaimana –


Timika – Kaimana – Fak-Fak – Tual – Tanjung Perak.
 Trayek Kedua, Tanjung Perak – Saumlaki– Dobo – Merauke– Dobo –
Saumlaki – Tanjung Perak.

 Trayek Ketiga, Tanjung Perak – Reo– Maumere – Lewoleba – Rote–


Sabu– Waingapu dan kembali ke – Sabu – Rote – Lewoleba –
Maumere – Reo – Tajung Perak.








 Trayek Keempat, Tanjung Priok – Biak– Serui – Nabire – Wasior–
Manokwari kembali ke – Wasior – Nabire – Serui – Biak – Tanjung
Priok.

 Trayek Kelima, Tanjung Priok – Ternate – Tobelo – Babang kembali


melalui – Tobelo – Ternate – Tanjung Priok, dan











 Trayek keenam, Tanjung Priok – Kijang– Natuna – Kijang – Tanjung
Priok.

3.2.4 Pelabuhan Strategis Tol Laut


Berdasarkan kajian diatas serta kajian-kajian sebelumnya,
kemudian pemerintah (Bappenas serta Kementerian Perhubungan) bersama
Pelindo menetapkan 24 pelabuhan strategis untuk merealisasikan konsep
Tol Laut yang terdiri dari 5 pelabuhan hub (2 hub internasional dan 3 hub
nasional) serta 19 pelabuhan feeder. Pelabuhan Sorong direncanakan
sebagai hub masa depan bersama pengembangan potensi wilayah
hinterlandnya untuk meningkatkan potensi muatannya.
Disamping kajian-kajian terdahulu, pertimbangan lain yang turut
diperhitungkan dalam penentuan pelabuhan strategis tersebut adalah sebaran
wilayah, kondisi dan kapasitas pelabuhan eksisting, potensi pengembangan
maksimum pelabuhan dan hinterlandnya, arus barang dan liners yang telah
melayani, serta kemampuan pemerintah dan BUMN dalam
merealisasikannya.
Untuk merealisasikan rute/jaringan pelayaran tersebut, diperlukan
kebijakan strategis yaitu:
 Penataan jaringan trayek angkutan laut (revisi SK Trayek).
 Perluasan jaringan trayek, peningkatan frekuensi layanan, serta
peningkatan keandalan kapal untuk angkutan laut dan keperintisan.
 Optimalisasi penyelenggaraan PSO angkutan laut penumpang
maupun barang, mengingat jumlah muatan barang dari wilayah
Indonesia Timur yang masih rendah.

24 Pelabuhan Strategis Pendukung Tol Laut

3.2.5 Pembangunan Galangan Kapal/Industri Perkapalan


Armada kapal Indonesia saat ini didominasi oleh kapal kecil
berumur diatas 25 tahun. Keadaan tersebut disebabkan pelaku industri jasa
pelayaran cenderung membeli kapal bekas guna menekan biaya investasi
dan depresiasi. Oleh sebab itu, kebijakan strategis pengutamaan
pembangunan kapal di dalam negeri perlu direalisasikan untuk mengambil
peluang dari kebutuhan peremajaan dan penambahan berbagai jenis/ukuran
kapal. Untuk merealisasikan hal terebut, maka diperlukan:
 Pembangunan galangan kapal baru yang berteknologi canggih dan
effisien di wilayah yang tersebar.
 Penyusunan payung hukum agar dapat dikembangkan Galangan
Kapal milik Pemerintah.
 Insentif dan perhatian khusus dari pemerintah (Kementerian
Perindustrian) untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas industri
galangan kapal nasional.

3.3 Progress dan Kondisi Kekinian Industri Perkapalan Sebagai Salah Satu Pendukung
Tol Laut

Sebaran Galangan Kapal Nasional


Memperhatikan potensi muatan yang tumbuh seiring dengan
pemerataan pengembangan wilayah yang didukung oleh penguatan
konektivitas, maka potensi industri berbagai jenis dan ukuran kapal dan jasa
perawatan kapal (galangan kapal) sangat besar dengan proyeksi mencapai
1.000 unit per-tahun. Pada tahun 2015 kemampuan galangan di Indonesia
saat itu baru mencapai 200-300 unit per-tahun dengan jumlah docking kapal
sekitar 250 unit yang terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia.
Dan dimana armada kapal Indonesia saat itu didominasi oleh kapal
kecil berumur diatas 25 tahun. Hal tersebut menggambarkan suatu hal yang
bertolak belakang antara kenyataan dengan apa yang dikonsepkan perihal tol
laut. Dimana dalam konsep tol laut yang diusung adalah produksi kapal
dengan ukuran besar, dan target produksi kapal adalah 1000 unit per-tahun.
Namun dengan adanya proyek tol laut ini seakan memberikan angin
segar untuk industri perkapalan khususnya bagi galangan kapal itu sendiri.
Bagi indrustri kapal di pastikan akan mendapatkan pesanan lebih besar lagi
dengan tol laut. Mengingat kapal merupakan sarana pokok dalam program
ini. Melihat Inpres Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri
Pelayaran Nasional dimana menggunakan asas kabotase diterapkan secara
konsisten. Asas kabotase merupakan kegiatan angkutan laut dalam negeri
menggunakan bendera negara tersebut dan awak kapal merupakan
berkewarganegaraan setempat, diperkuat dengan Undang-Undang No 17
tahun 2008 tentang pelayaran yang mengharuskan angkutan laut dalam
negeri menggunakan kapal bendera Indonesia yang dimiliki oleh perusahaan
Indonesia dan oleh awak kapan berkebangsaan Indonesia.
Penerapan asas kabotase berdampak pada kapal laut nasional telah
tumbuh pada Maret 2005 sekitar 6.041 tumbuh 100% menjadi sekitar
12.000 unit pada Maret 2013, 70% kapal laut berasal dari impor kapal bekas
dan lebih separuh rlatif berusia tua (> 20 tahun). As Dampak signifikan
pengibaran benderan Indonesia sangat terlihat, tetapi mayoritas kapal bersal
dari kapal bekas asing. Fenomena ini terjadi ketika tol laut belum terlaksana
bahkan belum terucap dari mulut Presiden RI Joko Widodo.
Kenaikan lebih signifikan akan lebih terjadi ketika tol laut telah
dilaksanan dengan efektif, maka banyak perusahaan lebih meningkatkan
armada lautnya demi kualitas perusahaan. Melihat telah diterbitkannya
Inpres No 2 tahun 2009 maka semua belanja pemerintah wajb menggunakan
produk dalam negeri. Prosedur pemberlanjaan ini juga diatur dalam Keppres
No. 80 tahun 2003 dan Perpres No. 54 tahun 2010. Regulasi-regulasi ini
menjadi landasan yang positif bagi industri kapal dalam negeri untuk
memperluas perusahaan perkapalan domestik dan memperkuat industri
perkapalan baik pengembangan kapal baru ataupun perbaikan kapal, ketika
tol laut sudah berjalan efektif yang mana kapal merupakan sarana pokok
pada program tol laut ini.
Peningkatan produksi kapal domestik akan semakin meningkat,
karena banyaknya kebutuhan yang mengharuskan perusahaan kapal
menambah armadanya.
Kebijakan baru lainnya yang membuat industri kapal akan
meningkat secara signifikan dari dampak tol laut adalah pelarangan impor
kapal bekas. Kementrian Kelautan dan Perikanan memastika Peraturan
Meteri untuk larangan impor kapal bekas untuk menyetop impor kapal
bekas, upaya kapal dalam negeri juga diupayakan melalui program Beyond
Cabotage. Perumusan kebijakan ini oleh Kementrian Perhubungan dan
Kementrian Perdagangan bersama-sama Dewan Pimpinan Pusat INSA
untuk meningkatkan muatan pelayaran nasional dalam perdagangan
internasional.
Pemerintah benar-benar ingin memanfaat program tol laut Jokowi,
dibuktikannya dengan menciptakan Kawasan Industri Maritim. Pemerintah
terus meningkatkan sejumlah fasilitas dan infrastruktur demi menarik
investor. Sejalan dengan Kebijakan Industri Nasional, peluang
pengembangan industry kapal nasional sangat besar dengan adanya program
Bapak Joko Widodo ini. Kebutuhan kapal dalam negeri diprediksi akan
semakin banyak, sebagai kapal transportasi penumpang antar pulau atau
sebagai kapal logistic antar pulau. Program tol laut ini juga membuat
pengamanan laut yang semakin ketat dari pihak berwajib, sehingga sistem
pertahanan (alusista) seperti kapal perang dan semacamnya sangat
dibutuhkan dan pasti akan bertambah jumlahnya. Perusahaan kapal dalam
bidang alusista akan semakin banyak produksi demi memenuhi pesanan
TNI/POLRI.
Secara ekonomi , jika terlaksananya program tol laut maka industri
perkapalan akan sangat diuntungkan, apalagi dengan adanya regulasi Asas
Cabotage pada Ipres No. 5 Tahun 2005 yang mewajibkan muatan dalam
negeri diangkut oleh kapal bendera merah putih. Dalam hal ini TNI/POLRI
jugs dituntut bekerja ekstra demi keamanan dan kedaulatan NKRI, karena
tidak menuntut kemungkinan para pihak tidak bertanggung jawab mencari
celah dari landasan hukum yang ada.
3.4 Roadmap Industri Perkapalan Indonesia
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menyiapkan peta
jalan (road map) pembangunan industri perkapalan di Indonesia tahun 2012-
2025. Industri ini pun diharapkan bisa memproduksi dan mereparasi semua
jenis kapal dari yang berukuran kecil hingga besar. Salah satu sasarannya,
pada 2020, klaster industri perkapalan nasional sudah mampu memproduksi
kapal berkapasitas 200 ribu ton bobot mati (dead weight tonnage/DWT).
Roadmap Industri Perkapalan :
2010-2014
 Meningkatnya jumlah dan kemampuan industri perkapalan/galangan
kapal nasional dalam pembangunan kapal sampai dengan kapasitas
150.000 DWT.
 Meningkatnya produktivitas industri perkapalan/galangan kapal
nasional dengan semakin pendeknya delivery time maupun docking
days.

2010-2025
 Adanya galangan kapal nasional yang memiliki fasilitas produksi
berupa building berth/graving dock yang mampu membangun kapal
dan mereparasi kapal/docking repair sampai dengan kapasitas 300.000
DWT untuk memenuhi kebutuhan di dalam maupun luar negeri (world
class industry).
 Meningkatnya kemampuan industri perkapalan/galangan kapal nasional
dalam membangun kapal untuk berbagai jenis dan ukuran seperti
Korvet, Frigate, Cruise Ship, LPG Carrier dan kapal khusus lainnya.
 Meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan industri komponen
kapal nasional untuk mampu men-supply kebutuhan komponen kapal
dalam negeri.
 Pusat Desain dan Rekayasa Kapal Nasional (PDRKN)/National Ship
Design and Engineering Centre (NaSDEC) semakin berkembang dan
semakin kuat dalam mendukung industri perkapalan/galangan kapal
nasional.
Dari semua rencana tersebut pihak Kementrian Perindustrian
(Kemenperin) menargetkan industri galangan kapal nasional bisa tumbuh
15% tahun ini. Artinya, akhir tahun ini, galangan kapal nasional sanggup
memproduksi kapal hingga total 750.000 dead weigt tonnage (dwt). Namun,
bisnis industri galangan kapal tak cuma membuat kapal baru saja tapi juga
menyediakan komponen kapal. Sejauh ini, di bidang industri komponen
kapal di Indonesia baru ada sekitar 100 perusahaan yang terdiri dari
berbagai jenis. Padahal angka yang ideal adalah sekitar 200 unit
(perusahaan) industri komponen kapal. Untuk mencapai jumlah tersebut,
diperlukan total investasi senilai Rp 10 triliun hingga dua tahun mendatang.
Investasi komponen ini penting dan mendesak, karena sekitar 70%
komponen kapal masih impor.
Lalu untuk pengembangan industri di kawasan timur dalam
pelaksanaannya pelabuhan Makassar masih menjadi pintu gerbang
(tumpuan) untuk konektivitas Indonesia bagian timur yaitu kepulauan
Maluku dan Papua. Pemerintah nampaknya terlihat lambat dalam
mengembangkan kawasan industri yang akan menjadi pintu masuk dan
keluarnya arus logistik di Indonesia bagian timur. Bitung sebagai pelabuhan
utama masih belum terlihat mampu untuk melayani daerah belakangnya,
yaitu kepulauan Maluku dan Papua, ini dapat terlihat nyata karena di Bitung
belum dikembangkan kawasan Industri yang terintegrasi layaknya dikota
Makassar.
Pengembangan kawasan industri di Bitung diyakini akan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat kepulauan Maluku dan Papua tanpa
berharap pasokan dari Jawa dan Makassar. Oleh karena itu konsep kawasan
industri yang terintegrasi merupakan jawaban atas terkendalanya Bitung
sebagai tumpuan (pelabuhan Utama) di Indonesia timur.

3.5 Kesiapan Industri Perkapalan


Dengan adanya program Indonesia Poros Maritim Dunia dimana Tol
Laut sebagai salah satu fokusan utama dalam proyek ini, industri
perkapalan nasional, yang seharusnya menjadi tulang punggung
terwujudnya cita-cita pemerintah tersebut.
Jika melihat besarnya potensi industri perkapalan nasional harusnya
kita mampu memenuhi kebutuhan kapal domestik. Namun, dilapangan
berkata lain, sebagai negara yang menahbiskan diri sebagai negara poros
maritim, kebutuhan kapal domestik masih saja bergantung pada produk
kapal dari luar negeri.
Dan hal tersebut pun benar-benar menjadi sebuah perhatian besar
untuk pemerintah, terutama Presiden Joko Widodo. Oleh karena itu,
Presiden pun menetapkan pelarangan impor produk kapal di dalam negeri.
Presiden Joko Widodo pun berpendapat “Galangan kapal kita siap. Sampai
(kapal ukuran, red) 17.500 (DWT) saja siap. Industri galangan kapal kita
siap. Sehingga dalam ratas (rapat terbatas) saya perintahkan pemerintah
tidak boleh lagi pesan kapal dari luar negeri, tidak boleh impor. Buat sendiri
di Indonesia. Kita harus utamakan industri dalam negeri terlebih dahulu.
Kebiasaan impor sudah tidak ‘sustainable’,”
Dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden agar industri
maritim bisa bergantung pada produk kapal dalam negeri, maka terbuka
lebar peluang industri galangan kapal nasional untuk bertumbuh. Peluang
tersebut sebenarnya sudah mulai terbuka ketika azas cabotage mulai
diberlakukan beberapa tahun silam.
Sebenarnya industri terkait kemaritiman dan kelautan di dalam
negeri tak perlu khawatir soal pasokan kapal. Pasalnya seperti disampaikan
oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin baru-baru ini, terdapat sekitar 250
galangan kapal di dalam negeri, yang sanggup memproduksi kapal hingga
kapasitas 1,2 juta dead weight tonnage (DWT) termasuk untuk mereparasi
kapal dengan kapasitas yang sama.
Namun, untuk mewujudkan hal tersebut masih ada banyak masalah-
masalah yang harus diselesaikan, diantaranya adalah Dalam memproduksi
kapal, banyak komponen yang dibutuhkan, diantaranya komponen utama
dan komponen pendukung yang tersedian di dalam negeri sangat terbatas
guna pemenuhan standar yang ditetapkan.
Masalah ini merupakan salah satu selain kapasitas produksi maupun
fasilitas yang usang, dukungan pendanaan serta sumber daya manusia untuk
menumbuhkan dan meningkatkan Industri Galangan. Selain itu Dari 15.300
kapal yang beroperasi di Indonesia kapasitas galangan hanya 900, hal
tersebut menjadi hambatan tersendiri bagi tumbuhnya industri galangan di
Indonesia.
Oleh karena itu, sangatlah diperlukan sekali sebuah solusi untuk
permasalahan-permasalahan tersebut. Mungkin diantara solusi tersebut
adalah dengan melakukan peremajaan terhadap fasilitas-faslitas produksi
yang telah menurun untuk menunjang produktifitas, Memacu Inovasi agar
produktivitas semakin meningkat melalui konvensi GKM (Gugus Kendali
Mutu), meningkatkan kompetensi tenaga kerja, baik melalui pelatihan
training maupun bekerja secara langsung dengan cara mengirim tenaga ahli
atau mendatangkan tenaga ahli untuk proses pembangunan Kapal guna
transfer of technology. Sehingga kedepannya nanti Industri Perkapalan di
Indonesia benar-benar siap dalam menjalankan perannya sebagai salah satu
penunjang tol laut dan sebagai salah satu pilar dalam mewujudkan Indonesia
Poros Maritim Dunia.
3.6 Dwelling Time
3.6.1 Dwelling Time
Dwelling time berasal dari bahasa Inggris, dari kata dwell yang
berarti tunggu atau tinggal dan timeadalah waktu. Sehingga dwell time
berarti waktu tinggal atau waktu tunggu. Jadi, dalam kamus dunia
pelayaran, dwelling time adalah waktu tunggu kapal di pelabuhan atau lebih
tepatnya waktu yang dihabiskan kapal di pelabuhan dalam rangka proses
bongkar dan atau memuat barang. Di dalam port performance indicators
(PPI) atau indikator internasional untuk mengukur performa atau kinerja
pelabuhan dalam memberikan pelayanan kepada pelayaran, dwelling time
disebut juga sebagai turn round time (TRT), yakni waktu yang dihabiskan
kapal mulai tiba di pelabuhan hingga keluar dari pelabuhan.
Menurut definisi World Bank (2011), pengertian dwelling time
adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu petikemas (kontainer)
dibongkar dan diangkat (unloading ) dari kapal sampai petikemas tersebut
meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama.
Kegiatan bongkar muat merupakan salah satu komponen dari
dwelling time di pelabuhan. Setiap permasalahan yang timbul dalam
kegiatan bongkar muat berpotensi untuk meningkatkan dwelling time
sehingga menimbulkan kerugian terutama bagi pemilik kapal maupun
pemilik barang. Seluruh risiko yang timbul mengakibatkan kerugian waktu
dan biaya. Dengan menggunakan metode statistik dan probabilitas dapat
diketahui risiko mana yang paling berpengaruh besar terhadap operasional
bongkar muat di pelabuhan, yaitu dengan menghitung selisih waktu sesuai
standar operasional dengan waktu sebenarnya saat operasional dari
keseluruhan kegiatan bongkar muat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat risiko terjadinya lost time saat kegiatan Truck Losing Out dan Truck
Losing In adalah sangat tinggi, sedangkan cetak job slip dan stack in adalah
tinggi dan stack out adalah rendah. Adapun total lost time yang
disumbangkan oleh kegiatan bongkar terhadap dwelling time berasal dari
Truck Losing Out mencapai 11.9 jam jika dibandingkan dengan standar
waktu normalnya. Sedangkan total lost time yang disumbangkan oleh
kegiatan muat terhadap dwelling time berasal dari Cetak Job Slip ditambah
dengan Stack In sebesar 12.5 jam. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan
bongkar muat merupakan komponen penyumbang dwelling time
Kasus dwelling time di pelabuhan memanas sejak Presiden Jokowi
melakukan kunjungan pertama ke Pelabuhan Tanjung Priok. Beliau
menargetkan lama dwelling time bisa dipercepat dari yang semula 6 hari
lebih menjadi 4,7 hari dengan rincian: pre-custom clearance selama 2,7 hari,
custom clearance selama 0,5 hari, dan post-custom clearance selama 1,5
hari. Namun ternyata target tersebut gagal dipenuhi pada saat beliau
melaksanakan kunjungan kedua ke Pelabuhan Tanjung Priok. Kegagalan
tersebut disebabkan karena adanya banyak faktor dan kepentingan yang
berpengaruh terhadap komponen dwelling time. (sumber:
bisnis.liputan6.com)
Dwelling time pelabuhan dapat diartikan sebagai waktu yang
dibutuhkan bagi kontainer (barang impor) untuk ditimbun di Tempat
Penimbunan Sementara (TPS)/ container yard di wilayah/ area pelabuhan,
dihitung sejak barang impor dibongkar dari kapal sampai dikeluarkan dari
TPS. Oleh karena itu, setiap masalah yang terjadi pada komponen dwelling
time berpotensi untuk meningkatkan dwelling time di pelabuhan.
Penyelesaian dwelling time tidak bisa dilepaskan dari faktor teknis
di lapangan. Salah satunya adalah pengaruh kegiatan bongkar muat barang.
Umumnya, apabila dalam kegiatan bongkar muat di pelabuhan timbul
permasalahan yang mengakibatkan tersendatnya arus distribusi barang maka
hal ini akan menyebabkan kerugian waktu dan biaya bagi pemilik kapal
maupun pemilik barang. Permasalahan tersebut akan menimbulkan
pembengkakan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik kapal, yakni
beban jasa kepelabuhan dan beban operasional kapal selama berada di
pelabuhan. Beban jasa kepelabuhan meliputi tarif labuh kapal, tarif tambat
kapal, tarif penyewaan alat bongkar muat beserta armada, dan tarif
penyewaan lapangan penumpukan, sedangkan beban operasional kapal
antara lain adalah biaya gaji, biaya ABK, biaya bahan bakar dan lain-lain.
Oleh karena itu, semakin lama kapal di pelabuhan, maka biaya pengeluaran
kapal semakin besar sehingga berpotensi menimbulkan kerugian bagi
perusahaan angkutan laut.
Pembengkakan ongkos pengiriman barang, umumnya tidak
ditanggung oleh pemilik barang kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
pengangkutannya. Akan tetapi, keterlambatan distribusi barang dapat
menyebabkan kerugian bagi pemilik barang, terutama karena nilai manfaat
barang bisa berubah sesuai fungsi waktu. Kerugian tersebut antara lain
adalah barang tidak bisa segera dimanfaatkan dalam proyek, barang tidak
bisa segera dipasarkan, arus perputaran uang terlambat, utang bunga bank
meningkat dan lain sebagainya. (Ningrum, 2007)
Pelindo I dan menyatakan sudah 4,1 hari (dwelling time), kemudian
Pelindo II sudah 3,2 hari, Pelindo III saya 3 hari dan Pelindo IV sudah 2,4
hari.
Adapun proses dwelling time di pelabuhan:
 Pre-clearance adalah proses peletakan petikemas di tempat penimbunan
sementara (TPS) di pelabuhan dan penyiapan dokumen pemberitahuan
impor barang (PIB)
 Customs clearance adalah proses pemeriksaan fisik petikemas (khusus
untuk jalur merah), lalu verifikasi dokumen-dokumen oleh Bea Cukai
dan pengeluaran surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB)
 Kegiatan post clearance adalah saat petikemas diangkut ke luar kawasan
pelabuhan dan pihak pemilik petikemas melakukan pembayaran ke
operator pelabuhan.
3.6.2 Solusi Untuk Dwelling Time di Indonesia
Keseluruhan indikator tersebut memengaruhi total dwelling time
atau TRT kapal di pelabuhan. Misalnya, WT atau waktu tunggu kapal di
suatu pelabuhan lama karena terjadi antrean kapal (kongesti). Hal itu terjadi
karena tingginya volume kapal, namun tidak dibarengi kesiapan
infrastruktur dan fasilitas di pelabuhan.
Selain minimnya infrastruktur pelabuhan, lamanya dwelling time
disebabkan beberapa hal. Pertama, produktivitas tenaga kerja bongkar muat
(TKBM) yang masih rendah. Produktivitas TKBM di pelabuhanpelabuhan
di Indonesia tergolong masih rendah karena pengelolaan TKBM yang masih
belum optimal dan profesional. Saat ini pengelolaan TKBM dimonopoli
koperasi TKBM di bawah pengawasan pemerintah. Hal itu pula yang
membuat TKBM tidak kompetitif. Seharusnya di setiap pelabuhan terdapat
minimal dua pengelola TKBM sehingga dapat memacu kompetisi yang
sehat.
Kedua, pengurusan dokumen terkait dengan kapal dan barang yang
lama. Pengurusan dokumen-dokumen di pelabuhan di Indonesia terbilang
lama karena di pelabuhan terdapat banyak instansi, di antaranya BUP
(badan usaha pelabuhan), bea dan cukai, kantor karantina, kantor kesehatan
pelabuhan, kantor kesyahbandaran, serta otoritas pelabuhan. Karena itu,
dalam rangka pengurusan dokumen, pengguna jasa atau konsumen harus
mendatangi instansi-instansi tersebut. Ironisnya, rata-rata pengurusan
dokumen itu dilakukan setelah kapal tiba di pelabuhan. Hal tersebut yang
mengakibatkan lamanya proses pengurusan dokumen.
Di beberapa negara di dunia, di Singapura misalnya, pengurusan
dokumen yang terkait dengan kapal dan barang dilakukan sebelum kapal
tiba di pelabuhan melalui sistem dalam jaringan (daring) teknologi
informasi (TI). Sistem TI itu terintegrasi dengan sistem TI dari berbagai
instansi seperti Port of Singapore Authority (PSA) selaku operator dan The
Maritime and Port Authority of Singapore (MPA) selaku regulator. Hal
tersebut lebih efektif dan efisien karena memotong birokrasi serta
menghemat waktu, tenaga, dan biaya. Selain itu, daring meminimalkan
pertemuan para pengguna jasa dengan para petugas saat melakukan
pengurusan dokumen sehingga potensi terjadinya tindak pidana korupsi,
kolusi, dan nepotisme dapat dihindari.
Ketiga, integrasi di antara moda transportasi angkutan barang yang
kurang. Integrasi antarmoda dapat mengurangi kepadatan di pelabuhan dan
di jalan raya. Misalnya integrasi antara moda transportasi laut dan kereta
api. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun jalur rel di pelabuhan
sehingga barang yang hendak dibongkar atau dimuat dari dan ke kapal dapat
langsung dengan kereta api.
Dengan demikian, dari penjelasan di atas, dapat diketahui, dwelling
time dapat dipengaruhi banyak faktor. Antara lain ketersediaan infrastruktur
dan fasilitas di pelabuhan, tenaga kerja bongkar muat, kecepatan pengurusan
dokumen kapal dan barang, serta integrasi antarmoda transportasi. Karena
itu, diperlukan penyelesaian yang serius dan komprehensif dalam rangka
mengurangi dwelling time.
3.6.3 Upaya Dari Pemerintah Mengenai Dewlling Time
Pertama, dengan menerapkan sanksi berupa denda kepada
perusahaan yang lambat dalam pengurusan dokumen. Selama ini banyak
pelaku ekspor-impor yang sengaja memperlambat pengurusan dokumen
dengan berbagai alasan. Sehingga barangnya lama tertahan di pelabuhan.
Kedua, menaikkan denda penalti bagi importir yang tidak
mengambil barangnya selama dua hari. Selama ini importir yang dinilai
bonafid dan kredibel hanya dikenakan Rp 27.500 bagi kontainer yang
menginap lebih dari dua hari di pelabuhan. Tarif ini sangat murah
dibandingkan jika pemilik barang menyewa gudang di luar pelabuhan.
Ketiga, dengan menerapkan sistem teknologi informasi (IT) yang
terintegrasi dari setiap kementerian dan lembaga yang terkait dengan proses
pengurusan perizinan barang di pelabuhan. Salah satunya dengan
mengintensifkan penggunaan portal Indonesia National Single Window
(INSW) yang sudah ada.
Keempat, membuka pelabuhan alternatif yang akan membantu
Pelabuhan Tanjung Priok untuk melayani ekspor-impor. Selain mengurangi
kepadatan di Tanjung Priok, hal ini juga akan menurunkan biaya logistik
bagi industri-industri di daerah tersebut.
Kelima, pemerintah juga membangun kereta pelabuhan untuk mengurangi
kepadatan di Pelabuhan Tanjung Priok. Saat ini hanya ada satu rel kereta
pelabuhan di Tanjung Priok. Nantinya, PT Kereta Api Indonesia akan
membangun rel kedua.
Keenam, dengan memberantas mafia pelabuhan. Selama ini masalah
dwelling time hanya seputar waktu kontainer turun sampai keluar
pelabuhan. Namun, ada satu masalah lagi yaitu waktu tunggu kapal di
Pelabuhan apa yang disebut sebagai demurrage time. Di Indonesia
demurrage time masih lama, sekitar tiga sampai tujuh hari.
3.7 Pembangunan dan Revitalisasi Pelabuhan dalam Konsep Tol Laut
3.7.1 Rendahnya Daya Saing kemaritiman Indonesia
Sektor maritim memiliki peranan penting dalam perekonomian
nasional, namun kondisi sektor maritim di Indonesia relatif belum baik.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan dua per tiga dari
luas wilayahnya merupakan lautan atau sebesar 5,8 juta km2. Jumlah pulau
di Indonesia merupakan terbanyak di dunia yakni sebesar 18.110 pulau.
Selain itu, posisi Indonesia di posisi silang dunia yang terletak di dua
samudera dan dua benua. Sektor maritim juga berperan penting dalam
perdagangan dunia. Sekitar 80% perdagangan dunia menggunakan moda
transportasi laut. Namun demikian, kondisi sektor maritim di Indonesia
relatif belum baik. Kondisi sektor maritim yang meliputi pelabuhan,
angkutan laut (shipping), galangan kapal (shipyard) dan jasa penunjang
lainnya relatif belum baik dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Gambar 1. Data Peringkat Kualitas Pelabuhan se-ASEAN


Dari sisi pelabuhan, daya saing infrastruktur pelabuhan masih relatif
rendah. Meski peringkat kualitas pelabuhan Indonesia meningkat dari
peringkat 89 menjadi 77 dalam Global Competitiveness Index 2014-2015,
kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia masih lebih rendah dari Thailand
(54), Malaysia (19), dan Singapura (2). Tingkat utilitas pelabuhan di
Indonesia sudah lebih dari 100%. Lebih jauh, utilitas pelabuhan di Kawasan
Timur Indonesia (KTI) masih rendah. Pelabuhan Bitung yang rencananya
akan menjadi hub internasional, tingkat utilitasnya masih lebih rendah
dibandingkan pelabuhan di Sumatera dan Jawa. Sebagian besar pelabuhan
mempunyai draft dangkal sehingga membatasi ukuran kapal yang akan
berlabuh di pelabuhan tersebut. Kedepan dibutuhkan 19 pelabuhan yang
mampu mengakomodasi kapal berkapasitas 5.000 TEUs dan 10.000 TEUs
dalam jangka panjang. Kebutuhan investasi pelabuhan sampai dengan 2030
diperkirakan sebesar USD 47,1 miliar. Diperkirakan kebutuhan volume
pelabuhan sampai dengan 2030 tertinggi untuk container.
Begitu pula dari sisi angkutan laut (shipping), kapasitas kapal di
Indonesia masih relatif rendah. Mayoritas kapasitas kapal domestik sebesar
350-800 TEUs. Sementara di negara lain seperti Malaysia, India dan China,
rata-rata kapalnya berukuran 1.000 TEUs. Selain itu, menurut data
Bappenas, lebih dari 50% umur armada kapal nasional diatas 10 tahun.
Kedepan diperlukan jumlah kapal berkapasitas besar dengan perkiraan
kebutuhan investasi sebesar USD 6,7 miliar sampai dengan 2030. Akibat
asas cabotage, angkutan laut nasional telah menguasai 99% pangsa muatan
domestik sementara pada muatan ekspor-impor baru menguasai 10%. Secara
global, kondisi industri pelayaran mulai membaik di tahun 2016 ini seiring
dengan berkurangnya oversupply. Hal ini juga ditunjukkan dengan
meningkatnya harga sewa kapal.
Selain itu, besarnya biaya logistik nasional terutama pengiriman ke
Kawasan Timur Indonesia (KTI). Beberapa barang tertentu di KTI harganya
lebih mahal daripada di daerah Indonesia bagian barat.
Gambar 2. Grafik biaya pengiriman barang dari Jakarta ke berbagai tempat

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa ongkos kirim barang dari
Jakarta menuju Hamburg yang berjarak 11.000 km ternyata lebih murah
daripada menuju Padang yang berjarak hanya 1.000 km. Dari beberapa
kondisi maritim Indonesia tersebut, maka konsep Tol Laut sangat
dibutuhkan untuk segera diimplementasikan, khususnya pengembangan
infrastruktur pelabuhan.
3.7.2 Pengembangan Pelabuhan dalam Kerangka Tol Laut
Tol laut merupakan layanan angkutan laut dengan jumlah dan tipe
kapal besar sesuai demand, melalui jalur utama koridor tengah perairan
Indonesia yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan utama (hub), disertai
dengan jalur penerus (feeder) yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan
pengumpan (spoke). Pelabuhan yang akan menjadi international hub-port
adalah Pelabuhaan Bitung dan Pelabuhan Kuala Tanjung. Perkiraan
investasi yang dibutuhkan untuk membangun konsep Tol Laut sebesar IDR
699,9 triliun. Adapunn investasi tersebut digunakan untuk membangun dan
mengembangkan 24 pelabuhan utama beserta infrastruktur penunjangnya,
pengembangan pelabuhan kecil dan pengadaan kapal, pengadaan fasilitas
kargo, pembangunan 1.481 pelabuhan rakyat, pembangunan 80 pelabuhan
khusus (seperti batubara dan CPO), pengembangan akses kawasan, industri
galangan kapal, membeli kapal barang perintis, tanker, cargo, kapal rakyat
dan pengamanan laut.
24 pelabuhan utama itu adalah Pelabuhan Banda Aceh, Pelabuhan
Belawan, Pelabuhan Pangkal Pinang, Pelabuhan Kuala Tanjung, Pelabuhan
Dumai, Pelabuhan Panjang, Pelabuhan Batam, dan Pelabuhan Padang.
Kemudian Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Cilacap, Pelabuhan
Tanjung Perak, Pelabuhan Lombok, Pelabuhan Kupang, Pelabuhan
Banjarmasin, Pelabuhan Pontianak, Pelabuhan Palangka Raya, Pelabuhan
Maloy, dan Pelabuhan Bitung. Selanjutnya adalah Pelabuhan Makassar,
Pelabuhan Ambon, Pelabuhan Halmahera, Pelabuhan Sorong, Pelabuhan
Jayapura dan Pelabuhan Merauke.

Gambar 3. Infrastruktur yang harus dibangun 2015-2019


Sumber: Presentasi Deputi Sarana dan Prasarana Bappenas, 2015
Dari data Laporan Implementasi Konsep Tol Laut 2015-2019 yang
dirilis oleh Bappenas, pengembangan fasilitas laut pelabuhan antara lain
peningkatan draft kedalaman pelabuhan pelabuhan Hub minimum 12 meter,
peningkatan draft kedalaman pelabuhan feeder minimum 7 meter,
peningkatan fasilitas darat pelabuhan, penyediaan peralatan dan revitalisasi
pelabuhan pelayaran rakyat Indonesia.
Konsep Tol Laut tidak saja memerlukan draft kedalaman dermaga
(infrastruktur) tetapi juga memerlukan perangkat alat bongkar muat CC
(Container Crane), Top Loader, Reach Taker, dan rasio kebutuhan space
Quay Yard untuk menampung container dari proyeksi kegiatan bongkar
maut kapal pendulum yang besar. Selanjutnya selain infrastruktur maka
diperlukan suprastruktur pendukung seperti manajerial pelabuhan membuat
CSL (Crane Sequence List) karena misal 2 alat CC untuk satu kapal agar
cepat selesai kegiatan bongkar muat di setiap pelabuhan yang disinggahinya.
Terdapat beberapa kendala dalam implementasi konsep Tol Laut
dalam kaitannya terhadap kondisi pelabuhan yang ada. Pertama, kapal besar
berkapasitas 3.000-10.000 TEUs hanya masuk pada pelabuhan tertentu dan
tidak setiap pelabuhan memiliki kapasitas ini. Hal ini terkait syarat yang
dibutuhkan yaitu Jetty atau tempat sandar pelabuhan harus muat dan
ditambah dengan kapasitas yang harus mencukupi, sehingga mutlak
dibutuhkan pembangunan dan pebaikan infrastruktur pelayaran diantaranya
pembangunan skala besar dan pengadaan kapal-kapal dengan kapasitas
3.000-10.000 TEUs. Ditambah lagi pemerintah tetap harus mengawal proses
investasi pembangunan program Tol Laut apabila melibatkan pihak asing
dalam skema investasinya.
Menurut R.J. Lino, biaya pembangunan infrastruktur kelautan sebesar 5-6
miliar dollar AS atau setara 78 triliyun rupiah (dengan asumsi 1 USD = Rp.
13.000), biaya yang cukup besar namun ternyata ide ini didukung oleh
semua komponen usaha terkait termasuk Kementrian Perhubungan. Maka,
pembangunan pelabuhan akan semakin dilakukan, khususnya periode 2015-
2019.

3.8 Tol Laut dan Dampaknya untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia
3.8.1 Kegiatan Strategis Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (KTI)
Isu utama pembangunan wilayah nasional saat ini adalah masih
besarnya kesenjangan antar wilayah, khususnya kesenjangan pembangunan
antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia
(KTI). Hal ini tercermin salah satunya dari kontribusi PDRB terhadap PDB,
yang mana selama 30 tahun (1983-2013), kontribusi PDRB KBI sangat
dominan dan tidak pernah berkurang dari 80 persen terhadap PDB.
Gambar 4. Peran Tiap Pulau dalam PDB Nasional 1983-2013

Sehubungan dengan hal tersebut, arah kebijakan utama


pembangunan wilayah nasional harus difokuskan untuk mempercepat
pengurangan kesenjangan pembangunan antar wilayah. Oleh karena itu,
diperlukan arah pengembangan wilayah yang dapat mendorong transformasi
dan akselerasi pembangunan wilayah KTI, yaitu Sulawesi, Kalimantan,
Maluku, Nusa Tenggara dan Papua, dengan tetap menjaga momentum
pertumbuhan di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera.
Salah satu tema pengembangan wilayah tertera dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dalam
kaitannya di sektor maritim, daerah KTI khususnya di wilayah Papua yaitu
dilakukan percepatan pembangunan ekonomi dengan mengembangkan
pariwisata bahari.
Selain itu, kegiatan strategis pembangunan infrastruktur
perhubungan laut jangka menegah di Provinsi Papua, tertuang dalam
RPJMN, antara lain pengembangan Pelabuhan Jayapura, Pelabuhan
Pomako, Pelabuhan Serui, Pelabuhan Bade, Pelabuhan Nabire, Pelabuhan
Agats, Pelabuhan Amamapare, Pelabuhan Sarmi, Pelabuhan Waren,
Pelabuhan Merauke, pembangunan Dermaga Terminal Penumpang dan Peti
Kemas Pelabuhan Depapre, dan Pembangunan Terminal Agribisnis,
Pergudangan, dan Pelabuhan Ekspor di Serapuh dan Wogikel. Selain
pelabuhan, pengembangan dan pembangunan infrastruktur di Provinsi
Papua terdiri dari 6 bandara, 20 ruas jalan dan jembatan, 29 proyek
kelistrikan, dan 57 proyek Sumber Daya Air.
Pengembangan progresif yang dicanangkan di wilayah Papua juga
terjadi di terjadi di provinsi lainnya, seperti Provinsi Papua Barat, Maluku,
Nusa Tenggara Timur, dst.. Hal ini untuk menunjang target meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan, dan pengurangan
pengangguran, khususnya di KTI.

Tabel 1. Sasaran pertumbuhan ekonomi per wilayah tahun 2015-2019

Tabel 2. Sasaran tingkat kemiskinan per wilayah tahun 2015-2019


Tabel 3. Sasaran tingkat pengangguran per wilayah tahun 2015-2019

3.8.2 Realisasi Pembangunan Infrastruktur Kawasan Timur Indonesia


Giatnya sosialisasi dan pengawasan pembangunan infrastruktur yang
dilakukan oleh pemerintah sudah mendapat hasil nyata fisik. Berdasarkan
data Progress Report Jalan yang dirilis oleh Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat pada bulan Agustus 2015 disebutkan bahwa
pembangunan jalan raya Trans Papua terdiri dari 12 ruas jalan, yaitu
1. Ruas 1 Merauke-Tanah Merah-Waropko;
2. Ruas 2 Waropko-Oksibil;
3. Ruas 3 Dekai-Oksibil;
4. Ruas 4 Kenyam-Dekai;
5. Ruas 5 Wamena-Habema-Kenyam-Mamugu;
6. Ruas 6 Wamena-Elelim-Jayapura;
7. Ruas 7 Wamena-Muliaa-Haga-Enarotali;
8. Ruas 8 Wageta-Timika;
9. Ruas 9 Enarotali-Wageta-Nabire;
10. Ruas 10 Nabire-Windesi-Manokwari
11. Ruas 11 Manokwari-Kambuaya-Sorong
12. Ruas 12 Jembatan Holtekamp.
Dari 12 ruas jalan itu sudah tersambung sejauh 3.498 km dari total
4.325 km. Dari ruas yang sudah tersambung tersebut, kondisi yang telah
baik dengan aspal mencapai 2.075 km dan sisanya masih berupa
tanah/agregat.
REFERENSI
Buku Tol Laut Beppenas

http://indonesianindustry.com/negara-poros-maritim-butuh-dukungan-industri-perkapalan

http://www.pal.co.id/v5/news/index.php?id=nws2014092616475693

http://www.kompasiana.com/yayanindrapurwanto/dampak-tol-laut-jokowi-bagi-industri-kapal-
indonesia_55b8841a397b61052093ab2c

http://www.bkpm.go.id/id/peluang-investasi/peluang-berdasarkan-sektor/kelautan

http://www.kemenperin.go.id/artikel/2908/Galangan-Kapal-Tumbuh-

http://www.kemenperin.go.id/artikel/5328/Indonesia-Kembangkan-Industri-Perkapalan

http://www.kemenperin.go.id/artikel/4614/Industri-Galangan-Kapal-Tumbuh

http://lautindo.com/rute-kapal-baru-tol-laut/

https://beritagar.id/artikel/berita/tol-laut-trayek-lima-beroperasi-ekonomi-indonesia-timur-
terdongkrak

http://demo.idxcode.com/geraimaritim/index.php

http://budisansblog.blogspot.co.id/2015/06/dwelling-time_91.html

http://satyanusa.blogspot.co.id/2015/08/dwelling-time-dan-permasalahannya.html

Anda mungkin juga menyukai