Anda di halaman 1dari 7

IKTIOPLANKTON: KEANEKARAGAMAN TELUR

DAN LARVA IKAN LAUT

I
ktioplankton (ichthyoplankton) adalah telur dan larva ikan yang hidup sebagai
plankton. Daur hidup ikan laut dimulai dari telur yang selanjutnya menetas
menjadi larva. Larva ini berkembang dengan menjalani perubahan morfologi dan
fisiologi hingga kelak menjadi dewasa sebagai ikan yang berenang bebas di perairan. Jadi pada
dasarnya iktioplankton itu adalah bagian awal dalam siklus kehidupan setiap jenis ikan.
Indonesia mempunyai keanekaragaman ikan yang sangat tinggi, bahkan mungkin salah satu
yang tertinggi di dunia. Seiring dengan itu tentulah iktioplanktonnya juga sangat beragam.
Pengetahuan mengenai iktioplankton ini dapat memberikan sumbangan penting dalam aspek
pengelolaan perikanan. Lokasi penemuan telur dan larva ikan jenis-jenis tertentu dapat
merupakan petunjuk dimana dan berapa luas daerah pemijahannya (spawning ground). Dengan
mengetahui daerah pemjahannya maka langkah-langkah yang perlu diambil untuk
pengelolaannya dapat dipertimbangkan dengan lebih baik.

Gambar 1. Daur hidup ikan kakap, dari telur, larva hingga dewasa

Telur ikan ada yang direkatkan ke substrat yang mengapung (misalnya pada potongan
rumpur laut) ataupun pada substrat di dasar laut (misalnya di terumbu karang), dan ada pula
yang pelagis (pelagic), artinya dilepaskan di perairan bebas sebagai plankton. Telur ikan yang
banyak menjadi perhatian dalam kajian iktioplankton adalah telur-telur ikan yang pelagis.
1
Gambar 2. Berbagai bentuk telur ikan dari Laut Jawa dan Selat Malaka. 1.
Chirocentrus dorab (parang-parang); 2. Tak dikenal; 3. Clupea fimbriata
(tembang); 4. Stolephorus heterolobus (teri); 5. Engraulis kammalensis
(bongkok/muncar); 6. Stolephorus indicus (teri); 7. Trichiurus sp. (layur); 8.
Muraena sp. (kerondong); 9. Decapterus kurra (layang); 10. Hemiramphus sp.
(kacang-kacang); 11. Caranx macrosoma (layang); 12. Dorosoma chacunda
(selanget); 13. Chanos chanos (bandeng); 14. Pellona sp. (puput); 15. Cybium
maculatum (tenggiri); 16. Echeneis naucrates (gemih); 17. Saurida tumbil
(buntut kerbau); 18. Harpodon nephereus (lomei); 19. Tetrodon sp. (buntel); 20.
Tak dikenal; 21. Fistularia serrata (ikan terompet). (Delsman, 1972).

Telur ikan umumnya berbentuk bulat hingga lonjong dengan berbagai variasi. Gambar
2 menampilkan berbagai bentuk telur ikan pelagis dari Laut Jawa dan Selat Malaka. Tekstur
permukaan telur biasanya licin atau kadang-kadang disertai tonjolan-tonjolan. Di dalam telur
terdapat kuning telur (yolk) yang berfungsi sebagai cadangan makanan. Telur yang mempunyai
kuning telur yang besar, pertumbuhannya sampai menetas menjadi larva lebih lama dari pada
yang berkuning-telur kecil. Yang berkuning-telur besar akan menetas setelah dua atau tiga hari
setelah dilepaskan sedangkan yang berkuning-telur kecil akan menetas dalam waktu tidak lebih
dari 12 jam. Telur-telur ikan sejenis layang (Decapterus) yang berkuning telur kecil, dilepaskan
pada kurang lebih pukul 10 – 11 malam dan akan menetas keesokan paginya sekitar pukul 9.
Banyak ikan di pantai utara Jawa yang mempunyai kebiasaan yang serupa hingga untuk

2
menangkap telurnya haruslah dilakukan pada
malam hari, sebab jika pada siang hari telur
tersebut sudah keburu menetas menjadi larva.
Sebagai perbandingan, telur ikan di perairan
dingin seperti di Eropa, akan menetas menjadi
larva setelah beberapa hari bahkan beberapa
minggu setelah pemijahan.
Di dalam kuning telur kadang-kadang
terdapat gelembung minyak (oil globule), bisa
satu atau lebih. Telur yang demikian berasal
dari daerah dekat pantai yang bersalinitas
rendah, sedangkan yang tanpa gelembung
minyak dari daerah yang jauh dari pantai.
Gelembung minyak itu berperan dalam
menentukan daya apung (buoyancy) agar telur
lebih mudah mengambang dalam air. Adanya
gelembung minyak dalam telur ini kadang-
kadang dapat digunakan sebagai ciri
taksonomik jenis ikan tertentu.
Ketika baru saja menetas, larva ikan

umumnya transparan, belum bisa mencari Gambar 3. Penelitian iktioplankton telah


makan, mulut dan saluran pencernaannya dilaksanakan oleh Visscherij Labortorium te
belum berkembang. Ia masih bergantung Batavia (cikal bakal Puslit Oseanografi LIPI)
dalam dekade 1910-an dengan kapal Brak
pada cadangan makanan yang berupa kuning-
(atas). Contoh jaring plankton yang
telur yang masih banyak dikandungnya. digunakan saat itu untuk kajian iktioplankton
Tetapi lama-kelamaan kuning telur itu akan (bawah). (Sunier, 1921, 1923)
habis terserap, dan sang larva pun baru mulai
mencari makan sendiri dari sumber yang ada di sekitarnya, seiring dengan mulai
berkembangnya struktur mulut dan saluran pencernaannya. Dalam perkembangan selanjutnya,
larva tidak saja makin besar ukurannya, tetapi juga mulai terdapat tanda-tanda yang spesifik
untuk tiap jenis, misalnya pola pigmentasi yang mulai muncul pada tubuhnya, pertumbuhan
sirip, perkembangan garis-garis otot (myotome), posisi dan bentuk mata.

3
Gambar 4. Kiri: Telur dan larva ikan teri (Stolephorus sp.). Kanan: Telur dan larva
ikan tembang (Clupea canagurta). (Delsman, 1972)

Sering terjadi organ khusus larva yang


telah berkembang, kemudian menghilang setelah
dilengkapi organ-organ yang lebih permanen.
Struktur-sruktur itu sebagian besar berkenaan
dengan sistem pencernaan, pernapasan, atau
mobilitas, yang dapat membuat bentuk larva
tidak sama dengan bentuk dewasanya. Perbedaan
bentuk yang sangat besar antara larva dan yang
dewasa bisa mengecoh, hingga bisa dianggap
sebagai jenis yang berbeda. Beberapa jenis ikan
mempunyai bentuk larva yang sangat berbeda
dengan bentuk dewasanya ditampilkan dalam
Gambar 6.
Salah satu perkembangan bentuk larva
Gambar 5. Telur dan larva ikan
ikan yang sangat menarik terdapat pada ikan bandeng (tidak dalam skala yang sama).
sidat yang tergolong dalam suku Anguillidae. A. telur; B. Larva atau nener yang baru
menetas; C. Nener berumur sehari; D.
Sidat air tawar disebut juga uling, moa, masapi, Nener berumur seminggu; E. Nener
yang dalam bahasa Inggeris disebut eel. Sidat gelondongan (Chong dkk. 1982)

4
dewasa bentuknya memanjang seperti ular dan menjadi dewasa di perairan tawar sampai jauh
ke hulu-hulu sungai atau danau. Tetapi bila tiba masanya untuk kawin dan bertelur mereka akan
bermigrasi menghilir sungai, meneruskan perjalanan panjang sampai jauh ke laut-dalam.

Gambar 6. Berbagai bentuk larva ikan yang bentuknya berbeda dengan bentuk
dewasanya. A. Argyroplecus sp.; B. Larva leptocephalus sidat Anguilla sp.; C.
Lophius sp; D. Idiacanthus sp.; E. Fistularia serrata; F. Trachypterus sp.; G.
Caranx ciliaris; H. Istiophorus sp. (dari berbagai sumber).

Di tengah samudra itu mereka memijah dan telur-telurnya menetas menjadi larva.
Larva sidat yang baru lahir di tengah samudra akan berenang, kadang-kadang hingga jarak
ratusan atau ribuan kilometer, menuju daratan untuk kemudian memasuki dan memudiki
sungai-sungai sampai ke tempatnya bermukim di hulu-hulu sungai atau danau. Adalah suatu
misteri bagaimana sistem navigasi pada larva yang baru menetas itu bisa berenang begitu jauh

5
dan dapat menemui lokasi muara sungai dan menyusuri sungai tersebut sampai jauh ke hulu
tempat induknya dulu berasal. Disanalah sidat itu akan menetap dan tumbuh sampai dewasa
sampai saatnya ia memenuhi panggilan alam untuk turun menuju samudra, untuk kawin dan
bertelur, menjalani dan melengkapi daur hidupnya. Sifat migrasi semacam itu, dari air tawar
menuju ke laut untuk memijah, disebut katadromus (catadromous).
Di Indonesia terdapat sekitar sembilan jenis sidat air tawar yakni Anguilla borneensis,
Aguilla obscura, Anguilla marmorata, Anguilla celebensis, Anguilla bicolor pacifica , Anguilla
bicolor bicolor, Anguilla megastoma, Anguilla interioris dan Anguilla nebulosa. Para ahli
menduga Indonesia adalah negeri asal nenek moyang sidat yang kemudian dalam evolusinya
menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sidat di Indonesia terdapat di sungai-sungai yang
menghadap ke laut-dalam. Sungai-sungai yang bermuara ke laut dangkal, misalnya ke Paparan
Sunda atau Paparan Sahul/Arafura tidak ada sidatnya.
Masih merupakan misteri
dimana persisnya lokasi pemijahan sidat
ini di tengah laut. Penelitian yang
dilakukan di perairan Indonesia dan
sekitarnya mengindikasikan lokasi
pemijahan sidat antara lain di Samudra
Hindia sebelah barat Sumatra, sebelah
selatan Jawa, dan Teluk Tomini. Dari
temuan itu diperkirakan larva sidat
Indonesia perlu berenang mengarungi
laut sampai sejauh 80-800 km, dalam
waktu 5-6 bulan, untuk mencapai pantai
Gambar 7. Perubahan bentuk larva sidat
kemudian naik ke sungai-sungai. Anguilla dari tahap leptocephalus (seperti daun)
hingga menjadi elver (sidat kecil).
Bandingkan dengan larva sidat Eropa
(Anguilla anguilla) yang harus berenang sejauh 2000-8000 km dari tempat ia ditetaskan di
tengah samudra hingga ke muara sungai, atau sidat Amerika (Anguilla rostrata) yang harus
menempuh jarak 900-5500 km, dan sidat Jepang (Anguilla japonicus) yang harus berenang
sejauh 2000-3500 km.
Larva sidat yang baru ditetaskan mempunyai bentuk yang lebar seperti daun yang
pipih, transparan, serta berkepala kecil. Larva semacam ini disebut larva leptocephalus (Gambar
7). Bentuknya sangat berbeda dari induknya hingga dulu disangka adalah jenis ikan lain.
Larva-larva ini berenang mengarugi samudra ke pantai. Makin dekat ke pantai, larva ini pun

6
berubah bentuk menjadi anak-anak sidat (elver) yang masih transparan atau bening. Anehnya
perubahan ini bukannya menjadikannya makin besar dan makin panjang tetapi sebaliknya
makin langsing, makin pendek dan makin ringan. Karena masih sangat bening, mereka sering
disebut sidat kaca (glass eel). Baru di kemudian hari tubuhnya mulai mengandung pigmen dan
menampilkan warna dalam perjalanan mudik sampai ke hulu sungai. Sidat dewasa seperti pada
Anguilla marmorata bisa mencapai panjang sampai sekitar 2 m.
Penelitian mengenai telur dan larva ikan di Nusantara telah banyak dilakukan oleh
Delsman sebelum Perang Dunia II. Delsman menekuni masalah ini selama hampir 20 tahun dan
menerbitkannya dalam jurnal ilmiah Treubia dari tahun 1921 hingga 1937. Di kemudian hari
seluruh karyanya mengenai telur dan larva ikan di Laut Jawa dikumpulkan dan diterbitkan
tersendiri dengan judul Fish eggs and larvae from the Java Sea, oleh Linnaeus Press,
Amsterdam, tahun 1972. Karya besarnya ini mengantarnya sering mendapat julukan sebagai
“Bapak” kajian telur dan larva ikan. Belakangan ini peneliti Hagi Yulia Sugeha dari Pusat
Penelitian Osanografi LIPI, banyak menekuni masalah sidat dan larvanya di Indonesia.

PUSTAKA

Chong, K. C., L. R. Smith & M.S. Lizarondo. 1982. Economics of the Philippine milkfish
reserve systems. The United Nation Univesity.
Delsman, H. C. 1972. Fish eggs and larvae from the Java Sea. Linnaeus Press, Amsterdam,
225 pp.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta, 356 hlm.
Nontji, A. 2006. Tiada kehidupan di bumi tanpa keberadaan plankton. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Oseanografi, Jakarta, 248 hlm.
Sunier, A. L. J. 1921. Java Sea plankton available for investigation to specialist. Treubia 2:
154-155.
Sunier, A. L. J. 1923. The laboratory for marine investigations at Batavia. A new tropical
marine biological stations. Treubia 3: 127-148.

-----

Anugerah Nontji
09/10/2017

Anda mungkin juga menyukai