KAJIAN PUSTAKA
6
7
perutnya tidak terlihat karena melipat ke dadanya, tidak ada duri ekor dan daun
ekor, adapun kepiting jantan memiliki bentuk perut sempit dan meruncing ke
depan sedang betina melebar dan setengah lonjong, banyak ditemukan di tambak
ikan dekat pantai, hidup dalam lubang-lubang atau terdapat pada pantai-pantai
yang ditumbuhi pohon mangrove, dan memiliki warna hijau kotor.
Genus Scylla ditandai oleh bentuk karapas yang oval dengan bagian depan
yang memiliki 9 duri pada pada sisi kanan dan kiri, serta 6 duri di antara kedua
matanya (Kordi 2012). Kedua matanya menempel di tepi bagian depan karapas
yang juga dilengkapi dengan tangkai, sehingga kedua matanya dapat digerak-
gerakkan lebih leluasa. Jika ada gangguan dari luar, sebagai perlindungan
matanya ditempelkan rapat-rapat ke kelopaknya, serta di antara kedua matanya ini
terletak mulutnya (Soim 1994). Panjang karapasnya kurang lebih dua pertiga dari
lebarnya, permukaan karapasnya hampir semuanya licin kecuali pada beberapa
lekuk berbintik kasar (Kordi 2012).
Kepiting bakau jantan dewasa memiliki ukuran capit yang lebih besar
daripada betina untuk umur dan ukuran tubuh yang sama (Kordi 2012). Namun,
pada kepiting betina atau kepiting jantan muda capitnya lebih pendek
(Soim 1994). Jika dalam keadaan normal capit kanan lebih besar dari capit kiri
dengan warna kemerahan pada masing-masing ujung capit (Kasry 1991).
Kepiting bakau jantan memiliki abdomen yang berbentuk agak lancip
menyerupai segitiga sama kaki, sedangkan kepiting bakau betina dewasa memiliki
abdomen yang agak membundar dan melebar (Kordi 2012). Membedakan jenis
kelamin juga dapat dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan berat capit
terhadap berat tubuh. Kepiting jantan dan betina yang lebar karapasnya 3-10 cm
berat capitnya sekitar 22% dari berat tubuh, setelah ukuran karapasnya mencapai
10-15 cm, capit kepiting jantan menjadi lebih berat yakni 30-35% dari berat
tubuh, sementara capit betina tetap sama 22% (Soim 1994). Berikut Morfologi
kepiting bakau (Gambar 2).
8
akan melindunginya selama kurang lebih 2-4 hari sampai cangkang terlepas dari
tubuh kepiting betina. Setelah cangkang terlepas dari tubuh kepiting betina, maka
kepiting jantan akan membalikkan tubuh kepiting betina untuk melakukan
kopulasi. Proses kopulasi biasanya berlangsung selama 7-12 jam dan hanya dapat
berlangsung bila karapas kepiting betina dalam kondisi lunak. Spermatofor
kepiting jantan akan disimpan di dalam spermateka kepiting betina sampai telur
siap dibuahi. Jumlah telur yang dihasilkan dalam sekali perkawinan berkisar 2-8
juta butir telur, bergantung dari ukuran dan umur kepiting (Kordi 2012). Menurut
Nuansa (2010) sekali melakukan pemijahan kepiting betina mampu menyimpan
sperma jantan dan dapat melakukan pemijahan hingga tiga kali tanpa perkawinan
lagi. Namun, di alam bebas, jumlah larva yang mampu menjadi kepiting muda
sangat kecil karena faktor lingkungan yang tidak mendukung dan banyaknya
musuh alami. Kepiting bakau dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4
tahun, bila kondisi ekologi mendukung (Kordi 2012).
Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa
berada di perairan bakau, di tambak atau di sela-sela bakau, atau paling jauh di
sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian perairan yang berlumpur yang
organisme makanannya berlimpah. Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan
laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk tempat
melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut
(Kasry 1991). Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang
terus menerus berganti kulit sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan
pantai sampai (zoea V). Kemudian kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi
masih memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa ini, kepiting
mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai. Kemudian,
pada saat dewasa kepiting beruaya ke perairan berhutan bakau untuk kembali
melangsungkan perkawinan (Kanna 2002).
Menurut Afrianto dan Liviawati (1992) untuk menjadi kepiting dewasa,
zoea membutuhkan waktu pergantian kulit kurang lebih sebanyak 20 kali. Proses
pergantian kulit pada zoea berlangsung relatif cepat, yaitu sekitar 3-4 hari
10
(Afrianto dan Liviawaty 1992). Menurut Kasry (1991) bahwa kepiting yang akan
makan dengan cara menyerang musuhnya dengan menangkap menggunakan capit,
selanjutnya merobek-robek makanannya. Makanan tersebut akan dibawa ke mulut
dengan bantuan kedua capitnya, didalam mulut makanan tidak langsung masuk ke
dalam perut tetapi disaring dahulu dan hanya bahannya yang dapat dimakan yang
terus masuk ke dalam perut (Afrianto dan Liviawati 1992).
kepala, ekor, dan karapas (Supriyantini 2007). Menurut Wahyuni (2003) kepiting
hanya dikonsumsi dagingnya saja yang rata-rata 20% dari beratnya, sehingga 80%
berupa limbah. Hasil samping ini, di Indonesia belum banyak digunakan sehingga
hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh pada bau
yang tidak sedap dan pencemaran air yang disebabkan kandungan BOD, COD dan
TSS perairan disekitar pabrik cukup tinggi (Harianingsih 2010).
Limbah kulit udang dan kepiting mengandung konstituen utama yang terdiri
dari protein, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu, dan lain-lain
(Supriyantini 2007). Menurut Aslamyah dan Fujaya (2010), kandungan protein
cangkang kepiting 19,00%, lemak 7,00%, BETN 55,97%, serat kasar 11,50%,
abu 6,53%, dan air 7,04%. Kemudian menurut Darmawan et al. (2007) kulit
kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat (53,70-78,40%),
dan kitin (18,70-32,20%) hal ini tergantung pada jenis kepiting dan tempat
hidupnya. Hasil penelitian Lesbani et al. (2011), kadar abu cangkang kepiting
70,493%, air 8,725%, magnesium 1,136 mg/g, kalsium 0,260 mg/g, seng 0,669
mg/g, tembaga 0,004 mg/g, natrium 17,672 mg/g, silika oksida 0,018 mg/g.
Berikut ini cangkang kepiting yang di gunakan dalam penelitian (Gambar 3).
rucah bisa diperoleh di tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Ikan-ikan tersebut
biasanya secara ekonomis nilainya jauh lebih rendah dibandingkan ikan
pokoknya. Pakan alami yang diandalkan dalam budidaya sidat, kepiting bakau,
dan rajungan adalah ikan rucah seperti ikan teri (Stolephorus heterolobus, S.
baganensis, S. indicus), tembang (Sardinella fimbriata), selar (Selaroides
leptolepsis), petek/tatameri (Secutor ruconius, Gazza minuta, Leiognathus
splendens), lamuru (Sardinella sirm), dan lain-lain (Kordi 2012). Namun, dalam
penelitian ini ikan rucah yang digunakan untuk pakan pada budidaya kepiting
yaitu ikan petek. Morfologi ikan petek yaitu bentuk badan ikan agak lebar, pipih,
mulut lurus, bila ditarik ke depan membentuk corong serong ke bawah.
Kandungan nutrisi ikan petek cukup tinggi, diantaranya: kadar air (9,22%), kadar
abu (24,73%), kadar protein (54,98%), dan kadar lemak (4,51%) (Adityana 2007).
Berikut ikan rucah yang digunakan dalam penelitian (Gambar 4)
pertumbuhan tersebut. Pertumbuhan terjadi apabila ada kelebihan input energi dan
protein yang berasal dari makanan. Pada hewan krustasea tingkat pertumbuhan
dapat diukur dengan menghitung pertambahan berat atau panjang karapas
per periode waktu tertentu (Subakti 2008).
Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal.
Faktor internal merupakan faktor yang sulit dikontrol, antara lain keturunan, jenis
kelamin, umur, ketahanan terhadap parasit dan penyakit serta kemampuan
memanfaatkan makanan. Faktor eksternal yaitu makanan, kondisi fisik dan kimia
perairan, kuantitas dan kualitas pakan serta ruang gerak (Effendi 1997). Faktor
eksternal yang sangat mempengaruhi pertumbuhan adalah ketersediaan makanan.
Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan ikan untuk hidup dan
tumbuh. Menurut Zaidy (2007) pakan yang masuk ke dalam tubuh kepiting akan
digunakan sebagai sumber energi (metabolisme) untuk menggerakkan semua
fungsi tubuh dan bahan untuk pembangunan biomassa tubuh (anabolisme).
Peningkatan biomassa kepiting bergantung pada energi yang tersedia dalam tubuh
kepiting dan ke mana energi tersebut didistribusikan serta digunakan dalam tubuh.
Tingkat perkembangan pada kepiting dapat dibagi dalam tiga fase yaitu:
fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting. Pada fase larva dikenal tingkat
zoea I, II, III, IV, V dan megalopa, sedangkan pada fase kepiting dikenal dengan
tingkat kepiting muda dan kepiting dewasa. Pada fase telur, tingkatan
perkembangan indung telur merujuk pada tingkat kematangan indung telur
(Kasry 1991). Berdasarkan lebar karapasnya, tingkat perkembangan kepiting
dikelompokkan menjadi kepiting juwana, kepiting muda, dan kepiting dewasa,
yang masing-masing berukuran 20-70 mm, 70-150 mm, dan 150-200 mm
(Kordi 2012).
Jumlah makanan yang dimakan oleh seekor ikan, kurang lebih hanya 10%
saja yang dapat digunakan untuk pertumbuhan atau penambahan bobot badan,
selebihnya makanan tersebut digunakan untuk pemeliharaan tubuh atau memang
tidak dapat dicerna. Jumlah bobot makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan
atau penambahan bobot badan itu disebut nilai ubah makanan atau konversi
makanan (Mudjiman 2008).
17