Anda di halaman 1dari 14

PSIKOLOGI BELAJAR

Lisa Chairani 101301015


Juanita Sari br Tarigan 101301019
Christins Siahaan 101301107

Penguatan Berpenguat Skinner


Bayi mengocok mainan, anak lari dengan satu roda, dan ilmuan mengoprasikan siklotron-semuanya diperkuat
oleh hasil (Siknner, 1968b, h.153). Risetnya mengindikasikan bahwa keluaran yang dihasilkan oleh suatu
respon adalah peristiwa penting yang mengubah perilaku (Skinner, 1953).
Prinsip-prinsip Belajar
Defenisi belajar : pertama Skinner (1950) belajar sebagai perubahan perilaku. Belajar bukan melakukan tapi
balajar adalah mengubah apa yang kita lakukan(Skinner, 1989a, h.15).
Kunci memahami perilaku kompleks : memahami kejadian dan proses yang menyebabkan proses respon yang
diberikan. Respon-respon ini tidak secara otomatis diasosiasikan dengan stimulus tertentu. Respon itu bisa
muncul dibanyak situasi berbeda. Respon yang dimunculkan diberlakukan pada lingkunagn untuk
menghasilkan jenis konsekuensi yang berbeda yang mempengaruhi hewan atau manusia, untuk mengubah
perilaku dimasa depan. 3 komponen pentng yang diturunkan Skinner dari paradigma Thorndike adalah :
1. stimulus diskriminatif
2. respon
3. stimulus penguat
Stimulus diskriminatif adalah stimulus yang secara konsisten hadir saat suatu respon memproduksi
konsekuensi yang menguatkan. Stimuli diskriminatif sering kali berupa kejadian lingkungan dan pernyataan
verbal dari orang lain.
Kategori penguat :
Ada 3 pengklasifikasian penguatan umum :
1. penguat primer dan skunder
2. penguat umum
3. penguatan positif atau negatif
Pertama penguat primer dan skunder. Penguat primer : penguat dalam kondisi tepat, dapat meningkatkan
frekuensi perilaku tanpa pelatihan. Penguat sekunder : mendapatkan kekuatan penguatan melalui asosiasi
dengan kejadian yang telah berfungsi sebagai penguat.
Kedua penguat umum : penguat yang berfungsi dalam berbagai situasi, biasanya ada 2 penguat yang
digeneralisasikan 1. Penguatan sosial, 2. Manipulasi penguatan fisik.
Ketiga penguatan positif atau negatif : konsekuensi penguatan berfungsi. Istilah lain untuk penguatan
negatif : pengondisian penghindaran karena perilaku mempengaruhi penghindaran dari stimuli penolakan
yang diperkuat. Akan tetapi dibanyak situasi, baik itu penguatan positif maupun penguatan negatif berfungsi
memperkuat perilaku.
Sifat belajar yang Kompleks
Ada 4 faktor dalam penguasaan pola perilaku :
1. pembentukan
2. jadwal penguatan
3. konsep penguatan negatif
4. perilaku yang diatur peraturan
Pembentukan : terdiri dari serangkaian stimuli diskriminatif dan penggunaan untuk perubahan respon yang
halus. Penguatan dan kegunaan negatif : keuntungan dari penguatan rasio-variabel adalah mempertahankan
perilaku dari pelenyapan ketika penguatan jarang. Tapi jika penguatan menimbulkan kerusakan dinamakan
kegunaan negatif, contohnya : kecanduan berjudi. Perubahan perilaku terjadi karena diperkuat pada masa
lalu. Perilaku seperti itu disebut perilaku yang diatur peraturan, tapi berbeda dengan perilaku yang diatur
kemungkinan.

Prinsip Pembelajaran
Sistem pendidikan adalah sangat penting karena kesejahteraan setiap budaya tergantung pada pendidikan.
Skinner berpendapat bahwa sekolah merupakan salah satu perubahan untuk melakukan penyesuaian kecil
terhadap situasi yang ada. Skinner juga membagi beberapa aspek penting dari pembelajaran yaitu transfer
kontrol stimulus dimana guru menunjukkan contoh perilaku dan siswa menirukannya. Dalam perencanaan
pembelajaran untuk membentuk perilaku langkah pertama yaitu menspesifikasikan dengan jelas perilaku yang
hendak dipelajari kemudian mengidentifikasi keterampilan awal dari pemelajar. Dengan demikian diharapkan
dapat memberikan serangkaian penguatan untuk perilaku agar makin baik. Skinner juga mengukapkan bahwa
mesin pengajaran awal harus memberikan penguatan untuk konsekuensi langsung, Skinner menganggap
komputer sebagai mesin pengajaran yang paling ideal tetapi skinner juga memperingatkan bahwa program
komputer dapat merugikan siswa karena malah dapat mengalihkan perhatian siswa dari belajar.

Aplikasi dalam pendidikan


Metodologi skinner menjadi sangat populer seprti halnya dengan behaviorimse watson pada tahun 1920 an.
Tetapi, popularitasnya yang cepat menimbulkan banyak kesalahan aplikasi dari prinsip-prinsipnya. Banyak
program manajemen behavioral yang muncul adalah kombinasi dari pengkondisian berpengaruh dengan metode
lain. Misalnya, banyak program menggunakan prosedur time out dan response cost.
Time out itu sendiri merupakan waktu mengasingkan individu untuk sementara waktu dari latar yang memberikan
penguatan.
Response cost itu sendiri merupakan menghilangkan penguat karena perilaku yang salah dan mengharuskan
pembayaran denda. Kedua teknik ini merupakan penghilangan penguat, mereka adalah sebentuk hukuman dan
hal ini nantinya menimbulkan efek samping yaitu emosi negatif.
Selain hal ini, banyak materi individual untuk perilaku verbal meniru format stimulus-respons-tanggapan daro
pengajaran terprogram tetapi tidak meniru substansinya. Materi-materibuku ajar yang sering kita lihat yang berisi
soal melengkapi kalimat todak akan membentuk perilaku verbal. Kekecewaan para pendidik teradap program
yang dikembangkan dengan buruk dan kekakuan mesin pengajaran menyebabkan menurunnya gerakan
pengajaran terprogram.
Salah satunya yaitu program token econommy yang dibuat untuk manajemen behavioral di kelas sering hanya
fokus pada perilaku yang remeh, yang menimbulkan pendapat bahwa metodologi ini aplikasinya terbatas.
DISTAR, merupakan program komersial yang dikembangkan pada 1960 an yang berfungsi untuk mengajarkan
membaca, masih sukses untuk anak-anak yang berisiko. Sekarang program itu lebih dikenal SRA reading
mastery. Program ini sangat terstruktur dimana anak-anak diajari sesuai dengan level keterampilan mereka
masing-masing.

Isu isu kelas


Pendekatan B.F.Skinner lebih mengacu kepada konsep-konsep yang bertanggung jawab atas perubahan
perilaku. Oleh karena itu isu-isu yang penting yang dibahas merupakan isu isu yang mengenai perilaku atau
sebagai stimuli yang menimbulkan perubahan perilaku.
Karakteristik pemelajar
Perilaku tertentu yang dibawa siswa ke situasi belajar dan perilaku itu sendiri mempengaruhi siswa itu sendiri
untuk memperoleh perilaku baru.
- Perbedaan individual
Menurut Skinner, perbedaan individual dalam perilaku siswa berasal dari :
a. Bakat genetik organisme
b. Sejarah penguatan teretentu.
Contohnya :
Perilaku individu yang megalami retardasi mental adalah hasil dari warisan genetik. Namun beberapa program
terencana dapat mengembangkan keterampilan baru.
Menurut Skinner, kontingensi penguatan yang defektif dalam pengalaman individu akan menyebabkan kegagalan
bagi individu itu sendiri dalam memperleh berbagai keterampilan perilaku.
Contohnya :
Irama  beberapa individu ( ahli ketik dan musisi ) berad dibawah pengaruh penguat yang menghasilkan
pengaturan tempo yang halus. Namun perkembangan keterampilan ini dan keterampilan lainnya yang
mempengaruhi pilihan karir, minat artistik, dan partisipasi dalam olahraga, biasanya yang tidak direncanakan.
Namun, keterampilan yang oenting yang memberikan kontribusi pada perbedaan individual dapat diajarkan.
Kesiapan belajar :
Kesiapan adalah pembendaharaan perilaku yang dibawa siswa kedalam situasi belajar
Konsep kesiapan yang diinterpretasikan sebagai level usia atau kematangan tidak akan banyak membantu dalam
menentukan ada atau tidaknya keterampilan yang penting. Studi perkembangan mungkin mengindikasikan sejauh
mana perkembangan intelektual anak di dalam jadwal peristiwa.
Motivasi :
Perilaku yang megilustrasikan minat, antusiasme, apresiasi, atau dedikasi.
Seseorang yang dikatakan memiliki motivasi atau termotivasi adalah seseorang seperti siswa yang rajin dan
bersemangat, inidvidu yang menikmati “membaca buku yang baik” dan ilmuwan yang berjam-jam di laboratorium.
Aktivitas yang tetap dilakuakan tanpa danya pemberian penguatan yang nyata bukanlah hasil dari kontigensi
alamiah. Kita tidak belajar membaca karena kita tidak menikmati buku yang menarik. Konsekuensi alamiah yang
luas ini tidak cukup untuk mengembangkan dan mempertahankan perilaku yang berdidikasi . dedikasi itu sendiri
merupakan hasil dari pengungkaoan atas penguatan variabel-rasio yang ditingkatkan secara bertahap. Mula-
mula individu menerima imbalan langsung atas keterlibatannya dalam suatu aktivitas kemudian penguatan ini
secara perlahan diperjelas sampai aktivitas itu sendiri menjadi penguat sekunder.

Proses kognitif dan pengajaran .


Transfer belajar :
Eksperimen Thorndike dan Watson mengindikasikan bahwa tingkat kemiripan atas tugas yang telah diberikan
sebelumnya dan sekarang ikut memberikan pengaruh pada kinerja siswa.

Contoh :
Belajar bermain piano, yang dikatakan meningkatkan performa dalam memainkan instrumen lain. Menurut
Skinner sendiri, ketika latihan di satu area keterampilan meningkatkan performa di area lain, elemen yang sama
diperkuat.
Belajar bagaimana cara belajar :
Ketika anak merespons properti stimulus tertentu, responsnya berada di bawah kendali stimuli. Perilaku tertentu
yang biasanya diidentifikasikan dengan pemikiran harus dianalisis dan diajarkan . perilaku itu adalah perilaku
manajemen dari intelektual yang oleh Skinner disebut perilaku sebelumnya. Perilaku ini didefinisikan sebagai
perilaku yang mempengaruhi perilaku akan merespons perubahan lingkungan atau mengubah pemelajar
sehingga respons yang efektif menjadi dimungkinkan. Perilaku itu juga bersifat tertutup atau
tersembunyi (covert). Perilaku itu adalah kejadian privat yang tidak dapat dilihat. Termasuk di dalamnya
adalah :
a. Mereview fitur dari masalah tertentu atau menghitung jawaban matematika didalam hati.
b. Visualisasi masalah atau situasi di mata pikiran ( penglihatan tersembunyi )
Respons “precurrent” lainnya adalah :
a. Memerhatikan stimuli,
b. Menggaris bawahi ide-ide penting dalam materi teks
c. Menggunakan perangkat mnemonic atau petunjuk lain untuk mengingat ide-ide penting, dan
d. Menata ulang elemen-elemen didalam suatu situasi masalah sehingga solusinya bisa lebih mungkin diperoleh.
Mengajarkan pemecahan masalah :
Secara formal, pemecahan masalah didefenisikan sebagai “setiap perilaku yang, melalui manipulasi variabel-
variabel, menyebabkan kemunculan solusi lebih dimungkinkan. “kesulitan” suatu masalah bergantung pada
adanya respons dalam pengulangan subjek yang memecahkan masalah. Jika tidak ada respons yang segera
tersedia, masalahnya menjadi sulit. Untuk memaksimalkan kemungkinan respons ( solusi ) , individu harus
mengubah situasi sehingga dia dapat merespons dengan tepat. Langkah-langkah yang dapat diambil antara lain :
a. Me-review masalah secara hati-hati dan mengklarifikasi kesulitan
b. Menata ulang atau mengelompokkan ulang komponen-komponen masalah
c. Mencari kemiripan antara masalah dengan masalah lain yang tekah dipecahkan.
Individu belajar memecahkan masalah secara efektif dengan memanipulasi stimuli dan menerima penguatan
untuk perilaku itu. Penguatan untuk manipulasi situasi masalah yang efektif akan mengurangi terjadinya
kengawuran atau respons coba-coba terhadap masalah.

Implikasi untuk assessment


Fokus dari pengkondisian berpenguat adalah perubahan behavioral dan di kelas, penekanan ini sering berati
adanya perilaku verbal. Seperti yang kita tahu, pada tahun awal-awal sekolah biasanya anak belajar membaca
dan memcahkan soal aritmatika, belajar mengeja dan menyatakan makna dari kata baru, baik dalam bahas
ibunya atau bahasa asing. Dengan kata lain anak mampu merespons situasi yang berbeda dengan respons
verbal yang tepat. Selain itu, perilaku verbal pemelajar harus menjadi independen dari petunjuk dan dorongan
yang menfasilitasi tahap awal akuisisi.
Ada tiga implikasi bagai asesmen kelas yaitu :
Pertama :
Respons yang dikonstruksi siswa adalah sesuatu yang penting untuk menentukan perubahan
perilaku. Pertanyaan pilihan ganda tidak teoat karena pengenalan jawaban yang benar tidak sama dengan
mengkonstruksi respons. Alih-aluh memberikan pertanyaan kepada siswa tentang definisi dari kepadatan
penduduk, yang diikuti dengan empat pilihan jawaban, pertanyaannya sebaiknya meminta siswa untuk
mendefinisikan istilah itu dengan kalimatnya sendiri. Begitu juga dengan butir-butir yang memberikan pilihan
bacaan satu sampai tiga paragraf yang diikuti dengan pertanyaan pilihan berganda adalah bukan asesmen yang
mendukung penilaian terhadao pemahaman bacaan. Beberapa peserta kemungkinan akan langsung melihat
jawaban tanpa membaca pilihan itu dan kemudian mencari jawaban di paragraf. Dan sebaliknya, soal esai atau
menceritakan kembali, dimana pemelajar merekonstruksi dan mengurutkan elemen-elemen adalah hal yang lebih
tepat untuk dilaksanakan.

Kedua :
Konsep pembentukan perilaku dari yang sederhana menuju yang kompleks mengimplikasikan setidaknya
penilaian informal dengan umpan balik sebagai kemajuan belajar. Misalnya saat anak belajar membaca mereka
harus punya banyak kesempatan untuk membacakan teks didepan guru atau mendapat pendampingan guru.
Ketiga :
Transfer kontrol stimulus adalah prasayarat untuk perubahan behavioral. Untuk menentukan perubahan perilaku
asesmen harus merefleksikan persyaratan ini dan independen dari petunjuk belajar. Syarat ini adalah alasan dari
mengapa pertanyaan pilihan berganda tidak tepat. Perilaku memecahkan masalah karenanya tidak boleh dinilai
dalam situasi yang sama dengan yang dipakai selama belajar.

Konteks sosial untuk belajar


Penguat yang membutuhkan mediasi dari orang lain disebut sebagai penguat sosial. Kelompok ini sendiri
mencakup penguat positif dari perhatian, persetujuan dan afeksi. Dan stimuli aversif dari ketidaksetujuan, hinaan,
ejekan, dan pelecehan. Dalam latar sosial, relasi antar stimuli , respons, dan penguat adalah dinamis sekaligus
resiprokal. Misalnya dua anak didalam satu ruang dengan sedikit mainan situsi ideal untuk membentuk perilaku
yang mementingkan diri.
Perilaku di kelas juga merupakan produk dari kontingensi yang terus berlangsung dan kompleks, mencakup
situasi dimana guru dan murid saling memperkuat baik secara positif maupun negatif. Jika seorang siswa tidak
dihukum oleh kawannya karena menjawab pertanyaan guru dan diperkuat oleh guru, dia akan menjawab sesering
mungkin. Jika guru hanya memanggil siswa yang tangannya diacungkan, siswa akan mengacungkan tangan.
Demikian pula, guru yang diperkuat oleh jawaban yang benar akan memanggil siswa yang tanganya di acungkan.
Namun sebaliknya, guru yang diperkuat oleh jawaban yang salah akan melakukan kontrol aversif dan mereka
biasanya memanggil siswa yang tidak mengacungkan tangannya.
Karena itu, dalam merancang lingkungan kelas untuk memodifikasi perilaku harus mempertimbangakan
pengetahuan timbal balik dari latar sosial.

Kaitan dengan perspektif lain


Perilaku pengkondisian lebih membahas perilaku ketimbang pengetahuan atau keadaan internal : bukti dari
belajar adalah perubahan perilaku. Tindakan siswa seperti memberi kontribusi secara verbal untuk wacana
ilmiah, memanipulasi dan mengolah objek atau mengamati penguatan yang diterima orang lain bukan indikator
dari belajar kecuali itu semua merupakan perilaku baru.
Aplikasi pengkondisian berpenguat untuk prioritas perspektif teoretis lain terletak pada implementasi penguatan
untuk mengembangkan perilaku yang kompleks. Contohnya adalah meoerkuat penjelasan anak tentang langkah-
langkah pemecahan masalah mereka dan mendengarkan dengan perhatian pada strategi lain, mengembangkan
kegigihan dalam menyelesaikan tugas akademik dan memantau sendiri proses belajar seseorang.
Analisis berpenguat terhadap diskusi instrinsik atau ekstrinsik.
Pada awal 1970 an ada dua eksperimen untuk mengeksplorasi efek dari pemberian imbalan pada anak-anak
sekolah perawatan yang melakukan aktivitas sebelumnya mereka lakukan secara spontan pada waktu
bebas. Setiap anak dibawa ke ruang eksperimen secara sendiri-sendiri dan diminta menggambar beberapa
lukisan untuk orang penting yang berkunjung ke sekolah. Dalam kondisi eksperimental enam menit, beberapa
anak juga diberitahu mereka akan mendapatkan sertifikat Good player. Dalam situasi yang lain, anak hanya
menerima sertifikat atau diberi ucapan terima kasih. Periset mengatakan bahwa observasi pasca sesi eksperimen
mengindikasikan bahwa persentase rata-rata waktu pilihan bebas yang dihabiskan untuk melukis oleh anak yang
diberitahu tentang peghargaan secara signifikan lebih sedikit ketimbang dua kelompok anak lainnya. Namun,
karena tidak ada data dasar untuk waktu bebas yang dihabiskan si anak, tidak bisa dibuat inferensi atau
kesimpulan tenatng penurunan atau penambahan. Periset secara kerilu menyimpulkan bahwa penawaran dan
pemberian sertifikat akan melemahkan minat anak dalam aktivitas itu dan sekolah seharusnya menghindari
imbalan ekstrinsik itu.
Pertama :
Menurut pengkondisian berpenguat, tawaran sertifikat dan penerimaan kondisi itu oleh isi anak untuk ativitas
menggambar itu merupakan kontrak pra eksperimen antar periset dengan anak.
Kedua :
Dengan tidak adanya data basis mengenai waktu bebas yang dipakai untuk mewarnai, tidak bisa diambil
kesimpulann tentang apakah waktu menggambar pasca eksperimen bertambah atau berkurang .
Ketiga :
Contoh ini merupakan salah satu implementasi dari keluaran tertentu, sedangkan oerubahan perilaku biasanya
melibatkan lebih dari satu sekuensi stimulus diskriminasi respons keluaran.
Keempat :
Perilaku gigih yang dilakukan tanpa adanya penguat yang nyata adalah berada di bawah kontrol stimuli
diskrimintaif interna dan atau penguat natural.
Terakhir :
Guru tidak meimplementasikan penguat konkret untuk ativitas dimana siswa sudah menunjukkan minatnya.

Mengembangkan strategi kelas.


Guru dapat menggunakan prinsip-prinsip Skinner dengan tiga cara :
a. Menggunakan stimuli diskrimintaif dan penguatan dalam interaksi dalam kelas secara tepat.
b. Implementasikan langkah-langkahh pembentukan didalam pengajaran
c. Susun materi pengajaran yang diindividualisasikan .
Mengembangkan iklim kelas yang positif.
Pendekatan yang jelas seperti ketegasan tindakan, mungkin diperlukan dalam kelas yang sangat ribut. Namun,
dalam hal ini guru dapat membuat transisi dari hukuman ke penguatan positif denagn satu perubahan sederhana
– dengan merespons kesuksesan siswa ketimbang kegagalan siswa. Daripada menunjukkan apa kesalahan
siswa lebih baik tunjukkan lah apa yang telah mereka lakukan dengan benar. Dan hasilnya nantinya akan berupa
situasi kelas yang membaik dan pembelajaran yang lebih efisien.
Pengaplikasian teknologi yang dikembangkan oleh Skinner di kelas dapat menggunakan langkah-langkah sebagai
berikut :
o Langkah 1. Analisis lingkungan kelas sekarang
 Apa perilaku siswa yang positif yang baru baru ini menerima penguatan di kelas? Apa perilaku negatifnya
menerima penguatan?
 Perilaku mana yang baru-baru ini dikenakan hukuman di kelas ?
 Bagaimana frekuensi hukumannya?
o Langkah 2. Buat daftar penguat positif potensial.
 Apa aktivitas yang disukai siswa?
 Manakah diantara perilaku yang kena hukuman seperti yang diidentifikasi dalam langkah sebelumnya yang dapat
dipakai sebagai penguat?
 Aktivitas mana yang anda lihat dalam latar alamiah yang mungkin berfungsi sebagai penguat positif untuk
perilaku lain?
o Langkah 3. Memilih sekuensi perilaku yang akan diimplementasikan awal di kelas.
 Mana diantara perilaku yang dihukum yang diidentifikasi di langkah pertama yang jarang direkstrukturisasi dalam
bentuk perilaku positif?
 Mana diantara perilaku positif yang akan diidentifikasi di langkah pertama yang jarang terjadi?
 Apa stimuli diskriminatif awal yang akan digunakan?
o Langkah 4. Implementasikan sekuensi perilaku, menjaga catatan anekdotal dan membuat perubahan jika
diperlukan.
 Apakah aturan untuk perilaku kelas cukup jelas dan konsisten?
 Apakah metode untuk mendapatkan penguatan cukup jelas dan apakah penguatan telah diberikan untuk perilaku
yang sudah membaik.
 Apakah setiap anak memiliki kesempatan untuk mendapatkan penguatan atas perubahan perilaku?
 Setelah oerubahan perilaku awal, apakah penguatan diberikan setelah interval yang lama dan penguat lain juga
diimplementasikan?

Pemrograman pengajaran
Langkah-langkah berikut ini direkomendasikan dalam mengembangkan program respon yang terstruktur :
o Langkah 1. Identifikasi keterampilan akhir yang akan dikuasi dan menganalisis pokok pelajaran yang akan
dipelajari.
 Apa sifat dari perilaku akhir?
 Apa istilah atau defenisi yang harus dipelajari untuk mendapatkan keterampilan itu?
 Apa tipe contoh yang harus direspons siswa selama belajar ?
o Langkah 2. Mengembangkan sekuensi frame awal dan konfirmasi respons.
 Informasi apa yang harus ditempatkan dalam frame pertam untuk memicu respons?
 Apa urutan respins logi yang dapat diharapkan dari siswa?
 Apa sekuensi stimuli diskriminatif yang bergerak maju dari yang sedrhana ke yang kompleks yang dapat
memebrikan transfer kontrol stimuli?
o Langkah 3. Review sekuensi frame, tata ulang juga perlu
 Apakah urutannya bergerak maju dari sedrhana ke kompleks?
 Apakah dukungan secara bertahap dihilangkan dalam urutan itu ?
 Apakah siswa memberi respons pada konten yang bermakna atau yang trivial
o Langkah 4 . implementasikan pengajaran pada beberpa siswa dan revisi jika perlu.
 Apakah ada siswa yang mengalami kesulitan dengan frame?
 Apakah siswa melewati sistem frame, peroleh jawaban yang benar hanya dengan membaca bagian dari frame?
 Apakh programnya menyebabkan penguasaan performa pada kriteria pascates?
Model Pembelajaran Kontrol Diri

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kontrol/pengendalian diri bisa diterjemahkan sebagai pakem yang akan menjadi rem terhadap perilaku
tertentu. Kaitannya dalam pembelajaran, model ini bisa menjadi salah satu cara membentuk perilaku peserta
didik terhadap kompetensi dasar tertentu. Tapi tanpa adanya kontrol diri, maka siswa bisa saja terkesan tidak
serius dan main-main. Hal ini disebabkan tidak semua siswa mampu membentuk perilaku baru secara serta
merta.
Diperlukan adanya suatu model atau pendekatan yang dapat membentuk perilaku yang baik karena
menurut beberapa ahli, perilaku bisa didapat melalui belajar.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan kontrol/pengendalian diri?
2. Apa yang dimaksud dengan pendekatan belajar kontrol/pengendalian diri (control self learning)?
3. Bagaimana penerapan model belajar kontrol/pengendalian diri (control self learning)?
4. Apa tujuan dan asumsi belajar kontrol/pengendalian diri?
5. Bagaimana sintax dalam model belajar kontrol/pengendalian diri?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui maksud dari kontrol/pengendalian diri dan kaitannya dengan pembelajaran.
2. Untuk mengetahui penerapan model belajar kontrol/pengendalian diri (control self learning).
3. Mengetahui tujuan dan asumsi model belajar kontrol/pengendalian diri (control self learning).
4. Mengetahui sintagmatik model pembelajaran kontrol/pengendalian diri(control self learning).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kontrol Diri
Hurlock (1990) mengatakan kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi
serta dorongan-dorongan dalam dirinya. Kemudian Kazdin (1994) menambahkan bahwa kontrol diri
diperlukan guna membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan membantu mengatasi
berbagai hal merugikan yang dimungkinkan berasal dari luar. Menurut Chaplin (2001) kontrol diri adalah
kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri dalam artian kemampuan seseorang untuk menekan atau
merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsif. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kontrol diri merupakan
upaya dari dalam diri seseorang untuk membentuk tingkah laku positif dan mengurangi tingkah laku yang
negatif.
Kontrol diri ini dapat diterapkan pada sebuah model pembelajaran yang dinamakan dengan model
kontrol diri. Tujuannya adalah agar pendidikan bukan hanya menciptakan pengetahuan saja, tapi juga mampu
membentuk perilaku positif dari sebuah pembelajaran melalui pengkontrolan diri pada perilaku yang negatif.

B. Pendekatan Belajar Kontrol/pengendalian Diri (learning self control)


Skinner, bapak teori pengolahan perilaku dalam konsepnya tentang operant conditioning, telah
memberikan sumbangan yang besar dan luas dalam pendekatan ini. Pendekatan ini bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berperilaku di berbagai kelompok sosial.
Pendekatan belajar control/pengawasan diri bertolak dari keyakinan bahwa perilaku peserta didik
merupakan hasil belajar (learned). Karena itu peserta didik harus diberi kemudahan untuk belajar bagaimana
bertanggung jawab secara moral atas lingkungan personal dan sosial memahami dirinya secara utuh.
Pendekatan ini digunakan oleh guru untuk menciptakan lingkungan belajar yang produktif dan
menghindarkan peserta didik dari keengganan untuk melibatkan diri dalam kesempatan belajar yang tersedia
secara umum. Peserta didik yang suka mengganggu temannya, dapat belajar secara lebih produktif untuk
berhubungan dengan temannya. Kemudian peserta didik yang memiliki rasa takut terhadap mata pelajaran
tertentu, dapat belajar bagaimana menghilangkan rasa takut itu dengan membangun perasaan yang tegar
(affirmatif).

C. Model Kontrol/pengendalian Diri


1. Tujuan dan Asumsi
Para Teoretis perilaku melihat perilaku sebagai fungsi dari lingkungan langsung yang secara khusus
memberikan rangsangan dan penguatan. Ciri yang paling esensial ialah hubungan antara respon dan stimulus
yang diberi penguatan. Penguatan hanya diberikan apabila telah ada respon. Kondisi ini disebut “contingent”
atau tergantung pada pengelolaan ketergantungan pada atau “contingency management” yang menjadi ini dari
model Kontrol Diri, merupakan usaha yang sistematis untuk memberikan rangsangan yang bersifat
menguatkan yang diberikan pada saat-saat tertentu setelah munculnya respon. Orang yang membangun
hubungan kontingensi antara stimulus dan respon ini harus menyadari akan adanya respon yang memang
diinginkan dan yang tidak diinginkan. Disamping itu juga harus disadari bahwa stimulus yang bersifat
menggali respon sangatlah penting.
Pengelolaan proses kontingensi ini bertolak dari prinsip “operant conditioning”. Dalam prinsip ini
terlibat peranan “reinforcer” yaitu sesuatu yang dapat mempertinggi respon. Respon yang diharapkan dapat
diberikan penguatan yang bersifat positif maupun negatif. Penguatan positif ialah tanggapan yang diberikan
yang bersifat menambah sesuatu pada suasana, seperti dengan tersenyum, atau mengacungkan ibu jari.
Peguatan dianggap negatif bila yang diberikan itu mengurangi suasana yang ada yang melahirkan respon.
Penguatan dapat bersifat material, sosial, dan aktivitas.
Tujuan utama dari program pengelolaan kontingensi ialah dapat ditransfernya suatu perilaku kedalam
situasi yang lain. Termasuk dalam tujuan ini adalah keawetan atau “durability” dari perilaku. Perilaku baru
yang diadaptasikan selanjutnya akan menjadi bagian intrinsik dibawah kontrol diri dan pemantauan
perseorangan. Pengelolaan kontingensi ini dapat digunakan untuk mengurangi perilaku yang salah kaprah atau
“maladaptive behavior” dan model perilaku yang digunakan untuk mengembangkan keterampilan yang
baru. Model ini terutama, sangat tepat digunakan untuk mengembangkan perilaku baru seperti: keterampilan
akademis, keterampilan sosial, dan keterampilan mengelola diri. Selain itu dapat juga digunakan sebagai alat
untuk mengubah respon yang bersifat emosional, seperti rasa takut atau rasa cemas.

2. Sintaks
Model ini memiliki lima tahap (Joyce dan Weil,1986:347) seperti berikut :
Tahap pertama: Perumusan performansi akhir
1. Mengidentifikasi dan mendefinisikan perilaku yang menjadi sasaran,
2. Merumuskan secara khusus perilaku akhir
3. Mengembangkan rencana untuk mengulur dan mencatat perilaku.

Tahap kedua: Mengkaji perilaku


Mengamati, dan mencatat kekerapan perilaku dan jika perlu, hakikat dan konteks dari perilaku itu.

Tahap ketiga: Merumuskan Kontingensi


1. Membuat keputusan mengenai lingkungan
2. Memilih sarana penguat atau “reinforcers” dan pola pemberian penguatan,
3. Menuntaskan perencanaan bentuk perilaku akhir.
Tahap keempat: Melembagakan Program
1. Menata lingkungan,
2. Memberikan pengantar bagi para pelajar
3. Memelihara penguatan dan melaksanakan jadwal atau pola penguatan

Tahap kelima: Mengevaluasi Program


1. Mengukur respon yang diharapkan,
2. Membangun kembali kondisi yang lama, mengukur dan mengembalikan para program kontingensi.

3. Sistem Sosial
Sistem sosial yag perlu dibangun untuk perilaku yang khusus lebih bersifat sangat terstruktur. Guru
berfungsi sebagai pengendali sistem penguatan dan lingkungan. Aspek sosial dari model ini lebih bersifat
kesepakatan, dalam arti sambil berjalan dapat ditumbuhkan. Demikian juga dalam pola dan dan jadwal
pemberian penguatan, guru dapat melakukan kesepakatan dengan para pelajar.

4 Prinsip Pegelolaan/Reaksi
Prinsip pengelolaan/reaksi guru terhadap para pelajar didasarkan pada prinsip “operant
conditioning” dan pengelolaan kontingensi. Secara umum, perilaku yang tidak tepat kadang-kadang
diabaikan. Sedangkan perilaku yang diinginkan seyogianya dikuatkan.

5 Sistem Pendukung
Sarana yang diperlukan untuk melaksanakan model ini bervariasi dari situasi kesituasi. Program yang
bersifat sederhana mungkin tidak memerlukan sarana pendukung. Sedang program yang bersifat kompleks,
memerlukan perencanaan dan alat yang lebih memadai. Guru yang mengembangkan program ini perlu
melakukan perencanaan yang cermat,teliti dan sabar.
Model lain yang berkenaan dengan pengelolaan perilaku ini ialah Model “self-control”. Prinsip-prinsip
“operant conditioning” yang dipakai dalam “contingency model” juga digunakan dalam model ini, terutama
mengenai pengendalian stimulus dan penguatan yang bersifat positif. Perbedaannya, dalam model ini peranan
utama lebih banyak pada partisipan. Kunci utama dalam model ini ialah dalam pengendalian rangsangan yang
berbentuk mengubah lingkungan. hal ini dapat dilakukan secara fisik seperti dengan mematikan televisi yang
sedang ditonton. Dalam membangkitkan rangsangan, dapat digunakan respon yang paling berbeda atau
bertentangan dengan pemikiran. Proses pembentukan perilaku sama-sama berlaku dalam model kontrol diri
ini.
Sintaks
Model ini memiliki empat tahap seperti berikut (Joyce dan Weil,1986:363)
Tahap pertama: Memperkenalkan prinsip berlaku
1. Mengkomunikasikan prinsip bahwa kontrol diri merupakan fungsi dari lingkungan
2. Menjelaskan prinsip-prinsip khusus pengontrolan diri
3. Membangun kemauan untuk berpartisipasi

Tahap kedua: Membangun Landasan Berpijak


1. Merumuskan dengan jelas target perilaku yang khusus
2. Menetapkan langkah dan jadwal pengukuran
3. Melakukan pengukuran, mencatat kendali rangsangan, memberikan penguatan, dan memberikan respon yang
menantang.
Tahap ketiga : Menyusun Program kontrol diri
1. Menetapkan lingkungan yang akan menjadi rangsangan, dan penguat yang akan dipakai.
2. Merumuskan tujuan jangka pendek dan jangka panjang
3. Membuat program tertulis, dan
4. Melakukan kesepakatan melalui pertemuan yang dijadwalkan.
Tahap keempat: Memantau dan memperbaiki Program
1. Melibatkan para pelajar dalam program.
2. Melakukan pertemuan periodik dengan guru pelatih untuk mereview kemajuan yang dicapai dan memperbaiki
program, jika memang diperlukan.
Sistem Sosial
Model ini memiliki struktur yang moderat sampai pada struktur yang rendah. Walaupun guru memiliki
peranan dalam mengambil inisiatif, pada akhirnya para pelajar yang melakukan pengendalian dan
pemeliharaan berjalannya kegiatan-kegiatan. Dari kegiatan-kegiatan itu, mungkin sebagian melakukan secara
mandiri, sebagian lagi secara bersama. Yang harus dicatat, ialah bahwa dalam model ini program yang
dilaksanakan merupakan hasil kesepakatan guru dan para pelajar.

Prinsip Pengelolaan/Reaksi
Guru dalam model ini memilki peranan peting yang menentukan dalam keseluruhan program. Secara
rinci, dapat dikemukakan bahwa guru seyogianya:
1. Memberi semangat kepada para pelajar
2. Menyadari kelemahan dari lingkungan yang dijadikan rangsangan.
3. Menjamin tersusunya rencana yang realistik,
4. Membantu para pelajar dalam menerapkan prinsip perilaku tertentu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kontrol/pengendalian diri merupakan upaya dari
dalam diri seseorang untuk membentuk tingkah laku positif dan mengurangi tingkah laku yang
negatif. Learning self control digunakan sebagai salah satu model pembelajaran yang dapat merubah atau
memperbaiki perilaku pebelajar.

B. Saran.
Kepada semua tenaga pendidik yang berkecimpung di dunia pendidikan hendaknya dalam menghadapi
tingkah laku siswa yang terindikasi selalu melakukan hal-hal yang negative dalam pembelajaran di kelas
sebaiknya gunakanlah model pembelajaran self control ini, karena model ini cocok dan mudah serta
berpotensi untuk dapat merubah perilaku siswa yang kurang baik atau negative.

DAFTAR PUSTAKA

Chaplin,J.P.(2006). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.


Dahlan, M. D.(1990). Model-Model Mengajar. Bandung: CV. Diponegoro.
Joyce, Bruce, Weil Marsha, and Emily Calhoun. 2009. Model’s of Teaching (Model-model Pengajaran). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran tersedia pada http:// repository.
upi.edu/operator/upload/s_ind_034158_chapter2.pdfdiakses (14/01/2013).
Sakdiahwati.(2008). Penerapan Metode belajar dalam Kreativitas Menulis. Tersedia
pada.http://www.puslitjaknov.org/data/file/2008/makalahpeserta/73Sakdiahwi.pdf. diakses (14/01/2013).
Winataputra, Udin S.,(2005) Model-Model Pembelajaran Inovatif, Jakarta, PAU-PPAI-UT
Skinner,B.F, (1969) Contingencies of Reinforcement,USA, appelton century pub

Anda mungkin juga menyukai