Anda di halaman 1dari 7

A.

Biografi Ivan Illich

Ivan Illich lahir di Wina. Ayahnya, Ivan Peter, adalah seorang insinyur
sipil. Ini berarti bahwa Ivan Illich, bersama dengan adik, saudara kembar
bisa hidup nyaman, bersekolah di sekolah yang baik dan bepergian di
Eropa. Illich adalah seorang mahasiswa di Piaristengymnasium di Wina
dari 1936 sampai1941, namun diusir oleh Nazi pendudukan pada tahun
1941 karena ibunya keturunan Yahudi sementara ayahnya adalah seorang
Katolik Roma. Sejak saat itu Ivan Illich berpindah-pindah dari suatu
tempat ke tempat lain dan hanya memiliki sedikit harta. Ia menyelesaikan
sekolah menengah di Florence, dan kemudian melanjutkan studi histologi
dan kristalografi di Universitas Florence. Pada saat itu Ivan Illich
memutuskan untuk masuk dan mempersiapkan diri untuk menjadi imamat.
Dia belajar teologi dan filsafat di Universitas Gregoriana di Roma (1943-
1946). Pada tahun 1951 ia menyelesaikan gelar PhD di Universitas
Salzburg (eksplorasi sifat pengetahuan sejarah). Salah satu warisan
intelektual dari periode ini adalah pemahaman yang berkembang tentang
pelembagaan gereja di abad ke-13 dan ini membantunya untuk membentuk
dan menginformasikan kritik di kemudian hari. Setelah menyelesaikan
PhD-nya Ivan Illich mulai bekerja sebagai imam (Pasteur) di Washington
Heights, New York. Dia bekerja di sana sampai 1956. Jemaatnya sebagian
besar berkebangsaan Irlandia dan Puerto Rico. Di Washington Heights,
Ivan Illich segera berbicara keluar tentang budaya Puerto Rico, 'dan
melawan "kebodohan budaya" pada bagian dari budaya dominan'. Dia
fasih dalam bahasa Spanyol dan beberapa lainnya (selama hidupnya ia
bekerja dalam 10 bahasa yang berbeda).1

B. Kritik Ivan Illich Tentang Sekolah Formal

1
Zulfatmi. “REFORMASI SEKOLAH”. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XIV, No. 1, Agustus 2013
hlm 223-224
Selama beberapa generasi, kita telah berusaha menjadikan dunia sebagai
tempat yang lebih baik dengan cara menyediakan makin banyak
persekolahan. Tapi sejauh ini usaha itu kandas.2
Banyak murid, khususnya yang miskin, secara intuitif tahu apa yang
dilakukan sekolah pada mereka. Sekolah membuat mereka tidak mampu
membedakan proses dari substansi begitu kedua hal ini – proses dan
substansi- dicampur adukkan, muncul logika baru, semakin banyak
pengajaran semakin baik hasilnya; atau, menambah materi pengetahuan
akan menjamin keberhasilan. Akibatnya, murid menyamakan begitu saja
pengajaran dengan belajar, naik kelas dengan pendidikan, ijazah dengan
kemampuan, dan kefasihan berceloteh dengan mengungkapkan sesuatu
yang baru.3
Bertambah banyaknya jumlah sekolah sama buruknya dengan bertambah
banyaknya senjata, walaupun kurang begitu kelihatan. Dimana- mana
didunia ini biaya sekolah meningkat jauh lebih cepat dari pada jumlah
murid baru dan jauh lebih cepat dari pada pendapatan nasional bruto;
dimana-mana pengeluaran sekolah bahkan tetap tidak mencukupi dan
tidak sebagaimana yang diharapkan orangtua, guru dan murid.4
Sekolah tidak mengembangkan kegiatan belajar ataupun mengajarkan
keadilan, sebab para pendidik lebih menekankan pengajaran yang sudah
dijadikan paket-paket bersama dengan sertifikat. Disekolah kegiatan
belajar dan penentuan peran sosial dilebur jadi satu. Padahal, belajar
berarti memperoleh keterampilan atau wawasan baru, sedangkan promosi
peran atau jenjang sosial tergantung pada pendapat yang dibentuk oleh
orang-orang lain. Belajar sering merupakan hasil dari pengajaran, tetapi
seleksi untuk menduduki suatu peran atau jabatan dalam pasar kerja
semakin tergantung pada sekedar lama tidaknya mengikuti pendidikan
disekolah.5

2
Paulo Freire dan Ivan Illich dan Erich Fromm dkk, MENGGUGAT PENDIDIKAN (Yogyakarta
PUSTAKA PELAJAR 2015) Hlm 517
3
Ivan Illich, Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah (Jakarta YAYASAN OBOR
INDONESIA 2000) hlm 1
4
Ibid hlm 13
5
Ibid hlm 15
Dimanapun sekolah berada, kurikulum tersembunyi selalu sama.
Kurikulum itu menuntut agar semua anak berumur tertentu berkumpul
dalam kelompok-kelompok sekitar 30 orang, dibawah bimbingan seorang
guru berijasah, untuk belajar selama 500 hingga 1000 jam atau lebih
pertahun. Tak jadi soal apakah kurikulumnya dirancang untuk
menanamkan prinsip-prinsip fasisme, liberealisme, katolikisme,
sosialisme, atau isme-isme apapun lainnya. Tak ada bedanya sang guru
otoriter ataukah parmisif. Yang terpenting para murid belajar bahwa
pendidikan hanya berharga bila diperoleh lewat sekolah, lewat proses
konsumsi berjenjang (kelas 1, naik kelas 2, dst) para murid belajar bahwa
derajat keberhasilan individu yang akan dinikmati dimasyarakat
bergantung pada seberapa besarkah ia mengonsumsi pelajaran; bahwa
belajar tentang dunia lebih bernilai ketimbang belajar dari dunia.6
Sampai sekarang sekolah membatasi kompetensi guru hanya sebatas
wilayah kelas. Sekolah menghalangi guru mengklaim keseluruhan
kehidupan manusia sebagai wilayahnya. Bila sekolah dihapus, rintangan
ini hilang dan seolah ada pembenaran bagi invasi pedagogis atas privasi
tiap orang seumur hidup mereka masing-masing.Ia akan membuka pintu
bagi sejumlah pengetahuan yang morat marit di pasar bebas, yang akan
membawa kita semua ke sebuah paradok meritokrasi (sistem penjenjangan
berdasarkan prestasi) yang vulgar yang mesti terasa seakan egaliter. Jika
konsep tentang pengetahuan itu tidak diubah, penghapusan sekolah akan
diikuti perkawinan antara system meritokratis yang makin tumbuh-
memisahkan belajar dari perijazahan –dengan masyarakat yang
berkomitmen terhadap penyediaan terapi bagi setiap orang sampai mereka
mencapai kematangan untuk masuk zaman keemasan.7
Dengan berbagai kritik yang dilontarkan maka dalam pandangan Ivan
Illich harus ada model pendidikan baru sebagai solusi alternatif.
Pendidikan alternatif tersebut diistilahkan dengan opportunity web
(jaringan kesempatan)

6
Paulo Freire dan Ivan Illich dan Erich Fromm dkk, MENGGUGAT PENDIDIKAN (Yogyakarta
PUSTAKA PELAJAR 2015) Hlm 519
7
Ibid Hlm 524-225
C. Pendidikan Alternatif Berbasis Opportunity Web dalam Pandangan
Illich
Suatu sistem pendidikan yang baru dalam pandangan Illich harus
berorientasi pada tiga tujuan utama Menurut Illich sistem pendidikan yang
baik dan membebaskan harus mempunyai 3 (tiga) tujuan, yaitu:
1. Pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua orang
untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada
setiap saat.
2. Pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin
memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dengan
mudah, demikian pula bagi orang yang ingin
mendapatkannya.
3. Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan
dengan pendidikan.
Dari ketiga tujuan tersebut dapat disimpulkan tujuan pendidikan bagi illich
adalah terjaminnya kebebasan seseorang untuk memberikan Ilmu dan
mendapatkan Ilmu. Karena memperoleh pendidikan dan Ilmu adalah hak
dari setiap warga negara dimanapun.8
Opportunity Web adalah cara-cara khusus yang dipakai untuk memberi
akses pada setiap dari empat sumber jaringan. Illich memiliki keyakinan
bahwa tidak lebih dari empat atau bahkan tiga saluran khusus ini dapat
menampung semua sumber daya yang dibutuhkan untuk kegiatan belajar
secara benar dan sesuai dengan hakikat pendidikan yang semestinya, yang
memungkinkan setiap siswa atau murid untuk bisa mengakses pada
sumber-sumber pendidikan manapun yang bisa membantu dirinya untuk
menentukan dan mencapai tujuannya sendiri.9
1. Jasa Referensi pada Objek-Objek Pendidikan
Jasa ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesenjangan antara
anakanak orang kaya dan anak-anak orang yang miskin dalam akses
mereka terhadap barang-barang yang dijadikan sebagai objek

8
Arif Wibowo ,”PENDIDIKAN ALTERNATIF BERBASIS OPPORTUNITY WEB”. Jurnal
Tawadhu Vol. 2 no. 2, 2018 Hlm 517
9
Ibid hlm 518
pendidikan. Illich mengandaikan jika masyarakat terbebas dari sikap
yang mendewakan sekolah, maka kecenderungan orang atau siswa
yang selama ini anti pada perpustakaan, laboratorium, dan objek-objek
pendidikan yang lain yang selama ini dibenci oleh siswa karena identik
dengan kerja sekolah. Untuk itu lingkungan-lingkungan pendidikan
tersebut harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dijangkau oleh
semua pihak yang menginginkan belajar, tidak terpaku pada suatu
kurikulum yang pada akhirnya hanya membawa dampak yang buruk
dan sekedar menyingkirkan dari lingkungan umum dan pada akhirnya
dapat merusak sikap. Kalau tujuan dari kegiatan belajar tidak lagi
didominasi oleh sekolah dan guru sekolah, pasar untuk para pelajar
akan jauh lebih beragam dan batasan mengenai “barang artifak untuk
pendidikan” akan kurang dibatasi. Dengan demikian akan ada toko
peralatan, perpustakaan, laboratorium, dan ruang bermain.
Laboratorium foto dan percetakan offset akan memungkinkan surat
kabar dilingkungan itu tumbuh subur, berbagai tempat-tempat yang
menjadi pusat belajar akan bisa saling bersaing antara satu sama lain.
Tenaga-tenaga profesional yang dibutuhkan untuk jaringan ini akan
jauh lebih mirip sebagai penjaga, pemandu museum, atau tenaga
perpustakaan daripada sebagai Guru.
2. Pertukaran Ketrampilan
Yang dimaksud adalah orang yang mempunyai ketrampilan dan ingin
mendemonstrasikan keterampilan tersebut dalam praktek. Demonstrasi
semacam ini sering merupakan sumber yang niscaya bagi seorang
pelajar, penemuan-penemuan modern memungkinkan kita untuk
memasukkan demonstrasi-demonstrasi itu dalam tape, film, atau kartu,
kalau sekarang mungkin bisa diakses dengan mudah dalam you tube
dalam internet. Namun orang sering berharap agar demonstrasi pribadi
akan tetap terbuka untuk umum, terutama dalam soal ketrampilan
dalam bidang komunikasi. Yang menyebabkan ketrampilan menjadi
langka dalam pasar pendidikan dewasa ini menurut Illich adalah
persyaratan kelembagaan bahwa orang -orang yang bisa
mendemonstrasikan ketrampilan tersebut tidak boleh melakukan itu
kecuali mereka dipercaya oleh masyarakat melalui sebuah sertifikat.
Singkatnya, andaikan batasan tersebut tidak dibatasi oleh sertifikat
tentu orang yang mau memperlihatkan dan mendemonstrasikan
ketrampilan mereka akan lebih banyak. Seseorang yang memiliki
ketrampilan perlu dirangsang untuk memberikan pelayanan kepada
seorang murid. Paling tidak ada dua cara sederhana untuk mulai
menyalurkan dana masyarakat bagi mereka yang tidak memiliki ijazah
akan tetapi memiliki ketrampilan. Salah satu cara adalah
melembagakan pertukaran ketrampilan dengan menciptakan pusat-
pusat ketrampilan gratis yang terbuka bagi masyarakat luas.
3. Mencari Teman Sebaya yang Cocok
Murid yang berminat dapat memperkenalkan dirinya dengan
memberikan nama dan alamatnya serta menguraikan kegiatan yang
ingin dijalankannya dan yang untuk hal tersebut dirinya mencari
teman. Sebuah komputer akan mengirim kembali kepadanya nama dan
alamat semua orang yang memasukkan uraian data yang sama. Apa
lagi diera teknologi informasi seperti sekarang ini yang hampir
menyeluruh disemua lapisan masyarakat ditambah berbagai sarana
komunikasi melalui aplikasi media sosial tentu akan mudah dalam
mengelola untuk menemukan teman sebaya yang cocok dari berbagai
penjuru terhadap teman lain yang memiliki keinginan yang sama untuk
mempelajari pengetahuan sesuai minat dan bakat mereka. Fasilitas dari
upaya mencari teman sebaya yang cocok harus tersedia bagi individu-
individu yang ingin memgumpulkan orang semudah kentongan di desa
memanggil penduduk setempat untuk berkumpul. Dengan sistem ini
Guru atau Pendidik bisa dibayar sesuai dengan jumlah murid yang
berhasil dikumpulkannya selama dua jam penuh.
4. Pendidik-Pendidik Profesional
Peran pemrakarsa atau pemimpin pendidikan, sang Guru atau
pemimpin Sejati “profesional” agak lebih eksklusif dari pada peran
sebagai administrator pendidikan atau ahli pendidikan. Peran tersebut
tidak sekedar bertindak tepat akan tetapi bagaimana mereka mampu
terlibat dan melibatkan siswa dalam setiap mencapai tujuan yang
hendak dicapai sehingga murid dapat ikut mengambil peran,
mengkritisi, menganalisa ibarat belajar sejarah mereka tidak hanya
sekedar membaca sejarah akan tetapi menelusuri, meneliti sekaligus
menciptakan sejarah baru. Hubungan sang guru dan murid atau
pengikut dalam kegiatan belajar tidak dibatasi dengan disiplin
intelektual.10

10
Ibid hlm 518-522

Anda mungkin juga menyukai