Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Barcode ditemukan pada tahun 1949 oleh dua orang Amerika, yaitu Bernard Silver
dan Norman Joseph Woodland. Meski barcode telah dipatenkan pada 7 Oktober 1952,
tetapi sistem barcode dengan garis linier hitam-putih mulai digunakan secara komersial
lima belas tahun kemudian. Dari beberapa sistem barcode yang telah digunakan, hanya
Universal Product Code (UPC) yang terdiri dari 12 angka yang dipakai oleh banyak
industri. Barcode yang digunakan Indonesia adalah sistem European Articles Numbering
(EAN) yang memiliki 13 digit yang terdiri dari 12 angka dan 1 cek digit. Semua produk
barcode diatur oleh menteri perdagangan dunia. Setiap negara memiliki kode barcode
sendiri sehingga tidak tertukar dengan negara lain (Hebert et al., 2003).

Teknologi DNA barcoding telah dikembangkan untuk mengidentifikasi dan


menganalisis keragaman genetik spesies baik hewan maupun tumbuhan secara molekuler
yaitu dengan menggunakan sekuens/potongan DNA pendek. Untuk barcoding,
standardisasi ini dapat mempercepat pembentukan dan konstruksi pustaka sekuens DNA
yang komprehensif dan konsisten sehingga dapat menjadi teknologi yang ekonomis untuk
identifikasi spesies. Harapannya adalah setiap orang kapanpun dan di manapun dapat
mengidentifikasi spesies dari spesimen secara cepat dan akurat bagaimanapun kondisi
spesimen tersebut. Daftar spesies di dunia yang sudah ter-barcode tersimpan dalam
Barcode of Life Database yang data sekuens-sekuensnya dapat diakses melalui GenBank

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan DNA Barcode?
2. Bagaimanakah metode kerja dari DNA Barcode?
3. Apa saja contoh dari DNA Barcode?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai DNA Barcode
2. Untuk mengetahui metode kerja dari DNA Barcode
3. Untuk mengetahui contoh dari DNA Barcode

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian DNA Barcode

Barcode DNA adalah sistem yang dirancang untuk memberikan identifikasi


spesies yang akurat, cepat dan dapat diotomatisasi dengan menggunakan daerah gen yang
pendek dan standar sebagai penanda spesies internal. Awalnya diusulkan untuk
menghindari kurangnya taksonomis dan alat yang tersedia untuk identifikasi spesies
(penghitungan taksonomi) dengan meningkatkan kapasitas kita untuk secara akurat
mendokumentasikan keanekaragaman hayati dan karena itu, barcode DNA telah
diperkirakan, sejak perkembangan paling awal, sebagai solusi untuk mempercepat
meningkatkan laju penemuan spesies dan membuka perspektif baru dalam konservasi. Saat
memasuki era kepunahan massal, menjadi jelas bahwa menggambarkan keanekaragaman
hayati dengan pendekatan tradisional terjadi pada tingkat yang jauh lebih lambat dari pada
tingkat kehilangan spesies, sehingga membahayakan konservasi biota bumi.
Sejak awal Hebert dan dkk mengatakan, barcode DNA telah ditetapkan sebagai
bidang ilmu keanekaragaman hayati dewasa yang mengajukan kesenjangan konseptual
antara taksonomi tradisional dan berbagai bidang sistematika molekuler. Alasan di balik
barcode DNA berasal dari akumulasi bukti selama dua dekade terakhir, sebagai
konsekuensi meningkatnya akses terhadap data genom, bahwa karakterisasi dan
dokumentasi keanekaragaman hayati menggunakan fenotipe saat ini dikepang oleh
beberapa batasan yang melekat pada karakter morfologi. Pertama, variasi fenotip
intraspesifik seringkali saling tumpang tindih dengan taksonomi kerabatnya, yang dapat
menyebabkan identifikasi atau delineasi spesies yang tidak tepat. Kedua, barcode DNA
efektif apa pun tahap kehidupan di bawah pengawasan atau bahan biologis yang tersedia
untuk identifikasi. Ketiga, tingkat keragaman samar yang spektakuler telah sering
dilaporkan menggunakan barcode DNA. Secara keseluruhan, kelebihan ini telah membuka
perspektif baru di bidang yang beragam sebagai ekologi fungsional, taksonomi,
biogeografi, konservasi, forensik satwa liar dan keanekaragaman hayati sosio-ekonomi.
Hal ini telah menjadi nyata selama awal membangun data referensi barcode DNA
sehingga barcode DNA harus menghadapi keragaman biota bumi yang tidak diketahui dan

3
bahwa barcode DNA dapat membantu mempercepat laju penemuan spesies melalui
penggambaran otomatis garis keturunan mitokondria. Sementara penggambaran spesies
pada awalnya tidak dimaksudkan sebagai tujuan utama dari pemblokiran DNA, integrasi
barcode DNA sebagai rutinitas dalam taksonomi telah menjadi perhatian besar selama
dekade terakhir dan menyebabkan beberapa kemajuan konseptual dan metodologis yang
memperbarui praktik taksonomi.
Sebagian besar kontroversi tentang barcode DNA pada awalnya berputar seputar
penggunaannya untuk delineasi spesies namun kritik yang sama telah diterapkan kemudian
terhadap identifikasi spesimen atau delineasi spesies. Penggunaan urutan DNA untuk
identifikasi atau delineasi spesies tertanam dalam kerangka konseptual taksonomi
molekuler dan teori gabungan.
DNA teknik barcode dikembangkan dari kerja Sekuensing DNA awal pada
masyarakat mikroba menggunakan gen 5S rRNA. [9] pada 2003, metode spesifik dan
terminologi dari barcode DNA modern diusulkan sebagai metode standar untuk
mengidentifikasi spesies, serta berpotensi mengalokasikan urutan yang tidak diketahui
untuk taksa yang lebih tinggi seperti perintah dan phyla, dalam sebuah makalah oleh Paul
D.N. Hebert et al. dari Universitas Guelph, Ontario, Kanada. [10] Hebert dan rekan-
rekannya menunjukkan kegunaan gen sitokrom c oksidase I (COI), yang pertama
dimanfaatkan oleh Folmer et al. di 1994, menggunakan primer DNA yang diterbitkan
sebagai alat untuk analisis filogenetik pada tingkat spesies [10] sebagai alat diskriminatif
yang cocok antara metazoa invertebrata. [11] The "Folmer wilayah " dari gen COI
umumnya digunakan untuk perbedaan antara taksa berdasarkan pola variasi pada tingkat
DNA. Relatif mudah mengambil urutan, dan variabilitas dicampur dengan konservasi
antara spesies, adalah beberapa manfaat dari COI. Memanggil profil "barcode ", Hebert et
al. membayangkan pengembangan database COI yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk
"bioidentifikasi global sistem ".
Untuk menjadi praktis sebagai barcode DNA sebuah wilayah gen harus memenuhi tiga
kriteria: (i) mengandung spesies yang signifikan tingkat variabilitas genetik dan divergensi,
(II) memiliki situs yang melestarikan untuk mengembangkan primer PCR Universal untuk
aplikasi taksonomi yang luas, dan (III) memiliki panjang urutan pendek sehingga dapat
memfasilitasi kemampuan saat ekstraksi DNA dan amplifikasi. Sebuah urutan DNA

4
pendek 600 BP dalam gen mitokondria untuk sitokrom c oksidase subunit 1 (CO1) (7) telah
diterima sebagai praktis, standar tingkat spesies barcode untuk hewan.

B. Teknik dan Metode kerja DNA Barcode


Teknik DNA barcode merupakan sistem yang dirancang untuk melakukan
identifikasi secara cepat dan akurat berdasarkan urutan basa nukleotida dari gen penanda
pendek yang telah terstandarisasi yaitu gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI). Gen COI
(Cytochrome Oxidase Subunit I) merupakan salah satu gen penyandi dalam genom mtDNA
yang dikenal memiliki banyak kelebihan salah satunya yakni gen COI sedikit sekali
mengalami delesi dan insersi pada sekuennya serta banyak bagian yang bersifat conserve
(lestari) sehingga dapat digunakan sebagai DNA barcode, yaitu penciri setiap spesies
(Hebert et al. 2003).
Metode kerja dalam barcoding pun dapat dikatakan cukup mudah. Dimulai dari
sampling, isolasi DNA, kuantifikasi genomic DNA, amplifikasi polymerase chain reaction
(PCR), cycle sequencing, sekuensing, dan yang sequencing, sekuensing, dan yang terakhir
adalah analisis sekuens. Sekuens yang didapat kemudian dibandingkan dengan sekuens
referensi yang terdapat di GenBank dan dihitung persentase homologinya sehingga pada
akhirnya kita dapat mengetahui seberapa besar kemiripan spesies sampel dengan referensi
yang sudah ada (Ghassani, 2011).
C. Jenis Sampel DNA Barcode
Barcoding dapat dilakukan dari jaringan dari spesimen target, dari campuran
organisme (sample massal), atau dari DNA yang ada dalam sampel lingkungan (misalnya
air atau tanah). Metode untuk sampling, pelestarian atau analisis berbeda antara jenis
sampel yang berbeda.
 Sampel jaringan
Untuk barcode sampel jaringan dari spesimen target, sepotong kecil kulit, skala,
kaki atau antena mungkin cukup (tergantung pada ukuran spesimen). Untuk menghindari
kontaminasi, perlu untuk mensterilisasi alat yang digunakan antara sampel. Dianjurkan
untuk mengumpulkan dua sampel dari satu spesimen, satu untuk arsip, dan satu untuk
proses barcode. Pelestarian sampel sangat penting untuk mengatasi masalah degradasi
DNA.

5
 Sampel massal
Sebuah sampel massal adalah jenis sampel lingkungan yang mengandung beberapa
organisme dari kelompok Taksonomi di bawah studi. Perbedaan antara sampel massal
(dalam arti yang digunakan di sini) dan sampel lingkungan lainnya adalah bahwa sampel
massal biasanya menyediakan sejumlah besar DNA berkualitas baik. [12] contoh sampel
massal termasuk sampel makroinvertebrata akuatik yang dikumpulkan oleh tendangan-
bersih, atau sampel serangga yang dikumpulkan dengan perangkap malaise. Sampel air
yang terpecah atau berukuran besar yang mengandung seluruh organisme seperti eukariota
uniseluler juga terkadang didefinisikan sebagai sampel massal. Sampel tersebut dapat
dikumpulkan dengan teknik yang sama seperti yang digunakan untuk mendapatkan sampel
tradisional untuk identifikasi berbasis morfologi.

 Sampel eDNA
Metode DNA lingkungan (eDNA) adalah pendekatan non-invasif untuk
mendeteksi dan mengidentifikasi spesies dari sampah seluler atau DNA ekstraseluler yang
ada dalam sampel lingkungan (misalnya air atau tanah) melalui barcode atau metabolit.
Pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap organisme hidup meninggalkan
DNA di lingkungan, dan DNA lingkungan ini dapat dideteksi bahkan untuk organisme
yang sangat rendah kelimpahan. Dengan demikian, untuk pengambilan sampel lapangan,
Bagian yang paling penting adalah menggunakan bahan bebas DNA dan alat pada setiap
situs sampling atau sampel untuk menghindari kontaminasi, jika DNA dari organisme
target (s) kemungkinan akan hadir dalam jumlah rendah. Di sisi lain, sampel eDNA selalu
mencakup DNA dari seluruh sel, mikroorganisme hidup, yang sering hadir dalam jumlah
besar. Oleh karena itu, sampel mikroorganisme yang diambil dalam lingkungan alam juga
disebut sampel eDNA, tetapi kontaminasi kurang bermasalah dalam konteks ini karena
kuantitas besar organisme target. Metode eDNA diterapkan pada sebagian besar jenis
sampel, seperti air, sedimen, tanah, kotoran hewan, isi perut atau darah dari misalnya lintah.

Barcode DNA mensyaratkan bahwa DNA dalam sampel diekstrak. Ada beberapa metode
ekstraksi DNA yang berbeda, dan faktor seperti biaya, waktu, jenis sampel dan hasil
mempengaruhi pemilihan metode optimal.

6
Ketika DNA dari organisme atau sampel Edna diperkuat dengan menggunakan
reaksi berantai polimerase (PCR), reaksi dapat dipengaruhi secara negatif oleh molekul
inhibitor yang terkandung dalam sampel. [14] penghapusan inhibitor ini sangat penting
untuk memastikan bahwa DNA berkualitas tinggi tersedia untuk menganalisis berikutnya.

Amplifikasi DNA diekstraksi adalah langkah yang diperlukan dalam barcode DNA.
Biasanya, hanya fragmen kecil dari total bahan DNA diurutkan (biasanya pasangan basa
400 – 800) [15] untuk mendapatkan barcode DNA. Amplifikasi materi eDNA biasanya
difokuskan pada ukuran fragmen yang lebih kecil (Pasangan basa < 200), karena eDNA
lebih mungkin terfragmentasi daripada bahan DNA dari sumber lain. Namun, beberapa
penelitian berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran amplicon dan tingkat
deteksi eDNA.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Barcode DNA adalah sistem yang dirancang untuk memberikan identifikasi
spesies yang akurat, cepat dan dapat diotomatisasi dengan menggunakan daerah gen yang
pendek dan standar sebagai penanda spesies internal.
Metode kerja dalam barcoding pun dapat dikatakan cukup mudah. Dimulai dari
sampling, isolasi DNA, kuantifikasi genomic DNA, amplifikasi polymerase chain
reaction (PCR), cycle sequencing, sekuensing, dan yang sequencing, sekuensing, dan
yang terakhir adalah analisis sekuens.

8
DAFTAR PUSTAKA

Monalisa Tindil1*, N. Gustaf F. mamangkey 1, Stenly Wullur1. Jurnal pesisir dan laut tropis,
“DNA Barcode dan Analisis Filogenetik Molekuler Beberapa Jenis Bivalvia Asal Perairan
Sulawesi Utara Berdasarkan Gen Coi”. Volume 1 Nomor 2 Tahun 2017.
https://www.researchgate.net/publication/326200578_Penanda_molekuler_dalam_biologi_konse
rvasi_dari_DNA_barcoding_hingga_Next-Generation_Sequencing. (Diakses pada tanggal
30 Januari 2019 pukul 14:56).
https://blogs.uajy.ac.id/junaidipratama/2014/09/10/dna-barcoding-cara-akurat-murah-dan-cepat-
dalam-konservasi-satwa-liar/ (Diakses pada tanggal 30 Januari 2019 pukul 16:15).
http://lipi.go.id/publikasi/tahapan-kerja-dalam-dna-barcode-bab-2/23654 (Diakses pada tanggal
3 Januari 2020 pukul 22:41).

Anda mungkin juga menyukai