Anda di halaman 1dari 32

Nama : Liftia Auly Erizka Putri

Npm : 1813022010

lebih besar daripada tetes awan cair dan tekanan jenuh es lebih rendah daripada
tekanan uap jenuh air.

Puncak awan orografi ditentukan oleh ketebalan dan stabilitas massa udara lembap
dekat pegunungan. Awan orografi dapat terjadi oleh kombinasi kenaikan paksa dan
efek pemanasan permukaan. Jadi awan orografi dapat terjadi karena efek orografi
dan arus konvektif.

Pada umumnya, hujan lebih banyak

• pada lereng di atas angin jika dasar awan terletak di bawah puncak gunung.
• pada lereng di bawah angin jika dasar awan terletak di atas puncak gunung, lihat
gambar 8.5.


8.6.2. Proses fisis awan orografi

Paras 0°C di atas kawasan Tangkuban Perahu terletak pada ketinggian + 5 km. Pada
ketinggian yang suhunya beberapa derajat di bawah 0°C tetes awan masih
berbentuk cairan yang disebut tetes air kelewat dingin. Suhu awan yang disebabkan
oleh ketinggian gunung dapat mempengaruhi mikrostruktur awan sehingga
mempengaruhi efisiensi endapan.

Awan orografi yang terbentuk di atas gunung Tangkuban Perahu sebagian besar
terletak di bawah paras 0°C, karena itu dapat digolongkan sebagai awan cair yang
mengandung tetes awan di atas 0°C dan sebagian tetes awan kelewat dingin.
Dengan demikian proses pertumbuhan tetes hujannya selain melalui proses
kondensasi juga melibatkan proses Bowen-Ludlam atau mekanisme
benturan-tangkapan, sedangkan proses Bergeron-Findeisen atau proses kristal es
diduga sangat kecil atau tidak ada. Pertumbuhan tetes hujan melalui mekanisme
benturan-tangkapan telah dibicarakan pada bab 7.

Karena awan orografi biasanya stasioner dalam periode yang lama maka modifikasi
cuaca pada awan ini memberi keuntungan terutama pada daerah pantai
pegunungan, yaitu angin laut dapat masuk sampai jauh ke daratan. Untuk awan
orografi cair, pembenihan awan dilakukan dengan menginjeksikan tetes larutan
urea ke dalam awan orografi dengan bantuan menara dispenser. Keefektifan tetes
yang diinjeksikan ke dalam awan bergantung pada arus udara yang mendaki ke
gunung dan kestabilan atmosfer pada puncak gunung.
8.7 Pelenyapan awan dan penindasan batu es hujan
Liputan awan rendah dan kabut menyebabkan bahaya di lapangan terbang. Konsep
pelenyapan awan oleh pembenihan hampir sama dengan peningkatan hujan.
Partikel besar atau inti es diinjeksikan untuk menyapu tetes awan sehingga daerah
tersebut menjadi cerah. Perak iodida dan es kering telah dipakai dengan berhasil
untuk mencerahkan mendung dan kabut kelewat dingin. Kabut panas (di atas 0°C)
lebih sulit dihilangkan. Percobaan dengan memakai garam dan semprotan air telah
dilakukan sejak awal 1938. Kabut es dalam musim dingin pada beberapa tempat di
bagian utara bumi, juga merupakan masalah yang belum terpecahkan.

Dua alasan telah dikemukakan untuk meredakan batu es hujan oleh pembenihan
awan dengan inti es. Pertama, melibatkan pembekuan semua tetes kelewat dingin
pada bagian atas cumulonimbus yang menghamilkan batu es hujan. Efeknya ialah
membasmi proses pertumbuhan akresiona (pertambahan), menghilangkan
kemungkinan pembentukan batu es besar.

Kedua adalah lebih sederhana dalam pemakaian bahan pembenihan dan melibatkan
penambahan inti es hanya terbatas dalam daerah awan tempat batu es diperkirakan
mempunyai kecepatan pertumbuhan maksimum. Ilmuwan Soviet menduga bahwa
daerah ini adalah bagian atas awan dengan reflektivitas maksimum dari radar
teramati. Daerah dengan reflektivitas maksimum kemudian dibenih dengan ledakan
meriam yang bermuatan Agl dan dilaporkan berhasil melenyapkan batu es hujan.
Akan tetapi penalaran keefektifan teknik ini belum jelas. Berbagai pendekatan
dilakukan dengan menambah inti es dalam daerah bawah yang diduga merupakan
area arus vertikal utama. Daerah ini mengandung inti es alam atau partikel endapan,
yaitu embrio batu es hujan. Diragukan bahwa dengan memasukan inti buatan akan
menyebabkan kompetisi yang cukup untuk persediaan. air kelewat dingin, yang ada
sehingga tidak ada kemungkinan batu es hujan tumbuh menjadi besar. Semua usaha
pendekatan ini dimaksudkan untuk mengubah batu es besar menjadi sejumlah batu
es yang kecil. Batu es kecil ini mempunyai kesempatan melebur dengan sempurna
pada waktu melewati isoterm 0°C sehingga sebelum mencapai tanah batu es
mencair atau paling tidak akan mengurangi kerusakan dan kerugian yang
disebabkan oleh batu es besar.

Klasifikasi iklim
Ragam iklim pada berbagai tempat di muka bumi ditentukan oleh ■beberapa
gabungan proses atmosfer yang berbeda. Agar diperoleh .pemerian dan pemetaan
daerah iklim, maka perlu mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan jenis iklim.

Masalah klasifikasi iklim dan batas-batasnya akan menjadi kompleks dengan tidak
adanya definisi yang sesuai dan kadang-kadang tidak ada garis tunggal yang dapat
menggambarkan batas iklim antara daerah iklim yang satu dengan yang lainnya.

9.1 Pendekatan klasifikasi iklim


Meskipun semua unsur iklim penting, hubungan yang menyatakan kecukupan
panas dan air banyak mempengaruhi klasifikasi iklim. Thomthwaite (1933)
menyatakan bahwa tujuan klasifikasi iklim adalah menetapkan pemerian ringkas
jenis iklim ditinjau dari segi unsur yang benar-benar aktif, terutama air dan panas.
Unsur lain seperti angin, sinar matahari, atau perubahan tekanan ada kemungkinan
merupakan unsur aktif untuk tujuan khusus.

Klasifikasi iklim yang lengkap sebaiknya menetapkan sistem penggolongan


piramid (limas) dengan tingkatan dan rrukroiklim daerah kecil melalui jenis
makroiklim sampai ke daerah luas pada skala dunia Akan tetapi memerikan iklim
dunia tidak dapat dilakukan dengan menjumlahkan mikroiklim.

Iklim adalah perpaduan dari semua unsur dalam satu gabungan s ang berasal dari
proses iklim terkait. Faktor yang menentukan kondisi atmosfer dapat dipakai dalam
klasifikasi iklim. Akan tetapi kriteria yang dipakai untuk membedakan jenis iklim
sebaiknya mencerminkan iklim itu sendiri.

Pemahaman yang lebih baru tentang klasifikasi iklim adalah dengan melihat
hubungan sistematik antara unsur iklim dan pola tanaman dunia. Telah banyak
ditemukan korelasi antara tanaman dan unsur panas atau air. Dengan demikian
indeks suhu atau air dipakai sebagai kriteria untuk menentukan jenis iklim.
Klasifikasi iklim berdasarkan pola tanaman biasanya dikaitkan dengan hutan,
hujan, gurun, padang rumput, dan tundra.

Pemakaian batas sederhana curah hujan atau suhu dalam klasifikasi iklim
menunjukkan hubungan antara unsur panas dan air. Dalam keadaan suhu tinggi
tanaman memerlukan banyak air untuk memenuhi keperluan evapotranspirasi.
Perbandingan endapan penguapan dan konsep cvapotranspirasi potensial perlu
ditinjau untuk menetapkan kriteria jenis iklim. Keragaman dan penyebaran
musiman dari endapan dan suhu merupakan faktor tambahan yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan harus diperhitungkan dalam setiap klasifikasi iklim yang
berdasarkan hubungan iklim-tanaman.

Untuk kesehatan dan kenyamanan manusia disarankan kemungkinan pendekatan


mendefinisikan jenis iklim yang berkaitan dengan rancang busana, perumahan,
fisiologi, dan kedokteran. Diketahui bahwa reaksi tubuh untuk ruhu udara tertentu
bergantung pada angin, kelembapan, dan sinar matahari. Telah ada pengkajian
bidang klimatologi terapan yang menghubungkan iklim dengan kesehatan, pakaian,
makanan, dan sebagainya. Pengetahuan klasifikasi iklim diperlukan untuk
memahami metode dan sasaran klimatologi regional.

9.2 Klasifikasi Koeppen

9.2.1 Iklim utama

Dengan memakai peta tanaman dunia dari de Candolle, seorang ahli fisiologi
tanaman Prancis, Wladimir Koeppen (1846 — 1940) dan seorang ahli biologi
Jerman, merancang klasifikasi iklim pertama (1900) berdasarkan daerah tanaman,
dan kemudian (1918) memperbaikinya

dengan memperhatikan suhu, curah hujan, dan karakteriatik muuman dari kedua
unsur iklim tersebut.

Sistem klasifikasi iklim Koeppen terdiri atas lima kelompok iklim yang dinyatakan
dengan huruf kapital sebagai berikut:

A iklim hutan tropis; terik dalam seluruh musim.


B Iklim kering.
C Iklim hujan sedang, panas; musim dingin yang sejuk,
D Iklim hutan salju; musim dingin yang sangat dingin.
E Iklim kutub.

Untuk menyatakan jenis iklim utama, maka tambahan simbol diperlukan


Kecuali dalam iklim kering, maka tambahan huruf kedua menyatakan
sifat curah hujan, huruf ketiga menyatakan sifat suhu dan huruf keempat
menyatakan roman iklim khusus.

Jenis iklim utama dari klasifikasi Koeppen adalah

Af Iklim hutan hujan tropis. Terik, hujan dalam seluruh musim.


Am Iklim monsun tropis. Terik, hujan berlebihan secara musiman
Aw Iklim savana tropis. Terik, kering secara musiman, biasanya dalam
musim dingin.
BSh Iklim stepa tropis. Agak kering, terik.
BSk Iklim stepa lintang tengah. Agak kering, dingin atau sangat dingin.
BWh Iklim gurun tropis. Kering, terik.
BWk Iklim gurun lintang tengah. Kering, dingin atau sangat dingin,
Cfa Iklim subtropis lembap. Musim dingin yang sejuk, lembap dalam seluruh
musim; musim panas yang panjang dan terik.
Cfb Iklim marin. Musim dingin yang sejuk, lembap dalam seluruh musim;
musim panas yang panas.
Cfc Iklim marin. Musim dingin yang sejuk, lembap dalam seluruh musim;
musim panas yang pendek dan dingin.
Csa Iklim mediteranean pedalaman. Musim dingin yang sejuk, musim
panas yang kering dan terik.
Csb Iklim mediteranean pantai. Musim dingin yang sejuk, musim panas
yang kering, pendek, dan panas.
Cwa Iklim monsun subtropis. Musim dingin yang sejuk dan kering, musim panas
yang terik.

Cwb Iklim tanah tinggi tropis. Musim dingin yang sejuk dan kering musim panas
yang pendek dan panas.
Dfa Iklim daratan lembap Musim dingin yang sangat dingin, lembap dalam
semua musim, musim panas yang panjang dan terik.
Dfb Iklim daratan lembap Musim dingin yang sangat dingin, lembap dalam
semua musim, musim panas yang pendek dan panas
Dfc Iklim subartik. Musim dingin yang sangat dingin, lembap dalam semua
musim, musim panas yang pendek dan dingin.
Dfd Iklim subartik. Musim dingin yang sangat dingin, lembap dalam semua
musim, musim panas yang pendek.
Dwa Iklim daratan lembap. Musim dingin yang sangat dingin dan kering, musim
panas yang panjang dan terik.
Dwb Iklim daratan lembap. Musim dingin yang sangat dingin dan kering, musim
panas yang panas.
Dwc Iklim subartik. Musim dingin yang sangat dingin dan kering, musim panas
yang pendek dari dingin.
Dwd Iklim subartik. Musim dingin yang sangat dingin dan kering, musim panas
yang pendek dan dingin.
ET Iklim tundra. Musim panas yang sangat pendek.
EF Iklim, es kekal atau iklim salju.
H Iklim, kutub yang disebabkan ketinggian tempat.

9.2.2 Batas antara jenis iklim

Batas numerik suhu udara (°F) dan endapan (inci) menurut klasifikasi iklim
Koeppen dapat dilihat dalam tabel 9.1. Huruf t dan r pada persamaan, dalarn. tabel
9 1 menyatakan suhu tahunan rata-rata (°F) dan endapan tahunan rata-rata (inci).
Tabel 9.1 Kriteria klasifikasi iklim menurut Koeppen, t adalah suhu tahunan
rata-rata (°F), dan r adalah endapan tahunan rata-rata (inci).

Lambang huruf
---- --------------- Penjelasan

Ke 1 ke 2 ke 3

A Suhu rata-rata dalam bulan terdingin > 64,4 °F


f Endapan dalam bulan terkering paling sedikit 2,4 in.
m Endapan dalam bulan terkering < 2,4 in, tetapi £
3,94-r/25.
W Endapan dalam bulan terkering < 3,94—r/25

B ≥ 70% endapan tahunan turun dalam enam bulan


p.maa (Apni sampai dengan September dl belahan
bumi utara) dan r < 0,441—3,5 atau
≥70% endapan tahunan turun dalam enam bulan
dingin (Oktober sampai dengan Maret di bilahan
bumi utara) dan r < 0,441-14,0 atau
Tidak ada setengah tahun dengan endapan » 70%
dari endapan tahunan dan r « 0,441-6,5
W r< ½ batas atas Iklim B
S r < batas atas Iklim B, tetapi > % dari jumlah tersebut
..h t > 64,4°F
..k t < 64,4°F
C Suhu ra*a-rata bulan terpanas > 50°F dan bulan
terdingin antara 64,4 dan 32°F
..s Endapan pada bulan terkering dalam setengah tahun
musim panas < 1,6 Inci dan <1/3 jumlah endapan
terbasah dalam musim dingin
..W Endapan pada bulan terkering dalam seteng 'h tahun
musim dingin < 1/10 jumlah endapan bulan terbasah
dalam musim panas
F Endapan tidak memenuhi syarat s atau w
a Suhu rata-rata bulan terpanas £ 71,6° F
..b Suhu rata-rata setiap empat bulan terpanas s 50°F
dan suhu bulan terpanas < 71,6°F
..c Suhu rata-rata dari satu sampai tiga bulan > 50°F dan
suhu bulan terpanas < 71,6°F
D Suhu rata-rata bulan terpanas > 50°F dan 1 bulan
terdingin 132*F

s` Sama seperti pada iklim C


w Sama seperti pada iklim C
f Sama seperti pada iklim C
a Sama seperti pada Iklim C
b Sama seperti pada iklim C
c Sama seperti pada iklim C
d Suhu rata-rata bulan terdingin < -36,4*F (d dipakai
sebagai pengganti a, b, atau c)
E Suhu rata-rata bulan terpanas < 50°F
T Suhu rata-rata bulan terpanas antara 50 dan 32°F
F Suhu rata-rata bulan terpanas £ 32*F
H Syarat suhu sama seperti iklim E, tetapi iklim H
disebabkan oleh ketinggian tempat, biasanya di atas
5.000 kaki

Lambang subdivisi tambahan dalam klasifikasi iklim menurut Koeppen


adalah

I : Kesenjangan suhu tahunan < 9°F.


K : Suhu tahunan rata-rata < 64,4°F.
K’ : Sama seperti k, tetapi suhu rata-rata bulan terpanas < 64,4°F
m : Jenis monsun dari iklim tropis.
n : Kabut sering terjadi.
n’ : Kabut tidak sering teijadi, kelembapan tinggi, jumlah curah hujan kecil,
suhu bulan terpanas < 74,2°F.
P : Sama seperti n', kecuali suhu bulan terpanas antara 74,2 dan 82,4°F.
p' : Sama seperti n', kecuali suhu bulan terpanas > 82,4°F.
U : Bulan terdingin setelah solstis musim panas. Solstis artinya kedudukan
matahari terjauh dari ekuator.
v : Bulan terpanas dalam musim gugur.
w' : Musim hujan dalam musim gugur.
x : Curah hujan maksimum dalam musim semi atau awal musim panas, tetapi
kering pada akhir musim panas.
x' : Sama seperti x, tetapi hujan lebat jarang terjadi di seluruh musim.

9.2.3 Distribusi iklim secara geografis

Distribusi daerah iklim di muka bumi ditunjukkan pada *abel 9.2. Iklim tropis (A)
mencakup wilayah paling luas, yaitu sebesar 36,1%, dengan 23,0% dari jenis iklim
Af dan 13,1% dari jenis Aw.

Tabel 9.2 Persentase daerah iklim di muka bumi

Menurut data pada tabel 9.2 ternyata lebih dari 1/3 bagian dari muka
bumi mempunyai iklim tropis, atau dengan kata lain iklim tropis
merupakan bagian yang terbesar di muka bumi menurut klasifikasi iklim dari
Koeppen. Kemudian disusul dengan iklim (C) yang menduduki tempat kedua di
muka bumi, yaitu sebesar 27,2%, dengan 2,5% dari jenis iklim Cw, 2,6% dari Cs,
dan 22,1% dari Cf. Iklim kutub (E) menduduki tempat ketiga di muka bumi dengan
persentase daerah sebesar 18,8%, terdiri atas 13,4% dari jenis iklim ET dan 5,4%
dari jenis EF. Iklim kering (B) dan iklim hutan salju (D) merupakan jenis iklim
yang mencakup wilayah paling kecil di muka bumi, masing-masing dengan
persentase 10,6% untuk iklim B dan 7,3% untuk iklim D.
Perairan yang meliputi wilayah seluas kira-kira 70% dari luas permukaan bumi,
distribusi daerah iklimnya hampir sama dengan distribusi di permukaan bumi.
Sebaliknya, di daratan distribusi daerah iklim sangat berbeda. Iklim kering (B) dan
iklim hutan salju (D) meliputi daerah yang paling besar di muka bumi dengan
persentase masing-masing sebesar 26,3% untuk iklim kering (B), yang berarti
meliputi wilayah lebih dari 1/4 dari jumlah luas permukaan daratan (kontinen) dan
21,3% untuk D, yang berarti meliputi wilayah lebih dari 1/5 dari jumlah luas
permukaan daratan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa iklim B dan D mempunyai
karakteristik seperti jenis kontinen.

Pada tabel 9.2, dapat dilihat bahwa iklim pohon (A, C, D) mencakup Idaerah seluas
71% dari permukaan bumi, sedangkan sisanya 29% diduduki oleh iklim kering B
dan iklim kutub E.

9.3 Klasifikasi iklim Thomthwaite


Ahli klimatologi Amerika C.W. Thomthwaite (1899 - 1963) mencoba membuat
klasifikasi iklim dengan lebih sederhana. Dikemukakan bahwa pentingnya endapan
untuk tanaman tidak hanya bergantung pada jumlahnya, tetapi juga pada ’Intensitas
penguapan. Jika penguapan besar, maka endapan yang dipakai oleh tanaman akan
lebih kecil daripada jika penguapannya kecil, tentu saja untuk jumlah endapan yang
sama. Berbeda dengan sistim Koeppen, maka Thomthwaite (1933),

mengliitung nisbah keefektifan endapan (nisbah P-E), yang didefinisikan sebagai


jumlah endapan bulanan (P) dibagi dengan jumlah penguapan bulanan (E), yaitu

Nisbah P - E = P/E (9.1)


Jumlah setahun (12 bulan) dari nisbah P-E disebut indeks P-E. Karena kurangnya
data pengamatan mengenai penguapan, maka untuk mengatasi kesulitan tersebut
Thomthwaite mempelajari hubungan antara endapan (P), penguapan (E), dan suhu
(T) pada 21 stasiun di Amerika Serikat, yang pengukuran penguapannya dilakukan
dari bulan April sampai September selama periode 4 sampai 12 tahun. Dari
penelitiannya didapat sebuah hubungan sebagai berikut

𝑃 𝑃 10/9
Nisbah 𝑃 − 𝐸 = = 11,5 = (𝑇−10) (9.2)
𝐸

dengan:
P : endapan bulanan rata-rata dalam inci
E : penguapan bulanan rata-rata dalam inci
T : suhu bulanan rata-rata dalam °F

Dengan demikian nisbah P-E dapat dihitung dari pengamatan endapan dan suhu
yang jumlah data pengamatannya jauh lebih banyak daripada data penguapan.

Untuk mudahnya P/E dikalikan dengan faktor 10 sehingga didapat

𝑃 10/9
Nisbah 𝑃 − 𝐸 = 11,5 = (𝑇−10) (9.3)

dan
12
𝑃 10/9
indeks P –E = ∑ 115 (𝑇−10) (9.4)
𝑖=1

dengan:
P : endapan (inci)
T : suhu (°F)
I :1, 2, ..., 12.

Dengan menghitung indeks P - E dari sejumlah stasiun pengamat dan


jpembandmgkan dengan karakteristik tanaman, maka Thomthwaite (1933)
dapat membedakan daerah kclembapan seperti pada tabel 9.3. Kelima daerah
kelembapan ini dibagi dalam 4 jenis distribusi hujan musiman

r = sepanjang tahun curah hujan cukup


s = kekurangan curah hujan dalam musim panas
w = kekurangan curah hujan dalam musim dingin
d = sepanjang tahun kekurangan curah hujan

Tabel 9.3 Daerah kelembapan menurut Thomthwaite (1933)

Kenyataannya tidak semua kombinasi antara daerah kelembapan dan keempat jenis
tersebut dapat terjadi. Dalam meninjau daerah iklim di bumi, perlu juga ditinjau
suhunya. Untuk hal tersebut Thomthwaite (1933) mengemukakan koefisien
bulanan dari keefisienan panas, yaitu nisbah T - E, jumlah dari 12 bulan nisbahT - E
disebut indeks T - E.

Keefisienan panas sangat rendah di daerah kutub dan indeks T - E j didefinisikan


sedemikian rupa sehingga menjadi nol pada batas iklim tundra. Di daerah tropis
kondisi panas sangat baik untuk tanaman. Persamaan yang telah dikembangkan
secara empiris adalah sebagai Iberikut

𝑇−32
Nisbah T-E = (9.5)
4

dan

12
𝑇𝑖−32
Indeks T –E = ∑ ( ) (9.6)
4
𝑖=1

Thomthwaite (1933) membedakan enam daerah suhu seperti terlihat pada tabel 9.4.

Keefektifan endapan dan keefisienan suhu merupakan dua faktor iklim yang sangat
penting, seperti suhu dan endapan pada klasifikasi Koeppen.

Tentu saja daerah iklim yang didefinisikan Koeppen tidak sesuai dengan yang
didefinisikan oleh Thomthwaite. Dalam prakteknya, menurut Thomthwaite daerah
hutan hujan tropis jauh lebih sedikit.
Tabel 9.4 Daerah suhu menurut Thomthwaite (1933)

Penggunaan keefektifan endapan dari Thomthwaite mungkin secara teoritis lebih


memuaskan daripada metode Koeppen, tetapi dalam prakteknya timbul kesulitan
karena data penguapan sangat kurang.

Contoh klasifikasi iklim Thomthwaite adalah

BA' : ikiim tropis lembap


BB' : iklim mesotermal lembap
CA' : iklim tropis kurang lembap
DA' : iklim tropis agak kering
DB' : iklim mesotermal agak kering

iklim di Indonesia

Klasifikasi iklim menurut Koeppen dan Thomthwaite berdasarkan dua unsur iklim,
yaitu curah hujan dan suhu. Unsur iklim suhu udara di Indonesia sepanjang tahun
hampir konstan, tetapi sebaliknya unsur iklim curah hujan sangat berubah terhadap
musim. Karena itu klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya hanya memakai
unsur iklim curah hujan saja

Schmidt dan Ferguson (1951) menentukan jenis iklim di Indonesia berdasarkan


perhitungan jumlah bulan kering dan bulan basah. Mereka memperoleh delapan
jenis iklim dari iklim basah sampai iklim kering. Kemudian Oldeman (1975) juga
memakai unsur iklim curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim di Indonesia.
Metode Oldeman lebih menekankan pada bidang pertanian, karenanya sering
disebut klasifikasi iklim pertanian (agro-elimatie classification).

10.1 Penerapan metode Koeppen

Selain tiga jenis iklim A (Af, As, dan Aw), Koeppen mengemukakan jenis iklim
Am yang sangat penting bagi Indonesia. Iklim Am menunjukkan iklim tropis
dengan jumlah curah hujan kurang dari 60 mm feelama satu bulan atau lebih, tetapi
pada bulan lainnya jumlah curah hujannya besar. Dengan keadaan semacam ini
diharapkan bahwa tanaman tidak banyak dipengaruhi oleh kekeringan untuk
sementara waktu. Koeppen juga telah membagi jenis iklim kering (B) menjadi dua
Jenis, yaitu iklim stepa (BS) dan iklim gurun (BW), tetapi di Indonesia tidak
terdapat iklim gurun. Pada tempat yang tinggi di Indonesia terdapat Iklim C.
Gambar 10.1 menunjukkan suhu rata-rata tahunan dan suhu rata-rata untuk bulan
terdingin dan bulan terpanas di Indonesia sebagai fungsi ketinggian tempat.

ooo

Gambar 10.1 Suhu sebagai fungsi ketinggian

Dari gambar 10.1 terlihat bahwa pada ketinggian lebih dari 1.250 m, suhu pada
bulan terdingin tetap dibawah 18°C, sehingga di atas ketinggian ini dinyatakan
sebagai iklim C. Untuk membedakan iklim C yang terdapat di Indonesia
dengan iklim C pada lintang tengah, maka notasi tambahan dengan huruf i
diperlukan untuk iklim C yang isotermis. Di Indonesia batas antara iklim A dan
Aa terletak kira-kira pada ketinggian 750 m. Dalam iklim C batas antar? Ci dan
Chi terletak pada ketinggian 1.400 m, dengan h menunjukkan bahwa suhu
rata-rata tahunan lebih besar dari 18°€. Selanjutnya ikhm C dapat dibagi
menurut jumlah curah hujannya ke dalam iklim Cw, Cf, dan Cs seperti halnya
dengan iklim A.

Pada dasarnya klasifikasi iklim menurut metode Koeppen dapat diterapkan di


Indonesia, tetapi mengingat variasi curah hujan untuk suatu stasiun di Indonesia
sangat besar maka hasil dari klasifikasi Koeppen kurang dapat memberi gambaran
yang memuaskan. Misalkan, dalam musim kering selama tiga tahun berturut-turut,
sebuah stasiun mempunyai jumlah curah hujan (mm) Sebagai berikut:

Dalam contoh di atas, terlihat bahwa tiap tahun terdapat dua bulan kering. Akan
tetapi jumlah bulan kering menjadi nol setelah dirata- ratakan. Prosedur
pengambilan rata-rata sudah sesuai dengan Koeppen, tetapi prosedur seperti ini
tidak memberikan gambaran yang sempurna bagi iklim Indonesia. Karena itu cara
pengambilan rata-rata harus diubah agar dapat memberikan gambaran yang cocok
bagi pertanian di Indonesia.

Bulan kering ialah bulan dengan jumlah curah hujan kurang dari 60 mm Musim
kering telah mulai jika jumlah curah hujan dalam 1 dekad dan dekad berikutnya
kurang dari 50 mm. Musim hujan telah mulai jika curah hujan dalam 1 dekad
dan dekad berikutnya lebih besar atau sama dengan 50 mm. Dalam 1 bulan
dibagi menjadi 3 dekad, yaitu dekad I pertama dari tanggal 1 s.d 10, dekad
kedua dari tanggal 11 s.d 20 dan i dekad ketiga dari tanggal 21 s.d akhir bulan.
Jadi dekad ketiga = 11 hari untuk bulan Januari, Maret, Mei, Juli, Agustus,
Oktober, dan Desember, [dekad ketiga = 8 atau 9 hari untuk bulan Februari dan
dekad ketiga 10 [hari untuk bulan April, Juni, September, dan November.

10.2 Penerapan metode Thomthwaite


Untuk daerah tropis seperti Indonesia, suhu sepanjang tahun hampir konstan
sehingga ragam indek P - E dari tempat yang satu ke tempat yang lain praktis hanya
bergantung pada endapan (P) saja. Dari sudut pertanian hal ini tidak akan
melukiskan iklim yang dikehendaki. Karena Itu klasifikasi iklim menurut
Thomthwaite tidak cocok untuk daerah Iropis.

10.3 Metode Mohr


Berdasarkan penelitian tanah, Mohr membagi tiga derajat kelembapan, yaitu:

 Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan lebih dari 100 mm, maka bulan ini
dinamakan bulan basah; jumlah curah hujan ini melampaui jumlah
penguapan.
 Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan kurang dari 60 mm, maka bulan ini
dinamakan bulan kering; penguapan banyak berasal dari air dalam tanah
daripada curah hujan.
 Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan antara 60 mm dan 100 mm maka
bulan ini dinamakan bulan lembap; curah hujan dan penguapan kurang
lebih seimbang.
Tentu saja jenis tanah memegang peranan, tetapi dengan nilai batas kriteria di atas
sudah cukup mewakili berbagai jenis tanah.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka langkah pertama Mohr adalah mencari bulan
kering dan bulan basah, kemudian langkah kedua berdasarkan pada rata-rata
bulanan seperti halnya pada metode Koeppen, tetapi langkah kedua ini kurang
sesuai untuk iklim di Indonesia. Jadi langkah pertama sudah sesuai bagi iklim
pertanian, tinggal melukiskan klasifikasi iklimnya yang perlu disempurnakan.

Meskipun demikian, karya tulis Mohr menarik perhatian para ahli klimatologi.
Thomthwaite telah membuat artikel yang isinya mendiskusikan sistem iklim dari
Mohr secara panjang lebar. Metode Mohr ini telah diterapkan dengan berhasil di
daerah tropis, seperti di Trinidad dan dalam bentuk modifikasi, sistem Mohr telah
diterapkan di Kongo.

10.4 Metode Schmidt dan Ferguson


Schmidt dan Ferguson (1951) menerima metode Mohr dalam menentukan bulan
kering dan bulan basah, tetapi cara perhitungannya berbeda. Schmidt dan Ferguson
(1951) menghitung jumlah bulan kering dan bulan basah dari tiap-tiap tahun
kemudian baru diambil rata-ratanya. Periode pengamatan yang diikutsertakan di
dalam perhitungan jumlah bulan kering dan basah adalah dari tahun 1921 sampai
1940, stasiun hujan yang datanya kurang dari 10 tahun dihilangkan.
Untuk menentukan jenis iklimnya, Schmidt dan Ferguson (1951) menggunakan
harga perbandingan Q yang didefinisikan sebagai:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Q= (10.1)
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ

Tiap tahun pengamatan, dihitung jumlah bulan kering dan bulan basah, kemudian
baru dirata-ratakan selama periode pengamatan (misalnya 20 tahun). Dari sini
diperoleh jumlah rata-rata bulan kering dan jumlah rata- rata bulan basah, yaitu
rata-rata selama 20 tahun. Misalnya jumlah rata- rata bulan kering = 2 dan jumlah
rata-rata bulan basah = 8 maka diperoleh harga Q = 0,25.

Dari harga Q yang ditentukan oleh persamaan (10.1) kemudian Schmidt dan
Ferguson (1951) menentukan jenis iklimnya yang ditandai dengan iklim A sampai
iklim H, sebagai berikut:

A :0≤Q<0,143
B : 0,143≤Q< 0,333

C : 0,333≤Q < 0,600

D : 0,600≤Q < 1,000

E : 1,000≤Q< 1,670

F : 1,670≤Q < 3,000

G : 3,000≤Q < 7,000

H : 7,000≤ Q
Tabel 10.1 menunjukkan nilai perbandingan (Q) antara jumlah rata-rata bulan
kering dan bulan basah, dan jenis iklim di Indonesia berdasarkan klasifikasi
Schmidt dan Ferguson (1951) dibandingkan dengan klasifikasi Koeppen. Gambar
10.2 menunjukkan pembagian iklim di daerah pesisir Pulau Jawa menurut metode
Schmidt-Ferguson (1951), nilai perbandingan Q dihitung dengan data 10 tahun
(1967 - 1976). Dari gambar tersebut dapat diamati bahwa untuk daerah pesisir
selatan jenis iklim umumnya lebih basah (A, B, C, dan D), sedangkan untuk daerah
pesisir utara jenis iklimnya adalah B, C, D, dan E. Jenis iklim yang ditentukan
dengan data 1967 - 1976 pada umumnya sama dengan hasil yang telah dihitung
oleh Schmidt-Ferguson (1951) untuk rata-rata
1921 - 1940, hanya beberapa stasiun hujan menunjukkan sedikit perbedaan.
Perbedaan ini pada umumnya terletak pada batas antara kedua jenis iklim, hal ini
dapat dimengerti bahwa setelah puluhan tahun berlalu iklim di daerah tersebut
berubah karena beberapa faktor yang disebabkan oleh alam atau oleh aktivitas
manusia.
Gambar 10.2
10.5 Metode Oldeman
Seperti halnya metode Schmidt-Ferguson, metode Oldeman (1975) hanya memakai
unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim. Jumlah curah hujan sebesar 200
mm tiap bulan dipandang cukup untuk membudidayakan padi sawah, sedangkan
untuk sebagian besar palawija maka jumlah curah hujan minimal yang diperlukan
adalah 100 mm tiap bulan. Musim hujan selama 5 bulan dianggap cukup untuk
membudidayakan padi sawah selama satu musim. Dalam metode ini, bulan basah
didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan
sekurang-kurangnya 200 mm. Meskipun lamanya periode pertumbuhan padi
terutama ditentukan oleh jenis yang digunakan, periode 5 bulan uasah berurutan
dalam satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan
basah maka petani dapat menanam padi sebanyak 2 kali masa tanam. Jika kurang
dan 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi
tambahan. Dari tinjauan di atas, Oldeman membagi 5 daerah agroklimat utama,
yaitu:

A : Jika terdapat lebih dari 9 bulan basah berurutan


B : Jika terdapat 7-9 bulan basah berurutan
C . Jika terdapat 5-6 bulan basah berurutan

D : Jika terdapat 3-4 bulan basah berurutan

E : Jika terdapat kurang dari 3 bulan basah berurutan

Stratifikasi kedua adalah jumlah bulan kering berurutan. Bulan kering didefinisikan
sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan kurang dari 100 mm, karena
untuk pertumbuhan tanaman palawija diperlukan curah hujan sekurang-kurangnya
100 mm tiap bulan. Jika terdapat kurang dari 2 bulan kering, petani dengan mudah
mengatasinya karena tanah cukup lembab. Jika periode bulan kering antara 2 dan 4,
maka petani harus hati-hati dalam membudidayakan tanaman. Periode 5 sampai 6
bulan kering berurutan dipandang sangat lama jika irigasi tambahan tidak tersedia.
Dengan demikian pendaerahan agroklimat dengan meninjau stratifikasi kedua
adalah sebagai berikut:

Zona A : jika terdapat lebih dari 9 bulan basah berurutan


BI : jika terdapat 7 sampai 9 bulan basah berurutan dan kurang dan 2
bulan kering.

B2 : jika terdapat 7 sampai 9 bulan basah berurutan dan 2 sampai 4


bulan kering.

C1 : jika terdapat 5 sampai 6 bulan basah berurutan dan kurang dari


2 bulan kering.
C2 : jika terdapat 5 sampai 6 bulan basah berurutan dan 2 sampai 4
bulan kering.
C3 : jika terdapat 5 sampai 6 bulan basah berurutan dan 5 sampai 6
bulan kering.
D1 : jika terdapat 3 sampai 4 bulan basah berurutan dan kurang dari
2 bulan kering.
D2 : jika terdapat 3 sampai 4 bulan basah berurutan dan 2 sampai 4
bulan kering.
D3 : jika terdapat 3 sampai 4 bulan basah berurutan dan 5 sampai 6
bulan kering.
D4 : jika terdapat 3 sampai 4 bulan basah berurutan dan lebih dari 6
bulan kering.
E1 : jika terdapat kurang dari 3 bulan basah berurutan dan kurang
dari 2 bulan kering.
E2 : jika terdapat kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 2 sampai 4
bulan kering.
E3 : jika terdapat kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 5 sampai 6
bulan kering.
E4 : jika terdapat kurang dari 3 bulan basah berurutan dan lebih d- 6
bulan kering.

Tabel 10.2 menunjukkan contoh zona agroklimat menurut metode Oldeman (1975)
yang dihitung berdasarkan data pengamatan periode 1961 - 1979 di daerah
Bandung dan sekitarnya.

Gambar 10.3, menunjukkan contoh zona agroklimat untuk daerah Bandung dan
sekitarnya berdasarkan pada tabel 10.2

Fluktuasi suhu tanah

Distribusi suhu di dalam tanah bergantung pada beberapa faktor, di antaranya


konduktivitas panas, kapasitas panas, dan warna tanah. Karena penjalaran panas ke
dalam tanah memerlukan waktu, maka suhu tanah pada setiap kedalaman yang
lebih dalam mengalami keterlambatan.

Pada umumnya suhu tanah rata-rata lebih besar daripada suhu atmosfer
sekelilingnya Hal ini disebabkan oleh penyimpanan panas di dalam tanah lebih
lama daripada di udara. Suhu tanah yang tertutup tanaman lebih kecil daripada suhu
tanah gundul, karena tanaman memerlukan energi untuk keperluan transpirasi.

Fluktuasi suhu tanah bergantung pada kedalaman tanah. Makin dalam lapisan
tanah, maka fluktuasi suhu makin kecil sampai pada kedalaman redaman.
Kedalaman redaman ialah kedalaman tanah dengan amplitudo igelombang suhu
pada kedalaman ini sama dengan e'1 kali nilai amplitudo gelombang suhu
permukaan. Kedalaman redaman bergantung pada difiisivitas panas tanah dan
bergantung pada daur suhu tanah apakah harian atau tahunan.

Suhu tanah berkaitan dengan kedalaman akar tanaman. Fluktuasi suhu di dalam
tanah akan mempengaruhi kegiatan akar tanaman dalam mengisap air terutama
pada tanaman yang mempunyai akar dangkal. Untuk tanaman muda maka
gelombang suhu tanah terutama daur suhu harian akan berpengaruh pada aktivitas
akar karena gelombang suhu harian mempunyai amplitudo yang cukup besar.

11.1 Penjalaran panas di dalam tanah

Energi radiasi matahari yang diserap permukaan kemudian dijalarkan ke Kalam


tanah dan ke dalam atmosfer sebagai panas. Energi radiasi yang datang per satuan
luas permukaan disebut radiasi neto (Rn) yang dibagi menjadi arus panas ke dalam
tanah (G), panas yang dialihkan ke udara' (H), panas yang dipakai oleh tanaman
untuk menguapkan air (F), dan sedikit energi (P) yang dipakai oleh tanaman dalam
proses fotosintesis jika permukaan tanah ditumbuhi tanaman. Persamaan
keseimbangan energi dapat ditulis sebagai berikut:

Rn = G + H + F + P (11.1)
Panas yang dipakai dalam penguapan biasanya dinyatakan sebagai pai^ laten,
sehingga

F = LE (11.2)
dengan:
L : panas laten penguapan air = 590 kal/g pada suhu 10°C
E : tingkat penguapan dalam massa per satuan luas per satuan waktu
Hubungan antara fluks panas vertikal dan gradien suhu vertikal dapat ditulis
dalam persamaan berikut:

𝜕𝑇
𝐺 = −𝑘 (11.3)
𝜕𝑍

dengan:
T : suhu tanah.
Z : kedalaman tanah.
G : fluks panas vertikal melalui tanah pada kedalaman Z.
k : konduktivitas panas tanah.
𝜕𝑇
∶ gradien suhu vertikal.
𝜕𝑍

Secara fisis, konduktivitas panas menyatakan kecepatan energi panas yang melalui
satuan luas bahan (zat) jika gradien suhunya l°C/cm. Konduktivitas panas
bergantung pada komposisi tanah, kadar air tanah, dan suhu tanah. Konduktivitas
panas untuk berbagai unsur tanah dapat dilihat pada tabel 11.1.

Untuk tanah yang mengandung kwarsa, konduktivitas panasnya tinggi, sebaliknya


tanah yang banyak mengandung unsur organik, konduktivitasnya rendah.
Konduktivitas panas (k) juga naik jika kadar air.

tanah bertambah, karena air mengganti udara di dalam ruang pori-pori tanah.
Untuk tanah homogen, yaitu tanah dengan konduktivitas panasnya dianggap tidak
berubah terhadap kedalaman, persamaan arus panas untuk lapisan tanah yang
sangat tipis dapat ditulis dalam bentuk deferensial sebagai berikut:

𝜕𝐺 𝜕 𝜕𝑇 𝜕𝑇
= 𝜕𝑍 (𝑘 𝜕𝑍) = −𝑐 𝜕𝑍 (11.4)
𝜕𝑍

Jadi untuk tanah homogen, berlaku:

𝜕𝑇 𝑘 𝜕 2 𝑇 𝜕 2𝑇
= =𝑑
𝜕𝑍 𝑐 𝜕𝑍² 𝜕𝑍²

atau

𝜕𝑇 𝜕2 𝑇
- 𝑑 𝜕𝑍² (11.5)
𝜕𝑍

dengan:
k : konduktivitas panas tanah
c : kapasitas panas tanah
d : difusivitas panas tanah (d = k/c)

11.2 Persamaan suhu tanah

Persamaan (11.5) dapat dipecahkan dalam hal tanah homogen semi- mfinite yang
permukaannya dipanasi secara periodik sesuai dengan daur pemanasan harian atau
tahunan. Dianggap bahwa suhu permukaan T(O,t) pada waktu t dapat dinyatakan
oleh persamaan:

T(0,t) • T + AT0sin ω t (116)

dengan:
T : suhu tanah rata-rata harian atau tahunan, dianggap sama untuk seluruh
kedalaman.

AT0: amplitudo gelombang suhu permukaan (ATO = — x selisih antara suhu


permukaan maksimum dan minimum).
ω : frekuensi sudut osilasi (o = 2—, P adalah periode gelombang
24 jam atau 12 bulan).
Dengan syarat batas di atas, Carslaw dan Jaeger (1959) menunjukkan bahwa solusi
persamaan (11.5) mempunyai bentuk:

T (Z,t) adalah suhu pada kedalaman Z dan waktu t, d adalah difusivitas tanah.
Amplitudo gelombang suhu pada kedalaman Z adalah:

Dengan mengambil perbandingan amplitudo dua kedalaman Z] dan Z2, diperoleh


persamaan amplitudo:

2𝑑 1/2
Besaran ( 𝜔 ) , menurut Van Wijk dan De Vries (1963) disebut

kedalaman redaman yang diberi notasi D. Pada saat kedalaman tanah sama dengan
1/2 kedalaman redaman (Z = D) maka amplitudonya menjadi:

Arti fisis kedalaman redaman adalah pada kedalaman Z = D maka amplitudo


gelombang pada kedalaman tanah ini akan berkurang menjadi 0,37 kali dari nilai
amplitudo gelombang suhu pada permukaan tanah. Pada kedalaman tanah Z = 4,61
D maka amplitudonya akan berkurang lagi dan menjadi 0,01 kali amplitudo
gelombang suhu pada permukaan, jadi:
A4.61D=0,01 ATO (11.11)

Nilai-nilai kedalaman redaman pada Z = D dan Z = 4,61 D dapat dilihat pada tabel
(11.2) dengan difusivitas tanah (d) yang berbeda, untuk daur suhu harian frekuensi
sudut osilasinya co = 72,76 x 10-6 rad/det dan untuk daur suhu tahunan frekuensi
sudut osilasinya co = 19,89 x 10"6 rad/det.

Kebanyakan tanah mempunyai difusivitas panas yang berkisar antara 0,001 dan
0,012 cmVdet, sehingga daur suhu harian dapat menembus tanah pada kedalaman
20 sampai 80 cm, dan daur suhu tahunan menembus tanah pada kedalaman 5
sampai 16 m.

Dari persamaan (11.7), waktu dari suhu tanah maksimum pada setiap kedalaman
terjadi, jika nilai:
𝜔
𝑠𝑖𝑛 [𝜔𝑡 − ( ) ½𝑍] = 1
2𝑑
atau jika
𝜔 1/2 𝜋
𝜔𝑡 − ( ) 𝑍=
2𝑑 2
Tabel 11.2 Nilai kedalaman redaman untuk daur suhu harian dan tahunan Van
Wijk dan De Vries (1963).

Waktu suhu tanah maksimum (atau minimum) akan mengalami keterlambatan


terhadap bertambahnya kedalaman tanah. Pemecahan untuk t dengan memakai dua
kedalaman tanah Zj dan Z2, dan de jan mengurangkan waktu suhu tanah
maksimum (t™) pada kedalaman Zj terhadap kedalaman Z2, akan diperoleh
persamaan fasa sebagai berikut:
1 1/2
∆tm= tm(2)- tm(1)=(z2-z1) (2𝜔𝑑) (11.12)

Difusivitas panas tanah dapat diperkirakan dari persamaan amplitudo dan


persamaan fasa dengan memecahkan d, yaitu sebagai berikut:

𝜔 𝑍₂−𝑧₁ 𝐼 𝑍₂−𝑧₁
d= (𝐼𝑛 𝐴₁/𝐴₂) ² = 2𝜔 ( ∆𝑡𝑚 ) ² (11.13)
2

Kedua persamaan (11.12) dan (11.13) dapat diterapkan pada tanah-tanah alam
(natural soils)oleh banyak peneliti dan memberikan hasil yang memuaskan untuk
daur suhu harian. Kegagalan teori ini terhadap daur suhu harian dapat dianggap
berasal dari faktor-faktor berikut:

alih panas di dalam tanah melalui air, baik sebagai cairan maupun sebagai
uap air.

 keanekaragaman tanah alam, terutama konduktivitas panas (k) berubah


terhadap waktu karena kadar air di dalam tanah berubah- ubah

Kedua faktor ini sangat penting pada kedalaman satu meter (lapisan atas tanah),
karena mempunyai efek yang besar pada daur suhu tanah harian.

11.3 Sifat fisis tanah

Hubungan massa dan volume dengan ketiga fasa tanah secara bagan dapat dilihat
nada gambar 11.1. Histogram penuh menyatakan massa dan volume total tanah
yang dibagi menjadi tiga bagian, bagian bawah adalah fasa padat, bagian tengah
adalah fasa cair, dan bagian atas adalah fasa gas.

Komponen massa tanah terdiri dari massa udara yang dapat diabaikan dan biasanya
dianggap nol, massa air, dan massa padat. Massa-massa ini dapat diganti dengan
berat, yaitu hasil kali massa dengan percepatan gravitasi. Komponen volume tanah
terdiri dari volume udara, volume air, dan volume padat. Jumlah volume udara (Vu)
dan volume air (Va) disebut volume pori-pori tanah (Vr), yaitu:

Vr = VU + VB (11.14)

Porositas adalah sebuah indeks volume pori nisbi dalam tanah nilainya terletak
antara 0,3 dan 0,6. Porositas merupakan fraksi volume pon-pori dan didefinisikan
sebagai:

𝑉𝑟 𝑉𝑢+𝑉𝑎
R = 𝑉𝑡 = 𝑉𝑢+𝑉𝑎+𝑉𝑝 (11.15)

dengan :
Vr : volume pori-pori tanah
Vt : volume total tanah
Vu : volume udara
Va : volume air
Vp : volume padat

Anda mungkin juga menyukai