Npm : 1813022010
lebih besar daripada tetes awan cair dan tekanan jenuh es lebih rendah daripada
tekanan uap jenuh air.
Puncak awan orografi ditentukan oleh ketebalan dan stabilitas massa udara lembap
dekat pegunungan. Awan orografi dapat terjadi oleh kombinasi kenaikan paksa dan
efek pemanasan permukaan. Jadi awan orografi dapat terjadi karena efek orografi
dan arus konvektif.
• pada lereng di atas angin jika dasar awan terletak di bawah puncak gunung.
• pada lereng di bawah angin jika dasar awan terletak di atas puncak gunung, lihat
gambar 8.5.
•
8.6.2. Proses fisis awan orografi
Paras 0°C di atas kawasan Tangkuban Perahu terletak pada ketinggian + 5 km. Pada
ketinggian yang suhunya beberapa derajat di bawah 0°C tetes awan masih
berbentuk cairan yang disebut tetes air kelewat dingin. Suhu awan yang disebabkan
oleh ketinggian gunung dapat mempengaruhi mikrostruktur awan sehingga
mempengaruhi efisiensi endapan.
Awan orografi yang terbentuk di atas gunung Tangkuban Perahu sebagian besar
terletak di bawah paras 0°C, karena itu dapat digolongkan sebagai awan cair yang
mengandung tetes awan di atas 0°C dan sebagian tetes awan kelewat dingin.
Dengan demikian proses pertumbuhan tetes hujannya selain melalui proses
kondensasi juga melibatkan proses Bowen-Ludlam atau mekanisme
benturan-tangkapan, sedangkan proses Bergeron-Findeisen atau proses kristal es
diduga sangat kecil atau tidak ada. Pertumbuhan tetes hujan melalui mekanisme
benturan-tangkapan telah dibicarakan pada bab 7.
Karena awan orografi biasanya stasioner dalam periode yang lama maka modifikasi
cuaca pada awan ini memberi keuntungan terutama pada daerah pantai
pegunungan, yaitu angin laut dapat masuk sampai jauh ke daratan. Untuk awan
orografi cair, pembenihan awan dilakukan dengan menginjeksikan tetes larutan
urea ke dalam awan orografi dengan bantuan menara dispenser. Keefektifan tetes
yang diinjeksikan ke dalam awan bergantung pada arus udara yang mendaki ke
gunung dan kestabilan atmosfer pada puncak gunung.
8.7 Pelenyapan awan dan penindasan batu es hujan
Liputan awan rendah dan kabut menyebabkan bahaya di lapangan terbang. Konsep
pelenyapan awan oleh pembenihan hampir sama dengan peningkatan hujan.
Partikel besar atau inti es diinjeksikan untuk menyapu tetes awan sehingga daerah
tersebut menjadi cerah. Perak iodida dan es kering telah dipakai dengan berhasil
untuk mencerahkan mendung dan kabut kelewat dingin. Kabut panas (di atas 0°C)
lebih sulit dihilangkan. Percobaan dengan memakai garam dan semprotan air telah
dilakukan sejak awal 1938. Kabut es dalam musim dingin pada beberapa tempat di
bagian utara bumi, juga merupakan masalah yang belum terpecahkan.
Dua alasan telah dikemukakan untuk meredakan batu es hujan oleh pembenihan
awan dengan inti es. Pertama, melibatkan pembekuan semua tetes kelewat dingin
pada bagian atas cumulonimbus yang menghamilkan batu es hujan. Efeknya ialah
membasmi proses pertumbuhan akresiona (pertambahan), menghilangkan
kemungkinan pembentukan batu es besar.
Kedua adalah lebih sederhana dalam pemakaian bahan pembenihan dan melibatkan
penambahan inti es hanya terbatas dalam daerah awan tempat batu es diperkirakan
mempunyai kecepatan pertumbuhan maksimum. Ilmuwan Soviet menduga bahwa
daerah ini adalah bagian atas awan dengan reflektivitas maksimum dari radar
teramati. Daerah dengan reflektivitas maksimum kemudian dibenih dengan ledakan
meriam yang bermuatan Agl dan dilaporkan berhasil melenyapkan batu es hujan.
Akan tetapi penalaran keefektifan teknik ini belum jelas. Berbagai pendekatan
dilakukan dengan menambah inti es dalam daerah bawah yang diduga merupakan
area arus vertikal utama. Daerah ini mengandung inti es alam atau partikel endapan,
yaitu embrio batu es hujan. Diragukan bahwa dengan memasukan inti buatan akan
menyebabkan kompetisi yang cukup untuk persediaan. air kelewat dingin, yang ada
sehingga tidak ada kemungkinan batu es hujan tumbuh menjadi besar. Semua usaha
pendekatan ini dimaksudkan untuk mengubah batu es besar menjadi sejumlah batu
es yang kecil. Batu es kecil ini mempunyai kesempatan melebur dengan sempurna
pada waktu melewati isoterm 0°C sehingga sebelum mencapai tanah batu es
mencair atau paling tidak akan mengurangi kerusakan dan kerugian yang
disebabkan oleh batu es besar.
Klasifikasi iklim
Ragam iklim pada berbagai tempat di muka bumi ditentukan oleh ■beberapa
gabungan proses atmosfer yang berbeda. Agar diperoleh .pemerian dan pemetaan
daerah iklim, maka perlu mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan jenis iklim.
Masalah klasifikasi iklim dan batas-batasnya akan menjadi kompleks dengan tidak
adanya definisi yang sesuai dan kadang-kadang tidak ada garis tunggal yang dapat
menggambarkan batas iklim antara daerah iklim yang satu dengan yang lainnya.
Iklim adalah perpaduan dari semua unsur dalam satu gabungan s ang berasal dari
proses iklim terkait. Faktor yang menentukan kondisi atmosfer dapat dipakai dalam
klasifikasi iklim. Akan tetapi kriteria yang dipakai untuk membedakan jenis iklim
sebaiknya mencerminkan iklim itu sendiri.
Pemahaman yang lebih baru tentang klasifikasi iklim adalah dengan melihat
hubungan sistematik antara unsur iklim dan pola tanaman dunia. Telah banyak
ditemukan korelasi antara tanaman dan unsur panas atau air. Dengan demikian
indeks suhu atau air dipakai sebagai kriteria untuk menentukan jenis iklim.
Klasifikasi iklim berdasarkan pola tanaman biasanya dikaitkan dengan hutan,
hujan, gurun, padang rumput, dan tundra.
Pemakaian batas sederhana curah hujan atau suhu dalam klasifikasi iklim
menunjukkan hubungan antara unsur panas dan air. Dalam keadaan suhu tinggi
tanaman memerlukan banyak air untuk memenuhi keperluan evapotranspirasi.
Perbandingan endapan penguapan dan konsep cvapotranspirasi potensial perlu
ditinjau untuk menetapkan kriteria jenis iklim. Keragaman dan penyebaran
musiman dari endapan dan suhu merupakan faktor tambahan yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman dan harus diperhitungkan dalam setiap klasifikasi iklim yang
berdasarkan hubungan iklim-tanaman.
Dengan memakai peta tanaman dunia dari de Candolle, seorang ahli fisiologi
tanaman Prancis, Wladimir Koeppen (1846 — 1940) dan seorang ahli biologi
Jerman, merancang klasifikasi iklim pertama (1900) berdasarkan daerah tanaman,
dan kemudian (1918) memperbaikinya
dengan memperhatikan suhu, curah hujan, dan karakteriatik muuman dari kedua
unsur iklim tersebut.
Sistem klasifikasi iklim Koeppen terdiri atas lima kelompok iklim yang dinyatakan
dengan huruf kapital sebagai berikut:
Cwb Iklim tanah tinggi tropis. Musim dingin yang sejuk dan kering musim panas
yang pendek dan panas.
Dfa Iklim daratan lembap Musim dingin yang sangat dingin, lembap dalam
semua musim, musim panas yang panjang dan terik.
Dfb Iklim daratan lembap Musim dingin yang sangat dingin, lembap dalam
semua musim, musim panas yang pendek dan panas
Dfc Iklim subartik. Musim dingin yang sangat dingin, lembap dalam semua
musim, musim panas yang pendek dan dingin.
Dfd Iklim subartik. Musim dingin yang sangat dingin, lembap dalam semua
musim, musim panas yang pendek.
Dwa Iklim daratan lembap. Musim dingin yang sangat dingin dan kering, musim
panas yang panjang dan terik.
Dwb Iklim daratan lembap. Musim dingin yang sangat dingin dan kering, musim
panas yang panas.
Dwc Iklim subartik. Musim dingin yang sangat dingin dan kering, musim panas
yang pendek dari dingin.
Dwd Iklim subartik. Musim dingin yang sangat dingin dan kering, musim panas
yang pendek dan dingin.
ET Iklim tundra. Musim panas yang sangat pendek.
EF Iklim, es kekal atau iklim salju.
H Iklim, kutub yang disebabkan ketinggian tempat.
Batas numerik suhu udara (°F) dan endapan (inci) menurut klasifikasi iklim
Koeppen dapat dilihat dalam tabel 9.1. Huruf t dan r pada persamaan, dalarn. tabel
9 1 menyatakan suhu tahunan rata-rata (°F) dan endapan tahunan rata-rata (inci).
Tabel 9.1 Kriteria klasifikasi iklim menurut Koeppen, t adalah suhu tahunan
rata-rata (°F), dan r adalah endapan tahunan rata-rata (inci).
Lambang huruf
---- --------------- Penjelasan
Ke 1 ke 2 ke 3
Distribusi daerah iklim di muka bumi ditunjukkan pada *abel 9.2. Iklim tropis (A)
mencakup wilayah paling luas, yaitu sebesar 36,1%, dengan 23,0% dari jenis iklim
Af dan 13,1% dari jenis Aw.
Menurut data pada tabel 9.2 ternyata lebih dari 1/3 bagian dari muka
bumi mempunyai iklim tropis, atau dengan kata lain iklim tropis
merupakan bagian yang terbesar di muka bumi menurut klasifikasi iklim dari
Koeppen. Kemudian disusul dengan iklim (C) yang menduduki tempat kedua di
muka bumi, yaitu sebesar 27,2%, dengan 2,5% dari jenis iklim Cw, 2,6% dari Cs,
dan 22,1% dari Cf. Iklim kutub (E) menduduki tempat ketiga di muka bumi dengan
persentase daerah sebesar 18,8%, terdiri atas 13,4% dari jenis iklim ET dan 5,4%
dari jenis EF. Iklim kering (B) dan iklim hutan salju (D) merupakan jenis iklim
yang mencakup wilayah paling kecil di muka bumi, masing-masing dengan
persentase 10,6% untuk iklim B dan 7,3% untuk iklim D.
Perairan yang meliputi wilayah seluas kira-kira 70% dari luas permukaan bumi,
distribusi daerah iklimnya hampir sama dengan distribusi di permukaan bumi.
Sebaliknya, di daratan distribusi daerah iklim sangat berbeda. Iklim kering (B) dan
iklim hutan salju (D) meliputi daerah yang paling besar di muka bumi dengan
persentase masing-masing sebesar 26,3% untuk iklim kering (B), yang berarti
meliputi wilayah lebih dari 1/4 dari jumlah luas permukaan daratan (kontinen) dan
21,3% untuk D, yang berarti meliputi wilayah lebih dari 1/5 dari jumlah luas
permukaan daratan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa iklim B dan D mempunyai
karakteristik seperti jenis kontinen.
Pada tabel 9.2, dapat dilihat bahwa iklim pohon (A, C, D) mencakup Idaerah seluas
71% dari permukaan bumi, sedangkan sisanya 29% diduduki oleh iklim kering B
dan iklim kutub E.
𝑃 𝑃 10/9
Nisbah 𝑃 − 𝐸 = = 11,5 = (𝑇−10) (9.2)
𝐸
dengan:
P : endapan bulanan rata-rata dalam inci
E : penguapan bulanan rata-rata dalam inci
T : suhu bulanan rata-rata dalam °F
Dengan demikian nisbah P-E dapat dihitung dari pengamatan endapan dan suhu
yang jumlah data pengamatannya jauh lebih banyak daripada data penguapan.
𝑃 10/9
Nisbah 𝑃 − 𝐸 = 11,5 = (𝑇−10) (9.3)
dan
12
𝑃 10/9
indeks P –E = ∑ 115 (𝑇−10) (9.4)
𝑖=1
dengan:
P : endapan (inci)
T : suhu (°F)
I :1, 2, ..., 12.
Kenyataannya tidak semua kombinasi antara daerah kelembapan dan keempat jenis
tersebut dapat terjadi. Dalam meninjau daerah iklim di bumi, perlu juga ditinjau
suhunya. Untuk hal tersebut Thomthwaite (1933) mengemukakan koefisien
bulanan dari keefisienan panas, yaitu nisbah T - E, jumlah dari 12 bulan nisbahT - E
disebut indeks T - E.
𝑇−32
Nisbah T-E = (9.5)
4
dan
12
𝑇𝑖−32
Indeks T –E = ∑ ( ) (9.6)
4
𝑖=1
Thomthwaite (1933) membedakan enam daerah suhu seperti terlihat pada tabel 9.4.
Keefektifan endapan dan keefisienan suhu merupakan dua faktor iklim yang sangat
penting, seperti suhu dan endapan pada klasifikasi Koeppen.
Tentu saja daerah iklim yang didefinisikan Koeppen tidak sesuai dengan yang
didefinisikan oleh Thomthwaite. Dalam prakteknya, menurut Thomthwaite daerah
hutan hujan tropis jauh lebih sedikit.
Tabel 9.4 Daerah suhu menurut Thomthwaite (1933)
iklim di Indonesia
Klasifikasi iklim menurut Koeppen dan Thomthwaite berdasarkan dua unsur iklim,
yaitu curah hujan dan suhu. Unsur iklim suhu udara di Indonesia sepanjang tahun
hampir konstan, tetapi sebaliknya unsur iklim curah hujan sangat berubah terhadap
musim. Karena itu klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya hanya memakai
unsur iklim curah hujan saja
Selain tiga jenis iklim A (Af, As, dan Aw), Koeppen mengemukakan jenis iklim
Am yang sangat penting bagi Indonesia. Iklim Am menunjukkan iklim tropis
dengan jumlah curah hujan kurang dari 60 mm feelama satu bulan atau lebih, tetapi
pada bulan lainnya jumlah curah hujannya besar. Dengan keadaan semacam ini
diharapkan bahwa tanaman tidak banyak dipengaruhi oleh kekeringan untuk
sementara waktu. Koeppen juga telah membagi jenis iklim kering (B) menjadi dua
Jenis, yaitu iklim stepa (BS) dan iklim gurun (BW), tetapi di Indonesia tidak
terdapat iklim gurun. Pada tempat yang tinggi di Indonesia terdapat Iklim C.
Gambar 10.1 menunjukkan suhu rata-rata tahunan dan suhu rata-rata untuk bulan
terdingin dan bulan terpanas di Indonesia sebagai fungsi ketinggian tempat.
ooo
Dari gambar 10.1 terlihat bahwa pada ketinggian lebih dari 1.250 m, suhu pada
bulan terdingin tetap dibawah 18°C, sehingga di atas ketinggian ini dinyatakan
sebagai iklim C. Untuk membedakan iklim C yang terdapat di Indonesia
dengan iklim C pada lintang tengah, maka notasi tambahan dengan huruf i
diperlukan untuk iklim C yang isotermis. Di Indonesia batas antara iklim A dan
Aa terletak kira-kira pada ketinggian 750 m. Dalam iklim C batas antar? Ci dan
Chi terletak pada ketinggian 1.400 m, dengan h menunjukkan bahwa suhu
rata-rata tahunan lebih besar dari 18°€. Selanjutnya ikhm C dapat dibagi
menurut jumlah curah hujannya ke dalam iklim Cw, Cf, dan Cs seperti halnya
dengan iklim A.
Dalam contoh di atas, terlihat bahwa tiap tahun terdapat dua bulan kering. Akan
tetapi jumlah bulan kering menjadi nol setelah dirata- ratakan. Prosedur
pengambilan rata-rata sudah sesuai dengan Koeppen, tetapi prosedur seperti ini
tidak memberikan gambaran yang sempurna bagi iklim Indonesia. Karena itu cara
pengambilan rata-rata harus diubah agar dapat memberikan gambaran yang cocok
bagi pertanian di Indonesia.
Bulan kering ialah bulan dengan jumlah curah hujan kurang dari 60 mm Musim
kering telah mulai jika jumlah curah hujan dalam 1 dekad dan dekad berikutnya
kurang dari 50 mm. Musim hujan telah mulai jika curah hujan dalam 1 dekad
dan dekad berikutnya lebih besar atau sama dengan 50 mm. Dalam 1 bulan
dibagi menjadi 3 dekad, yaitu dekad I pertama dari tanggal 1 s.d 10, dekad
kedua dari tanggal 11 s.d 20 dan i dekad ketiga dari tanggal 21 s.d akhir bulan.
Jadi dekad ketiga = 11 hari untuk bulan Januari, Maret, Mei, Juli, Agustus,
Oktober, dan Desember, [dekad ketiga = 8 atau 9 hari untuk bulan Februari dan
dekad ketiga 10 [hari untuk bulan April, Juni, September, dan November.
Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan lebih dari 100 mm, maka bulan ini
dinamakan bulan basah; jumlah curah hujan ini melampaui jumlah
penguapan.
Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan kurang dari 60 mm, maka bulan ini
dinamakan bulan kering; penguapan banyak berasal dari air dalam tanah
daripada curah hujan.
Jika jumlah curah hujan dalam 1 bulan antara 60 mm dan 100 mm maka
bulan ini dinamakan bulan lembap; curah hujan dan penguapan kurang
lebih seimbang.
Tentu saja jenis tanah memegang peranan, tetapi dengan nilai batas kriteria di atas
sudah cukup mewakili berbagai jenis tanah.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka langkah pertama Mohr adalah mencari bulan
kering dan bulan basah, kemudian langkah kedua berdasarkan pada rata-rata
bulanan seperti halnya pada metode Koeppen, tetapi langkah kedua ini kurang
sesuai untuk iklim di Indonesia. Jadi langkah pertama sudah sesuai bagi iklim
pertanian, tinggal melukiskan klasifikasi iklimnya yang perlu disempurnakan.
Meskipun demikian, karya tulis Mohr menarik perhatian para ahli klimatologi.
Thomthwaite telah membuat artikel yang isinya mendiskusikan sistem iklim dari
Mohr secara panjang lebar. Metode Mohr ini telah diterapkan dengan berhasil di
daerah tropis, seperti di Trinidad dan dalam bentuk modifikasi, sistem Mohr telah
diterapkan di Kongo.
Tiap tahun pengamatan, dihitung jumlah bulan kering dan bulan basah, kemudian
baru dirata-ratakan selama periode pengamatan (misalnya 20 tahun). Dari sini
diperoleh jumlah rata-rata bulan kering dan jumlah rata- rata bulan basah, yaitu
rata-rata selama 20 tahun. Misalnya jumlah rata- rata bulan kering = 2 dan jumlah
rata-rata bulan basah = 8 maka diperoleh harga Q = 0,25.
Dari harga Q yang ditentukan oleh persamaan (10.1) kemudian Schmidt dan
Ferguson (1951) menentukan jenis iklimnya yang ditandai dengan iklim A sampai
iklim H, sebagai berikut:
A :0≤Q<0,143
B : 0,143≤Q< 0,333
E : 1,000≤Q< 1,670
H : 7,000≤ Q
Tabel 10.1 menunjukkan nilai perbandingan (Q) antara jumlah rata-rata bulan
kering dan bulan basah, dan jenis iklim di Indonesia berdasarkan klasifikasi
Schmidt dan Ferguson (1951) dibandingkan dengan klasifikasi Koeppen. Gambar
10.2 menunjukkan pembagian iklim di daerah pesisir Pulau Jawa menurut metode
Schmidt-Ferguson (1951), nilai perbandingan Q dihitung dengan data 10 tahun
(1967 - 1976). Dari gambar tersebut dapat diamati bahwa untuk daerah pesisir
selatan jenis iklim umumnya lebih basah (A, B, C, dan D), sedangkan untuk daerah
pesisir utara jenis iklimnya adalah B, C, D, dan E. Jenis iklim yang ditentukan
dengan data 1967 - 1976 pada umumnya sama dengan hasil yang telah dihitung
oleh Schmidt-Ferguson (1951) untuk rata-rata
1921 - 1940, hanya beberapa stasiun hujan menunjukkan sedikit perbedaan.
Perbedaan ini pada umumnya terletak pada batas antara kedua jenis iklim, hal ini
dapat dimengerti bahwa setelah puluhan tahun berlalu iklim di daerah tersebut
berubah karena beberapa faktor yang disebabkan oleh alam atau oleh aktivitas
manusia.
Gambar 10.2
10.5 Metode Oldeman
Seperti halnya metode Schmidt-Ferguson, metode Oldeman (1975) hanya memakai
unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim. Jumlah curah hujan sebesar 200
mm tiap bulan dipandang cukup untuk membudidayakan padi sawah, sedangkan
untuk sebagian besar palawija maka jumlah curah hujan minimal yang diperlukan
adalah 100 mm tiap bulan. Musim hujan selama 5 bulan dianggap cukup untuk
membudidayakan padi sawah selama satu musim. Dalam metode ini, bulan basah
didefinisikan sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan
sekurang-kurangnya 200 mm. Meskipun lamanya periode pertumbuhan padi
terutama ditentukan oleh jenis yang digunakan, periode 5 bulan uasah berurutan
dalam satu tahun dipandang optimal untuk satu kali tanam. Jika lebih dari 9 bulan
basah maka petani dapat menanam padi sebanyak 2 kali masa tanam. Jika kurang
dan 3 bulan basah berurutan, maka tidak dapat membudidayakan padi tanpa irigasi
tambahan. Dari tinjauan di atas, Oldeman membagi 5 daerah agroklimat utama,
yaitu:
Stratifikasi kedua adalah jumlah bulan kering berurutan. Bulan kering didefinisikan
sebagai bulan yang mempunyai jumlah curah hujan kurang dari 100 mm, karena
untuk pertumbuhan tanaman palawija diperlukan curah hujan sekurang-kurangnya
100 mm tiap bulan. Jika terdapat kurang dari 2 bulan kering, petani dengan mudah
mengatasinya karena tanah cukup lembab. Jika periode bulan kering antara 2 dan 4,
maka petani harus hati-hati dalam membudidayakan tanaman. Periode 5 sampai 6
bulan kering berurutan dipandang sangat lama jika irigasi tambahan tidak tersedia.
Dengan demikian pendaerahan agroklimat dengan meninjau stratifikasi kedua
adalah sebagai berikut:
Tabel 10.2 menunjukkan contoh zona agroklimat menurut metode Oldeman (1975)
yang dihitung berdasarkan data pengamatan periode 1961 - 1979 di daerah
Bandung dan sekitarnya.
Gambar 10.3, menunjukkan contoh zona agroklimat untuk daerah Bandung dan
sekitarnya berdasarkan pada tabel 10.2
Pada umumnya suhu tanah rata-rata lebih besar daripada suhu atmosfer
sekelilingnya Hal ini disebabkan oleh penyimpanan panas di dalam tanah lebih
lama daripada di udara. Suhu tanah yang tertutup tanaman lebih kecil daripada suhu
tanah gundul, karena tanaman memerlukan energi untuk keperluan transpirasi.
Fluktuasi suhu tanah bergantung pada kedalaman tanah. Makin dalam lapisan
tanah, maka fluktuasi suhu makin kecil sampai pada kedalaman redaman.
Kedalaman redaman ialah kedalaman tanah dengan amplitudo igelombang suhu
pada kedalaman ini sama dengan e'1 kali nilai amplitudo gelombang suhu
permukaan. Kedalaman redaman bergantung pada difiisivitas panas tanah dan
bergantung pada daur suhu tanah apakah harian atau tahunan.
Suhu tanah berkaitan dengan kedalaman akar tanaman. Fluktuasi suhu di dalam
tanah akan mempengaruhi kegiatan akar tanaman dalam mengisap air terutama
pada tanaman yang mempunyai akar dangkal. Untuk tanaman muda maka
gelombang suhu tanah terutama daur suhu harian akan berpengaruh pada aktivitas
akar karena gelombang suhu harian mempunyai amplitudo yang cukup besar.
Rn = G + H + F + P (11.1)
Panas yang dipakai dalam penguapan biasanya dinyatakan sebagai pai^ laten,
sehingga
F = LE (11.2)
dengan:
L : panas laten penguapan air = 590 kal/g pada suhu 10°C
E : tingkat penguapan dalam massa per satuan luas per satuan waktu
Hubungan antara fluks panas vertikal dan gradien suhu vertikal dapat ditulis
dalam persamaan berikut:
𝜕𝑇
𝐺 = −𝑘 (11.3)
𝜕𝑍
dengan:
T : suhu tanah.
Z : kedalaman tanah.
G : fluks panas vertikal melalui tanah pada kedalaman Z.
k : konduktivitas panas tanah.
𝜕𝑇
∶ gradien suhu vertikal.
𝜕𝑍
Secara fisis, konduktivitas panas menyatakan kecepatan energi panas yang melalui
satuan luas bahan (zat) jika gradien suhunya l°C/cm. Konduktivitas panas
bergantung pada komposisi tanah, kadar air tanah, dan suhu tanah. Konduktivitas
panas untuk berbagai unsur tanah dapat dilihat pada tabel 11.1.
tanah bertambah, karena air mengganti udara di dalam ruang pori-pori tanah.
Untuk tanah homogen, yaitu tanah dengan konduktivitas panasnya dianggap tidak
berubah terhadap kedalaman, persamaan arus panas untuk lapisan tanah yang
sangat tipis dapat ditulis dalam bentuk deferensial sebagai berikut:
𝜕𝐺 𝜕 𝜕𝑇 𝜕𝑇
= 𝜕𝑍 (𝑘 𝜕𝑍) = −𝑐 𝜕𝑍 (11.4)
𝜕𝑍
𝜕𝑇 𝑘 𝜕 2 𝑇 𝜕 2𝑇
= =𝑑
𝜕𝑍 𝑐 𝜕𝑍² 𝜕𝑍²
atau
𝜕𝑇 𝜕2 𝑇
- 𝑑 𝜕𝑍² (11.5)
𝜕𝑍
dengan:
k : konduktivitas panas tanah
c : kapasitas panas tanah
d : difusivitas panas tanah (d = k/c)
Persamaan (11.5) dapat dipecahkan dalam hal tanah homogen semi- mfinite yang
permukaannya dipanasi secara periodik sesuai dengan daur pemanasan harian atau
tahunan. Dianggap bahwa suhu permukaan T(O,t) pada waktu t dapat dinyatakan
oleh persamaan:
dengan:
T : suhu tanah rata-rata harian atau tahunan, dianggap sama untuk seluruh
kedalaman.
T (Z,t) adalah suhu pada kedalaman Z dan waktu t, d adalah difusivitas tanah.
Amplitudo gelombang suhu pada kedalaman Z adalah:
2𝑑 1/2
Besaran ( 𝜔 ) , menurut Van Wijk dan De Vries (1963) disebut
kedalaman redaman yang diberi notasi D. Pada saat kedalaman tanah sama dengan
1/2 kedalaman redaman (Z = D) maka amplitudonya menjadi:
Nilai-nilai kedalaman redaman pada Z = D dan Z = 4,61 D dapat dilihat pada tabel
(11.2) dengan difusivitas tanah (d) yang berbeda, untuk daur suhu harian frekuensi
sudut osilasinya co = 72,76 x 10-6 rad/det dan untuk daur suhu tahunan frekuensi
sudut osilasinya co = 19,89 x 10"6 rad/det.
Kebanyakan tanah mempunyai difusivitas panas yang berkisar antara 0,001 dan
0,012 cmVdet, sehingga daur suhu harian dapat menembus tanah pada kedalaman
20 sampai 80 cm, dan daur suhu tahunan menembus tanah pada kedalaman 5
sampai 16 m.
Dari persamaan (11.7), waktu dari suhu tanah maksimum pada setiap kedalaman
terjadi, jika nilai:
𝜔
𝑠𝑖𝑛 [𝜔𝑡 − ( ) ½𝑍] = 1
2𝑑
atau jika
𝜔 1/2 𝜋
𝜔𝑡 − ( ) 𝑍=
2𝑑 2
Tabel 11.2 Nilai kedalaman redaman untuk daur suhu harian dan tahunan Van
Wijk dan De Vries (1963).
𝜔 𝑍₂−𝑧₁ 𝐼 𝑍₂−𝑧₁
d= (𝐼𝑛 𝐴₁/𝐴₂) ² = 2𝜔 ( ∆𝑡𝑚 ) ² (11.13)
2
Kedua persamaan (11.12) dan (11.13) dapat diterapkan pada tanah-tanah alam
(natural soils)oleh banyak peneliti dan memberikan hasil yang memuaskan untuk
daur suhu harian. Kegagalan teori ini terhadap daur suhu harian dapat dianggap
berasal dari faktor-faktor berikut:
alih panas di dalam tanah melalui air, baik sebagai cairan maupun sebagai
uap air.
Kedua faktor ini sangat penting pada kedalaman satu meter (lapisan atas tanah),
karena mempunyai efek yang besar pada daur suhu tanah harian.
Hubungan massa dan volume dengan ketiga fasa tanah secara bagan dapat dilihat
nada gambar 11.1. Histogram penuh menyatakan massa dan volume total tanah
yang dibagi menjadi tiga bagian, bagian bawah adalah fasa padat, bagian tengah
adalah fasa cair, dan bagian atas adalah fasa gas.
Komponen massa tanah terdiri dari massa udara yang dapat diabaikan dan biasanya
dianggap nol, massa air, dan massa padat. Massa-massa ini dapat diganti dengan
berat, yaitu hasil kali massa dengan percepatan gravitasi. Komponen volume tanah
terdiri dari volume udara, volume air, dan volume padat. Jumlah volume udara (Vu)
dan volume air (Va) disebut volume pori-pori tanah (Vr), yaitu:
Vr = VU + VB (11.14)
Porositas adalah sebuah indeks volume pori nisbi dalam tanah nilainya terletak
antara 0,3 dan 0,6. Porositas merupakan fraksi volume pon-pori dan didefinisikan
sebagai:
𝑉𝑟 𝑉𝑢+𝑉𝑎
R = 𝑉𝑡 = 𝑉𝑢+𝑉𝑎+𝑉𝑝 (11.15)
dengan :
Vr : volume pori-pori tanah
Vt : volume total tanah
Vu : volume udara
Va : volume air
Vp : volume padat