Anda di halaman 1dari 7

GEREJAKU SKISMATIK DAN TIDAK KANONIK

Basilius Andrew L. Tjong

Abstract:
This Paper present the phenomena of the Orthodox world in the context of the modern world which
are involved in world politics such as: World War I, World War II and Cold War, to the dissolution of
Soviet Union, German reunification and European Union, and from here, the Orthodox Church also
take part in it and get the impact of the world history: the emergence of the Genuine Orthodox Church
which is seen by others as a non-canonical and schismatic Orthodox Church. This church isolates
herself from other Orthodox Churches, rejects the world ecumenism movement and does not want to
take part in world politics.
Keywords: Genuine Orthodox Church, non-canonical, schismatic, ecumenism

Abstrak
Tulisan ini mengangkat fenomena di dalam dunia Ortodoks dalam konteks dunia modern yang mana
terkait dalam politik dunia seperti: Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Perang Dingin, hingga
pembubaran Uni Soviet, penyatuan kembali Jerman dan pembentukan Uni Eropa, dan dari sini, Gereja
Ortodoks juga ambil bagian di dalamnya dan memperoleh imbas dari peristiwa-peristiwa sejarah dunia
ini yang kita rasakan sampai sekarang: munculnya Gereja Ortodoks Sejati yang dipandang oleh yang
lain sebagai Gereja Ortodoks yang tidak kanonik dan skismatik (terpisah). Gereja Ortodoks ini
mengambil sikap mengisolasi diri dari Gereja Ortodoks yang lain, menolak gerakan ekumenisme dunia
dan tidak mau ambil bagian dalam politik dunia.
Kata kunci: Gereja Ortodoks Sejati, tidak kanonik, skismatik, ekumenisme

1. PENDAHULUAN
Gereja Ortodoks Sejati atau Genuine Orthodox Church yang dianggap sebagai Gereja Ortodoks
yang tidak kanonik dan skismatik oleh banyak Gereja Ortodoks di dunia, seperti Kepatriarkan
Ekumenis, dan Kepatriarkan Moskow serta yang lainnya, tidaklah hadir begitu saja dengan alasan yang
juga dapat dianggap enteng. Gereja Ortodoks Sejati ini muncul di tengah-tengah pergolakan politik di
Eropa dan Yunani, yang baru saja mengakhiri Perang Dunia I, dan secara khusus terkait dengan
kejatuhan Kesultanan Turki Ottoman dan Revolusi Komunis di Kekaisaran Rusia. Gereja Ortodoks
Sejati pada mulanya tidak pernah berniat mengasingkan atau mengisolasikan dirinya dari Gereja
Ortodoks di Yunani dan Kepatriarkan Konstantinopel. Gereja Ortodoks Sejati hadir dalam kaitannya
dengan keputusan sepihak dari Patriark Konstantinopel yang hendak mengganti Kalender Gereja yang
adalah kalender Julian, dengan suatu kalender baru yang tidak pernah dikenal sebelumnya, walaupun
tetap menggunakan kata Julian tetapi “yang direvisi.” Selanjutnya, Gereja Ortodoks Sejati juga banyak
melakukan kritik terkait dengan kebijakan-kebijakan Patriark Konstantinopel yang dipandang sudah
terlalu jauh melampaui wewenangnya dan melanggar prinsip dasar Gereja Ortodoks. Kebijakan-
kebijakan Patriark ini tentunya tidak lepas dari politik dunia yang terjadi di masa itu hingga sekarang.
Dari sinilah Gereja Ortodoks Sejati pada akhirnya mengambil keputusan untuk menutup dirinya dari
Patriark Konstantinopel, dan semua Gereja Ortodoks yang terkait dengan Patriark Konstantinopel.

2. METODE PENELITIAN
Tulisan ini akan mengkaji latar belakang dan sejarah Gereja Ortodoks Sejati sampai menutup
diri dari Gereja Ortodoks di seluruh dunia, yang akibat dari sikap ini, Gereja Ortodoks Sejati dipandang
oleh Gereja Ortodoks lain sebagai Gereja Ortodoks yang tidak kanonik dan skismatik. Tulisan ini juga
akan mengkaji definisi tidak kanonik dan skismatik dan mengkaitkan juga dengan bagaimana sejarah
Gereja Purba menyikapi hal ini. Dengan demikian, tulisan ini akan memakai studi literatur sebagai
sumber pustakanya, dan diharapkan setiap pembaca dapat secara adil dan berimbang untuk menelaah
dan membuka wawasannya sehingga memperoleh pemahaman yang tepat.

3. PEMBAHASAN
Iman Ortodoks telah mengarungi dua ribu tahun sejarah dunia dan telah bergulat dengan segala
macam ajaran bidah yang berusaha merongrong ajaran iman dan menarik setiap umat percaya dari
Gereja untuk mengikuti “dongeng nenek-nenek tua” dan “ajaran setan-setan” yang muncul dalam
berbagai rupa-rupa angin pengajaran, yang sekiranya tampak saleh dan benar namun di balik itu ada
bahaya besar yang mengintai. Maka setiap umat beriman yang saleh, haruslah peka dan berhati-hati
melihat setiap fenomena yang terjadi di dalam Gereja, dan mengikuti aturan (kanon) yaitu prinsip-
prinsip dasar dari kaidah iman Ortodoks, baik secara lisan dan secara tertulis, yang telah digumulkan
dan ditegaskan dalam konsili-konsili Gereja, baik yang bersifat lokal maupun universal (Konsili
Ekumenis). Dari sini kita melihat bahwa standar kebenaran ini bukan seorang individu uskup atau
imam, tetapi pada seluruh tubuh Gereja, sebagaimana yang dikatakan dalam pesan ensiklik para
patriark: “Para patriark dan konsili-konsili tidak dapat membuat suatu inovasi,” dan selanjutnya:
“Penjaga kesalehan dan iman itu adalah seluruh tubuh Gereja, yaitu umat percaya yang selalu rindu
untuk menjaga iman yang tak berubah dan sesuai dengan pengajaran Bapa-bapa Gereja.”1
Pesan ensiklik para patriark Timur yang ditulis ini terjadi sebelum adanya Kalender Baru atau
“Julian yang direvisi,” dan Gereja Timur masih dalam satu iman, satu baptisan dan satu Tuhan. Mereka
semua sebagai satu iman memegang tradisi Gereja yang sama, sebagai iman yang sekali (iman yang
satu) untuk selama-lamanya disampaikan kepada orang-orang kudus (kudus, katolik dan apostolik).
Dengan demikian Gereja Ortodoks Sejati, mengikuti tradisi Gereja yang sifatnya adalah satu, kudus,
katolik dan apostolik, sesuai dalam butir Kanon Iman Nikea-Konstantinopel, menegaskan demikian.
Tradisi Ortodoks memegang teguh bahwa Tuhan Yesus Kristus telah mempercayakan diri-Nya yang
adalah “jalan, kebenaran dan kehidupan” bukan kepada individu-individu tertentu, entah itu Paus atau
Patriark atau uskup-uskup tertentu, tetapi kepada kepenuhan Gereja, yang mana uskup-uskup itu
mengimani tradisi yang sama bersama dengan segenap umat. Hal ini sesuai dengan pengajaran dari
Bapa Suci Irenaeus dari Lyon, dalam tulisannya melawan para uskup bidah, bahwa kepenuhan umat
percaya ini menjadi gudang kebenaran, dan penerjemah Kitab Suci dan tradisi Gereja, juga pelindung
dan penjaga kebenaran, yang mana kuasa ini pada awal mulanya diterima oleh para rasul, dan
selanjutnya kepada pelanjut para rasul dan kepada semua uskup yang mereka tahbiskan.2 Dalam
pengajarannya juga, Irenaeus dari Lyon menjelaskan bahwa para uskup harus secara berhati-hati

1 Pesan Ensiklik Para Patriark Timur no. 17 tahun 1848.


2 Irenaeus dari Lyon: Melawan Bidah, 3:3:3 dan 3:4:1.

2
menjaga kebenaran, dan setiap uskup harus mengajarkan kepada umat dengan makanan ilahi, sehingga
umat melalui pengajaran di dalam kuasa Sang Roh Kudus, mereka dimampukan dan memiliki
kepekaan untuk melihat ajaran bidah.
Dari sini kita melihat bahwa Gereja sejak mulanya bersifat kolegial dan komunal, segala
keputusan dan permasalahan harus diselesaikan secara bersama-sama, baik dalam konsili yang bersifat
lokal maupun yang bersifat universal. Setiap permasalahan yang bersifat lokal boleh dan wajib
diselesaikan dalam konsili lokal, dan setiap permasalahan yang bersifat universal harus diselesaikan
dalam konsili ekumenis, dan setiap keputusan ini harus diterima oleh setiap uskup dan umat yang ikut
mengawasi jalannya konsili, sehingga dengan kebulatan suara ini melalui doa dan kajan teologi yang
ketat, maka dapat diperoleh suatu rumusan dan simpulan yang oleh Alkitab disebut sebagai “keputusan
Roh Kudus dan keputusan kami.” Jika ada suatu permasalahan universal, maka Gereja harus
melakukan konsili ekumenis, dan aturan ini tidak dapat ditawar-tawar lagi.3 Dengan demikian maka
ketika Patriark Meletios IV Metaxarkis dari Konstantinopel mewacanakan perubahan kalender Julian
menjadi kalender yang disebut sebagai “Julian yang direvisi,” maka sesuai Kanon II Konsili Ekumenis
VI, maka ia harus memanggil para uskup dan patriark Timur lainnya, dan membahas masalah ini
sehingga diperoleh kebulatan suara di dalamnnya. Tetapi yang terjadi ialah tidak pernah ada yang
namanya Konsili Ekumenis untuk membahasa perubahan atau revisi dari kalender Julian ini. Dan
berdasarkan Konsili Ekumenis VII, setiap keputusan harus disetujui dan diterima oleh semua anggota
Gereja.4 Maka dari sini, tidaklah boleh ada seorang patriark yang berusaha membuat suatu kanon baik
yang bersifat lokal ataupun ekumenis tanpa melibatkan para patriark atau uskup yang lain, sebab ini
adalah pelanggaran kepada kanon itu sendiri. Dengan bertindak demikian, maka seorang patriark
sedang menjadikan dirinya sebagai uskup di atas uskup-uskup yang lain. Pemahaman seperti ini bukan
pemahaman ekklesiologi Ortodoks. Setiap Gereja Lokal adalah katolik, sebab mencirikan Gereja
Universal dalam kelokalannya.
Kanon Apostolik juga mencatat bahwa tidak ada seorang uskup dapat mengatur uskup-uskup
lain dalam suatu kewilayahan, sekalipun ia adalah uskup (dalam bahasa sekarang adalah metropolitan
atau patriark) yang memiliki kewilayahan yang lebih besar: “para uskup harus mengakui dia
(metropolitan atau patriark dalam bahasa kita sekarang) sebagai yang pertama dari antara mereka dan
menghormati dia sebagai pemimpin mereka (para uskup), tetapi dia tidak dapat berbuat sekehendak
hatinya tanpa persetujuan semua uskup.”5 Atas dasar ini Patriark Konstantinopel memang diakui dan
dihormati sebagai yang pertama dan pemimpin semua uskup Gereja Timur, namun Patriark
Konstantinopel tidak dapat memutusakan apapun seorang diri tanpa persetujuan semua uskup Timur.
Bagi Gereja Ortodoks Sejati, Patriark Konstantinopel sudah melanggar semangat kolegial dan
kebersamaan para uskup Timur, dan memposisikan dirinya sendiri sebagai uskup di atas segala uskup.
Patriark Konstantinopel sudah melakukan suatu suatu praxis heterodoks yang Gereja Timur tolak
seribu tahun lalu, dan bahwsanya “setiap uskup (patriark adalah juga seorang uskup) yang
menyampaikan suatu ajaran bidah di depan orang banyak dan dengan tidak tahu malu dilakukannya di
dalam Gereja, serta mengajarkan ajaran lain yang berbeda dari apa yang telah diterima, atau berada
dalam persekutuan heterodoks, dan ia lakukan secara berkesinambungan, maka ia tak lain dan tak
bukan adalah seorang uskup palsu dan pengajar palsu,”6 sedangkan “setiap uskup yang bersekutu atau

3 Konsili Ekumenis VI, Kanon II.


4 Konsili Ekumenis VII, Kanon I.
5 Kanon Apostolik XXXIV.
6 Konsili Ekumenis I dan II, Kanon XV.

3
satu persekutuan cawan dengannya, dan bersikap acuh tak acuh atas pelanggarannya, bahkan
memberikan toleransi dan membiarkan sikap dan pernyataannya, adalah ikut ambil bagian bersama
dia.”7 Dalam kajian, ini seorang uskup bidah, tanpa harus dikatakan, ia telah menjadikan dirinya bidah
dan tidak kanonik, dan setiap mereka yang ada dalam persekutuannya, mereka juga menjadi bidah dan
tidak kanonik. Jadi, dari sini, istilah tidak kanonik bukan diletakkan pada “adanya pengakuan dari
Gereja yang lain” atau “tidak punya patriark” tetapi:
(1) mereka yang jatuh ke dalam ajaran bidah karena melanggar peraturan konsili yang
terkait dengan orthodoxia, ortholatria dan orthopraxis;
(2) mereka yang tetap berada pada satu persekutuan dengan bidah;
(3) mereka yang membela mati-matian mereka yang telah melakukan dan mengajarkan
ajaran bidah; dan/atau
(4) mengulang-ulang kembali setiap ajaran dan praktik bidah.
Gereja Ortodoks Sejati mengkritisi pandangan Patriark Konstantinopel yang dinilai sampai
sekarang telah mengajarkan suatu bentuk ketundukan hierarki palsu, juga setiap uskup yang satu
persekutuan dengannya juga telah mengajarkan hal serupa. Setiap umat hanya diajarkan untuk tunduk
kepada uskup dan patriark, sementara di sisi lain umat tidak diberikan hak-haknya sebagaimana kanon
Gereja juga membahas bagaimana kehidupan umat. Umat hanya diberikan propaganda teologi yang
tampak saleh dan seolah-olah sesuai kanon tanpa mengerti kanon apa yang dibelanya: “Kalau tidak
diakui Patriark adalah bidah atau skismatik!” atau “Kalau tidak tunduk pada Patriark itu bukan
Ortodoks!” atau mungkin lebih jauh lagi: “Patriark itu tanpa salah!” Pandangan-pandangan seperti
inilah bentuk pseudomorfisme (bentuk palsu) yang merasuk kuat di dalam segelintir oknum yang
mengatas-namakan diri sebagai Gereja Ortodoks dan propaganda ini yang diajarkan terus-menerus.
Gereja Ortodoks Sejati tidak ingin mengotori dirinya dengan hal-hal semacam ini, sehingga
langkah yang tegas harus dibuat. Gereja harus membatasi dirinya agar propaganda teologi dan
pseudomorfisme ini tidak masuk dan merusak iman umat Allah yang saleh. Inilah alasan mendasar
Gereja Ortodoks Sejati menutup dirinya dan memisahkan dirinya dari Patriark Konstantinopel dan
setiap uskup yang mendukung pelanggaran kanon Patriark Konstantinopel. Gereja Ortodoks Sejati
telah melakukan skisma dirinya dari Patriark Konstantinopel, yang mana dalam dua sudut pandang,
skisma ini didasarkan pada:
(1) Dari sudut pandang Gereja Ortodoks Sejati:
a. Patriark telah melakukan perubahan keputusan Konsili Ekumenis tentang Kalender Gereja
tanpa mengadakan Konsili Ekumenis dan persetujuan para uskup yang lain.
b. Patriark memaksakan Kalender Julian yang direvisi di Yunani tanpa memperhitungkan
suara uskup Gereja Ortodoks di Yunani.
c. Patriark melakukan lobi politik kepada pemerintah hingga para imam yang menolak
menggunakan Kalender Julian yang direvisi ini ditangkap dan dikucilkan.
d. Patriark mengajarkan kepada umat dan setiap uskup yang berada dalam satu persekutuan
dengannya tentang keutamaan Patriark Konstantinopel dengan suatu ajaran bidah yang
dapat dikatakan sebagai “Infabilitas Patriark.”
e. Patriark telah mengajak para uskup yang lain di luar wilayah yuridiksinya untuk melakukan
perubahan kalender, yang dasarnya tanpa diadakan Konsili Ekumenis.

7 Theodoros Studitis.

4
(2) Dari sudut pandang Patriark Konstantinopel:
a. Gereja Ortodoks Sejati adalah skismatik dan tidak kanonik karena tidak mengakui dan tidak
mau menerima keputusan Patriark Konstantinopel. Inilah pengertian “skisma” dan “tidak
kanonik” yang diajarkan oleh mereka yang berada dalam satu persekutuan dengan patriark.
b. Gereja Ortodoks Sejati adalah skismatik dan tidak kanonik tidak taat kepada Patriark.
Gereja Ortodoks Sejati mengartikan skisma dengan patriark berkenaan dengan kondisi-kondisi
dan alasan yang telah dijelaskan di atas; dan Gereja Ortodoks Sejati telah dianggap “tidak kanonik”
atas dasar menolak kanon sepihak Patriark Konstantinopel yang membuat keputusan sendiri tanpa
adanya konsili dengan para patriark dan uskup yang lain. Gereja Ortodoks Sejati memandang bahwa
Patriark Meletios IV Metaxarkis yang memprakarsai perubahan kalender, dan diteruskan oleh para
patriark setelahnya, telah memanipulasi pengertian “kanonik” dan “skismatik” untuk kepentingannya
sendiri, tanpa memperhitungkan nilai kolegial dan semangat orthodoxia, dan mengajarkan bentuk
iman ortodoks palsu (pseudomorfisme) atas dasar ketundukan kepada hierarki.
Sebagai implementasi atas keputusan sepihak ini, atas prakarsa Patriark Konstantinopel pada
tahun 1923 yang menghujat nilai kolegial dan kebersamaan konsili, Gereja Ortodoks Sejati menolak
mengakui keputusan patriark semacam ini. Keputusan patriark ini tidak lain dan tidak bukan adalah
pengulangan kembali perubahan kalender Julian kepada Gregorian yang terjadi di Barat pada tahun
1582, yang mana perubahan yang terjadi di Gereja Latin ini dikritik tegas pada tahun 1583, 1587 dan
1593 dalam konsili para patriark Timur, dan salah satunya adalah oleh Patriark Konstantinopel.
Sementara pada tahun 1923, Patriark Konstantinopel malah mengulangi perbuatan Paus Roma yang
dikritiknya.
Selanjutnya, apa yang terjadi di dalam negara Yunani, terjadi juga hal serupa di Uni Soviet,
yang dicanangkan oleh Patriark Rusia Sergius Stragorodsky (1944), yang mengajarkan ketundukan
kepada pemerintah (dalam hal ini Komunis Stalin), yang dampaknya adalah Gereja menjadi alat politik
negara untuk memuluskan kebijakan-kebijakan politik. Gereja Ortodoks Rusia yang tersebar di luar
Uni Soviet (saat ini disebut ROCA), yang satu persekutuan dengan Gereja Ortodoks Sejati, menilai
bahwa keputusan sepihak Patriark Sergius ini telah menjual kemuliaan Gereja dan menukarnya dengan
kemuliaan dunia dengan bersahabat dengan ideologi komunisme demi keuntungan material dan status
sosial, menghindari penganiayaan dan semangat kemartiran. Sekarang ini, paham Patriark Sergius ini
masih ada dalam bentuknya yang telah dipoles dan dipercantik, dalam bentuk kendali negara atas
Gereja yang dibungkus dalam wujud “Gereja-Negara” atau State-Church, yang mana ini adalah bentuk
lain dari suatu pseudomorfisme atau iman ortodoks palsu.
Bahaya lain yang dihadapi dalam dunia Kekristenan Modern adalah suatu ekumenisme.
Ekumenisme berusaha merelatifkan iman lurus (Ortodoks) Kristen yang satu kudus, katolik dan
apostolik dari Gereja, dan mengkompromikan suatu sinkretisme teologis dan liturgis dengan sesuatu
yang tidak berakar dari sejarah dan tradisi Gereja, tetapi dari bidah-bidah Gereja. Puncak dari
ekumenisme ini adalah berdirinya suatu lembaga yang disebut sebagai suatu “Dewan Gereja se-Dunia”
atau World Church Council (WCC). WCC ini memiliki tujuan kepada “one faith and one eucharistic
fellowship, expressed in worship and in common life in Christ”8 (satu iman dan satu persekutuan
ekaristik, yang tercermin dalam penyembahan dan kehidupan bersama di dalam Kristus). Tujuan ini
sangat tampak mulia dan rohani pada mulanya, namun realitanya sampai sekarang tidak ada satu iman

8 About us — World Council of Churches, oikoumene.org.

5
dan satu persekutuan ekaristik. Malah yang terjadi adalah kebalikannya, Gereja Ortodoks Sejati
melihat sejak pendirian WCC, denominasi Gereja malah semakin banyak dan bukan semakin sedikit.
Kendatipun banyak rumusan-rumusan yang dihasilkan olehnya, namun kesatuan sejati dalam iman dan
ekaristi ini tidak pernah tercapai, dan yang terjadi adalah sinkretisme yang menjadi suatu “gereja
universal palsu” dan inilah yang akan menjadi jalan pembuka bagi kedatangan sang antikristus, mesias
palsu.
Perubahan kalender Gereja oleh Patriark Konstantinopel dan mereka yang menyetujui
perubahan itu adalah awal dari sinkretisme oleh sejumlah Gereja Ortodoks yang menyebut dirinya
sebagai “kanonik.” Para Bapa Konsili Nikea tahun 325 M memberikan suatu penegasan keras tentang
sinkretisme ini sebagai: “tidak memelihara perayaan bersama orang-orang Yahudi” dan “mereka yang
menyimpang dari iman ortodoks.” Reformasi kalender oleh patriark merupakan pintu gerbang kepada
gerakan ekumenisme yang sasaran utamanya adalah “gereja universal palsu” bersama mereka yang
tidak sesuai dan melencengkan tradisi Gereja yang sekali untuk selama-lamanya. Ekumenisme ini telah
mengembangkan suatu inovasi baru dalam teologinya, dan pada akhirnya menghilangkan suatu
kekhasan dan keunikan Gereja Kristus yang esa ini, yang dibangun di atas Sang Batu Karang (Yesus)
dan kesaksian para rasul-Nya, dengan suatu pandangan ekumenisme, sebagai contoh: “Pokoknya
Yesus! Pokoknya Alkitab! Gereja itu sama saja di mana-mana! Yang penting percaya Yesus!” Padahal
Alkitab dengan jelas memberikan kepada kita tentang adanya “Yesus yang lain” dan “Injil yang lain”
menurut Galatia 1:8.
“Yesus yang lain” dan “injil yang lain” inilah yang hendak diwartakan oleh “roh yang lain”
kepada mereka yang percaya kepada injil Yesus Kristus dalam pendekatan-pendekatan yang
menggunakan segala maca cara dan rupa. Inilah yang diperintahkan kepada kita untuk tetap teguh
menjaga tradisi lisan dan tulisan, dan kita menghormati setiap imam yang dengan setia menjaga tradisi
ini secara penuh tanpa berubah.

4. PENUTUP
Berkenaan dengan segala yang telah disampaikan dalam tulisan ini, Gereja Ortodoks Sejati
bersama Gereja Ortodoks Rusia yang tersebar (ROCA), bersama dengan Gereja Kalender Lama di
Siprus, Bulgaria dan Romania, dalam setiap Gereja Lokalnya bereaksi dengan tegas mengenai
penolakan akan perubahan kalender yang didasarkan pelanggaran Kanon Ekumenis, bersama dengan
penolakan terhadap ekumenisme sebagai bentuk pseudomorfisme modern, memutuskan semua
persekutuan dengan Gereja-gereja Ortodoks yang mengikuti ajaran pseudomorfisme ini.
ROCA menjunjung tinggi warisan Patriark Tikhon (1925) dan menolak bentuk Sergianisme
dalam wujud apapun, dari dahulu sampai sekarang, dan memilih untuk mengalami penganiayaan dan
hidup dalam penderitaan, yang melaluinya para martir baru ini dihasilkan dan dipersembahkan kepada
Allah. Sementara di Yunani, Siprus, Bulgaria dan Romania, mereka yang menolak menggunakan
kalender Julian yang direvisi ini memilih jalan kemartiran yang sama dengan saudara-saudara mereka
di Rusia. Mereka menolak segala bentuk pseudomorfisme, dan Allah menyatakan mujizat-Nya kepada
mereka: seperti penampakan salib yang mulia dan memberi hidup di Athena, 14 September 1925
(kalender lama), Tuhan menunjukkan bahwa mereka yang berjuang saleh ini adalah orang-orang yang
Dia muliakan. Sementara itu para uskup pembela iman ini, tetap memiliki suksesi kerasulan yang jelas
dan tak terputus.

6
Inilah yang hendak dipaparkan oleh penulis berkenaan dengan Gereja Ortodoks Sejati,
termasuk di dalamnya apa yang dimaksud dengan pengertian kanonik, skismatik dan ekumenisme serta
yang terkait di dalamnya.

Daftar Pustaka
_____, Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh Romo Hardawiryana, S.J., Jakarta: Penerbit
Obor, 1993.
_____, Gereja Orthodox Sejati dan Bidat Ekumenisme, diterjemahkan oleh Romo Daniel B.D.
Byantoro, 2019.
Afonsky, Gregory, Christ and The Church, SVS Press, 2001.
Carlton, Clark, Truth: What Every Roman Catholic Should Know About the Orthodox Church, Regina
Orthodox Press, 2007.
Florovsky, Georges, Bible, Church, Tradition: An Eastern Orthodox View, Nordland Publishing
Company, 1972.
Gregory VII, Dictatus, lihat pada butir 2 dan 22.
Konsili Apostolik, Kanon XXXIV.
Konsili Ekumenis I, Kanon XV.
Konsili Ekumenis II, Kanon XV.
Konsili Ekumenis VI, Kanon II.
Konsili Ekumenis VII, Kanon I.
Irenaeus of Lyon, Against Heresis.
Tjong, Basilius A.L., Markus dari Efesus: Dua Khotbah Sang Uskup tentang Ajaran Purgatorium,
Orthodox Center Surabaya, 2019.
Wicaksono, Yohanes B.C. dan Basilius A.L. Tjong, Aku Tahu Imanku: Katekisasi Dasar Ajaran Iman
Kristen Ortodoks bagi Umat dan Katekumen, Orthodox Center Surabaya, 2019.
https://www.ecclesiagoc.gr/
http://www.hotca.org/orthodoxy/orthodox-awareness/203-the-calendar-question
https://www.hsir.org/pdfs/2014/03/20/20140320aAnnouncement.pdf

Anda mungkin juga menyukai