Muslim preacher must have a high credibility be able to invite mankind to do good and
avoid His prohibitions. High and low credibility of a preacher who portray himself as a
communicator depends on public perception and social conditions in which he/she
preaches. In this regard, there are many components of the assessment as an indicator
whther the preacher considered as having high credibility in the eyes of society . One of
the preachers may be deemed to have high credibility, when the assessment is viewed
from the perspective of the people who focus more on formal education for example , or for
some other people, which is important these preachers based schools and so on , of
course the assessment is also supported by another component, so it can be said that
preachers’ credibility is relative, but it should have to be comprehensive. Thus the level of
credibility of the preacher can not be seen from one side only but must be viewed from a
variety of other related components .
Juru Dakwah harus memiliki kredibilitas yang “tinggi” untuk dapat mengajak umat
manusia melakukan kebajikan dan menjauhi larangan-Nya. Tinggi rendahnya
kredibilitas seorang juru dakwah yang memerankan dirinya sebagai seorang
komunikator sangat bergantung pada persepsi masyarakat dan kondisi dimana
masyarakat (sasaran dakwah) berada. Dalam kaitan ini, ada banyak komponen
penilaian yang menjadi indikator dimana seorang Juru Dakwah dianggap atau telah
memiliki kredibilitas yang tinggi dimata masyarakatnya. Salah seorang Juru dakwah
mungkin dianggap memiliki kredibilitas yang tinggi, ketika penilaian tersebut dilihat dari
kacamata masyarakat yang lebih menitik beratkan pendidikan formal misalnya, atau
bagi sebagian masyarakat yang lain, yang penting juru dakwah tersebut berbasis
pesantren dan sebagainya, tentu saja penilaian tersebut didukung pula dengan
komponen lain yang mengikutinya, sehingga dapat dikatakan kredibilitas juru dakwah
itu bersifat relatif, namun hendaknya harus komprehensif. Dengan demikian tinggi
rendahnya kredibilitas yang dimiliki seorang Juru Dakwah tidak dapat dilihat dari satu
sisi saja tetapi dapat dilihat dari berbagai komponen terkait lainnya.
Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13 1
Mariyatul Kredibilitas Juru Dakwah
2 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13
Kredibilitas Juru Dakwah Mariyatul
Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13 3
Mariyatul Kredibilitas Juru Dakwah
ibarat dua sisi mata uang yang saling Siapakah yang lebih baik perkataannya
membutuhkan dan tidak mungkin daripada orang yang menyeru kepada Allah,
dipisahkan satu sama lain(2000). mengerjakan amal shaleh dan berkata,
Dari pendapat di atas, dapat „sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri‟. Dan tidaklah sama
dipahami bahwa menjadi juru dakwah
kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah
tidak cukup hanya dengan ilmu (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik,
pengetahuan dan pemahaman saja maka tiba-tiba orang yang antaramu dan
tetapi juga harus diikuti dengan antara dia ada permusuhan seolah-olah
kepandaian dan keterampilan dalam telah menjadi teman yang sangat
menyampaikan, demikian pula setia(Fushilat: 33-34)
sebaliknya, bisa menyampaikan,
terampil berbicara atau berpidato, Rasulullah SAW., juga bersabda:
kalau tanpa pengetahuan dan “Barangsiapa mengajak kepada
pemahaman yang mendalam atas petunjuk, ia berhak memperoleh pahala
materi dakwah yang disampaikan seperti pahala orang yang
belum memenuhi syarat untuk menjadi mengikutinya, tanpa mengurangi
juru dakwah. sedikitpun dari pahala mereka. Dan
Berdakwah, memang menjadi barangsiapa mengajak kepada
kewajiban setiap muslim, tetapi menjadi kesesatan, ia mendapat dosanya seperti
juru dakwah, memerlukan syarat atau dosa orang yang mengikutinya, tanpa
kredibilitas yang tinggi. Dengan kata mengurangi sedikitpun dari dosa
lain, setiap muslim punya hak dan mereka.”(HR. Muslim, Malik, Abu Daud,
kewajiban untuk berdakwah, tetapi dan Tirmidzi)
menyandang gelar sebagai juru dakwah Berkenaan dengan keberadaan juru
hanya akan didapatkan manakala dakwah sebagai pilar sentral
masyarakat memberikan label itu pelaksanaan dakwah, Jum‟ah Amin
kepadanya sesuai dengan Abdul Aziz, mengemukakan sifat-sifat
kredibilitasnya di mata masyarakat itu yang harus dimiliki oleh seorang juru
sendiri. dakwah, yaitu: “Amanah, shidq, ikhlas,
Dakwah memang bukanlah urusan rahmah, shabr dan hirsh” (2000).
yang mudah, ada amanah besar dalam Sesungguhnya seruan seorang juru
pelaksanaan dakwah. Dakwah dakwah tidak akan bisa lekat di hati
memerlukan juru dakwah yang masyarakat atau sasaran dakwahnya
mukhlis, giat, komunikator yang baik kecuali dengan memberikan
dan dinamis, serta berakhlak mulia keteladanan yang baik, yaitu jujur kata-
yang menyampaikan dakwah dengan katanya dan terpercaya perbuatannya,
bashirah (petunjuk yang jelas), sehingga sebagaimana sifat-sifat yang harus
juru dakwah berhak meraih derajat melekat pada diri seorang juru dakwah,
yang mulia, Allah berfirman dalam Al- yakni:
Qur‟an:
1) Amanah
Amanah (terpercaya) adalah sifat
utama yang harus dimiliki seorang juru
dakwah. Amanah merupakan sifat yang
dimiliki oleh seluruh Nabi dan Rasul,
bersamaan dengan ash-shidq
(kejujuran). Tidak ada manusia jujur
yang tidak terpercaya, dan tidak ada
4 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13
Kredibilitas Juru Dakwah Mariyatul
Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13 5
Mariyatul Kredibilitas Juru Dakwah
6 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13
Kredibilitas Juru Dakwah Mariyatul
Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13 7
Mariyatul Kredibilitas Juru Dakwah
yang periang, ramah dan senang komunikannya tentang segala hal yang
bergaul. Umumnya komunikator memang perlu diketahui
disenangi karena punya keterampilan komunikannya, sehingga kondisi ini
dalam mengaplikasikan human memudahkan berjalannya fungsi social
relations secara baik dan termasuk diantara kedua belah pihak.
orang yang dipandang pandai 9) Sungguh-sungguh
beradaptasi dengan lingkungan (seriousness), kesan komunikate
pergaulannya. terhadap komunikator, bahwa
4) Koorientasi (Coorientation); komunikator dipandang sebagai orang
merupakan kesan komunikan tentang yang menekankan kesungguhan
komunikator yang dipandang sebagai (serius), tidak main-main, penuh
orang yang mewakili kelompok yang pertimbangan, hati-hati, tidak
umumnya disenangi, juga dipandang sembarangan. Pada prinsifnya
sebagai orang yang mewakili nilai-nilai komunikator member kesan atau
pada kelompok dan lingkungannya. memperlihatkan kesungguhan pada
5) Karisma (Charisma); seorang saat melancarkan kegiatan komunikasi.
komunikator dianggap memiliki 10) Ketenangan (poise);
karisma karena dipandang sebagai komunikator akan cenderung lebih
orang yang memiliki kekuatan sebagai mempercayai pembicara yang tenang,
pemimpin dan mendapat pengakuan santai, tidak gugup, penuh kepastian
komunikannya karena kehebatannya pada saat berperan sebagai sumber
yang luar biasa, fantastis, spektakuler dalam segala situasi dan kondisi yang
atau mengagumkan/menakjubkan, harus dihadapinya.
memukau dan merupakan figure yang Dengan demikian, ada 10 point
dapat diterima di lingkungannya. kredibilitas juru dakwah sebagai
6) Dinamisme (Dynamism); komunikator yang harus dicermati
seorang komunikator dinilai tinggi secara intensif, untuk peningkatan
kredibilitasnya apabila memiliki keberhasilan pelaksanaan Dakwah
kedinamisan seperti agresif, empatis, Islamiyah.
kuat, aktif, energik, dan tegas. Dan
sebaliknya, dianggap rendah Kredibilitas Juru Dakwah
kredibilitasnya apabila tidak dinamis, Berdasarkan pernyataan
seperti takut, pasif, malas-malasan, sebelumnya, bahwa kredibilitas
ragu-ragu, dan defensive. komunikator terletak pada persepsi
7) Keamanan (Safety); masyarakat. Maka untuk memperoleh
komunikator dianggap orang yang hasil yang optimal, seharusnya aktivitas
dapat menjamin keamanan bagi pihak dakwah perlu memperhitungkan
komunikannya melalui berbagai cara tentang persepsi masyarakat, yang
yang dapat memberikan rasa tentu saja berbeda antara masyarakat
ketenangan, kenyamanan, tidak dalam satu wilayah dengan masyarakat
membuat komunikannya dalam dalam wilayah yang lain. Dan penilaian
keadaan yang gelisah, bingung dan kredibilitas tersebut bersifat inherent,
tidak menentu. hanya berlaku apabila pesan yang
8) Keterbukaan (Extroversion); disampaikan/dianjurkan oleh
komunikator dipandang sebagai orang komunikator sesuai dengan harapan
yang menekankan keterbukaan, tidak dan system nilai penerima pesan.
malu-malu, dan tidak menutup diri. Sementara kondisi masyarakat dilihat
Pada prinsifnya komunikator member dari segi tingkat intelektualitasnya saja
peluang untuk mau terbuka terhadap sudah berbeda, hal ini sebagaimana
8 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13
Kredibilitas Juru Dakwah Mariyatul
Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13 9
Mariyatul Kredibilitas Juru Dakwah
10 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13
Kredibilitas Juru Dakwah Mariyatul
Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13 11
Mariyatul Kredibilitas Juru Dakwah
Bahkan dalam banyak sumber prinsip diterima dan diamalkan dengan baik
retorika dakwah Nabi seperti ini diikuti pula, sebagaimana dicontohkan Nabi
pula oleh beberapa sikap elastisitas Muhammad SAW.
antara lain dapat dicatat bahwa beliau Berkaitan dengan kredibilitas ini,
dalam suatu kesempatan bersikap maka yang memberikan penilaian
lemah lembut dan sangat dialogis, terhadap semua itu adalah masyarakat
tetapi dalam kesempatan lain beliau sebagai obyek dakwah. Mereka memiliki
bisa berbuat tegas dan keras (Yaqub asumsi tersendiri terhadap juru
1986, 52-55). dakwahnya, mereka adalah makhluk
hidup, makhluk bergerak yang bebas
4. Argumentatif menilai terhadap komunikator yang
Salah satu keberhasilan dakwah mereka temui. Dengan istilah lain,
Nabi Muhammad Saw adalah bahwa masyarakat punya persepsi tersendiri
Nabi juga mengembangkan prinsip tentang juru dakwah mereka. Hal ini
retorika yang argumentatif. Kalau saja sebagaimana dikemukakan oleh
Nabi tidak menerapkan prinsip seperti Hovland (1953), bahwa pesan yang
ini, maka tentu dakwah Islam tidak disampaikan oleh komunikator yang
bisa berkembang dan barangkali akan tingkat kredibilitasnya tinggi akan lebih
dikalahkan oleh penentang-penentang banyak memberi pengaruh kepada
Islam yang mencoba perubahan sikap penerimaan pesan,
menghancurkannya dengan berbagai daripada jika disampaikan oleh
cara dan gaya bahasa untuk komunikator yang tingkat
melemahkan posisi Islam. kredibilitasnya rendah. Dan dalam
Prinsip retorika yang argumentatif kaitan ini pula, Effendy (1990, 44)
ini banyak dilihat dari berbagai Hadits mengatakan bahwa seorang
Nabi maupun didalam al-Qur‟an. Salah komunikator akan mempunyai
satu contoh dapat dilihat dalam Surah kemampuan untuk melakukan
Fathir ayat 9: ”Dan Allah, Dialah yang perubahan sikap dan tingkah laku
mengirimkan angin, lalu angin itu melalui mekanisme daya tarik, jika
menggerakkan awan, maka Kami halau pihak komunikan merasa bahwa
awan itu ke suatu negeri yang mati lalu komunikator ikut serta dengan mereka
Kami hidupkan bumi setelah matinya dalam hubungannya dengan opini
dengan hujan itu. Demikianlah secara memuaskan. Adapun dimensi
kebangkitan itu. daya tarik menurut Tan Alexis
Demikianlah, melalui prinsip (1981,105) diukur dengan kesamaan
retorika yang penuh argumentatif itu (similarity), keakraban (familiarity) dan
membuat audiens bahkan dari kesukaan (liking).
golongan kaum musyrik sekalipun Kesamaan dalam banyak hal atau
akhirnya dapat menerima dengan rasa salah satu unsur, akan membuat orang
puas terhadap persoalan-persoalan merasa ada ikatan psikologi, atau
yang dikemukakan oleh Nabi Saw. Jadi kedekatan emosional. Misalnya
Nabi adalah seorang komunikator yang kesamaan demografi, kesamaan
handal karena retoris dan perilaku ideology, agama, ras, pekerjaan,
beliau yang akhlakul karimah. pendidikan, pendapatan atau status
Dengan metode penyampaian yang social secara ekonomi atau dalam
baik, dengan tingginya kredibilitas juru tingkat ekonomi.
dakwah dimata umat atau sasaran Adapun keakraban, penting untuk
dakwah, tentunya apa yang mengikis jarak atau kekakuan
disampaikan oleh juru dakwah akan hubungan antar orang perorang atau
12 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13
Kredibilitas Juru Dakwah Mariyatul
dalam hal ini antara komunikator Kaidah yang harus dijadikan acuan
dengan komunikannya, antara juru dalam Dakwah Islamiyah,(Terjemah:
dakwah dengan sasaran dakwahnya. Abdus Salam Masykur, Lc), Era
Demikian pula kesukaan; bakat yang Intermedia, Solo, 2000.
sama akan menimbulkan rasa suka. Mariah, Siti. Metodologi Dakwah
Jalaluddin Rakhmat (1994, 113) Kontemporer, Yogyakarta, Mitra
mengemukakan, bahwa orang yang Pustaka, 2000.
kesukaannya kepada kita bertambah, Muhaimin Abda, Slamet. Prinsip-Prinsip
akan lebih kita senangi daripada orang Metodologi Dakwah, Surabaya,
yang kesukaannya kepada kita tidak Usaha Nasional, 1994
berubah. Muis. A. Komunikasi Islami, Bandung,
Remaja Rosdakarya, 1999.
Kesimpulan Natsir, M. Fiqhud Dakwah, Jakarta,
Dengan demikian, peran seorang Media Dakwah, 2000.
Juru Dakwah sebagai komunikator dan Neny Yulianita. Komunikasi Pemasaran,
berhasil tidaknya dakwah yang Surabaya, Diktat Kuliah Program
disampaikan juru dapat dipengaruhi Pasca Sarjana Unitomo, 2001.
dari tingkat kredibilitas juru dakwah Ya‟qub, Hamzah. Publisistik Islam,
tersebut dimata penerima pesan atau Bandung, Diponegoro, 1981
sasaran dakwah.
Kredibilitas juru dakwah memiliki
poin komponen atau syarat yang jauh
lebih banyak tuntutannya jika
dibandingkan dengan kriteria
kredibilitas seorang komunikator lain
pada umumnya. Kredibilitas seorang
Juru Dakwah tidak hanya menyangkut
kemampuan dari sisi keilmuan dan
performen semata, melainkan keimanan
dan keteladanan menjadi pertimbangan
utama pula. Kredibilitas juru dakwah
sebagai komunikator tidak bisa
dimanipulasi dengan tampilan saja,
tidak bisa dicitrakan secara manipulatif
sesaat dengan polesan kata atau
tampilan kala diperlukan, melainkan
apa yang diucapkan, diajarkan selalu
dilaksanakan dengan keteladanan.
Referensi
Effendy, Onong Uchjana. Dinamika
Komunikasi, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1992.
Jalaluddin Rakhmat. Psikologi
Komunikasi, Bandung, Rosdakarya,
1996
Jum‟ah Amin Abdul Aziz. Fikih Dakwah
Studi atas berbagai Prinsip dan
Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No. 24, Juli–Desember 2013, 1-13 13