Anda di halaman 1dari 20

Nama : Nazatul Natasha

Prodi : 21KPI-1
NIM : 702332021016

KUALIFIKASI KEPRIBADIAN DA’I DAN MAD’U

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kualifikasi merujuk pada keahlian yang dibutuhkan untuk melakukan suatu
tindakan atau untuk mengambil posisi jabatan tertentu. Dalam istilah lain,
kualifikasi mencakup persyaratan baik dalam hal akademis maupun teknis yang
diperlukan untuk menempati posisi tertentu dalam karier. Kualifikasi ini
mendorong seseorang untuk memiliki suatu keahlian atau kemampuan khusus.
Dalam berdakwah, pendakwah maupun mad’u harus mempunyai kualifikasi
kepribadian karena aspek kepribadian yang baik adalah hal yang sangat urgent
dalam proses dakwah agar bisa berjalan dengan baik. Dakwah adalah usaha untuk
mengajak manusia memahami ajaran Islam. 1
Dari bahasa Arab, lahirlah kata da’i yang merujuk pada individu yang
memanggil orang lain untuk memahami atau mengamalkan ajaran Islam. Seorang
da’i , baik dalam bentuk laki-laki (da’i) maupun perempuan (da’iyah), memiliki
tugas untuk berdakwah dan menyebarkan prinsip-prinsip Islam melalui berbagai
cara, seperti komunikasi lisan, tulisan, serta tindakan, dengan tujuan untuk
membawa transformasi menuju keadaan yang lebih baik, sejalan dengan nilai-
nilai yang terdapat dalam ajaran Islam. 2
Sebagai pewaris tradisi, seorang da’i mengikuti teladan rasul-rasul yang
memerlukan tanggung jawab besar. Tanggung jawab menjadi da’i tidak hanya
terbatas pada penyebaran pesan kepada orang lain saja, melainkan juga
memerankan peran da’i untuk diri sendiri dan lingkungannya, termasuk keluarga.
Kualitas seorang da’i dalam memberi bimbingan kepada orang lain hanya akan

1
Rachmat Sunnara, Islam dan Dakwah, (Cet. I; Jakarta: Buana Cipta Pustaka, 2009), h. 1.
2
Aliyudin, “Kualifikasi Da’i: Sebuah Pendekatan Idealistik dan Realistik”, Jurnal Anida,
Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2015, h. 283.
berhasil jika dia mampu membangun efektivitas dalam diri sendiri dan
lingkungannya. Oleh karena itu, karakter yang kuat adalah hal yang sangat
penting bagi seorang da’i.3
Bagi para da’i, ada kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan tentang
teori kepribadian dan dakwah serta mempelajari keterampilan mengidentifikasi,
wawancara, dan berbagai pendekatan dakwah. Namun, esensi dari aktivitas
dakwah yang mereka jalankan pada akhirnya terletak pada diri mereka sendiri.
Mereka membawa pengalaman hidup pribadi ke dalam interaksi dengan mad’u.
Meskipun da’i mungkin memahami teori dan teknik-teknik dakwah, menjadi
seorang da’i yang efektif membutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan teknis,
mereka juga harus menjadi pribadi yang mampu memberikan terapi. Sebelum bisa
membantu orang lain, seorang da’i harus terlebih dahulu memiliki kemampuan
untuk memberikan bantuan kepada dirinya sendiri.
Keberhasilan dalam berdakwah bergantung pada sejumlah faktor.
Pendakwah harus mempunyai pemahaman mendalam mengenai mad’u serta
media dan aspek-aspek lain dalam dakwah. Tanpa pemahaman tentang hal-hal
tersebut, mustahil bagi seorang pendakwah untuk mencapai hasil sesuai harapan
dalam kegiatan berdakwah.
Seorang da’i harus memiliki pemahaman mendalam mengenai kondisi
psikologis dari mad’u yang menjadi sasarannya. Mad’u memiliki berbagai
harapan terhadap seorang da’i dalam hal cara menyampaikan dakwah, materi yang
diungkapkan dan media yang digunakan. Cara dan materi yang disampaikan oleh
da’i memiliki dampak yang signifikan terhadap bagaimana harapan-harapan
mad’u terpenuhi. Namun, terkadang da’i bisa melakukan tindakan yang
sebenarnya tidak diperlukan, seperti kelebihan dalam sikap, humor berlebihan,
monoton, atau kurangnya kesesuaian jarak dengan mad’u. Oleh karena itu, da’i
diharapkan mampu memahami situasi mad’u dengan baik guna mengidentifikasi
kebutuhan mereka dan memfasilitasi komunikasi yang lebih efektif.

3
Ngadri Yusro, “Urgensitas Kepribadian Da’i dalam Berdakwah”, Jurnal Dakwah dan
Komunikasi, Vol. 1, No. 1, 2017, h. 74.
Seorang yang berdakwah, baik secara individu maupun sebagai bagian dari
kelompok atau lembaga, bertanggung jawab dalam menyebarkan ajaran Islam.
Setiap muslim dianggap sebagai subjek dakwah yang harus secara aktif memenuhi
peran tersebut tanpa terkecuali, terus menerus melaksanakan tugasnya sebagai
da’i dengan cara yang sesuai dengan konteks dan situasi di sekitarnya.
Mad’u dengan berbagai latar belakang yang beragam tentunya memiliki
perspektif yang berbeda terhadap suatu isu tertentu. Hal ini terkadang
mengakibatkan penolakan terhadap upaya dakwah yang dilakukan oleh sejumlah
da’i karena dianggap mengganggu tatanan sosial yang dianggap bermanfaat secara
budaya dan keagamaan. Penolakan ini bisa disebabkan oleh ketidaktertarikan
masyarakat terhadap pesan dakwah yang dianggap tidak sesuai dengan kehidupan
mereka atau bahkan dianggap mengganggu tradisi dengan pandangan negatif.
Masyarakat dengan keberagaman latar belakang sosial, keagamaan, dan
budaya seringkali menemui kesulitan dalam menerima pesan dakwah. Salah satu
penyebabnya adalah pandangan dari para da’i yang menanggap bahwa masyarakat
kurang respondif. Namun, saat ini mereka berhadapan dengan masyarakat yang
memiliki beragam masalah dan kondisi, serta memiliki nilai serta tatanan
kehidupan yang kompleks dan dinamis. 4 Meskipun demikian, mad’u sering
menunjukkan kesediaan untuk mengalami perubahan menuju hal yang lebih
positif setelah menerima pesan dakwah.
Mad’u dalam pembahasan dakwah, merujuk kepada individu atau
kelompok yang menjadi pusat atau sasaran utama dalam menerima pesan-pesan
agama. Istilah mad’u berasal dari bahasa Arab yang menggambarkan objek atau
target dalam suatu tindakan. Dalam terminologi dakwah, mad’u menggambarkan
individu atau kelompok yang sering disebut sebagai jamaah, yang tengah aktif
mencari pemahaman agama melalui interaksi dengan seorang da’i, tanpa
memedulikan seberapa dekat atau jauh hubungan mereka. Seorang da’i
memanfaatkan mad’u sebagai subjek untuk berbagi pengetahuan dan informasi
agama. Keberadaan mad’u sebagai fokus dari dakwah yang dilakukan seorang

4
Muhammad Irhamdi, “Keberagaman Mad’u Sebagai Objek Kajian Manajemen Dakwah:
Analisis dalam Menentukan Metode, Strategi, dan Efek Dakwah”, Jurnal MD, Vol. 5, No. 1,
Januari-Juni, 2019, h.57.
da’i, menjadi elemen krusial dalam sistem dakwah yang efektif dan berdampak
luas.
Mad’u tidak hanya diposisikan sebagai objek atau target dari dakwah
semata, tetapi dimaksudkan agar para da’i dapat menjalin kemitraan dalam
berpikir dan bertindak bersama dengan mad’u. Dengan demikian, melalui
hubungan yang dibangun bersama, kesetaraan antara da’i dan mad’u akan
mendorong mereka untuk saling bertukar pengetahuan, pengalaman, serta gagasan
terkait pesan dakwah.
Orientasi dalam dakwah, fokusnya bukan semata pada kepentingan atau
kebutuhan da’i, melainkan lebih kepada kebutuhan serta keterlibatan mad’u.
Meskipun demikian, hubungan yang terjalin antara da’i dan mad’u adalah esensial
dan saling mendukung. Keduanya memiliki peran penting dalam saling
memahami serta saling melengkapi guna mencapai tujuan dakwah yang efektif.
Saat seorang da’i menyampaikan pesan dakwah, penting baginya untuk
memahami secara menyeluruh metode perancangan pesan dan cara
penyampaiannya agar pesan tersebut diterima dengan baik oleh mad’u. Hal ini
mencakup penggunaan bahasa yang sesuai, pemilihan konteks yang tepat dan
adaptasi pesan sesuai dengan kebutuhan serta pemahaman mad’u.
Sebaliknya, meskipun mad’u memiliki harapan besar terhadap da’i,
mereka juga dituntut untuk tetap mempertahankan sikap terbuka dan positif
terhadap pesan yang disampaikan oleh da’i. Hal ini penting karena
memungkinkan diskusi terbuka dan saaling pengertian antara kedua pihak,
membuka kesempatan untuk pertukaran ide dan pemikiran yang lebih luas dalam
mencapai tujuan dakwah yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, ketika mad’u menjadi sasaran dalam proses dakwah,
mereka dapat mengubah cara mereka bertindak saat berinteraksi dalam
masyarakat. Sebagai hasilnya, seorang da’i memiliki kesempatan untuk
meramalkan dan mempengaruhi perubahan perilaku mereka yang akan berdampak
dalam kehidupan bersama.
Sehingga kualifikasi kepribadian da’i dan mad’u merujuk pada
karakteristik yang menjadi ciri khas yang dimiliki oleh seorang pendakwah dan
orang yang menjadi sasarannya dalam proses dakwah. Maka dari itu, materi ini
bisa menjadi landasan untuk memahami bagaimana interaksi antara da’i dan
mad’u dalam proses dakwah, dimana kepribadian keduanya saling berinteraksi
untuk mencapai pemahaman dan perubahan yang diinginkan dalam kehidupan
beragama dan bermasyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kualifikasi Kepribadian Da’i


Dalam bahasa Arab, istilah da’i berasal dari kata-kata seperti al-da’i, al-
da’iyyah, dan al-du’ah yang mengacu kepada individu yang aktif dalam
kegiatan dakwah, berusaha menerapkan nilai-nilai Islam didalam keseharian
dari tingkat individu hingga pada tingkat masyarakat, umat dan bangsa.
Beberapa pandangan menyatakan bahwa seorang da’i adalah pemanggil atau
penyeru yang mengajak manusia untuk memahami dan menjalankan ajaran
Islam.
Seorang da’i dalam dakwah sangatlah penting karena tanpa keberadaan
da’i, Islam hanya akan menjadi sebuah gagasan atau konsep yang tidak dapat
diwujudkan dalam kehidupan masyarakat.5
Da’i tidak hanya merujuk pada pendakwah dalam artian ceramah saja,
tetapi mencakup segala aktivitas positif yang menguntungkan dan memiliki
hikmah. Setiap Muslim dapat menjadi da’i melalui keahlian dan profesi yang
dimiliki, seperti ulama, dokter, atau guru sejalan dengan sasaran dakwah untuk
membina masyarakat Islam dalam realitas. Pentingnya keahlian, pengetahuan
dan profesionalisme dalam peran seorang da’i juga menjadi faktor krusial
dalam keberhasilan dakwah.
Integritas yang tinggi pada seorang da’i penting karena meningkatkan
kepercayaan pesan dakwah di mata mad’u, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi keefektifan dan perhatian terhadap pesan yang disampaikan. 6
Pertimbangan posisi yang sangat strategis, peran yang dimiliki oleh pendakwah
(da’i) di kalangan masyarakat dan keahlian yang dimiliki oleh seorang da’i
menjadi suatu hal yang sangat penting. Kualifikasi ini merujuk pada kewajiban
yang harus terpenuhi oleh masing-masing individu agar dapat dikatakan
sebagai seorang da’i.

5
Mohammad Hasan, Metodologi Pengembangan Ilmu Dakwah, (Surabaya: Pena
Salsabila, 2013), h. 58.
6
Bobby Rachman Santoso, “Dai Kompromis dan Sektarian dalam Memberdayakan Sosio-
Spiritual Masyarakat di Kec. Rejotangan Kab. Tulungagung”, Al-Muaddib; Jurnal Ilmu-Ilmu
Sosial dan Keislaman, Vol. 7, No. 1, 2022, h. 82.
Secara ideal, seorang da’i adalah individu yang beriman kepada agama
Islam, mengambil Al-Qur’an untuk pedoman utama, mengakui Nabi
Muhammad Saw selaku tauladan, serta mengimplementasikan ajaran tersebut
dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, ia juga bertugas menyampaikan
Islam yang mencakup aspek keyakinan, hukum Islam, dan perilaku kepada
semua orang.
Seorang da’i harus mempraktikkan ajaran syariat Islam terlebih dahulu
sebelum ia menyebarkan informasi kepada orang lain. Agar dapat
mengamalkannya dengan optimal, seorang da’i perlu menguasai pemahaman
yang intens mengenai ajaran agama Islam. Sebagai hasilnya, umat Islam yang
tidak memiliki pengetahuan yang cukup atau melakukan berbagai kesalahan
tidak dianggap pantas sesuai dengan definisi ini untuk menjadi da’i. Seorang
da’i sejati, yaitu seorang ulama yang telah menjalankan dengan tepat
pemahamannya mengenai ajaran agama Islam. Bahkan jika seseorang diakui
sebagai ulama, namun belum menerapkan ajaran agama Islam secara baik,
maka ia belum memenuhi kriteria sebagai seorang da’i.7
Dalam konsep keahlian yang baik, seorang da’i yang dapat dipercaya
setidaknya harus memiliki pengetahuan dan kemampuan yang kuat terhadap
pesan yang disampaikan. Memiliki pengetahuan yang luas, pemahaman dan
pengalaman adalah hal yang penting agar tidak kekurangan materi yang akan
disampaikan kepada orang lain. Bagi seorang da’i, pesan-pesan yang
disampaikan haruslah berlandaskan pada wahyu Allah dan ajaran Rasul-Nya
sebagai panduannya dalam berdakwah.
Terkait dengan kompetensi substantif, seperti penguasaan ilmu
pengetahuan Islam dan umum, diperlukan pemahaman yang mendalam dan
luas. Namun, kurangnya kedalaman pengetahuan bukan berarti seseorang harus
pasif tanpa mengambil bagian dalam dakwah. Setiap Muslim seharusnya
menjalankan peran ini sebagai bagian dari kewajiban keagamaan.8

7
Aliyudin, “Kualifikasi Da’i: Sebuah Pendekatan Idealistik dan Realistik”, Jurnal Anida,
Vol. 14, No. 2, Juli-Desember 2015, h. 286.
8
Abdullah, Ilmu Dakwah: Kajian Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Aplikasi
Dakwah, (Cet. I; PT Rajagrafindo Persada: Depok, 2018), h. 188.
Melalui konteks ini, penguasaan pengetahuan agama menjadi salah satu
persyaratan penting bagi seorang pendakwah. Selain itu, pemahaman tentang
manusia termasuk pemahaman tentang keberadaan, kondisi, dan bahasa yang
digunakan, serta pemahaman terhadap perkembangan dunia juga diperlukan
agar tidak tertinggal dari realitas zaman. Seorang da’i harus memahami
perkembangan zaman, situasi kehidupan dan kondisi saat ini.
Kemajuan dalam pengetahuan dan pendidikan dalam masyarakat
mengharuskan seorang da’i untuk mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan
yang dapat menjaga agar ia tidak tertinggal dalam pembaruan pengetahuan jika
dibandingkan dengan mad’u. Terutama dalam era perkembangan seperti
sekarang, dimana masyarakat terus menerus terdorong dan didukung oleh ilmu,
informasi, dan teknologi. Seorang da’i yang berinteraksi dengan masyarakat
umum tersebut tentunya harus mampu mengikuti dan menyesuaikan dirinya
dengan informasi terkini, sehingga kehadirannya di tengah-tengah masyarakat
tidak diabaikan.9
Menurut Abdullah Nasih ‘Ulwan, seorang da’i memiliki beberapa peran,
bukan hanya sebagai seorang penceramah (khatib), tetapi juga sebagai pendidik
masyarakat serta seorang mentor. Dengan peran-peran tersebut, seorang da’i
sudah seharusnya mempunyai pengetahuan yang cukup untuk memberikan
pencerahan dan bimbingan kepada umat dengan dasar-dasar yang diajarkan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui pendidikan
formal, informal, pelatihan, dan pengalaman. Karena salah satu basis
kepercayaan mad’u adalah otoritas ilmiah dan pengalaman yang dimiliki.
Selain itu, seorang da’i juga harus memiliki moral yang baik. Dalam hal
ini adalah sikap atau karakter yang baik dalam konteks agama. Terutama bagi
seorang da’i yang tidak hanya berkomunikasi untuk menyampaikan pesan
biasa, melainkan pesan-pesan atau ayat-ayat Allah, moralitas menjadi prinsip
yang sangat utama.

Hariyanto, “Relasi Kredibilitas Da’i dan Kebutuhan Mad’u dalam Mencapai Tujuan
9

Dakwah”, Al-Idza’ah Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 02, No. 01, Januari-Juni 2020, h. 9.
Moralitas sangat ditekankan dalam akhlak Rasulullah yang dikenal sebagai
(Khulugin Adhim). Beberapa contoh sikap/akhlak, seperti sikap ikhlas, jujur,
rendah hati, sabar, keberanian dalam mencapai tujuan yang baik, kepuasan diri,
keprihatinan, kasih sayang, serta akhlak-akhlak terpuji lainnya, menjadi unsur
yang sangat penting yang harus dimiliki oleh seorang da’i dalam
kepribadiannya. 10
Da’i dalam penyampaian dakwah haruslah menggunakan intonasi yang
tenang dalam berbicara, pemilihan kata yang memukau dan menyentuh hati,
serta materi dakwah yang tidak bersifat menghakimi. Hal ini menekankan pada
mencari kesamaan atau titik temu dengan pendekatan yang menyenangkan dan
tidak mempersulit. Cara ini berakar pada cara dakwah Rasulullah sebelum
hijrah, yang tidak menggunakan istilah merendahkan seperti kafir, musyrik
atau munafik untuk umatnya. Pendekatan ini mencerminkan sifat dakwah yang
menyejukkan. 11
Seorang da’i harus memiliki kesehatan mental karena kesehatan mental
yang baik merupakan dasar penting bagi setiap individu da’i dalam
melaksanakan dakwah. Sebab, aktivitas dakwah berhubungan dengan
individu yang mungkin mengalami masalah kesehatan mental, seperti
kehilangan arah hidup, pedoman, dan teladan. Oleh karena itu, seorang da’i
harus memiliki kesehatan mental yang baik, tidak hanya secara fisik untuk
persiapan menghadapi da’i.
Kesehatan mental ini akan membentuk sifat-sifat atau karakter yang mulia,
yang sangat mendukung keberhasilan dalam menyebarkan ajaran Islam.
Kesehatan mental juga memiliki dampak besar terhadap semangat kerja
dalam dakwah. Kesehatan mental yang baik akan menciptakan semangat
kerja yang positif dan nyaman dalam bekerja. Jika dikaitkan dengan seorang
da’i, ada beberapa konsep penting yang perlu dijelaskan dalam definisi
tersebut.

10
Umdatul Hasanah, “Kualifikasi Da’i: Komparasi Konseptual Retorika Dakwah dan
Retorika Aristoteles”, Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 10, No. 02, Desember 2020, h. 261.
11
Muliaty Amin, Metodologi Dakwah, (Cet. I; Makassar: Alauddin University Press,
2013), h. 13.
Pertama, pentingnya mencapai keseimbangan yang komprehensif antara
berbagai dimensi kejiwaan. Ini menunjukkan bahwa seorang da’i yang
memiliki kesehatan mental yang baik bukan hanya memiliki kemampuan
untuk mengembangkan setiap potensi kejiwaannya, tetapi juga mampu
menjaga harmoni serta keseimbangan antara pikiran, perasaan, dan sikapnya
secara proporsional dan seimbang.
Kedua, prinsip ini menggambarkan konsep adaptasi manusia terhadap
dirinya sendiri. Ini mengidentifikasikan bahwa seorang da’i yang memiliki
kesehatan batiniah yang baik adalah individu yang mampu secara seimbang
menyesuaikan diri dengan potensi dan eksistensinya sendiri. Da’i harus
memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan
kondisi yang ditemui pada mad’u, karena respon dan pendekatannya sebagai
seorang da’i sangat dipengaruhi oleh kondisi serta situasi yang dialami oleh
mad’u itu sendiri. Kemampuan adaptasi ini memungkinkan da’i untuk lebih
efektif dalam menyampaikan pesan dakwah dan memahami kebutuhan serta
kondisi individual dari mad’u yang menjadi fokusnya.
Ketiga, adaptasi yang sehat terhadap lingkungan atau masyarakat
menegaskan peran yang penting bagi seorang da’i dalam meningkatkan
kesejahteraan mad’u dan memperbaiki kondisi sosial masyarakat sekaligus
menuntutnya untuk terus mengembangkan diri. Hal ini mencerminkan bahwa
tugas seorang da’i tidak hanya terbatas pada memenuhi harapan mad’u,
melainkan juga melibatkan kemampuan dan tanggung jawab untuk ikut
membangun serta memperbaiki diri sejalan dengan keadaan serta kebutuhan
masyarakat dimana mad’u berada.
Seorang da’i juga harus mampu menstabilkan emosinya. Stabilitas
emosional dalam arti luasnya mengacu pada keadaan dimana seseorang
memiliki kendali yang baik atas suasana hati tanpa adanya gejala emosi yang
besar. Ini adalah ciri khas individu yang memiliki kemampuan untuk
mengendalikan emosi dengan baik. Emosi yang tidak stabil tidak boleh
diperlihatkan didepan mad’u karena itu akan mengganggu perhatian mad’u.
Emosi atau perasaan, sebagai komponen utama dari fungsi psikologis
manusia, memiliki dampak yang signifikan dalam menjalankan kehidupan.
Seorang da’i yang berkualitas bukanlah individu yang mudah merasa puas. Di
dalam dirinya, ia senantiasa melakukan intropeksi diri, ingin memahami
dengan lebih dalam tentang kelebihan dan kekurangannya. Kesadaran diri
berperan sangat penting bagi seorang da’i terutama dalam membimbing,
menarik kesimpulan, dan menginspirasi mad’u untuk mengambila langkah-
langkah yang mendukung tercapainya tujuan yang telah ditetapkan..12
Seorang da’i harus memiliki keahlian dalam dirinya, yaitu:
1. Memahami Ilmu Dakwah
Jika ingin menjadi da’i yang terampil, penting bagi mereka untuk memiliki
pemahaman yang mendalam mengenai dakwah secara ilmiah. Dakwah
sebagai suatu disiplin ilmu, memiliki struktur yang harus dipahami dengan
baik. Seorang da’i yang profesional harus mampu merancang perencanaan
dan strategi dakwah dengan mempertimbangkan sub-sub dakwah.
2. Memahami Tujuan Dakwah
Mencapai tujuan dakwah tidak semata-mata pada keahlian da’i dalam
membuat mad’u tertawa, meskipun terkadang momen humor itu diperlukan
agar mad’u tidak bosan. Sebaliknya, pendakwah harus memahami dengan
baik sasaran dari dakwah itu sendiri. Dengan hal ini, da’i perlu
memanfaatkan struktur sistematis dalam dakwah sebagai pedoman untuk
menyusun strategi dakwah yang efektif. Contohnya, kondisi dan tantangan
dari objek dakwah dijadikan pertimbangan dalam menentukan materi dan
tujuan dakwah, serta kemampuan bahasa dan tingkat pendidikan objek
dakwah digunakan sebagai dasar dalam menyampaikan pesan dakwah dengan
bahasa yang sederhana agar dakwah bisa tersampaikan dengan efektif.
3. Memahami Sirah Nabawi
Tugas utama para Nabi adalah menyampaikan agama Islam pada periode
zaman masing-masing mereka dengan menjalankan tugas dakwah melalui

12
Saidil Mustar, “Kepribadian Da’i dalam Berdakwah”, Jurnal Tarbiyah, Vol. 22, No. 1,
Januari-Juni 2015, h. 88-91.
bimbingan Allah SWT. Dalam menghadapi berbagai masalah atau tantangan
yang muncul dalam dakwah mereka, para Nabi mampu mengatasinya dengan
baik. Inilah mengapa belajar sirah nabawi sangat penting. Sikap, perkataan
dan perbuatan Nabi Muhammad Saw dalam berbagai aspek seperti akhlak,
keyakinan, ibadah dan interaksi sosial menjadi contoh utama yang harus
diikuti dalam kehidupan.
4. Memahami Fikih Islam dan Usul Fikih
Didalam masyarakat sering kali muncul persoalan-persoalan terkait
dengan fikih shiyam, fikih zakat, fikih ibadah, fikih haji dan sebagainya. Oleh
karenanya, dibutuhkan pengetahuan mengenai usul fikih. 13
Kualifikasi yang sangat penting ini menentukan kepercayaan yang dimiliki
oleh seorang da’i ketika menjalankan perannya dalam masyarakat. Sebagai
seseorang yang melakukan proses dakwah, seorang da’i sebaiknya memenuhi
standar tertentu agar pesan dakwahnya sepenuhnya dapat diterima oleh
mad’u.14 Seorang Da’i juga harus menyadari bahwa mad’u butuh waktu
dalam memahami materi yang disampaikan. 15
Melalui penyederhanaan kualifikasi bagi seorang da’i, terdapat dua aspek
positif yang tercipta. Pertama, setiap muslim tidak akan kesulitan dalam
memasuki peran da’i karena setiap individu muslim memiliki tanggung jawab
untuk berdakwah sesuai dengan kemampuan dan gaya komunikasi yang
dimilikinya. Kedua, masyarakat tidak akan menekankan standar moral yang
sangat tinggi kepada seorang da’i. Mereka dianggap sebagai manusia biasa
dengan kelebihan dan kekurangan. Akibatnya, fokus masyarakat lebih tertuju
pada pesan dakwah yang disampaikan ketimbang pada karakteristik pribadi
dari seorang da’i.
Maka dari itu, kualifikasi kepribadian sangat penting bagi seorang da’i
karena perannya yang signifikan dalam menyebarkan ajaran agama dan

13
Anhar Anshari, Kuliah Ilmu Dakwah, (Cet. I; UAD PRESS: Yogyakarta, 2018), h. 61.
14
Iftitah Jafar, “QUR’ANIC DA’I (In Search of His Qualification)”, Jurnal Dakwah
Tabligh, Vol. 13, No. 1, Desember 2012,h. 177.
15
Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah, (Cet. I; Jakarta: PT Adhitya
Andrebina Agung, 2006), h. 11.
memberi pengaruh pada masyarakat. Dengan memiliki karakter yang baik,
seorang da’i dapat meningkatkan efektivitas dalam menyampaikan pesan
dakwah, menjalin hubungan yang positif dengan mad’u, serta menjadi agen
perubahan yang positif dalam komunitas.
B. Kualifikasi Kepribadian Mad’u
Kualifikasi mad’u dalam konteks dakwah mengacu pada karakteristik
atau syarat-syarat yang membuat seseorang atau kelompok menjadi sasaran
utama dalam aktivitas dakwah. Mad’u yang merupakan objek dakwah,
memiliki karakteristik yang relevan dalam penyampaian pesan agama. Hal ini
mencakup keterbukaan, kesadaran, keterbukaan terhadap perubahan,
kepedulian, keterimaan, dan keterbukaan berdiskusi. Karakteristik ini menjadi
pedoman dalam menyampaikan pesan agama dan membangun pemahaman
yang lebih baik.
Beberapa materi kualifikasi mad’u yang sering dibahas dalam dakwah
meliputi pemahaman tentang agama yang minim, kebutuhan akan panduan
spiritual, ketidakpahaman terhadap nilai-nilai moral, atau individu yang
tengah mencari makna dalam hidupnya. Kualifikasi mad’u juga bisa merujuk
pada kelompok yang rentan terhadap pengaruh eksternal dan membutuhkan
bimbingan untuk pemahaman yang lebih baik.
Istilah mad’u berasal dari isim maf’ul yang terbentuk dari kata kerja
da’a-yad’u-da’watan-mad’u, merujuk pada individu yang menjadi fokus atau
tujuan utama dari upaya dakwah. Dalam terminologi dakwah, konsep mad’u
mencakup seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali baik muslim maupun
non-muslim, laki-laki, perempuan serta beragam lapisan sosial dan budaya
lainnya. Hal ini menandakan bahwa pesan dakwah ditujukan untuk semua
kalangan tanpa membedakan latar belakang atau identitas tertentu.16
Mad’u adalah individu atau kelompok yang menjadi tujuan dari pesan
komunikasi atau penerima pesan dalam suatu interaksi komunikasi atau
tujuan tertentu. Dalam konteks ini, penerima pesan komunikasi merujuk

16
Abdul Basit, Filsafat Dakwah, (Cet. I; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017), h. 43.
kepada semua orang yang menjadi fokus dari seorang da’i, yang menjadi
target dalam penyampaian pesan komunikasinya. Sama halnya dengan
sasaran dalam kegiatan dakwah, yang pada dasarnya merupakan subjek dari
aktivitas dakwah itu sendiri. Istilah yang sering digunakan untuk menyebut
mereka yang menjadi target dakwah adalah mad’u. 17 Mad’u juga disebut
sebagai partner, target dan subjek dalam dakwah adalah individu yang
menerima pesan dakwah. 18
Mad’u memiliki peran penting dalam proses dakwah karena memiliki
kemampuan untuk memberikan feedback. Feedback ini memiliki nilai penting
dalam mengukur sejauh mana tingkat pemahaman mad’u terhadap pesan yang
disampaikan oleh da’i atau apakah terdapat kekeliruan atau kesalahpahaman
yang perlu diperjelas kembali.
Berdasarkan pemahaman dari Al-Qur’an dan sejarah dakwah rasul, ada
berbagai pandangan terhadap mad’u sesuai dengan sudut pandang masing-
masing. Mad’u dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama jika
dilihat dari respons mereka terhadap ajaran Islam, yaitu yang menerima
dakwah Islam (mu’min) dan yang menolaknya (kafir). Melalui perspektif
prioritas pelaksanaan dakwah, mad’u dimulai dari lingkungan yang paling
terdekat, dimulai dari diri sendiri, keluarga, hingga masyarakat umum.
Mad’u yang merupakan subjek dari dakwah adalah individu yang
memiliki karakteristik yang beragam. Untuk memastikan materi dakwah
dapat diterima dengan baik, pemahaman yang bersifat luas mengenai mad’u
beserta beragam karakteristiknya menjadi hal yang sangat penting. Dari sudut
pandang psikologis, individu sebagai subjek dakwah dapat dipilah
berdasarkan beberapa faktor, antara lain:
1. Sifat kepribadian, seperti ketakutan, kemarahan, kepribadian sosial,
ramah, sombong, dan karakteristik lainnya.

17
Kustadi Suhandang, IImu Dakwah, (Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), h.
22.
18
Fahrurrozi, dkk, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenamedia Group, 2019), h. 84.
2. Kecerdasan, yang melibatkan kepekaan berpikir, kemampuan belajar,
kecerdasan dalam berpikir, pengambilan keputusan serta kemampuan
dalam memproses informasi dan membuat kesimpulan.
3. Pengetahuan yang dimiliki individu.
4. Keterampilan yang dimiliki dalam menyampaikan pesan dakwah.
5. Nilai-nilai yang diyakini dan dipegang teguh.
6. Peran yang dimainkan dalam struktur sosial masyarakat.
Dalam pengkajiannya, Imam Al-Ghazali mengidentifikasi tiga kategori
mad’u yang berbeda:
1. Kaum awam, yang memiliki tingkat akal yang sederhana dan
cenderung percaya serta patuh. Mereka memerlukan pendekatan
melalui nasihat atau petunjuk untuk memperoleh pemahaman yang
lebih baik.
2. Kaum terpilih, yang memiliki tingkat akal yang kuat dan mendalam,
memungkinkan mereka untuk berpikir secara tajam dan mendalam.
Bagi mereka, penjelasan tentang hikmah-hikmah tertentu menjadi
kunci untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam.
3. Kaum yang menentang, yang memerlukan pendekatan berupa dialog
atau mujadalah (debat) agar terjadi pertukaran pemikiran yang
konstruktif dan pemahaman yang lebih luas. Dengan demikian, Imam
Al-Ghazali menawarkan pendekatan yang beragam sesuai dengan
tingkat pemahaman dan sikap mad’u yang berbeda.19
Pembahasan tentang mad’u dalam dakwah dapat dibagi menjadi dua
kategori, yakni mad’u yang bersifat pasif dan mad’u yang aktif. 20 Mad’u yang
bersifat pasif ialah orang yang tidak aktif dalam memberikan tanggapan,
sedangkan mad’u yang aktif ialah orang yang terlibat aktif dalam diskusi atau
interaksi. Selain itu, terdapat tiga kelompok mad’u yang dapat diamati dari
tingkat aktivitas mereka dalam menjalankan kegiatan dakwah. Pertama,

19
Rahmatullah, “Analisis Penerapan Metode Dakwah Berdasarkan Karakteristik Mad’u
dalam Aktivitas Dakwah”, Jurnal MIMBAR, Vol. 2, No. 1, 2016, h. 58-59.
20
Asna Istya Marwantika, “Potret dan Segmentasi Mad’u dalam Perkembangan Media di
Indonesia”, Jurnal al-Adabiya, Vol. 14, No. 01, 2019, h. 4.
mereka yang setelah menerima arahan dan pengetahuan, mampu
mengingatnya, menerapkannya dalam kehidupan dan mengajarkannya secara
sungguh-sungguh kepada orang lain.
Kedua, mereka yang setelah menerima arahan dan pengetahuan, mampu
mengingatnya tetapi kurang dapat memanfaatkan potensi mereka secara aktif
dalam kegiatan dakwah. Meskipun demikian, mereka tetap memberikan
manfaat kepada orang lain. Ketiga, ada mereka yang dapat memiliki
kemampuan untuk mengingat informasi yang diterima, tidak mampu
memahami apa yang didengar sehingga mereka tidak memberikan manfaat
kepada orang lain.
Jika melihat dari respon dan apresiasi mad’u terhadap kegiatan dakwah,
dapat diamati terdapat tiga kelompok mad’u: Pertama, mereka yang secara
terang-terangan menolak dan menghadapi para pendakwah dan kegiatan
dakwah. Kedua, mereka yang menerima kegiatan dakwah, namun tidak
mengikuti atau melaksanakan apa yang diajarkan. Ketiga, mereka yang
menerima dengan penuh antusiasme dan bahkan bersedia berkorban demi
kemajuan kegiatan dakwah. 21
Melalui proses dakwah, ada kemungkinan bagi seorang mad’u untuk
salah memahami maksud dari da’i. Hal yang harus perlu diingat adalah
penting bagi mad’u untuk mendengarkan dengan saksama apa yang
disampaikan oleh da’i. Mad’u harus dapat memahami pesan secara
menyeluruh agar tidak terjadi kesalahan informasi. Namun, terkadang terjadi
situasi dimana mad’u mendengarkan bukan untuk memahami tetapi untuk
merespon tanpa benar-benar memperhatikan pesan yang disampaikan. Maka
dari itu, mad’u perlu memiliki ketertarikan dan kesediaan untuk belajar
mengenai ajaran agama tanpa persepsi yang negatif dan merenungi pesan
yang disampaikan, menganalisis dan mengevaluasi apakah relevan dengan
kehidupan mereka.

21
Norhidayat, “Mengenal ‘Mad’U’ dalam Perspektif Al-Quran dan Hadis”, Jurnal
Kopertais, Vol. 12, No. 22, Oktober 2014, h. 127-128.
Kualifikasi kepribadian mad’u yang baik membantu dalam
pengembangan spiritual, moralitas, dan perilaku yang lebih baik. Mereka
yang menerima pesan dakwah dengan kualifikasi ini cenderung memiliki
pertumbuhan pribadi yang lebih optimal.
Melalui pemahaman akan kualifikasi kepribadian ini membantu da’i
untuk menyesuaikan pendekatan dan pesan dakwah agar lebih tepat dan
efektif dalam mencapai tujuan dakwah yang diinginkan oleh da’i.
Oleh karenanya, kualifikasi kepribadian memiliki signifikansi besar bagi
seorang mad’u yang dijadikan sasaran dalam aktivitas dakwah karena
memainkan peran krusial dalam cara mereka menerima, merespons, dan
berinteraksi dengan da’i. Melalui kualifikasi kepribadian ini, mad’u mampu
dengan lebih baik menanggapi serta menerapkan pesan-pesan dakwah dalam
kehidupan sehari-hari mereka secara lebih efektif dan responsif.
KESIMPULAN
Kualifikasi kepribadian memainkan peran penting dalam dinamika proses
dakwah, baik bagi seorang da’i maupun mad’u. Bagi seorang da’i, memiliki aspek
kepribadian seperti integritas, kemampuan berkomunikasi yang efektif dan teladan
moral yang kokoh adalah kunci kesuksesan dalam menyampaikan pesan dakwah
secara efektif dan meyakinkan. Sebaliknya, bagi seorang mad’u, memiliki
kualifikasi kepribadian seperti keterbukaan terhadap perubahan, minat pada
dimensi spiritual, dan semangat untuk belajar merupakan elemen penting yang
memudahkan mereka dalam menerima serta menerapkan pesan dakwah ke dalam
kehidupan sehari-hari dengan lebih baik. Secara keseluruhan, kekuatan kualifikasi
kepribadian dari kedua belah pihak membentuk landasan yang solid dalam proses
dakwah, memperkuat pemahaman agama dan mendorong perubahan positif dalam
masyarakat.
Kedua belah pihak, baik da’i maupun mad’u memegang peran penting
dalam proses penyampaian pesan agama. Kualifikasi kepribadian yang baik pada
keduanya membantu membangun hubungan yang saling mendukung dan
meningkatkan efektivitas dakwah. Kualifikasi ini menjadi fondasi dalam
membangun pemahaman, penghargaan dan penyebaran pesan agama yang
berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. Ilmu Dakwah: Kajian Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Aplikasi
Dakwah. Cet. I; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2018.

Aliyudin. “Kualifikasi Da’i: Sebuah Pendekatan Idealistik dan Realistik”. Jurnal


Anida. Vol. 14. No. 2. Juli-Desember 2015.

Amin, Muliaty. Metodologi Dakwah. Cet. I; Makassar: Alauddin University Press,


2013.

Anshari, Anhar. Kuliah Ilmu Dakwah. Cet. I; Yogyakarta: UAD PRESS, 2018.

Basit, Abdul. Filsafat Dakwah. Cet. I; Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2017.

Fahrurrozi, dkk. Ilmu Dakwah. Cet I; Jakarta: Prenamedia Group, 2019.

Faizah dan Lalu Muchsin Effendi. Psikologi Dakwah. Jakarta: PT Adhitya


Andrebina Agung, 2006.

Hariyanto. “Relasi Kredibilitas Da’i dan Kebutuhan Mad’u dalam Mencapai


Tujuan Dakwah”. Al-Idza’ah Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol. 02. No.
01. Januari-Juni 2020.

Hasan, Mohammad. Metodologi Pengembangan Ilmu Dakwah. Surabaya: Pena


Salsabila, 2013.

Hasanah, Umdatul. “Kualifikasi Da’i: Komparasi Konseptual Retorika Dakwah


dan Retorika Aristoteles”. Jurnal Komunikasi Islam. Vol. 10. No. 02.
Desember 2020.

Irhamdi, Muhammad. “Keberagaman Mad’u Sebagai Objek Kajian Manajemen


Dakwah: Analisis dalam Menentukan Metode, Strategi, dan Efek Dakwah”.
Jurnal MD. Vol. 5. No. 1. Januari-Juni, 2019.

Jafar, Iftitah. “QUR’ANIC DA’I (In Search of His Qualification)”. Jurnal Dakwah
Tabligh. Vol. 13. No. 1. Desember 2012.

Marwantika, Asna Istya. “Potret dan Segmentasi Mad’u dalam Perkembangan


Media di Indonesia”. Jurnal al-Adabiya. Vol. 14. No. 01. 2019.

Mustar, Saidil. “Kepribadian Da’i dalam Berdakwah”. Jurnal Tarbiyah. Vol. 22.
No. 1. Januari-Juni 2015.

Norhidayat. “Mengenal ‘Mad’U’ dalam Perspektif Al-Quran dan Hadis”. Jurnal


Kopertais. Vol. 12. No. 22. Oktober 2014.

Rahmatullah. “Analisis Penerapan Metode Dakwah Berdasarkan Karakteristik


Mad’u dalam Aktivitas Dakwah”. Jurnal MIMBAR. Vol. 2. No. 1. 2016.
Santoso, Bobby Rachman. “Dai Kompromis dan Sektarian dalam
Memberdayakan Sosio-Spiritual Masyarakat di Kec. Rejotangan Kab.
Tulungagung”. Al-Muaddib; Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman. Vol.
7. No. 1. 2022.

Suhandang, Kustadi. IImu Dakwah. Cet. I; Bandung: PT Remaja Rosdakarya,


2013.

Sunnara, Rachmat. Islam dan Dakwah. Cet. I; Jakarta: Buana Cipta Pustaka,
2009.

Yusro, Ngadri. “Urgensitas Kepribadian Da’i dalam Berdakwah”. Jurnal Dakwah


dan Komunikasi. Vol. 1. No. 1. 2017.

Anda mungkin juga menyukai