Filsafat
Manusia
Potensialitas dan
Aktualitas Manusia
05
Psikologi Psikologi Ahmad Sabir, M.Phil.
Abstract Kompetensi
Potensialitas dan aktualitas manusia Mahasiswa dapat memahami
merupakan struktur manusia yang Potensialitas dan Aktualitas yang
berada dalam proses menjadi, memiliki berkembang sebagai kodrat manusia
kemungkinannya sendiri dan
aktualisasi diri
POTENSIALITAS dan AKTUALITAS MANUSIA
Pengertian Potensialitas dan Aktualitas dalam Filsafat
Ada pendapat yang sangat umum mengenai potensialitas dan aktualitas manusia
walaupun lazimnya hanya implisit dan tersembunyi saja. Pegangan pertama dapat diambil
dari contoh klasik: seorang seniman memahat patung dari potongan kayu. Potongan kayu
itu mengandung bermacam-macam kemungkinan, dapat digarap menjadi patung atau meja
atau apa saja. Lalu, ide ‘patung’ mempunyai suatu kepenuhan ideal; dan seniman itu selalu
berusaha mencapai suatu idam-idaman keindahan. Namun, sambil bekerja, idam-idaman itu
seakan-akan dibatasi oleh kemungkinan kayu (dan oleh seniman sendiri), atau oleh
pembentukan konkret. Jika kemungkinan kayu dapat dikatakan sebagai potensi kayu, maka
batas kemungkinannya itu disebut sebagai aktualitas kayu dalam pembentukan konkretnya.
Dalam contoh klasik diatas Kemungkinan disini dalam konteks manusia merupakan
salah satu dimensi yang dikatakan sebagai potensialitas karena Ia sendiri yang menciptakan
kemungkinannya sendiri, sebagaimana berbeda dengan kayu yang diberikan
kemungkinannya. Jadi potensialitas manusia disini tidak diartikan sebagai sebatas potensi
atau kemampuan manusia, melainkan segala kemungkinan yang menjadi milik manusia.
Akan tetapi, dalam potensialitas manusia itu hanya satu yang dihayati atau diakui sebagai
sebuah kemungkinannya sendiri dalam setiap momen kemewaktuan manusia. Manusia
dibatasi sendiri oleh kemungkinannya sendiri dalam pencariannya. Disinilah letak aktualitas
manusia itu.
Bentuk merupakan hakikat sesuatu sehingga kekal dan tidak berubah-ubah. Tetapi
dalam panca indera terdapat perubahan, perubahan menghendaki dasar yang di atasnyalah
perubahan itu terjadi, dasar inilah yang disebut materi. Materi berubah tetapi bentuk kekal.
Bentuklah yang membuat materi berubah, artinya materi berubah untuk memperoleh bentuk
tertentu. Dengan memperoleh bentuk tertentu, materi mempunyai potensialitas yang ada di
dalamnya, menjelma menjadi aktualitas. Antara bentuk dan materi terdapat hubungan gerak.
Potensialitas Penuh
Makin manusia dekat kepada asal-usulnya sendiri (pada titik pangkalnya), makin
pula ia ‘memiliki’ kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas jumlahnya. Pada titik
permulaan itu potensialitasnya masih paling luas atau paling ekstensif. Ia masih dapat
menjadi apa-apa: menteri, dosen, tokoh masayarakat, tukang becak; baik dan pinter dan
kecil dan bodoh atau apa saja. Masih dapat menerima sembarang ketentuan-ketentuan;
daia masih semacam tabula rasa atau kertas putih. Kemungkinan-kemungkinan itu
bersama-sama dapat dipandang sebagai suatu keseluruhan walaupun tanpa hubungan satu
sama lain. Mereka merupakan kemungkinan manusiawi murni; belum ada sedikitpun selain
potensial belaka.
Karena yang diselidiki ialah substansi manusia, maka kemungkinan ini disebut
potensialitas substansial. Kemungkinan ini merupakan suatu ‘belum’ yang radikal dan
substansial. Potensialitas substansial ini adalah dasar dan cakrawala terakhir bagi semua
kemungkinan substansi; seakan-akan merupakan pengakuan tanpa batas tertentu, penuh
dengan segala kemungkinan manusiawi. Kemungkinan murni itu sudah sejak permulaan
ada di dalam masing-masing manusia unik.
Aktualitas Penuh
Manusia Konkret
Di dalam substansi manusia yang konkret kedua unsur tadi seakan-akan bertemu di
dalam suatu dialektika yang kompleks. Potensialitas murni merupakan unsur ‘belum-
ditentukan’, yang menunggu dan menantikan penentuan yang harus diterimanya dengan
pasif. Aktualitas murni berupa unsur ‘menetukan’, yang bertindak secara aktif. Namun, di
dalam substansi konkret kedua limit tadi sudah tidak ditemukan menurut kemurniannya.
Misalnya, kalau anak didik dalam keluarga seorang petani, maka potensialitasnya
yang diaktuir itu lain daripada di dalam pendidikan pada keluarga seorang dokter. Sekolah
yang saya kunjungi juga memberi aktuasi terbatas; diambil rel tertentu, ke dalam arah
tertentu. Kemungkinan-kemungkinan lain seakan-akan menjauh, dan mungkin tidak pernah
lagi mendapat kesempatan.
Substansi manusia itu selalu menjadi kesatuan potensialitas dan aktualitas. Di dalam
manusia konkret kedua aspek tidak dapat dipikirkan lepas satu sama lain. Saling meresapi
dan saling melingkupi dan saling menentukan. Hanya dalam kesatuan bersama mereka
dapat menjadi real. Selalu ada potensialitas-yang-diaktuir (namun masih mempunyai latar
belakang kemungkinan-kemungkinan tak terbatas yang seakan-akan ditangguhkan), dan
aktualitas-yang-direalisir (namun diliputi suatu cakrawala kesempurnaan tak tertinggal, yang
seakan-akan masih tersembunyi). Mereka berdua itu koekstensif, sama luas.
Hubungan antara potensialitas dan aktualitas itu dianggap bersifat sangat unik;
hanya berlaku untuk hubungan antara kedua aspek ini. Hubungan itu seperti antara ‘belum’
dan ‘sudah’, antara ‘yang-belum-sempurna’ dan ‘yang-sempurna’. Potensialitas lebih
ditempatkan pada titik permulaan, dan dinilai rendah. Potensialitas murni ialah batas atau
limit realitas manusiawi yang paling minim. Aktualitas lebih ditempatkan pada titik hasil, dan
dinilai tinggi. Aktualitas murni ialah batas atau limit realitas manusiawi yang paling maksimal.
Pengertian serta Posisi Potensionalitas dan Aktualitas Manusia dalam Filsafat Modern
Potensi(alitas) objektif atau ‘possibility’ adanya manusia disini tidak dibicarakan lagi.
Mungkin akhirnya harus dijabarkan kepada ‘potensialitas’ pula sebab kemungkinan adanya
manusia hanya diketahui dari fakta adanya saja sebagai ‘ab esse ad posse valet illatio’
(kesimpulan yang valid). untuk problem itu lihatlah metafisika/ontology. Disini hanya
dibicarakan potensialitas subjektif saja.
Filsafat modern, mulai dari Descartes, menolak konsep ‘potensi’ dan ‘aktualitas’.
Sebab bersama dengan timbulnya ilmu pengetahuan eksakta, maka ‘potensi’ substansial
dan aspek-aspeklnya yang lebih khusus dibayangkan sebagai suatu sifat atau hal yang fisis-
real di dalam substansi; dan filsafat skolastik memang telah memberikan alasan bagi salah
paham itu oleh karena caranya memakai ‘potensi’ di dalam keterangannya tentang soal-soal
ilmiah positif. Tidak dapat ditemukan potensi-potensi seperti itu dengan memakai
eksperimen-eksperimen atau analisis ilmiah, maka seluruh konsep ‘potensi’ sebagai
‘realitas’ yang berdistingsi-real dari aktualitas itu ditolak. Demikian rasionalisme (Descartes),
empirisme (Hume), dan mekanisme.
Filsafat perubahan
Kemudian filsafat modern akhirnya menerima kembali konsep ‘potensi’. Pada abad
ke-20 ilmu pengetahuan meninggalkan gambaran dunia yang berciri mekanis. Maka baik
ahli filsafat maupun ahli ilmu pengetahuan lain (a.l Heisenberg) kembali lagi kepada
pengertian ‘potensi’. Potensionalitas dianggap syarat mutlak untuk menerangkan proses
perkembangan organis dan jenjang kemungkinan-kemungkinan kegiatan yang tak terduga di
dalam alam-dunia.
Menurut Freud, di dalam manusia ada suatu daya psikis, yang merupakan motor
perkembangan, yaitu ‘libido’. Daya itu di dalam hewan dikendalikan oleh naluri dan
keterikatannya kepada alam sekitar. Tetapi di dalam manusia daya itu jauh lebih luas dan
tendensi-tendensinya seakan-akan tak terbatas. Terpaksa oleh benturan realitas, maka
ketidak-terbatasan ‘libido’ itu disalurkan ke dalam sublimasi dorongan pada taraf yang lebih
tinggi.
Gehlen mempunyai pandangan serupa dengan lebih bertolak dari bidang biologis.
Dibandingkan dengan yang infrahuman, manusia disebut mangelwesen, yaitu ‘makhluk
yang berkekurangan’. Misalnya, hewan sudah agak cepat berspesialisasi di dalam macam-
macam unsur; bentuk kaki-tangannya, moncong, sayap, kebiasaan-kebiasaan (naluri) dll.
Manusia itu lebih’ primitif’, tidak demikian berspesialisasi, tidak beradaptasi, bersifat
embrional. Jadi, potensialitas manusia jauh lebih kurang terbentuk, dan jauh lebih luas dari
hewan. Maka manusia dapat bertahan terus karena ia mengatasi kelemahan-kelemahan
dan kekurangan-kekurangan tadi dengan kegiatan pada taraf lebih tinggi, yakni taraf mental-
spiritual.
Aktualitasku
Potensialitasku
Kemampuan
Bahwa aku ini ‘aku’ dengan actual mengandaikan dan menuntut (sebagai syarat
mutlak) bahwa aku dapat mengakui diri dan ‘yang-lain’. Aku memiliki kemampuan agar
‘memanusia’, seperti sekarang ini saya lakukan. ‘mampu’ itu merupakan arti pokok dari kata
kerja latin posse; possum ialah ‘aku bisa’ (je peux=prancis). Kemampuanku ‘meng-aku’
sekarang ini merupakan potensialitasku, atau dengan kata lain yang lebih konkret:
‘potensi’ku. Aku ini suatu potensi ‘mengaku’ yang substansial.
Personal-konkret
Kemampuan atau potensiku ini dapat juga disebut ‘kemungkinan’: aku mungkin
mengakui diri. Sebetulnya, istilah ‘kemungkinan’ terlalu abstrak dan kurang personal. Hanya
menunjukkan dugaan bahwa tidak mustahil sesuatu peristiwa akan terjadi, atau sudah
terjadi, atau sedang terjadi tanpa saya ketahui dengan tepat. Istilah itu justeru membuat
abstraksi dari kepastian dan penyadaran dan pelaksanaanku sendiri. Misalnya, waktu masih
anak-anak, saya membayangkan segala kemungkinan yang terbuka bagi saya umumnya itu
hanya spekulasi abstrak; dan tidak jelas apakah penantian itu realistis, dan apakah itu
memang potensialitas subjektif di dalam diri saya.
Refleksi
Kedua aspek diatas antara aktualitas dan potensialitas berkembang sejajar dengan
‘aku’. Dalam kerangka potensialitas manusia dapat kita lihat misalnya ketika seorang ibu
atau ayah dapat membayangkan semua kemungkinan yang terbuka bagi anaknya. Namun
itu baru spekulasi abstrak; dan sama sekali belum begitu jelas. Kurang tepat juga
mengatakan bahwa potensialitas bagi manusia itu paling luas, bahkan tak terbatas pada titik
permulaannya; bahwa dia dapat menjadi apa-apa. Kurang tepat bahwa keleluasaan itu
lambat laun dipersempit, bahwa makin lama makin banyak pintu ditutup. Potensialitas
demikian itu bukan konkret pribadi, melainkan melulu kekosongan tyanpa dinamika yang
benar. Kebelumhadiran ketentuan itu dapatlah disebut potensialitas murni. Namun,
sebenarnya hanya merupakan ekstensi (keluasan) belaka (kemungkinan-kemungkinan
abstrak yang tak terbatas banyaknya), tanpa komprehensi apapun (sintetis ataui kepadatan
real). Potensialitas itu tidak berarti apa-apa; sebenarnya hanya nol besar yang dapat
‘menghasilkan’ apa-apa saja.
Sementara aktualitas manusia tidak pula dipikirkan sebagai suatu kepenuhan ideal,
yang disampaikan dan dipenjarakan oleh potensialitas dulu. Aktualitas demikian pada
bentuk murni hanya komprehensi saja (sintesis padat yang sempurna) tanpa ekstensi
(pluralitas bidang-bidang penghayatan). Itu bukan manusiawi. Kurang tepat bahwa aktualitas
itu lama-kelamaan membebaskan diri dari keterbatasan potensialitas, dengan
mengaktuirnya. Sebaliknya, aktualitas itu justeru bertitik tolak dari kecil, dan berkembang
perlahan-lahan secara kreatif. Di luar aktualitasku sekarang tidak ada kesempurnaan
apapun, yang terbelenggu pun tidak, kecuali janji untuk masa depan. Aktualitas murni tidak
terpikirkan, dan tidak ada. Hanya ada sejauh menjadi real di dalam ‘sekarang’ dan sebagai
janji.
Kesimpulan
Dari fakta-fakta diatas, di dalamnya didapatkan aspek-aspek baru lagi; dan unsur
potensialitas-kesempurnaan, bakat, cita-cita ini mewarnai aktualitas otonomi-di-dalam-
korelasi, dan mengisi struktur perkembangan. Namun mereka tidak memberikan keterangan