http://eprints.umpo.ac.id/1160/2/3.%20BAB%20I.pdf
Latar Belakang
A.Latar Belakang
https://elanurainiblog.wordpress.com/2016/04/09/teori-teori-pendidikan/
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang. (UUR.I. No. 2 Tahun 1989, Bab 1, Pasal 1).[1]
Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. (kamus besar bahasa indonesia, 1991).[3]
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No. 20 tahun 2003).[4]
1. Teori-Teori Pendidikan
Gambaran pendidikan dilihat dari teori pendidikan secara faktual adalah aktivitas
sekelompok orang dan guru yang melaksanakan kegiatan pendidikan untuk orang-
orang muda dan secara prespektif memberi petunjuk bahwa pendidikan adalah
muatan, arahan, pilihan yang telah ditetapkan sebagai wahana pengembangan
masa depan anak didik yang tidak terlepas dari keharusan kontrol manusia.
Pemahaman mengenai pendidikan mengacu pada konsep tersebut
menggambarkan bahwa pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia
mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang
demikian kompleks tersebut, maka tidak suatu batasan pun yang cukup memadai
untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap.
Pernyataan secara filosofis apa itu pendidikan harus diangkat pada level konsep
yang tinggi, sehingga terlepas dari pengertian yang hanya melihat pendidikan
sebagai kegiatan belajar mengajar saja dan suatu usaha membantu orang lain
menjadi manusia terdidik, dan ini muncul sebagai fenomena sosial. Secara prinsip
pernyataan filosofis harus memberi identitas pada pendidikan yang berbeda
dengan yang lain bersifat “cross culture” artinya bahwa kita melihat pendidikan
itu dengan konsep yang lebih luas dan lintas kultural yang memandang manusia
sebagai bagian dari masyarakat sosial yang secara akumulatif mempengaruhi
proses pendidikan.[6]
Pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktek, teori pendidikan
adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogianya pendidikan itu
dilaksanakan, sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara
kronkritnya. Teori dan praktek itu seyogianya tidak dipisahkan, siapa yang
berkecimpung di bidang pendidikan sebaiknya menguasai kedua hal tersebut.
O’Connon berpendapat bahwa suatu teori pendidikan perlu memiliki syarat-
syarat, seperti logis yaitu memenuhi syarat-syarat untuk berfikir lurus dan benar,
deskriptif atau penggambaran berarti dipaparkan secara jelas, dan menjelaskan
berarti memberikan penerangan. Teori pendidikan menurut Pratte tidak dapat
disusun seperti teori dalam ilmu pengetahuan alam. Teori pendidikan disusun
sebagai latar belakang yang hakiki dan sebagai rasional dari praktek pendidikan
serta pada dasarnya bersifat direktif (bermakna pendidikan itu mengarah kepada
tujuan yang pada hakekatnya untuk mencapai kesejahteraan bagi subjek didik).[8]
Hirst mengatakan bahwa sifat pelaksanaan dari teori pendidikan disuatu sisi itu
adalah teori dan barangkali bukan bagian dari pelaksanaan pendidikan. Sebab
pendidikan mampu mengarahkan pelaksanaan sekaligus memiliki nilai
penghargaan dan itu merupakan kebenaran yang universal. Jadi teori pendidikan
yang dihasilkan adalah universal dan mampu menggiring pelaksanaan pendidikan
kemana-mana, ini tidak terkait pada pendidikan dalam konteks tradisional tetapi
didesain untuk pengajaran konteks tradisional. Kemudian ditegaskan kembali
bahwa pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak
didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai
anggota masyarakat dalam lingkunagn alam sekitar dimana individu itu berada.
Artinya pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latian baik yang dilaksanakan secara formal
disekolah maupun non-formal diluar sekolah.[11]
Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi sejak dilahirkan anak telah memiliki
potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta
didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan
pendidikan hanya menepati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai
pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.
Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik.
Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya, Francis Parker dan John
Dewey memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh.
Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai
dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang
muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan
menggunakkannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam
metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan
kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal
dari pemikiran-pemikiran J.J Rouseau tentang tabularasa, yang memandang setiap
individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan
ketulusan.
3. Teknologi pendidikan.
Teknologi pendidikan, yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai
persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam
menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam
teknologi pendidikan, yang lebih diutamakan adalah pembentukan dan
penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan
dan pemeliharaan budaya alam.
Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-
bidang khusus. Isi pendidikan berupa objek dan keterampilan yang mengarah
kepada kemampuan vokasional. Isi disusun dalam bentuk desain program atau
desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media
elektronika, dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik
berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahkan dan pola-pola kegiatan secara
efisien. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat.
Pendidik berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak
tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari
pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan
bekerja sama dengan manusia lain. Pendidikan sebagai salah satu bentuk
kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan
interaksional menekankan interaksi dua pihak dari pendidik kepada peserta didik
dan dari peserta didik kepada pendidik. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi
antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara
pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai
bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari
fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta
tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya
dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu
filsafat rekonstruksi sosial.
2. Aliran empirisme
Dengan tokohnya adalah John Locke, ia mengatakan bahwa pendidikan itu perlu
sekali. Teorinya terkenal dengan istilah “ teori tabularasa”. Ini artinya bahwa
kelahiran anak diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang dapat diwarnai
setiap orang (penulis). Dalam konteks pendidikan “warna” terhadap anak didik.
3. Aliran convergensi
Dengan tokohnya Wiliam Stern, aliran ini mengakui kedua aliran sebelumnya.
Oleh karena itu pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada
pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Aliran ini seolah-
olah merupakan campuran dari aliran nativisme danaliran empirisme. Aliran ini
sekarang banyak dianut.
1. Pilar-Pilar Pendidikan
1. Learning to know
Learning to know bukan sebatas proses belajar dimana pebelajar mengetahui dan
memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat,
namun juga kemampuan untuk dapat memahami makna dibalik materi ajar yang
telah diterimanya. Dengan learning to know, kemampuan menangkap peluang
untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang yang tidak
hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transendental, yaitu
kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual
2. Learning to do
Learning how to learn akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk
dapat mengembangkan strategidan kiat belajar yang lebih independen, kreatif,
inovatif, efektif dan efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat adalah
learning society atau knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki
posisi sosial yang tinggi dan penting adalah mereka yang mampu belajar terus
menerus.