Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

http://eprints.umpo.ac.id/1160/2/3.%20BAB%20I.pdf
Latar Belakang

Pendidikan merupakan sistem dan tata cara meningkatkan kualitashidup


seseorang pada semua aspek kehidupannya di dunia.Pendidikanmemiliki nilai
yang sangat strategis dan urgen dalampembentukan suatubangsa. Pendidikanjuga
berupaya untuk menjaminkelangsungan hidupbangsa. Sebab lewat pendidikan
tidak hanyaberfungsi untukhow to knowdanhow to do,sertahow to life
together,tetapi yang amat pentingadalahhow tobe,supayahow to beberwujud,
maka diperlukan transferbudaya dan kultur.Pendidikan pada dasarnya merupakan
sarana strategis untukmeningkatkan potensi bangsa agar mampu berkiprah dalam
tataran yanglebihglobal. Menurut Hanson dan Brembeck dalam
Hadiyantomenyebutkanbahwa pendidikan itu sebagaiinvestment in people,
untukmengembangkanindividu dan masyarakat, dan sisi lain
pendidikanmerupakan sumber untukpertumbuhan ekonomi.1Sehingga demikian
pentingnya masalah yang berkenaan denganpendidikan maka perlu diatur suatu
aturan yang baku mengenaipendidikantersebut, yang dipayungi dalam Sistem
Pendidikan Nasional.SedangkanSistem Pendidikan Nasional dilaksanakan secara
semesta,menyeluruh danterpadu, semesta dalam arti terbuka bagi seluruh
rakyatdan berlaku di seluruhwilayah negara, menyeluruh dalam arti
mencakupsemua jalur, jenjang, jenis1Hadiyanto,Mencari Sosok Desentralisasi
Manajemen Pendidikan di Indonesia, Jakarta :Rineka Cipta, 2004, hal. 29
2pendidikan dan terpadu dalam arti adanyasaling keterkaitan antaraPendidikan
Nasional dengan seluruhpembangunan nasional.PendidikanNasional mempunyai
visi terwujudnya sistempendidikan sebagai pranatasosial yang kuat dan
berwibawa untukmemberdayakan semua warga negaraIndonesia berkembang
menjadimanusia yang berkualitas sehingga mampudan proaktif
menjawabperubahanzaman.2Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan
serangkaian prinsippenyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam
pelaksanaanreformasi pendidikan. Salah satu prinsip tersebut adalah
pendidikandiselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan
pesertadidik yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses
tersebutdiperlukanguru yang memberikan keteladanan, membangun
kemauan,sertamengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi
dariprinsipini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu
dariparadigmapengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalahproses
interaksipeserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatulingkungan
belajar.Proses pembelajaran perlu direncana, dilaksanakan,dinilai, dan diawasi
agarterlaksana secara efektif dan efisien.Namun pada kenyataannya format
pendidikan nasional yang sudahbergulir puluhan tahun,ternyata belum juga
mampu melahirkan manusia-manusia Indonesia yangbertanggung jawab, jujur
danmemiliki integritas yangtinggi, bahkan yang terjadijustru sebaliknya.Indonesia
kini telah menjadi bangsa2Haidara Putra Daulay,Dinamika Pendidikan Islam di
Asia Tenggara,Jakarta : AsdiMahasatya, 2009, hal. 47.
3yang dikenalsebagai negara dengan tingkat korupsi, tingkat
kerusakanlingkungan, tingkatkriminalitas, penggunaan narkoba dan penghutang
tinggi didunia. Semua ituterjadi karenabelum ditemukannya
formulapendidikanyangsesuaidenganyangdiharapkan.Sepanjang sejarah
pendidikan dilakukan belum ada kemajuan luarbiasa yang dapat disumbangkan di
negeri kita. Sehingga sangat wajar apabilabelum mampu menjadi tulang
punggung bagi perubahan pemikiran anak-anakdidik. Aktivitas belajar mengajar
yang masih mengandalkan pendekatantekstual merupakan persoalan mendesak
praktisi pendidikan untuk melakukanpenanganan serius.Kegiatan belajar mengajar
yang masih kaku dan belum mampumembangun kondisi belajar yang kondusif
merupakan masalah yangmenghambat keberhasilan dalam pendidikan kita. Proses
belajar mengajaryang berpusat pada guru membawa kondisi pendidikan yang
stagnan.Dengan kondisi demikian, mengharapkan proses pembelajaran
yangmendidik dan mampu membuka nalar berpikir anak-anak didik
hanyapendidik dalam mengelola kelas merupakan persoalan yang lain
yangmenambah kemacetan dalam pembelajaran yang dinamis dan
dialogis.3Sedangkan sistem pendidikan yang dianut bukan lagi suatu
upayapencerdasan kehidupan bangsa agar mampu mengenal realitas diri
dandunianya, melainkan suatu upayapembuatan kesadaran yang
disengajadanterencana yang menutup proses perubahan dan perkembangan.
Teori3Moh Yamin,Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, Yogyakarta: Diva
Press, 2010,hal.5-6.
4stimulus-respon yang sudah bertahun-tahun dianut dan digunakan dalamkegiatan
pembelajaran, tampak sekali mendukung sistem pendidikan diatas.Teori
inimendudukkan orang yang belajar sebagai individu yangpasif.Tujuan
pendidikan seharusnya mengajarkan, mengasuh, melatih,mengarahkan, membina
dan mengembangkan seluruh potensi peserta didikdalam rangka menyiapkan
untuk merealisasikan fungsi dan risalahkemanusiaannya di hadapan Allah Swt. :
yaitu mengabdi sepenuhnya kepadaAllah Swt. dan menjalankan misi
kekhilafahannya dimuka bumi sebagaimakhluk yang berupaya memakmurkan
kehidupan dalam tatanan hidup bersamadengan aman, damai dan sejahtera
BAB 1 PENDAHULUAN
http://eprints.ums.ac.id/21887/3/BAB_I.pdf

A.Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan manusia. Pendidik an selalu men galami


p erubahan, perkemban gan dan p erbaikan sesuai dengan p erkembangan di
segala bidan g keh idup an. Perubahan dan perbaikan dalam bidan g p endidikan
melip uti berbagai komponen yang terlibat di dalamny a baik itu p elaksana p
endidikan di lap angan (komp etensi guru dan kualitas tenaga p endidik), mutu p
endidikan, p erangkat kurikulum, sar ana dan prasarana p endidikan dan mutu
menejemen p endidikan termasuk p erubahan dalam metode dan strategi
pembelajar an yang lebih inovatif. Upay a p erubahan dan p erbaikan tersebut
bertujuan membawa kualitas p endidikan Indonesia lebih baik. Dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, maka peningkatan mutu p endidikan suatu hal y
ang san gat p enting bagi pemban gun an berk elanjutan di segala asp ek
kehidupan manusia. Sistem pendidikan nasion al sen antiasa harus dikemban gk
an sesuai den gan kebutuhan dan p erkemban gan y ang terjad i baik di tingkat
lokal, nasional, maupun global (M uly asa, 2006: 4). M emasuki masa era glob
alisasi, ban gsa Indonesia tidak mati-matiny a selalu melakukan p emban gun an
disegala bidan g kehidupan baik p emban gunan material maupun sp iritual
termasuk di dalamny a sumber day a manusia, salah satu
2faktor y ang menunjan g p emban gunan atau p eningkatan sumber day a
manusia y aitu melalui pendidikan mendap at prioritas utama. Pendidikan t idak t
erlep as dari k e giat an pembel ajar an. Bel ajar menurut Sp ears dalam Sup rijono
(2009:2) adalah men gamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar dan
men gikuti arah tertentu. Jadi belajar adalah p roses p erubahan p erilaku secara
akt if, p roses mereaksi t erhadap semua sit uasi yang ada di sekitar individu,
proses yang diar ahkan kep ada suatu tujuan, p roses berbuat mela lui berb agai p
engal aman, p roses melihat , men ga mat i, me maha mi sesuat u yang dipelajari
Dalam p roses belajar men gajar guru dituntut untuk dapat mewujudkan dan
mencip takan situasi y ang memun gk inkan siswa untuk aktif dan kreatif. Pada
sist em ini dihar ap kan siswa dap at secara opt imal me laksanak an akt ivit as bel
ajar sehingga t ujuan inst ruksional y ang t elah dit etap kan dap at t ercap ai
secara maksima l. Proses belajar adalah suatu proses yang dengan sengaja di cip
takan untuk kep entingan siswa, agar senan g dan ber gairah belajar. Guru
berusaha meny ediakan d an men ggunakan semua p otensi dan up ay a. M asalah
motivasi adalah factor yang p enting bagi p eserta didik. Ap akah artiny a anak did
ik p ergi ke sekolah tanp a motivasi untuk belajar. Hanya saja motivasi san gat
bervariasi dari segi tinggi rendahny a maup un jenisny a. Guna mewujudk an
tujuan itu bukan suatu hal y ang mudah. Seh in gga san gatlah d ibutuhkan sebuah
tekad d ari berb agai p ihak
3guna meraih kebersamaan tujuan dan visi y ang sama dalam mencip takan ket
erpaduan pencap aian dalam t ujuan p embel ajar an.
TEORI-TEORI PENDIDIKAN

https://elanurainiblog.wordpress.com/2016/04/09/teori-teori-pendidikan/

1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang. (UUR.I. No. 2 Tahun 1989, Bab 1, Pasal 1).[1]

Menurut Theodore Meyer Greene, pendidikan adalah usaha manusia untuk


menyiapkan dirinya untuk suatu kehidupan yang bermakna.[2]

Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. (kamus besar bahasa indonesia, 1991).[3]

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No. 20 tahun 2003).[4]

1. Teori-Teori Pendidikan

Sebuah teori adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan,


dan memprediksi. Sebuah teori pendidikan adalah sebuah sistem konsep-konsep
yang terpadu, menerangkan dan prediktif tentang peristiwa-peristiwa pendidikan.
Teori pendidikan ada yang berperan sebagai asumsi atau titik tolak pemikiran
pendidikan dan ada yang berperan sebagai definisi menerangkan makna. Asumsi
pokok pendidikan adalah:[5]

1. Pendidikan adalah aktual, artinya pendidikan bermula dari kondisi-kondisi


aktual dari individu yang belajar dan lingkungan belajarnya.
2. Pendidikan adalah normatif, artinya pendidikan tertuju pada mencapai hal-
hal yang baik atau norma-norma yang baik.
3. Pendidikan adalah suatu proses pencapaian pendidikan berupa serangkaian
kegiatan bermula dari kondisi-kondisi aktual dan individu yang belajar,
tertuju pada pencapaian individu yang diharapkan.

Gambaran pendidikan dilihat dari teori pendidikan secara faktual adalah aktivitas
sekelompok orang dan guru yang melaksanakan kegiatan pendidikan untuk orang-
orang muda dan secara prespektif memberi petunjuk bahwa pendidikan adalah
muatan, arahan, pilihan yang telah ditetapkan sebagai wahana pengembangan
masa depan anak didik yang tidak terlepas dari keharusan kontrol manusia.
Pemahaman mengenai pendidikan mengacu pada konsep tersebut
menggambarkan bahwa pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia
mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang
demikian kompleks tersebut, maka tidak suatu batasan pun yang cukup memadai
untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap.

Pernyataan secara filosofis apa itu pendidikan harus diangkat pada level konsep
yang tinggi, sehingga terlepas dari pengertian yang hanya melihat pendidikan
sebagai kegiatan belajar mengajar saja dan suatu usaha membantu orang lain
menjadi manusia terdidik, dan ini muncul sebagai fenomena sosial. Secara prinsip
pernyataan filosofis harus memberi identitas pada pendidikan yang berbeda
dengan yang lain bersifat “cross culture” artinya bahwa kita melihat pendidikan
itu dengan konsep yang lebih luas dan lintas kultural yang memandang manusia
sebagai bagian dari masyarakat sosial yang secara akumulatif mempengaruhi
proses pendidikan.[6]

Ada berbagai rumusan yang dikemukakan untuk memahami yang dikemukakan


untuk memahami apa itu pendidikan, diantaranya ada yang melihat dari berbagai
sudut pandang keilmuan tertentu seperti pandangan:[7]

1. Sosiologik memandang pendidikan dari aspek sosial, yaitu mengartikan


pendidikan sebagai usaha pewarisan dari generasi ke generasi. Pandangan
tradisi sosial selama ini melihat bahwa pendidikan itu bertujuan agar orang
lain menjadi terdidik, dan untuk menjadi terdidik mereka harus belajar.
2. Antrophologik memandang pendidikan adalah enkulturasi yaitu proses
pemindahan budaya dari generasi ke generasi (mengartikan pendidikan
sebagai usaha pemindahan pengetahuan dan nilai-nilai kepada generasi
berikutnya).
3. Psikologik memandang pendidikan dari aspek tingkah laku individu, yaitu
mengartikan pendidikan sebagai perkembangan kapasitas individu secara
optimal. Pendidikan sebagai suatu sistem adalah suatu keseluruhan karya
insani yang terbentuk dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan
fungsional dalam membantu terjadinya proses transformasi atau perubahan
tingkah laku seseorang sehingga mencapai kualitas hidup yang
diharapkan.
4. Ekonomi, yaitu memandang pendidikan sebagai usaha penanaman modal
insani (human capital) yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
suatu bangsa.
5. Politik yang melihat pendidikan adalah proses menjadi warga negara yang
diharapkan (civilisasi) sebagai usaha pembinaan kader bangsa yang
tangguh. Konsep politik menjadi dasar penyelenggaraan sistem pendidikan
makro nasional. Karena itu politik dimaknai sebagai pembentukan dan
aksi-aksi koalisi (kelompok-kelompok) yang bertujuan untuk
mempengaruhi nilai (tujuan) yang mana yang akan diimplementasikan
pemerintah.

Pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktek, teori pendidikan
adalah pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogianya pendidikan itu
dilaksanakan, sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara
kronkritnya. Teori dan praktek itu seyogianya tidak dipisahkan, siapa yang
berkecimpung di bidang pendidikan sebaiknya menguasai kedua hal tersebut.
O’Connon berpendapat bahwa suatu teori pendidikan perlu memiliki syarat-
syarat, seperti logis yaitu memenuhi syarat-syarat untuk berfikir lurus dan benar,
deskriptif atau penggambaran berarti dipaparkan secara jelas, dan menjelaskan
berarti memberikan penerangan. Teori pendidikan menurut Pratte tidak dapat
disusun seperti teori dalam ilmu pengetahuan alam. Teori pendidikan disusun
sebagai latar belakang yang hakiki dan sebagai rasional dari praktek pendidikan
serta pada dasarnya bersifat direktif (bermakna pendidikan itu mengarah kepada
tujuan yang pada hakekatnya untuk mencapai kesejahteraan bagi subjek didik).[8]

Pendidikan mempunyai objek materi manusia, maka nilai-nilai yang berkenaan


kemanusiaan menjadi muatan dalam teori pendidikan. Dalam teori pendidikan
tentu menjadi pertimbangan penting pengertian dasar tentang manusia seperti
materialis-spiritual yaitu terbentuknya aku, historisitas adalah pertumbuhan dan
perkembangan individu secara kontinu dengan memperhatikan latar belakang
keadaan sekarang dan masa yang akan datang, sosialitas, etis yaitu terbentuknya
keterkaitan struktur kejiwaan individu dan tata pergaulan dengan nilai-nilai
kesusilaan agar dapat dicapai ketentraman dan ketenangan, dan religius yaitu
manusia berhadapan dan berhubungan dengan penciptanya yaitu Tuhan seru
sekalian alam. Nilai adalah norma yang berfungsi sebagai petunjuk dalam
mengidentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Teori
pendidikan juga perlu menggunakan referensi hubungan pribadi dengan
pribadi.[9]

O’Connon mengatakan bahwa teori pendidikan tidak memiliki keterkaitan logis


sebagai suatu rangkaian hipotesis dan gagal membentuk suatu paradigma sebagai
suatu teori ilmiah. Tetapi ini disangkal oleh Langford yang berpendapat bahwa
teori pendidikan tidaklah gagal menjadi suatu teori didalam bahasa ilmiah,
kemudian persoalannya bukanlah gagal atau berhasil menjadi suatu teori.[10]

Hirst mengatakan bahwa sifat pelaksanaan dari teori pendidikan disuatu sisi itu
adalah teori dan barangkali bukan bagian dari pelaksanaan pendidikan. Sebab
pendidikan mampu mengarahkan pelaksanaan sekaligus memiliki nilai
penghargaan dan itu merupakan kebenaran yang universal. Jadi teori pendidikan
yang dihasilkan adalah universal dan mampu menggiring pelaksanaan pendidikan
kemana-mana, ini tidak terkait pada pendidikan dalam konteks tradisional tetapi
didesain untuk pengajaran konteks tradisional. Kemudian ditegaskan kembali
bahwa pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak
didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai
anggota masyarakat dalam lingkunagn alam sekitar dimana individu itu berada.
Artinya pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latian baik yang dilaksanakan secara formal
disekolah maupun non-formal diluar sekolah.[11]

Teori pendidikan merupakan landasan dalam pengembangan praktik-praktik


pendidikan, misalnya pengembangan kurikulum, proses belajar mengajar, dan
manajemen sekolah. Kurikulum dan pembelajaran memiliki keterkaitan yang
sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum dan rencana pembelajaran
disusun dengan mengacu pada teori pendidikan.[12]
Ada empat teori pendidikan, yaitu:[13]

1. Teori pendidikan klasik (classical education).

Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti perenialisme,


essensialisme dan eksistensialisme, yang memandang bahwa pendidikan berfungsi
sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori
pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi
pendidikan atau materi di ambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan
dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan
sistematis. Dalam praktiknya, pendidikan mempunyai peranan besar dan lebih
dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima
informasi dan tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi
pengembangan model kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang
bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih peserta didik
menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”, melalui metode ekspositori dan
inkuiri.

2. Teori pendidikan personal (personalized education).

Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi sejak dilahirkan anak telah memiliki
potensi-potensi tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi
yang dimiliki peserta didik dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta
didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi pelaku utama pendidikan, sedangkan
pendidikan hanya menepati posisi kedua, yang lebih berperan sebagai
pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.

Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik.
Pendidikan progresif dengan tokoh pendahulunya, Francis Parker dan John
Dewey memandang bahwa peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh.
Materi pengajaran berasal dari pengalaman peserta didik sendiri yang sesuai
dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah-masalah yang
muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami dan
menggunakkannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam
metodologi dan membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan
kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal
dari pemikiran-pemikiran J.J Rouseau tentang tabularasa, yang memandang setiap
individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran, kebenaran dan
ketulusan.

Teori pendidikan personal menjadi sumber bagi pengembangan kurikulum


humanis, yaitu suatu model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri
dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan dan proses
aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi atas pendidikan yang lebih
menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis).

3. Teknologi pendidikan.
Teknologi pendidikan, yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai
persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam
menyampaikan informasi. Namun diantara keduanya ada yang berbeda. Dalam
teknologi pendidikan, yang lebih diutamakan adalah pembentukan dan
penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan pengawetan
dan pemeliharaan budaya alam.

Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-
bidang khusus. Isi pendidikan berupa objek dan keterampilan yang mengarah
kepada kemampuan vokasional. Isi disusun dalam bentuk desain program atau
desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media
elektronika, dan para peserta didik belajar secara individual. Peserta didik
berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahkan dan pola-pola kegiatan secara
efisien. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat.
Pendidik berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak
tugas-tugas pengelolaan dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.

Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum,


yaitu model kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi
para peserta didik. Pembelajaran dilakukan melalui metode pembelajaran
individual, media buku ataupun media elektronik, sehingga pembelajar dapat
menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.

4. Teori pendidikan interaksional.

Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari
pemikiran manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan
bekerja sama dengan manusia lain. Pendidikan sebagai salah satu bentuk
kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi. Dalam pendidikan
interaksional menekankan interaksi dua pihak dari pendidik kepada peserta didik
dan dari peserta didik kepada pendidik. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi
antara peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara
pemikiran manusia dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai
bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari
fakta-fakta. Peserta didik mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta
tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya
dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan interaksional yaitu
filsafat rekonstruksi sosial.

Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum


rekonstruksi sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama
menghadapkan para peserta didik pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan
atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Peserta didik didorong untuk
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang
mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.

Pembahasan mengenai teori pendidikan, dikenal ada tiga macam aliran:[14]


1. Aliran nativisme

Dengan tokohnya adalah Schopenhaver, ia mengatakan bahwa bakat mempunyai


peranan yang penting, tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak
memang jelek. Sehingga pendidikan diumpamakan dengan “mengubah emas
menjadi perak” adalah suatu hal yang tidak mungkin.

2. Aliran empirisme

Dengan tokohnya adalah John Locke, ia mengatakan bahwa pendidikan itu perlu
sekali. Teorinya terkenal dengan istilah “ teori tabularasa”. Ini artinya bahwa
kelahiran anak diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang dapat diwarnai
setiap orang (penulis). Dalam konteks pendidikan “warna” terhadap anak didik.

3. Aliran convergensi

Dengan tokohnya Wiliam Stern, aliran ini mengakui kedua aliran sebelumnya.
Oleh karena itu pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada
pada anak didik juga mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Aliran ini seolah-
olah merupakan campuran dari aliran nativisme danaliran empirisme. Aliran ini
sekarang banyak dianut.

1. Pilar-Pilar Pendidikan

Ada lima pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang dapat


digunakan sebagai prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan didunia
pendidikan:[15]

1. Learning to know

Learning to know bukan sebatas proses belajar dimana pebelajar mengetahui dan
memiliki materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat,
namun juga kemampuan untuk dapat memahami makna dibalik materi ajar yang
telah diterimanya. Dengan learning to know, kemampuan menangkap peluang
untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa berkembang yang tidak
hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transendental, yaitu
kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual

2. Learning to do

Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model


pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan “omong”
(baca: teori), dan kurang menuntun orang untuk “berbuat” (praktik). Learning to
do bukanlah pembelajaran yang hanya menumbuhkembangkan kemampuan
berbuat mekanis dan keterampilan tanpa pemikiran; tetapi mendorong peserta
didik agar terus belajar bagaimana menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana
mengembangkan teori atau konsep.
3. Learning to be

Melengkapi learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe berpendapat


bahwa manusia itu tidak bisa hidup sendiri tanpa kerja sama atau dengan kata lain
manusia saling bergantung dengan manusia lain. Manusia di era sekarang bisa
hanyut ditelan waktu jika tidak berpegang teguh pada jati dirinya. Learning to be
akan menuntun peserta didik menjadi ilmuan sehingga mampu menggali dan
menentukan nilai kehidupannya dan menentukan nilai kehidupannya sendiri
dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.

4. Learning to live together

Learning to live together ini mengajarkan seseorang untuk hidup bermasyarakat


dan menjadi manusia berpendidikan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan
masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia.

5. Learning how to learn

Learning how to learn akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk
dapat mengembangkan strategidan kiat belajar yang lebih independen, kreatif,
inovatif, efektif dan efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat adalah
learning society atau knowledge society. Orang-orang yang mampu menduduki
posisi sosial yang tinggi dan penting adalah mereka yang mampu belajar terus
menerus.

Anda mungkin juga menyukai