03yeremiastkeban 20091014131110 2258 0 PDF
03yeremiastkeban 20091014131110 2258 0 PDF
Oleh
Yeremias T. Keban 1
Abstrak
Kerjasama antar pemerintah daerah merupakan suatu isu yang perlu diperhatikan pemerintah
saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara, dan melihat begitu banyak
masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus diatasi atau dipenuhi dengan
melewati batas-batas wilayah administratif. Untuk mensukseskan kerjasama ini diperlukan
identifikasi isu-isu strategis, bentuk atau model kerjasama yang tepat, dan prinsip-prinsip
yang menuntun keberhasilan kerjasama tersebut. Mengingat peran strategis yang dimainkan
propinsi dalam sistem negara kesatuan ini, maka peningkatan peran dan kemampuan propinsi
dalam mekanisme kerjasama ini, termasuk penyesuaian struktur dan fungsi kelembagaannya,
harus menjadi agenda penting pemerintah di masa mendatang.
A. Latar Belakang
1
Penulis adalah Dosen tetap Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM, dosen pada MAP,
MPKD dan MEP UGM di Yogyakarta, dan konsultan capacity building for local government, human
resource management, dan poverty alleviation pada beberapa Program Pemerintah sejak 1999.
Mandat untuk membina hubungan ini telah diungkapkan dalam Nomor 22
Tahun 1999 sejak 1 Januari 2000 yang kemudian direvisi melalui UU Nomor 32
Tahun 2004. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah RI memang telah menyadari arti
pentingnya kerjasama ini. Namun sangat disayangkan bahwa sampai saat ini
kebijakan tersebut belum ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang bersifat
teknis. Dan sebagai akibatnya berbagai kebijakan lama di Departemen Dalam Negeri
yang mengatur tentang kerjasama antar daerah masih digunakan seperti:
1. Permendagri No 6 Tahun 1975 tentang Kerjasama antar Daerah.
2. Kepmendagri Nomor 275 Tahun 1982 tentang Pedoman Kerjasama Pembangunan
antar Daerah.
3. SE-MENDAGRI No 114/4538/PUOD tanggal 4 Desember 1993 tentang Petunjuk
Pelaksana Mengenai Kerjasama antar Daerah.
4. SE-MENDAGRI No 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 tentang Tata Cara
Pembentukan Hubungan Kerjasama antar Propinsi (Sister Province) dan antar kota
(Sister City) dalam dan Luar Negeri.
Harus diakui bahwa kebijakan-kebijakan yang telah berumur lebih dari satu
dekade ini kurang mengakomodasikan situasi dan kondisi saat ini, sehingga di masa
mendatang harus segera diformulasikan kebijakan-kebijakan baru yang lebih sesuai.
Karena begitu pentingnya kerjasama tersebut, maka setelah diberlakukan Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 ini, berbagai peraturan pemerintah dan peraturan
pelaksanaan lainnya harus segera dibentuk.
Alasan lain dilakukannya kerja sama antar pemerintah daerah adalah sebagai
berikut:
1. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat membentuk kekuatan yang lebih besar.
Dengan kerjasama antar pemerintah daerah, kekuatan dari masing-masing
daerah yang bekerjasama dapat disinergikan untuk menghadapi ancaman
lingkungan atau permasalahan yang rumit sifatnya daripada kalau ditangani
sendiri-sendiri. Mereka bisa bekerjasama untuk mengatasi hambatan
lingkungan atau mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
2. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat mencapai kemajuan yang lebih tinggi.
Dengan kerjasama, masing-masing daerah akan mentransfer kepandaian,
ketrampilan, dan informasi, misalnya daerah yang satu belajar kelebihan atau
kepandaian dari daerah lain. Setiap daerah akan berusaha memajukan atau
mengembangkan dirinya dari hasil belajar bersama.
3. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat lebih berdaya. Dengan kerjasama,
masing-masing daerah yang terlibat lebih memiliki posisi tawar yang lebih
baik, atau lebih mampu memperjuangkan kepentingannya kepada struktur
pemerintahan yang lebih tinggi. Bila suatu daerah secara sendiri
memperjuangkan kepentingannya, ia mungkin kurang diperhatikan, tetapi bila
ia masuk menjadi anggota suatu forum kerjasama daerah, maka suaranya akan
lebih diperhatikan.
4. Pihak-pihak yang bekerjasama dapat memperkecil atau mencegah konflik.
Dengan kerjasama, daerah-daerah yang semula bersaing ketat atau sudah
terlibat konflik, dapat bersikap lebih toleran dan berusaha mengambil manfaat
atau belajar dari konflik tersebut.
5. Masing-masing pihak lebih merasakan keadilan. Masing-masing daerah akan
merasa dirinya tidak dirugikan karena ada transparansi dalam melakukan
hubungan kerjasama. Masing-masing daerah yang terlibat kerjasama memiliki
akses yang sama terhadap informasi yang dibuat atau digunakan.
6. Masing-masing pihak yang bekerjasama akan memelihara keberlanjutan
penanganan bidang-bidang yang dikerjasamakan. Dengan kerjasama tersebut
masing-masing daerah memiliki komitmen untuk tidak mengkhianati
partnernya tetapi memelihara hubungan yang saling menguntungkan secara
berkelanjutan.
7. Kerjasama ini dapat menghilangkan ego daerah. Melalui kerjasama tersebut,
kecendrungan “ego daerah” dapat dihindari, dan visi tentang kebersamaan
sebagai suatu bangsa dan negara dapat tumbuh.
Dalam kaitan dengan kerjasama tersebut terdapat tiga isu strategis yang harus
diidentifikasikan untuk kemudian dipelajari dan dibenahi, yaitu (1) membenahi peran
dan kemampuan Propinsi dalam menyelenggarakan fungsi kerjasama antar daerah
atau “local government cooperation”, (2) menentukan bidang-bidang yang dapat atau
patut dikerjasamakan, dan (3) memilih model-model kerjasama yang sesuai dengan
hakekat bidang-bidang tersebut. Isu-isu ini dianggap strategis karena posisinya sangat
menentukan keberhasilan kerjasama antar pemerintah daerah di masa mendatang.
1. Peran dan Kemampuan Propinsi
Secara formal Propinsi diberi peran yang cukup berarti dalam
menyelenggarakan kerjasama tersebut. Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom
telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, yang mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta
kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan ini meliputi bidang
pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan,
perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal, ketenagakerjaan,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, permukiman,
pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, politik dalam negeri dan
administrasi publik, pengembangan otonomi daerah, perimbangan keuangan, dan
bidang hukum dan perundang-undangan (lihat Pasal 3). Di dalam menjalankan
kewenangan ini, Propinsi tidak hanya memainkan peran sebagai pelaksana dan
pengatur bidang tersebut secara langsung dan lintas Kabupaten/Kota, tetapi juga
menyediakan dukungan/bantuan kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam bidang
tertentu seperti pengembangan prasarana dan sarana wilayah, penanaman modal,
industri dan perdagangan, pertanian, dan sebagainya. Dengan demikian secara formal,
kerjasama antar Kabupaten/Kota harus diatur atau difasilitasi oleh Propinsi.
3. Model Kerjasama
Selama ini, model-model kerjasama yang dapat dipilih sesuai dengan hakekat
bidang-bidang yang dikerjasamakan, nampaknya belum diidentifikasikan secara luas.
Belum teridentifikasikannya model yang handal tersebut telah mempersulit
pelaksanaan atau perwujudan kerjasama antar daerah sebagaimana dituntut oleh PP
Nomor 25 Tahun 2000. Karena itu, perlu diinisiasi suatu model mengenai kerjasama
antar daerah dan sektor, yang kemudian dapat dijadikan contoh. Pembahasan tentang
model-model kerjasama nampaknya cukup luas karena menyangkut banyak bentuk
kerjasama sehingga disajikan secara tersendiri dalam sub bahasan berikut.
D. Bentuk-Bentuk Kerjasama
Secara historis, mekanisme kerjasama antar pemerintah lokal telah menjadi isu
penting di negara maju (lihat Henry, 1995) dimulai dari bidang yang sangat terbatas
seperti kepolisian dan pemadam kebakaran dimana antara satu kota dengan kota lain
telah dilakukan perjanjian kerjasama saling bantu membantu menghadapi krisis
seperti kebakaran dan bencana lainnya. Dalam perkembangan lanjutan, mekanisme
kerjasama ini tidak hanya diterapkan pada situasi “emergency” saja tetapi juga pada
pengaturan kerjasama untuk membeli jenis-jenis pelayanan tertentu dari perusahaan
swasta atau dari pemerintah lain, ataupun dari NGOs. Khusus “cooperative
agreements” yang dilakukan antar Pemerintah Daerah semula lebih ditujukan pada (1)
kegiatan tunggal, (2) berkenaan dengan pelayanan ketimbang fasilitas, (3) tidak
bersifat permanen, (4) sebagai “stand-by provision” yang baru dilaksanakan bila
kondisi tertentu terjadi, dan (5) diperkenankan / diijinkan oleh badan legislatif.
Sementara itu, ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu
kerjasama antar Pemerintah Daerah, dapat dilakukan dalam beberapa bentuk yaitu
bentuk perjanjian dan bentuk pengaturan (lihat Rosen, 1993). Bentuk-bentuk
perjanjian (forms of agreement) dibedakan atas
a. Handshake Agreements, yaitu pengaturan kerja yang tidak didasarkan atas
perjanjian tertulis
b. Written Agreements, yaitu pengaturan kerjasama yang didasarkan atas
perjanjian tertulis.
Bentuk “handshake agreements” merupakan bentuk yang banyak
menimbulkan konflik dan kesalahpahaman (misunderstanding), sementara bentuk
yang tertulis dibutuhkan untuk melakukan program kontrak, kepemilikan bersama,
atau usaha membangun unit pelayanan bersama. Hal-hal yang harus diucapkan dalam
perjanjian tertulis ini meliputi kondisi untuk melakukan kerjasama dan penarikan diri,
sharing biaya, lokasi, pemeliharaan, skedul, operasi dan aturan kepemilikan
sumberdaya bersama, kondisi sewa, dan cara pemecahan konflik.
Meskipun model ini cukup diandalkan pada masa lalu, tetapi terdapat
hambatan penting yang perlu diperhatikan. Hambatan tersebut menyangkut masalah
struktur (organisasi) yang menangani “intergrated area development”. Struktur yang
ada adalah struktur yang formal yang dibentuk sesuai unit-unit politik dan
administratif yang ada, seperti dinas-dinas dan lembaga-lembaga teknis masing-
masing Kabupaten / Kota atau Propinsi. Struktur formal ini tidak dirancang untuk
menangani hal tersebut, akibatnya model ini kurang mendapat dukungan otoritas
formal, yang berarti sulit diimplementasikan dan sulit berhasil.
Jalan keluar yang pernah ditawarkan adalah (1) membentuk suatu struktur
yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat yang ditempatkan di area
yang bersangkutan, atau juga dibuat oleh pemerintah lokal atau perusahaan swasta
yang diberi status khusus; (2) membentuk tim konsultan perencanaan dari luar area,
untuk mempersiapkan perencanaannya; dan (3) melakukan reformasi struktur
organisasi yang ada dan memperbaiki kemampuan para staff yang ada untuk
mempersiapkan dan mengimplementasikan rencana dan memperkuat hubungan
horisontal antar sektor serta memperemah hubungan vertikal.
E. Prinsip-Prinsip Kerjasama
Agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut dibutuhkan prinsip-prinsip
umum sebagaimana terdapat dalam prinsip “good governance” (lihat Edralin, 1997).
Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat dijadikan pedoman
dalam melakukan kerjasama antar Pemda yaitu:
1. Transparansi. Pemerintahan Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan
kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi
yang dibutuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutup.
2. Akuntabilitas. Pemerintah Daerah yang telah bersepakat untuk melakukan
kerjasama harus bersedia untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan,
melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait
dengan kegiatan kerjasama, termasuk kepada DPRD sebagai wakil rakyat, atau
kepada para pengguna pelayanan publik.
3. Partisipatif. Dalam lingkup kerjasama antar Pemerintah Daerah, prinsip
partisipasi harus digunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi
dalam menentukan tujuan yang harus dicapai, cara mencapainya dan
mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.
4. Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus
dipertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk
memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang
sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi.
5. Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar Pemerintah Daerah ini harus
dipertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan
membandingkan target atau tujuan yang telah ditetapkan dalam kerjasama
dengan hasil yang nyata diperoleh.
6. Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus dicari titik temu
agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat
menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak
tidak dapat diterima dalam kerjasama tersebut.
7. Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar Pemerintah
Daerah harus dipegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling
menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan
mekanisme kerjasama.
Selain enam prinsip umum di atas, beberapa prinsip khusus yang dapat
digunakan sebagai acuan dalam kerjasama antar Pemerintah Daerah yaitu:
1. Kerjasama tersebut harus dibangun untuk kepentingan umum dan kepentingan
yang lebih luas
2. Keterikatan yang dijalin dalam kerjasama tersebut harus didasarkan atas saling
membutuhkan
3. Keberadaan kerjasama tersebut harus saling memperkuat pihak-pihak yang
terlibat
4. Harus ada keterikatan masing-masing pihak terhadap perjanjian yang telah
disepakati
5. Harus tertib dalam pelaksanaan kerjasama sebagaimana telah diputuskan
6. Kerjasama tidak boleh bersifat politis dan bernuansa KKN
7. Kerjasama harus dibangun diatas rasa saling percaya, saling menghargai,
saling memahami dan manfaat yang dapat diambil kedua belah pihak.
Apabila dalam kerjasama tersebut terjadi konflik atau friksi antar Pemerintah
Daerah, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interactionist, dan
bukan pendekatan tradisional (Robbins, 1990). Pendekatan tradisional selalu
mengasumsikan bahwa konflik adalah buruk, dan memberikan dampak yang negatif.
Karena itu, menurut pendekatan tersebut, konflik harus dihindari karena dapat
mengarah kepada kejahatan, tindakan destruktif dan irasional. Akan tetapi dalam
pendekatan interactionist, konflik dilihat sebagai suatu stimulus untuk melakukan
perubahan. Konflik harus dilihat akarnya, dan dari akar tersebut dapat dilakukan
berbagai perbaikan dan pembaharuan. Konflik harus dilihat sebagai indikator untuk
menginisiasi perubahan. Untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam
konflik tersebut, diperlukan kemampuan yang memadai untuk bertindak sebagai
negosiator, fasilitator, mediator dan komunikator (lihat Mayer, 2000), di pihak
pemerintah daerah khususnya pemerintah propinsi.
------------------------------------------------------
Referensi
Edralin, J.S. 1997. The new local governance and capacity building: A strategic
approach. Dalam Regional Development Studies, Vol. 3.
Henry, N. 1995. Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood
Cliffs, N.J. : Prentice –Hall.
Keban, Y.T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan
Isu. Yogyakarta: Gava Media.
Robbins, S.P. 1990. Organization Theory: Structure, Desain and Applications (Third
Edition). Englewood Cliffs, NJ.: Prentice Hall, Inc.
Rosen, E.D. 1993. Improving Public Sector Productivity: Concept and Practice.
London: Sage Publications, International Educational and Professional Publisher.