Anda di halaman 1dari 25

3.4.3.

Injeksi Kimia (Chemical Displacement)


3.4.3.1. Injeksi Alkaline
Injeksi alkaline atau kaustik merupakan suatu proses dimana pH air injeksi dikontrol pada
kisaran harga 12-13 untuk memperbaiki perolehan minyak.
Beberapa sifat batuan dapat mempengaruhi terhadap injeksi alkaline. Ion divalen dalam air
di reservoir, jika jumlahnya cukup banyak dapat mendesak slug alkaline karena mengendapnya
hidroksida-hidroksida yang tidak dapat larut. Gypsum dan anhydrit jika jumlahnya melebihi
dibandingkan dengan jumlahnya yang ada di dalam tracer akan menyebabkan mengendapnya
Ca(OH)2 dan membuat slug NaOH menjadi tidak efektif. Clay dengan kapasitas pertukaran ion
yang tinggi dapat menghasilkan slug NaOH dengan menukar hidrogen dari sodium. Limestone dan
dolomit bersifat tidak reaktif dan reaksi dengan komponen silika di dalam batu pasir sangat lambat
dan tidak lengkap.
Injeksi alkaline sebagai salah satu alternatif injeksi kimia, mempunyai pengaruh dalam
peningkatan recovery yang dapat dibandingkan dengan injeksi kimia lain. Kemungkinan bahan
yang dapat dipakai pada injeksi alkaline, pemilihan bahan dilakukan berdasarkan pH tertinggi,
sebab pH yang tinggi akan mengakibatkan penurunan tegangan permukaan minyak. Bahan kimia
yang menghasilkan pH tinggi pada konsentrasi yang rendah adalah NaOH (Gambar 3.38). Hasil
pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kondisi optimum pada injeksi alkaline dicapai
dengan konsentrasi NaOH 0,1 % berat dan ukuran slugnya sekitar 15% volume pori, selain itu
bahan kimia injeksi ini paling murah dibandingkan dengan bahan untuk injeksi kimia lainnya.

Gambar 3.38.
Perbandingan pH Secara Umum yang Digunakan Pada Injeksi Alkaline7)
Kriteria injeksi alkaline yang penting dalam pemakaian metoda EOR, adalah tentang
kecocokan dengan reservoirnya, seperti yang terlihat pada Tabel III-3.
Tabel III-3 menunjukkan bahwa masing-masing metoda mempunyai batas-batas optimum
sendiri. Kelebihan injeksi alkaline dalam menutupi kebutuhan injeksi lainnya sehubungan dengan
permasalahan teknis, adalah karena injeksi alkaline baik pada kondisi :
 Gravity dari menengah sampai tinggi (13 - 35°API).
 Viskositas tinggi (sampai 200 cp).
 Salinitas cukup tinggi (sampai 20000 ppm).

Tabel III_3
Kriteria Pemilihan Untuk Metode EOR
20)
Chemical Flooding Gas Injection Thermal Injection
Screening Parameter Unit Hydro In Situ Microba
Surfactant Polymer Alkaline CO2 Steam
carbon Combustion

o
Oil Gravity API 25 25 <30 35 25 10 to 34 10 to 35 15
In Situ Oil Viscosity,  Cp <40 <100 <200 <10 <15 200-1000 200-1000
Depth, D Feet <9.000 <9.000 2000-5000 2000  3000  11.500  8000
Pay Zone Thickness, h Feet 10  20  20
o
Reservoir Temperatur,TR F <200 <200 <200 <140
Porosity,  Fraction >0.20 >0.20 >0.20  0.20  0.20
Permeability Average, k Md 40 20 20 250 35 150
Transmisibility, kh/  md.ft/cp 5 5
Reservoir Pressure, PR Psi  MMP  1500  2000  3000
WW or OW Pref WW Pref WW WW or WW or WW or OW WW or OW WW or OW
Wettability
OW OW
Minimum Oil Content at
Start of Process, So x o Fraction  0.10  0.08
Salinity of Formation
Brine, TDS ppm <100.000 <100.000 <100.000
Rock Type sandstone sandstone sandstone sandstone sandstone sandstone sandstone sandstone
Or Or Or Or Or Or
Carbonat Carbonat Carbonat Carbonat Carbonat Carbonat

3.4.3.1.1. Bahan Kimia Injeksi Alkaline


Bahan kimia yang umumnya banyak dipakai adalah sodium hidroksida. Sodium orthosilikat,
ammonium hidroksida, pottassium hidroksida, trisodium phospat, sodium karbonat, sodium silikat
dan poly ethylenimine, juga termasuk zat organik yang dianjurkan untuk dipakai. Harga dari bahan-
bahan kimia tersebut merupakan pertimbangan yang penting dimana NaOH dan sodium orthisilikat
tidak begitu mahal dan lebih efektif dalam menaikkan perolehan minyak tambahan.

3.4.3.1.2. Parameter yang Mempengaruhi Injeksi Alkaline


Beberapa parameter yang banyak mempengaruhi dalam proses injeksi alkaline antara lain
adalah konsentrasi NaOH, karakteristik reservoir, luas permukaan serta komposisi fluida reservoir
dan air injeksi.

A. Konsentrasi NaOH
Reisberg dan Doscher mengamati tegangan antarmuka antara air-minyak pada minyak
California dan didapatkan bahwa pada range pH tertentu tegangan antarmuka akan minimum.
Pengamatan yang sama pada minyak Tia Juana, De Ferrer mengemukakan bahwa tegangan
antarmuka akan minimum pada harga konsentrasi kritis tertentu. Kedua hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa tegangan antar muka akan minimum pada range pH dan konsentrasi NaOH
tertentu.
Konsentrasi yang tepat pada injeksi alkaline ini dikemukakan oleh Subkow, dimana agar
didapat emulsi minyak dalam air pada proses emulsifikasi di formasi, konsentrasi NaOH harus
cukup, karena konsentrasi NaOH yang berlebihan akan menyebabkan emulsifikasi yang sebaliknya
(air dan minyak) atau tidak terjadi emulsi sama sekali.

B. Karakteristik Reservoir
Perolehan minyak pada injeksi alkaline tergantung kepada interaksi antara bahan kimia yang
ditambahkan dengan fluida reservoir. Bahan kimia ini penting untuk bertahan cukup lama supaya
dapat kontak sebanyak-banyaknya dengan fluida reservoir. Hal-hal yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan pengaruh karakteristik reservoir ini adalah :
1. Struktur dan Geologi Reservoir
Kaitannya dengan efisiensi pendesakan injeksi alkaline, hal-hal yang perlu dihindari adalah :
 Reservoir dengan sesar dan rekahan yang memungkinkan terjadinya distribusi minyak
yang tidak merata.
 Ketebalan total reservoir yang jauh lebih besar dari ketebalan minyak.
 Luas zona minyak yang kecil atau zona minyak yang tipis di atas aquifer yang tebal.
 Reservoir dengan tingkat perlapisan yang tinggi.
 Heterogenitas batuan yang tinggi dan perkembangan porositas serta permeabilitas yang
rendah.
2. Kedalaman dan Temperatur
Semakin dalam dan semakin tinggi temperatur reservoir, maka konsumsi alkalinenya akan
semakin besar.
C. Luas Permukaan
Minyak yang tersisa setelah injeksi alkaline pada matrik oil-wet adalah berbentuk film.
Ketebalan film ini tergantung pada kualitas pendesakan emulsinya, minyak yang tersisa akan lebih
besar bila luas permukaan batuan semakin besar. Injeksi alkaline dengan demikian akan tidak
efektif pada batuan yang mempunyai luas permukaan yang besar seperti batu lempung dan silt.

D. Komposisi Fluida Reservoir


Kandungan kimia pada fluida reservoir dan injeksi air sangat berpengaruh mekanisme dalam
injeksi alkaline.

1. Komposisi Minyak
Beberapa hasil pengamatan yang penting sehubungan dengan komposisi minyak serta
pengaruhnya terhadap mekanisme injeksi alkaline dapat dilihat pada Tabel III-4

Tabel III-4
Famili Hidrokarbon yang Penting
Pada Mekanisme injeksi Alkaline20)

Mekanisme Famili HC Rumus Molekul


Penurunan Asam karboksilat RCOOH
tegangan Asphalten RCH2COOH
permukaan Porphyrin C34H32N4O4FeCl2
Perubahan Aldehide RCOH
kebasahan Keton RCOR
Pembentukan Asam karboksilat RCOOH
rigid Nitrogen Organik RNO2
Keterangan : R= gugus alkyl

2. Komposisi Air Formasi dan Air Injeksi


Kadar padatan yang terlarut yaitu berupa senyawa garam atau berupa ion bebas baik pada air
formasi maupun pada injeksi air sama-sama mempengaruhi terhadap mekanisme injeksi dan
konsumsi alkaline. Reaksi antara NaOH dengan ion kalsium dan magnesium akan membentuk
sabun kalsium dan magnesium, akan tetapi keduanya bukan zat aktif permukaan, sehingga akan
mengurangi slug NaOH dan tegangan antarmuka akan naik dengan keberadaan kedua ion tersebut.
Hasil percobaan di laboratorium menyatakan bahwa kadar kalsium yang diijinkan pada air injeksi
adalah 70 ppm dan ion magnesium sampai 700 ppm, sedangkan kadar kalsium yang diijinkan pada
air formasi sampai 500 ppm.
Jumlah tertentu garam NaCl berguna untuk mendukung mekanisme dalam injeksi alkaline juga
berguna untuk mengurangi konsumsi NaOH. Kegaraman di reservoir diperlukan pada proses
perubahan kebasahan, yaitu membuat batuan reservoir cenderung menjadi oil-wet, sedangkan pada
konsentrasi yang lebih besar diperlukan untuk terjadinya emulsi air dalam minyak. Pengaruh NaCl
terhadap tegangan antarmuka, Jennings menyatakan bahwa dibawah 20000 ppm, adanya NaCl pada
air injeksi bukan saja membuat tegangan antarmuka tetap rendah akan tetapi juga dapat
menurunkan keperluan akan konsentrasi NaOH.

3.4.3.1.3. Mekanisme Injeksi Alkaline


Injeksi alkaline merupakan proses yang sederhana dan relatif tidak mahal dalam
pelaksanaannya, tetapi memiliki mekanisme pendesakan yang kompleks. Beberapa mekanisme
yang ada yaitu penurunan tegangan antarmuka, emulsifikasi, perubahan kebasahan dan
penghancuran rigid interfacial film.
Akibat dari mekanisme-mekanisme tersebut secara makroskopis adalah adanya perbaikan
areal dan volumetric sweep efficiency, yaitu dengan perubahan mobilitas ratio atau perubahan
permeabilitas minyak-air. Secara mikroskopis adalah merubah minyak yang tidak dapat bergerak
(immobile) dalam media berpori menjadi dapat bergerak (mobile), yaitu dengan emulsifikasi dan
penurunan tegangan permukaan.

A. Penurunan Tegangan Antarmuka


Taber membuat hubungan antara perubahan bilangan kapiler dengan perubahan saturasi
minyak. Bilangan kapiler didefinisikan dengan persamaan sebagai berikut :
V
Nc  ................................................................................................. (4-2)

Keterangan :
Nc = Bilangan Kapiler
Viskositas
V = Kecepatan aliran
 tegangan antar muka
Harga bilangan kapiler pada injeksi air sekitar 10 -6. Peningkataan perolehan minyak dapat
dilakukan, dimana harga ini harus dinaikkan menjadi lebih besar dari 10 -4. Bila viskositas dan
kecepatan konstan, maka untuk menaikkan bilangan kapiler dilakukan dengan menurunkan
tegangan antarmuka sampai ribuan kali atau lebih. Kebanyakan minyak mempunyai tegangan antar
muka 25 dyne/cm, sedang dengan injeksi alkaline dapat mencapai 0,001 dyne/cm.
Mekanisme ini berkaitan dengan bilangan asam, gravitasi dan viscositas. Bilangan asam
adalah sejumlah miligram Kalium hidroksida (KOH) yang diperlukan untuk menetralisasikan satu
gram minyak mentah (ph menjadi 7.0). Untuk hasil yang baik setidaknya mempunyai bilangan
asam 0,5 mg KOH/gr minyak mentah atau lebih.

B. Emulsifikasi
Konsentrasi NaOH, pH dan salinitas yang optimum serta konsentrasi asam pada minyak di
reservoir yang mencukupi akan menyebabkan terjadinya emulsifikasi di formasi. Hasil penelitian
laboratorium menunjukkan bahwa dengan menginjeksikan emulsi minyak dalam air (water in oil
emulsion) hasilnya akan lebih baik dibanding injeksi dengan air. Peningkatan perolehan minyak
yang sama dapat terjadi jika emulsi tersebut dapat dibangkitkan di formasi.
Dua sistem pengaliran emulsi, yaitu emulsifikasi entrainment (emulsifikasi dan penderetan)
serta emulsifikasi entrapment (emulsifikasi dan penjebakan). Emulsifikasi entrainment yaitu bila
emulsi yang terjadi akibat reaksi NaOH dengan minyak di reservoir, kemudian emulsi tersebut
masuk ke dalam air injeksi dan mengalir bersamanya sebagai minyak-minyak yang halus. Alkaline
mempunyai sifat dapat mencegah minyak menempel pada permukaan pasir. Kondisi tersebut
diperlukan selama penderetan kontinyu terjadi untuk mempertahankan tegangan antarmuka yang
rendah saat campuran bergerak melewati reservoir.
Emulsifikasi entrapment yaitu bila emulsi tersebut selama proses pengalirannya ada
sebagaian yang terperangkap kembali sehingga sedikit menghambat bergeraknya air injeksi, dan
mobility air injeksi menjadi berkurang, maka akan memperbaiki efisiensi penyapuan vertikal dan
horisontal. Keuntungan lain pada emulsifikasi ini adalah sifat pergerakan front-nya :
1. Bersamaan dengan terjadinya perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil wet, di
dekat front bagian belakang yang mengandung sedikit emulsi akan terbentuk film
(lamella).
2. Terbentuknya lamella akan menghambat aliran injeksi pada pori-pori, mengakibatkan
gradien tekanan yang besar di belakang front.
3. Pada saat lamella melalui kerongkongan pori, ia akan pecah, menjadikan gradien saturasi
yang tajam di daerah front.
C. Perubahan Kebasahan
Tenaga kapiler cenderung untuk menahan minyak pada media berpori. Hal ini dapat
dikurangi, dihilangkan atau diubah dengan mekanisme perubahan kebasahan. Dua kemungkinan
pada injeksi alkaline menyebabkan terjadinya perubahan kebasahan, yaitu perubahan kebasahan
dari water-wet menjadi oil-wet dan sebaliknya.
1. Perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil-wet
Mekanisme yang terjadi pada perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil-wet, sebagai
berikut :
a. Saat konsentrasi zat perubah kebasahan naik, batuan water-wet berubah jadi oil-wet,
akibatnya tenaga kapiler akan mendorong minyak pada kerongkongan pori yang lebih
sempit.
b. Saat yang bersamaan zat perubah itu akan menurunkan tegangan antarmuka, akibatnya
minyak akan pecah dan menjalar sepanjang kerongkongan pori.
c. Bila zat perubah kebasahan tersebut turun, batuan mulai berubah lagi menuju water-wet
sehingga mengakibatkan minyak menjadi retak-retak sepanjang kerongkongan pori.
d. Bila batuan tadi sudah menjadi water-wet kembali, maka minyak yang retak-retak akan
pecah dan lepas dari batuan, kemudian mengalir melalui kerongkongan pori bersama air
injeksi.

2. Perubahan kebasahan oil-wet menjadi water-wet


Banyak peneliti yang menyatakan bahwa kenaikan perolehan minyak pada perubahan
kebasahan adalah dari oil-wet menjadi water-wet. Hal penting pada perubahan kebasahan ini
adalah perubahan permeabilitas relatif minyak dan air yang menyertainya, dimana hal ini akan
membantu terhadap perbaikan mobilty ratio penginjeksian atau akan menurunkan WOR,
sehingga terjadi kenaikan perolehan minyak.

D. Peleburan Rigic Interfacial Film.


Beberapa hidrokarbon mempunyai kecenderungan untuk membetuk rigid interfacial film.
Film ini akan hancur dan masuk ke dalam minyak, tetapi prosesnya sangat lambat. Bila film ini
masuk ke dalam ruang pori yang kecil, maka ia akan melipat membentuk simpul-simpul yang
mengakibatkan minyak tidak dapat keluar dari media berpori. Padatan film dengan injeksi alkaline
akan pecah atau larut terbawa gerakan minyak sisa.

3.4.3.2 Injeksi Polimer


Injeksi polimer pada dasarnya merupakan injeksi air yang disempurnakan. Penambahan
polimer ke dalam air injeksi dimaksudkan untuk memperbaiki sifat fluida pendesak, dengan
harapan perolehan minyaknya akan lebih besar. Injeksi polimer dapat meningkatkan perolehan
minyak yang cukup tinggi dibandingkan dengan injeksi air konvensional, tetapi mekanisme
pendesakannya sangat kompleks dan tidak dipahami seluruhnya.
Jika minyak reservoir lebih sukar bergerak dibandingkan dengan air pendesak, maka air
cenderung menerobos minyak, hal ini akan menyebabkan air cepat terproduksi, sehingga effisiensi
pendesakan dan recovery minyak rendah.
Injeksi polimer pada kondisi reservoir seperti diatas dapat digunakan. Polymer yang terlarut
dalam air injeksi akan mengentalkan air, mengurangi mobilitas air dan mencegah air menerobos
minyak.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam injeksi polimer adalah heterogenitas reservoir dan
perbandingan mobilitas fluida reservoir.

3.4.3.2.1. Heterogenitas reservoir


Reservoir minyak pada umumnya terdiri atas banyak lapisan dengan sifatnya yang beragam.
Permeabilitas reservoir dalam pengertian EOR merupakan faktor utama yang penting disamping
rekahan. Variasi permeabilitas dan rekahan dapat berpengaruh besar terhadap aliran fluida dalam
reservoir, sehingga mempengaruhi perolehan minyak.
Efisiensi penyapuan volumetrik merupakan ukuran pengaruh tiga dimensi dari heterogenitas
reservoir. Hasil tersebut merupakan hasil dari pola penyapuan vertikal dan horizontal. Effisiensi
penyapuan volumetrik didefinisikan sebagai volume pori resevoir yang terkena kontak dengan
fluida injeksi dibagi dengan volume pori total (Townsend et al, 1977).
Effisiensi penyapuan vertikal merupakan fungsi dari karakteristik reservoir itu sendiri,
sementara effisiensi penyapuan horizontal merupakan fungsi dari karakteristik reservoir dan lokasi
sumur.
Polimer dapat mengurangi pengaruh yang merugikan dari variasi permeabilitas dan rekahan,
sehingga dengan demikian dapat memperbaiki effisiensi penyapuan vertikal dan horizontal.

3.4.3.2.2. Perbandingan mobilitas


Effisiensi penyapuan meskipun tidak terdapat heterogenitas reservoir dapat menjadi rendah
karena adanya perbandingan mobilitas yang tidak menguntungkan. Mobilitas fluida dalam reservoir
didefinisikan sebagai permeabilitas media terhadap fluida dibagi dengan viscositas fluida.
Cara umum yang digunakan untuk menentukan perbandingan mobilitas adalah
menggunakan permeabilitas efektif air pada saturasi minyak sisa dan permeabilitas efektif minyak
pada saturasi air interstitial, yang dinyatakan :
Kw @ Sor
w
M ...................................................................................... (3-12)
Ko @ Swi
o

Polimer dapat memperbaiki perbandingan mobilitas, sehingga dapat meningkatkan effisiensi


penyapuan dan juga effisiensi pendesakan dalam reservoir.

3.4.3.2.3. Karakteristik Polimer


Karakteristik polimer diantaranya terdiri dari kimiawi polimer, rheologi dan ukuran polimer.
A. Kimiawi Polimer
Dua tipe dasar polimer yang saat ini banyak digunakan untuk EOR yaitu polysacharide dan
poliacrylamide. Jenis polysacharide yang digunakan dalam EOR adalah xanthangum yang
dihasilkan dari akuifitas bakteri xanthomonas campetris. Molekul poliacrylamide terbentuk rantai
panjang molekul-molekul monomer acrylamide. Satuan dasar acrylamide memiliki rumus dasar
sebagai berikut :

Gambar 3.39.
Rumus Dasar Acrylamide21)
Bila dikombinasi secara kimiawi untuk membentuk polymer, maka strukturnya adalah :

Gambar 3.40.
Rumus Dasar Polymer Secara Kimiawi21)
Polyacrylamide relatif lebih tahan terhadap serangan bakteri, zat ini efektif bila digunakan
pada reservoir yang mempunyai salinitas 1%. Pada reservoir dengan harga salinitas yang tinggi,
polyacrylamide akan kehilangan kemampuan untuk mengentalkan air. Polyacrylamide atau
"biopolymer", dibuat dari proses fermentasi dengan menggunakan bakteri. Salah satu bakteri yang
digunakan adalah Xanthomonas campestris atau biasa disebut "Xantan gum".
Polysacharide lebih tahan terhadap shear degradation dan salinitas dibandingkan dengan
polyacrylamide, sehingga banyak digunakan pada reservoir dengan salinitas sedang. Polysacharide
yang telah terlarut ini akan digunakan untuk mengontrol mobilitas (mobility control agent), maka
polymer tersebut harus dijaga dari serangan bakteri, yaitu dengan memakai biocedes dan oxygen
scavegers secara tepat. Kebanyakan bakteri aerobic yang menyerang xantan adalah dari jenis
pseudomand, dimana mikroba ini selain menurunkan kualitas polymer juga memproduksi sel-sel
dengan diameter 1 micron dan panjang 4 micron. Sel-sel ini lebih besar dari polymer dan dapat
menyumbat formasi (formation plugging) pada sumur injeksi.
Injeksi polymer pada dasarnya adalah merupakan injeksi air yang disempurnakan, untuk
memperbaiki sifat fluida pendesak dengan harapan perolehan minyaknya akan lebih besar.
Kegagalan injeksi air tidak semua dapat ditanggulangi dengan injeksi polymer. Bila penyebabnya
adalah perbandingan mobilitas yang kurang menguntungkan dan heterogenitas batuannya, maka
injeksi polymer akan dapat menanggulanginya.
Penggunaan polymer dapat mengurangi pengaruh yang kurang baik dari variasi
permeabilitas den fracture, sehingga dapat memperbaiki effisiensi penyapuan vertikal (effisiensi
invasi) maupun effisiensi penyapuan berpola. Satu syarat lain yang harus dipenuhi agar injeksi
polimer dapat berhasil, yaitu kondisi reservoir yang sesuai.
Beberapa panduan yang digunakan untuk memilih reservoir yang akan dilakukan injeksi
polymer antara lain :
1. Perbandingan mobilitas antara 2 sampai 20 dan terdapat variasi distribusi permeabilitas
yang cukup besar.
2. Memiliki permeabilitas dan viscositas minyak yang cukup tinggi.
3. Temperatur reservoir kurang dari 250 – 300 0F.
4. Saturasi minyak bergerak harus cukup tinggi.
5. Reservoir dengan daya dorong air yang produksi air awalnya kecil atau tidak ada sama
sekali.
B. Rheologi
Larutan polimer yang terdiri atas molekul-molekul raksasa merupakan fluida non
Newtonion, sehingga kelakuan alirannya terlalu kompleks untuk dinyatakan dalam satu parameter,
yaitu viskositas. Rheologi larutan meliputi :
 Viscoelastisitas dan relaxation time
 Aliran laminer
 Mengalir dengan arus longitudinal
Penurunan permeabililtas dikenal faktor resistensi (R) yang mengukur pengurangan
mobilitas. Harga R dipengaruhi oleh konsentrasi polimer. Secara matematis R dinyatakan sebagai
berikut :
w k w /  w
R 
 p k p /  p .................................................................................... (3-13)

C. Ukuran Polimer
Ukuran polimer dapat ditentukan secara matematis atau melakukan percobaan. Flory (1953)
merumuskan untuk polimer non-ionik :
1
r  2  8(W ) 2 ..................................................................................... (3-14)

Persamaan untuk polimer linier :


r 2  6 s 2 ......................................................................................... (3-15)
Keterangan:
W = berat molekul polimer
  s
 = viscositas minyak intrinsik = lim
c 0 c s

s = radius putaran molekul polimer


 = viscositas larutan polimer
s = viscositas pelarut
c = konsentrasi polimer

3.4.3.2.4. Mekanisme Injeksi Polymer


Proyek peningkatan perolehan minyak seperti halnya pada metode lainnya, maka saat fluida
diinjeksikan masuk ke dalam sumur dan kontak pertama terjadi maka mekanisme mulai bekerja.
Penambahan sejumlah polimer ke dalam air, akan meningkatkan viskositas air sebagai fluida
pendesak, sehingga mobilitas air sendiri menjadi lebih kecil dari semula dengan demikian
mekanisme pendesakan menjadi lebih efektif.
Polimer ini berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan invasi, sehingga Sor
yang terakumulasi dalam media pori yang lebih kecil akan dapat lebih tersapu dan terdesak. Usaha
proyek polimer flooding ini membutuhkan analisa dan kriteria yang tepat terhadap suatu reservoir,
oleh karena itu studi pendahuluan merupakan faktor yang penting.
Gambar 3.41.
Mekanisme Injeksi Polymer20)
Pelaksanaan operasi injeksi polimer di lapangan pada garis besarnya dibagi menjadi dua,
yaitu sistem pencampuran polimer dan sistem injeksi polimer.

A. Sistem Pencampuran Polimer


Pencampuran polimer umumnya dilakukan di dalam fasilitas pencampur seperti ditunjukkan
pada Gambar 3.42. Bagian utama dari peralatan ini adalah pencampur (mixer) polimer kering, yang
mengukur butiran dan serbuk polimer di dalam pengatur aliran air untuk memberikan dispersi yang
seragam. Persiapan ini menyebabkan polimer kontak dengan aliran air yang berputar (swirling
stream) didalam alat funnel-shaped. Jenis merk dagang perawatan tersebut itu adalah GACO dan
Dow mixer. Laju feed polimer untuk pencampuran diatur dengan sebuah speed feed anger. Laju alir
perlu diatur untuk memberikan kebutuhan percampuran di dalam funnel. Air yang tersisa setelah
tercapai konsentrasi polimer yang diinginkan dimasukkan ke dalam pencampur sebagai aliran by
pass yang bercampur dengan dispersi polimer dibagian bawah alat pencampur (mixer).
Perlakuan terhadap polimer kering yang disimpan di dalam feed hopper umumnya dilakukan
dengan salah satu jarak sebagai berikut. Dalam skala operasi kecil, karung-karung seberat 50
pounds polimer dimasukkan ke dalam feed hoper atau ke dalam storage bin dan dialirkan ke feed
hoper secara pneumatik (pompa angin).
Gambar 3.42.
Diagram Sistem Pencampur Polymer Kering21)
Laju larutan polimer yang berkonsentrasi tinggi begitu lambat mengakibatkan dibutuhkan
tangki-tangki pencampur yang relatif besar di bagian bawah. Tangki-tangki ini biasanya di isi
dengan nitrogen untuk mengeluarkan oksigen yang berasal dari udara. Ini juga adalah tempat yang
biasanya untuk memasukkan pemakan oksigen (oxygen scavenger) atau biosida bila diperlukan.
Polymer yang telah tercampur dalam tangki diinjeksikan secara langsung dengan menggunakan
pompa jenis positive displacement. Jika dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan permukaan (face
plugging) di sumur injeksi, well head cartridge filter bisa digunakan untuk memastikan polimer
yang telah diinjeksikan tidak terdapat penggumpalan gel dari polimer dengan konsentrasi tinggi.
Persiapan larutan polimer dari polimer emulsi atau dari persediaan tidak begitu kompleks.
Hanya dibutuhkan pengukuran air dan penambahan zat-zat kimia. Cairan polimer seringkali dapat
disempurnakan dengan mixer statis atau mixer in-line tanpa memakai tangki pencampur yang besar.
Konsentrasi polimer yang tinggi disimpan di dalam sebuah tangki dengan menggunakan pompa
dengan ukuran untuk mengontrol kecepatan polimer yang masuk ke dalam mixer.

B. Sistim Injeksi Polimer


Injeksi fluida ke dalam reservoir melalui beberapa sumur umumnya dilakukan dengan
memakai sistim manifold (Gambar 3.43) menggambarkan sistem yang sederhana. Pompa positive
displacement umumnya digunakan untuk menginjeksikan fluida ke dalam reservoir, laju aliran
volumetris total dapat dikontrol untuk melihat program injeksi secara keseluruhan. Aliran relatif
dapat ditentukan dengan flow resistance (daya tahan aliran) dalam masing-masing sumur injeksi
tanpa alat pengontrol aliran pada masing-masing sumur. Jenis kontrol aliran dibutuhkan pada
masing-masing sumur untuk mengimbangi injeksi yang terkontrol.

Gambar 3.43.
Diagram Sistem Manifold Distribusi Injeksi Fluida21)

Fluida yang diinjeksikan jika dalam beberapa kasus adalah air atau slug tercampur (miscible
slug), throttling valve sederhana dapat untuk mengatur aliran fluida. Sejumlah sumur jika menerima
fluida dari satu pompa dalam jumlah besar, alat-alat pengontrol tersebut menjadi tidak stabil karena
seluruh sistem saling berhubungan. Perubahan sedikit saja dari alat throttling (katup penyumbat)
pada satu sumur menyebabkan perubahan aliran di semua sumur yang lain karena laju alir total
tetap konstan. Sistem ini tetap bekerja jika cukup monitoring terhadap laju injeksi pada masing-
masing sumur.
Injeksi polimer polycrylamide memerlukan larutan khusus dalam masalah pengontrolan laju
injeksi. Polimer-polimer tersebut rentan terhadap penurunan shear pada saat melewati throttling
valve. Cara yang umumya digunakan untuk mengontrol rate (kecepatan) adalah penempatan tubing
panjang dengan diameter relatif kecil. Polimer-polimer sedikit sensitif terhadap viscous shear
daripada viscoelastic shear di dalam pipa orifice atau peralatan yang serupa, tubing-tubing tersebut
menyempurnakan sasaran (tujuan) kontrol aliran tanpa menurunkan kualitas polimer.
Diameter tubing dihitung berdasarkan shear rate untuk laju alir yang diinginkan, sedangkan
panjang coil (tubing) dihitung berdasarkan tekanan yang harus dihilangkan sebelum memasukkan
wellhead.

3.4.3.3. Injeksi Surfactant


Injeksi surfactant digunakan untuk menurunkan tegangan antarmuka minyak-fluida injeksi
supaya perolehan minyak meningkat. Effisiensi injeksi meningkat sesuai dengan penurunan
tegangan antarmuka (L.C Uren and E.H Fahmy). Ojeda et al (1954) mengidentifikasikan
parameter-parameter penting yang menentukan kinerja injeksi surfactant, yaitu :
1. Geometri pori
2. Tegangan antarmuka
3. Kebasahan atau sudut kontak
4. ΔP atau ΔP/L
5. Karakteristik perpindahan kromatografis surfactant pada sistem tertentu
Injeksi surfactant ini ditujukan untuk memproduksikan residual oil yang ditinggalkan oleh
water drive, dimana minyak yang terjebak oleh tekanan kapiler, sehingga tidak dapat bergerak dapat
dikeluarkan dengan menginjeksikan larutan surfaktan. Percampuran surfactant dengan minyak
membentuk emulsi yang akan mengurangi tekanan kapiler.
Minyak setelah dapat bergerak, maka diharapkan tidak ada lagi minyak yang tertinggal. Kita
tidak perlu menginjeksikan surfaktan seterusnya pada surfaktan flooding, melainkan diikuti dengan
fluida pendesak lainnya, yaitu air yang dicampur dengan polymer untuk meningkatkan efisiensi
penyapuan dan akhirnya diinjeksikan air.
Perbaikan kondisi reservoir yang tidak diharapkan, seperti konsentrasi ion bervalensi dua,
salinitas air formasi yang sangat tinggi, serta absorbsi batuan reservoir terhadap larutan dan kondisi-
kondisi lain yang mungkin dapat menghambat proses surfaktan flooding, maka perlu ditambahkan
bahan-bahan kimia yang lain seperti cosurfactant (umumnya alkohol) dan larutan NaCl. Selain
kedua additive diatas, yang perlu diperhatikan dalam operasi surfaktan flooding adalah kualitas dan
kuantitas dari zat tersebut.
Dua konsep yang telah dikembangkan dalam penggunaan surfactant untuk meningkatkan
perolehan minyak. Konsep pertama adalah larutan yang mengandung surfactant dengan konsentrasi
rendah diinjeksikan. Surfactant dilarutkan di dalam air atau minyak dan berada dalam jumlah yang
setimbang dengan gumpalan-gumpalan surfactant yang dikenal sebagai micelle. Sejumlah besar
fluida (sekitar 15% – 60% atau lebih) diinjeksikan ke dalam reservoir untuk mengurangi tegangan
antarmuka antara minyak dan air, sehingga dapat meningkatkan perolehan minyak.
Konsep kedua, larutan surfactant dengan konsentrasi yang lebih tinggi diinjeksikan ke dalam
reservoir dalam jumlah yang relatif kecil (3% – 20% PV). Micelles yang terbentuk dalam hal ini
bisa berupa dispersi stabil air di dalam hidrokarbon atau hidrokarbon di dalam air.

3.4.3.3.1. Sifat-sifat Surfactant


Surfactant adalah bahan kimia yang molekulnya selalu mencari tempat diantara dua fluida
yang tidak mau bercampur dan surfactant mengikat kedua fluida tersebut menjadi emulsi.
Surfactant yang berada di dalam slug harus dibuat agar membentuk micelle, yaitu surfactant yang
aktif dan mampu mengikat air dan minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya masih
kecil, maka campuran surfactant tersebut masih berupa monomor (belum aktif). Setiap slug perlu
diketahui CMC-nya (Critical Micelles Cocentration) yaitu konsentrasi tertentu, sehingga campuran
surfactant yang semula monomor berubah menjadi micelle.
Surfactant yang umum dipakai dalam proses eksploitasi EOR adalah sodium sulfonate yang
ionik bermuatan negative, sedangkan jenis lain jarang dipakai. Larutan surfactant yang biasa
digunakan di lapangan untuk pendesakan minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen
surfactant, air, minyak dan alkohol sebagai cosurfactant. Campuran cairan surfactant ini diijeksikan
ke dalam reservoir sebagai slug kemudian didorong oleh larutan polimer untuk memperbaiki
mobilitas aliran, selanjutnya diikuti pendorongan air agar hemat bahan polimer. Slug yang biasa
digunakan dari 5% - 15 % PV (Pore Volume), diharapkan kemampuannya menghasilkan tambahan
perolehan diatas perolehan jika digunakan secondery recovery.
Variabel-variabel yang Mempengaruhi Injeksi Surfactant
Variabel-variabel yang mempengaruhi injeksi surfactant diantaranya adalah adsorbsi,
konsentrasi slug surfactant, clay, salinitas.
A. Adsorbsi
Persoalan yang dijumpai pada injeksi surfactant adalah adsorbsi batuan reservoir terhadap
larutan surfactant. Adsorbsi batuan reservoir pada slug surfactant terjadi akibat gaya tarik-menarik
antara molekul-molekul surfactant dengan batuan reservoir dan besarnya gaya ini tergantung dari
besarnya afinitas batuan reservoir terhadap surfactant. Jika adsorbsi yang terjadi kuat sekali, maka
surfactant yang ada dalam slug surfactant menjadi menipis, akibatnya kemampuan untuk
menurunkan tegangan permukaan minyak-air semakin menurun.
Mekanisme terjadinya adsorbsi adalah sebagai berikut, surfactant yang dilarutkan dalam air
yang merupakan microemulsion diinjeksikan ke dalam reservoir. Slug surfactant akan
mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air, sekaligus akan bersinggungan dengan permukaan
butiran batuan. Saat terjadi persinggungan ini molekul-molekul surfactant akan ditarik oleh
molekul-molekul batuan reservoir dan diendapkan pada permukaan batuan secara kontinyu sampai
mencapai titik jenuh. Kualitas surfactant menurun diakibatkan karena terjadi adsorbsi sehingga
mengakibatkan fraksinasi, yaitu pemisahan surfactant dengan berat ekivalen rendah didepan
dibandingkan dengan berat ekivalen tinggi.
B. Konsentrasi Slug Surfactant
Konsentrasi surfactant juga berpengaruh besar terhadap terjadinya adsorbsi batuan reservoir
pada surfactant. Konsentrasi surfactant yang digunakan makin pekat, maka akan semakin besar
adsorbsi yang diakibatkannya mencapai titik jenuh.
C. Clay
Clay yang terdapat dalam reservoir harus diperhitungkan karena clay dapat menurunkan
recovery minyak, disebabkan oleh sifat clay yang suka air (Lyophile) menyebabkan adsorbsi yang
terjadi besar sekali. Reservoir dengan salinitas rendah, peranan clay ini sangat dominan.
D. Salinitas
Salinitas air formasi berpengaruh terhadap penurunan tegangan permukaan minyak-air oleh
surfactant. NaCl untuk konsentrasi garam-garam tertentu akan menyebabkan penurunan tegangan
permukaan minyak-air tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang membentuk
NaCl adalah ikatan ion yang sangat mudah terurai menjadi ion Na + dan ion Cl-, begitu juga halnya
dengan molekul-molekul surfactant. Surfactant di dalam air akan mudah terurai menjadi ion RSO 3-
dan H+. Konsekuensinya bila pada operasi injeksi surfactant terdapat garam NaCl, maka akan
membentuk HCl dan RSO3Na, dimana HCl dan RSO3Na bukan merupakan zat aktif permukaan dan
tidak dapat menurunkan tegangan permukaan minyak-air.
Garam NaCl selain mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air juga mengakibatkan
fraksinasi surfactant yang lebih besar, sampai batuan reservoir tersebut mencapai titik jenuh.
3.4.3.3.2. Bahan-bahan yang Digunakan dalam Injeksi Surfactant
Penentuan kuantitas dan kualitas surfactant yang digunakan untuk injeksi perlu diketahui
agar residu oil yang tertinggal bisa didesak dan diproduksikan dengan cara menurunkan tegangan
permukaan minyak-air. Perbaikkan kondisi reservoir yang tidak diharapkan, yang dapat
menghambat operasi injeksi surfactant, maka perlu ditambahkan bahan-bahan kimia lain seperti
kosurfactant dan larutan NaCl. Kuantitas dan kualitas surfactant serta additive setelah ditentukan,
maka dilakukan pencampuran larutan. Larutan ini dapat berbentuk larutan biasa atau dalam bentuk
microemulsion.

A. Klasifikasi Surfactant
Surfactant dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu :
1. Anion
1.1. Garam-Asam Carboxylic
a. Garam sodium dan potasium dari asam lemak rantai lurus (soaps).
b. Garam sodium dan potasium dari asam lemak minyak kelapa.
c. Garam sodium dan potasium dari asam minyak tall.
d. Garam amine.
e. Acylated polypeptides.
1.2. Garam Asam Sulfonat
a. Linear alkyl benzen sulfonat (LAS).
b. Hygher alkyl benzen sulfonat.
c. Benzen, toluen, xylen dan cumenesulfonat.
d. Lignusulfonat.
e. Petroleum sulfonat
f. N-acyl-n-alkyltaurates.
g. Parafin sulfonat (SAS). Secondary n-alkyltaurates.
h. Alfa olefin sulfonat (AOS).
i. Ester sulfosuccinate.
j. Alkyl napthalen sulfonat.
k. Isethionates.
l. Garam ester dari phosporic dan polyphosporic.
m. Perfluorinated anion.
2. Kation
a. Amine rantai panjang dan garam-garamnya.
b. Diamines dan polyamines dan garam-garamnya.
c. Garam Quartenary Ammonium.
d. Polyoxythelenated Amine rantai panjang.
e. Quarternized Polyoxythelenated rantai panjang.
f. Amine Oxides.
3. Nonion
a. Polyoxythelenated Alkylphenols, alkylphenol ethoxylates.
b. Polyoxythelenated rantai lurus alkohol, alkohol ethoxylates.
c. Polyoxythelenated mercaptans
d. Rantai panjang asam Ester Carboxylic.
e. Alakanolamine kondensat, Alkanolamides.
f. Tertiery Acetylenic Glicol.
4. Amphoterik
Surfactant jenis ini mengandung dua atau lebih aspek jenis lain. Contoh : amphoterik
mungkin mengandung anion group dan non polar group. Surfactant jenis ini tidak pernah digunakan
dalam perolehan minyak. Termasuk dalam surfactant ini adalah jenis-jenis aminocarboxylic.

B. Kuantitas Surfactant
Kuantitas surfaktan adalah penentuan volume surfaktan yang dibutuhkan dalam pendesakan
agar residual oil yang tertinggal dapat didesak dengan cara menurunkan tegangan permukaan. Slug
surfaktan yang digunakan jangan terlalu banyak karena tidak ekonomis dan sebaliknya jangan
terlalu sedikit karena mengakibatkan permukaan minyak tak semuanya dilalui.
Penentuan slug surfaktan ini dapat dilakukan di laboratorium atau dengan cara lain seperti
yang telah dikemukakan oleh Taylor dan dikembangkan oleh Aris. Cara ini menunjukkan hubungan
antara jarak yang ditempuh dengan konsentrasi larutan surfaktan, yaitu :
c  2c
k .............................................................................................. (3-16)
t x 2
Keterangan :
C = konsentrasi, fraksi volume surfaktan.
T = waktu pendesakan, detik.
k = koefisien dispersi, cm2/dt.
x = jarak, cm.
Core yang diinjeksi dengan surfaktan kemudian dicatat seberapa jauh jarak yang ditempuh
surfaktan, dimulai dari titik injeksi sampai injeksi mencapai 10% dan 90% pore volume.
Solusi dari Persamaan (3-16) adalah sebagai berikut :
  x1 
C  0.5 1  erf    ................................................................... (3-17)
  2 KT 
Keterangan :
1  X  X 10 
K   90  ............................................................................ (3-18)
t  3.625 
X90 dan X10 adalah jarak yang ditempuh surfaktan bertepatan dengan injeksi surfaktan
mencapai 90 dan 10 % pore volume dari titik injeksi. Volume surfaktan untuk aplikasi lapangan
yang diperlukan dapat ditentukan dari :
Vsf  C x Vp ...................................................................................... (3-19)

Keterangan :
Vsf = volume surfaktan yang diperlukan, %PV.
C = fraksi volume surfaktan yang diperlukan.
Vp = volume pori-pori total resrvoir, satuan volume.
Penentuan volume slut surfaktan dari pengalaman di lapangan dengan cara diatas akan
mendapatkan hasil optimum sekitar 5 sampai 10 pore volume.

C. Kualitas Surfactant
Kualitas surfaktan adalah efektivitas kerja dari surfaktan untuk menurunkan tegangan
permukaan antara air-minyak, sehingga residual oil yang tertinggal dapat didesak dan
diproduksikan.
Surfaktan didefinisikan sebagai molekul yang mencari tempat diantara dua cairan yang tak
dapat bercampur dan mempunyai kemampuan untuk mengubah kondisi.
Bahan utama dari surfaktan ini adalah Petroleum Sulfonate, dimana zat ini dihasilkan dari
sulfonatisasi minyak mentah (distilasi minyak). Petroleum sulfonate mempunyai daya afinitas
terhadap air dan minyak. Molekul ini mempunyai dua bagian, satu bagian larut dalam minyak dan
satu bagian lainnya larut dalam air. Surfaktan yang mempunyai daya afinitas kuat terhadap minyak
disebut oil-soluble (mahagoni) dan yang kuat terhadap air disebut water soluble (green acid).
Rumus kimia dari sulfonate adalah R-SO3H, dimana R adalah gugusan atom-atom aromatik.
Kualitas surfaktan ditentukan dari parameter berat ekuivalennya, semakin besar berat ekuivalen
surfaktan yang digunakan, maka efektivitas kerja untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-
air semakin baik dan begitu sebaliknya.
Penggunaan surfaktan dengan konsentrasi yang terlalu tinggi tidak saja mengakibatkan
absorbsi, tapi juga menjadi tidak ekonomis. Perolehan kelarutan yang baik dalam minyak atau air
dan tak terlalu terpengaruh oleh absorbsi batuan reservoir serta tahan terhadap kontaminasi garam-
garam formasi dan pengaruh mineral-mineral clay, maka perlu ditentukan berat ekuivalennya yang
optimum.
Kerakteristik dari petroleum sulfonate yang merupakan bahan dasar surfaktan adalah seperti
yang terdapat pada Tabel III-5. Bila akan menggunakan surfaktan dengan berat ekuivalen yang
dikehendaki, maka tinggal mencampur dua atau beberapa jenis surfaktan tersebut.
Zat tambahan (additive) dalam slug surfaktan biasa digunakan "Cosurfaktant", sebab zat ini
mempunyai banyak fungsi dalam pendesakan ini, antara lain mengatur viskositas yang cocok untuk
mengontrol mobilitas. Beberapa jenis alkohol yang digunakan sebagai cosurfaktan adalah :
Cosurfaktan : 2-propanol, 1-pentanol, p-pentanol, 1-hexanol, 2-hexanol.

Tabel III-5
Bahan Dasar Injeksi Surfactant17)

Penggunaan Cosurfaktan ini dari pengalaman di lapangan, ternyata dapat meningkatkan


recovery minyak sampai 20%. Hal ini disebabkan karena selain ikut mendesak, surfaktan juga turut
melarutkan minyak.
Zat tambahan lain yang sering dipakai adalah larutan elektrolit NaCl yang digunakan
sebagai preflush, untuk menggerakkan air formasi yang tidak cocok dengan komposisi slug
surfaktan.
D. Pelarut dan Aditive
Pelarut utama surfactant adalah air dan minyak. Sulfonate yang merupakan hasil industri
penyulingan suatu campuran zat-zat kimia disebut Petroleum Feedstock, dilarutkan dalam minyak
atau air sehingga membentuk micelle-micelle yang merupakan microemulsion dalam air atau
minyak. Micelle-micelle berfungsi sebagai medium yang miscible baik terhadap minyak atau air.
Larutan yang menggunakan air atau minyak sebagai pelarutnya, tergantung pada bentuk larutan
yang dikehendaki, apakah aqueous solution atau microemulsion (oil-external atau water-external
microemulsion).
Pelarut utama dalam sistem aqueous solution adalah air. Sedangkan untuk oil-external
adalah minyak, dan water-external pelarut utamanya adalah air. Zat tambahan dalam slug surfactant
digunakan kosurfactant, umumnya adalah alkohol. Cosurfactant sering digunakan karena
mrmpunyai banyak fungsi dalam sistem pendesakan, antara lain viscositas larutan dapat diatur
dengan cosurfactant untuk kontrol mobilitas. Penggunaan cosurfactant ini dari pengalaman di
lapangan dapat meningkatkan recovery minyak sampai 20 %. Hal ini disebabkan karena selain ikut
mendesak, cosurfactant turut melarutkan minyak.
Zat tambahan lain yang sering digunakan adalah larutan elektrolit NaCl yang digunakan
sebagai preflush, untuk menggerakkan air formasi yang tidak compatible dengan komposisi slug
surfactant.

E. Sistem Pencampuran
Pencampuran komponen-komponen menjadi slug surfactant memerlukan sistem penanganan
yang tepat, antara lain harus memakai water treatment dan sistem pencampuran slug surfactant.
Fasilitas water treatment diperlukan untuk menghilangkan kation-kation yang merugikan seperti
Ca2+, Mg2+ dan ion besi dengan ion-ion natrium dari pelembut air (water softener).

3.4.3.3.3. Pertimbangan dan batasan pemakaian surfactant


Dasar pertimbangan yang digunakan untuk memilih metoda pendesakan surfactant pada
suatu reservoir yang diperoleh dari data empiris diantaranya meliputi :
1. Sifat fisik fluida reservoir yang terdiri dari : gravity minyak, viskositas minyak, komposisi
dan kandungan chloridanya.
2. Sifat fisik batuan reservoir yang terdiri dari : saturasi minyak sisa, tipe formasinya,
ketebalan, kedalaman, permeabilitas rata-rata dan temperaturnya.
Syarat-syarat dan batasan-batasan yang digunakan dalam pemilihan metoda pendesakan
surfactant dapat dirinci sebagai berikut :
1. Kualitas crude oil
 Gravity > 25 API
 Viskositas < 30 cp
 Kandungan klorida < 20000 ppm
 Komposisi diutamakan minyak menengah ringan (Light Intermediate)
2. Surfactant dan polimer
 Ukuran dari slug adalah 5 – 15% dari volume pori (PV) untuk sistim surfactant yang
tinggi konsentrasinya sedangkan untuk yang rendah besarnya 15 – 50% dari volume
pori (PV).
 Konsentrasi polimer berkisar antara 500 – 2000 mg/i
 Volume polimer yang diinjeksikan kira-kira 50% dari volume pori.
3. Kondisi reservoir
 Saturasi minyak >30% PV
 Tipe fomasi diutamakan sandstone
 Ketebalan formasi > 10 ft
 Permeabilitas > 20 md
 Kedalaman < 8000 ft
 Temperatur < 175 F
4. Batasan lain
 Penyapuan areal oleh water floding sebelum injeksi surfactant diusahakan lebih besar
dari 50%
 Diusahakan formasi yang homogen
 Tidak terlalu banyak mengandung anhydrite, pysum atau clay.
 Salinitas lebih kecil dari 20000 ppm dan kandungan ion divalen (Ca dan Mg) lebih kecil
dari 500 ppm.

3.4.3.3.4. Mekanisme injeksi surfactant


Larutan surfactant yang merupakan microemulsion yang diinjeksikan ke dalam reservoir,
mula-mula bersinggungan dengan permukaan gelembung-gelembung minyak melalui film air yang
tipis, yang merupakan pembatas antara batuan reservoir dan gelembung-gelembung minyak.
Surfactant memulai perannya sebagai zat aktif permukaan untuk menurunkan tegangan permukaan
minyak-air. Pertama sekali molekul-molekul surfactant yang mempunyai rumus kimia RSO3H akan
terurai dalam air menjadi ion-ion RSO3- dan H+. Ion-ion RSO3- akan bersinggungan dengan
gelembung-gelembung minyak, ia akan mempengaruhi ikatan antara molekul-molekul minyak dan
juga mempengaruhi adhesion tension antara gelembung-gelembung minyak dengan batuan
reservoir, akibatnya ikatan antara gelembung-gelembung minyak akan semakin besar dan adhesion
tension semakin kecil sehingga terbentuk oil bank didesak dan diproduksikan.
Slug surfactant setelah diinjeksikan kemudian diikuti oleh larutan polimer. Hal ini dilakukan
untuk mencegah terjadinya fingering dan chanelling. Surfactant + cosurfactant harganya cukup
mahal, di satu pihak polymer melindungi bank ini sehingga tidak terjadi fingering menerobos zone
minyak dan di lain pihak melindungi surfactant bank dari terobosan air pendesak.
Slug surfactant agar efektivitasnya dalam mempengaruhi sifat kimia fisika sistem fluida di
dalam batuan reservoir dapat berjalan baik, maka hal-hal diatas harus diperhatikan. Misalnya
mobilitas masing-masing larutan harus dikontrol. Mobilitas slug surfactant harus lebih kecil dari
mobilitas minyak dan air didepannya.
Pelaksanaan di lapangan untuk injeksi surfactant meliputi sistem perlakuan terhadap air
injeksi, sistem pencampuran slug surfactant dan sistem injeksi fluida.

A. Sistem Perlakuan Terhadap Air Injeksi


Fasilitas perlakuan terhadap air injeksi akan sangat bergantung pada persediaan air untuk
injeksi dan keperluan-keperluan lain. Kebutuhan perlakuan minimum terhadap filtrasi air dalam
beberapa kasus dilakukan melalui penyaringan tekanan bumi diatomaeous.
Air jika dipakai sebagai slug tercampur (miscible slug) atau formasi polimer, proses
penyaringan air dilakukan dengan penukaran ion water softener. Langkah ini digunakan untuk
menghilangkan bermacam-macam kation pengganggu dengan ion-ion sodium dari regin di dalam
water softener seperti diperlihatkan pada Gambar 3.44.

B. Sistem Percampuran Slug Surfactant


Komponen-komponen slug tercampur (miscible) mempunyai komposisi berbeda-beda pada
kebanyakan rumus-rumus dari micellar. Kebanyakan slug terdapat paling sedikit terdiri dari empat
komponen berbeda : petroleun sulfonat, fasa cairan (encer), hidrokarbon dan cosurfactant. Semua
komponen tersebut kecuali cosurfactant, diukur didalam tangki pencampur yang luas dimana
mereka tercampur sampai menjadi homogen, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.45.
Gambar 3.44.
Diagram Sistem Perlakuan Air21)

Gambar 3.45.
Diagram Sistem Pencampuran Slug Surfactant21)
Filtrasi diperlukan slug yang umumnya memanas sebelum dipompa melewati filter.
Beberapa maksud dengan memanaskan lebih dahulu yaitu : menstabilkan slug, memperbaiki
penyaringan yang menyebabkan turunnya viskositas slug dan mengurangi kemungkinan
terendapkannya parafin di dalam sumur injeksi. Cosurfactant yang hampir selalu alkoho setelah
filtrasi l, terukur di dalam slug. Cosurfactant menaikkan kesetabilan micellar dan secara serempak
merubah viskositas untuk memenuhi kebutuhan mobilitas di dalam reservoir. Slug tersebut biasanya
ditempatkan di dalam tangki penyimpanan preinjection sebelum diijeksikan di dalam sumur.
Sebuah pompa positive displacement digunakan untuk mengnjeksikan slug pada laju alir seperti
sebelumnya.

C. Sistem Injeksi Fluida


Injeksi fluida ke dalam reservoir dengan melalui beberapa sumur umumnya dilakukan
dengan memakai sistem manifold. Pompa positive displacement biasanya digunakan untuk
menginjeksikan fluida di dalam reservoir, laju aliran volumetris total dapat dikontrol, untuk melihat
program injeksi secara keseluruhan. Gambar 3.46 menggambarkan penginjeksian surfactant ke
dalam reservoir suatu lapangan.
Gambar 3.46.
Mekanisme Injeksi Surfactant7)
Aliran relatif tanpa alat pengontrol aliran pada masing-masing sumur ditentukan dengan
mengukur daya tahan aliran dalam aliran masing-masing sumur injeksi. Pengimbangan injeksi yang
tak terkontrol membutuhkan beberapa jenis kontrol aliran pada masing-masing sumur.
Fluida yang diinjeksikan jika berupa slug tercampur (miscible slug), maka throttling valve
sederhana cukup untuk mengukur aliran. Jika sejumlah sumur mendapat fluida dari satu pompa
dalam jumlah yang besar, alat-alat pengontrol dapat menjadi tidak stabil karena seluruh sistem
saling berhubungan. Perubahan sedikit saja pada perawatan throttling pada sumur menyebabkan
perubahan aliran di sebuah sumur yang lainnya, karena laju alir total tetap konstan. Sistem ini tetap
dapat bekerja jika cukup memonitoring terhadap laju injeksi pada masing-masing sumur.

Anda mungkin juga menyukai