Gambar 3.1
Injeksi Polimer
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)
3.3.1. Heterogenitas Reservoir dan Perbandingan Mobilitas.
Reservoir minyak pada umumunya terdiri dari banyak lapisan dengan sifat
yang heterogen. Adanya variasi permeabilitas dan rekahan akan berpengaruh
terhadap efisiensi penyapuan vertikal dan penyapuan areal. Polimer, dapat
mengurangi kerugian akibat variasi permeabilitas dan rekahan sehingga dapat
memperbaiki efisiensi penyapuan.
Efisiensi penyapuan volumetrik merupakan ukuran pengaruh tiga dimensi dari
heterogenitas reservoir. Hasil tersebut merupakan hasil dari pola penyapuan vertikal
dan horizontal. Effisiensi penyapuan volumetrik didefinisikan sebagai volume pori
resevoir yang terkena kontak dengan fluida injeksi dibagi dengan volume pori total
(Townsend et al, 1977).
Bisa dikatakan bahwa effisiensi penyapuan vertikal merupakan fungsi dari
karakteristik reservoir itu sendiri, sementara effisiensi penyapuan horizontal
merupakan fungsi dari karakteristik reservoir dan lokasi sumur. Efisiensi penyapuan
juga dipengaruhi oleh perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dengan fluida
yang didesak. Injeksi polimer dapat memperbaiki perbandingan mobilitas antara air
dengan minyak, yaitu dengan menaikkan viskositas air sehingga perbandingan
mobilitas antara air-minyak dapat turun dan akhirnya akan dapat menaikkan
efisiensi penyapuan.
Meskipun tidak terdapat heterogenitas reservoir, effisiensi penyapuan dapat
menjadi rendah karena adanya perbandingan mobilitas yang tidak menguntungkan.
Mobilitas fluida dalam reservoir didefinisikan sebagai permeabilitas media terhadap
fluida dibagi dengan viscositas fluida. Cara umum yang digunakan untuk
menentukan perbandingan mobilitas adalah menggunakan permeabilitas efektif air
pada saturasi minyak sisa dan permeabilitas efektif minyak pada saturasi air
interstitial, yang dinyatakan :
Kw @ Sor
w
M .................................................................................................. (3-1)
Ko @ Swi
o
Polimer dapat memperbaiki perbandingan mobilitas, sehingga dapat
meningkatkan effisiensi penyapuan dan juga effisiensi pendesakan dalam reservoir.
............................................................................................................. (3-2)
dimana:
= viskositas, cp
= shear stress, dyne/cm2
= shear rate, detik -1
Fluida non-Newtonian tidak dapat dicirikan dengan viskositas karena
perbandingan shear stress dengan shear rate tidak konstan. Kelakuan aliran
fluida non-Newtonian tersebut bisa mengikuti salah satu dari beberapa model
aliran kompleks. Larutan polimer umumnya digolongkan sebagai fluida
pseudoplastik pada semua kondisi. Material pseudoplastik adalah satu yang
menunjukkan daya tahan yang rendah selama bertambahnya shearing rate. Secara
matematik, rumus tersebut dikenal sebagai model Power Law:
K n ......................................................................................................... (3-3)
(n < 1 untuk fluida pseudoplastik)
dimana K dan n adalah dua parameter yang digunakan untuk
mendefenisikan kelakuan aliran fluida. Jika n = 1, maka penurunan persamaan
untuk fluida Newtonian adalah dengan K sebanding p. Jika perbandingan shear
stress terhadap shear rate dianggap sebagai viskositas nyata untuk fluida
pseudoplastik, pemeriksaan dari rumus diatas menunjukkan bahwa viskositas
nyata menurun selama peningkatan shear rate. Namun, fluida pseudoplastik
menunjukkan viskositas nyata yang besar pada saat mengalir dengan kecepatan
rendah dan viskositas nyata yang lebih kecil pada saat mengalir dengan kecepatan
tinggi.
Pada shear rate yang sangat tinggi (> ~105 sec-1) kurva aliran untuk larutan
polimer mendekati linier dan disebut viskositas pada shear tak terbatas (infinite
shear). Slope pada shear rate yang sangat kecil(< ~10-2sec-1 ) mendekati linier
dan disebut viskositas pada shear rate = nol (Skelland, 1967). Keuntungannya,
penyimpangan dari rumus ini terjadi pada shear rate yang lebih menguntungkan
pada semua kasus. Meskipun larutan polimer mempunyai kelakuan aliran yang
kompleks, viskositas nyata dari fluida ini lebih tinggi daripada viskositas air, pada
shear rate tinggi yang sama. Hubungan antara viskositas nyata dengan shear rate
(kecepatan aliran) ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2.
Viskositas Nyata Vs Shear rate (Kecepatan Aliran)
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
3.3.2.2. Solvent
Molekul polimer dapat dibayangkan sebagai sebuah kumpulan serat (fibrous
agregate). Dalam solvent yang baik, molekul kontak dengan solvent secara
maksimum. Hal ini memberikan kelenturan pada polimer, sehingga kelihatan
seperti gel. Dengan adanya penambahan molekul polimer, maka polimer-polimer
terikat secara maksimum, sehingga menaikkan viskositas nyata dari polimer
(Mungan et al., 1966). Dalam solvent yang buruk, polimer yang kontak dengan
solvent hanya sedikit. Dari mikrografik elektron dapat diketahui pengurangan
ikatan dan struktur polimer yang lebih kaku (rigid) (Herr dan Routson, 1976).
Air suling adalah solvent yang baik untuk polimer. Penambahan garam
elektrolit, akan menetralkan muatan molekul polimer. Dengan terurainya molekul
polimer, gaya yang ada akan membantu menurunnya molekul polimer (Mungan et
al., 1966). Jadi selama konsentrasi garam bertambah, molekul polimer akan
berkerut, menurunkan viskositas larutan, seperti pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3.
Viskositas Nyata Vs Konsentrasi Garam
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.4.
Viskositas Larutan Polimer Ionik Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
3.3.2.3. Berat Molekul
Apabila molekul polimer sangat padat, maka tidak ada bidang yang
berinteraksi, sehingga berat molekul akan sedikit mempengaruhi viskositas
larutan. Akan tetapi, serat alam dari polimer yang ada dapat memungkinkan
meluas dan meningkat, menjadi faktor yang penting (Mungan., 1966). Berat
molekul polimer yang besar menunjukkan viskositas nyata yang lebih besar
daripada berat molekulnya yang rendah pada kondisi yang sama. Pengujian
laboratorium terhadap sebagaian 500 ppm polimer acrylamide terhidrolisis
dengan berat molekul dari 3x106 sampai 10x106 menunjukkan bahwa penurunan
mobilitas, faktor resistensi dan permeabilitas meningkat dengan bertambahnya
berat molekul.
3.3.2.4. Hidrolisis
Perluasan hidrolisis mempengaruhi rheologi polimer dan kelakuannya di
dalam reservoir. Martin dan Sherwood (1975) mempelajari dengan memakai
polyacrylamide dan acrylamide terpolimer dalam tingkat range hidrolisis dari
0 – 35 %. Mereka menemukan bahwa viskositas nyata dari sebagian polimer
yang terhidrolisa lebih besar daripada viskositas nyata dari polyacrylamide yang
tidak terhidrolisa. Viskositasnya bertambah dengan tingkat hidrolisa walaupun
perbedaan ini begitu kecil dibandingkan pengaruh hidrolisa awal, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5.
Viskositas Air Destilasi Vs Hidrolisa
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.6.
Viskositas Vs Konsentrasi NaCl
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.7.
Viskositas Vs Konsentrasi CaCl
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.8.
Viskositas Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
s = viskositas solvent, cp
c = konsentrasi polimer, ppm
Intrinsic viscosity juga penting untuk menentukan ukuran molekul
polimer. Pengaruh shear rate, konsentrasi, berat molekul dan solvent dapat
diamati dengan viskometer kapiler. Kelakuan polimer dalam media berpori
sangat kompleks dibandingkan aliran kapiler, terutama jika ukuran pori media
berpori sama besarnya dengan ukuran molekul polimer.
Gambar 3.9.
Viskositas Nyata Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
kw
w M wo
R W ............................................................................(3-5)
P k p M p o
p
Dimana:
λ = mobilitas polimer yang terlarut dalam air, mD/cp
krw;krp = permeabilitas relatif air dan polimer, mD
μp = viskositas larutan polimer, cp
Mw-o ;Mp-o = perbandingan mobilitas air-minyak dan polimer-minyak
3.3.2.8. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses dimana terjadi kontak antara fluida baik
berupa gas maupun cairan, dengan padatan, dimana zat-zat dalam fluida tersebut
diserap oleh permukaan padatan, sehingga terjadi perubahan komposisi dalam
fluida yang tidak teradsorpsi. Proses adsorpsi biasanya ditandai dengan adanya
perpindahan massa dari cairan ke padatan (Sherwood, 1975).
Uji keseimbangan adsorpsi statik telah dilakukan dengan sejumlah polimer,
terutama polyacrylamide. Polimer teradsorpsi pada permukaan sebagian besar
mineral reservoir. Percobaan khusus digunakan untuk menentukan adsorpsi statik
yang memberikan agitasi kecil dari larutan polimer yang kontak dengan mineral
adsorpsi. Adsorpsi bertambah dengan naiknya konsentrasi polimer, paling sedikit
sampai 500 ppm polimer, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.11.
Gambar 3.11.
Adsorpsi Vs Konsentrasi Polimer
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Adsorpsi polyacrylamide lebih tinggi daripada biopolimer. Dari percobaan
diketahui bahwa untuk konsentrasi polimer antara 500 sampai 2500 ppm, adsorpsi
yang terjadi pada biopolimer adalah 0,2 - 0,4 mg/m2 permukaan batuan sedangkan
untuk polyacrylamide antara 0,5 - 2,0 mg/m2.
Adsorpsi polimer tergantung pada jenis polimer, komposisi batuan, salinitas,
kekerasan, temperatur dan konsentrasi polimer. Jenis adsorpsi yang terjadi pada
mineral yang berbeda dipakai dalam pengujian. Kalsium karbonat tampak
mempunyai afinitas yang lebih besar daripada silika pada larutan polimer.
Molekul polimer diadsorpsi pada permukaan batuan di lapisan pertama.
Muatan ion polimer mungkin salah satu faktor yang membatasi densitas adsorpsi.
Ukuran polimer juga membatasi densitas adsorpsi akhir, walaupun dari penelitian
menunjukkan molekul polimer paling sedikit menempati ruang pada saat
teradsorpsi daripada saat dalam larutan.
Sparlin (1975), menyatakan bahwa polimer melapisi permukaan batuan
dengan film hidrofilik. Selama air melewati polimer, film tersebut mengembang,
menurunkan permeabilitas efektif. Kehadiran minyak tidak menyebabkan
swelling. Jadi polimer dapat menurunkan mobilitas untuk sebagian besar zona
dengan saturasi minyak rendah, kemudian dapat meningkatkan efisiensi
penyapuan.
dimana: (tp<tw)
p = porositas efektif polimer, fraksi
r 2 6 s 2 ................................................................................................. (3-9)
dimana:
r = jarak dari ujung ke ujung molekul polimer, mikron
W = berat molekul polimer
= viskositas sebenarnya, cp
S = radius putaran molekul polimer, mikron
Lynch and Mac William (1969) memakai persamaan Flory untuk polimer
ionik dan menghitung sebuah harga "r" sebesar 0,28 mikron untuk berat molekul
polyacrylamide 3 juta dalam 3 % air asin. Pendekatan untuk percobaan
dimanfaatkan oleh Gogarty (1966) dengan menyaring beberapa larutan
polyacrylamide dengan filter milipore dengan ukuran lubang yang berbeda-beda.
Retention polimer yang ditemukan sedikit untuk filter dengan diameter lubang 1
mikron atau lebih. Gorgaty menyimpulkan bahwa ukuran efektif kelompok
polimer antara 0,45 - 0,8 mikron. Ukuran-ukuran tersebut kemungkinan lebih
besar daripada ukuran polimer untuk air yang diakibatkan oleh hidrasi.
Smith (1970) melakukan pengujian yang sama dan diperoleh data yang
sama. Pada kasus ini retention polimer menjadi berarti bila lubang filter 0,7
mikron atau kurang. Hal ini memberi kesan ukuran polimer sedikit lebih kecil
daripada yang dikemukan oleh Gorgaty.
Gambar 3.12.
Volume Pori Vs Diameter Pori
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.13.
Faktor Resistensi Vs kw/Ф
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Laju injeksi air asin yang sangat besar setelah injeksi polimer, akan
mengurangi pengaruhnya terhadap permeabilitas sisa. Sedangkan gradien tekanan
dan kecepatan yang tinggi akan memperbesar volume polimer yang diinjeksikan.
Gambar 3.14.
Penurunan Permeabilitas Vs Volume Pori Fluida
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.16.
Penurunan Viskositas Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.17
Rumus Dasar Acrylamide
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)
Bila dikombinasi secara kimiawi untuk membentuk polimer, maka
strukturnya adalah :
Gambar 3.18
Rumus Dasar Polimer Secara Kimiawi
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)
Polyacrylamide relatip lebih tahan terhadap serangan bakteri, zat ini efektif
bila digunakan pada reservoir yang mempunyai salinitas 1%. Pada reservoir dengan
harga salinitas yang tinggi, polyacrylamide akan kehilangan kemampuan untuk
mengentalkan air. Polysaccaride atau "biopolimer", dibuat dari proses fermentasi
dengan menggunakan bakteri. Salah satu bakteri yang digunakan adalah
Xanthomonas campestris atau biasa disebut "Xanthan gum". Polysacharide lebih
tahan terhadap shear degradation dan salinitas dibandingkan dengan
polyacrylamide. Oleh karena itu banyak digunakan pada reservoir dengan salinitas
sedang. Polysacharide yang telah terlarut ini akan digunakan untuk mengontrol
mobilitas (mobility control agent), maka polimer tersebut harus dijaga dari serangan
bakteri, yaitu dengan memakai biocedes dan oxygen scavegers secara tepat.
Kebanyakan bakteri aerobic yang menyerang xanthan adalah dari jenis
pseudomand, dimana mikroba ini selain menurunkan kualitas polimer juga
memproduksi sel-sel dengan diameter 1 micron dan panjang 4 micron. Sel-sel ini
lebih besar dari polimer dan dapat menyumbat formasi (formation plugging) pada
sumur injeksi.
B). Rheologi
Larutan polimer yang terdiri atas molekul-molekul raksasa merupakan fluida
non Newtonion, sehingga kelakuan alirannya terlalu kompleks untuk dinyatakan
dalam satu parameter, yaitu viskositas. Rheologi larutan meliputi :
Viscoelastisitas dan relaxation time
Aliran laminer
Mengalir dengan arus longitudinal
r 2 6 s 2 ................................................................................................. (3-12)
Dimana:
W = berat molekul polimer
s
= viscositas minyak intrinsik = lim
c 0 c s
3.3.4.2. Polyacrylamide
Molekul polyacrylamide adalah rangkaian molekul yang sangat panjang
dari unit molekul acrylamide. Berat molekul dari polyacrylamide antara 1
sampai 10 juta dan bersifat tahan terhadap serangan bakteri. Polyacrylamide
mudah terkena kerusakan mekanik karena rantainya yang sangat panjang
sehingga mudah putus, pecah. Polyacrylamide lebih sensitif terhadap salinitas
tetapi lebih tahan terhadap serangan bakteri.
Pada penambahan untuk menaikkan viskositas, polyacrylamide merubah
permeabilitas batuan reservoir, dan ini juga menurunkan mobilitas air injeksi.
Jika permeabilitas batuan reservoir rendah, maka polimer dengan konsentrasi
rendah dapat digunakan untuk memperoleh kestabilan mobilitas yang sama.
Struktur kimia dari polysacharide dapat dilihat pada Gambar 3.20.
Gambar 3.20.
Struktur Kimia Polyacrilamide
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)
Laju polimer yang mempunyai konsentrasi tinggi adalah sangat lambat, oleh
karena itu diperlukan tangki pencampur yang relatif besar. Tangki ini biasanya
diisi dengan nitrogen untuk mengeluarkan oksigen yang berasal dari udara.
Tangki tersebut juga merupakan tempat untuk memasukkan oxygen scavenger
atau biocide apabila diperlukan.
Polimer yang telah tercampur kemudian diinjeksi secara langsung dengan
menggunakan pompa piston jenis positive displacement. Apabila dikhawatirkan
akan terjadi penyumbatan permukaan (face plugging), maka wellhead cartridge
filter dapat digunakan untuk memastikan bahwa polimer yang telah diinjeksikan
tidak terjadi penggumpalan gel dari polimer dengan konsentrasi tinggi.
Persiapan larutan polimer dari polimer emulsi atau persediaan tidak begitu
kompleks. Hanya dibutuhkan pengukuran air dan penambahan zat-zat kimia.
Cairan polimer seringkali disempurnakan dengan mixer statis atau mixer inline
tanpa memakai tangki pencampur yang besar. Polimer konsentrasi yang tinggi
disimpan didalam sebuah tangki dengan menggunakan pompa untuk mengontrol
kecepatan polimer yang masuk ke dalam mixer.
Gambar 3.23.
Diagram Sistem Manifold untuk Distribusi Fluida Injeksi
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.24.
Karakteristik Reservoir Setelah Injeksi Polimer
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
3.3.7. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Polimer.
Tabel III-3
Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Polimer
Kelebihan Kekurangan
Gambar 3.25.
Injeksi Surfaktan
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)
Injeksi surfaktan ini ditujukan untuk memproduksikan residual oil yang
ditinggalkan oleh water drive, dimana minyak yang terjebak oleh tekanan kapiler,
sehingga tidak dapat bergerak dapat dikeluarkan dengan menginjeksikan larutan
surfaktan. Percampuran surfaktan dengan minyak membentuk emulsi yang akan
mengurangi tekanan kapiler.
Setelah minyak dapat bergerak, maka diharapkan tidak ada lagi minyak yang
tertinggal. Pada surfaktan flooding kita tidak perlu menginjeksikan surfaktan
seterusnya, melainkan diikuti dengan fluida pendesak lainnya, yaitu air yang
dicampur dengan polimer untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan akhirnya
diinjeksikan air.
Untuk memperbaiki kondisi reservoir yang tidak diharapkan, seperti konsentrasi
ion bervalensi dua, salinitas air formasi yang sangat tinggi, serta absorbsi batuan
reservoir terhadap larutan dan kondisi-kondisi lain yang mungkin dapat menghambat
proses surfaktan flooding, maka perlu ditambahkan bahan-bahan kimia yang lain
seperti kosurfaktan (umumnya alkohol) dan larutan NaCl. Disamping kedua additive
diatas, yang perlu diperhatikan dalam operasi surfaktan flooding adalah kualitas dan
kuantitas dari zat tersebut.
Pada prinsipnya ada dua konsep yang berbeda yang telah dikembangkan dalam
penggunaan surfaktan untuk EOR. Konsep pertama, larutan mengandung surfaktan
dengan konsentrasi rendah, dimana surfaktan dilarutkan dalam air atau minyak dan
dalam kesetimbangan dengan pengadukan. Larutan ini diinjeksikan ke dalam
reservoir yang memiliki volume pori yang besar (15%-60% atau lebih) untuk
mengurangi tegangan permukaan antara minyak ada air yang akhirnya akan
meningkatkan perolehan minyak.
Konsep kedua, digunakan untuk volume pori yang relatif kecil ( 3-15%).
Larutan surfaktan yang diinjeksikan adalah surfaktan dengan konsentrasi tinggi
dimana larutan ini akan menjadi penstabil disper surfaktan dari air dalam hidrokarbon
atau hidrokarbon dalam air.
3.4.1. Variabel-variabel yang Mempengaruhi Injeksi Surfaktan.
Variabel-variabel yang mempengaruhi injeksi surfaktan diantaranya adalah
adsorbsi, konsentrasi slug surfaktan, clay dan salinitas.
3.4.1.1. Adsorbsi Surfaktan
Persoalan yang dijumpai pada injeksi surfaktan adalah adsorpsi batuan
reservoir terhadap larutan surfaktan. Adsorbsi batuan reservoir pada slug
surfaktan terjadi akibat gaya tarik-menarik antara molekul-molekul surfaktan
dengan batuan reservoir dan besarnya gaya ini tergantung dari besarnya afinitas
batuan reservoir terhadap surfaktan. Jika adsorpsi yang terjadi kuat sekali, maka
surfaktan yang ada dalam slug surfaktan menjadi menipis, akibatnya kemampuan
untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air semakin menurun.
Mekanisme terjadinya adsorpsi adalah sebagai berikut, surfaktan yang
dilarutkan dalam air yang merupakan microemulsion diinjeksikan ke dalam
reservoir. Slug surfaktan akan mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air,
sekaligus akan bersinggungan dengan permukaan butiran batuan. Pada saat terjadi
persinggungan ini molekul-molekul surfaktan akan ditarik oleh molekul-molekul
batuan reservoir dan diendapkan pada permukaan batuan secara kontinyu sampai
mencapai titik jenuh. Akibatnya kualitas surfaktan menurun karena terjadi
adsorpsi sehingga mengakibatkan fraksinasi, yaitu pemisahan surfaktan dengan
berat ekivalen rendah didepan dibandingkan dengan berat ekivalen tinggi.
Adsorpsi surfaktan merupakan pertimbangan penting dalam injeksi surfaktan. Hal
ini merupakan penyebab tertahannya surfaktan dan pecahnya slug. Keadaan
tersebut dapat menunjukkan bahwa sulfonat dengan berat ekivalen yang tinggi
dapat diserap dengan baik, sedangkan sulfonat dengan berat ekivalen yang rendah
akan menunjukkan penyerapan yang sangat kecil. Sulfonat dengan berat ekivalen
yang tinggi berperan dalam menurunkan tegangan antar muka, dan apabila
kehilangan berat ekivalen tesebut maka akan menurunkan kemampuan slug untuk
mendesak minyak sisa.
Gambar 3.26.
Hubungan antara Berat Ekivalen dan Surfaktan yang teradsorpsi pada Calcium
Monmorillonit
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.29.
Pengaruh Konsentrasi NaCI terhadap tingkat Pemisahan slug Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Gambar 3.30.
Pengaruh NaCI terhadap Tegangan Permukaan Minyak-Air
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Kation
Suatu surfaktan dikatakan berjenis kation apabila moecity polarnya diisi
dengan ion positif, sehingga untuk mengimbangi pengisian ion tersebut
surfaktan mengandung anion inorganik. Surfaktan jenis ini sangat sedikit
digunakan dalam injeksi surfaktan karena akan mengalami proses adsorpsi oleh
permukaan anion pada celah clay.
1 Amine rantai panjang dan garam-garamnya
2 Diamine dan polyamine dan garam-garamnya
3 Garam Quartenary Amonium Polyoxyethenated Amine rantai panjang
4 Amine Oxides
Nonion
Surfaktan jenis ini tidak membentuk ikatan ion jika terlarut dalam cairan,
hal ini menunjukkan sifat-sifat surfaktan melalui elektronegatifitas yang
membedakan diantara unsur-unsur pokoknya. Nonion jauh lebih toleran terhadap
salinitas yang tinggi dibandingkan dengan anion, tetapi dari berbagai percobaan
yang telah dilakukan, surfaktan jenis nonion termasuk surfaktan yang jelek dalam
injeksi EOR.
1 Polyoxylthylenated Alkylphenols, Alkylphenol ethoxylates
2 Polyoxylthylenated alcohol rantai lurus, alcohol ethoxylates
3 Polyoxylthylenated mercaptans
4 Rantai panjang asam ester carboxylic
5 Alkanolamine kondesat, Alkanomides
6 Tertiary Acetylenic Glycol
Amphoteric
Surfaktan ini mengandung dua aspek atau lebih jika dibandingkan dengan
jenis surfaktan yang lain. Sebagai contoh, amphoterik dapat mengandung sebuah
grup anion dan sebuah nonpolar grup. Surfaktan jenis amphoterik sampai saat ini
belum digunakan dalam usaha peningkatan perolehan minyak.
Didalam satu jenis surfaktan, banyak terdapat variasi yang memungkinkan
untuk digunakan dalam injeksi surfaktan. Gambar 3.31 menunjukkan beberapa
variasi surfakatan dengan perbedaan berat molekul (C 1 2 untuk sodium dodecyl
sulfat dan C 1 6 untuk texas no. 1), identitas moecity nonpolar (sulfat dan
sulfonat), serta cabang pada ekor (ikatan langsung untuk sodium dodecyl dan dua
ekor untuk texas no. 1), yang kesemuanya termasuk dalam kelas surfaktan anion
yang sama. Disamping itu, variasi surfaktan yang lain ada pada perbedaan posisi
dan jumlah moecity polar (seperti pada monosulfonat dan disulfonat).
Surfaktan utama yang sering digunakan dalam injeksi surfaktan adalah
petroleum sulfonat. Petroleum sulfonat jenis anion dapat dihasilkan dari sulfonat
hasil pengolahan organik kimia murni (disebut juga syntetic sulfonat), yang
biasanya berupa molekul intermediate merefenery atau bahkan dari minyak
mentah itu sendiri. Reaksi dari proses sulfonasi yang terjadi (R - C = C - H
mewakili rumus molekul dari feedstock) adalah sebagai berikut:
R R C H SO3 R C C SO3 H .............................. (3-13)
sulfonasi
R = hydrocarbon group
Gambar 3.31.
Struktur Molekul Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Tabel diatas menunjukkan jenis dan sifat dari beberapa komersial sulfonat.
Jenis berat molekul mempunyai interval antara 350-450 kg mol, dimana nilai
yang lebih rendah mengidentifikasi kelarutan air yang lebih besar. Didalam
perhitungan surfaktan, pemakaian angka berat ekivalen memberikan hasil yang
lebih baik jika dibandingkan dengan pemakaian berat molekul. Khusus untuk
monosulfonat kedua angka tersebut adalah sama.
Sebuah surfaktan anion akan mengurangi menjadi sebuah kation dan
monomer apabila dilarutkan dalam zat cair. Pada waktu konsentrasi surfaktan
meningkat, moecities lypophilic surfaktan akan saling mengikat satu dengan yang
lainnya dan membentuk suatu agregat atau micelles yang masing-masing
mengandung beberapa monomer. Gambar 3.32. menunjukkan plot grafik antara
konsentrasi surfaktan monomer dengan konsentrasi total. Plot tersebut merupakan
sebuah kurva yang menggambarkan peningkatan monotonically dari awal dengan
unit slope dan kemudian mendatar pada saat mencapai konsentrasi micellar kritik
(critical micellar concentration, CMC). Setelah CMC, hampir semua
peningkatan konsentrasi surfaktan hanya berpengaruh peningkatan dalam
konsentrasi micellar.
Gambar 3.32
Skema Konsentrasi Kritik Micellar
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)
Jika surfaktan kontak dengaan fasa oleic (fasa yang mengandung lebih dari
sekedar minyak), surfaktan mempunyai kecenderungan untuk mengumpulkan
atau terakumulasi pada intervening moecity lypophilic dalam fasa oleic dan
hydrophilic dalam fasa cair. Surfaktan "lebih suka" kontak antara muka dengan
micelle, dan untuk menjenuhi permukaan kontak antara keduanya hanya
dibutuhkan konsentrasi yang kecil. Dua sifat alami surfaktan ini menjadi
penting karena akumulasi pada permukaan akan menyebabkan tegangan antar
muka antara dua fasa menjadi lebih rendah. Tegangan antar muka antara
surfaktan dengan fasa yang lain merupakan fungsi dari konsentrasi surfaktan
yang berlebihan pada permukaan, dimana terdapat perbedaan antara konsentrasi
pada antarmuka dengan konsentrasi bulk batuan. Permukaan bulk batuan dalam
banyak hal mempunyai cara kerja yang sama dengan yang terjadi pada
antarmuka uap dengan cairan di dekat titik kritik.
Kondisi surfaktan harus diatur untuk mengoptimalkan pengaruh ini, akan
tetapi hal ini dapat juga berpengaruh terhadap kelarutan surfaktan dalam bulk
oleic dan dalam fasa cair. Kelarutan ini menyangkut juga kelarutan air asin dan
minyak secara bersamaan, yang juga mempengaruhi tegangan permukaan.
Konsentrasi surfaktan sendiri sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur,
derajat kegaraman air asin dan hardness.
Gambar 3.33
Hubungan Berat Ekuivalen dengan Recovery Minyak yang Dihasilkan
(Gale, W.W. and Sandvik, E.I., “Tertiary Surfaktan Flooding: Petroleum
Sulfonate Composition-Efficacy Studies”, 1973)
Bila akan menggunakan surfaktan dengan berat ekuivalen yang dikehendaki,
maka tinggal mencampur dua atau beberapa jenis surfaktan tersebut.
Sebagai zat tambahan (additive) dalam slug surfaktan biasa digunakan
"Kosurfactantt", sebab zat ini mempunyai banyak fungsi dalam pendesakan ini,
antara lain mengatur viskositas yang cocok untuk mengontrol mobilitas. Beberapa
jenis alkohol yang digunakan sebagai cosurfactant dapat dilihat pada Tabel III-5.
Tabel III-5
Jenis Alkohol Sebagai Cosurfactant
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Cosurfactant
2-Propanol
1-Pentanol
p-pentanol
1-Hexanol
2-Hexanol
Tabel III-6
% Berat Pelarut untuk Sistem Larutan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Komponen Larutan, % berat
Pelarut Aquoeus Solution Oil-External Water External
o
Minyak( 36 API) 0,0 68 18,2
Air 86,2 18,2 68
Gambar 3.34
Mekanisme Injeksi Surfaktan
(Willhite, G. Paul & Green, Don W., “Enhanced Oil Recovery”, 1998)
3.4.4.1. Sistem Perlakuan Terhadap Air Injeksi
Fasilitas perlakuan terhadap air injeksi akan sangat bergantung pada
persediaan air untuk injeksi dan keperluan-keperluan lain. Dalam beberapa kasus,
kebutuhan perlakuan minimum terhadap filtrasi air dilakukan melalui
penyaringan tekanan bumi diatomaeous.
Jika air dipakai sebagai slug tercampur (miscible slug) atau formasi polimer,
proses penyaringan air dilakukan dengan penukaran ion water softener. Langkah
ini digunakan untuk menghilangkan bermacam-macam kation pengganggu
dengan ion-ion sodium dari regin di dalam water softener seperti diperlihatkan
pada Gambar 3.35.
Gambar 3.35
Diagram Sistem Perlakuan Air
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Gambar 3.36
Diagram Sistem Pencampuran Slug Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Gambar 3.37
Sistem Penginjeksian Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
3.4.4.4. Perencanaan Laboratorium
Beberapa desain laboratorium yang berhubungan dengan pengujian
surfaktan sebagai bahan injeksi kimia adalah:
1. Tegangan antar muka
Pengukuran tegangan antar muka dilakukan pada permukaan crude oil -
sulfonat yang larut dalam air. Dengan menggunakan peralatan penurunan
mikrodependen, harga tegangan permukaan terhadap crude oil terukur sebesar
kurang dari 2x10-3 dyne/cm.
2. Seleksi (penyaringan) mikroskopis.
Prosedur ini sesuai dengan pendesakan minyak oleh suraktan dalam jumlah
kecil. Metode ini merupakan metode kualitatif yang berguna untuk
mendeteksi penurunan tegangan permukaan antara minyak dan air. Hal ini
tergantung dari pengamatan mikroskopis dari droplet minyak yang melekat
pada dinding gelas sebagaimana terbentuk dalam pergerakan aliran larutan
surfaktan yang lambat. Droplet minyak yang kecil, kira-kira berdiameter 100
mikron, terendapkan dengan baik pada kaca mikroskopis dan ditutupi dengan
memakai penutup gelas.
3. Uji Pendesakan
Prosedur dan teknik konvensional digunakan dalam pengujian IM. Sandpack
disiapkan dengan air, kemudian diinjeksikan minyak mentah sampai dicapai
saturasi minyak residual. Setelah itu, zat kimia yang diuji diinjeksikan ke
dalamnya. Core dan pembungkusnya dipasang dengan posisi tegak. Minyak
diinjeksikan ke bawah dan cairan encer diinjeksikan diatasnya pada laju yang
sama sampai terjadi kemajuan sebesar kira-kira 1 ft/day.
Froning dan Triber (1976) dari Amoco menyusun prosedur penyaringan di
laboratorium sebagai berikut:
Penyaringan ini dilakukan dengan menggunakan vail test, yang dapat memberikan
ukuran kelakuan fasa, miscibility, dan tegangan antar muka antara minyak-
surfaktan. Variabel pengujian adalah komposisi dari air, Crude oil, kosurfaktan,
garam-garam tambahan, polimer dan lain-lain. Fluida micellar disiapkan dalam
tabung kecil, dengan perbandingan surfaktan yang beragam untuk memilih
kosurfaktan. Kadar garam dari sodium klorida dirubah-rubah. Kelakuan fasa dicatat
pada temperatur yang telah ditentukan. Crude oil secara hati-hati ditambahkan
dengan memperhatikan pengurangan pencampuran minyak dan micellar. Jika tetes
minyak yang besar tampak pada micellar, maka fluida micellar dinilai jelek. Jika
minyak dapat cepat tercampur dalam fluida tersebut, maka fluida micellar dinilai
bagus. Pengujian sederhana ini memberikan sebuah penyaringan secara kasar, yang
menahan sebagian besar air sebesar 90-95%.
Gambar 3.39.
Proses Injeksi Alkaline
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)
Gambar 3.40.
Tegangan antarmuka Vs pH pada Minyak California
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)
Gambar 3.41.
Tegangan antarmuka Vs Konsentrasi NaOH
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Gambar 3.42.
Injeksi Core dan Tegangan Antarmuka Vs Konsentrasi NaOH untuk Minyak dari
Amerika Selatan dengan Gravity 12.2° API
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Gambar 3.43
Rate Konsumsi Alkaline oleh Batuan Formasi Dari
Reservoir Lusiana Selatan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Gambar 3.44
Pengaruh Luas Permukaan dalam Injeksi Alkaline
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
1. Komposisi Minyak
Beberapa hasil pengamatan yang penting sehubungan dengan komposisi
minyak serta pengaruhnya terhadap mekanisme injeksi alkaline, dapat dilihat
pada Tabel III-9
2. Komposisi Air Formasi dan Air Injeksi
Kadar padatan yang terlarut yaitu berupa senyawa garam atau ion bebas,
baik dalam air formasi atau injeksi sama-sama mempengaruhi injeksi alkaline.
Reaksi antara NaOH dengan ion kalsium dan magnesium akan membentuk
sabun kalsium dan magnesium yang mana keduanya bukan termasuk zat aktif
permukaan, sehingga akan mengurangi slug NaOH dan tegangan permukaan
akan naik dengan keberadaan ion tersebut. Hasil percobaan laboratorium
menyatakan bahwa kadar kalsium yang diijinkan pada air injeksi adalah 70
ppm dan ion magnesium sampai 700 ppm, sedangkan kadar kalsium pada air
formasi adalah sampai 500 ppm.
Pada jumlah tertentu garam NaCI berguna untuk menunjang mekanisme
injeksi alkaline dan mengurangi konsumsi NaOH. Kegaraman dalam reservoir
diperlukan pada proses perubahan kebasahan, yaitu membuat batuan reservoir
cenderung menjadi oil-wet, sedangkan pada konsentrasi yang lebih besar
diperlukan untuk terjadinya emulsi air dalam minyak. Jennings mengatakan
bahwa keberadaan NaCI dalam air injeksi dibawah 20000 ppm, akan
menyebabkan tegangan permukaan tetap rendah dan mengurangi kebutuhan
NaOH.
3.5.4.2. Emulsifikasi
Pada pH, konsentrasi NaOH dan salinitas yang optimum serta konsentrasi
asam pada minyak di reservoir yang mencukupi akan menyebabkan terjadinya
emulsifikasi di formasi. Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa
dengan menginjeksikan emulsi minyak dalam air (water in oil emulsion) hasilnya
akan lebih baik dibanding injeksi dengan air. Peningkatan perolehan minyak yang
sama dapat terjadi jika emulsi tersebut dapat dibangkitkan di formasi.
Ada dua sistem pengaliran emulsi, yaitu emulsifikasi entrainment
(emulsifikasi dan penderetan) serta emulsifikasi entrapment (emulsifikasi dan
penjebakan).
Emulsifikasi entrainment yaitu bila emulsi yang terjadi akibat reaksi NaOH
dengan minyak di reservoir, kemudian emulsi tersebut masuk ke dalam air injeksi
dan mengalir bersamanya sebagai minyak-minyak yang halus. Alkaline
mempunyai sifat dapat mencegah minyak menempel pada permukaan pasir.
Kondisi tersebut diperlukan selama penderetan kontinyu terjadi untuk
mempertahankan tegangan antar muka yang rendah saat campuran bergerak
melewati reservoir.
Emulsifikasi entrapment yaitu bila emulsi tersebut selama proses
pengalirannya ada sebagian yang terperangkap kembali sehingga sedikit
menghambat bergeraknya air injeksi, dan mobility air injeksi menjadi berkurang.
Maka akan memperbaiki efisiensi penyapuan vertikal dan horisontal. Keuntungan
lain pada emulsifikasi ini adalah sifat pergerakan front-nya :
1. Bersamaan dengan terjadinya perubahan kebasahan dari water-wet
menjadi oil wet, di dekat front bagian belakang yang mengandung sedikit
emulsi akan terbentuk film (lamella).
2. Terbentuknya lamella akan menghambat aliran injeksi pada pori-pori,
mengakibatkan gradien tekanan yang besar di belakang front.
3. Pada saat lamella melalui kerongkongan pori, ia akan pecah, menjadikan
gradien saturasi yang tajam di daerah front.
Gambar 3.45.
Perilaku Reservoir Setelah Injeksi Alkaline
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
3.5.6. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Alkaline.
Tabel III-10
Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Alkaline
Kelebihan Kekurangan
Dapat menurunkan pengaruh Mekanisme pendesakan terlalu
tekanan kapiler dan sifat kebasahan kompleks.
batuan yang kuat. Rentan terhadap ion divalent dan
Proses injeksi sederhana. gypsum.
Bahan kimia mudah didapat dan Perolehan minyak kecil.
relative murah.
Dapat mengemulsikan minyak dan
dapat diterapkan pada minyak berat.
R = hydrocarbon group
Gambar 3.46
Simbol Struktur Kimia Monomer Surfaktan (Tad Pole)
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)
3.6.2.2. Polimer
Jenis-jenis polimer yang dapat digunakan dalam proses injeksi polimer
antara lain adalah xanthan gum, hydrolized polyacrylamide (HPAM), polimer
gabungan (co-polimer), antara monomer asam acrylic dengan acrylamide,
gabungan polimer antara acrylamide dengan 2-acrylamide 2-metil propana
sulfonate (AM/AMPS), hydroxyethylcellulose (CMHEC), polyacrylamide
(PAM), polyacrylic acid, glucan, dextran polyacrylic oxide (PEO), dan
polyvinyl alcohol. Dari semua jenis tersebut, jenis polimer yang banyak
digunakan dalam aplikasi lapangan adalah xanthan gum, hydrolized
polyacrylamide, dan co-polimer acrylic acid-acrylamide. Secara garis besar,
jenis polimer yang beredar di pasaran dapat digambarkan menjadi 2 jenis,
yaitu Polyacrylamide dan Polysacharide.
Polyacrylamide
Molekul polyacrylamide adalah rangkaian molekul yang sangat panjang
dari unit molekul acryalamide. Struktur kimia unit acrylamide dan
polimer polyacrylamide dapat dilihat pada Gambar 3.17 dan 3.20.
Berat molekul dari acrylamide antara 1-10 juta dan bersifat tahan
terhadap serangan bakteri. Polyacrylamide mudah terkena kerusakan
mekanik karena rantainya yang sangat panjang sehingga mudah putus,
pecah. Polyacrylamide lebih sensitive terhadap salinitas tetapi lebih tahan
terhadap serangan bakteri. Pada penambahannya, untuk menaikkan
viskositas, polyacrylaimde merubah permeabilitas batuan reservoir, dan
ini juga menurunkan mobilitas air injeksi. Jika permeabilitas batuan
reservoir rendah, maka polimer dengan konsentrasi rendah dapat
digunakan untuk memperoleh kestabilan mobilitas yang sama.
Polysacharide
Polysacahride terbentuk dari proses fermentasi pada bakteri (biopolimer).
Jenis polysacharide yang digunakan dalam proses injeksi adalah xanthan
gum, yang merupakan extracelluler yang terbentuk pada permukaan sel
mikroba. Xanthan gum dihasilkan dari aktivitas bakteri xanthomonas
campsentris pada media karbohidrat, dengan tambahan protein dan zat
anorganik dari nitrogen. Pemanasan dilakukan untuk mematikan bakteri
xanthomonas campsentris, dan setelah itu polimer diendapkan dari kaldu
dengan penambahan alkohol tertentu. Berat molekul ± 5 juta dan
memiliki kerentanan yang relative lebih besar terhadap bakteri jika
dibandingkan dengan polyacrylamide. Xanthan gum tidak sensitive
terhadap salinitas dan tahan terhadap kerusakan mekanik, sehingga lebih
mudah menanganinya dalam hubungan dengan peralatan di lapangan.
Kelemahan dari xanthan gum adalah menyebabkan adanya penyumbatan
formasi dan lemah terhadap serangan bakteri. Problem penyumbatan
formasi dapat diperbaiki dengan filtrasi atau proses penambahan dan
baktericides dapat untuk mencegah degradasi oleh bakteri. Temperature
yang cocok untuk xanthan gum adalah 160 oF.
Gambar 3.47
Skema Injeksi Surfaktan (Micellar) – Polimer
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)