Anda di halaman 1dari 95

BAB III

METODE INJEKSI KIMIA

3.1. Latar Belakang dan Batasan Injeksi Kimia.


Chemical Flooding (Injeksi Kimia) adalah salah satu jenis metode pengurasan
minyak tahap lanjut (EOR) dengan jalan menambahkan zat-zat kimia ke dalam air
injeksi untuk menaikkan perolehan minyak sehingga akan menaikkan efisiensi
penyapuan dan atau menurunkkan saturasi minyak sisa yang tertinggal di reservoir.
Injeksi kimia ini dilaksanakan melalui sumur injeksi pada zona aquifer (air).
Injeksi kimia memiliki prospek yang bagus, pada reservoir-reservoir yang telah
sukses dilakukan injeksi air dengan kandungan minyak yang masih bernilai
ekonomis. Akan tetapi pengembangannya masih lambat karena disebabkan oleh biaya
dan resiko yang tinggi serta teknologinya yang kompleks. Beberapa faktor yang
dirasakan penting dalam menentukan keberhasilan suatu injeksi kimia ialah :
 Kedalaman
 Tingkat heterogenitas reservoir
 Sifat-sifat petrofisik
 Kemiringan
 Mekanisme pendorong
 Cadangan minyak tersisa
 Saturasi minyak tersisa
 Viskositas minyak
Ada 3 tipe umum yang termasuk dalam injeksi kimia, yaitu Injeksi Polimer,
Injeksi Surfaktan, dan Injeksi Alkaline. Injeksi Polimer meliputi penambahan bahan
pengental (thickening agent) ke dalam air injeksi untuk meningkatkan viskositasnya.
Bahan pengental yang biasa dipakai adalah polimer. Metode ini memiliki keuntungan
dapat mengurangi volume total air yang diperlukan untuk mencapai saturasi minyak
sisa dan meningkatkan efisiensi penyapuan karena memperbaiki perbandingan
mobilitas minyak-air. Kadang sering dipakai berselang-seling dengan surfaktan.
Injeksi surfaktan betujuan untuk menurunkan tegangan antar muka dan mendesak
minyak yang tidak terdesak hanya dengan menggunakan pendorong air sehingga
menaikkan efisiensi pendesakan dalam skala pori. Injeksi alkaline merupakan
sebuah proses dimana pH air injeksi dikontrol pada harga 12-13 untuk memperbaiki
perolehan minyak, biasanya dilakukan dengan penambahan NaOH. Meskipun
demikian, dalam perkembangannya banyak proses injeksi yang menggunakan
gabungan dari ketiga zat kimia tersebut, diantaranya adalah polimer-surfaktan
(micellar polimer) serta alkaline-surfaktan-polimer (ASP), dengan maksud untuk
memperbaiki sifat dari masing-masing fluida injeksi.

3.2. Screening Criteria Injeksi Kimia.


Screening criteria (kriteria seleksi) merupakan faktor yang sangat penting
dalam keberhasilan pelaksanaan injeksi kimia. Screening criteria pada dasarnya
terdiri dari tinjauan formasi, karakteristik reservoir, dan komposisi fluida reservoir.
Tiap-tiap injeksi kimia memiliki screening criteria masing-masing dengan maksud
perolehan minyak tahap lanjut dapat meningkat.
3.2.1. Screening Criteria Injeksi Polimer.
Kriteria seleksi untuk injeksi polimer yang merupakan salah satu injeksi kimia
diterbitkan oleh Chang. Adapun kriteria seleksi tersebut adalah sebagai berikut :
 Temperatur reservoir.
Untuk polyacrylamide adalah lebih kecil dari 200 oF dan untuk xanthan gum
lebih kecil dari 160 oF. Temperatur tinggi akan menurunkan kestabilan polimer
terutama bila terdapat oksigen terlarut, logam dan organisme tertentu.
 Viskositas minyak.
Viskositas minyak yang sesuai adalah lebih kecil dari 100cp. Untuk mendesak
minyak yang kental diperlukan polimer dalam jumlah yang besar, akibatnya
berdampak pada kurangnya faktor keekonomisan.
 Perbandingan mobilitas air-minyak.
Perbandingan mobilitas air-minyak yang sesuai dengan injeksi polimer adalah
5-40, sebab jika harga perbandingan mobilitas air-minyak terlalu besar,
diperlukan penambahan polimer yang besar agar sistem pendesakannya efektif.
Sedangkan untuk harga mobilitas air-minyak mendekati 1, penambahan polimer
tidak membawa perbaikan bagi perolehan minyak tahap lanjut.
 Saturasi.
Besarnya saturasi minyak yang bergerak (% PV) adalah lebih besar 50. Hal ini
merupakan pertimbangan ekonomis.
 Jenis batuan.
Jenis batuan yang sesuai dengan injeksi polimer adalah batuan dengan jenis
batupasir (diutamakan) dengan yang lebih sedikit unsur mineral lempung atau
karbonatnya, seperti jenis orthoquartzites. Batugamping mengadsorbsi polimer
lebih banyak dibanding dengan batupasir, dan adanya rekahan atau gerowong
menyebabkan banyak polimer yang hilang (polimer loss).
 Kedalaman reservoir.
Kedalaman reservoir yang diharapkan untuk injeksi ini adalah reservoir dengan
kedalaman sedang. Injeksi polimer dengan reservoir dangkal dibatasi oleh
tekanan injeksi, sedang pada reservoir dalam dipengaruhi oleh temperatur dan
ke-garaman yang tinggi.
 Saturasi air awal.
Saturasi air awal yang diharapkan adalah harga saturasi yang mendekati harga
Swc, bank air (water bank) yang terbentuk di depan polimer akan kecil.
 Heterogenitas.
Heterogenitas batuan yang diharapkan untuk injeksi ini adalah heterogenitas
batuan yang sedang. Pada heterogenitas batuan yang sedang, injeksi air dapat
memperbaiki distribusi permeabilitasnya. Polimer dengan aquifer dan tudung
gas yang besar, rekahan, gerowong, sesar, “thief zone”, harus dihindari sebab
akan mengakibatkan polimer loss yang besar.
Tabel III-1
Kriteria Seleksi Untuk Injeksi Polimer
(Taber dan Martin, 1997)

Screening Parameter Units Value


0
Gravity API >15
Viscosity cP <150 (lebih baik <100)
Composition Not critical
Oil Saturation fraction 0.5
Type of Formation Sandstone lebih diutamakan
Net Thickness Feet Not critical
Average Permeability mD 10 ( paling rendah 3 )
Depth Feet <9000
0
Temperature F 200

3.2.2. Screening Criteria Injeksi Surfaktan.


Kriteria seleksi untuk injeksi surfaktan yang diharapkan dapat menghasilkan
perolehan optimum adalah sebagai berikut :
 Oil Gravity (oAPI) >20
 Viskositas minyak (cp) < 35
 Kadalaman (feet) < 9000
 Reservoir temperature (oF) < 200
 Porositas (Ф, fraksi) >0.2
 Permeabilitas rata-rata (mD) >10
 Saturasi minyak sisa > 35
 Salinitas air formasi (ppm) <20000
 Jenis batuan Sandstone (Jenis orthoquartzites lebih
diutamakan)
3.2.3. Screening Criteria Injeksi Alkaline.
Secara umum criteria pemilihan untuk injeksi alkaline adalah temperatur (±
200 oF), permeabilitas (>10 mD), viskositas minyak (< 35 cp), dan salinitas sama
dengan salinitas dari injeksi surfaktan dan injeksi polimer. Seperti juga injeksi
kimia lainnya, adanya gas cap dengan ukuran yang besar dan aquifer, harus
dihindarkan. Ada beberapa pertimbangan lainnya yang harus diperhatikan jika akan
melaksanakan injeksi alkaline, diantaranya mineralogy batuan reservoir, kandungan
CO2 minyak, dan crude oil’s acid number. Parameter ini diidentifikasi oleh Lorenz
dan Peru (1989) berdasarkan studi dari proyek lapangan injaksi alkaline yang
dilaksanakan sejak tahun 1960 dan dirangkum oleh French dan Burchfield, yaitu
sebagai berikut :
 Sandstone
Reservoir Sandstone akan lebih diharapkan untuk penerapan injeksi alkaline,
sebab pH alkaline yang tinggi akan bereaksi dengan limestone. Terutama yang
lebih bersih dari mineral clay/lempung seperti orthoquartzites dibandingkan
dengan jenis graywacke atau arkose.
 Karbondioksida
Kandungan CO2 dalam minyak saat ini merupakan parameter yang paling
dipertimbangkan dalam pemilihan injeksi alkaline. Reservoir dengan
kandungan CO2 yang tinggi, fraksi mol CO2 lebih besar dari 0,01 atau pH
kurang dari 6,5 bukan merupakan reservoir yang tepat untuk injeksi alkaline
 Gypsum
Reservoir yang memiliki kandungan gypsum lebih besar dari 0,1% tidak cocok
untuk penerapan injeksi alkaline. Gypsum akan bereaksi dan mengkonsumsi
alkaline agent lebih banyak.
 Kaolinite
Reservoir yang mengandung kaolinite dalam jumlah yang cukup besar, dapat
diterapkan injeksi alkaline asalkan kandungan pH alkalis-nya rendah (sekitar
8.2-10) sebab adanya kaolinite dengan kandungan pH yang tinggi akan menjadi
penghalang yang serius.
 Montmorillonite
Kandungan montmorillonite dari batuan reservoir akan mengurangi efektivitas
injeksi, sebab permukaannya yang luas dan pertukaran kapasitas kation yang
tinggi dapat mengkonsumsi lebih banyak alkaline yang diinjeksikan dengan
reaksi-reaksi pengendapannya. Reservoir dengan kandungan montmorillonite
lebih besar dari 1% dan kandungan ion-ion divalennya dalam air asinnya lebih
besar dari 0,4 wt% adalah reservoir yang tidak sesuai untuk penerapan injeksi
alkaline.
 Crude Oil
Hal yang penting dari crude oil adalah memiliki acid number untuk mencapai
IFT yang rendah dalam proses injeksinya. Pada saat system tidak memiliki
surfaktan sintesis, bagaimanapun juga meskipun dengan crude oil yang
memiliki acid number yang rendah, injeksi alkaline tetap bisa berhasil sebagai
hasil dari mekanisme lainnya daripada pengurangan IFT.
3.2.4. Screening Criteria Injeksi Surfaktan-Polimer (Micellar-Polimer)
Kriteria seleksi untuk micellar-polimer flooding merupakan penggabungan
dari injeksi polimer dan injeksi surfaktan, adapun kriteria seleksi tersebut adalah :
 Heterogenitas
Heterogenitas batuan yang diharapkan untuk injeksi ini adalah heterogenitas
batuan yang sedang. Pada heterogenitas batuan yang sedang, injeksi air dapat
memperbaiki distribusi permeabilitasnya. Pada micellar-polimer flooding
digunakan polimer sebagai fluida pengentalnya, polimer dengan aquifer dan
tudung gas yang besar, rekahan, gerowong, sesar, “thief zone”, harus dihindari
sebab akan mengakibatkan polimer loss yang besar. Begitu pun juga dengan
slug surfaktan yang diinjeksikannya sebab jika adanya rekahan dan sesar maka
distribusi saturasi minyaknya tidak merata sehingga efisiensi pendesakannya
tidak optimum.
 Temperatur reservoir
Temperatur reservoir yang cocok untuk injeksi ini adalah lebih kecil dari 200
o
F. Temperatur tinggi akan menurunkan kestabilan polimer terutama bila
terdapat oksigen terlarut, logam dan organisme tertentu.
 Viskositas minyak
Viskositas minyak yang sesuai adalah lebih kecil dari 35 cp. Untuk mendesak
minyak yang kental diperlukan polimer dalam jumlah yang besar sehingga
kurang ekonomis.
 Kandungan klorida
Kandungan klorida di dalam salinitas air formasi kurang dari 20000 ppm.
 Permeabilitas
Permeabilitas yang cocok untuk pelaksanaan micellar-polimer flooding ini
lebih besar dari 20 mD, sebab jika permeabilitasnya kecil akan terjadi degradasi
mekanik yang diakibatkan karena polimer retensi sebagai akibat dari
penjebakan dan penyerapan.
 Kedalaman
Klasifikasi kedalaman yang sesuai untuk micellar-polimer flooding kurang dari
9000 feet.
 Saturasi mobil oil
Reservoir yang dianjurkan untuk pelaksanaan micellar-polimer adalah reservoir
dengan harga saturasi di atas 35% PV.
3.2.5. Screening Criteria Injeksi Alkalin-Surfaktan-Polimer (ASP Flooding)
Kriteria untuk pelaksanaan injeksi ASP merupakan penggabungan antara
injeksi alkaline, injeksi surfaktan, dan injeksi polimer. Adapun kriterianya antara
lain:
 Reservoir batu pasir.
 Temperature reservoir kurang dari 200 °F.
 Kandungan Ca2+ dan Mg2+ rendah.
 Formasi relative homogen.
 Viskositas minyak < 35 cp dan API Gravity > 20 °API.
 Komposisi minyak ringan intermediate dengan adanya kandungan organic
acid untuk mencapai harga IFT yang rendah dengan penambahan alkaline.
 Saturasi minyak > 35% PV.
 Permeabilitas rata-rata >10 md.
 Kedalaman kurang dari 9000 ft.
Maka jika screening criteria dari injeksi kimia tersebut ditabulasikan akan tampak
sebagai berikut:
Tabel III-2
Screening Criteria Injeksi Kimia
(Taber, J.J., F.D. Martin, R.S. Seright, “EOR : Screening Criteria Revisited-
Part 1: Introducing to Screening Criteria and Enhanced Oil Recovery Field
Projects, 1997)

Screening Units Chemical Flooding


Parameters Polimer Surfaktan Alkaline MP&ASP
Oil Gravity ºAPI >15 >20 >20 >20
Oil Viscocity (μ) Cp <100 <35 <35 <35
Depth (D) Feet <9000 <9000 <9000 <9000
Ketebalan (h) Feet Not Not critical Not critical Not
critical Critical
Temperatur ºF <200 <200 <200 <200
reservoir
Porositas (Ф) Fraction ≥0.2 ≥0.2 ≥0.2 ≥0.2
Permebilitas (K) mD >10 >10 >10 >10
Wetabilitas Preff WW WW or OW Preff OW WW or
OW
Salinitas ppm <20.000 <20.000 <20.000 <20.000
Rock Type Sandstone Sandstone Sandstone Sandstone
3.3. Injeksi Polimer (Polimer Injection).

Injeksi polimer merupakan injeksi air yang disempurnakan, yaitu dengan


menambahkan bahan pengental (polimer) ke dalam air injeksi kemudian diinjeksikan
ke dalam reservoir dengan tujuan untuk memperbaiki sifat fluida pendorong sehingga
dapat meningkatkan perolehan minyak. Polimer dapat meningkatkan viskositas fluida
pendorong dan dapat memperbaiki perbandingan mobilitas antara air-minyak, hal ini
akan meningkatkan efisiensi penyapuan dari fluida pendorong.
Efektivitas injeksi polimer terhadap peningkatan efisiensi penyapuan
dipengaruhi oleh heterogenitas reservoir dan perbandingan mobilitas. Proses
pendesakan injeksi polimer adalah dengan menginjeksikan preflush untuk
mengkondisikan reservoir kemudian menambahkan oil bank selanjutnya
menginjeksikan larutan polimer untuk kontrol mobility dan fresh water buffer untuk
melindungi viscositas larutan polimer dari kontak langsung dengan air formasi
kemudian fluida pendorong (water), yang ditunjukkan pada Gambar 3.1

Gambar 3.1
Injeksi Polimer
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)
3.3.1. Heterogenitas Reservoir dan Perbandingan Mobilitas.
Reservoir minyak pada umumunya terdiri dari banyak lapisan dengan sifat
yang heterogen. Adanya variasi permeabilitas dan rekahan akan berpengaruh
terhadap efisiensi penyapuan vertikal dan penyapuan areal. Polimer, dapat
mengurangi kerugian akibat variasi permeabilitas dan rekahan sehingga dapat
memperbaiki efisiensi penyapuan.
Efisiensi penyapuan volumetrik merupakan ukuran pengaruh tiga dimensi dari
heterogenitas reservoir. Hasil tersebut merupakan hasil dari pola penyapuan vertikal
dan horizontal. Effisiensi penyapuan volumetrik didefinisikan sebagai volume pori
resevoir yang terkena kontak dengan fluida injeksi dibagi dengan volume pori total
(Townsend et al, 1977).
Bisa dikatakan bahwa effisiensi penyapuan vertikal merupakan fungsi dari
karakteristik reservoir itu sendiri, sementara effisiensi penyapuan horizontal
merupakan fungsi dari karakteristik reservoir dan lokasi sumur. Efisiensi penyapuan
juga dipengaruhi oleh perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dengan fluida
yang didesak. Injeksi polimer dapat memperbaiki perbandingan mobilitas antara air
dengan minyak, yaitu dengan menaikkan viskositas air sehingga perbandingan
mobilitas antara air-minyak dapat turun dan akhirnya akan dapat menaikkan
efisiensi penyapuan.
Meskipun tidak terdapat heterogenitas reservoir, effisiensi penyapuan dapat
menjadi rendah karena adanya perbandingan mobilitas yang tidak menguntungkan.
Mobilitas fluida dalam reservoir didefinisikan sebagai permeabilitas media terhadap
fluida dibagi dengan viscositas fluida. Cara umum yang digunakan untuk
menentukan perbandingan mobilitas adalah menggunakan permeabilitas efektif air
pada saturasi minyak sisa dan permeabilitas efektif minyak pada saturasi air
interstitial, yang dinyatakan :
Kw @ Sor
w
M .................................................................................................. (3-1)
Ko @ Swi
o
Polimer dapat memperbaiki perbandingan mobilitas, sehingga dapat
meningkatkan effisiensi penyapuan dan juga effisiensi pendesakan dalam reservoir.

3.3.2. Mekanisme Pendesakan.


Penurunan perbandingan mobilitas air-minyak telah menjadi tujuan dari
beberapa proses EOR yang lain seperti injeksi panas dan injeksi tercampur
(miscible flooding). Di sisi lain pemakaian polimer dapat mencapai perbandingan
mobilitas yang lebih rendah dengan menaikkan viskositas efektif air, sebagai
fluida pendorong. Walaupun naiknya viskositas efektif adalah petunjuk bahwa
larutan polimer mencapai perbandingan mobilitas yang rendah, ini bukanlah cara
yang penting. Beberapa mekanisme yang ada akan dibicarakan lebih lanjut.
3.3.2.1. Rheologi
Larutan polimer adalah fluida non-Newtonian untuk semua range
konsentrasi, yaitu kira-kira 50 – 2000 ppm. Mereka digolongkan sebagai fluida
non-Newtonian karena kelakuan alirannya yang sangat komplek sampai khusus
dengan parameter tunggal, viskositas. Apabila fluida Newtonian adalah sasaran
shearing force, merusak bentuk dan aliran, maka daya tahan dari aliran ini
didefenisikan sebagai perbandingan antara shearing force (shear stress) terhadap
laju alir (shear rate).Untuk fluida Newtonian, harga perbandingan ini konstan dan
disebut viskositas. Persamaannya sebagai berikut:


 ............................................................................................................. (3-2)

dimana:
 = viskositas, cp
 = shear stress, dyne/cm2
 = shear rate, detik -1
Fluida non-Newtonian tidak dapat dicirikan dengan viskositas karena
perbandingan shear stress dengan shear rate tidak konstan. Kelakuan aliran
fluida non-Newtonian tersebut bisa mengikuti salah satu dari beberapa model
aliran kompleks. Larutan polimer umumnya digolongkan sebagai fluida
pseudoplastik pada semua kondisi. Material pseudoplastik adalah satu yang
menunjukkan daya tahan yang rendah selama bertambahnya shearing rate. Secara
matematik, rumus tersebut dikenal sebagai model Power Law:
  K n ......................................................................................................... (3-3)
(n < 1 untuk fluida pseudoplastik)
dimana K dan n adalah dua parameter yang digunakan untuk
mendefenisikan kelakuan aliran fluida. Jika n = 1, maka penurunan persamaan
untuk fluida Newtonian adalah dengan K sebanding p. Jika perbandingan shear
stress terhadap shear rate dianggap sebagai viskositas nyata untuk fluida
pseudoplastik, pemeriksaan dari rumus diatas menunjukkan bahwa viskositas
nyata menurun selama peningkatan shear rate. Namun, fluida pseudoplastik
menunjukkan viskositas nyata yang besar pada saat mengalir dengan kecepatan
rendah dan viskositas nyata yang lebih kecil pada saat mengalir dengan kecepatan
tinggi.
Pada shear rate yang sangat tinggi (> ~105 sec-1) kurva aliran untuk larutan
polimer mendekati linier dan disebut viskositas pada shear tak terbatas (infinite
shear). Slope pada shear rate yang sangat kecil(< ~10-2sec-1 ) mendekati linier
dan disebut viskositas pada shear rate = nol (Skelland, 1967). Keuntungannya,
penyimpangan dari rumus ini terjadi pada shear rate yang lebih menguntungkan
pada semua kasus. Meskipun larutan polimer mempunyai kelakuan aliran yang
kompleks, viskositas nyata dari fluida ini lebih tinggi daripada viskositas air, pada
shear rate tinggi yang sama. Hubungan antara viskositas nyata dengan shear rate
(kecepatan aliran) ditunjukkan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2.
Viskositas Nyata Vs Shear rate (Kecepatan Aliran)
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

3.3.2.2. Solvent
Molekul polimer dapat dibayangkan sebagai sebuah kumpulan serat (fibrous
agregate). Dalam solvent yang baik, molekul kontak dengan solvent secara
maksimum. Hal ini memberikan kelenturan pada polimer, sehingga kelihatan
seperti gel. Dengan adanya penambahan molekul polimer, maka polimer-polimer
terikat secara maksimum, sehingga menaikkan viskositas nyata dari polimer
(Mungan et al., 1966). Dalam solvent yang buruk, polimer yang kontak dengan
solvent hanya sedikit. Dari mikrografik elektron dapat diketahui pengurangan
ikatan dan struktur polimer yang lebih kaku (rigid) (Herr dan Routson, 1976).
Air suling adalah solvent yang baik untuk polimer. Penambahan garam
elektrolit, akan menetralkan muatan molekul polimer. Dengan terurainya molekul
polimer, gaya yang ada akan membantu menurunnya molekul polimer (Mungan et
al., 1966). Jadi selama konsentrasi garam bertambah, molekul polimer akan
berkerut, menurunkan viskositas larutan, seperti pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3.
Viskositas Nyata Vs Konsentrasi Garam
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

Pseudoplastik alamiah dari penambahan larutan polimer masih merupakan


variabel lain dari pengaruh solvent. Pada shear rate rendah, polimer mempunyai
kesempatan yang lebih baik untuk berikatan dalam solvent, sehingga akan
meningkatkan viskositas nyata. Pada shear rate yang tinggi, kesempatan polimer
untuk berikatan menjadi berkurang, sehingga pengaruh yang merusak dari garam
lebih kecil. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4.
Viskositas Larutan Polimer Ionik Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
3.3.2.3. Berat Molekul
Apabila molekul polimer sangat padat, maka tidak ada bidang yang
berinteraksi, sehingga berat molekul akan sedikit mempengaruhi viskositas
larutan. Akan tetapi, serat alam dari polimer yang ada dapat memungkinkan
meluas dan meningkat, menjadi faktor yang penting (Mungan., 1966). Berat
molekul polimer yang besar menunjukkan viskositas nyata yang lebih besar
daripada berat molekulnya yang rendah pada kondisi yang sama. Pengujian
laboratorium terhadap sebagaian 500 ppm polimer acrylamide terhidrolisis
dengan berat molekul dari 3x106 sampai 10x106 menunjukkan bahwa penurunan
mobilitas, faktor resistensi dan permeabilitas meningkat dengan bertambahnya
berat molekul.
3.3.2.4. Hidrolisis
Perluasan hidrolisis mempengaruhi rheologi polimer dan kelakuannya di
dalam reservoir. Martin dan Sherwood (1975) mempelajari dengan memakai
polyacrylamide dan acrylamide terpolimer dalam tingkat range hidrolisis dari
0 – 35 %. Mereka menemukan bahwa viskositas nyata dari sebagian polimer
yang terhidrolisa lebih besar daripada viskositas nyata dari polyacrylamide yang
tidak terhidrolisa. Viskositasnya bertambah dengan tingkat hidrolisa walaupun
perbedaan ini begitu kecil dibandingkan pengaruh hidrolisa awal, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5.
Viskositas Air Destilasi Vs Hidrolisa
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

Selama penambahan garam, besarnya pengaruh hidrolisis berkurang, CaCl2


divalen mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada NaCI monovalen. Pada
kenyataannya, untuk konsentrasi CaCI yang lebih besar dari 0,1% berat polimer
terhidrolisa memperlihatkan viskositas nyata yang lebih besar daripada polimer
yang terhidrolisa. Kenyataan ini tidak pernah diamati dengan NaCI yang sama
pada konsentrasi sebesar 10% (Gambar 3.6 dan Gambar 3.7)

Gambar 3.6.
Viskositas Vs Konsentrasi NaCl
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.7.
Viskositas Vs Konsentrasi CaCl
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

Martin dan Sherwood (1975) mengamati hubungan polimer retention


dengan turunnya mobilitas polimer dalam media berpori. Mereka menemukan
bahwa polimer retention berkurang selama tingkat hidrolisa meningkat. Walapun
retention dari polimer terhidrolisa ini berkurang, mobilitas polimer terhidrolisa
lebih kecil daripada mobilitas polimer tak terhidrolisa.

3.3.2.5. Konsentrasi Polimer


Konsentrasi polimer yang bertambah akan meningkatkan viskositas
larutan, yang merupakan pengaruh massa selama molekul polimer banyak
terlarut. Bagaimana juga, kenaikan viskositas tidak sebanding dengan kenaikan
konsentrasi pada shear rate yang rendah. Selama konsentrasi polimer
bertambah, reaksi ikatan intermolekul akan semakin bertambah. Terjadinya
ikatan ini akan menaikkan shear stress dan merupakan kelakuan pseudoplastik.
Sebaliknya, pada konsentrasi polimer rendah (<50 ppm) kesempatan berikatan
akan berkurang, sehingga viskositas turun dan larutan mendekati kelakuan
aliran Newtonian (Mungan et al., 1966) Gambar 3.8.

Gambar 3.8.
Viskositas Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

Faktor mengontrol viskositas larutan polimer cukup banyak, sehingga


perbandingan efektivitas polimer secara langsung sulit menggunakan viskositas
yang terukur. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan membandingkan
intrinsic viscosity dari polimer. Intrinsic viscosity didefenisikan sebagai
viskositas larutan polimer dikurangi viskositas solvent dibagi hasil kali
viskositas solvent dengan konsentrasi polimer selama mendekati nol (Ford and
Kelldorf, 1975).
  s
  c lim 0 .............................................................................................. (3-4)
c s
dimana:
η = Intrinsic viscosity, cp
 = viskositas larutan polimer, cp

s = viskositas solvent, cp
c = konsentrasi polimer, ppm
Intrinsic viscosity juga penting untuk menentukan ukuran molekul
polimer. Pengaruh shear rate, konsentrasi, berat molekul dan solvent dapat
diamati dengan viskometer kapiler. Kelakuan polimer dalam media berpori
sangat kompleks dibandingkan aliran kapiler, terutama jika ukuran pori media
berpori sama besarnya dengan ukuran molekul polimer.

3.3.2.6. Penurunan Permeabilitas


Kelakuan polimer dalam media berpori akan mempunyai viskositas yang
lebih tinggi daripada viskositas polimer yang diukur dalam capillary flow.
Mobilitas polimer lebih rendah daripada perkiraan sebelumnya, seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9.
Viskositas Nyata Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

Pemeriksaan dari persamaan Dacry memberi kesan bahwa ini menurunkan


mobilitas yang tidak diharapkan. Hal yang diharapkan adalah menurunkan
permeabilitas relatif dari media berpori untuk polimer. Alasan yang
dikemukakan untuk menjelaskan penurunan permeabilitas ini dapat diambil dari
gabungan penurunan mobilitas. Penurunan mobilitas adalah hasil kali dari
kenaikan viskositas nyata dan penurunan permeabilitas yang sangat besar, sama
untuk konsentrasi polimer yang sangat kecil. Ukuran penurunan mobilitas
disebut sebagai faktor resistensi, dan secara matematis dapat ditulis sebagai
berikut:

kw
  w M wo
R W   ............................................................................(3-5)
P k p M p o
p

Dimana:
λ = mobilitas polimer yang terlarut dalam air, mD/cp
krw;krp = permeabilitas relatif air dan polimer, mD
μp = viskositas larutan polimer, cp
Mw-o ;Mp-o = perbandingan mobilitas air-minyak dan polimer-minyak

Plot antara faktor resistensi R sebagai fungsi perbandingan Vinj/VP


(volume kumulatif fluida injeksi per volume pori) dapat dilihat pada Gambar
3.10. Data tersebut diperoleh dengan mengalirkan 300 ppm polimer ke dalam
volume pori contoh core. Faktor resistensi naik dengan cepat dari 1 menjadi 8
dengan mengamati 20 volume pori pertama yang telah diinjeksikan. Pada injeksi
polimer selanjutnya, harga faktor resistensi tersisa hampir konstan. Polimer
dengan faktor resistensi tinggi dapat digunakan untuk memperbaiki profil plug
lapisan yang lebih permeabel didekat sumur injeksi dan untuk mengurangi
variasi permeabilitas. Polimer dalam bentuk gel dengan cross linker dapat
dipakai untuk memperbaiki reservoir pada zona permeabilitas tinggi yang
berada jauh dari sumur injeksi.
Besarnya harga R yang dapat diperoleh dengan konsentrasi rendah, secara
ekonomis memberikan keuntungan yang lebih besar kepada polimer.
Gambar 3.10.
Faktor Resistensi sebagai fungsi Volume Kumulatif Injeksi
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.3.2.7. Polimer Retention


Selama larutan polimer mengalir ke dalam batuan porous, sejumlah
molekul polimer tertahan dari larutannya karena adsorpsi dan terjebak
(trapping). Hal ini menjadi perhatian jika berpengaruh terhadap penurunan
viskositas. Larutan polimer dapat lebih banyak kehilangan efektivitasnya karena
proses retensi. Disisi lain, tertahannya molekul-molekul polimer akan
mengurangi permeabilitas air dan dapat membentuk plug channel reservoir
tempat polimer itu tertahan. Hal ini dapat diinginkan dalam pengaruh
heterogenitas reservoir dan untuk mengontrol profil injeksi. Dari pengamatan
dilapangan terhadap polimer retention berkisar antara 7 - 150 g/m3 batuan.
Harga yang cocok agar proyek dapat berjalan dengan baik harus lebih kecil atau
sama dengan 20 g/m3 batuan.
Retention dari polyacrylamide lebih tinggi daripada biopolimer. Hal ini
disebabkan oleh karena muatan negatif dari polyacrylamide menempel pada
molekul-molekulnya. Polyacrylamide menunjukkan shear thickening pada laju
alir yang tinggi. Penurunan permeabilitas yang disebabkan oleh retention dari
polimer polyacrylamide hampir tidak dapat diubah lagi karena tertahannya
molekul-molekul polimer menjadi sangat sulit untuk dipindahkan dengan
pendesakan.

3.3.2.8. Adsorpsi
Adsorpsi adalah suatu proses dimana terjadi kontak antara fluida baik
berupa gas maupun cairan, dengan padatan, dimana zat-zat dalam fluida tersebut
diserap oleh permukaan padatan, sehingga terjadi perubahan komposisi dalam
fluida yang tidak teradsorpsi. Proses adsorpsi biasanya ditandai dengan adanya
perpindahan massa dari cairan ke padatan (Sherwood, 1975).
Uji keseimbangan adsorpsi statik telah dilakukan dengan sejumlah polimer,
terutama polyacrylamide. Polimer teradsorpsi pada permukaan sebagian besar
mineral reservoir. Percobaan khusus digunakan untuk menentukan adsorpsi statik
yang memberikan agitasi kecil dari larutan polimer yang kontak dengan mineral
adsorpsi. Adsorpsi bertambah dengan naiknya konsentrasi polimer, paling sedikit
sampai 500 ppm polimer, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.11.

Gambar 3.11.
Adsorpsi Vs Konsentrasi Polimer
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Adsorpsi polyacrylamide lebih tinggi daripada biopolimer. Dari percobaan
diketahui bahwa untuk konsentrasi polimer antara 500 sampai 2500 ppm, adsorpsi
yang terjadi pada biopolimer adalah 0,2 - 0,4 mg/m2 permukaan batuan sedangkan
untuk polyacrylamide antara 0,5 - 2,0 mg/m2.
Adsorpsi polimer tergantung pada jenis polimer, komposisi batuan, salinitas,
kekerasan, temperatur dan konsentrasi polimer. Jenis adsorpsi yang terjadi pada
mineral yang berbeda dipakai dalam pengujian. Kalsium karbonat tampak
mempunyai afinitas yang lebih besar daripada silika pada larutan polimer.
Molekul polimer diadsorpsi pada permukaan batuan di lapisan pertama.
Muatan ion polimer mungkin salah satu faktor yang membatasi densitas adsorpsi.
Ukuran polimer juga membatasi densitas adsorpsi akhir, walaupun dari penelitian
menunjukkan molekul polimer paling sedikit menempati ruang pada saat
teradsorpsi daripada saat dalam larutan.
Sparlin (1975), menyatakan bahwa polimer melapisi permukaan batuan
dengan film hidrofilik. Selama air melewati polimer, film tersebut mengembang,
menurunkan permeabilitas efektif. Kehadiran minyak tidak menyebabkan
swelling. Jadi polimer dapat menurunkan mobilitas untuk sebagian besar zona
dengan saturasi minyak rendah, kemudian dapat meningkatkan efisiensi
penyapuan.

3.3.2.9. Volume Pori Yang Tidak Dapat Dimasuki


Alasan utama berkurangnya kinerja polimer di dalam media berpori adalah
adanya volume pori yang tidak dapat dimasuki. Media tersebut dapat merupakan
media kompak atau tidak, yang mempunyai pori yang sangat kecil. Pori tersebut
dapat dimasuki oleh air tetapi tidak dapat dimasuki oleh molekul polimer yang
lebih besar.
Adanya volume pori yang tidak dapat dimasuki telah dikemukan oleh
Dawson dan Lantz (1972). Jika air diinjeksikan ke dalam media berpori, maka
dibutuhkan waktu untuk melaluinya (tw) yang dapat dihitung dengan rumus:
L A w L
tw   ............................................................................................ (3-6)
Vw q
dimana:
L = panjang, cm
Vw = kecepatan air asin, cm/dt
w = porositas efektif air, fraksi
A = luas daerah, cm2
Q = laju volumetris, cc/dt
Konsentrasi front saat tiba di ujung media berpori sesuai waktu yang
dibutuhkan untuk injeksi sebenarnya adalah satu volume pori air asin. Apabila
pengujian diulang dengan mengguankan larutan polimer, pengaruh adsorpsi
dihilangkan dengan preflushing media berpori dengan polimer paling sedikit
sama dengan konsentrasi yang digunakan untuk mendapatkan konsentrasi front.
Waktu yang dibutuhkan untuk melewati media berpori lebih rendah daripada
yang dibutuhkan oleh air. Walapun laju injeksi sama, konsentrasi front untuk
polimer tercapai lebih cepat daripada konsentrasi front untuk air.
L A p L
tp   .............................................................................................. (3-7)
Vp q

dimana: (tp<tw)
p = porositas efektif polimer, fraksi

tp = waktu yang dibutuhkan polimer untuk melalui media berpori, detik


Oleh karena laju injeksi tetap dan geometri media berpori tidak berubah,
maka kecepatan larutan polimer lebih besar. Hal ini mengurangi kenyataan bahwa
porositas efektif larutan polimer lebih kecil daripada porositas efektif air.

3.3.2.10. Penjebakan (Entrapment)


Penyebab yang lain untuk menurunkan permeabilitas dengan larutan
polimer adalah penjebakan. Ini dapat digambarkan seperti variasi volume pori
yang tidak dapat dimasuki. Pori-pori yang tidak dapat dimasuki oleh polimer
dianggap sebagai rongga pori yang mempunyai lubang kecil di satu ujung dan
lubang besar diujung lain. Walaupun lubang permukaan media berpori bagian atas
besar sehingga polimer dapat masuk kedalamnya, tetapi polimer tersebut tidak
dapat keluar. Polimer tersebut terjebak. Kemungkinan dari mekanisme ini
diperbesar oleh sifat molekul polyacrylamide. Pada saat mengalir, molekul
memanjang, menyesuaikan diri dengan pola aliran dan dapat dengan mudah
masuk ke lubang pori yang relatif kecil. Setelah sampai pada lingkungan dengan
shear rate yang rendah (Sparlin, 1975), polimer menggulung, diameter efektif
bertambah dan mengurangi kemungkinan molekul bisa disiram keluar dari rongga
pori.
Mangan et al., (1966) menunjukkan pengaruh penjebakan polimer didalam
core batu pasir dan alundum. Szabo (1975) mempelajari hal yang sama dan
menyimpulkan bahwa adsorpsi adalah mekanisme yang dominan dalam
permeabilitas core, tetapi penjebakan lebih penting pada permabilitas batuan yang
rendah. Penjebakan harus dibedakan dari penyumbatan, karena polimer terjebak
masih mempunyai cukup kebebasan untuk mengalirkan minyak pada saat cairan
tidak mengalir. Penyumbatan fisik adalah kerusakan dari lintasan yang tidak dapat
diubah untuk semua aliran (White et a1.,1972).

3.3.2.11. Ukuran Polimer


Penentuan ukuran polimer dapat dilakukan dengan dua cara, secara
matematik dan percobaan. Terdapat kesesuaian antara kedua pendekatan tersebut.
Hubungan matematik memakai dua parameter : "r" , berarti jarak ujung ke ujung
dan "s" berarti radius putaran atau jarak dari elemen-elemen rantai ke pusat gaya
beratnya. Floory (1953) mengembangkan persamaan untuk polimer non ionik,
yaitu:

r 2  8(W )1 / 3 ............................................................................................. (3-8)


dan untuk polimer linier:

r 2  6 s 2 ................................................................................................. (3-9)
dimana:
r = jarak dari ujung ke ujung molekul polimer, mikron
W = berat molekul polimer
 = viskositas sebenarnya, cp
S = radius putaran molekul polimer, mikron
Lynch and Mac William (1969) memakai persamaan Flory untuk polimer
ionik dan menghitung sebuah harga "r" sebesar 0,28 mikron untuk berat molekul
polyacrylamide 3 juta dalam 3 % air asin. Pendekatan untuk percobaan
dimanfaatkan oleh Gogarty (1966) dengan menyaring beberapa larutan
polyacrylamide dengan filter milipore dengan ukuran lubang yang berbeda-beda.
Retention polimer yang ditemukan sedikit untuk filter dengan diameter lubang 1
mikron atau lebih. Gorgaty menyimpulkan bahwa ukuran efektif kelompok
polimer antara 0,45 - 0,8 mikron. Ukuran-ukuran tersebut kemungkinan lebih
besar daripada ukuran polimer untuk air yang diakibatkan oleh hidrasi.
Smith (1970) melakukan pengujian yang sama dan diperoleh data yang
sama. Pada kasus ini retention polimer menjadi berarti bila lubang filter 0,7
mikron atau kurang. Hal ini memberi kesan ukuran polimer sedikit lebih kecil
daripada yang dikemukan oleh Gorgaty.

3.3.2.12. Ukuran Pori


Penelitian untuk menentukan ukuran pori media reservoir menunjukkan
bahwa pori-pori yang lebih kecil mempunyai ukuran yang sama dengan molekul
polimer. Pengujian dengan mercury porosimeter oleh Thomas (1975) terhadap
batu pasir Barea menunjukkan sekitar 14% diameter pori menjadi lebih kecil dari
1 mikron, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.12.
Gray and Rex (1966) meneliti perpindahan clay pada batu pasir Barea.
Ukuran partikel clay maksimum yang ditemukan sebesar 0,3 mikron. Mika yang
diperlukan untuk menggantikannya adalah mempunyai lebar 0,3 mikron dan
panjang 1-5 mikron. Penelitian yang sama dilakukan oleh Rhudy (1966). Suspensi
yang lolos dari filter milipori adalah 1,2 mikron, yang dapat menurunkan
permeabilitas core batu pasir Berea. Penurunan permeabilitas tersebar terjadi
didekat permukaan injeksi yang menunjukkan penyumbatan progresif.
Data-data tersebut menggambarkan mekanisme volume pori yang tidak
dapat dimasuki dan penjebakan. Walaupun media berpori biasanya mempunyai
distribusi diameter pori yang sangat besar (>103), pada umumnya adalah
merupakan fraksi penting yang tidak jauh berbeda dengan ukuran molekul
polimer. Apabila media berpori mempunyai diameter yang sangat kecil dalam
range 1 mikron, efektivitas polimer sebagai penurunan permeabilitas berkurang
secara jelasnya, penelitian yang dilakukan oleh Jennings et al., (1971)
menggambarkan lebih jelas hubungan ini seperti ditunjukkan pada Gambar 3.13.

Gambar 3.12.
Volume Pori Vs Diameter Pori
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)
Gambar 3.13.
Faktor Resistensi Vs kw/Ф
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

3.3.2.13. Pengaruh Viskoelastik


Larutan polimer dicirikan sebagai fluida pseudoplastik yang
memperlihatkan penurunan viskositas dengan naiknya shear rate. Model ini
hampir menunjukkan kelakuan aliran polimer pada semua shear rate kecuali laju
shear yang sangat tinggi di dekat sumur injeksi. Pada laju shear yang sangat tinggi
ini, larutan polimer kehilangan pseudoplastik alamiahnya dan memperlihatkan
kenaikkan viskositas dengan bertambahnya shear rate. Fluida seperti ini
digolongkan sebagai fluida "dilatant".
Kenyataannya, larutan polimer tidak benar-benar merupakan fluida
dilatant. Ia hanya kelihatannya mempunyai sifat aliran dilatant pada shear rate
yang sangat tinggi dalam media berpori, karena sifat viskoelastiknya. Fluida
viskoelastik berkelakuan seperti cairan kental pada shear rate yang rendah dan
seperti padatan elastik pada shear rate yang tinggi (Maeker, 1974).
Untuk membandingkan kekentalan pada sifat-sifat elastik dapat
menggunakan model mekanik. Fluida kental (viscous) dianalogikan sebagai
penahan tekanan (shock absorber), dimana gaya penahan tekanan sebanding
dengan laju deformasi. Sedangkan padatan elastik dianalogikan sebagai per
(pegas) dimana gaya dalam pegas sebanding dengan deformasi.
Pada saat polimer mengalir dalam media berpori, sifat-sifat elastiknya
diperlihatkan sebagai daya tahan terhadap perubahan arah aliran. Perubahan
tersebut merupakan hasil dari perubahan diameter pori atau tortuosity (White
et.al.,1972). Perubahan-perubahan tersebut dapat terukur sebagai kenaikkan
resistensi atau daya tahan aliran didalam reservoir. Pengaruh-pengaruh tersebut
hanya terjadi didekat permukaan sumur injeksi pada laju injeksi yang tinggi.
Pengaruh elastik akan terjadi di dalam media dengan pori-pori kecil yang
mempunyai permeabilitas rendah.

3.3.2.14. Resistensi Residual


Proses adsorpsi polimer dan penjebakan merupakan proses yang dapat
berbalik, sehingga akan terdapat polimer yang tertinggal dalam reservoir setelah
injeksi polimer. Pengaruh keberadaan polimer tersebut masih ada pada saat
dilakukan injeksi air yang dilakukan setelah injeksi polimer. Pengaruh akhir ini
dapat dilihat pada Gambar 3.14.
Ukuran penurunan permeabilitas air setelah dialiri polimer disebut faktor
resistensi residual, Rr yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
(krw /  w ) sebelum injeksi po limer
RR  ......................................................................(3-10)
(krw /  w ) setelah injeksi po lim er

Laju injeksi air asin yang sangat besar setelah injeksi polimer, akan
mengurangi pengaruhnya terhadap permeabilitas sisa. Sedangkan gradien tekanan
dan kecepatan yang tinggi akan memperbesar volume polimer yang diinjeksikan.
Gambar 3.14.
Penurunan Permeabilitas Vs Volume Pori Fluida
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

3.3.2.15. Shear Degradation


Shear degradation merupakan faktor langsung yang berpengaruh terhadap
penurunan mobilitas polimer dalam media berpori, hal ini berkaitan dengan upaya
untuk menentukan kontrol terhadap mobilitas fluida pendesak.
Hal ini harus diperhatikan adalah pengaruh shear degragation terhadap
kerusakan rantai polimer. Jenis polimer berantai panjang, seperti halnya
polyacrylamide, mempunyai sifat yang rentan terhadap penurunan shear.
Terjadinya proses penurunan shear akan mengakibatkan kerusakan rantai polimer
menjadi lebih pendek. Selain itu, bentuk shear juga mempunyai pengaruh yang
besar terhadap proses degradasi yang terjadi. Maerker (1973) menyatakan bahwa
jika shear berubah menjadi kental, shear rate akan menjadi 100 kali lebih besar
jika dibandingkan dengan perubahan viskoelastik untuk menghasilkan penurunan
yang sama.
Perubahan kekentalan adalah jenis shear yang terjadi didalam larutan
polimer dan dapat ditentukan besarnya dengan menggunakan viskometer
rotasional dan viskosimeter tabung. Sedangkan perubahan viskoelastik adalah
jenis shear yang terjadi di dalam media berpori dan diukur dengan menggunakan
screen factor viscometer, seperti yang terdapat dalam Gambar 3.15.
Gambar 3.15.
Screen Viscometer
(Carcoana, Aurel.“Applied Enhance Oil Recovery”, 1992)

Dengan ditemukannya shear yang kental (viscous shear) yang dapat


menurunkan kualitas polimer lebih kecil daripada viskoelastik shear, maka screen
factor viscometer lebih sensitif terhadap penurunan polimer daripada viscometer
kapiler, seperti Gambar 3.16.
Penurunan mobilitas yang semakin mengecil dalam media berpori hampir
selalu diikuti penurunan faktor penyaringan dan penurunan viskositas kapiler,
karena aliran dalam media berpori adalah kombinasi antara mekanisme aliran
viscous dan aliran viskoelastik. Permeabilitas yang lebih kecil, lebih cocok untuk
mekanisme viskoelastik. Jadi hilangnya penurunan mobilitas untuk shear akan
lebih besar pada media berpori yang mempunyai permeabilitas rendah, sehingga
shear degradation akan menurunkan efektivitas injeksi polimer. Disamping itu
untuk larutan polimer yang mempunyai salinitas besar akan lebih mudah untuk
mengalami shear degradation. Degradasi polimer antara 300 - 600 ppm akan
menyebabkan menurunnya konsentrasi polimer.

Gambar 3.16.
Penurunan Viskositas Vs Shear rate
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

3.3.3. Karakteristik Polimer.


Karakteristik polimer diantaranya terdiri dari kimiawi polimer, rheologi dan
ukuran polimer.
A). Kimiawi Polimer
Ada dua tipe dasar polimer yang saat ini banyak digunakan untuk EOR yaitu
polysacharide dan poliacrylamide. Jenis polysacharide yang digunakan dalam EOR
adalah xanthan gum yang dihasilkan dari akuifitas bakteri xanthomonas campetris.
Molekul poliacrylamide terbentuk rantai panjang molekul-molekul monomer
acrylamide. Satuan dasar acrylamide memiliki rumus dasar sebagai berikut :

Gambar 3.17
Rumus Dasar Acrylamide
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)
Bila dikombinasi secara kimiawi untuk membentuk polimer, maka
strukturnya adalah :

Gambar 3.18
Rumus Dasar Polimer Secara Kimiawi
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)

Polyacrylamide relatip lebih tahan terhadap serangan bakteri, zat ini efektif
bila digunakan pada reservoir yang mempunyai salinitas 1%. Pada reservoir dengan
harga salinitas yang tinggi, polyacrylamide akan kehilangan kemampuan untuk
mengentalkan air. Polysaccaride atau "biopolimer", dibuat dari proses fermentasi
dengan menggunakan bakteri. Salah satu bakteri yang digunakan adalah
Xanthomonas campestris atau biasa disebut "Xanthan gum". Polysacharide lebih
tahan terhadap shear degradation dan salinitas dibandingkan dengan
polyacrylamide. Oleh karena itu banyak digunakan pada reservoir dengan salinitas
sedang. Polysacharide yang telah terlarut ini akan digunakan untuk mengontrol
mobilitas (mobility control agent), maka polimer tersebut harus dijaga dari serangan
bakteri, yaitu dengan memakai biocedes dan oxygen scavegers secara tepat.
Kebanyakan bakteri aerobic yang menyerang xanthan adalah dari jenis
pseudomand, dimana mikroba ini selain menurunkan kualitas polimer juga
memproduksi sel-sel dengan diameter 1 micron dan panjang 4 micron. Sel-sel ini
lebih besar dari polimer dan dapat menyumbat formasi (formation plugging) pada
sumur injeksi.
B). Rheologi
Larutan polimer yang terdiri atas molekul-molekul raksasa merupakan fluida
non Newtonion, sehingga kelakuan alirannya terlalu kompleks untuk dinyatakan
dalam satu parameter, yaitu viskositas. Rheologi larutan meliputi :
 Viscoelastisitas dan relaxation time
 Aliran laminer
 Mengalir dengan arus longitudinal

C). Ukuran Polimer


Ukuran polyimer dapat ditentukan secara matematis atau melakukan
percobaan. Flory (1953) merumuskan untuk polimer non-ionik :
1
r  2  8(W ) 2 ............................................................................................... (3-11)
Sedangkan untuk polimer linier :

r  2  6 s  2 ................................................................................................. (3-12)
Dimana:
W = berat molekul polimer
  s
 = viscositas minyak intrinsik = lim
c 0 c s

s = radius putaran molekul polimer


 = viscositas larutan polimer
s = viscositas pelarut

3.3.4. Jenis-jenis Polimer.


Jenis jenis polimer yang dapat digunakan dalam proses injeksi polimer
antara lain adalah xanthan gum, hydrolized polyacrilamide (HPAM), polimer
gabungan (copolimer) antara monomer asam akrilik (acrylid acid) dengan
acrylamide, gabungan polimer antara acrylamide dengan 2-acrylanaide 2-metil
propana sulfonat (AM/AMPS), hydroxyethylcellulose (HEC), carboxymethyll
hydroxy ethylcelluloxide (CIVII-IEC), polyacrylamide (PAM), polyacrylic acid,
glucan, dextrran polyacrylic oxide (PEO), dan polyvinyl alcohol. Dari semua jenis
tersebut, jenis polimer yang banyak digunakan dalam aplikasi lapangan adalah
xanthan gum, hydrolized polyacrylamide dan copolimer acrylic acid-acrylamide.
Secara garis besar, jenis polimer yang beredar dipasaran dapat digolongkan
menjadi dua jenis, yaitu polyacrylamide dan polysacharide.
3.3.4.1. Polysacharide
Polysacharide terbentuk dari proses fermentasi pada bakteri (biopolimer).
Jenis polysacharide yang digunakan dalam proses injeksi adalah Xanthan Gum,
yang merupakan kotoran extracellular yang terbentuk pada permukaan sel
mikroba. Xantan Gum dihasilkan dari aktivitas bakteri xanthomonas campestris
pada media karbohidrat, dengan tambahan protein dan zat anorganik dari
nitrogen.
Polimer diendapkan dari kaldu dengan penambahan alkohol tertentu. Berat
molekul ± 5 juta dan memiliki kerentanan yang relatif lebih besar terhadap
bakteri jika dibandingkan dengan polyacrylamide. Xanthan Gum tidak sensitf
terhadap salinitas dan tahan terhadap kerusakan mekanik, sehingga lebih mudah
menanganinya dalam hubungannya peralatan dilapangan.
Xanthan Gum dapat menyebabkan adanya penyumbatan formasi dan
lemah terhadap serangan bakteri. Problem penyumbatan formasi dapat
diperbaiki dengan filtrasi atau proses penambahan dan bactericides dapat untuk
mencegah degradasi oleh bakteri. Temperatur yang cocok untuk Xanthan Gum
adalah 160 0F. Struktur kimia dari polysacharide dapat dilihat pada Gambar
3.19.
Gambar 3.19.
Struktur Kimia Polysacharide
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)

3.3.4.2. Polyacrylamide
Molekul polyacrylamide adalah rangkaian molekul yang sangat panjang
dari unit molekul acrylamide. Berat molekul dari polyacrylamide antara 1
sampai 10 juta dan bersifat tahan terhadap serangan bakteri. Polyacrylamide
mudah terkena kerusakan mekanik karena rantainya yang sangat panjang
sehingga mudah putus, pecah. Polyacrylamide lebih sensitif terhadap salinitas
tetapi lebih tahan terhadap serangan bakteri.
Pada penambahan untuk menaikkan viskositas, polyacrylamide merubah
permeabilitas batuan reservoir, dan ini juga menurunkan mobilitas air injeksi.
Jika permeabilitas batuan reservoir rendah, maka polimer dengan konsentrasi
rendah dapat digunakan untuk memperoleh kestabilan mobilitas yang sama.
Struktur kimia dari polysacharide dapat dilihat pada Gambar 3.20.
Gambar 3.20.
Struktur Kimia Polyacrilamide
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)

3.3.5. Proses Injeksi Polimer.


Seperti halnya pada metode lainnya dalam proyek peningkatan perolehan
minyak, maka saat fluida diinjeksikan masuk ke dalam sumur dan kontak pertama
terjadi maka mekanisme mulai bekerja. Dengan adanya penambahan sejumlah
polimer ke dalam air, akan meningkatkan viskositas air sebagai fluida pendesak,
sehingga mobilitas air sendiri menjadi lebih kecil dari semula dengan demikian
mekanisme pendesakan menjadi lebih efektif.
Polimer ini berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan invasi,
sehingga Sor yang terakumulasi dalam media pori yang lebih kecil akan dapat lebih
tersapu dan terdesak. Dalam usaha proyek polimer flooding ini membutuhkan
analisa dan kriteria yang tepat terhadap suatu reservoir, oleh karena itu studi
pendahuluan merupakan faktor yang penting.
Pelaksanaan operasi injeksi polimer di lapangan pada garis besarnya dibagi
menjadi dua yaitu : sistem pencampuran dan sistem injeksi polimer.
Gambar 3.21
Mekanisme Injeksi Polimer
(Carcoana, Aurel.“Applied Enhance Oil Recovery”, 1992)

3.3.5.1. Sistem Pencampuran Polimer


Proses pencampuran polimer pada umumnya dilakukan di dalam fasilitas
pencampuran seperti ditunjukkan pada Gambar 3.22. Bagian utama dari
peralatan ini adalah pencampuran (mixer) polimer kering, yang mengukur butiran
dan serbuk polimer di dalam pengatur aliran air untuk memberikan dispersi yang
seragam. Pencampuran ini menyebabkan polimer kontak dengan aliran air yang
berputar di dalam funnel-shaped. Laju polimer di atur dengan sebuah speed feed
anger. Laju air juga perlu diatur untuk memberikan kebutuhan pencampuran
didalam funnel. Air yang tersisa setelah dicapai konsentrasi polimer yang
diinginkan kemudian dimasukkan ke dalam mixer sebagai aliran by-pass yang
bercampur dengan dispersi polimer dibagian bawah alat pencampur (mixer).
Perlakuan terhadap polimer kering yang disimpan dalam feed hopper pada
umumnya dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut. Pada skala operasi
kecil, karung-karung yang berisi polimer seberat 50 pound dimasukkan ke dalam
feed hopper atau kedalam storage bin dan dialirkan ke feed hopper secara
pneumatik (pompa angin).
Gambar 3.22.
Diagram Peralatan Pencampur Polimer Kering
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

Laju polimer yang mempunyai konsentrasi tinggi adalah sangat lambat, oleh
karena itu diperlukan tangki pencampur yang relatif besar. Tangki ini biasanya
diisi dengan nitrogen untuk mengeluarkan oksigen yang berasal dari udara.
Tangki tersebut juga merupakan tempat untuk memasukkan oxygen scavenger
atau biocide apabila diperlukan.
Polimer yang telah tercampur kemudian diinjeksi secara langsung dengan
menggunakan pompa piston jenis positive displacement. Apabila dikhawatirkan
akan terjadi penyumbatan permukaan (face plugging), maka wellhead cartridge
filter dapat digunakan untuk memastikan bahwa polimer yang telah diinjeksikan
tidak terjadi penggumpalan gel dari polimer dengan konsentrasi tinggi.
Persiapan larutan polimer dari polimer emulsi atau persediaan tidak begitu
kompleks. Hanya dibutuhkan pengukuran air dan penambahan zat-zat kimia.
Cairan polimer seringkali disempurnakan dengan mixer statis atau mixer inline
tanpa memakai tangki pencampur yang besar. Polimer konsentrasi yang tinggi
disimpan didalam sebuah tangki dengan menggunakan pompa untuk mengontrol
kecepatan polimer yang masuk ke dalam mixer.

3.3.5.2. Sistem Injeksi Polimer


Injeksi fluida ke dalam reservoir melalui beberapa sumur umumnya
dilakukan dengan memakai sistem manifold. Gambar 3.23. menunjukkan suatu
sistem injeksi polimer yang sederhana. Dalam menginjeksikan fluida ke dalam
reservoir dapat digunakan pompa positive displacement sehingga laju aliran
volumetris total dapat dikontrol untuk melihat program injeksi secara
keseluruhan. Tanpa alat pengontrol aliran pada masing-masing sumur, aliran
relatif dapat ditentukan dengan flow resistance (daya tahan aliran) dalam masing-
masing sumur injeksi. Untuk mengimbangi injeksi yang tidak terkontrol,
dibutuhkan beberapa jenis kontrol aliran pada masing-masing sumur. Dalam
beberapa kasus, jika fluida yang diinjeksikan adalah air atau slug
tercampur(miscible slug), throttling valve sederhana dapat untuk mengatur aliran
fluida. Jika sejumlah sumur menerirna fluida dari suatu pompa dalam jumlah
besar, alat pengontrol tersebut menjadi stabil karena seluruh sistem saling
berhubungan. Perubahan sedikit saja dari alat trhottling (katup penyumbat) pada
satu sumur menyebabkan perubahan aliran di semua sumur yang lain karena laju
alir total tetap konstan. Namun sistem ini tetap bekerja jika cukup memonitoring
terhadap laju injeksi pada masing-masing sumur.
Injeksi polimer polyacrilamide memerlukan larutan khusus dalam masalah
pengontrolan laju injeksi. Polimer-polimer tersebut rentan terhadap penurunan
shear pada melewati throttling valve. Cara umum yang digunakan untuk
mengontrol laju injeksi adalah dengan menempatkan tubing yang mempunyai
diameter yang relatif kecil. Polimer lebih sensitif terhadap viscoelastic shear
daripada viscous shear didalam pipa orifice atau perlatan yang serupa, oleh
karena itu tubing-tubing tersebut mengontrol aliran tanpa menurunkan kualitas
polimer. Diameter tubing dihitung berdasarkan shear rate untuk laju aliran yang
diinginkan, sedangkan panjang tubing dihitung berdasarkan tekanan yang harus
dihilangkan sebelum memasukkan wellhead.

Gambar 3.23.
Diagram Sistem Manifold untuk Distribusi Fluida Injeksi
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

3.3.6. Performance Reservoir Setelah Injeksi Polimer.


Bila semua karakteristik reservoir telah cocok untuk injeksi polimer, diharapkan
performance reservoir setelah injeksi polimer mempunyai hasil yang baik. Dari data-
data dilapangan yang telah berhasil dilakukan injeksi kimia dapat menggambarkan
performance reservoir setelah injeksi kimia. Perolehan minyak tambahan yang
diharapkan dari injeksi polimer adalah kira-kira sebesar 5% dari residual oil
reserves. Sedangkan untuk sumur-sumur produksi reservoir minyak dengan solution
gas drive, perolehan minyak bertambah kira-kira 25 %. Dan untuk sumur-sumur
produksi dengan water drive, gravity drainage perolehan minyak dapt dihasilkan
sekitar 15 %.
Laju produksi minyak bertambah dari awal injeksi polimer dan WOR turun
drastis. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan injeksi polimer selama ini dapat
meningkatkan sekitar 66% dari OOIP. Karakteristik reservoir setelah injeksi polimer
dapat dilihat pada Gambar 3.24.

Gambar 3.24.
Karakteristik Reservoir Setelah Injeksi Polimer
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
3.3.7. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Polimer.
Tabel III-3
Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Polimer
Kelebihan Kekurangan

 Dapat mengurangi variasi  Terjadi polimer retention.


permeabilitas yang tinggi atau pada  Kedalaman reservoir terbatas.
reservoir yang memiliki  Rentan terhadap sesar dan
heterogenitas yang cukup tinggi. rekahan.
 Dapat diterapkan pada reservoir  Rentan terhadap degradasi atau
yang relatif lebih berat dan bakteri untuk polimer jenis
viskositas yang lebih tinggi. tertentu.
 Bahan kimia relatif murah dan  Mobilitas minyak-air terbatas.
mudah didapat.  Perolehan minyak kecil.
 Mekanisme pendesakan sederhana .
 Dapat mengurangi volume total air.

3.3. Injeksi Surfaktan (Surfactant Flooding).


Injeksi surfaktan digunakan untuk menurunkan tegangan antarmuka minyak-
fluida injeksi supaya perolehan minyak meningkat. Jadi effisiensi injeksi meningkat
sesuai dengan penurunan tegangan antarmuka (L.C Uren and E.H Fahmy).
Ojeda et al (1954) mengidentifikasikan parameter-parameter penting yang
menentukan kinerja injeksi surfaktan, yaitu :
 Geometri pori
 Tegangan antarmuka
 Kebasahan atau sudut kontak
 ΔP atau ΔP/L
 Karakteristik perpindahan kromatografis surfaktan pada sistem tertentu
Pada tahun 1973 Gale dan Sandvik menyebutkan bahwa ada empat kriteria
pokok yang harus dipenuhi surfaktan untuk meningkatkan perolehan yaitu:
1. Tegangan permukaan antara minyak-air rendah
2. Adsorpsi rendah
3. Kompatible dengan fluida reservoir
4. Biayanya murah
Grogarty dan Olson pada tahun 1962 menjelaskan penggunaan mikroemulsi
dalam proses perolehan jenis miscible dan Maraflood. Mikroemulsi mengandung
surfaktan, hidrokarbon dan air. Kosurfaktan atau elektrolit dapat juga ditambahkan.

Proses injeksi surfaktan adalah dengan menginjeksi preflush untuk


mengkondisikan reservoir kemudian menambahkan oil bank dan menginjeksikan
larutan surfaktan dan larutan polimer untuk kontrol mobility dan fresh water buffer
untuk melindungi viskositas larutan polimer dari kontak langsung dengan air formasi
kemudian fluida pendorong (water), sebagai ilustrasi pada injeksi surfaktan
ditunjukkan pada Gambar 3.25.

Gambar 3.25.
Injeksi Surfaktan
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)
Injeksi surfaktan ini ditujukan untuk memproduksikan residual oil yang
ditinggalkan oleh water drive, dimana minyak yang terjebak oleh tekanan kapiler,
sehingga tidak dapat bergerak dapat dikeluarkan dengan menginjeksikan larutan
surfaktan. Percampuran surfaktan dengan minyak membentuk emulsi yang akan
mengurangi tekanan kapiler.
Setelah minyak dapat bergerak, maka diharapkan tidak ada lagi minyak yang
tertinggal. Pada surfaktan flooding kita tidak perlu menginjeksikan surfaktan
seterusnya, melainkan diikuti dengan fluida pendesak lainnya, yaitu air yang
dicampur dengan polimer untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan akhirnya
diinjeksikan air.
Untuk memperbaiki kondisi reservoir yang tidak diharapkan, seperti konsentrasi
ion bervalensi dua, salinitas air formasi yang sangat tinggi, serta absorbsi batuan
reservoir terhadap larutan dan kondisi-kondisi lain yang mungkin dapat menghambat
proses surfaktan flooding, maka perlu ditambahkan bahan-bahan kimia yang lain
seperti kosurfaktan (umumnya alkohol) dan larutan NaCl. Disamping kedua additive
diatas, yang perlu diperhatikan dalam operasi surfaktan flooding adalah kualitas dan
kuantitas dari zat tersebut.
Pada prinsipnya ada dua konsep yang berbeda yang telah dikembangkan dalam
penggunaan surfaktan untuk EOR. Konsep pertama, larutan mengandung surfaktan
dengan konsentrasi rendah, dimana surfaktan dilarutkan dalam air atau minyak dan
dalam kesetimbangan dengan pengadukan. Larutan ini diinjeksikan ke dalam
reservoir yang memiliki volume pori yang besar (15%-60% atau lebih) untuk
mengurangi tegangan permukaan antara minyak ada air yang akhirnya akan
meningkatkan perolehan minyak.
Konsep kedua, digunakan untuk volume pori yang relatif kecil ( 3-15%).
Larutan surfaktan yang diinjeksikan adalah surfaktan dengan konsentrasi tinggi
dimana larutan ini akan menjadi penstabil disper surfaktan dari air dalam hidrokarbon
atau hidrokarbon dalam air.
3.4.1. Variabel-variabel yang Mempengaruhi Injeksi Surfaktan.
Variabel-variabel yang mempengaruhi injeksi surfaktan diantaranya adalah
adsorbsi, konsentrasi slug surfaktan, clay dan salinitas.
3.4.1.1. Adsorbsi Surfaktan
Persoalan yang dijumpai pada injeksi surfaktan adalah adsorpsi batuan
reservoir terhadap larutan surfaktan. Adsorbsi batuan reservoir pada slug
surfaktan terjadi akibat gaya tarik-menarik antara molekul-molekul surfaktan
dengan batuan reservoir dan besarnya gaya ini tergantung dari besarnya afinitas
batuan reservoir terhadap surfaktan. Jika adsorpsi yang terjadi kuat sekali, maka
surfaktan yang ada dalam slug surfaktan menjadi menipis, akibatnya kemampuan
untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air semakin menurun.
Mekanisme terjadinya adsorpsi adalah sebagai berikut, surfaktan yang
dilarutkan dalam air yang merupakan microemulsion diinjeksikan ke dalam
reservoir. Slug surfaktan akan mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air,
sekaligus akan bersinggungan dengan permukaan butiran batuan. Pada saat terjadi
persinggungan ini molekul-molekul surfaktan akan ditarik oleh molekul-molekul
batuan reservoir dan diendapkan pada permukaan batuan secara kontinyu sampai
mencapai titik jenuh. Akibatnya kualitas surfaktan menurun karena terjadi
adsorpsi sehingga mengakibatkan fraksinasi, yaitu pemisahan surfaktan dengan
berat ekivalen rendah didepan dibandingkan dengan berat ekivalen tinggi.
Adsorpsi surfaktan merupakan pertimbangan penting dalam injeksi surfaktan. Hal
ini merupakan penyebab tertahannya surfaktan dan pecahnya slug. Keadaan
tersebut dapat menunjukkan bahwa sulfonat dengan berat ekivalen yang tinggi
dapat diserap dengan baik, sedangkan sulfonat dengan berat ekivalen yang rendah
akan menunjukkan penyerapan yang sangat kecil. Sulfonat dengan berat ekivalen
yang tinggi berperan dalam menurunkan tegangan antar muka, dan apabila
kehilangan berat ekivalen tesebut maka akan menurunkan kemampuan slug untuk
mendesak minyak sisa.
Gambar 3.26.
Hubungan antara Berat Ekivalen dan Surfaktan yang teradsorpsi pada Calcium
Monmorillonit
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

Holm (1972) menyarankan cara yang dapat menurunkan adsorpsi dalam


micellar adalah dengan melakukan preflush batuan reservoir dengan larutan
garam-garam anorganik. Larutan Natrium silikat dengan pH yang tinggi (lebih
dari 10) sangat efektif dalam penurunan adsorpsi surfaktan dan polimer yang
diinjeksi. Adsorpsi Sulfonat tergantung pada laju alir yang melalui batuan.
Bahan kimia seperti Natrium Karbonat yang digunakan sebagai preflush
ternyata efektif dalam penurunan adsorpsi sulfonat (Bae et al., 1976).

3.4.1.2. Konsentrasi Slug Surfaktan


Konsentrasi slug surfaktan mempunyai pengaruh besar terhadap
terjadinya adsorpsi batuan reservoir pada surfaktan yang digunakan dalam
injeksi surfaktan. Apabila konsentrasi surfaktan semakin tinggi maka akan
semakin mudah teradsorpsi hingga mencapai titik jenuh dimana batuan reservoir
tidak dapat lagi mengadsorpsi surfaktan Gambar 3.27 menunjukkan pengaruh
konsentrasi surfaktan terhadap adsorpsi.
Gambar 3.27.
Pengaruh Konsentrasi Surfaktan terhadap Adsorpsi
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

Gambar 3.27 tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi


surfaktan, maka adsorpsi yang terjadi akan semakin besar. Penurunan tegangan
permukaan minyak-air akan terus berlangsung karena batuan reservoir akan
mencapai titik jenuh dalam mengadsorpsi surfaktan, terlihat bahwa semakin
tinggi konsentrasi surfaktan, maka efek penurunan terhadap tegangan
permukaan akan semakin baik. Penggunaan surfaktan dengan konsentrasi yang
lebih tinggi selain mengakibatkan tegangan permukaan minyak-air turun dengan
cepat, juga dapat segera mendapatkan minyak jika dibandingkan dengan
surfaktan konsentrasi rendah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.28 yaitu
surfaktan dengan konsentrasi 17% akan memperoleh minyak lebih awal jika
dibandingkan dengan surfaktan yang konsentrasinya 7,5%.
Gambar 3.28.
Hubungan antara Injeksi Kumulatif Surfaktan
dengan Minyak yang Diperoleh
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.4.1.3. Clay atau Adanya Mineral Lempung


Terdapatnya clay dalam reservoir harus diperhitungkan karena clay dapat
menurunkan recovery minyak, disebabkan oleh sifat clay yang suka air (Lyophile)
menyebabkan adsorbsi yang terjadi besar sekali. Untuk reservoir dengan salinitas
rendah, peranan clay ini sangat dominan.

3.4.1.4. Salinitas Formasi


Salinitas air formasi berpengaruh terhadap penurunan tegangan permukaan
minyak-air oleh surfaktan. Untuk konsentrasi garam-garam tertentu, NaCl akan
menyebabkan penurunan tegangan permukaan minyak-air tidak efektif lagi. Hal
ini disebabkan karena ikatan kimia yang membentuk NaCl adalah ikatan ion yang
sangat mudah terurai menjadi ion Na+ dan ion Cl-, begitu juga halnya dengan
molekul-molekul surfaktan. Didalam air, ia akan mudah terurai menjadi ion
RSO3- dan H+. Konsekuensinya bila pada operasi injeksi surfaktan terdapat garam
NaCl, maka akan membentuk HCl dan RSO3Na, dimana HCl dan RSO3Na
bukan merupakan zat aktif permukaan dan tidak dapat menurunkan tegangan
permukaan minyak-air.
Selain mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air, garam NaCl juga
mengakibatkan fraksinasi surfaktan yang lebih besar, sampai batuan reservoir
tersebut mencapai titik jenuh, seperti yang ditunjukan pada Gambar 3.29.

Gambar 3.29.
Pengaruh Konsentrasi NaCI terhadap tingkat Pemisahan slug Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Gambar 3.30.
Pengaruh NaCI terhadap Tegangan Permukaan Minyak-Air
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.4.2. Bahan-Bahan dalam Injeksi Surfaktan.


Penentuan kuantitas dan kualitas surfaktan yang digunakan untuk injeksi perlu
diketahui agar residu oil yang tertinggal bisa didesak dan diproduksikan dengan
cara menurunkan tegangan permukaan minyak-air. Untuk memperbaiki kondisi
reservoir yang tidak diharapkan, yang dapat menghambat operasi injeksi surfaktan,
maka perlu ditambahkan bahan-bahan kimia lain seperti kosurfaktan dan larutan
NaCl. Setelah kuantitas dan kualitas surfaktan serta additive ditentukan, maka
dilakukan pencampuran larutan. Larutan ini dapat berbentuk larutan biasa atau
dalam bentuk microemulsion.
3.4.2.1. Klasifikasi Surfaktan
 Anion
Molekul surfaktan anion tidak diisi dengan sebuah logam norganik, karena
berikatan dengan monomer. Didalam larutan air, molekul tersebut akan
mengionisasi menjadi kation bebas dan anion monomer. Surfaktan anion
merupakan jenis surfaktan yang paling umum digunakan dalam injeksi surfaktan
karena merupakan jenis surfaktan yang tahan untuk disimpan dalam waktu yang
lama, stabil dan dapat dibuat dengan biaya yang relatif lebih murah.
 Garam Asam Carboxylic
1 Garam sodium dan Potasium dari asam lemak rantai lurus (Soaps)
2 Garam sodium dan Potasium dari asam lemak minyak kelapa
3 Garam sodium dan Potasium dari asam lemak tall
4 Garam amine
5 Acylated Polypeptides
 Garam asam sulfonat
1 Linear alkil benzen sulfonat (LAS)
2 Higher alkaline benzen sulfonat
3 Benzen, toiuen, xylen dan cumenesulfonat
4 Ligninsulfonat
5 Petroleum sulfonat
6 Parafin sulfonat

 Kation
Suatu surfaktan dikatakan berjenis kation apabila moecity polarnya diisi
dengan ion positif, sehingga untuk mengimbangi pengisian ion tersebut
surfaktan mengandung anion inorganik. Surfaktan jenis ini sangat sedikit
digunakan dalam injeksi surfaktan karena akan mengalami proses adsorpsi oleh
permukaan anion pada celah clay.
1 Amine rantai panjang dan garam-garamnya
2 Diamine dan polyamine dan garam-garamnya
3 Garam Quartenary Amonium Polyoxyethenated Amine rantai panjang
4 Amine Oxides
 Nonion
Surfaktan jenis ini tidak membentuk ikatan ion jika terlarut dalam cairan,
hal ini menunjukkan sifat-sifat surfaktan melalui elektronegatifitas yang
membedakan diantara unsur-unsur pokoknya. Nonion jauh lebih toleran terhadap
salinitas yang tinggi dibandingkan dengan anion, tetapi dari berbagai percobaan
yang telah dilakukan, surfaktan jenis nonion termasuk surfaktan yang jelek dalam
injeksi EOR.
1 Polyoxylthylenated Alkylphenols, Alkylphenol ethoxylates
2 Polyoxylthylenated alcohol rantai lurus, alcohol ethoxylates
3 Polyoxylthylenated mercaptans
4 Rantai panjang asam ester carboxylic
5 Alkanolamine kondesat, Alkanomides
6 Tertiary Acetylenic Glycol

 Amphoteric
Surfaktan ini mengandung dua aspek atau lebih jika dibandingkan dengan
jenis surfaktan yang lain. Sebagai contoh, amphoterik dapat mengandung sebuah
grup anion dan sebuah nonpolar grup. Surfaktan jenis amphoterik sampai saat ini
belum digunakan dalam usaha peningkatan perolehan minyak.
Didalam satu jenis surfaktan, banyak terdapat variasi yang memungkinkan
untuk digunakan dalam injeksi surfaktan. Gambar 3.31 menunjukkan beberapa
variasi surfakatan dengan perbedaan berat molekul (C 1 2 untuk sodium dodecyl
sulfat dan C 1 6 untuk texas no. 1), identitas moecity nonpolar (sulfat dan
sulfonat), serta cabang pada ekor (ikatan langsung untuk sodium dodecyl dan dua
ekor untuk texas no. 1), yang kesemuanya termasuk dalam kelas surfaktan anion
yang sama. Disamping itu, variasi surfaktan yang lain ada pada perbedaan posisi
dan jumlah moecity polar (seperti pada monosulfonat dan disulfonat).
Surfaktan utama yang sering digunakan dalam injeksi surfaktan adalah
petroleum sulfonat. Petroleum sulfonat jenis anion dapat dihasilkan dari sulfonat
hasil pengolahan organik kimia murni (disebut juga syntetic sulfonat), yang
biasanya berupa molekul intermediate merefenery atau bahkan dari minyak
mentah itu sendiri. Reaksi dari proses sulfonasi yang terjadi (R - C = C - H
mewakili rumus molekul dari feedstock) adalah sebagai berikut:
R  R  C  H  SO3   R  C  C  SO3  H  .............................. (3-13)
sulfonasi

R  C  C  SO3  H    R  CH  CH  SO3 .............................. (3-14)


sulfonasi

Struktur Kimia Sulfonate (Texas #1) 4)

Struktur Kimia Sodium dodecyl sulfate 4)

R = hydrocarbon group

Gambar 3.31.
Struktur Molekul Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

Surfaktan yang dihasilkan dalam persamaan 3-13 adalah alpha olefin


sulfonat, sedangkan yang dihasilkan dari persamaan 3-14 adalah alkyl sulfonat.
Jika feedstock yang digunakan berupa senyawa aromatik, maka alkil akan
tersulfonasi menjadi alkyl benzena sulfonat, dengan reaksi sulfonasi sebagai
berikut:
R O + SO3 R O + SO3- + H ………...(3-15)
Sulfat dalam reaksi diatas terbentuk dari gelembung SO3 yang dihasilkan,
dan reaksi sulfonasi diatas akan mengalami rekasi paralel sebagai berikut:
H 2 O  SO3  H 2 SO4 .................................................................................. (3-16)

H 2 SO4  H   HSO4 .................................................................................. (3-17)

H   HSO 4  2H   SO4 ........................................................................... (3-18)


Larutan kemudian diperbaiki menjadi pH yang netral dengan menambahkan
basa kuat, seperti NaOH atau NH2 yang dilarutkan dalam air. Jika feedstock yang
masih tersisa tidak dibersihkan maka akan terbentuk campuran surfaktan yang
tidak diinginkan.
Tabel III-4
Sifat-sifat Surfaktan Anion Komersial
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)

Tabel diatas menunjukkan jenis dan sifat dari beberapa komersial sulfonat.
Jenis berat molekul mempunyai interval antara 350-450 kg mol, dimana nilai
yang lebih rendah mengidentifikasi kelarutan air yang lebih besar. Didalam
perhitungan surfaktan, pemakaian angka berat ekivalen memberikan hasil yang
lebih baik jika dibandingkan dengan pemakaian berat molekul. Khusus untuk
monosulfonat kedua angka tersebut adalah sama.
Sebuah surfaktan anion akan mengurangi menjadi sebuah kation dan
monomer apabila dilarutkan dalam zat cair. Pada waktu konsentrasi surfaktan
meningkat, moecities lypophilic surfaktan akan saling mengikat satu dengan yang
lainnya dan membentuk suatu agregat atau micelles yang masing-masing
mengandung beberapa monomer. Gambar 3.32. menunjukkan plot grafik antara
konsentrasi surfaktan monomer dengan konsentrasi total. Plot tersebut merupakan
sebuah kurva yang menggambarkan peningkatan monotonically dari awal dengan
unit slope dan kemudian mendatar pada saat mencapai konsentrasi micellar kritik
(critical micellar concentration, CMC). Setelah CMC, hampir semua
peningkatan konsentrasi surfaktan hanya berpengaruh peningkatan dalam
konsentrasi micellar.

Gambar 3.32
Skema Konsentrasi Kritik Micellar
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)
Jika surfaktan kontak dengaan fasa oleic (fasa yang mengandung lebih dari
sekedar minyak), surfaktan mempunyai kecenderungan untuk mengumpulkan
atau terakumulasi pada intervening moecity lypophilic dalam fasa oleic dan
hydrophilic dalam fasa cair. Surfaktan "lebih suka" kontak antara muka dengan
micelle, dan untuk menjenuhi permukaan kontak antara keduanya hanya
dibutuhkan konsentrasi yang kecil. Dua sifat alami surfaktan ini menjadi
penting karena akumulasi pada permukaan akan menyebabkan tegangan antar
muka antara dua fasa menjadi lebih rendah. Tegangan antar muka antara
surfaktan dengan fasa yang lain merupakan fungsi dari konsentrasi surfaktan
yang berlebihan pada permukaan, dimana terdapat perbedaan antara konsentrasi
pada antarmuka dengan konsentrasi bulk batuan. Permukaan bulk batuan dalam
banyak hal mempunyai cara kerja yang sama dengan yang terjadi pada
antarmuka uap dengan cairan di dekat titik kritik.
Kondisi surfaktan harus diatur untuk mengoptimalkan pengaruh ini, akan
tetapi hal ini dapat juga berpengaruh terhadap kelarutan surfaktan dalam bulk
oleic dan dalam fasa cair. Kelarutan ini menyangkut juga kelarutan air asin dan
minyak secara bersamaan, yang juga mempengaruhi tegangan permukaan.
Konsentrasi surfaktan sendiri sangat dipengaruhi oleh perubahan temperatur,
derajat kegaraman air asin dan hardness.

3.4.2.2. Kualitas Surfaktan


Kualitas surfaktan adalah efektivitas kerja dari surfaktan untuk menurunkan
tegangan permukaan antara air-minyak, sehingga residual oil yang tertinggal dapat
didesak dan diproduksikan. Surfaktan didefinisikan sebagai molekul yang mencari
tempat diantara dua cairan yang tak dapat bercampur dan mempunyai kemampuan
untuk mengubah kondisi.
Bahan utama dari surfaktan ini adalah Petroleum Sulfonate, dimana zat ini
dihasilkan dari sulfonatisasi minyak mentah (distilasi minyak). Petroleum sulfonate
mempunyai daya afinitas terhadap air dan minyak. Molekul ini mempunyai dua
bagian, satu bagian larut dalam minyak dan satu bagian lainnya larut dalam air.
Surfaktan yang mempunyai daya afinitas kuat terhadap minyak disebut oil-soluble
(mahagoni) dan yang kuat terhadap air disebut water soluble (green acid).
Rumus kimia dari sulfonate adalah R-SO3H, dimana R adalah gugusan atom-
atom aromatik. Kualitas surfaktan ditentukan dari parameter berat ekuivalennya,
semakin besar berat ekuivalen surfaktan yang digunakan, maka efektivitas kerja
untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air semakin baik dan begitu
sebaliknya. Penggunaan surfaktan dengan konsentrasi yang terlalu tinggi tidak saja
mengakibatkan absorbsi, tapi juga menjadi tidak ekonomis. Agar diperoleh
kelarutan yang baik dalam minyak atau air dan tidak terlalu terpengaruh oleh
absorbsi batuan reservoir serta tahan terhadap kontaminasi garam-garam formasi
dan pengaruh mineral-mineral clay, maka perlu ditentukan berat ekuivalennya yang
optimum. Hasil penelitian Gale dan Sandvick, memberikan suatu recovery minyak
yang tertinggi dapat dicapai dengan surfaktan yang mempunyai berat ekuivalen
antara 375 - 475, seperti terlihat pada Gambar 3.33.

Gambar 3.33
Hubungan Berat Ekuivalen dengan Recovery Minyak yang Dihasilkan
(Gale, W.W. and Sandvik, E.I., “Tertiary Surfaktan Flooding: Petroleum
Sulfonate Composition-Efficacy Studies”, 1973)
Bila akan menggunakan surfaktan dengan berat ekuivalen yang dikehendaki,
maka tinggal mencampur dua atau beberapa jenis surfaktan tersebut.
Sebagai zat tambahan (additive) dalam slug surfaktan biasa digunakan
"Kosurfactantt", sebab zat ini mempunyai banyak fungsi dalam pendesakan ini,
antara lain mengatur viskositas yang cocok untuk mengontrol mobilitas. Beberapa
jenis alkohol yang digunakan sebagai cosurfactant dapat dilihat pada Tabel III-5.

Tabel III-5
Jenis Alkohol Sebagai Cosurfactant
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

Cosurfactant
2-Propanol

1-Pentanol
p-pentanol
1-Hexanol
2-Hexanol

Dari pengalaman di lapangan, penggunaan kosurfaktan ini, ternyata dapat


meningkatkan recovery minyak sampai 20%. Hal ini disebabkan karena selain ikut
mendesak, surfaktan juga turut melarutkan minyak. Zat tambahan lain yang sering
dipakai adalah larutan elektrolit NaCl yang digunakan sebagai preflush, untuk
menggerakkan air formasi yang tidak cocok dengan komposisi slug surfaktan.

3.4.2.3. Petroleum Sulfonat


Pada jenis surfaktan - polimer, surfaktan jenis ini yang sering digunakan adalah
petroleum sulfonat. Petroleum sulfonat mempunyai sifat kimia yang sangat kompleks.
Telah diteliti bahwa jumlah perolehan minyak di laboratorium sangat berhubungan erat
dengan berat ekivalen dan distribusi berat ekivalen sufonat. Berat ekivalen sulfonat
adalah berat molekul dibagi banyaknya kelompok sulfonat yang ada dalam molekul.
Berat ekivalen rata-rata dapat dihitung untuk campuran subtansi. Berat ekivalen yang
rendah akan bertindak sebagai korban adsorpsi dan sulfonat dengan berat ekuivalen.
yang tinggi akan menjadi pelarut. Berat ekivalen tinggi sekitar 650 gr atau lebih dan
umumnya dapat larut dalam minyak, dan tidak larut dalam air.
Salah satu karakteristik dari larutan micellar surfaktan bahwa setiap molekul
tidak menunjukkan sifat kelarutan masing-masing, tetapi sistem secara keseluruhan
lebih menunjukkan sebagai sifat campuran yang menggambarkan pengaruh dari semua
komponen. Jadi, campuran dari sulfonat berekivalen tinggi dan rendah ini akan
membentuk larutan micellar yang menunjukkan sifat kelarutan dari sulfonat dengan
berat ekivalen intermediet.
Hill et al (1973) didalam mengembangkan sistem surfaktan, mereka memilih
petroleum sulfonat karena mempunyai sifat-sifat yang luas dan harga relatif murah,
serta persediaan cukup banyak. Petroleum sulfonat yang ada umumnya dijumpai
sebagai sulfonat "mahogany" yang larut dalam minyak atau sebagai sulfonat "sludge"
atau "green acid" yang larut dalam air. Kelompok terakhir umumnya mempunyai berat
molekul rata-rata 350 dan mengandung polysulfonat. Sulfonat mahogany umumnya
adalah monosulfonat dan tersedia sebagai hasil dari perdagangan yang memiliki berat
molekul rata-rata 500-600. Ada empat criteria pokok untuk memilih surfaktan
dalam proses EOR, yaitu: Tegangan permukaan minyak-air rendah, adsorpsi
rendah, kompatibel dengan fluida reservoir dan biaya yang murah.
Tegangan permukaan yang rendah akan mengurangi gaya kapiler yang
menjebak minyak residu dalam media berpori. Dengan berkurangnya gaya
kapiler, maka efisiensi pendesakan minyak akan semakin besar sehingga minyak
yang diperoleh semakin banyak. Pengurangan energi bebas (free force) minyak
dan air maka akan memudahkan minyak untuk diperoleh. Tegangan permukaan
yang bekerja antara air-minyak akan menyebabkan kehilangan surfaktan ke
permukaan batuan karena proses adsorpsi. Surfaktan yang hilang dapat juga
kembali dari pengendapan karena tidak kompatibel terhadap fluida reservoir.
Adsorpsi yang rendah dan biaya yang rendah merupakan pertimbangan ekonomi
yang utama, mengingat tegangan permukaan yang rendah dan kompatibilitas
yang rendah adalah penting untuk menentukan dilaksanakannya proses injeksi
surfaktan. Petroleum sulfonat mempunyai keuntungan yaitu memiliki potensi
dalam jumlah yang besar. Faktor ini sangat penting karena kurang lebih 100 juta
lb surfaktan per tahun dibutuhkan untuk pendesekan reservoir yang besar.

3.4.2.4. Pelarut dan Additive


Pelarut utama surfaktan dalam pendesakan minyak adalah air dan minyak.
Sulfonat merupakan hasil penyulingan suatu campuran zat kimia yang disebut
petroleum feedstock, yang dilarutkan dalam air atau minyak sehingga
membentuk micelle-micelle yang merupakan mikroemulsi dalam air atau
minyak. Micelle-micelle tersebut berfungsi sebagai media yang miscible baik
terhadap minyak maupun air. Larutan yang menggunakan air atau minyak
sebagai pelarutnya, tergantung pada bentuk larutan yang dikehendaki apakah
aqueous solution atau bentuk microemulsion seperti oil-external/water external
microemulsion. Pada system aqueous, solution pelarut utamanya adalah air,
sedangkan pada oil external adalah minyak dan untuk water external adalah air.
Dalam TabeI 3-6 dapat dilihat % berat pelarut untuk ketiga system diatas.

Tabel III-6
% Berat Pelarut untuk Sistem Larutan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
Komponen Larutan, % berat
Pelarut Aquoeus Solution Oil-External Water External
o
Minyak( 36 API) 0,0 68 18,2
Air 86,2 18,2 68

Sebagai zat tambahan dalam slug surfaktan biasanya digunakan kosurfaktan.


Zat untuk kosurfaktan adalah alkohol. Kosurfaktan sering digunakan karena
mempunyai fungsi yang penting dalam proses pendesakan ini, antara lain viskositas
larutan dapat diatur dengan menggunakan kosurfaktan yang cocok untuk
mengontrol mobilitas. Gorgarty dan Tosch menemukan kosurfaktan 2-propanol
yang berfungsi untuk membuat sistem larutan menjadi stabil. Beberapa penulis lain
melaporkan bahwa 2-propanol membuat slug surfaktan lebih kompatible dengan
fluida reservoir. Dari pengalaman di lapangan, penggunaan kosurfaktan ini
ternyata dapat meningkatkan perolehan minyak sampai 20%. Hal ini disebabkan
karena selain ikut mendesak ia pun turut melarutkan air. Zat tambahan lain yang
sering dipakai adalah larutan elektrolit NaCI yang digunakan sebagai preflush,
untuk menggerakkan air formasi yang tidak kompatibel dengan komposisi slug
surfaktan.

3.4.3. Pertimbangan dan Batas Pemakaian Surfaktan.


Dasar pertimbangan yang digunakan untuk memilih metoda pendesakan
surfaktan pada suatu reservoir yang diperoleh dari data empiris diantaranya
meliputi:
1. Sifat fisik fluida reservoir yang terdiri dari : gravity minyak, viskositas minyak,
komposisi dan kandungan chloridanya.
2. Sifat fisik batuan reservoir yang terdiri dari : saturasi minyak sisa, tipe
formasinya, ketebalan, kedalaman, permeabilitas rata-rata dan temperaturnya.
Sedangkan syarat-syarat dan batasan-batasan yang digunakan dalam pemilihan
metoda pendesakan surfaktan dapat dirinci sebagai berikut :
1. Kualitas crude oil
 Gravity > 20 API
 Viskositas < 35 cp
 Kandungan klorida < 20000 ppm
 Komposisi diutamakan minyak menengah ringan (Light Intermediate)
2. Surfaktan dan polimer
 Ukuran dari slug adalah 5 – 15% dari volume pori (PV) untuk sistim
surfaktan yang tinggi konsentrasinya sedangkan untuk yang rendah
besarnya 15 – 50% dari volume pori (PV).
 Konsentrasi polimer berkisar antara 500 – 2000 mg/i
 Volume polimer yang diinjeksikan kira-kira 50% dari volume pori.
3. Kondisi reservoir
 Saturasi minyak > 35% PV
 Tipe formasi diutamakan Sandstone
 Ketebalan formasi > 10 ft
 Permeabilitas > 10 md
 Kedalaman < 9000 ft
 Temperatur < 200 F
4. Batasan lain
 Penyapuan areal oleh water floding sebelum injeksi surfaktan diusahakan
lebih besar dari 50%
 Diusahakan formasi yang homogen
 Tidak terlalu banyak mengandung anhydrite, pysum atau clay.
 Salinitas lebih kecil dari 20000 ppm dan kandungan ion divalen (Ca dan
Mg) lebih kecil dari 500 ppm.
3.4.4. Proses Injeksi Surfaktan.
Larutan surfaktan yang merupakan microemulsion yang diinjeksikan ke dalam
reservoir, mula-mula bersinggungan dengan permukaan gelembung-gelembung
minyak melalui film air yang tipis, yang merupakan pembatas antara batuan
reservoir dan gelembung-gelembung minyak. Surfaktan memulai perannya sebagai
zat aktif permukaan untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air. Pertama
sekali molekul-molekul surfaktan yang mempunyai rumus kimia RSO3H akan
terurai dalam air menjadi ion-ion RSO3- dan H+. Ion-ion RSO3- akan bersinggungan
dengan gelembung-gelembung minyak, ia akan mempengaruhi ikatan antara
molekul-molekul minyak dan juga mempengaruhi adhesion tension antara
gelembung-gelembung minyak dengan batuan reservoir, akibatnya ikatan antara
gelembung-gelembung minyak akan semakin besar dan adhesion tension semakin
kecil sehingga terbentuk oil bank didesak dan diproduksikan.
Pada operasi di lapangan, setelah slug surfaktan diinjeksikan kemudian diikuti
oleh larutan polimer. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya fingering dan
chanelling. Karena surfaktan + kosurfaktan harganya cukup mahal, di satu pihak
polimer melindungi bank ini sehingga tidak terjadi fingering menerobos zone
minyak dan di lain pihak melindungi surfaktan bank dari terobosan air pendesak.
Agar slug surfaktan efektivitasnya dalam mempengaruhi sifat kimia fisika sistem
fluida di dalam batuan reservoir dapat berjalan baik, maka hal-hal diatas harus
diperhatikan. Misalnya mobilitas masing-masing larutan harus dikontrol. Mobilitas
slug surfaktan harus lebih kecil dari mobilitas minyak dan air didepannya.
Pelaksanaan di lapangan untuk injeksi surfaktan meliputi sistem perlakuan terhadap
air injeksi, sistem pencampuran slug surfaktan dan sistem injeksi fluida.

Gambar 3.34
Mekanisme Injeksi Surfaktan
(Willhite, G. Paul & Green, Don W., “Enhanced Oil Recovery”, 1998)
3.4.4.1. Sistem Perlakuan Terhadap Air Injeksi
Fasilitas perlakuan terhadap air injeksi akan sangat bergantung pada
persediaan air untuk injeksi dan keperluan-keperluan lain. Dalam beberapa kasus,
kebutuhan perlakuan minimum terhadap filtrasi air dilakukan melalui
penyaringan tekanan bumi diatomaeous.
Jika air dipakai sebagai slug tercampur (miscible slug) atau formasi polimer,
proses penyaringan air dilakukan dengan penukaran ion water softener. Langkah
ini digunakan untuk menghilangkan bermacam-macam kation pengganggu
dengan ion-ion sodium dari regin di dalam water softener seperti diperlihatkan
pada Gambar 3.35.

Gambar 3.35
Diagram Sistem Perlakuan Air
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.4.4.2. Sistem Pencampuran Slug Surfaktan


Komponen-komponen slug tercampur (miscible) mempunyai komposisi
berbeda-beda pada kebanyakan rumus-rumus dari micellar. Kebanyakan slug
terdapat paling sedikit terdiri dari empat komponen berbeda : petroleum sulfonat,
fasa cairan (encer), hidrokarbon dan kosurfaktan. Semua komponen tersebut
kecuali kosurfaktan, diukur didalam tangki pencampur yang luas dimana mereka
tercampur sampai menjadi homogen, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.36.
Filtrasi diperlukan slug yang umumnya memanas sebelum dipompa
melewati filter. Dengan memanaskan lebih dahulu mempunyai beberapa maksud,
menstabilkan slug, memperbaiki penyaringan yang menyebabkan turunnya
viskositas slug dan mengurangi kemungkinan terendapkannya parafin di dalam
sumur injeksi. Setelah filtrasi, kosurfaktan yang hampir selalu alkohol, terukur di
dalam slug. Kosurfaktan menaikkan kesetabilan micellar dan secara serempak
merubah viskositas untuk memenuhi kebutuhan mobilitas di dalam reservoir. Slug
tersebut biasanya ditempatkan di dalam tangki penyimpanan preinjection sebelum
diijeksikan di dalam sumur. Sebuah pompa positive displacement digunakan
untuk mengnjeksikan slug pada laju alir seperti sebelumnya.

Gambar 3.36
Diagram Sistem Pencampuran Slug Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.4.4.3. Sistem Injeksi Fluida


Injeksi fluida ke dalam reservoir melalui beberapa sumur umumnya
dilakukan dengan memakai sistem manifold. Gambar 3.37 menunjukkan suatu
sistem injeksi polimer yang sederhana. Dalam menginjeksikan fluida ke dalam
reservoir dapat digunakan pompa positive displacement sehinggga laju aliran
volumetris total dapat dikontrol untuk melihat program injeksi secara
keseluruhan. Tanpa alat pengontrol aliran pada masing-masing sumur, aliran
relatif dapat ditentukan dengan flow resistance (daya tahan aliran) dalam masing-
masing sumur injeksi. Untuk mengimbangi injeksi yang tak terkontrol,
dibutuhkan beberapa jenis kontrol aliran pada masing-masing sumur. Dalam
beberapa kasus, jika fluida yang diinjeksikan adalah air atau slug tercampur
(miscible slug), throttling valve sederhana dapat untuk mengatur aliran fluida.
Jika sejumlah sumur menerima fluida dari satu pompa dalam jumlah besar, alat
pengontrol tersebut menjadi tidak stabil karena seluruh sistem saling
berhubungan. Perubahan sedikit saja dari alat thorttling valve sederhana dapat
untuk mengatur aliran fluida. Jika sejumlah sumur menerima fluida dari satu
pompa dalam jumlah besar, alat pengontrol tersebut menjadi tidak stabil karena
seluruh sistem saling berhubungan, Perubahan sedikit saja dari alat throttling
(katup penyumbat) pada satu sumur menyebabkan perubahan aliran disemua
sumur yang lain karena laju alir total tetap konstan. Namun sistem ini tetap
bekerja jika cukup memonitoring terhadap laju injeksi pada masing-masing sumur.

Gambar 3.37
Sistem Penginjeksian Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
3.4.4.4. Perencanaan Laboratorium
Beberapa desain laboratorium yang berhubungan dengan pengujian
surfaktan sebagai bahan injeksi kimia adalah:
1. Tegangan antar muka
Pengukuran tegangan antar muka dilakukan pada permukaan crude oil -
sulfonat yang larut dalam air. Dengan menggunakan peralatan penurunan
mikrodependen, harga tegangan permukaan terhadap crude oil terukur sebesar
kurang dari 2x10-3 dyne/cm.
2. Seleksi (penyaringan) mikroskopis.
Prosedur ini sesuai dengan pendesakan minyak oleh suraktan dalam jumlah
kecil. Metode ini merupakan metode kualitatif yang berguna untuk
mendeteksi penurunan tegangan permukaan antara minyak dan air. Hal ini
tergantung dari pengamatan mikroskopis dari droplet minyak yang melekat
pada dinding gelas sebagaimana terbentuk dalam pergerakan aliran larutan
surfaktan yang lambat. Droplet minyak yang kecil, kira-kira berdiameter 100
mikron, terendapkan dengan baik pada kaca mikroskopis dan ditutupi dengan
memakai penutup gelas.
3. Uji Pendesakan
Prosedur dan teknik konvensional digunakan dalam pengujian IM. Sandpack
disiapkan dengan air, kemudian diinjeksikan minyak mentah sampai dicapai
saturasi minyak residual. Setelah itu, zat kimia yang diuji diinjeksikan ke
dalamnya. Core dan pembungkusnya dipasang dengan posisi tegak. Minyak
diinjeksikan ke bawah dan cairan encer diinjeksikan diatasnya pada laju yang
sama sampai terjadi kemajuan sebesar kira-kira 1 ft/day.
Froning dan Triber (1976) dari Amoco menyusun prosedur penyaringan di
laboratorium sebagai berikut:

Penyaringan ini dilakukan dengan menggunakan vail test, yang dapat memberikan
ukuran kelakuan fasa, miscibility, dan tegangan antar muka antara minyak-
surfaktan. Variabel pengujian adalah komposisi dari air, Crude oil, kosurfaktan,
garam-garam tambahan, polimer dan lain-lain. Fluida micellar disiapkan dalam
tabung kecil, dengan perbandingan surfaktan yang beragam untuk memilih
kosurfaktan. Kadar garam dari sodium klorida dirubah-rubah. Kelakuan fasa dicatat
pada temperatur yang telah ditentukan. Crude oil secara hati-hati ditambahkan
dengan memperhatikan pengurangan pencampuran minyak dan micellar. Jika tetes
minyak yang besar tampak pada micellar, maka fluida micellar dinilai jelek. Jika
minyak dapat cepat tercampur dalam fluida tersebut, maka fluida micellar dinilai
bagus. Pengujian sederhana ini memberikan sebuah penyaringan secara kasar, yang
menahan sebagian besar air sebesar 90-95%.

Tabel III-7 menunjukkan data yang dihasilkan dengan sulfonat "mahogany"


dengan isopropil alkohol, sulfonat gas-minyak tanpa kosurfaktan dan polibutana
sulfonat dengan sebuah ethoxylated alkohol.
Tabel III-7
Data Vial Test Minyak Mentah Wall Creek kedua 110°F
(Van Pollen, H. K., “Fundamental of Enhanced Oil Recovery”, 1980)

Uji vial berhubungan dengan besarnya miscibilitas. Uji vial digunakan


sebagai penyaringan pertama karena dapat memeriksa kondisi micellar yang lebih
cepat.
3.4.5. Performance Reservoir Setelah Injeksi Surfaktan.
Performance reservoir setelah injeksi surfaktan pada dasarnya tidak dapat sama
antara satu reservoir dengan reservoir yang lain, tergantung pada karakteristik
reservoir tersebut yang lebih sesuai atau tepat untuk pelaksanaan injeksi surfaktan.
Namun dari data-data yang diperoleh dari keberhasilan injeksi surfaktan pada sumur-
sumur produksi yang telah dilakukan, dapat diambil performance reservoir reservoir
setelah injeksi surfaktan.
Perolehan minyak yang dapat diharapkan dari uljeksi surfaktan adalah sekitar
82 % dari OOIP dapat dilihat pada Gambar 3.38. Namun keseluruhan dari injeksi
surfaktan dapat dihasilkan perolehan minyak yang lebih besar daripada menggunakan
injeksi air konvensional. Sedangkan perolehan minyak tambahan adalah sekitar 15 %
dari residual oil reserves. Untuk reservoir dengan kandungan minyak kental atau
reservoir minyak berat perolehan minyak yang mungkin didapat adalah sekitar
30 %. Untuk reservoir minyak dengan solution gas drive perolehan minyak yang
diharapkan lebih kecil, yaitu sekitar 15 %. Dan untuk reservoir minyak dengan
water drive, injeksi gas atau gravity drainage sekitar 10%. Laju produksi minyak
selama injeksi surfaktan meningkat. Perolehan minyak bertambah jika ukuran
buffer mobilitas semakin besar. Perolehan minyak maksimum dengan injeksi
surfaktan terjadi pada harga salinitas (kadar garam) yang optimal.
Gambar 3.38.
Karakteristik Reservoir setelah Injeksi Surfaktan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.4.6. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Surfaktan.


Tabel III-8
Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Surfaktan
Kelebihan Kekurangan
1. Dapat menurunkan pengaruh 1. Rentan terhadap salinitas dan
tekanan kapiler dan sifat kebasahan temperatur.
batuan yang kuat. 2. Kedalaman reservoir terbatas.
2. Dapat mengemulsikan minyak. 3. Tidak dapat diterapkan pada minyak-
3. Perolehan cukup besar minyak berat.
4. Adsorbsi rendah dan kompetibel 4. Temperatur reservoir terbatas.
terhadap fluida reservoir.

3.4. Injeksi Alkaline (Caustic Flooding).


Injeksi alkaline merupakan suatu proses dimana pH air injeksi dikontrol pada
harga 12-13 untuk meningkatkan perolehan minyak. Proses injeksi alkaline adalah
dengan menginjeksikan preflush untuk mengkondisikan reservoir kemudian
menambahkan oil bank selanjutnya menginjeksikan larutan alkaline dan larutan
polimer untuk kontrol mobility dan fresh water buffer untuk melindungi viskositas
larutan polimer dari kontak langsung dengan air formasi kemudian fluida pendorong
(water), yang ditunjukkan seperti pada Gambar 3.39.

Gambar 3.39.
Proses Injeksi Alkaline
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)

Beberapa sifat batuan dapat mempengaruhi terhadap injeksi alkaline. Ion


divalen dalam air di reservoir, jika jumlahnya cukup banyak dapat mendesak slug
alkaline karena mengendapnya hidroksida-hidroksida yang tidak dapat larut. Gypsum
dan anhydrit jika jumlahnya melebihi dibandingkan dengan jumlahnya yang ada
didalam tracer akan menyebabkan mengendapnya Ca(OH)2 dan membuat slug NaOH
menjadi tidak efektif. Clay dengan kapasitas pertukaran ion yang tinggi dapat
menghasilkan slug NaOH dengan menukar hidrogen dari sodium. Limestone dan
dolomit bersifat tidak reaktif dan reaksi dengan komponen silika di dalam batu pasir
sangat lambat dan tidak lengkap, sedangkan resistivitas alkaline dengan batuan
reservoir dapat ditentukan di laboratorium.
Zat tambahan lain yang sering dipakai adalah larutan elektrolit NaCl yang
digunakan sebagai preflush, untuk menggerakkan air formasi yang tidak cocok
dengan komposisi slug surfaktan. Injeksi alkaline sebagai salah satu alternatif injeksi
kimia, mempunyai pengaruh dalam peningkatan recovery yang dapat dibandingkan
dengan injeksi kimia.
Pada injeksi alkaline, banyak sekali kemungkinan bahan yang dapat dipakai,
pemilihan bahan dilakukan berdasarkan pH tertinggi, sebab pH yang tinggi akan
mengakibatkan penurunan tegangan permukaan minyak. Bahan kimia yang
menghasilkan pH tinggi pada konsentrasi yang rendah adalah NaOH. Hasil
pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kondisi optimum pada injeksi alkaline
dicapai dengan konsentrasi NaOH 0,1 % berat dan ukuran slugnya sekitar 15%
volume pori, selain itu bahan kimia injeksi ini paling murah dibandingkan dengan
bahan untuk injeksi kimia lainnya.

3.5.1. Kondisi Reservoir yang Sesuai dengan Injeksi Alkaline.


Pada dasarnya penerapan injeksi alkaline harus sesuai dengan kondisi
reservoir minyak yang akan dilakukan injeksi tersebut, untuk itu diperlukan
screening criteria untuk penerapan injeksi alkaline ini berdasarkan Tabel III-2
antara lain:
3.5.1.1. Berdasarkan Sifat Fisik Fluida Reservoir
 Oil gravity >20 °API
 Viskositas minyak kurang dari 35 cp
 Tegangan antar muka antara larutan alkaline dengan minyak mentah
kurang dari 0,01 dyne/cm
 Reservoir harus sesuai dengan injeksi air, karena penambahan alkaline
dapat meningkatkan perolehan minyak dibandingkan hanya dengan
injeksi air.
 Bilangan asam sebaiknya lebih besar dari 0,2 mmg KOH/g dari minyak
 Komposisi minyak terdapat beberapa asam organik

3.5.1.2. Berdasarkan Karakteristik Batuan Reservoir


 Diutamakan tipe formasi batu pasir
 Ketebalan reservoir tidak penting
 Permeabilitas rata-rata lebih dari 10 md
 Temperatur reservoir kurang dari 200 °F
 Kedalaman reservoir kurang dari 9000 ft

3.5.2. Parameter Yang Mempengaruhi Injeksi Alkaline.


Beberapa parameter yang banyak mempengaruhi dalam proses injeksi
alkaline antara lain adalah konsentrasi NaOH, karakteristik reservoir, luas
permukaan serta komposisi fluida reservoir dan air injeksi.
3.5.2.1. Konsentrasi NaOH
Reisberg dan Doscher mengamati tegangan antar muka antara air-minyak
pada minyak California dan didapatkan bahwa pada range pH tertentu tegangan
antar muka akan minimum. Dengan pengamatan yang sama pada minyak Tia
Juana, De Ferrer mengemukakan bahwa tegangan antar muka akan minimum
pada harga konsentrasi kritis tertentu. Dari kedua hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa tegangan antar muka akan minimum pada range pH dan konsentrasi NaOH
tertentu.
Pentingnya konsentrasi yang tepat pada injeksi alkaline ini dikemukakan
oleh Subkow, dimana agar didapat emulsi minyak dalam air pada proses
emulsifikasi di formasi, konsentrasi NaOH harus cukup, karena konsentrasi
NaOH yang berlebihan akan menyebabkan emulsifikasi yang sebaliknya (air
dalam minyak) atau tidak terjadi emulsi sama sekali.

Gambar 3.40.
Tegangan antarmuka Vs pH pada Minyak California
(Donaldson, Earl C., “Enhanced Oil Recovery II Process and Operation”, 1989)

Gambar 3.41.
Tegangan antarmuka Vs Konsentrasi NaOH
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

Studi yang lebih lengkap dilakukan oleh Jennings yang mengemukakan


bahwa dari sejumlah sampel yang diamati, terdapat 90% yang menunjukkan
aktivitas permukaan yang maksimum (tegangan antar muka minimum) pada
konsentrasi NaOH 0,1% berat dan pH antara 12,2-12,4. Pentingnya konsentrasi
yang tepat pada injeksi alkaline dikemukan oleh Subkow, yang menyebutkan
bahwa supaya didapat emulsi minyak dalam air pada proses emulsifikasi di
formasi, konsentrasi NaOH harus cukup, karena konsentrasi NaOH yang
berlebihan akan menyebabkan emulsifikasi yang sebaliknya (air dalam minyak)
atau tidak terjadi emulsi sama sekali, seperti yang terlihat pada Gambar 3.42.

Gambar 3.42.
Injeksi Core dan Tegangan Antarmuka Vs Konsentrasi NaOH untuk Minyak dari
Amerika Selatan dengan Gravity 12.2° API
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.5.2.2. Karakteristik Reservoir


Pada injeksi alkaline, perolehan minyak tergantung dari interaksi antara
bahan kimia yang ditambahkan dengan fluida reservoir. Bahan kimia ini penting
untuk bertahan cukup lama supaya dapat kontak sebanyak-banyaknya dengan
fluida reservoir. Hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pengaruh
karakteristik reservoir adalah:
1 Struktur dan Geologi Reservoir
 Reservoir dengan sesar dan rekahan yang memungkinkan terjadinya
distribusi minyak yang tidak merata.
 Ketebalan total reservoir yang jauh lebih besar dari ketebalan zona
minyak.
 Luas zona minyak yang tipis atau zona minyak yang tipis diatas aquifer
yang tebal.
 Reservoir dengan tingkat perlapisan yang tinggi
 Heterogenitas yang tinggi dan perkernbangan porositas dan permeabilitas
yang rendah.
2 Kedalaman
Dari hasil laboratorium didapatkan bahwa dengan semakin dalam reservoir
dan semakin tinggi temperatur reservoir, maka konsumsi alkaline akan semakin
besar, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.43.

Gambar 3.43
Rate Konsumsi Alkaline oleh Batuan Formasi Dari
Reservoir Lusiana Selatan
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.5.2.3. Luas Permukaan


Minyak yang tersisa setelah injeksi alkaline pada matrik oil-wet adalah
berbentuk film. Ketebalan film ini tergantung dari kualitas pendesakan emulsinya.
Minyak yang tersisa akan lebih besar apabila luas permukaan batuan semakin
besar. Dengan demikian injeksi alkaline akan tidak reaktif efektif pada batuan
yang mempunyai luas permukaan yang besar, seperti batu lempung dan silt.
Pengaruh luas permukaan ini ditunjukkan pada percobaan injeksi air dan
alkaline pada kolom campuran pasir, yaitu pasir dari Ottawa No. 16 (0,067 m2/gr)
dan tepung silika (0,89m2/gr). Hasil percobaan seperti terlihat pada Gambar 3.44.

Gambar 3.44
Pengaruh Luas Permukaan dalam Injeksi Alkaline
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

3.5.2.4. Komposisi Fluida Reservoir


Komposisi kimia pada fluida reservoir dan air injeksi sangat berpengaruh
pada injeksi alkaline :
Tabel III-9
Famili Hidrokarbon Yang Penting Pada Mekanisme Injeksi Alkaline
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)

Mekanisme Famili Hidrokabon Rumus molekul


Penurunan Tegangan antarmuka Asam karboksilat RCOOH
Perubahan kebasahan Asphalten RCHZCOOH
Pembentukan rigid Porphyrin C34H3zNaO4FeC12
Aldehide RCOH
Keton RCOR
Nitrogen organik RNO2
Keterangan : R= gugus Alkil

1. Komposisi Minyak
Beberapa hasil pengamatan yang penting sehubungan dengan komposisi
minyak serta pengaruhnya terhadap mekanisme injeksi alkaline, dapat dilihat
pada Tabel III-9
2. Komposisi Air Formasi dan Air Injeksi
Kadar padatan yang terlarut yaitu berupa senyawa garam atau ion bebas,
baik dalam air formasi atau injeksi sama-sama mempengaruhi injeksi alkaline.
Reaksi antara NaOH dengan ion kalsium dan magnesium akan membentuk
sabun kalsium dan magnesium yang mana keduanya bukan termasuk zat aktif
permukaan, sehingga akan mengurangi slug NaOH dan tegangan permukaan
akan naik dengan keberadaan ion tersebut. Hasil percobaan laboratorium
menyatakan bahwa kadar kalsium yang diijinkan pada air injeksi adalah 70
ppm dan ion magnesium sampai 700 ppm, sedangkan kadar kalsium pada air
formasi adalah sampai 500 ppm.
Pada jumlah tertentu garam NaCI berguna untuk menunjang mekanisme
injeksi alkaline dan mengurangi konsumsi NaOH. Kegaraman dalam reservoir
diperlukan pada proses perubahan kebasahan, yaitu membuat batuan reservoir
cenderung menjadi oil-wet, sedangkan pada konsentrasi yang lebih besar
diperlukan untuk terjadinya emulsi air dalam minyak. Jennings mengatakan
bahwa keberadaan NaCI dalam air injeksi dibawah 20000 ppm, akan
menyebabkan tegangan permukaan tetap rendah dan mengurangi kebutuhan
NaOH.

3.5.3. Pelaksanaan Injeksi Alkaline


 Perencanaan Laboratorium
1. Bilangan asam
Bilangan asam adalah sejumlah miligram KOH yang diperlukan untuk
menetralkan 1 gram minyak mentah agar tercapai pH sebesar 7,0. Untuk
kandidat yang bagus, bilangan asamnya kira-kira 0,5 mg KOH/gr minyak
mentah atau lebih, disamping itu sampel juga harus bebas dari pemecah
emulsi atau bahan kimia lainnya.
2. Penurunan tegangan antarmuka
Tegangan antarmuka antara minyak mentah dengan alkaline harus
kurang dari 0,01 dyne/cm. Fluida yang digunakan untuk pengukuran harus
mewakili fluida reservoir dan fluida injeksi yang digunakan.
3. Perubahan Kebasahan
Jika reservoir adalah basah minyak, maka NaOH dapat merubahnya
menjadi basah air. Imbibition test atau pengukuran sudut kontak dapat
digunakan untuk mempelajari kebasahan.
4. Pembentukan emulsi
Untuk mempelajari pembentukan emulsi dengan padatan NaOH dapat
dilakukan percobaan sederhana yaitu dengan mengocok padatan NaOH pada
volume dan konsentrasi tertentu dengan minyak mentah pada tabung gelas.
Tipe emulsi yang terbentuk dapat ditentukan dan viskositasnya diketahui.
5. Film kaku (rigid film)
Beberapa minyak mentah dapat membentuk rigid film pada bidang
kontak dengan air. Hal ini dapat dipelajari dengan menggunakan sudut kontak
atau tegangan antarmuka. Apabila terbentuk rigid film pada bidang antarmuka
minyak-air, maka injeksi air tidak bisa mendesak minyak sisa. Oleh karena itu,
injeksi alkaline dapat dilakukan karena alkaline dapat memecahkan rigid film
tersebut.
6. Reaksi dengan batuan dan mineral
Jenning dan Johnson (1974) merekomendasikan prosedur untuk
menentukan reaktifitas kaustik batuan reservoir sebagai berikut :
a. Membersihkan sekitar 600 gr yang telah dihaluskan dengan ekstraksi
toluen dan mengeringkannya.
b. Membentuk pasir yang kering dan bersih per berat (W) menjadi silinder
dengan panjang 18 in dan diameter 1.25 in. Menjenuhi pasir tersebut
dengan air destilasi dan menentukan PV-nya.
c. Setelah penjenuhan dengan air destilasi, maka dilakukan injeksi padatan
kaustik (NaOH) dengan konsentrasi C.
d. Melanjutkan injeksi kaustik sampai pH effluent dari kolom mendekati pH
padatan injeksi. Mengukur volume total padatan effluent yang terkumpul
pada titik ini.
e. Reaktivitas batuan kaustik (R), kemudian mengukur dengan menggunakan
persamaan :
R  100 V  PV C / W ............................................................................ (3-19)
Dimana:
R = meq NaOH yang dikonsumsi tiap 100 gram batuan
V = milimeter
PV = milimeter
C = meq NaOH/ml
W = gram batuan
Selama uji pendesakan diatas, data-data berikut harus didapat :
1. Permeabilitas
2. pH dan konsentrasi NaOH dalam air produksi
3. Pembentukan emulsi, sifat-sifat rheologi, dan stabilitasnya
4. Perolehan minyak sebagai fungsi dari PV yang diinjeksikan

 Injeksi Core Laboratorium


Pengujian dilaboratorium dapat menghasilkan informasi yang sangat
berguna dari proses injeksi alkaline. Jika jumlah sampel batuan reservoir yang
disimpan sedikit, maka percobaan injeksi core dapat dilakukan pada batuan linier,
dengan menggunakan minyak mentah, connated water dan air injeksi. Proses
injeksi harus dilakukan pada kondisi temperatur dan laju injeksi yang menyerupai
kondisi lapangan dan uji pendesakan yang dilakukan harus dapat membandingkan
injeksi alkaline dengan injeksi air.

 Injeksi Alkaline di Lapangan


Pada reservoir yang pernah dilakukan injeksi air, maka mudah untuk
dilakukan injeksi alkaline yaitu dengan mencampur bahan-bahan alkaline.
Sebelumnya pada uji laboratorium sudah ditentukan konsentrasi alkaline optimal.
Apabila terjadi butiran yang jatuh selama pencampuran alkaline, hal ini dapat
dipisahkan dengan menggunakan settling atau filtrasi. Permasalahan utama adalah
adanya penyumbatan sumur produksi oleh gypsum. Gypsum direservoir terlarut
oleh injeksi alkaline dan terkumpul pada lubang sumur.

3.5.4. Mekanisme Injeksi Alkaline.


Meskipun injeksi alkaline adalah proses yang sederhana dan relatif tidak
mahal dalam pelaksanaannya, tetapi memiliki mekanisme pendesakan yang
kompleks. Beberapa mekanisme yang ada yaitu penurunan tegangan antarmuka,
emulsifikasi, perubahan kebasahan dan penghancuran rigid interfacial film.
Akibat dari mekanisme-mekanisme tersebut secara makroskopis adalah
adanya perbaikan areal dan volumetric sweep efficiency, yaitu dengan perubahan
mobilitas ratio atau perubahan permeabilitas minyak-air. Sedangkan secara
mikroskopis adalah merubah minyak yang tidak dapat bergerak (immobile) dalam
media berpori menjadi dapat bergerak (mobile), yaitu dengan emulsifikasi dan
penurunan tegangan permukaan.
3.5.4.1. Penurunan Tegangan Antarmuka
Taber membuat hubungan antara perubahan bilangan kapiler dengan
perubahan saturasi minyak. Bilangan kapiler didefinisikan dengan persamaan
sebagai berikut :
V
Nc  ........................................................................................................ (3-20)

Pada injeksi air, harga bilangan kapiler sekitar 10-6. Untuk meningkatakan
perolehan minyak, maka harga ini harus dinaikkan menjadi lebih besar dari 10-4.
Bila viskositas dan kecepatan konstan, maka untuk menaikkan bilangan kapiler
dilakukan dengan menurunkan tegangan antarmuka sampai ribuan kali atau lebih.
Kebanyakan minyak mempunyai tegangan antar muka 25 dyne/cm, sedang
dengan injeksi alkaline dapat mencapai 0,01 dyne/cm.
Mekanisme ini berkaitan dengan bilangan asam, gravitasi dan viscositas.
Bilangan asam adalah sejumlah miligram Kalium hidroksida (KOH) yang
diperlukan untuk menetralisasikan satu gram minyak mentah (ph menjadi 7.0).
Untuk hasil yang baik setidaknya mempunyai bilangan asam 0,5 mg KOH/gr
minyak mentah atau lebih.

3.5.4.2. Emulsifikasi
Pada pH, konsentrasi NaOH dan salinitas yang optimum serta konsentrasi
asam pada minyak di reservoir yang mencukupi akan menyebabkan terjadinya
emulsifikasi di formasi. Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa
dengan menginjeksikan emulsi minyak dalam air (water in oil emulsion) hasilnya
akan lebih baik dibanding injeksi dengan air. Peningkatan perolehan minyak yang
sama dapat terjadi jika emulsi tersebut dapat dibangkitkan di formasi.
Ada dua sistem pengaliran emulsi, yaitu emulsifikasi entrainment
(emulsifikasi dan penderetan) serta emulsifikasi entrapment (emulsifikasi dan
penjebakan).
Emulsifikasi entrainment yaitu bila emulsi yang terjadi akibat reaksi NaOH
dengan minyak di reservoir, kemudian emulsi tersebut masuk ke dalam air injeksi
dan mengalir bersamanya sebagai minyak-minyak yang halus. Alkaline
mempunyai sifat dapat mencegah minyak menempel pada permukaan pasir.
Kondisi tersebut diperlukan selama penderetan kontinyu terjadi untuk
mempertahankan tegangan antar muka yang rendah saat campuran bergerak
melewati reservoir.
Emulsifikasi entrapment yaitu bila emulsi tersebut selama proses
pengalirannya ada sebagian yang terperangkap kembali sehingga sedikit
menghambat bergeraknya air injeksi, dan mobility air injeksi menjadi berkurang.
Maka akan memperbaiki efisiensi penyapuan vertikal dan horisontal. Keuntungan
lain pada emulsifikasi ini adalah sifat pergerakan front-nya :
1. Bersamaan dengan terjadinya perubahan kebasahan dari water-wet
menjadi oil wet, di dekat front bagian belakang yang mengandung sedikit
emulsi akan terbentuk film (lamella).
2. Terbentuknya lamella akan menghambat aliran injeksi pada pori-pori,
mengakibatkan gradien tekanan yang besar di belakang front.
3. Pada saat lamella melalui kerongkongan pori, ia akan pecah, menjadikan
gradien saturasi yang tajam di daerah front.

3.5.4.3. Perubahan Kebasahan


Tenaga kapiler cenderung untuk menahan minyak pada media berpori. Hal
ini dapat dikurangi, dihilangkan atau diubah dengan mekanisme perubahan
kebasahan. Pada injeksi alkaline ada dua kemungkinan terjadinya perubahan
kebasahan, yaitu perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil-wet dan
sebaliknya.
1. Perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil-wet
Mekanisme yang terjadi pada perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil-
wet, sebagai berikut :
a. Pada saat konsentrasi zat perubah kebasahan naik, batuan water-wet
berubah jadi oil-wet, akibatnya tenaga kapiler akan mendorong minyak
pada kerongkongan pori yang lebih sempit.
b. Pada saat yang bersamaan zat perubah itu akan menurunkan tegangan
antarmuka, akibatnya minyak akan pecah dan menjalar sepanjang
kerongkongan pori.
c. Bila zat perubah kebasahan tersebut turun, batuan mulai berubah lagi
menuju water-wet sehingga mengakibatkan minyak menjadi retak-retak
sepanjang kerongkongan pori.
d. Bila batuan tersebut sudah menjadi water-wet kembali, maka minyak yang
retak-retak akan pecah dan lepas dari batuan, kemudian mengalir melalui
kerongkongan pori bersama air injeksi.
2. Perubahan kebasahan oil-wet menjadi water-wet
Banyak peneliti yang menyatakan bahwa kenaikan perolehan minyak pada
perubahan kebasahan adalah dari oil-wet menjadi water-wet. Hal penting pada
perubahan kebasahan ini adalah perubahan permeabilitas relatif minyak dan air
yang menyertainya, dimana hal ini akan membantu terhadap perbaikan mobilty
ratio penginjeksian atau akan menurunkan WOR, sehingga terjadi kenaikan
perolehan minyak.

3.5.4.4. Peleburan Rigid Interfacial Film


Beberapa hidrokarbon mempunyai kecenderungan untuk membetuk rigid
interfacial film. Film ini akan hancur dan masuk ke dalam minyak, tetapi
prosesnya sangat lambat. Bila film ini masuk ke dalam ruang pori yang kecil,
maka ia akan melipat membentuk simpul-simpul yang mengakibatkan minyak
tidak dapat keluar dari media berpori. Dengan injeksi alkaline, padatan film akan
pecah atau larut terbawa gerakan minyak sisa.

3.5.5. Performance Reservoir Setelah Injeksi Alkaline.


Seperti halnya injeksi kimia yang lain, perilaku reservoir yang baik akan
didapat jika semua parameter yang bersangkutan sesuai dengan injeksi alkaline.
Perolehan minyak tambahan yang diharapkan adalah sekitar 5%, atau ultimate
recovery dengan memakai injeksi alkaline adalah 67% dari minyak mula-mula
(OOIP). Perolehan minyak dapat tinggi jika ukuran slug yang diinjeksikan ke dalam
reservoir dalam jumlah yang optimal dan WOR produksi dengan injeksi alkaline
akan turun selama masa injeksi.

Gambar 3.45.
Perilaku Reservoir Setelah Injeksi Alkaline
(Kristanto, Dedy, “Pengurasan Minyak Tahap Lanjut”, 1999)
3.5.6. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Alkaline.
Tabel III-10
Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Alkaline
Kelebihan Kekurangan
 Dapat menurunkan pengaruh  Mekanisme pendesakan terlalu
tekanan kapiler dan sifat kebasahan kompleks.
batuan yang kuat.  Rentan terhadap ion divalent dan
 Proses injeksi sederhana. gypsum.
 Bahan kimia mudah didapat dan  Perolehan minyak kecil.
relative murah.
 Dapat mengemulsikan minyak dan
dapat diterapkan pada minyak berat.

3.5. Injeksi Surfaktan-Polimer (Micellar-Polimer).


Injeksi Micellar-Polimer adalah salah satu injeksi kimia yang menggunakan
surfaktan dan polimer sebagai fluida pendesaknya, atau dapat dikatakan
penggabungan antara injeksi surfaktan dan injeksi polimer yang memiliki tujuan
untuk meningkatkan perolehan minyak dengan jalan memperbaiki efisiensi
penyapuan dan efisiensi pendesakan.
Injeksi micellar-polimer dikatakan meningkatkan perolehan minyak sebab
mekanisme pendesakannya dapat merubah sifat fisik fluida dan batuan reservoir,
diantaranya :
1. Mengurangi mobilitas rasio antara air dengan minyak sehingga dapat
meningkatkan efisiensi penyapuan (sweep efficiency).
2. Meningkatkan efisiensi pendesakan (displacement efficiency) dengan
mengurangi gaya-gaya kapiler dan menurunkan tegangan antar muka fluida.
3. Memperbesar porositas dan permeabilitas batuan sehingga dapat
menghilangkan adanya tortuocity.
4. Meningkatkan transmisibility batuan.
5. Memecahkan rigid batuan sehingga fluida dapat mengalir dengan mudah.
Injeksi kimia ini dapat dilakukan dengan efektif pada reservoir-reservoir
batupasir, dengan komposisi fluida minyak yang menengah-ringan, dan tidak efektif
pada reservoir yang memiliki temperatur serta salinitas air formasi yang tinggi sebab
jika temperatur reservoir terlalu tinggi maka akan menurunkan kestabilan polimer
sebagai fluida pendesaknya. Begitu pula untuk salinitas yang tinggi yaitu dengan
adanya konsentrasi-konsentrasi garam tertentu (NaCl) akan menyebabkan penurunan
tegangan antar muka tidak efektif lagi.

3.6.1. Parameter yang Mempengaruhi Mekanisme Pendesakan


Didasarkan pada sifat dan karakteristik reservoir, serta sifat fluida injeksi,
terdapat hal-hal yang akan berpengaruh terhadap mekanisme pendesakan pada
injeksi micellar-polimer. Hal-hal tersebut, antara lain :
 Adsorbsi batuan reservoir
Adsorbsi batuan reservoir cenderung mengadsorbsi surfaktan dengan berat
ekuivalen yang tinggi. Hal ini menyebabkan adanya fraksinasi, semakin jauh
dari titik injeksi berat ekuivalen semakin kecil. Jenis fraksinasi ini yang
menyebabkan perolehan minyak semakin kecil, karena fungsi petroleum
sulfonat menjadi kurang aktif.
 Clay
Sifat clay yang suka air akan menyebabkan adsorbsi yang terjadi besar sekali.
Untuk reservoir yang mempunyai salinitas rendah, peranan clay sangat
dominan.
 Salinitas
Salinitas formasi berpengaruh terhadap penurunan tegangan permukaan
minyak-air. Pada konsentrasi NaCl tertentu akan mengakibatkan penurunan
tegangan permukaan minyak-air menjadi tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan
karena ikatan kimia yang membentuk NaCl merupakan ion yang sangat
mudah terurai menjadi Na+ dan Cl-, demikian juga dengan molekul surfaktan
dalam air akan terurai menjadi RSO33- dan H+. Konsekuensinya, bila dalam
injeksi surfaktan terdapat garam NaCl, maka akan membentuk HCl dan
RSO3Na, dengan keterangan keduanya bukan merupakan zat permukaan dan
tidak dapat menurunkan tegangan permukaan minyak-air.
 Konsentrasi slug surfaktan
Konsentrasi surfaktan akan mempengaruhi adsorbsi. Semakin pekat
konsentrasi surfaktan, maka akan semakin besar adsorbsi yang dihasilkan
hingga mencapai titik jenuh, akibatnya batuan reservoir tidak lagi
mengadsorbsi surfaktan.
 Kelakuan polimer
Polyacrylamide dan polysacharide dikelompokkan ke dalam fluida non-
Newtonian karena kelakuan alirannya terlalu kompleks yang tidak dapat
dicirikan oleh satu parameter yaitu viskositas. Perbandingan shear rate dan
shear stress tidak konstan. Karakteristik mobilitas pengontrol dapat
ditentukan dengan mengukur viskositas dan faktor screening.
 Volume pori
Adsorbsi polimer tergantung dari jenis polimer dan batuan permukaan.
Adsorbsi akan naik sejalan dengan naiknya salinitas.
 Polimer retention
Retensi polimer di bawah kondisi reservoir akan selalu lebih rendah dari harga
yang terukur di laboratorium.
 Adsorbsi polimer
Polimer mengalir melalui media berpori dengan kecepatan yang berbeda
dengan air, karena adsorbsi dan volume pori yang tidak dapat dimasuki.
Adsorbsi cenderung membentuk ujung slug polimer bergerak dengan
kecepatan lebih rendah dari water bank. Volume pori yang tidak dapat
dimasuki cenderung membuat slug polimer bergerak dengan kecepatan lebih
rendah dari water bank.
3.6.2. Bahan Kimia Injeksi Micellar-Polimer
3.6.2.1. Surfaktan
Tipikal monomer surfaktan kutub non polar (lypophile moiety) dan kutub
polar (hydrophile moiety), atau disebut juga amphiphile. struktur kimia monomer
surfaktan secara umum dilambangkan dengan ‘tadpole’, dengan keterangan
kutub nonpolar diposisikan sebagai ekor dan kutub polar sebagai kepalanya,
seperti terlihat pada Gambar 3.46.

R = hydrocarbon group

Gambar 3.46
Simbol Struktur Kimia Monomer Surfaktan (Tad Pole)
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)

3.6.2.2. Polimer
Jenis-jenis polimer yang dapat digunakan dalam proses injeksi polimer
antara lain adalah xanthan gum, hydrolized polyacrylamide (HPAM), polimer
gabungan (co-polimer), antara monomer asam acrylic dengan acrylamide,
gabungan polimer antara acrylamide dengan 2-acrylamide 2-metil propana
sulfonate (AM/AMPS), hydroxyethylcellulose (CMHEC), polyacrylamide
(PAM), polyacrylic acid, glucan, dextran polyacrylic oxide (PEO), dan
polyvinyl alcohol. Dari semua jenis tersebut, jenis polimer yang banyak
digunakan dalam aplikasi lapangan adalah xanthan gum, hydrolized
polyacrylamide, dan co-polimer acrylic acid-acrylamide. Secara garis besar,
jenis polimer yang beredar di pasaran dapat digambarkan menjadi 2 jenis,
yaitu Polyacrylamide dan Polysacharide.
 Polyacrylamide
Molekul polyacrylamide adalah rangkaian molekul yang sangat panjang
dari unit molekul acryalamide. Struktur kimia unit acrylamide dan
polimer polyacrylamide dapat dilihat pada Gambar 3.17 dan 3.20.
Berat molekul dari acrylamide antara 1-10 juta dan bersifat tahan
terhadap serangan bakteri. Polyacrylamide mudah terkena kerusakan
mekanik karena rantainya yang sangat panjang sehingga mudah putus,
pecah. Polyacrylamide lebih sensitive terhadap salinitas tetapi lebih tahan
terhadap serangan bakteri. Pada penambahannya, untuk menaikkan
viskositas, polyacrylaimde merubah permeabilitas batuan reservoir, dan
ini juga menurunkan mobilitas air injeksi. Jika permeabilitas batuan
reservoir rendah, maka polimer dengan konsentrasi rendah dapat
digunakan untuk memperoleh kestabilan mobilitas yang sama.
 Polysacharide
Polysacahride terbentuk dari proses fermentasi pada bakteri (biopolimer).
Jenis polysacharide yang digunakan dalam proses injeksi adalah xanthan
gum, yang merupakan extracelluler yang terbentuk pada permukaan sel
mikroba. Xanthan gum dihasilkan dari aktivitas bakteri xanthomonas
campsentris pada media karbohidrat, dengan tambahan protein dan zat
anorganik dari nitrogen. Pemanasan dilakukan untuk mematikan bakteri
xanthomonas campsentris, dan setelah itu polimer diendapkan dari kaldu
dengan penambahan alkohol tertentu. Berat molekul ± 5 juta dan
memiliki kerentanan yang relative lebih besar terhadap bakteri jika
dibandingkan dengan polyacrylamide. Xanthan gum tidak sensitive
terhadap salinitas dan tahan terhadap kerusakan mekanik, sehingga lebih
mudah menanganinya dalam hubungan dengan peralatan di lapangan.
Kelemahan dari xanthan gum adalah menyebabkan adanya penyumbatan
formasi dan lemah terhadap serangan bakteri. Problem penyumbatan
formasi dapat diperbaiki dengan filtrasi atau proses penambahan dan
baktericides dapat untuk mencegah degradasi oleh bakteri. Temperature
yang cocok untuk xanthan gum adalah 160 oF.

3.6.3. Mekanisme Injeksi Micellar-Polimer


Percampuran antara surfaktan dengan minyak akan membentuk emulsi yang
akan mengurangi tekanan kapiler. Pada injeksi micellar-polimer, kita tidak perlu
menginjeksikan zat kimia secara menerus, tetapi diikuti dengan fluida pendorong
lainnya, yaitu air untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan air pendorong.
Skema injeksi micellar-polimer dapat dilihat pada Gambar 3.47.

Chase Mobility Pre-


Taper Slug
Water Buffer Flush

Gambar 3.47
Skema Injeksi Surfaktan (Micellar) – Polimer
(Lake, Lary W., “Enhanced Oil Recovery”, 1989)

Secara garis besar injeksi micellar-polimer terdiri dari :


 Chase water
Digunakan sebagai tenaga pendorong fluida injeksi dari sumur injeksi ke sumur
produksi.
 Mobility Buffer Taper
Merupakan sejumlah air garam yang didalamnya mengandung polimer yang
berfungsi untuk mengkondisikan kandungan polimer dari konsentrasi mobility
buffer sampai dengan konsentrasi polimer sama dengan nol sebelum didorong
dengan chase water.
 Mobility Buffer (Polimer Slug)
Penggunaan polimer dalam injeksi surfaktan sebagai mobility buffer, yaitu
sebagai pengontrol mobilitas surfaktan dalam rangka efisiensi penyapuan dan
melindungi surfaktan dari fluida pendorong. Mobility buffer biasanya berupa
campuran dari 250-2500 gram/cm2 polimer, 0-1% alkohol, komposisi volume
stabilizer dan biocide berkisar antara 1-100% dari volume pori injeksi.
 Slug (Micellar solution)
Berupa surfaktan dan tambahan oil recovery agent yang berupa alkohol (0-5%),
kosurfaktan (0-5%), minyak, dan polimer. Volume larutan berkisar antara
5-20% volume pori injeksi.
 Preflush
Merupakan larutan pembuka yang berupa air garam yang berfungsi
menurunkan salinitas air formasi, sehingga memungkinkan terjadinya
percampuran antara air formasi dengan surfaktan yang diinjeksikan. Volume
dari preflush berkisar 0-100% volume pori injeksi.
Larutan surfaktan yang diinjeksikan ke dalam reservoir akan bersinggungan
dengan permukaan gelembung minyak, surfaktan bekerja sebagai zat aktif
permukaan untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air.
Molekul surfaktan (RSO3H) terurai menjadi RSO3-3 dan H-2, ion RSO3- akan
bersinggungan dengan permukaan gelembung minyak dan akan membentuk ikatan
semakin kuat, gaya adhesi kecil sehingga terbentuk oil bank untuk didorong dan
diproduksikan.
Slug polimer yang diinjeksikan diantara slug fresh water adalah untuk
mengurangi kontak langsung dengan air reservoir yang mengandung garam. Air
garam menurunkan viskositas polimer. Jadi, injeksi polimer tidak menurunkan
saturasi minyak sisa, tetapi memperbaiki perolehan minyak yang lebih dari injeksi
air dengan menaikkan volume reservoir yang berhubungan.
3.7. Injeksi Alkaline-Surfactant-Polymer (ASP Flooding)
3.7.1. Bahan Kimia Injeksi ASP.
Bahan-bahan yang digunakan untuk injeksi ASP antara lain :
a. Alkaline
Jenis alkaline yang paling sering digunakan dalam injeksi ASP yaitu Sodium
Hydroxide (NaOH). Namun jenis Sodium Carbonate (Na2CO3) juga biasa
digunakan dalam injeksi ini.
b. Surfaktan
Beberapa jenis surfaktan yang digunakan dalam injeksi ASP antara lain :
 Alkyl Benzene Sulfonates
 Petroleum Sulfonates
 Lignosulfonates
 Petroleum Carboxylates
 Biologically Produced Surfactants.
c. Polimer
Dalam injeksi ASP, jenis polimer yang digunakan yaitu Hydrolyzed
Polycrymide (HPAM). Beberapa polimer dengan berat molekul yang berbeda
juga digunakan sebagai preflush, ASP Slug, dan Diving Slug.

3.7.2. Mekanisme Injeksi ASP


Mekanisme injeksi ASP sangat kompleks serta membutuhkan biaya tidak
sedikit. Injeksi ASP mirip dengan injeksi kimia lainnya. Bedanya adalah sebagian
besar surfaktan diganti dengan alkalin karena alasan ekonomis.
Mekanisme yang terjadi dalam injeksi ASP adalah :
 Menurunkan tegangan antar muka (IFT) antara minyak dengan air.
 Emulsifikasi antara minyak dan air.
 Wettability alteration.
 Perbaikan harga mobilitas.
3.7.3. Performa Reservoir Setelah Injeksi ASP
Performa reservoir setelah injeksi ASP tergantung pada karakteristik
reservoir tersebut yang lebih sesuai atau tepat untuk pelaksanaan injeksi ASP. Namun
dari data-data yang diperoleh dari keberhasilan injeksi ASP pada sumur-sumur
produksi yang telah dilakukan dapat diambil performance reservoir setelah injeksi
ASP. Injeksi ASP dapat meningkatkan perolehan minyak sebesar 18,2% - 39,5% dari
harga Original Oil in Place (OOIP). (W. Nofal, 1996).

Anda mungkin juga menyukai