Anda di halaman 1dari 19

UJIAN AKHIR SEMESTER

MITIGASI BENCANA
GEOHIDROMETEOROLOGI

MANAJEMEN RISIKO BENCANA

Oleh:
CIPTA ESTRI SEKARRINI
NIM. 17198021

Dosen Pembimbing:
Dr. Dedi Hermon, MP

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. atas


karunia yang dilimpahkan sebagai sumber dari segala solusi dan rahmat yang
dicurahkan sebagai peneguh hati dan penguat niat sampai akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah Mitigasi Bencana Geohidrometeorologi dengan pokok
bahasannya “Manajemen Risiko Bencana”. Salawat beriring salam kepada Nabi
Muhammad SAW. sebagai pelopor kemajuan seluruh umat di muka bumi.
Makalah kelompok ini merupakan salah satu tugas untuk menyelesaikan
mata kuliah Mitigasi Bencana Geohidrometeorologi. Kami tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman anggota
kelompok, sehingga dengan bantuan dan kerja sama kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari kesalahan,
selayaknya kami hanya manusia yang tak terlepas dari kesempurnaan. Untuk itu
kami mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca agar dapat lebih sempurna
dalam pembuatan makalah dimasa yang akan datang.

Padang, April 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan ..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Bencana................................................................................................... 3
B. Manajemen Risiko Bencana..................................................................... 5
C. Tahapan-tahapan Manajemen Bencana.................................................... 9
D. Sistem Manajemen Risiko Bencana di Indonesia..................................... 11
E. Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat................................... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran…......................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat diprediksi kapan
terjadinya dan dapat menimbulkan korban luka maupun jiwa, serta mengakibatkan
kerusakan dan kerugian. Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu bencana alam dan non alam Bencana alam terjadi disebabkan
oleh alam, seperti gempa bumi, tsunami gunung meletus, banjir, kekeringan,
puting beliung, tanah longsor dan sebagainya. Sedangkan bencana non alam
disebabkan oleh epidemi, wabah. dan sebagainya (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, 2012).
Indonesia sendiri memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan
demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh
faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan
imbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan
nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Pencegahan jauh lebih penting dari
pada penganggulangan karena itu upaya pencegahan akan memberikan dampak
positif berupa menekan seminim mungkin korban jiwa dan harta benda dari
kejadian bencana. (Subiyantoro, Iwan. 2010 : 63-66). Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bertambahnya pengalaman
manusia dalam menghadapi bencana, maka upaya penanggulangan bencana atau
disaster management yang mengarah pada pengurangan resiko bencana menjadi
semakin penting diperhatikan.
Bencana alam atau musibah yang menimpa di suatu negara dapat saja
datang secara tiba-tiba, sehingga masyarakat yang berada di lokasi musibah
bencana, tidak sempat melakukan antisipasi pencegahan terhadap musibah
tersebut. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di dalam jalur lingkaran
bencana gempa (ring of fire)., dimana jalur sepanjang 1.200 km dari Sabang
sampai Papua merupakan batas-batas tiga lempengan besar dunia yaitu :
lempengan Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik akan berpotensi memicu berbagai
kejadian bencana alam yang besar. Indonesia juga berada pada tiga sistem
pegunungan (Alpine Sunda, Circum Pasifik dan Circum Australia). Indonesia
memiliki lebih 500 gunung berapi di antaranya 128 statusnya masih aktif, dan
merupakan negara kepulauan karena 2/3 dari luas Indonesia adalah laut, memiliki
hampir 5.000 sungai besar dan kecil dan 30% diantaranya melintasi wilayah padat
penduduk.
Hadi Purnomo & Ronny Sugiantoro (th:hal) menyebutkan bahwa 87%
wilayah Indonesia adalah rawan bencana alam, sebanyak 383 kabupaten atau
kotamadya merupakan daerah rawan bencana alam dari 440 kabupaten atau
kotamadya di seluruh Indonesia. Selain itu kondisi Indonesia dengan jumlah
1
penduduk yang besar dan tidak merata, keanekaragaman suku, agama, adat
istiadat, budaya dan golongan menyebabkan Indonesia sangat rawan terhadap
bencana alam. Bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, gunung
meletus, tanah longsor, dan angin topan yang sering terjadi di Indonesia tentu
berdampak kehancuran, juga menyebabkan penderitaan dan kerugian baik bagi
masyarakat maupun negara. Dengan seringnya bencana alam yang terjadi di
Indonesia, untuk itu diperlukan manajemen risiko bencana (disaster risk
management) untuk penanganan bantuan terhadap bencana secara lebih baik dan
sistematis. Permasalahan yang timbul adalah masih banyaknya warga masyarakat
Indonesia yang belum mengetahui dan memahami tentang apa itu bencana,
bagaimana cara mengantisipasi dan mengatasi bencana, sehingga risiko yang
ditimbulkan akibat bencana tersebut seminimal mungkin, dan siapa yang
bertanggung jawab terhadap bencana tersebut.
Dalam menghadapi bencana yang sering terjadi di negara kita, pemerintah
beserta masyarakat telah berusaha meningkatkan perhatian dan kemampuan
terhadap upaya-upaya penanggulangan bencana. Kita semakin sadar akan
perlunya memiliki suatu sistem pengangulangan bencana yang komprehensif
secara nasional atau disaster management system. Upaya penganggulangan
bencana yang efektif dilakukan sejak dari prabencana, pada saat tanggap darurat
dan pasca bencana serta diperlukan teknologi yang tepat. Salah satu teknologi
yang diperlukan saat ini adalah teknologi informasi dan komunikasi (Maarif,
Syamsul. 2010 : 1-7).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu;
1. Apa yang dimaksud dengan bencana?
2. Bagaimana manajemen risiko bencana?
3. Bagaimana tahapan-tahapan manajemen bencana?
4. Bagaimana sistem manajemen risiko bencana di Indonesia?
5. Bagaimana manajemen risiko bencana berbasisi masyarakat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahi yang dimaksud dengan bencana.
2. Untuk mengemukakan manajemen risiko bencana.
3. Untuk mengemukakan tahapan-tahapan manajemen bencana.
4. Untuk mengemukakan sistem manajemen risiko bencana di Indonesia.
5. Untuk mengemukakan manajemen risiko bencana berbasisi
masyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Bencana
Bencana adalah suatu peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan manusia yang disebabkan karena faktor alam, faktor non alam, dan
faktor manusia.Kejadian tersebut menyebabkan timbulnya korban jiwa, manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). Bencana
adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau
penderitaan; kecelakaan; bahaya; dalam bahaya; dalam kecelakaan; gangguan;
godaan (Hasan, 2007). Bencana dapat terjadi di luar angkasa, setiap bencana
memiliki durasi yang berbeda dan terjadi secara mendadak (guncangan, wabah
penyakit, gempa bumi, konfilk). Bencana juga bisa terjadi karena adanya suatu
tekanan yang terjadi secara terus menerus, seperti kekeringan, degradasi sumber
daya alam,urbanisasi yang tidak terencana, perubahan iklim, ketidakstabilan
politik dan terjadi penurunan pada sector ekonomi(Twigg, 2015). Priambodo
(2009) menjelaskan bahwa bencana adalah kejadian yang terjadi secara alami,
buatan manusia atau campuran dari keduanya dimana kejadiannya tidak dapat
diprediksi atau terjadi tiba-tiba sehingga menimbulkan kerusakan dan dampak
yang besar terhadap kehidupan manusia.Masyarakat di Indonesia menganggap
bahwa bencana adalah suatu takdir atau kutukan atas dosa dan kesalahan yang
diperbuat oleh manusia, sehingga masyarakat menerima kejadian tersebut dan
tidak perlu dilakukan pencegahan atau penanggulangannya (Triutomo, Widjaja, &
Amri, 2007).
Bencana juga didefinisikan sebagai situasi dan kondisi yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat.Tergantung pada cakupannya, bencana ini bisa\ mengubah
pola kehidupan dari kondisi kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak,
menghilangkan harta benda dan jiwa manusia, merusak struktur sosial
masyarakat,serta menimbulkan lonjakan kebutuhan dasar ( Bakornas PBP).
Bencana merupakan setiap kejadian yang menyebabkan kerusakan,gangguan
ekologis,hilangnya nyawa manusia,atau memburuknya derajat kesehatan atau
pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan respons dari luar
masyarakat atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu yang memerlukan
respons dari luar masyarakat atau wilayah yang terkena (WHO,2001).Bencana
adalah situasi dan kondisi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tergantung
pada cakupannya, bencana ini bisa merubah pola kehidupan dari kondisi
kehidupan masyarakat yang normal menjadi rusak, menghilangkan harta benda
dan jiwa manusia, merusak struktur sosial masyarakat, serta menimbulkan
lonjakan kebutuhan dasar (BAKORNAS PBP).
Bencana adalah gangguan serius yang berdampak langsung terhadap hidup
suatu komunitas atau masyarakat seperti kerugian secara material, kerusakan
lingkungan dan kejadian bencana tersebut mempengaruhi kemampuan masyarakat
untuk mengatasi hal tersebut sesuai dengan sumber daya sendiri(Asian Disaster
Reduction, 2009).Fenomena bencana muncul karena adanya komponen pemicu
(trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) yang saling berkaitan
3
sehingga menyebabkan munculnya risiko terhadap komunitas dalam suatu
wilayah (United Nations Development Programme and Government of Indonesia ,
2012).
Klasifikasi bencana menurut Undang – Undang No.24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan, antara lain:
1. Bencana alam (natural disaster)
Bencana yang terjadi secara alamiah karena terjadinya perubahan kondisi
alam semesta. Misalnya bencana alam yang berhubungan dengan angin
(puting beliung, badai, topan), api (kebakaran dan letusan gunung api)
(Priambodo, 2009). Bencana alam akan mengganggu kehidupan
masyarakat, menghancurkan harapan masyarakat, menyebabkan kerugian
bagi masyarakat sehingga terjadi perubahan dalam kehidupan sosial serta
kehilangan mata pencaharian (Sukandarrumidi, 2010).
2. Bencana non alam
Kejadian yang biasanya disebabkan karena ulah tangan manusia sebagai
komponen sosial (Priambodo, 2009), sedangkan menurut Kodoatie dan
Syarief (2010) bencana non alam adalah bencana yang disebabkan karena
peristiwa nonalam, berupa kegagalan teknologi, kegagalan dalam segi
modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit .
3. Bencana komplek
Bencana yang terjadi karena adanya perpaduan antara bencana alam dan
non alam.Akibat dari bencana tersebut menimbulkan dampak negatif begi
kehidupan masyarakat.Misalnya, terjadi polusi lingkungan, epidemi
penyakit, kerusakan ekosistem, dan lain-lain.
Cakupan wilayah bencana menurut Efendi & Makhfuldi (2009), antara
lain:
1. Bencana lokal, bencana yang memberikan dampak pada wilayah
sekitarnya dan biasanya diakibatkan karena ulah manusia, seperti
kebakaran, ledakan, terorisme, kebocoran bahan kimia, dan lainnya.
2. Bencana regional, bencana yang memberikan dampak geografis secara
luas dan disebabkan karena faktor alam, seperti badai, banjir, letusan
gunung api, tornado, dan lainnya
Saat peristiwa bencana alam terjadi gambaran situasinya juga tidak jauh
berbeda dengan situasi perang. Kekacauan, kerusakan, kepanikan, korban
bergelimpangan, dan orang-orang berteriak, berlarian dan berupaya
menyelamatkan diri. Pada kondisi bencana yang terjadinya tidak mendadak,
masyarakat masih dapat mempersiapkan diri, namun suasana kegelisahan,
kesemrawutan dan kepanikan tetap nampak dengan jelas. Bencana alam yang
banyak terjadi di belahan dunia akan menyebabkan banyak kerusakan, kehancuran
dan korban jiwa, sehingga perjuangan untuk memberikan bantuan dari para
relawan, masyarakat maupun pemerintah tidak pernah berhenti, silih berganti
terjadi di mana-mana. Kondisi darurat (emergency) yang sangat gawat, bukan
hanya menyelamatkan nyawa korban, tetapi juga mempertaruhkan hidup para
relawan. Suasana yang mencekam di area bencana merupakan area perjuangan
baik bagi para relawan maupun para korban untuk berjauang tetap hidup atau
mati.
4
B. Manajemen Risiko Bencana
Manajemen risiko bencana (disaster risk management)adalah proses
pengelolaan yang sistematis dan terencana dalam penerapan strategi dan kebijakan
penanggulangan bencana dengan menekankan pada aspek-aspek pengurangan
risiko bencana. Perhatian utamanya adalah mencegah atau mengurangi dampak
bencana melalui serangkaian kegiatan dan tindakan pencegahan, mitigasi, dan
kesiapsiagaan. Tujuan umum dari manajemen risiko bencana adalah mengurangi
faktor-faktor yang mendasari munculnya risiko serta menciptakan kesiapsiagaan
terhadap bencana. Menurut Syarief dan Kondoatie (2006) mengutip Carter
(2001), Manajemen Risiko Bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu
ilmu pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan melakukan observasi
secara sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan
(measures), terkait dengan pencegahan (preventif), pengurangan
(mitigasi)persiapan, respon darurat dan pemulihan. Manajemen dalam bantuan
bencana merupakan hal-hal yang penting bagi Manajemen puncak yang meliputi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepemimpinan
(directing), pengorganisasian (coordinating) dan pengendalian (controlling).
Tujuan dari Manajemen Risiko Bencana di antaranya:
1. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun
jiwa yang dialami oleh perorangan atau masyarakat dan negara.
2. Mengurangi penderitaan korban bencana.
3. Mempercepat pemulihan.
4. Memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang
kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.
Manajemen risiko bencana terdapat tiga aspek yang menjadi perhatian,
yakni pencegahan bencana, mitigasi bencana, dan kesiapsiagaan bencana.
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana, sementara mitigasi
merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Kesiapsiagaan diartikan sebagai serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian
serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam kesiapiagaan ini
juga terdapat peringatan dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana
pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Proses sistematis manajemen
risiko bencana tersebut meliputi pengenalan dan pemantauan risiko bencana,
perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, pengembangan budaya sadar
bencana, peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana, serta
penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.
Manajemen risiko bencana meliputi pengaturan pemanfaatan ruang (pemetaan
daerah rawan), keteknikan (rekayasa teknis teradap infrastruktur), pendidikan dan
pemberdayaan, serta kesiapan secara kelembagaan.
Perspektif disaster disk management merupakan perkembangan dari cara
pandang lama terhadap bencana. Jika sebelumnya bencana dilihat sebagai sebagai
kejadian tiba-tiba yang tidak bisa diprediksi, yang mengakibatkan kerusakan
5
serius bagi masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu, kini bencana
dipandang sebagai sebuah fase dalam satu siklus kehidupan normal manusia yang
dipengaruhi dan mempengaruhi keseluruhan kehidupan itu sendiri. Bencana,
dengan demikian, bukan semata-mata dilihat sebagai kejadian mendadak yang
disebabkan oleh gejala alam, namun juga kejadian yang berlangsung secara
bertahap akibat salah urus manusia. Pembangunan diletakkan sebagai kondisi dan
konteks terjadinya bencana, karena itu penanganan bencana perlu diintegrasikan
sebagai proses yang teratur dan terarah untuk mencegah, mengurangi dampak,
serta mengantisipasi risiko bencana yang mungkin terjadi. Penanganan bencana
juga tidak lagi dipandang sebagai rangkaian tindakan yang terbatas pada keadaan
darurat, namun menjadi manajemen resiko sehingga dampak buruk dari suatu
kejadian bencana dapat dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Secara sederhana
dapat digambarkan bahwa manajemen risiko bencana meliputi hal-hal Sebelum
Bencana (yakni program-program pembangunan, penilaian risiko, pencegahan,
mitigasi kesiapsiagaan, dan peringatan dini), Tanggap Bencana (meliputi tindak
evakuasi, menyelamatkan manusia dan matapencaharian, bantuan darurat,
penghitungan kerusakan dan kerugian, dan Pasca Bencana (meliputi bantuan,
rekontruksi, pemulihan sosial ekonomi, kegiatan pembangunan, dan penilaian
risiko).
Menurut Agus Rahmat (2006:12) Manajemen Risiko Bencana merupakan
seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana,
pada sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus
Manajemen Risiko Bencana yang bertujuan antara lain:
1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang
2. Mengurangi penderitaan manusia.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak yang
berwenang mengenai risiko.
4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
sumber ekonomis lainnya.
Tahapan-tahapan atau fase-fase dalam bantuan bencana dikenal dengan
istilah siklus penanganan bencana (disaster management cycle). Siklus
manajemen bencana menggambarkan proses pengelolaan bencana yang pada
intinya merupakan tindakan pra bencana, menjelang bencana, saat bencana dan
pasca bencana, seperti terlihat pada tabel 1 berikut:

6
Memahami setiap tahapan dalam manajemen risiko bencana adalah hal
yang sangat penting. Efektifitas manajemen risiko bencana tidak hanya aktivitas
pada saat penanganan bantuan bencana saja, namun meliputi seluruh aktivitas
seperti dalam model 4 (empat) fase manajemen risiko bencana sebagai berikut:
1. Tahap preparedness pemerintah perlu menekankan pada keselamatan
jiwa masyarakat di lingkungan wilayah bencana. Praktek manajemen
risiko bencana secara terpadu dan komprehensif mutlak diperlukan. Pada
sisi lain, pemahaman bencana pada masyarakat merupakan bagian penting
pada fase ini. Dalam hal ini masyarakatperlu memahami response dan
tindakan mereka dalam peristiwa bencana tersebut.
2. Tahap mitigation manajemen risiko bencana bahwa kegiatan emergency
memfokuskan pada pengurangan akibat negatif bencana. Kunci response
selama masa mitigasi meliputi keputusan tentang pengembangan ekonomi,
kebijakan pemanfaatan lahan, perencanaan infrastruktur seperti jalan dan
fasilitas umum dan identifikasi penemuan sumber daya guna mendukung
investasi.
3. Tahap response sangat diperlukan koordinasi yang baik dari berbagai
pihak. Koordinasi memungkinkan pemberian bantuan kepada masyarakat
yang terkena bencana dapat diberikan secara cepat, tepat dan efektif.
4. Tahap recovery merupakan fase aktivitas penilaian dan rehabilitasi
kehancuran akibat bencana. Pada fase ini ditekankan pada proses
pendistribusian bantuan. Proses tersebut meliputi penentuan dan
monitoring bantuan pada masyarakat yang terkena bencana.
Keberhasilan manajemen risiko bencana tidak terlepas dari peran berbagai
pihak seperti, relawan, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau
Non Govermental Organization (NGO), pemerintah bahkan masyarakat dunia
internasional. Kerjasama berbagai pihak tersebut akan mempercepat
menanggulangi berbagai persoalan bencana dan meminimalkan dampak risiko
yang ditimbulkan akibat bencana secara cepat dan efektif, baik secara shorterm
maupun longterm di wilayah yang terkena musibah tersebut.
Keberhasilan penanggulangan sangat tergantung pada; Koordinasi LSM
atau NGO dengan para relawan maupun pemerintah dalam skenario
penanggulangan pasca bencana melalui kegiatan-kegiatan nyata bergantung
kepada orang-orang dan komunitas. Keterlibatan masyarakat merupakan hal yang
penting, karena kegiatan komunitas berakar sangat dalam pada masyarakat dan
budaya di sebuah wilayah. Mereka dapat menunjukkan kebutuhan dan prioritas
yang sesungguhnya atas masalah yang dihadapi, sehingga dapat memberikan
respon dan koreksi terhadap rencana yang akan dilaksanakan dalam
menanggulangi bencana. Keberadaan kegiatan komunitas mendorong masyarakat
untuk merespon keadaan darurat secara cepat, efisien, fair serta sumberdaya yang
ada dapat dimanfaatkan secara optimal dan efektif. Munculnya partisipasi
masyarakat, dalam grup-grup masyarakat, merupakan bentuk grup grassroot yang
berperan penting dalam sistem manajemen risiko bencana.
Safe community adalah keadaan aman dan sehat dalam seluruh siklus kehi
dupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia . Safe community
merupakan nilai hakiki kemanuasiaan dimana peran masyarakat (dari – oleh –
7
dan untuk masyaarakat) merupakan unsur utama yang didukung Pemerintah dan
seluruh unsur terkait. Pemerintah berperan sebagai fasilitator yang m emberday
akan seluruh masyarakat untuk menciptakan safe community. Namun dalam
penyelamatan nyawa (life and limb saving) yang merupakan situasi. Kritis
dan membutuhkan pertolongan segera pada saat masyarakat tak berdaya, hal
tersebut adalah tugas pemerintah atau secara teknis disebut sebagai kebutuhan
masyarakat (public goods). Safe community dapat terwujud di desa siaga, jika
pada aspek care yang terdiri atas kesiagaan (community preparedness),
pencegahan (prevention), dan upaya penanggulangan (mitigation) dikembangkan
secara lintas sektoral, seiring dengan aspek cure yang terdiri atas respons yang
cepat (quick respons) untuk life and limb saving serta rehabilitasi.
Berikut ini sistem manajemen risiko bencana di beberapa negara
1. Negara-negara Amerika Latin dan Karibia membentuk badan manajemen
risiko bencana nasional untuk mengkoordinasikan aktivitas yang
dilakukan dalam program kesiapsiagaan, pemulihan, response dan
rehabilitasi bencana. Organisasi semacam ini biasanya berada di bawah
naungan Departemen Pertahanan atau Departemen Dalam Negeri, atau
Departemen yang setaraf dengan kapasitas nasional.
2. Di India, pada tingkat negara bagian Gujarat saja telah memiliki Gujarat
State Disaster Management Policy (GSDMP) yang dikeluarkan oleh
Gujarat State Disaster Management Authority. Regulasi ini mengatur
secara lengkap prinsip-prinsip penanganan bencana secara lengkap disertai
langkah-langkah penanganan sebelum bencana (predisaster phase),
selama bencana (impact phase), dan pasca bencana (post disaster phase).
Ini baru di tingkat negara bagian, belum di tingkat negara federalnya.
3. Afrika Selatan, republik yang baru sembuh dari diskriminasi rasial selama
berpuluh puluh tahun, juga memiliki kebijakan penanggulangan bencana
secara komprehansif yaitu Disaster Management Act 2002. Kebijakan ini
mengatur hubungan antar lembaga pemerintah (intergovermental
structures), hirarki penanganan mulai dari pusat (national disaster
management centre), tingkat propinsi (provincial disaster management
centre) hingga sampai tingkat kota/kabupaten (municipal disaster
mangement centre).
4. Pemerintah negara bagian Queensland, Australia juga memiliki
Department of Emergency Services. Departemen ini memiliki The
Disaster Management Act 2003, dan memiliki struktur hirarki mulai dari
State Government Agencies, District, hingga Local Disaster Management
Group.
5. Pemerintah Korea Selatan, yang semula memfokuskan emergency pada
penanggulangan bencana alam.
Oleh karena peristiwa bencana dahsyat yang dialami oleh Korea Selatan
pada Tahun 1990 yaitu bencana yang diakibatkan oleh perbuatan manusia, maka
isu kebijakan penanggulangan bencana di Korea Selatan di fokuskan pada
penanggulangan bencana akibat ulah manusia dari pada bencana alam.

8
C. Tahapan-tahapan Manajemen Bencana
Manajemen bencana adalah proses yang berkesinambungan dan terpadu
dimulai dari perencanaa, pengorganisasian, koordinasi dan langkah-langkah yang
perlu dilakukan antara lain: 1) Pencegahan dari bahaya atau ancaman bencana, 2)
Mitigasi atau pengurangan risiko bencana terhadap berbagai bencana, keparaham
dan konsekuensinya, 3) Peningkatan kapasitas, 4) Kesiapsiagaan terhadap
berbagai macam bencana, 5) Respon cepat terhadap situasi bencan maupun
bencana yang mengancam, 6) Menilai keparahan atau besarnya efek yang
ditimbulkan akibat bencana, 7) Evakuasi adalah prose penyelamatan dan
pemberian bantuan, dan 8) Rehabilitasi dan rekonstruksi (The DM Act, 2005).

Gambar 1. Siklus Manajemen Bencana (National Disaster Management Plan,


2016)
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 7 Tahun 2013,
tahapan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu:
1. Tahap prabencana
Tahapan awal suatu bencana atau warning phase, informasi tentang
keadaan lingkungan akan diperoleh dari badan meterologi cuaca. Pada fase
ini seluruh pihak berkontibusi secara langsung baik dari pemerintahan,
lembaga, dan masyarakat (Santamaria (1995) dalam Efendi & Makhfuldi
(2009). Kegiatan yang dilakukan saat tahapan prabencana antara lain: a)
Kesiapan, b) Peringatan Dini, dan 3) Mitigasi. Ketiga kegiatan tersebut
bertujuan untuk menciptakan lingkungan, manusia, administratif
(penyusunan tata ruang, perijinan, dan pelatihan), serta budaya yang siap
jika suatu saat terjadi bencana (Haryanto, 2012).
2. Tahap saat bencana
Fase ini adalah fase puncak terjadinya bencana, seluruh masyarakat
berusaha untuk menyelamatkan diri dan bertahan hidup (survive) untuk
memnuhi kebutuhan. Kejadian bencana akan terus berlangsung sehingga
terjadi kerusakan secara fisik maupun non fisik dan bantuan darurat segera
diberikan (Santamaria (1995) dalam Efendi&Makhfuldi (2009). Kegiatan
yang dilakukan saat terjadi bencana yaitu melakukan pengkajian secara
9
cepat dan tepat terhadap lokasi yang terdampak bencana, melakukan
evakuasi secara cepat terhadap korban serta kelompok rentan, menentukan
status keadaan darurat bencana, dan pemulihan segera terkait sarana dan
prasarana (Muhammad, dkk. 2012).
3. Tahap pasca bencana
Fase ini adalah dimulainya proses perbaikan akibat bencana, masyarakat
kembali hidup normal dan beraktifitas untuk menumbuhkan kembali rasa
sosial antar masyarakat. Respon psikologis yang diterima masyarakat
pasca bencana adalah penolakan, marah, tawar-menawar, depresi, dan
penerimaan (Santamaria (1995) dalam Efendi&Makhfuldi (2009).Pada
pasca bencana peran pemerintah, organisasi masyarakat, dan warga yang
tidak terkena bencana sangat diperlukan dalam tahap pasca bencana,
terutama pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Proses rehabilitasi
menekanan pada pemulihan masyarakat yang terdampak bencana dan
lingkungan sekitar, sedangkan tahap rekonstruksi lebih menekanan pada
pembangun pada sektor ekonomi, sosial, sarana, prasarana, peningkatan
pelayanan, serta merancang bangunan yang tepat guna (Muhammad, dkk.
2012).
Pengurangan resiko bencana merupakan perubahan wujud paradigma
penanggulangan bencana secara konvensional menjadi pendekatan holistik, tidak
hanya menekankan pada aspek tanggap darurat namun secara keseluruhan
manajemen resiko.Tujuan dari penyelenggaraan penanggulangan bencana untuk
meminimalisir dampak buruk yang mungkin timbul yang dilaksanakan sebelum
bencana terjadi (Efendi & Makhfudli, 2009). Undang-Undang RI No. 2 Tahun
2007 Pasal 35 Ayat 1 Tentang Penanggulangan Bencana menerangkan bahwa
pengurangan risiko bencana adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam
situasi sedang tidak terjadi bencana.
Pengurangan risiko bencana upaya meminimalisir jumlah korban dan
kerusakan melalui perencanaan sesuai dengan langkah-langkah, prosedur, dan
aplikasi yang maksimal dalam menghadapi bencana (Benson (2009) dalam
Susanti, Sari, Milfayetty, Dirhamsyah (2014)). Pengurangan risiko bencana
(PRB) bertujuan untuk mengurangi permasalahan sosial-ekonomi yang akan
muncul setelah terjadi bencana, menangani bahaya-bahaya yang akan muncul, dan
memastkan bahwa kebijakan dan program yang diterapkan tidak akan menambah
maupun meningkatkan risiko (Twigg, 2015).Meminimalisir risiko yang
diakibatkan oleh bencana, dalam pengurangan risiko bencana masyarakat
berperan penting untuk membangun keamanan serta pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan ini disebut dengan
pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat (PRBBK) yang merupakan
internalisasi dari PRB (Paripurno (2006) dalam United Nations Development
Programme and Government of Indonesia , (2012)).
Komponen-komponen dalam proses pengurangan risiko bencana (PRB)
menurut UNISDR (2015), yaitu:

10
a. Kesadaran penilaian risiko, yang didalamnya terdapat analisis ancaman
serta analisis kapasitas dan kerentanan
b. Meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan, pelatihan, penelitian, dan
informasi Terdapat komitmen kebijakan dan kerangka kelembagaan,
seperti organisasi, kebijakan, legislasi dan aksi komunitas
c. Melakukan pengelolaan lingkungan, tata guna lahan, perencanaan
perkotaan, proteksi fasilitas-fasilitas sosial, penerapan ilmu dan teknologi
(penerapan ilmu dan teknologi dapat mengurangi risiko bencana gunung
api), kemitraan jejaring, dan instrumen keuangan
d. Peringatan dini sebagai alat prakiraan, sebaran peringatan, ukuran-ukuran
kesiapsiagaan, dan kapasitas respons
D. Sistem Manajemen Risiko Bencana di Indonesia
Pemerintah Indonesia secara resmi dan legal menangani pengelolaan
bencana dengan membentuk Badan Koordinasi Nasional (Bakornas). Tugas
Bakornas adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan, mengkoordinasikan
pelaksanaan serta memberikan standard dan pengarahan terhadap upaya
penanggulangan bencana. Bakornas menangani kordinasi upaya bantuan dan
penyelamatan darurat (emergency rilief and rescue) bekerjasama dengan Menteri
Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Menteri Sosial, Menteri Perhubungan, Militer,
pemda serta institusi swasta. Manajemen Risiko Bencana di Indonesia pada
tingkat nasional ditangani oleh Badan Koordinasi Nasional (BAKORNAS) atau
The National Management Agency. Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (Bakornas PB) merupakan wadah koordinasi antar departemen di tingkat
pusat. Organisasi ini di bentuk berdasarkan Perpres No. 83 Tahun 2005, yang
dipimpin oleh Wakil Presiden selaku Ketua, yang berada di bawah serta
bertanggung jawab langsung kepada Presiden.Penaggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) pada tingkat nasional, sedangkan pada
tingkat propinsi disebut Satuan Koordinasi Pelaksana Pengungsi (Satkorlak PBP).
Satkorlah PBP merupakan organisasi di tingkat propinsi yang dipimpin oleh
Gubernur, yang bertanggung jawab melakukan penanggulangan bencana di
wilayahnya. Adapun tugas utama Satkorlak PBP ini adalah mengkoordinasikan
upaya penanggulangan bencana sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan
oleh Bakornas PBP.
Penanganan bencana pada tingkat kabupaten atau kotamadya dilakukan
oleh Satuan Pelaksana (Satlak PBP), dan untuk pelasksanaan di lapangan
ditangani oleh Satuan Gegana (Satgana PBP). Satuan Pelaksana Pengungsi
(Satkorlak PBP). Satkorlah PBP merupakan organisasi di tingkat propinsi yang
dipimpin oleh Gubernur, yang bertanggung jawab melakukan penanggulangan
bencana di wilayahnya. Adapun tugas utama Satkorlak PBP ini adalah
mengkoordinasikan upaya penanggulangan bencana sesuai dengan kebijakan yang
telah ditetapkan oleh Bakornas PBP. Penanganan bencana pada tingkat kabupaten
atau kotamadya dilakukan oleh Satuan Pelaksana (Satlak PBP), dan untuk
pelasksanaan di lapangan ditangani oleh Satuan Gegana (Satgana PBP). Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) merupakan organisasi di tingkat
Kabupaten / kotamadya yang dipimpin oleh Bupati atau Walikota, yang
bertanggung jawab menyelenggarakan penanggulangan bencana di wilayahnya
11
dengan tetap memperhatikan kebijakan dan arahan tehnis dari Bakornas PB, di
samping menyelenggarakan pencatatan yang dilakukan oleh dinas-dinas terkait
dan secara periodik melaporkan serta mempertanggungjawabkan kegiatannya
kepada Bakornas melalui Satkorlak PBP. Undang-undang RI Nomor 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana menjelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan siklus bencana sebagaimana tersebut dalam tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Tahapan Dalam Bantuan Bencana

Lahirnya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan


peraturan pelaksana yang sudah dipersiapkan, diharapkan response terhadap
situasi bencana akan menjadi lebih cepat sehingga manajemen risiko bencana
menjadi lebih efektif. Pengelolaan manajemen risiko bencana yang efektif
memerlukan kombinasi empat konsep, yaitu atas semua bahaya, menyeluruh,
terpadu dan kesiapan masyarakat. Pendekatan terpadu pengelolaan bencana secara
efektif memerlukan kerjasama aktif dari berbagai pihak terkait. Artinya, semua
organisasi dengan tugasnya masingmasing bekerjasama dalam mengelola
bencana. Masyarakat yang terdiri dari masing-masing individu diharapkan selalu
waspada terhadap bahaya bencana dan tahu bagaimana cara melindungi dirinya,
keluarga rumah, dan harta bendanya dari bahaya bencana. Bila masing-masing
dapat melakukan tindakan perlindungan terhadap dampak bahaya bencana, tentu
dapat mengurangi ancaman bahaya bencana. Hal yang perlu diperhatikan adalah
fokus response pada aktivitas preparedness, migitation, response dan recovery
12
dapat dilakukan dengan baik, sehingga dampak peristiwa bencana akan lebih
dapat diminimalkan.
E. Manajemen Risiko Bencana Berbasis Masyarakat
Salah satu penyebab semakin parahnya dampak bencana adalah lemahnya
stategi penanggulangan bencana, terutama karena prosesnya yang berjalan dari
atas ke bawah (top-down) dan mengabaikan potensi sumberdaya masyarakat
setempat. Pengabagaian terhadap kapasitas masyarakat itu kadang juga
meningkatkan kerentanan asyarakat terhadap risiko bencana. Karena hal tersebut
di atas muncul manajemen risiko bencana berbasis masyarakat (community based
disaster risk management) yang pada dasarnya menegaskan bahwa program
manajemen risiko bencana perlu menggunakan pendekatan berbasis komunitas.
Dalam hal ini masyarakat diberi kesempatan kesempatan lebih luas dan peran
lebih aktif dalam manajemen risiko bencana. Ini berarti masyarakat dengan
tingkat kerentanan yang tinggi akan dilibatkan dalam perencanaan dan
pelaksanaan manajemen resiko bencana.
Pelibatan masyarakat dilaksanakan dari tindakan pencegahan, langkah-
langkah kesiap-siagaan, tindakan tanggap bencana, serta tindakan pemulihan
setelah terjadi bencana. Pendekatan ini percaya bahwa bahwa masyarakat yang
selalu waspada dan siap menghadapi resiko bahaya yang mungkin terjadi di
lingkungan mereka, cenderung lebih tahan banting, serta mampu meningkatkan
ketahanan diri mereka sendiri. Setiap individu, masyarakat akan terlibat aktif
dalam mengenali berbagai ancaman yang ada di wilayahnya, bagaimana
mengurangi ancaman atau bahaya dan kerentanan yang dimilki, serta
meningkatkan emampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman.
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah. Di balik
semberdaya alam yang melimpah, di dalamnya juga menyimpan potensi bencana
karena terletak di sirkum Pasifik dan sirkum Mediteranian. Adanya pergeseran
antara dua lempengan tersebut akan menimbulkan bencana alam. Bencana alam
akan menimbulkan berbagai dampak yang dapat mengganggu kelangsungan
hidup. Dampak bencana sangat banyak, meliputi kerugian ekonomi, fisik, sosial,
dan lingkungan. Kegiatan pemulihan atau recovery pascabencana memerlukan
dukungan dari semua pihak. Dukungan bisa dalam bentuk moril maupun materil.
Indonesia terkenal dengan perilaku gotong royong dalam berbagai hal.
Gotong royong pada dasarnya adalah proses sukarela berbagi ide,
pengorganisasian masyarakat, pengumpulan bahan, kontribusi keuangan, dan
memobilisasi tenaga untuk melaksanakan kegiatan sosial dan budaya
(Bintarto,1983). Gotong royong berakar pada budaya Jawa pedesaan dan mengacu
pada prinsip saling membantu antartetangga di masyarakat. Gotong royong
dijiwai dengan nilai-nilai seperti rasa hormat, tanggung jawab, solidaritas,
berbagi, penguatan, dan tepo seliro. Hal tersebut tersebut seperti tertuang dalam
Bhinneka Tunggal Ika. Gotong royong sangat berperan dalam kegiatan pemulihan
pascabencana. Gotong royong bisa melewati batas-batas birokrasi dan dapat
secara efektif serta efisien dalam menyelesaikan suatu keperlaun atau hajat.
Kegiatan gotong royong cukup membantu masyarakat terdampak bencana.
Gotong royong juga dirasa sangat penting dalam kebencanaan.

13
Penanggulangan bencana yang besar memerlukan anggaran yang besar
dan terkadang persediaan dari pemerintah bisa jadi kurang memadai. Melalui
kearifan lokal maka jiwa gotong royong perlu dibangkitkan untuk menghadapi
bencana. Potensi rawan bencana yang telah dideteksi oleh lembaga ilmiah
hendaknya diperkuat oleh jiwa gotong royong masyarakat untuk membuat
prasarana dan prosedur mitigasi dalam menghadapi bencana. Gotong royong
memerlukan komitmen dan pengalaman dalam hal manajemen menghadapi
bencana. Perencanaan dalam menghadapi bencana memerlukan kebijakan daerah
ddaalam menghadapi bencana alam yang kokoh. Selain dengan regulasi,
konsolidasi SDM, dan memompa jiwa gotong royong, juga dibutuhkan perangkat
tekonolog informasi. Dalam hal ini, teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG)
sangat berguna untuk membantu mengantisipasi bencana serta perencanaan yang
cepat dalam hal tanggap darurat saat terjadi bencana alam. Di negara maju, SIG
sering digunakan untuk mengatasi bencana polusi, potensi pergerakan tanah, dan
mencari wetland (lahan basah) untuk mengatasi bencana kekeringan. Pada
prinsipnya SIG adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang
memiliki informasi spasial atau bereferensi keruangan.
Rekonstruksi pascabencana memerlukan keterlibatan masyarakat secara
aktif karena selama ini masih belum maksimal ( Mawarni, 2010). Pemerintah
daerah masih lebih banyak mengacu pada pesanan pemberi bantuan/dana untuk
pembangunan fisik di wilayahnya, seperti rumah tinggal, rumah sakit, puskesmas,
dan tempat pelayanan publik lainnya. Akibatnya tidak sedikit bangunan fisik yang
dibangun pada pascabencan kurang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal
masyarakat sehingga diharapkan adanya partisipasi dari masyarakat dalam
rekonstruksi pascabencana, misalnya dalam bentuk gotong royong. Dan
sebenarnya sangat dimungkinkan masyarakat berpartisipasi aktif, meskipun solusi
tetap datang dari luar, mengingat budaya lokal yang menjunjung musyawarah dan
gotong royong. Penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui tiga tahap mulai
dari prabencana, saat bencana, dan pascabencana. Penanggulangan bencana dapat
memanfaatkan sumber daya manusia yang ada di daerah tersebut. Pada saat pra
bencana masyarakat akan mengantisipasi dengan memberikan peringatan tentang
bencana yang akan terjadi. Kemudian pada saat terjadi bencana masyarakat akan
saling membantu sama lain, dan masyarakat lainnya menyalurkan bantuan berupa
sandang, pangan dan papan. Adapun pada pascabencana mereka akan melakukan
gotong royong sehingga sumber daya manusia di suatu daerah tertentu berfungsi
dengan baik.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bencana alam atau musibah yang menimpa masyarakat dapat datang
secara tiba-tiba, sehingga masyarakat yang berada di lokasi musibah bencana,
tidak sempat melakukan antisipasi pencegahan terhadap musibah tersebut. 87%
wilayah Indonesia adalah rawan bencana alam, atau sebanayak 383 dari 440
kabupaten atau kotamadya merupakan daerah rawan bencana alam .Pemerintah
Indonesia secara resmi dan legal menangani pengelolaan bencana dengan
membentuk Badan Koordinasi Nasional (Bakornas) yang bertugas merumuskan
dan menetapkan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksanaan serta
memberikanstandard dan pengarahan terhadap upayapenanggulangan bencana di
Indonesia. Penanggulangan Bencana di Indonesia berdasarkan Undang-undang RI
Nomor 24 Tahun 2007 menjelaskan beberapa tahapan yang perlu diperhatikan
dalam penanganan bencana yaitu, Kesiapsiagaan (Preparedness), Mitigasi
(Mitigation), Tanggap darurat (Response), Rehabilitasi / pemulihan (
Rehabilitation / Recovery), dan Rekonstruksi (Reconstruction. Dalam penanganan
bencana di Indonesia diperlukan sinergi dan koordinasi dari berbagai pihak
misalnya, pemerintah, masyarakat, para relawan dan lembaga swadaya
masyarakat bahkan dengan masyarakat internasionnal.
B. Saran
Pemahaman penanggulangan terhadap bencana alam di Indonesia harus
terus menerus dan secara berkesinambungan di sosialisasikan kepada
masyarakat. Pemerintah dan atau instansi terkait serta para pemuka masyarakat
seyogyanya menciptakan suasana yang kondusif pada saat terjadi bencana seperti
sabar, ikhlas, dan tawakal dalam menghadapi bencana alam dan menghindari atau
mengurangi kepanikan masyarakat. Menciptakan kegotong-royongan dan bahu
membahu pada masyarakat yang terkena bencana alam terutama pada saat pasca
terjadinya bencana alam.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irawan, Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam, Fak
Pascasarjana Universitas Gajahmada, Yogyakarta, 2008.
Abraham, Jonathan, Disaster Management in Australia: The National Emergency
Management System, Emergency Medicine,2006.
Darmawi, Herman, Manajemen Risiko, Bumi Aksara, 2004 Departemen
Keserhatan RI, Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan
Akibat Bencana, 2007.
Kompas, Bencana Gempa dan Tsunani, 2006 Proyek Sphere, Piagam
Kemanusiaan dan Standar Minimal Dalam Response Bencana, Grasindo,
Jakarta, 2004
Purnomo, Hadi & Sugiantoro, Ronny, Manajemen Bencana, Media Pressindo,
Jakarta, 2010
Purnomo, Hadi & Utomo, Hargo, Keefektifan Kerjasama Antar Lembaga Dalam
Operasi Pemulihan Bencana , Studi Empiris di Yogyakarta dan Jateng,
Jurnal Ekonomi &
Bisnis, Fak. Ekonomi UGM, Yogyakarta, 2008
-----, Http://www.Google.com

16

Anda mungkin juga menyukai