Disusun Oleh :
Dian Pratiwi (1758011042)
Fitra Galih Nonasri (1718011021)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KASUS DILEMA ETIK
Bayi laki-laki kembar siam yang lahir dalam keadaan perut dan pinggul
menyatu dari pasangan suami istri Pak Agus berusia 47 tahun dan Ibu Mariah
berusia 37 tahun mengalami kondisi yang buruk. Salah satu dari kedua bayinya
berukuran lebih kecil, jantung dan paru-parunya tidak berkembang sempurna dan
tidak memiliki anus, sedangkan kembarannya dalam keadaan stabil. Dokter rumah
sakit tersebut bingung dalam memutuskan tindakan yang harus dilakukan, karena
dalam kondisi ini, bayi yang lebih kecil memiliki peluang hidup yang kecil. Bila
bayi yang berukuran lebih kecil dipertahankan, perburukan bisa terjadi pada bayi
yang stabil dan berisiko tidak dapat menyelamatkan keduanya. Namun bayi yang
lebih kecil juga tidak dapat dikorbankan karena bertentangan dengan kode etik
kedokteran di Indonesia. Hal itu sama saja melakukan euthanasia pada pasien yang
secara jelas tidak diperbolehkan untuk dilakukan di Indonesia.
Tim dokter RS Hasan Sadikin mengatakan baru pertama kali menemukan
kasus seperti ini, sehingga mereka harus berkonsultasi dengan Komite Etik Rumah
Sakit, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan juga ahli agama untuk mencari solusi atas
permasalahan tersebut agar tidak melanggar kode etik serta tidak bertentangan
dengan prinsip kemanusiaan. Selama masa konsultasi dan pencarian jalan keluar,
bayi kembar siam terus diberikan perawatan intensif untuk menghindari
perburukan-perburukan yang mungkin akan terjadi. Pengambilan keputusan untuk
kasus ini mengalami dilema dalam etik kedokteran. Bapak Agus dan Ibu Mariah
menyerahkan segala keputusan pada tim dokter untuk kebaikan anak kembarnya.
Dalam kasus ini, tim dokter mengalami dilema etik pada aspek beneficience,
non maleficience, dan justice. Pada aspek beneficience, dokter mengutamakan
keselamatan kedua nyawa bayi kembar siam dan berusaha agar kebaikan lebih
banyak dibandingkan dengan keburukannya. Kebaikan dalam hal ini adalah
mengusahakan kedua bayi untuk hidup meskipun keadaan salah satunya benar-
benar sudah kritis akibat kegagalan organ dan fungsi jantung serta paru-parunya
yang menurun. Di satu sisi, apabila salah satu bayi meninggal, maka akan
mempengaruhi bayi kembarannya. Namun, apabila mengorbankan salah satu bayi
untuk menyelamatkan bayi lainnya, hal tersebut bertentangan dengan kode etik
kedokteran dan hukum yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, dokter
memutuskan untuk melakukan diskusi terlebih dahulu kepada tim etik, IDI, dan
pemuka agama agar mendapatkan keputusan terbaik untuk pasien.
Pada aspek non maleficience, dokter tidak mengorbankan salah satu bayi
yang keadaannya kritis untuk menyelamatkan bayi lain yang kondisinya lebih
stabil. Dalam hal ini, dokter tidak melakukan euthanasia terhadap pasien, berarti
dokter menjunjung kaidah non maleficience. Selain itu, dokter mencegah pasien
dari bahaya dengan menjaga kestabilan kedua bayi dengan tidak mengorbankan
salah satunya (bayi yang kritis) karena akan berdampak pada keselamatan bayi yang
stabil. Berdasarkan pernyataan dari tim dokter yang telah menangani kasus kembar
siam di RSHS, mereka telah 3 kali berhasil melakukan operasi pemisahan bayi
kembar siam, 1 kali operasi bayi kembar siam tidak berhasil dipisahkan, dan 1 kali
kejadian operasi gagal atau meninggal. Melalui kompetensi dokter yang telah lebih
banyak berhasil dibandingkan gagal, dokter membuat keputusan terbaik untuk
mencegah bahaya apabila bayi kembar tersebut terus dibiarkan menyatu, yakni
dengan melakukan pemisahan.
Pada aspek justice, kedua bayi yang lahir dalam kondisi hidup diberikan hak
untuk hidup meskipun salah satunya memiliki peluang hidup yang lebih kecil.
Peluang hidup yang kecil dimiliki oleh bayi yang mengalami kegagalan fungsi
organ jantung dan paru-paru serta organ lain yang tidak dimiliki. Dokter
memberikan kesempatan yang sama pada kedua bayi untuk tetap dipelihara karena
dalam hal ini, kedua bayi dalam kedudukan yang sama pula. Hingga pada akhirnya
dokter RSHS memutuskan untuk melakukan operasi pemisahan bayi kembar siam
tersebut dengan mempertimbangkan aspek non maleficience yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh tim dokter untuk mengurangi penderitaan
pasien yang harus berbagi fungsi organ dalam jangka waktu tertentu.
Secara sistematis, dilema etik yang terjadi dapat dijelaskan menurut model
Murphy sebagai berikut :
1. Identifikasi masalah kesehatan
a. Pasien bayi kembar siam dalam keadaan pinggul dan perut menyatu lahir
normal dengan kondisi keduanya sama-sama hidup.
b. Kondisi bayi memiliki dua kepala, empat lengan, dua kaki, satu anus, dan
satu alat kelamin.
c. Salah satu bayi berukuran lebih kecil dengan fungsi jantung dan paru-paru
abnormal dan beberapa organ tidak dimiliki seperti anus dan alat kelamin,
serta dalam keadaan kritis.
d. Bayi lainnya dalam keadaan stabil.
8. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan
menggunakan informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan
berikutnya
Keputusan yang diambil haruslah sesuai dengan kode etik kedokteran dan
hukum di Indonesia. Selain itu, keputusan yang diambil juga harus atas
pertimbangan matang dari berbagai aspek etik sehingga dapat menguntungkan
pasien dan keluarga, namun tetap tidak mengorbankan tim dokter.
PEMBAHASAN
Suharti, Eni. 2017. KUHAP dan KUHP Cetakan Keenam Belas. Pasal 338 dan 344.
hlm 115-116. Jakarta : Sinar Grafika
Thompson, J.B. dan Thopson, H.O. 1981. Ethic in Nursing. Macmian Publ. Co
Nurulliah, Novianti. 2017 . Bayi Kembar Siam Gani dan Malik Meninggal Dunia.
https://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2017/11/21/bayi-kembar-
siam-gani-dan-malik-meninggal-dunia-414213. Bandung : Pikiran Rakyat.
Diakses pada 19 November 2019 pukul 15.38 WIB.