1. TORCH
a. Pendahuluaan
TORCH :Toxoplasma gondii (toxo), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes
Simplex Virus (HSV) and other diseases.
Infeksi TORCH ini sering menimbulkan berbagai masalah kesuburan (fertilitas),
Bersifat teratogenik dapat mengakibatkan kerusakan pada embrio. (mata,telinga,saraf
,kelainan otak, paru-paru, terganggunya fungsi motorik, hidrosepalus, dll)
skrining TORCH masih diperdebatkan keakuratannya. Skrining prenatal hanya
disarankan untuk mereka yang termasuk dalam kelompok berisiko tinggi, misalnya ibu
yang terinfeksi HIV.
Pemeriksaan diagnostik dilakukan dengan cara pengambilan sedikit air ketuban untuk
diperiksa di laboratorium. Hasilnya jauh lebih akurat dibanding dengan skrining berupa
pengambilan darah.
Saat ini pemanfaatan tindakan kordosentesis dan amniosentesis dengan panduan
ultrasonografi guna memperoleh darah janin ataupun cairan ketuban sebagai pendekatan
diagnostik
b. Serologi Diagnostik
IgM dapat terdeteksi sekitar seminggu setelah infeksi akut dan menetap selama
beberapa minggu atau bulan,
IgG bisa saja tidak muncul sampai beberapa minggu kemudian setelah angka IgM
meningkat.
Bila diduga terinfeksi tetapi nyatanya IgM negatif, diulang 4 minggu
◦ IgM tetap negatif, namun titer IgG naik 4 kali, terinfeksi.
◦ IgG tidak naik atau IgM negatif ,
◦ lebih baik dilanjutkan dengan pemeriksaan aviditas IgG :
. Aviditas IgG yang rendah menunjukkan adanya infeksi baru,
sementara aviditas IgG yang tinggi merupakan pertanda adanya kekebalan
lampau.
A. TOKSOPLASMA GONDII
a. Toxoplasmosis: merupakan penyakit infeksi yang menyerang binatang dan manusia
yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii.
Menginfeksi kira –kira 3500-4000 wanita hamil setahun.
10-60% akan menginfeksi bayi yang dikandungnya, (40-60%) akan mempunyai defek
yang konsisten akibat toxoplasmosis kronik.
Defek ini meliputi: khorioretinitis, hidrocephalus, ketulian dan retardasi mental.
Toxoplasma gondii
Fase intestinal: dalam tubuh kucing → Oosit
Fase ekstraintestinal: dalam hewan vertebrata / manusia
- Takhizoit (Sporosoit) -
Bradizoit (Kista)
Trimester I 25% 60 40
Trimester II 54% 30 70
+ - Infeksi Akut
B. RUBELA
Selama kehamilan, virus ini menjadi penyebab langsung kematian janin dan bahkan
yang paling penting malformasi kongenital berat.
Dianjurkan untuk melakukan vaksinasi, terutama pada wanita berusia subur.
A. Diagnosis
Konfirmasi infeksi rubela sulit dilakukan.
Gambaran klinisnya mirip dengan penyakit lain, dan sekitar seperempat dari infeksi
rubela bersifat subklinis walaupun terjadi viremia yang telah menginfeksi mudigah atau
janin.
Pemeriksaan Anti-rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis
infeksi akut pada kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan, infeksi pada janin semakin kecil
menyebabkan malformasi kongenital.
Rubela yang dialami pada tri semester pertama kehamilan 90% menyebabkan kebutaan,
tuli, kelainan jantung, keterbelakangan mental, bahkan keguguran.
Cacat rubela dijumpai pada semua bayi yang memperlihatkan tanda infeksi intrauterus
sebelum minggu ke-11,
Triwulan I ke bawah 30-50%;
Triwulan II 6,8%;
Triwulan III 5,3%.
C. Terapi
a) Wanita yang baru menderita atau menderita rubella dalam kehamilan triwulan I; dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan abortus buatan:
b). Terapi: tidak ada obat-obat pencegah rubella, hanya diberikan terapi simtomatis.
Penanganan: gamma globulin dan vaksin rubella
C. CYTOMEGALOVIRUS
Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel
membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu.
A. Penularan
Transmisi horisontal terjadi melalui “droplet infection” dan kontak dengan air ludah.
Transmisi vertikal penularan proses infeksi maternal ke janin. transplasenta.
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu infeksi primer.
(simtomatis ataupun asimtomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes)
infeksi laten.
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan, dan infeksi pada umur
kehamilan kurang sampai 16 minggu menyebabkan kerusakan serius.
B. DIAGNOSIS
Metode serologis diagnosa infeksi maternal primer dapat ditunjukkan dengan adanya
perubahan dari seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV)
Metode virologis, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan uji immuno
fluoresen.
Kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila didapatkan : Oligohidramnion,
Polihidramnion, Hidrops non imun, Asites janin, Gangguan pertumbuhan janin,
(Mikrosefali, hidrosefalus), MicroftalmiaEnsefalitis, kebutaan
Angka mortalitas di antara bayi yang terinfeksi secara kongenital ini dapat mencapai 20 –
30 %, dan lebih 90 % bayi yang berhasil hidup ternyata menderita retardasi mental,
gangguan pendengaran, gangguan perkembangan psikomotorik, epilepsy atau pun
gangguan sistern saraf pusat lainnya
C. TERAPI DAN KONSELING
Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi karena
pengobatan dengan anti virus (ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif serta
memuaskan.
Dengan demikian konseling, infeksi primer yang terjadi pada umur kehamilan 20
minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis prenatal dapat dipertimbangkan
terminasi kehamilan
D. HERPES
Berdasarkan perbedaan imunologi dapat dikenali 2 jenis herpes simpleks virus (HSV)
HSV tipe 1 (Non genital)
HSV tipe 2 (Genital) dan ditularkan melalui hubungan seksual.
Penularan pada anak secara:
a). hematogen via uri
b). dari vagina naik ke atas pada janin bila ketuban sudah pecah (dari herpes genitalis)
dan
c). kontak langsung.
A. Diagnosis
Penemuan virus dengan biakan jaringan merupakan konfirmasi paling optimal untuk
membuktikan infeksi klinis.
a. Pada Janin dan Neonatus
Janin hampir selalu terinfeksi oleh virus yang di keluarkan dari serviks atau saluran
genital bawah.
Virus menginvasi uterus setelah selaput ketuban pecah atau berkontak dengan janin saat
persalinan.
B. Penatalaksanaan Antepartum
Seksio sesarea diindikasikan pada wanita dengan lesi genital aktif.
Dengan demikian seksio sesarea dilakukan hanya apabila tampak lesi primer atau rekuren
saat mejelang persalinan atau saat selaput ketuban pecah.
2. Infeksi bakterial
A. Streptokokus grup B
Group Streptoccocus B (GBS) adalah penyebab dari infeksi kongenital yang bInfeksi rat
pada neonatus pada setiap 1000 kelahiran hidup atau 12.000 sampai 15.000 bayi setiap
tahunnya di Amerika. Ini menjadi penyebab korioamnionitis, post partum ,endometritis
dan sepsis pada ibu serta penyebab terpenting terjadinya asfiksia intra uterine.(5)
B. ISK
Escherecia coli merupakan bakteri penyebab ISK pada kehamilan (80-90% kasus).
Biasanya proses ISK tanpa gejala dan tanda yang spesifik, jika ada sistitis mulai timbul
gejala seperti nyeri di bawah perut dan susah kencing.
Keadan yang sangat serius apabila telah terjadi infeksi pada ginjal (pielonefritis), sering
dijumpai pada usia kehamilan 20 – 28 minggu, ditandai dengan gejala demam, lemah,
mengigil, nyeri pinggang, mual dan muntah.
Infeksi pada ginjal merupakan komplikasi ISK pada kehamilan dan menyebabkan
kelainan serius baik pada ibu maupun janin, seperti persalinan premature, anemia,
hipertensi dan preeklamsi
C. Bakterial vaginosis
a. Haemophilus vaginalis vaginitis
Etiologi : Haemophilus vaginalis, Gardnerella vaginalis, mycoplasma genitalis
Patogenesis : belum jelas
Bakterial vaginosis merupakan salah satu infeksi traktus urogenital yang paling sering.
Karakteristik bakterial vaginosis adalah terjadinya perubahan flora normal vagina yang
semula didominasi oleh laktobacilli digantikan oleh Gardnerella vaginalis, mycoplasma
genitalis dan bakteri batang gram negatif maupun kokus gram positif.
Dalam penegakan diagnosis bakterial vaginosis dikenal kriteria Amsel yaitu clue cell lebih dari
20%, discharge vagina homogen, peningkatan pH sekret vagina lebih sama dengan 4,7,
timbulnya bau amine pada penambahan KOH 10%
Komplikasi
Komplikasi atau akibat yang ditimbulkan oleh bekterial vaginosis : dengan partus
prematurus, infeksi intrauterine, endometriosis postpartum , penyakit radang panggul dan
infeksi setelah tindakan genikologik.
Penelitian terbaru mengatakan bahwa perubahan flora normal vagina meningkatkan
predisposisi terjadinya Sexual tranmitted disease dan infeksi HIV.
Terapi bakterial vaginosis
Terapi bakterial vaginosis yang ideal harus bisa menghambat pertumbuhan bakteri
anaerob tnapa menganggu pertumbuhan flora normal vagina. Terapi medikamentosa yang
sering digunakan ada 2 yaitu metronidazol dan clindamycin.
Metronidazol : penggunaan utamanya sebagai antiparasitik terhadap trichomonas
vaginalis, metronisazol juga mempunyai aktivitas melawan bakteri anaerob dan relatif
tidak mengganggu laktobacilli.
Virws Hrpatitis B (VHB)
Prevalensi pengidap VHB pada ibu hamil di Indonesia berkisar antara 1 - 5 oh14'15 di
mana keadaan ini bergantung pada prevalensi VHB di populasi.
Kehamilan sendiri tidak akan memperberat infeksi virus hepatitis, akan tetapi, jika
terjadi infeksi akut pada kehamilan bisa mengakibatkan ter;'adinya hepatitis fulminan
yang dapat menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi. Pada ibu dapat menimbulkan
abortus dan terjadinya perdarahan pascapersalinan karena adanya gangguan
pembekuan darah akibat gangguan fungsi hati. Pada bayi masalah yang serius umumnya
tidak terjadi pada masa neonatus, tetapi pada masa dewasa. Jika terjadi penularan
vertikal VHB, 60 - 90 % akan menjadi pengidap kronik VHB dan 30 % kemungkinan
akan menderita kanker hati atau sirosis hati sekitar 40 tahun kemudianl6. Jika penularan
VHB vertikal dapat dicegah, berarti mencegah terjadinya kanker hati secara primer dan
dapat ikut meningkatkan kualitas sumber daya manusia akan datang.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya penularan vertikal antara lain titer DNA-VHB
tinggi pada ibu (makin tinggi titer makin ringgi kemungkinan bayi tertular), terjadinya
infeksi akut pada kehamilan trimester ketiga, persalinan lama dan mutasi VHB. Kegagalan
vaksinasi yang menyebabkan bayi tertular 1.0 - 20 % disebabkan oleh mutasi
vHB1s,18.
VHB mudah menimbulkan infeksi nosokomial pada tenaga medik dan paramedik
melalui pertolongan persalinan atau operasi, karena tertusuk jarum suntik atau luka lecet,
temama pada pasien dengan HBsAg dan HBeAg positif. VHB lebih besar berpotensi
untuk menimbulkan infeksi nosokomial di rumah sakit dibandingkan HIV1e.
Pencegaban
. Kewaspadaan universal (uniaersal precaution)
Hindari hubungan seksual dan pemakaian alat atau bahan dari pengidap. VaksinasHB bagi
seluruh tenaga kesehatan sangat penting, rerutama yang sering telpapar dengan darah.
o Skrining HBsAg pada ibu hamil
Skrining HBsAg pada ibu hamil, terutama pada daerah di mana terdapat prevalensi
tinggi.
o Imunisasi; Penularan dari ibu ke bayi sebagian besar dapat dicegah dengan imunisasi.
Pemerintah telah menaruh perhatian besar rerhadap penularan vertikal VHB dengan
membuat program pemberian vaksinasi HB bagi semua bayi yang lahir di fasilitas
pemerintah dengan dosis 5 mikrogram pada hari ke 0, umur 1, dan 6 bulan, tanpa
mengetahui bayi tersebut lahir dari ibu dengan HbsAg positif atau tidak.
Di samping global imunisasi sepeni disampaikan sebelumnya, selektif imunisasi dilakukan
pada bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, yaitu dengan pemberian
Hepatitis B ImmunoGlobulin (HBIG) + vaksin HB, vaksin mengandung pre 52 atau
pemakaian vaksin dengan dosis dewasa pada hari ke 0, 1 bulan, dan 2 bulanl6.
Penanganan Kebamilan dan Persalinan pada lbw pengidap VHB
Persalinan pengidap VHB tanpa infeksi akut tidak berbeda dengan penanganan persalinan
umumnya.
. Pada infeksi akut VHB dan adanya hepatitis fulminan persalinan pervaginam usahakan
dengan trauma sekecil mungkin dan rawat bersama dengan spesialis Penyakit
Dalam (spesialis Hepatologi). Gejala hepatitis fulminan antara lain sangat ikterik,
nyeri perut kanan atas, kesadaran menurun dan hasil periksaan urin; warna seperti
teh pekat, urobilin dan bilirubin positif, pada pemeriksaan darah selain urobilin dan
bilirubin positif SGOT dan SGPT sangat tinggi biasanya di atas 1.000.
. Pada ibu hamil dengan Viral Load tinggi dapat dipertimbangkan pemberian HBIG
atau lamirudin pada 1 - 2 bulan sebelum persalinan. Mengenai hal ini masih ada
beberapa pendapat yang menyatakan lamivudin tidak ada pengaruh pada bayi,
tetapi ada yang masih mengkhawatirkan pengaruh teratogenik obat tersebut.
. Persalinan sebaiknya jangan dibiarkan berlangsung lama, khususnyapada ibu dengan
HBsAg positif. \ilongzo menyatakan persalinan berlangsung lebih dari 9 jam, sedangkan
Surya1s menyatakan persalinan berlangsung lebih dari 16 iam, sudah meningkatkan
kemungkinan penularan VHB intrauterin. Persalinan pada ibu hamil dengan titer VHB tinggi
(3,5 pglml) atau HBsAg positif, lebih baik seksio sesarea.
Demikian juga jika persalinan yang lebih dari 16 jam pada pasien pengidap HBsAg
Positifts.
. Menyusui bayi, tidak merupakan masalah. Pada penelitian telah dibuktikan bahwa
penularan melalui saluran cerna membutuhkan titer virus yang .iauh lebih tinggi daripada
penularan parentera
INFEKSI MALARIA
Malaria merupakan salah satu penyakit re-emerging yang masih menjadi ancaman dan
sering menimbulkan wabah. Angka kejadian infeksi malaria masih tinggi teruuma di
Kawasan Timur Indonesia seperri Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara.
dan Sulawesi Utara.
Terdapat 4 jenis spesies Plasmodium pada manusia; P. Falsiparum, P. Vivaks, P.
Ovale, dan P. Malariae. Yang banyak ditemukan di Indonesia ialah P. Falsiparum dan
P. Vivaks46'4e.
Pada kehamilan, malaria adalah penyakit infeksi yang merupakan gabungan antara
masalah obstetrik, sosial, dan kesehatan masyarakat dengan pemecahan multidimensi
dan multidisiplin. Morbiditas dan mortalitas ibu hamil yang menderira malaria tinggi,
temtama pada primigravida, akan menimbulkan anemia dan mortalitas perinatal yang
dnggi. Infeksi akan lebih berat jika disebabkan P. Falsiparum dan P. Vivaks. Selain itu,
komplikasi yang ditimbulkannya berbeda pada daerah hiperendemik atau endemik
rendah (bigh or low transmission).
Ibu yang non-immune kemungkinan mengalami komplikasi lebih besar. Sementara
itu, untuk ibu yang semi-imrnune komplikasi yang ter.iadi adalah terjadinya anemia dan
parasitemia pada plasenta, tetapi tidak sampai mengenai janin (angka kejadian malaria
neonatonrm adalah 0,03 "/"), tetapi dapat menyebabkan BBLR47.
Diagnosis Malaria
- Anamnesis
a. Demam, menggigil (dapat disertai mual, muntah diare, nyeri otot, dan pegal)
, Riwayat sakit malaria, tinggal di daera.h endemik malaria, minum obat malaria bulan
terakhir, transfusi darah.
Untuk tersangka malaria berat, dapat disertai satu dari gejala di bawah; gangguan
kesadaran, kelemahan umum, kejang, panas sangat tinggi, mata dan tubuh
kuning, perdarahan hidung, gusi, saluran cerna, muntah, warna urin seperti teh
tua, oliguria, pucat.
b. Pemeriksaan fisik; panas, pucat, splenomegali, hepatomegali
c. Pemeriksaan mikroskopik; sediaan darah (tetes tebal/tipis) untuk menentukan ada
tidaknya parasit malaria, spesies, dan kepadatan parasit.
Masalah infeksi malaria pada kehamilan
Infeksi malaria lebih mudah terjadi pada kehamilan jika dibandingkan dengan populasi
umum. Keadaan ini kemungkinan disebabkan oleh sistem imun dan imunitas
dapatan terhadap malaria pada ibu hamil menurun.
Pada kehamilan infeksi malaria ada tendensi atipik terutama pada trimester II yang
mungkin disebabkan oleh perubahan hormonal, sistem imun, dan hematologik.
Karena perubahan sistem imun dan hormonal, jumlah parasit 10 kali lebih tinggi
sehingga komplikasi P. Falsiparum lebih sering pada ibu hamil dibandingkan yang
tidak hamil.
Malaria karena P. Falsiparum pada kehamilan lebih serius dan mortalitas dua kali
lipat dibandingkan dengan perempuan tidak hamii (13 % berbanding 6,5 %).
Beberapa obat antimalaria kontraindikasi pada ibu hamil dan bisa mengakibatkan
komplikasi hebat, sehingga lebih sukar memilih obat.
Penanganan komplikasi yang timbul menjadi lebih sulit karena perubahan fisiologik
yang terjadi pada kehamilan.
Komplikasi
Terdapat tendensi bahwa komplikasi lebih sering terjadi pada kehamilan dan lebih berat.
Kompiikasi yang sering terjadi adalah:
Hipoglikemia: kadang-kadang diduga sebagai gejala klinik malaria karena takikardia,
berkeringat, dan pusing. Pada malaria karena P. Falsiparum terutama yang mendapat
obat kinina, kadar gula darah harus diperiksa setiap 4 - 6 jam. Hipoglikemia pada
ibu dapat menyebabkan terjadinya gawat janin tanpa diketahui penyebabnya.
Edem paru: lebih sering terjadi pada trimester II atau III, tetapi bisa juga terjadi
segera pascapersalinan lebih mudah jika terdapat juga anemia. Kalau demikian, teriadi
mortalitas tinggi.
Anemia berat sering terjadi pada malaria dalam kehamilan. Anemia dengan kadar
hemoglobin kurang dariT g"h sebaiknya ditransfusi dengan "packed cells".
Risiko malaria terhadap janin
Terjadinya panas tinggi, fungsi plasentayang menurun, hipoglikemia, anemia, dan
lainnya menyebabkan mortaiitas prenatal dan neonatal 15 - 70 oh, terutama karena P.
Falsiparum dan P. Vivaks. Masalah yang bisa terjadi pada kehamilan adalah abortus,
prematuritas, lahir mati, insufisiensi plasenta, pertumbuhan janin terhambat, dan bayi
kecil masa kehamilan. Transmisi plasmodium melalui plasenta dikatakan dapat
menyebabkan kongenital malaria (< 5 %), dengan gejalaantara lain bayi panas, iritabel,
problem menpsui, hepatosplenomegali, dan kuning.
Penanganan malaria pada kehamilan
1.. Pengobatan pada malaria
2. Penanganan komplikasi
3. Penanganan persalinan
Pengobatan malaria pada kehamilan
Pengobatan malaria pada kehamilan harus cepar, tepar, dan hati-hati.
Pasien dengan dugaan malaria karena P. Falsiparum sebaiknya dirawat.
Periksa jenis plasmodium untuk memberi pengobatan yang repar.
Pemeriksaan: kesadaran, pucat, kuning, tensi, nadi, temperatur. darah lengkap, fungsi
hepar, fungsi ginjal, kadar gula, dan parasite count.
Pengawasan ketat keadaan ibu dan janin.
Pilih obat berdasarkan: berat ringannya penyakit, hindari obat yang merupakan
kontraindikasi, pilih dosis yang adekuat, beri cairan yang adekuat, perhatikan nutrisi
yang cukup kalori.