Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengendalian diri dan tindakan etis. Sifat-sifat yang dimiliki oleh orang yang memiliki
sifat-sifat kedewataan adalah sifat-sifat etis karena semua itu membawa orang pada
keserasian, kedamaian, dan kebahagiaan. Sifat-sifat rendah hati, tulus jujur, harmoni dan
sebagainya adalah sifat-sifat etis yang baik dan benar. Ini berarti orang harus menghindarkan
diri sifat-sifat keraksasaan. Usaha untuk dapat lepas dari sifat-sifat yang tidak baik ialah
dengan menguasai diri sendiri. Dengan menguasai indriya maka keinginan yang timbul dari
dirinya itu dapat diarahkan kepada tujuan-tujuan yang baik, yang membawa keselamatan
pada dirinya sendiri.
Etika adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama. Manusia adalah
homo socius yaitu makhluk berteman. Manusia tidak dapat hidup sendirian, manusia selalu
bersama-sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan
manusia hanya akan mempunyai arti, apabila manusia hidup bersama-sama dengan manusia
lainnya di dalam masyarakat.
Pengendalian diri, etika dan toleransi merupakan pencerminan kehidupan beragama
dengan kehidupan sesama baik manusia dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara bahkan pula dalam hubungan internasional antar bangsa-bangsa. Dengan
pengendalian diri seseorang mampu hidup berdampingan secara rukun yang tercermin dalam
etika atau tata laku sopan santun dalam pergaulan hidup.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja susunan dan isi kitab Slokantara ?
2. Bagaimana kecenderungan-kecenderungan sifat manusia itu ?
3. Apa itu pengendalian diri ?
4. Apa saja yang termasuk di dalam etika itu sendiri ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui susunan dan isi kitab Slokantara.
2. Untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan sifat manusia.
3. Untuk mengetahui tentang pengendalian diri.
4. Untuk mengetahui tentang etika.

1
1.4 Manfaat Penulisan
1. Agar pembaca memahami dan mengetahui tentang susunan dan isi kitab Slokantara.
2. Agar pembaca memahami dan mengetahui kecenderungan-kecenderungan sifat
manusia.
3. Agar pembaca memahami dan mengetahui tentang pengendalian diri.
4. Agar pembaca memahami dan mengetahui tentang etika.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Susunan dan Isi Kitab Slokantara


Susunan kitab ini serupa dengan kitab Wrhaspatitattwa. Sair-sairnya dalam bahasa
Sanskerta yang jumlahnya 84 buah disertakan salinan dalam bahasa Jawa Kuna. Namun
isinya berbedalah dengan kitab Wrhaspatitattwa itu. Bila kitab Wrhaspatitattwa pokoknya
adalah Siva tattwa, maka Slokantara menguraikan tentang etika, sasana, dana punia dan niti.
Banyak juga uraiannya menerangkan tentang ajaran karmaphala. Tentang ajaran-ajaran itu
tidak tersusun dengan sistematis namun antara syair yang satu dengan yang lain seringkali
menguraikan ajaran yang berlainan. Susunan ajaran yang demikian kita dapati juga dalam
kakawin Nitisastra. Materi yang diajarkannya banyak yang sama.

2.2 Kecenderungan-Kecenderungan Sifat Manusia


Dalam kitab Slokantara tidak ada uraian tentang triguna atau suri asuri sampad sebagai
kecenderungan-kecenderungan sifat manusia. Yang ada ialah lukisan sifat orang baik budi
dan buruk budi. Dengan lukisan itu orang mendapat pedoman untuk membedakan lebih jauh
akan perbedaan sifat orang baik budi dan buruk budi. Akhirnya dengan pedoman itu orang
diharapkan supaya memilih sifat orang baik budi. Syair Slokantara yang melukiskan sifat-
sifat baik itu ialah syair 31 sebagai berikut :
Nirdhano ‘pi narah sadhuh,
Karm nidyam na karayet,
Sardulaschinnapado ‘pi,
Trnam jatu na bhosayet,

Kalinganya, sang sadhu jana, sira sang wwang uttama janma yadyapi sira nirdhana,
kasyasiha tuwi, agaweha ta sira salah karya, salah idep, taha tan mangkana sang wwang
uttama janma, iwa padanya nihan, kadyangga ning sardula ngaranya macan, tugel
jarijinya, pisaningu ika mamangana dukut, nora juga mangkana prwrttinya, apan enget
ing pinangnganya, mangkana ling ning aji.
(S.t.31)
Terjemahan :
Demikianlah bahwa sang sadhujana, yaitu orang yang lahir dari keluarga baik-baik,
meskipun ia amat miskin menyedihkan, tetapi ia itu tidak akan mau mengerjakan dan

3
memikirkan yang jahat-jahat. Hal ini dapat dibandingkan seekor harimau, walaupun
cakarnya dipotong, tidak mungkin ia akan mau makan rumput, karena ia akan ingat apa
yang harus dimakannya atas dasar kodratnya.
Demikianlah ajaran kitab suci.

2.3 Pengendalian Diri


Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk melakukan yang tidak baik dan
tidak patut dilakukan. Untuk dapat mengendalikan diri seseorang hendaknya mengenal ajaran
tentang Viveka dan Viveka jnana. Yang dimaksud dengan Viveka adalah kemampaun untuk
membedakan yang baik dan buruk, salah dan benar. Yang baik belum tentu benar, sebaliknya
yang benar belum tentu baik dan selanjutnya dengan pengetahuan viveka ini seseorang akan
dapat mengendalikan dirinya, sebab diantara berbagai makhluk hidup dengan tegas
dinyatakan hanya manusialah yang memiliki pengetahuan itu, sebab oleh karena itu
menjelma sebagai penjelmaan utama bila dibandingkan dengan makhluk lain.
Dalam kitab Slokantara tidak ada kita jumpai ajaran pengendalian diri secara sistematis
seperti ajaran yoga. Itupun tidak ada uraian yang menyatakan bahwa indriya dan pikiranlah
sumber kegoncangan-kegoncangan dalam diri seseorang sehingga keduanya itu perlu
dikuasai dengan jalan mengendalikannya. Ayat 84 menyuguhkan uraian tentang tindakan
yang patut dilakukan bila seseorang ingin lepas dari kejatuhan ke dalam neraka. Uraian ini
sebagian menunjukkan sikap pengendalian diri sebagain lagi mengajarkan sifat-sifat etis.
Di bawah ini adalah kutipannya :
Nihan dasa paramartha, kawruhakcna de sang sewaka dharma, sang tumaki-taki
ambek awiratin, sang mahyun walwi manusajati, kang sangkaning luput ing papa
kawah, ya ta ulahakenikang dasa paramartha.
Ndyata, tapa, brata, samadh, santa, sanmata, karuna, karuni, upeksa, mudita, maitri.
Kramanya, tapa nga, ambek kawiratin, brata nga, anglongi saka wisaya ning
mahurip, Samadhi nga, mbhyasa atangi ng wengi, angitung sang hyang dharma,
santa nga, sabda tunggal tan lenok, sanmata nga, tunggal karep ira kewala ring
karahywan, deragawayaken, karuna nga, awales risasana ning mahurip, karuni nga,
asih ring sarwa tumuwuh mwah sakwehing sarwa sato, upeksa nga, wruh ing hala
hayu, ata mamarahi ring wong mudha, maring apekik mudita nga, ambek hayu
legeng budhi, tan purik yen pinuturan, maitri nga, aweh sabda rahayu ring sesana
ning mahurip.
(S.t.84)

4
Terjemahan :
Inilah dasa paramartha hendaknya dipahami oleh ia yang mengabdi pada dharma, ia
yang bersiap-siap untuk melaksanakan sifat kependetaan, yang ingin kembali
menjadi manusia, yang luput dari dosa kawah neraka, maka itulah dasar paramartha
hendaknya dilaksanakan.
Manakah itu ?
Tapa, brata, Samadhi, santa, sanmata, karuna, karuni, upeksa, mudita, maitri.
- Tapa artinya meninggalkan keduniawian.
- Brata artinya mengurangi kepentingan hidup.
- Samadhi artinya membiasakan diri bangun malam hari, merenung dharma.
- Santa artinya satunya kata tidak berbohong.
- Anmata artinya hanya satu yang diinginkannya yaitu berbuat kebajikan.
- Karuna artinya cinta kasih terhadap tumbuh-tumbuhan dan semua binatang.
- Upeksa artinya mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, kemudian
juga mengajar yang bodoh dan kepala orang yang tampan.
- Mudita artinya pikiran yang baik, senang dalam hati, tidak benci bila diberi
petunjuk.
- Maitri artinya menyampaikan kata-kata yang baik kepada sesama hidup.
Tapa, brata, samadhi adalah ajaran tentang pengendalian diri, yang pada dasarnya
uraiannya sesuai ajaran yoga. Bagian-bagian yang lain merupakan ajaran etika. Dari uraian-
uraian dalam tulisan ini menunjukkan bahwa ajaran pengendalian diri dan etika dalam ajaran
agama Hindu selalu jalin-menjalin satu dengan yang lain. Memang pengendalian diri itu tidak
mungkin dilaksanakan bila seseorang tidak berbudi baik. Budi baik hanya dapat dimiliki
orang dengan jalan melaksanakan ajaran etika.

2.4 Etika
Etika adalah bentuk pengendalian diri dalam pergaulan hidup bersama. Manusia adalah
homo socius yaitu makhluk berteman. Manusia tidak dapat hidup sendirian, manusia selalu
bersama-sama dengan orang lain. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan
manusia hanya akan mempunyai arti, apabila manusia hidup bersama-sama dengan manusia
lainnya di dalam masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup
menyendiri tanpa hubungan dan tanpa bergaul dengan sesame manusia lainnya. Hanya dalam
hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar. Hal ini ternyata bahwa sejak lahir
sampai meninggal manusia memerlukan bantuan dari orang lain untuk kesempurnaan

5
hidupnya. Bantuan tersebut tidak hanya berupa bantuan dalam memenuhi kebutuhan jasmani,
tetapi juga untuk kebutuhan rohani.
Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan dan
tanggapan-tanggapan emosional yang sngat penting artinya bagi pergaulan dan kelangsungan
hidup yang sehat. Semua kebutuhan ini hanya dapat diperoleh dalam hubungan dengan
manusia lain dalam masyarakat. Inilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Tidak ada
seorang pun dapat mengingkari hal ini, karena ternyata manusia baru dapat disebut manusia
dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dengan kesendiriannya. Dengan kehidupan
bersama manusia harus mengatur dirinya bertingkah laku. Tidak ada seorang pun boleh
berbuat seenak hatinya. Manusia harus menyesuaiakan dirinya dengan lingkungan, serta
tunduk kepada aturan bertingkah laku yang berlaku. Dengan demikian maka seseorang hanya
bebas berbuat dalam ikatan aturan tingkah laku yang baik. Aturan-aturan untuk bertingkah
laku yang baik disebut tata susila. Nama lainnya adalah etika. Bila etikad beretika masih
dalam tahap angan disebut budi baik dan bila diwujudkan dengan tindakan disebut budi
pekerti yang baik. Dalam etika seseorang dinilai dari tingkah lakunya, baikkah perbuatan
seseorang tersebut atau burukkah.
Dalam hubungan tingkah laku dapat dinilai pada tiga tingkatan. Tingkat pertama,
semasih dalam bentuk angan atau niat. Tingkat kedua, sudah berbentuk pekerti yaitu
perbuatan nyata. Tingkat ketiga, adalah akibat yang ditimbulkan oleh pekerti itu. Hasil
tersebut boleh jadi hasil baik, boleh jadi hasil buruk. Isi angan atau niat itulah yang
direalisasikan ke dalam suatu perbuatan. Dalam realisasinya dapat terjadi empat variable,
yaitu :
1. Tujuan baik, tetapi cara pencapaiannya tidak baik. Misalnya orang yang ingin
anaknya diterima menjadi murid sebuah sekolah. Tujuan baik tetapi dengan cara
menyogok guru sekolah itu.
2. Tujuan tidak baik, namun cara pencapaiannya baik. Perbuatan seperti ini banyak
sekali kita dapat temui dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang
tampaknya ramah, manis dan sebagainya guna dapat menipu orang lain.
3. Tujuan tidak baik, cara pencapaiannya pun tidak baik. Ini adalah praktek-
praktek penjahat, perampok dan sebagainya dalam mencapai tujuannha dengan
jalan-jalan kekerasan, misalnya dengan jalan membunuh, menganiaya dan
sebagainya.

6
4. Tujuan baik, cara pencapaiannya pun baik juga. Contohnya mau lulus ujian,
syaratnya adalah belajar dengan sungguh-sungguh, bukan dengan menyogok
panitia ujian.
Tentang ajaran etika dalam uraian ini disajikan uraian tentang :
1. Satya dan dharma
2. Catur paramitha
3. Sapta timira
4. Sangsarga
Uraian-uraian ini tidak hanya berdasarkan kitab Slokantara namun pula dari kitab
Sanghyang Kamahayanikang dan Nitisastra sehingga tampaknya sebagai perbandingan kecil
antara materi yang satu dengan yang lainnya.
Sebagai sudah kita ketahui butir-butir ajaran etika agama Hindu tersebar-sebar pada
beberapa kitab sehingga baik sekali bila dapat dihimpun dalam suatu tulisan yang teratur.
Karena itulah maka apa yang ada dalam kitab Slokantara sering juga terdapat dalam kitab
yang lain. Oleh karena itu, kadang-kadang komentar bahasa Kawinya kitab ini banyak
menyimpang dari teks Sanskertanya, maka dalam hal demikian disini hanya dikutip teks
Sanskertanya saja dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia, namun bila komentarnya
itu tidak jauh menyimpang dari teks Sanskertanya itu, maka seluruhnyalah yang dikutip.

7
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Sikap susila adalah usaha seseorang dalam mengendalikan diri, memilih yang baik dan
benar serta menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan salah. Usaha ini dapat tercermin
dari kemampuan seseorang mengendalikan diri dalam segala hal, baik dalam pikiran, berkata
maupun dalam bertindak. Seseorang yang dapat mengendalikan dirinya secara sempurna
akan mendapatkan pahala yang besar atau kebahagiaan lahir batin. Manusia harus dapat
mengadakan hubungan yang harmonis dengan orang lain. Karena manusia itu adalah
makhluk berteman. Artinya manusia tidak akan dapat hidup dengan sempurna tanpa manusia
lainnya di dalam masyarakat. Hal itu karena ternyata sejak kecil sampai meninggal manusia
memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Oleh karena itu, manusia
harus mengatur dirinya dalam bertingkah laku yang baik yang disebut tata susila. Tingkah
laku itu dapat dinilai dalam tiga tingkatan yaitu tingkat semasih dalam bentuk angan, sesudah
berbentuk pekerti dan akibat yang dapat ditimbulkan oleh pekerti tersebut.

3.2 Saran

8
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai