Bagi Bank Indonesia kedua aspek ini merupakan tuntutan yang harus dijawab dengan
profesionalisme dan integritas personalia yang tinggi. Dengan melihat tugas Bank Indonesia
yang diatur oleh undang-undang yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan mengawasi bank,
maka terdapat dua bidang yang harus ditangani oleh Bank Indonesia, yaitu kestabilan
moneter(monetery stability) dan kestabilan keuangan (financial stability); yang keduanya
saling terikat dan menunjang upaya mencapai kestabilan rupiah. Dengan demikian,
penyelenggaraan tugas Bank Indonesia di masa yang akan datang akan lebih diarahkan untuk
memelihara sinergi dalam mencapai kestabilan moneter dan kestabilan finansial. Kami sangat
menyadari akan pentingnya kredibilitas, yang tercermin dari tingginya kepercayaan
masyarakat pelaku usaha terhadap kompetensi Bank Indonesia, untuk dapat berhasil
mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut. Oleh karena itu, menjadi bank sentral yang
kredibel dan disegani merupakan visi Bank Indonesia di masa yang akan datang.
Undang-undang ini memberikan peluang lebih besar lagi kepada Bank Indonesia
untuk melakukan tugasnya secara profesional. Adanya independensi telah pula memberikan
jaminan bahwa profesionalisme Bank Indonesia tersebut dapat lebih difokuskan ke sasaran
yang diinginkan, tanpa dicampuri oleh kepentingan lain. Namun, di sisi lain Bank Indonesia
menyadari pula bahwa pelaksanaan independensi ini haruslah disertai pula dengan sikap yang
bertanggung jawab (accountability) yang didukung oleh keterbukaan (transparansi). Untuk
itu, Bank Indonesia telah pula mempersiapkan langkah-langkah pelaksanaan kebijakannya
yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh publik. Bank Indonesia
berkepentingan agar masyarakat memahami setiap kebijakan Bank Indonesia senantiasa
diarahkan demi kepentingan kestabilan perekonomian.
Di samping itu, secara internal pelaksanaan undang-undang tentang Bank Indonesia
ini perlu didukung oleh adanya individu-individu Anggota Dewan Gubernur dan pejabat
Bank Indonesia yang mampu bersikap mandiri, yang tidak dipengaruhi oleh pergantian
pemerintah. Kemandirian inidividu ini sangat dibutuhkan untuk menunjang kemandirian
Bank Indonesia dal penetapan kebijakan moneter. Untuk menjaga kemandirian ini pula
mekanisme penggantian dan pengangkatan Anggota Dewan Gubernur tidak dilakukan
sekaligus, tetapi secara berkala setiap tahunnya. Dengan demikian diharapkan Anggota
Dewan Gubernur tidak terafiliasi pada kepentingan politik tertentu, karena penggantian dan
pengangkatannya, setelah disetujui DPR, belum tentu dilakukan oleh presiden yang sama.
Suatu hal yang perlu diketengahkan dan ditekankan dalam pembahasan mengenai
independensi ini adalah bahwa di dalam pelaksanaan independensi tersebut perlu disadari
adanya interdependensi di antara berbagai lembaga. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pelaksanaan independensi Bank Indonesia dilakukan dalam suatu koridor pelaksanaan tugas
bersama-sama dengan lembaga lain, khususnya dengan otorita fiskal. Pelaksanaan tugas Bank
Indonesia yang independen akan kurang efektif apabila tidak diimbangi dengan pelaksanaan
kebijakan fiskal yang juga bertanggung jawab, berdisiplin dan transparan. Dalam hubungan
ini, visi Bank Indonesia berupa bank sentral yang kredibel dan disegani (respektabel) sangat
penting agar saran dan pendapat mengenai kewenangan Bank Indonesia dapat dipahami oleh
pemerintah. Undang-undang ini juga telah mengatur bentuk koordinasi antara Bank Indonesia
dengan instansi lain melalu kehadiran menteri lain dalam Rapat Dewan Gubernur, keharusan
Kabinet mengikutsertakan Gubernur Bank Indonesia dalam pembahasan-pembahasan yang
terkait dengan moneter, dan lain sebagainya.
Homeowner Bank
Third party
internediary
Loan
Loans Funding
Bonds
Investor
CD O7 MBS
Export Export
Production Production in
Production
Other sector
Employment income
Employment
Income
Housbold income
Housbold property
Regional incomes
Regional property
National incomes
National property
Indonesia merupakan negara yang masih sangat bergantung dengan aliran dana dari
investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para investor asing tersebut
menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat jatuhnya nilai mata uang kita. Aliran
dana asing yang tadinya akan digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk
menjalankan perusahaan-perusahaan hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang
pada ujungnya negara kembalilah yang harus menanggung utang perbankan dan perusahaan
swasta.
Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam sebagai penyelamat dalam krisis global
tahun 2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap PDB ( Product Domestic Brouto) cukup
menjadi penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2018 lalu. Di regional
Asia sendiri, indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari
krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa 'selamat'nya
Indonesia dari gempuran krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat
minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan
PDB yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura yang
rasio ekspornya mencapai 200% dan Malaysia mencapai 100%, sedangkan Indonesia sendiri
'terselamatkan' dengan hanya memiliki rasio ekspor 29%.
CHART TITLE
Indonesia Malaysia Philippines Thailand Singapore
0
2008 Q12009 Q22009 Q32089 Q42009
-2
-4
-6
-8
-10
c. Kondisi Moneter
Kondisi perbankan yang menjadi jantung perekonomian Indonesia saat ini memiliki
fundamental yang kuat. Hal itu tercermin dari angka rasio kredit bermasalah ( Non
Performimg Loan NPL), likuiditas, dan permodalan. NPL netto, setelah dikurangi provisi
hanya 1,42% jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan BI sebesar 5%.
Likuiditas perbankan saat ini juga masih memadai, tercermin dari rasio kredit terhadap
dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) yamg masih di bawah 80%. Ketatnya
likuiditas yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kelangkaan likuiditas yang ada
di industri, tetapi lebih karena faktor psikologis dan kepemilikan likuiditas yang tidak merata
antarbank. Banyak bank yang sebenarnya memiliki likuiditas berlebih, namun enggan
meminjamkan ke bank lain karena khawatir sulit mendapatkan likuiditas pada masa
mendatang.
Permodalan perbankan domestik saat ini juga cukup kuat. Ini tercermin dari rasio
kecukupan modal yang sebesar 17%, jauh di atas angka maksimum 8%. Fundamental yang
kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan fungsi intermediasi untuk
mendorong perekonomian.
Dalam hal kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan,
yakni 8,0% pada tahun 2006 dan 6,5% pada tahun 2007. Pada 2006-2007, inflasi berhasil
dikendalikan pada kisaran 6,6%. Hingga akhir September 2008, laju inflasi mencapai
10,47%, hal itu disebabkan kenaikan harga minyak dunia pada kisaran USD130 per barel
sehingga pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan harga
kebutuhan pokok naik. Namun, pemerintah berupaya untuk tetap mengendalikan laju inflasi.
Kebijakan fiskal dengan penerbitan SUN ( Surat Utang Negara) pada tahun 2005
mencapai Rp22.574,7 miliar dan menimgkat menjadi Rp35.985,5 miliar pada 2006. Selama
2006, melalui penerbitan SUN di pasar perdana domestik berhasil diserap dana sebesar
Rp42.578,6 miliar dan secara keseluruhan jumlah SUN yang beredar baik domestik maupun
internasional sampai akhir Desember 2006 telah mencapai Rp742.727,9 miliar.
2. Dampak negatif krisis global terhadap indonesia
Gelombang default (gagal bayar) di AS dan Eropa yang terjadi pada sekuritas yang
terkait dengan subprime mortgage AS, memunculkan krisis kepercayaan yang parah dipasar
keuangan global. Di tengah kerugian yang harus ditanggung oleh lembaga-lembaga akibat
penempatan ke subprime mortgage AS, perilaku menghindar (risk aversion) yang muncul
akibat krisis kepercayaan di antara pelaku pasar finansial akhirnya menciptakan kondisi
sangat ketat di pasar keuangan. Dampak krisis finansial di AS dan Eropa selanjutnya
menyebar keseluruh dunia, termasuk negara-negara emerging markets.
Financial
Risk Avertion Crisis
Flight to
Quality Defloration in
Decline in
U.S
U.S
Financial Economic
Condition Activity
Drag in Food
and Energy
Price
Decine in
Defloration in
World
World Financial
Economic
Condition
Activity
Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal asing dari
Indonesia khususnya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank
Indonesia). Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio mencatat
defisit sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV-2008, Selain itu, adanya
sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya pelepasan aset
finansial oleh investor asing dan membuat neraca finansial dan modal ikut menjadi defisit.
Semasa pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed exchange rate atau
sistem nilai tukar tetap. Tetapi pada pemerintahan berikutnya sampai sekarang, sistem yang
dianut telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem tukar mengembang.
Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand dipasar.
Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate dimana Bank Indonesia berkewajiban
menjaga rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual valas untuk menghadapi supply
dan demand yang berubah-ubah.
Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, terjadi ketetatan
likuiditas global, dengan demikian supply dolar relatif sangat menurun. Hal inilah yang
memberikan efek depresiasi terhadap rupiah. keketatan likuiditas global terjadi akibat
perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga likuiditasnya untuk berjaga jaga dari berbagai
resiko bisnis yang meningkat akibat krisis global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya
mencari dana talangan dalam membiayai defisit anggaran pemerintah. Rumah tangga
konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja guna mengantisipasi terhadap goncangan
yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas diperparah oleh sikap bank yang terlalu berhati-
hati dalam mengucurkan kreditnya dalam rangka meminimalisir terjadinya kredit macet.
Terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan II-2008 yakni hingga bulan
september 2008. hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditas dunia terutama minyak dan
pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan
pemerintah( administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun karena turunnya
harga komoditas internasional, pangan dan energi dunia.
Penyebabnya lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan pemerintah
menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan
dalam negeri yang relatif bagus, bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04%
deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi, dan jasa
keuangan. Keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspetasi implasi yang
sempat meningkat tajam pasca kenaikan harga BBM, secara keseluruhan,inflasi IHK pada
tahun 2008 11,06% sementara inflasi inti mencapai 8,29%
Kedua, kebijakan dalam sektor perbankan. Kebijakan tersebut diarahkan pada upaya
memperkuat ketahanan sistem perbankan, khusunya dalam upaya memperkuat ketahanan
sistem perbankan, khusunya dalam upaya persiapan implementasi Basel II. Basel II dibuat
berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal
yang bersifat lebih sensitif terhadap resiko (risk sensitive) serta memberikan insentif
terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan
cara penyesuaian persyaratan modal dengan perhitungan modal dari eksposur yang
disebabkan oleh dari resiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.
Seiring dengan semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008,
kebijakan perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan
domestik. Keketatan likuiditas yang yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan
mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas
pendanaan. Namun upaya tersebut tetap dilakukan BI dengan memperhatikan resiko yang
terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat.
Untuk itu, upaya menjaga ketersediaan pendanaan bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) sebagai bantalan perekonomian rakyat, juga sentiasa dicermati.
Dilihat dari faktor penyebabnya,krisis ekonomi global pada saat ini berbeda dengan
krisis ekonomi yang melanda indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu,yang mana pada
saat itu krisis ekonomi yang melanda indonesia lebih di sebabkan oleh ketidakmampuan
indonesia menyediakan alat pembayaran luar negeri,dan tidak kokohnya struktur
perekonomian indonesia,tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari faktor-
faktor yang terjadi di luar negeri,tetapi kalau kita tidak hati-hati dan waspada dalam
menyikapi permasalahan ini,tidak mustahil dampak krisis keuangan global pada tahun 2008
ini akan sama atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi
yang terjadi pada tahun 1998.
2) Peningkatan jumlah simpanan di bank yang di jamin oleh pemerintah dari Rp100
juta menjadi Rp2 milliar, untuk mengantisipasi rush akibat ke khawatiran masyarakat
terhadap keamanan simpanan nya di bank. Hal ini di lalukan dengan Pengeluaran Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu).
3) Peluasan jenis aset milik bank yang boleh di anggunkan kepada BI, yang tadinya
hanya meliputi asek kualitas tinggi ( SBI dan SUN), namun melalui perpu, aset yang dapat
dijaminkan di perluas dengan kredit lancar milik bank (ditunjukan untuk mengantisipasi
turunnya harga pasar SUN, Yang terlihat dengan naiknya yield), hal ini ditunjukan untuk
mempermudah bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh
jumlah dana yang cukup dari BI.
2) Penetaoan auto rejection sampai dengan 10% (batas atas dan batas bawah) dari
sebelnya sebesar 30% untuk mencegah lebih terburuknya indeks dan di sisi lain mencegah
terjadinya aksi profit taking yang berlebihan dari investor. (Walaupun sebenarnya kebijakan
ini, terutama untuk ketentuan batas atas, akan memperlambat pulihnya indeks/rebound).
3) Pencanangan program buyback oleh pemerintah dan BUMN yang diikuti dengan
pengendoran aturan buyback di bursa saham, yang bertujuan untuk menstabilkan pasar saham
serta mencegah dikuasainya aset negara oleh pihak-pihak asing dengan harga sangat murah.