Anda di halaman 1dari 17

2.

Independensi Bank Indonesia dalam Menetapkan Kebijakan Moneter


Di samping faktor efektivitas kebijakan, upaya stabilisasi dan reformasi ekonomi di
sektor moneter-perbankan juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kewenangan Bank Indonesia
dalam menetapkan kebijakan di maksud. Sebagaimana diketahui, sebelum berlakukannya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, landasan hukum bagi Bank
Indonesia sebagai bank sentral adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral. Dalam undang-undang yang lama ditetapkan bahwa dalam menjalankan tugasnya
Bank Indonesia mengacu pada kebijakan yang ditetapkan pemerintah yang perumusannya
dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal ini mencerminkan kekurangtegasan dalam pembagian
tugas dan tanggung jawab antara Bank Indonesia selaku bank sentral dengan pemerintah,
serta mencerminkan pula keterbatasan wewenang Bank Indonesia dalam menetapkan dan
melaksanakan kebijakan di bidang moneter dan perbankan. Terbatasnya kewenangan Bank
Indonesia tersebut berakibat pada kurang efektifnya langkah-langkah yang ditempuh oleh
Bank Indonesia dalam mengatasi krisis moneter yang berlangsung beberapa waktu lalu. Oleh
karena itu, timbul pemikiran untuk memberikan kewenangan yang lebih tegas kepada Bank
Indonesia dalam menjalankan fungsinya selaku otoritas moneter. Untuk itulah, sejak tanggal
17 Mei 1999 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 diganti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999.
Jiwa yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia ini adalah bahwa kestabilan moneter merupakan prasyarat mutlak bagi dapat
terlaksananya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, bahwa Bank Sentral perlu
diberi tugas dan tanggung jawab untuk menjaga kestabilan moneter tersebut, dan bahwa
tugas itu akan dapat terlaksana dengan baik hanya apabila Bank Sentral terbebas dari
campur tangan pihak-pihak lain, termasuk pemerintah. Pandangan atau jiwa tersebut
merupakan pandangan yang diyakini kebenarannya sejak lama di dalam ilmu ekonomi,
namun pelaksanannya di masa lalu banyak mengalami rintangan dari berbagai kepentingan
politik dan lainnya. Negara-negara yang menganut prinsip independensi bank sentral sejak
lama, seperti Amerika Serikat dan Jerman, telah membuktikan bahwa dengan independensi
tersebut mereka telah dapat menjaga kestabilan moneter dengan lebih baik. Dalam beberapa
tahun terakhir ini banyak negara, termasuk Indonesia, yang semakin menyadari pentingnya
independensi bank sentral, dan berhasil merumuskan undang-undang yang menjamin
independensi tersebut.
Bagi Indonesia, pengalaman masa lalu sebetulnya memberikan landasan yang sangat
kuat dan jelas bagi perlunya bank sentral yang independen. Pengalaman pertama adalah pada
waktu Orde Lama, di mana Pimpinan Bank Indonesia itu adalah Menteri Urusan Bank
Sentral, yang secara struktural harus melaksanakan program-program pemerintah. Pada
waktu pemerintah memerlukan dana yang besar untuk menutup anggaran yang defisit, Bank
Indonesia harus mencetak uang untuk itu dalam jumlah yang luar biasa banyaknya, dan
akibatnya sudah kita ketahui bersama. Pengalaman kedua, yang semakin menyadarkan kita
akan pentingnya kestabilan moneter dan perlunya independensi bank sentral untuk
mencapainya, adalah krisis yang baru saja kita alami. Kesadaran akan pentingnya kestabilan
yang muncul dari nuansa krisis ini akan selalu melekat dalam pengkajian mengenai undang-
undang ini. Walaupun nantinya, krisis yang kita alami ini akan berlalu, saya berharap bahwa
kita tidak boleh lupa akan rangkaian proses yang bermuara pada krisis yang kita alami.
Berbagai faktor yang menjadi pemicu krisis dapat terakumulasi selama bertahun-tahun tanpa
kita sadari, namun dampaknya dapat terjadi dengan sangat cepat dan dahsyat. Ini merupakan
pelajaran yang sangat berharga yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh lengah terhadap
munculnya faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 memang mengandung dua aspek penting
yang sejalan dengan apa yang diuraikan terdahulu. Aspek pertama adalah kebebasan atau
independensi yang diberikan kepada Bank Indonesia tanpa boleh dicampurtangani oleh
pemerintah atau pihak-pihak lainnya. Independensi yang diamanatkan undang-undang ini
merupakan upaya agar Bank Indonesia, sebagai penjaga gawang kestabilan perekonomian,
tetap fokus kepada upaya menjaga kestabilan rupiah dalam kondisi politik yang dapat
berubah.
Aspek kedua, tujuan Bank Indonesia yang lebih terfokus, yaitu mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Secara bersama-sama, aspek pertama dan aspek kedua, di
satu pihak bagi Bank Indonesia akan merupakan tuntutan yang demikian berat agar kestabilan
nilai rupiah dapat dipelihara secara terus-menerus dan di lain pihak dapat memberikan
harapan yang lebih baik bagi semua pihak, termasuk dunia usaha, bahwa kepastian iklim
usaha untuk masa-masa yang akan datang dapat lebih terjamin dengan stabilnya nilai rupiah.

Bagi Bank Indonesia kedua aspek ini merupakan tuntutan yang harus dijawab dengan
profesionalisme dan integritas personalia yang tinggi. Dengan melihat tugas Bank Indonesia
yang diatur oleh undang-undang yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan mengawasi bank,
maka terdapat dua bidang yang harus ditangani oleh Bank Indonesia, yaitu kestabilan
moneter(monetery stability) dan kestabilan keuangan (financial stability); yang keduanya
saling terikat dan menunjang upaya mencapai kestabilan rupiah. Dengan demikian,
penyelenggaraan tugas Bank Indonesia di masa yang akan datang akan lebih diarahkan untuk
memelihara sinergi dalam mencapai kestabilan moneter dan kestabilan finansial. Kami sangat
menyadari akan pentingnya kredibilitas, yang tercermin dari tingginya kepercayaan
masyarakat pelaku usaha terhadap kompetensi Bank Indonesia, untuk dapat berhasil
mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut. Oleh karena itu, menjadi bank sentral yang
kredibel dan disegani merupakan visi Bank Indonesia di masa yang akan datang.
Undang-undang ini memberikan peluang lebih besar lagi kepada Bank Indonesia
untuk melakukan tugasnya secara profesional. Adanya independensi telah pula memberikan
jaminan bahwa profesionalisme Bank Indonesia tersebut dapat lebih difokuskan ke sasaran
yang diinginkan, tanpa dicampuri oleh kepentingan lain. Namun, di sisi lain Bank Indonesia
menyadari pula bahwa pelaksanaan independensi ini haruslah disertai pula dengan sikap yang
bertanggung jawab (accountability) yang didukung oleh keterbukaan (transparansi). Untuk
itu, Bank Indonesia telah pula mempersiapkan langkah-langkah pelaksanaan kebijakannya
yang dapat dipertanggungjawabkan dan dimengerti oleh publik. Bank Indonesia
berkepentingan agar masyarakat memahami setiap kebijakan Bank Indonesia senantiasa
diarahkan demi kepentingan kestabilan perekonomian.
Di samping itu, secara internal pelaksanaan undang-undang tentang Bank Indonesia
ini perlu didukung oleh adanya individu-individu Anggota Dewan Gubernur dan pejabat
Bank Indonesia yang mampu bersikap mandiri, yang tidak dipengaruhi oleh pergantian
pemerintah. Kemandirian inidividu ini sangat dibutuhkan untuk menunjang kemandirian
Bank Indonesia dal penetapan kebijakan moneter. Untuk menjaga kemandirian ini pula
mekanisme penggantian dan pengangkatan Anggota Dewan Gubernur tidak dilakukan
sekaligus, tetapi secara berkala setiap tahunnya. Dengan demikian diharapkan Anggota
Dewan Gubernur tidak terafiliasi pada kepentingan politik tertentu, karena penggantian dan
pengangkatannya, setelah disetujui DPR, belum tentu dilakukan oleh presiden yang sama.
Suatu hal yang perlu diketengahkan dan ditekankan dalam pembahasan mengenai
independensi ini adalah bahwa di dalam pelaksanaan independensi tersebut perlu disadari
adanya interdependensi di antara berbagai lembaga. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pelaksanaan independensi Bank Indonesia dilakukan dalam suatu koridor pelaksanaan tugas
bersama-sama dengan lembaga lain, khususnya dengan otorita fiskal. Pelaksanaan tugas Bank
Indonesia yang independen akan kurang efektif apabila tidak diimbangi dengan pelaksanaan
kebijakan fiskal yang juga bertanggung jawab, berdisiplin dan transparan. Dalam hubungan
ini, visi Bank Indonesia berupa bank sentral yang kredibel dan disegani (respektabel) sangat
penting agar saran dan pendapat mengenai kewenangan Bank Indonesia dapat dipahami oleh
pemerintah. Undang-undang ini juga telah mengatur bentuk koordinasi antara Bank Indonesia
dengan instansi lain melalu kehadiran menteri lain dalam Rapat Dewan Gubernur, keharusan
Kabinet mengikutsertakan Gubernur Bank Indonesia dalam pembahasan-pembahasan yang
terkait dengan moneter, dan lain sebagainya.

D. Tantangan dan Pencapaian Makroekonomi Indonesia di Era Krisis


Global
Negara Amerika Serikat merupakan negara maju yang dikenal sebagai pusat
perekonomian di dunia. Amerika Serikat pun mencatat sejarah kelam dalam perekonomian
karena mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 yang diawali dengan kebangkrutan
Leman Brothers yang merupakan salah satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior
dan terbesar ke-4 di Amerika Serikat. Siapa yang menyangka suatu negara yang merupakan
tembol kapitalis dunia akan runtuh, celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan
cepat menyebar dan menjalar ke seluruh dunia.
Rakyat Amerika hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan pendapatan yang
diterimanya. Mereka hidup dalam utang, belanja dengan kartu kredit, dan kredit perumahan.
Akibatnya lembaga keuangan yang memberikan kredit tersebut bangkrut karena kehilangan
likuiditasnya, karena piutang perusahaan kepada para kreditor perumahan telah digadaikan
kepada lembaga pemberi pinjaman. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan tersebut harus
bangkrut karena tidak dapat membayar seluruh utang-utangnya yang mengalami jatuh tempo
pada saat yang bersamaan. Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut
mmegakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-perusahaan besar
tak sanggup bertahan seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs. Krisis tersebut terus
merambar ke sektor riil dan non-keuangan di seluruh dunia. Krisis keuangan di Amerika
Serikat pada awal dan pertengahan tahun 2008 telah menyebabkan menurunnya daya beli
masyarakat Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-
produk dari berbagai negara di seluruh dunia. Penurunan daua serap pasar itu menyebabkan
volume impor menurun drastis yang berarti menurunnya ekspor dari negara-negara produsen
berbagai produk yang selama ini dikonsumsi ataupun yang dibutuhkan oleh industri Amerika
Serikat. Oleh karena volume ekoni Amerika Serikat itu sangat besar, maka sudah tentu
dampaknya kepada semua negara pengekspor di seluruh dunia menjadi serius pula, terutama
negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.
Funding Funding

Homeowner Bank
Third party
internediary
Loan

Loans Funding

Bonds
Investor
CD O7 MBS

Gambar 12.8 Proses Mortgage Funding


Sumber: Federal Resource Baniat Chicago

Krisis global berdampak dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain


menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan
berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan
kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara
Mute secunatization
berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian,
dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun-tahun yang penuh tantangan bagi ekonomi
dunia. Pada kedua tahun tersebut
Loans sale pertumbuhan ekonomi dunia akan kenurun dari 4,9% pada
Funding
tahun 2007 menjadi 3,7% pada tahun 2008 dan 3,8% pada tahun 2009. Penurunan kegiatan
ekonomi dunia ini terutama disebabkan oleh akan melambatnya pertumbuhan ekonomi AS
dari 2,2% pada tahuj 2007 menjadi 0,5% pada tahun 2008 dan 0,6% pada tahun 2009. Pada
periode yang sama dan sebagai akibat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi AS,
pertumbuhan ekonomi di semua negara-negara lain juga akan menurun. Kelompok negara-
negara yang sudah maju akan menurun dari sebesar rata-rata 2,7% pada tahun 2007 menjadi
1,3% pada masing-masing tahun 2008 dan 2009. Kelompok negara-negara yang sedang
membangun turun dari 7.9% pada tahun 2007 menjadi sekitar 6,7% pada tahun berikutnya.
Suatu pola yang terlihat di sini adalah lebih besarnya tingkat penurunan yang terjadi pada
negara-negara yang sudah maju (sekitar 50%) daripada di negara-negara yang sedang
berkembang (hanya sekitar 15%). Terlihat dari perubahan pertumbuhan ekonomi tahun 2008
menunjukkan pertumbuhan ekonomi dunia sepertinya masih bergantung pada kondisi
perekonomian yang teerjadi di negara Adidaya Amerika Serikat (AS).
World demand

Export Export

Production Production in
Production
Other sector

Employment income
Employment

Income

Housbold income

Housbold property

Regional incomes

Regional property

National incomes

National property

Gambar 12.9 Transmisi Efek Krisis Ekonomi 2008/2009 Terhadap Perekonomian


Indonesia
Sumber: Tambunan (2010)

Indonesia merupakan negara yang masih sangat bergantung dengan aliran dana dari
investor asing, dengan adanya krisis global ini secara otomatis para investor asing tersebut
menarik dananya dari Indonesia. Hal ini yang berakibat jatuhnya nilai mata uang kita. Aliran
dana asing yang tadinya akan digunakan untuk pembangunan ekonomi dan untuk
menjalankan perusahaan-perusahaan hilang, banyak perusahaan menjadi tidak berdaya, yang
pada ujungnya negara kembalilah yang harus menanggung utang perbankan dan perusahaan
swasta.
Nilai ekspor Indonesia juga berperan dalam sebagai penyelamat dalam krisis global
tahun 2008 lalu. Kecilnya proporsi ekspor terhadap PDB ( Product Domestic Brouto) cukup
menjadi penyelamat dalam menghadapi krisis finansial di akhir tahun 2018 lalu. Di regional
Asia sendiri, indonesia merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dari
krisis tersebut dibandingkan negara lainnya. Beberapa pihak mengatakan bahwa 'selamat'nya
Indonesia dari gempuran krisis finansial yang berasal dari Amerika itu adalah berkat
minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Negara-negara yang memiliki rasio ekspor dengan
PDB yang tinggi mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif, seperti Singapura yang
rasio ekspornya mencapai 200% dan Malaysia mencapai 100%, sedangkan Indonesia sendiri
'terselamatkan' dengan hanya memiliki rasio ekspor 29%.

1. Kondisi Keuangan Indonesia Saat Terjadi Krisis Global


Fundamental ekonomi di indonesia saat ini cukup kuat dalam menghadapi efek domino
krisis keuangan global. Hal tersebut bisa dilihat dari beberapa indikator. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia meningkat dari 5,5% di tahun 2006 menjadi 6,3% pada tahun 2008.
Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak krisis tahun 1998. Ekonomi Indonesia masih
tumbuh sekitar 6,4% pada semester 1 2008 (yoy), dengan tiga sektor yang mengalami
pertumbuhan tinggi (qoq) adalah sektor pertanian 5,1%, sektor pengangkutan dan komunikasi
4,1% dan sektor listrik, gas dan air bersih 3,6%. Pertumbuhan tersebut didorong oleg
pertumbuhan konsumsi yang meningkat dari 3,2% pada tahun 2006 menjadi 5,0% pada tahun
2007 dan diprediksikan akan terus meningkat ditahun 2008 dan 2009. Demikian juga
pembentukan modal tetap bruto yang meningkat tajam dari 2,5% di tahun 2006 menaidi 9,2%
(2007).

CHART TITLE
Indonesia Malaysia Philippines Thailand Singapore

0
2008 Q12009 Q22009 Q32089 Q42009
-2

-4

-6

-8

-10

Gambar 12.10 Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara ASEAN 2008-2009


sumber: Diolah dari ASEAN statistics
Sementara itu, pengeluaran pemerintah menurun dari 9,6% menjadi 3,9%. Pertumbuhan
sektor pertanian meningkat dari 3,4% (2006) menjadi 3,5% (2007). Sektor ekonomi domestik
ini tetap kuat di tengah perlambatan perekonomian global. Indikator lain tampak dari
terkendalinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika (USD), laju inflasi yang relatif
terkendali, menurunnya suku bunga (BI Rate), dan penerimaan dalam negeri (pajak) terus
meningkat.
Secar regional, inflasi di negara-negara Asia juga merupakan gejolak global yang
hampir dialami oleh semua negara berkembang. Inflasi Indonesia YoY sekitar 12,14% pada
September 2008 yang lebih disebabkan oleh faktor seasonality yaitu Bulan Puasa dan
Lebaran di samping karena imported inflation, sedangkan inflasi tertinggi dialami oleh negara
Vietnam sekitar 27,90% dan diikuti Myanmar sekitar 21,40%. Ke depan inflasi Indonesia
akan terjaga dimana seiring dengan menurunnya goncangan ekonomi domestik dan
fundamental ekonomi Indonesia yang semakain kuat (Aksa, 2008).

a. Kondisi Pasar Modal


Masih berlanjutnya tekanan terhadap pasar keuangan global berimbas pada menurunnya
kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama Agustus 2008. Pada akhir Agustus
2008, IHSG ditutup pada level 2165,9 atau melemah 6,01% dibandingkan dengan bulan
sebelumnya. Pelemahan IHSG tersebut terutama disebabkan oleh gejolak eksternal yang
bersumber dari permasalahan di bursa global.
Dari sisi domestik, penurunan IHSG masih relatif tertahan dengan terjaganya faktor
fundamental emiten dan efektifnya peran komunikasi Bank Indonesia dalam meyakinkan
pasar. Sejalan dengan perkembangan risiko global yang cenderung meningkat, penurunan
IHSG juga merupakan dampak dari penyesuaian portofolio investor asing. Beberapa bursa
global bahkan mengalami pelemahan cukup signifikan sebagai dampak pengalihan dana
investor asing dari negara emerging markets. Hal itu dilakukan untuk mengurangi eksposure
aset berisiko dan kecenderungan ketatnya likuiditas global.
Dalam bursa domestik, perilaku penyesuaian portofolio tersebut tercermin pada tekanan
jual asing yang berlangsung hingga pekan pertana Agustus 2008. Namun, pada pekan kedua,
investor asing kembali membukukan net beli di pasar saham sebagai reaksi kondisi pasar
saham yang relatif undervalued. Pelemahan IHSG justru menjadi insentif bagi investor asing
untuk membukukan net beli di pasar saham. Investor asing mencatat net beli pada Agustus
2008 sebesar Rp 467 miliar atau naik dari posisi sebelumnya yang membukukan total net jual
sebesar Rp 895,4 miliar. Namun demikian, besarnya penarikan oleh investor asing
sebelumnya telah menyebabkan penurunan kapitalisasi asing menjadi Rp 667,7 triliun per
Agustus 2008 dari 790,8 triliun per Desember 2007 atau turun sebesar Rp 123 triliun. Secara
proporsional, kepemilikan asing pada Agustus 2008 juga menurun dan berada pada level
63,2% atau turun dari posisi Desember 2007 yang tercatat sebesar 66,3%.

b. Kondisi Sektor Riil


Akhir-akhir ini pendapatan riil per kapita meningkat dari Rp8.319.000 pada tahun 2006
menjadi Rp.8.725.000 pada tahun 2007. Di sektor ketenagakerjaan tingkat pengangguran
terbuka menurun dari 10,3% (10,9 juta orang) pada tahun 2006 menjadi 9,1% (10,0 juta
orang) pada tahun 2007. Jumlah penduduk miskin berkurang sebanyak 2,1 juta orang pada
tahun 2008.
Selain itu, terjadi peningkatan surplus neraca transaksi berjalan. Tercatat dari USD 10,6
miliar (2006) menjadi USD 11,0 miliar (2007). Peningkatan tersebut disebabkan adanya
kenaikan ekspor nonmigas sebesar 15,6% pada 2007. Meski demikian, ekspor migas masih
mengalami penurunan dari 13,3% (2006) menjadi 8,4% (2007). Salah satu penyebabnya
adalah turunnya tingkat lifting produksi kilang-kilang catat sebesar 66,3%.
Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Agustus 2008 mencapai USD 95,4 miliar
atau meningkat 29,9% dibanding periode yang sama tahun 2007. Adapun tujuan pasar ekspor
Indonesia telah semakin terdiversifiksi, sehingga peran Amerika Serikat dan Uni Eropa
semakain menurun. Oleh sebab itu, dampak langsumh dari krisis finansial di Amerika Serikat
tersebut belum begitu dirasakan. Untuk pasar Uni Eropa dan AS pangsa pasarnya turun,
sedangkan ke Asia, Jepang dan Singapura cukup stabil, namun Asia emerging countries
cenderung meningkat. Cadangan devisa Indonesia naik dari USD 42,6 miliar pada tahun 2006
menjadi USD 56,9 miliar pada 2007, bahkan pada Maret 2008 telah mencapai USD 60 miliar.

c. Kondisi Moneter
Kondisi perbankan yang menjadi jantung perekonomian Indonesia saat ini memiliki
fundamental yang kuat. Hal itu tercermin dari angka rasio kredit bermasalah ( Non
Performimg Loan NPL), likuiditas, dan permodalan. NPL netto, setelah dikurangi provisi
hanya 1,42% jauh di bawah batas maksimum yang ditetapkan BI sebesar 5%.
Likuiditas perbankan saat ini juga masih memadai, tercermin dari rasio kredit terhadap
dana pihak ketiga (Loan to Deposit Ratio/LDR) yamg masih di bawah 80%. Ketatnya
likuiditas yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kelangkaan likuiditas yang ada
di industri, tetapi lebih karena faktor psikologis dan kepemilikan likuiditas yang tidak merata
antarbank. Banyak bank yang sebenarnya memiliki likuiditas berlebih, namun enggan
meminjamkan ke bank lain karena khawatir sulit mendapatkan likuiditas pada masa
mendatang.
Permodalan perbankan domestik saat ini juga cukup kuat. Ini tercermin dari rasio
kecukupan modal yang sebesar 17%, jauh di atas angka maksimum 8%. Fundamental yang
kuat tersebut akan membuat perbankan tetap optimal melakukan fungsi intermediasi untuk
mendorong perekonomian.
Dalam hal kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan,
yakni 8,0% pada tahun 2006 dan 6,5% pada tahun 2007. Pada 2006-2007, inflasi berhasil
dikendalikan pada kisaran 6,6%. Hingga akhir September 2008, laju inflasi mencapai
10,47%, hal itu disebabkan kenaikan harga minyak dunia pada kisaran USD130 per barel
sehingga pemerintah melakukan pengurangan subsidi BBM yang mengakibatkan harga
kebutuhan pokok naik. Namun, pemerintah berupaya untuk tetap mengendalikan laju inflasi.
Kebijakan fiskal dengan penerbitan SUN ( Surat Utang Negara) pada tahun 2005
mencapai Rp22.574,7 miliar dan menimgkat menjadi Rp35.985,5 miliar pada 2006. Selama
2006, melalui penerbitan SUN di pasar perdana domestik berhasil diserap dana sebesar
Rp42.578,6 miliar dan secara keseluruhan jumlah SUN yang beredar baik domestik maupun
internasional sampai akhir Desember 2006 telah mencapai Rp742.727,9 miliar.
2. Dampak negatif krisis global terhadap indonesia
Gelombang default (gagal bayar) di AS dan Eropa yang terjadi pada sekuritas yang
terkait dengan subprime mortgage AS, memunculkan krisis kepercayaan yang parah dipasar
keuangan global. Di tengah kerugian yang harus ditanggung oleh lembaga-lembaga akibat
penempatan ke subprime mortgage AS, perilaku menghindar (risk aversion) yang muncul
akibat krisis kepercayaan di antara pelaku pasar finansial akhirnya menciptakan kondisi
sangat ketat di pasar keuangan. Dampak krisis finansial di AS dan Eropa selanjutnya
menyebar keseluruh dunia, termasuk negara-negara emerging markets.

Financial
Risk Avertion Crisis

Flight to
Quality Defloration in
Decline in
U.S
U.S
Financial Economic
Condition Activity
Drag in Food
and Energy
Price

Decine in
Defloration in
World
World Financial
Economic
Condition
Activity

Increase in Banking and Balance of


Capital Outflow Payment Crisis
Gambar 12.11 Skema Dampak Krisis ke Perekonomian Global

a. Kinerja Neraca Pembayaran yang menurun


Pada saat terjadi krisis global, negara adidaya Amerika serikat mengalami resensi
yang serius, sehingga terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang selanjutnya menggerus
daya beli masyarakat Amerika. Hal ini sangat memengaruhi negara-negara lain karna
Amerika serikat merupakan pangsa pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk
Indonesia. Penurunan daya beli masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan
impor dari Indonesia. Dengan demikian. ekspor Indonesiapun menurun. inilah yang
menyebabkan terjadinya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia
memperkirakan secara keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar US$ 2,2 miliar pada
tahun 2008.

Penyebab lain terjadinya defisit NPI adalah derasnya aliran keluar modal asing dari
Indonesia khususnya pada pasar SUN (Surat Utang Negara) dan SBI (Sertifikat Bank
Indonesia). Derasnya aliran modal keluar tersebut menyebabkan investasi portofolio mencatat
defisit sejak kuartal III-2008 dan terus meningkat pada kuartal IV-2008, Selain itu, adanya
sentimen negatif terhadap pasar keuangan global juga membuat terjadinya pelepasan aset
finansial oleh investor asing dan membuat neraca finansial dan modal ikut menjadi defisit.

b. Tekanan pada Nilai Tukar Rupiah


Secara umum, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil sampai pertengahan September
2008. Hal ini terutama disebabkan oleh kinerja transaksi berjalan yang masih mencatat
surplus serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati. Namun sejak pertengahan
September 2008, krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap
mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp 11.711,- per USD pada November 2008 yang
merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya rupiah berada di
posisi Rp 10.048,- per USD

Semasa pemerintahan Orde Baru, Indonesia menganut sistem fixed exchange rate atau
sistem nilai tukar tetap. Tetapi pada pemerintahan berikutnya sampai sekarang, sistem yang
dianut telah berubah menjadi sistem floating exchange rate atau sistem tukar mengembang.
Dengan sistem ini nilai tukar rupiah menjadi bergantung pada supply dan demand dipasar.
Hal ini berbeda dengan sistem fixed exchange rate dimana Bank Indonesia berkewajiban
menjaga rupiah konstan dengan aktif membeli dan menjual valas untuk menghadapi supply
dan demand yang berubah-ubah.

Pada masa krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, terjadi ketetatan
likuiditas global, dengan demikian supply dolar relatif sangat menurun. Hal inilah yang
memberikan efek depresiasi terhadap rupiah. keketatan likuiditas global terjadi akibat
perusahaan dan rumah tangga lebih menjaga likuiditasnya untuk berjaga jaga dari berbagai
resiko bisnis yang meningkat akibat krisis global. Hal ini yang menyebabkan sulitnya
mencari dana talangan dalam membiayai defisit anggaran pemerintah. Rumah tangga
konsumen pun mulai menahan diri untuk berbelanja guna mengantisipasi terhadap goncangan
yang mungkin terjadi. Keketatan likuiditas diperparah oleh sikap bank yang terlalu berhati-
hati dalam mengucurkan kreditnya dalam rangka meminimalisir terjadinya kredit macet.

Sebenarnya depresiasi rupiah menguntungkan kondisi dalam negeri, karna secara


teoritis akan meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Harga-harga produk dalam
negeri menjadi relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan harga harga produk sejenis
yang di impor dari negara lain. Dipasar negara tujuan ekspor Indonesia konsumen akan lebih
memilih produk dari Indonesia karna harganya lebih murah Kondisi ini menyebabkan ekspor
Indonesia meningkat. Namun hal itu tidak terjadi karna negara lain juga mengalami yang
sama seperti Indonesia dimana mata uangnya juga mengalami depresiasi. Krisis global
membuat daya beli masyarakat disetiap negara pada umumnya menurun. Sehingga depresiasi
tidak serta merta membuat ekspor Indonesia meningkat, bahkan ekspor justru turun.
Berdasarkan laporan BPS awal maret 2009 lalu, disebutkan bahwa nilai ekspor indonesia
pada januari 2009 hanya sebesar USD 7,15 miliar Angka ini turun 17,7% dibandingkan nilai
ekspor pada Desember 2008 sebesar USD 8,69 miliar. Bahkan, jika dibandingkan dengan
januari 2008 nilai penurunannya lebih besar lagi, yakni sebesar 36%

C. Dorongan pada Laju inflasi


Dorongan tersebut berasal dari lonjakan harga minyak dunia yang mendorong
dikeluarkannya kebijakan subsidi harga BBM. Tekanan inflasi makin tinggi akibat harga
komoditas global yang tinggi. Namun inflasi tersebut berangsur menurun di akhir tahun 2008
karna harga komoditas yang menurun dan penurunannya harga subsidi BBM.

Terjadi tekanan inflasi yang tinggi hingga triwulan II-2008 yakni hingga bulan
september 2008. hal ini dipicu oleh kenaikan harga komoditas dunia terutama minyak dan
pangan. Lonjakan harga tersebut berdampak pada kenaikan harga barang yang ditentukan
pemerintah( administered prices) seiring dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM bersubsidi. Setelah bulan September 2008, tingkat inflasi mulai turun karena turunnya
harga komoditas internasional, pangan dan energi dunia.

Penyebabnya lain dari terus menurunnya tingkat inflasi adalah kebijakan pemerintah
menurunkan harga BBM jenis solar dan premium pada Desember 2008, dan produksi pangan
dalam negeri yang relatif bagus, bahkan awal Desember 2008 terjadi deflasi sebesar 0,04%
deflasi tersebut terjadi karena menurunnya harga pada sektor transportasi, konsumsi, dan jasa
keuangan. Keberhasilan instansi terkait dalam memitigasi akselerasi ekspetasi implasi yang
sempat meningkat tajam pasca kenaikan harga BBM, secara keseluruhan,inflasi IHK pada
tahun 2008 11,06% sementara inflasi inti mencapai 8,29%

3. Kebijakan Bank Indonesia dalam Menghadapi Krisis Global


Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang mempunyai independensi dari
pemerintah mempunyai kewajiban menjaga stabilitas moneter serta mengeluarkan kebijakan-
kebijakan yang dapat meminimalisir dampak krisis global. Bank Indonesia telah menerapkan
beberaoa kebijakan.

Pertama, kebijakkan dalam sektor moneter, BI mengarahkan kebijakan pada


penurunan tekanan inflasi yang didorong oleh tingginya permintaan agregat dan dampak
lanjutan dari kenaikan harga BBM yang sempat mendorong inflasi mencapai 12,14% pada
bulan September 2008. Untuk mengantisipasi berlanjutnya tekanan inflasi, BI menaikan BI
rate dari 8% secara bertahap menjadi 9,5% pada Oktobee 2008. Dengan kebijakan moneter
tersebut ekspektasi inflasi masyarakat tidak terakselerasi lebih lanjut dan tahanan neraca
pembayaran dapat dikurangi.
Selanjutnya, memasuki triwulan II-2018, seiring dengan turunnya harga komoditas
dunia serta melambatnya permintaan agregat sebagai imbas dari krisis keuangan global, BI
memperkirakan tekanan inflasi ke depan menurun, sehimgga BI Rate pada Desember 2008
diturunkan sebesar 25 basis point (bps) menjadi 9,25 bps.

Kedua, kebijakan dalam sektor perbankan. Kebijakan tersebut diarahkan pada upaya
memperkuat ketahanan sistem perbankan, khusunya dalam upaya memperkuat ketahanan
sistem perbankan, khusunya dalam upaya persiapan implementasi Basel II. Basel II dibuat
berdasarkan struktur dasar the 1988 accord yang memberikan kerangka perhitungan modal
yang bersifat lebih sensitif terhadap resiko (risk sensitive) serta memberikan insentif
terhadap peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko di bank. Hal ini dicapai dengan
cara penyesuaian persyaratan modal dengan perhitungan modal dari eksposur yang
disebabkan oleh dari resiko dari kerugian akibat kegagalan operasional.

Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan. Dengan


menitik beratkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review
process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking
approach yang memungkinkan untuk melakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari
waktu ke waktu. Hal ini untuk dapat memastikan bahwa framework basel II dapat mengikuti
perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan perkembangan dalam manajemen
resiko. Kebijakan dalam sektor perbankan lainnya adalah meningkatkan kapasitas pelayanan
industri perbankan syariah. Sistem perbankan syariah terbukti lebih tahan pada hantaman
krisis. Sistem perbankan ini juga sudah dimnulai digiatkan oleh negara-negara non-Muslim
seperti Inggris, Italia, Hong Kong, Cina, Malaysia, dan Singapura. Bahkan menurut anggota
komite Ahli Bank Indonesia, perbankan syariah tetap stabil diaat krisis global berlangsung
dikarnakan perbankan syariah merupakan pilihan yang kompreshensif,progresif,dan
menguntungkan.

Seiring dengan semakin dalamnya tekanan krisis global, sejak semester II-2008,
kebijakan perbankan ditujukan pada upaya mengurangi imbas krisis global pada perbankan
domestik. Keketatan likuiditas yang yang terjadi akibat krisis disikapi BI dengan
mempermudah akses bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terhadap fasilitas
pendanaan. Namun upaya tersebut tetap dilakukan BI dengan memperhatikan resiko yang
terjadi pada perbankan nasional serta dampak yang lebih luas pada perekonomian rakyat.
Untuk itu, upaya menjaga ketersediaan pendanaan bagi sektor Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) sebagai bantalan perekonomian rakyat, juga sentiasa dicermati.

Terkait dengan kebijakan di sektor perbankan ini, BI telah mengeluarkan ketentuan-


ketentuan yang bertujuan untuk memberikan ruang bagi perbankan dalam menyalurkan kredit
dengan tetap memperhatikan unsur kehati-hatian dan kestabilan ekonomi secara umum.
Ketentuan-ketentuan tersebut mencakup beberapa hal seperti : memperpanjang transisi
penerapan Basel II untuk perhitungan beban modal risiko operasional, menyederhanakan tata
cara pembukuan kantor bank ( termasuk syariah), menyesuaikan bobot aset tertimbang
menurut risiko (ATMR) untuk kredit usaha kecil dengan skim penjaminan, menyesuaikan
tata cara penilaian kredit dalam jumlah tertentu, memberikan fasilitas transaksi USD
repurchase agreement (repo) bank kepada BI, dan mengurangi kewajiban pembentukan
penyisihan penghapusan aktiva non-produktif.

Selanjutnya ketentuan-ketentuan tersebut akan diikuti dengan langkah pengaturan


secara lebih mendalam, terkait dengan upaya peningkatan transparasi perbankan, penguatan
efektivitas manajemen risiko likuiditas, dan produk-produk derivatif perbankan. Dengan
demikian, diharapkan seluruh pelaku industri perbankan, baik bank umum konvensional
maupun syariah, akan memiliki ruangan yang cukup untuk menjalankan fungsi
intermediasinya tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko,
sebagai prioritas utama.

Ketiga, kebijakan di sektor pebayaran. Bank Indonesia turut berupaya mencegah


terjadinya guliran krisis global terhadap kelancaran sistem pembayaran nasional. Dalam
mencegah resiko sistemik dari risiko gagal bayar peserta yang cenderung meningkat pada
kondisi krisis dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, BI telah melakukan perubahan
jadwal settlement sitem pembayaran pada hari tertentu.

Kebijakan BI dalam sistem pembayaran terus dilakukan untuk meningkatkan


pengedaran uang yang cepat, efisien, aman, dan andal, meningkatkan layanan kas prima, dan
meningkatkan kualitas uang. Sementara kebijakan non tunai diarahkan untuk memitigasi
risiko sistem pembayaran melalui pengawasan sistem pembayaran , mengatur kegiatan
money remmitances, meningkatkan efisiensi pengelolaan rekening pemerintah, dan
meningkatkan pembayaran non tunai.

Sebagai bank Sentral, BI memang mempunyai tanggung jawap dalam membuat


kebijakan-kebijakan dalam menstabilkan kondisi moneter Indonesia . dengan demikian,
diharapkan kebijakan-kebijakan yang strategis dan tepat sasaran dalam meminimalisir
dampak krisis keuangan. Kebijakan moneter yang diamnil BI juga diharapkan dapat
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sektor riil dan seanjutnya pada kesejahtraan
masyarakat. (Catatan:Bahan tulisan ini, antara lain bersumber dari laporan Bank Indonesia).

E. Tantangan dan Pencapaian Makroekonomi Indonesia Pasca Krisis


Global
Kondisi bursa dan pasar keuangan secara global telah mengalami tekanan yang sangat
berat,akibat kerugian yang terjadi di pasar perumahan (subprime mortgages) yang berimbas
ke sektor keuangan amerika serikat. Lembaga-lembaga keuangan raksasa mulai
bertumbangan akibat nilai investasi mereka jeblok, Banyak di antara Lembaga-lembaga
keuangan yang sudah berusia lebih dari seratus tahun tersebut harus meminta penyelamatan
keuangan mereka apabila tidak may gulung tikar,bahkan Fannie mae dan Freddie
mac,sebagai lembaga penyalur kredit terbesar di AS dengan nilai kredit mencapai sekitar
USD 5 triliun,juga harus diselamatkan pemerintah investment banker sekelas Lehman
brothers juga terpaksa menutup usahanya,kondisi bursa saham juga sangat memprihatinkan
yang ditunjukan dengan turun nya indeks Dow jones kepada posisi yang sangat rendah
(paling rendah dalam 2 dekade terakhir).
Hal ini berimbas ke negara-negara lain di dunia,baik di Eropa,Asia,Australia maupun
timur tengah, indecks harga saham di bursa global juga mengikuti mengikuti keterpurukan
indeks harga bursa saham di AS,bahkan di Asia,termasuk indonesia,indeks harga saham
menukik tajam melebihi penurunan indeks saham di AS sendiri,hal ini mengakibatkan
kepanikan yang luar biasa bagi para investor,sehingga sentimen negatif terus berkembang
yang mengakibatkan banyak harga saham dengan fundamental yang bagus,nilainya ikut
tergerus tajam,Pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam menyikapi permasalahan
ini,peristiwa ini menandai fase awal dirasakan nya dampak krisis ekonomi global yang pada
mulanya terjadinya di Amerika dirasakan oleh negara indonesia.

Dilihat dari faktor penyebabnya,krisis ekonomi global pada saat ini berbeda dengan
krisis ekonomi yang melanda indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu,yang mana pada
saat itu krisis ekonomi yang melanda indonesia lebih di sebabkan oleh ketidakmampuan
indonesia menyediakan alat pembayaran luar negeri,dan tidak kokohnya struktur
perekonomian indonesia,tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari faktor-
faktor yang terjadi di luar negeri,tetapi kalau kita tidak hati-hati dan waspada dalam
menyikapi permasalahan ini,tidak mustahil dampak krisis keuangan global pada tahun 2008
ini akan sama atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi
yang terjadi pada tahun 1998.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdangan


global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyak nya industri besar
yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produk, dan terjadinya lonjokan
jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi
ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di
negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah
krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberi kan likuiditas dolar Amerika Serikat di
pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas dinegara-negara maju
maupun berkembangan cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.

Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun


momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif
perlemahan ekonomi dunia tersebut krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara
signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effect-nya akan mulai dirasakan
meningkat intesitasnya pada tahun 2009, di perkirakan akan berdampak negatif pada kinerja
ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca
sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN) Dampak negatif yang paling
cepat di rasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global adalah merosot nya likuiditas
global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar
50,0%, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang meningkat.
Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5%. Kecendrungan
volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih
berlangsung nya upaya penurunan utang (deleverging) dari lembaga keungan global.
1. Langkah-langkah yang Telah ditempuh untuk Memitigasi Dampak
Krisis
Bail-out untuk mengatasi krisis keuangan yang diusulkan oleh Pemerintah AS serta
telah disetujui oleh Parlemen dengan dana sebesar USD 700 miliar, ternyata masih belum
cukup meredam dampak krisis yang terjadi baik di AS sendiri maupun secara global.
Kebijakan The Fed dengan menurunkan suku bunga dari 2% menjadi 1,5% juga masih belum
banyak berdampak. Selain itu, masih banyak langkah lain yang ditempuh oleh Pemerintah AS
termasuk membuat berbagai regulasi baru untuk mencegah krisis semakin memburuk.
Negara-negara lain, baik dikawasan Eropa, Asia pasifik maupun timur tengah, juga
menyikapi krisis keuangan global ini dengan mengambil berbagai langkah serius secara
simultan, antara lain sebagai berikut.

a. Negara di zona Euro, menjamin pinjaman antarbank, menambah likuiditas


perbankan, menyuntikan modal bank serta memperbaiki sistem pembukuan
perbankan.
b. Inggris menyuntikkan USD 64 miliar kepada tiga bank, sedangkan Jerman
meluncurkan paket penyelamatan perbankan sebesar USD 640 miliar.
c. Korea Selatan menjamin akan menyuntikkan dana USD 130 miliar dolar ke
perbankan
d. Uni emirate arab menyuntikkan USD 19,06 miliar dolar ke perbankan.
e. Negara di seluruh dunia telah mencanangkan untuk menyediakan dana sebesar
USD 3,2 triliun untuk menyelamatkan perbankan.

2. Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia

a. Dampak Terhadap Perbankan


Dalam konteks perbankan, pemerintah perlu berhati-hati, karena tidak ada yang dapat
memperkirakan dalam dan luasnya krisis keuangan global ini. Menyikapi permasalahan ini,
pemerintah dan otoritas moneter telah melakukan beberapa langkah yang sangat tepat untuk
mengurangi kekhawatiran atau ketidakpercayaan publik terhadap mengurangi kapabilitas dan
likuiditas bank-bank nasional, yaitu sebagai berikut.

1) Penaikan bi rate menjadi 9,5% untuk mengantisipasi depresiasi terhadap nilai


rupiah dengan meningkatkan atraktifitas investasi dalam nilai rupiah akibat spread bunga
dosmestik dan luar negri yang cukup tinggi.

2) Peningkatan jumlah simpanan di bank yang di jamin oleh pemerintah dari Rp100
juta menjadi Rp2 milliar, untuk mengantisipasi rush akibat ke khawatiran masyarakat
terhadap keamanan simpanan nya di bank. Hal ini di lalukan dengan Pengeluaran Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu).

3) Peluasan jenis aset milik bank yang boleh di anggunkan kepada BI, yang tadinya
hanya meliputi asek kualitas tinggi ( SBI dan SUN), namun melalui perpu, aset yang dapat
dijaminkan di perluas dengan kredit lancar milik bank (ditunjukan untuk mengantisipasi
turunnya harga pasar SUN, Yang terlihat dengan naiknya yield), hal ini ditunjukan untuk
mempermudah bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sehingga dapat memperoleh
jumlah dana yang cukup dari BI.

Kekhawatiran yang di alami oleh masyarakat terhadap dunia perbankan, sebenarny


lebih berdasarkan pada sentimen negatif yang berlebihan terhadap krisis di amerika serikat
dan negara-negara Eropa. Apabila penanganan krisis di negara tersebut berhasil ,maka
otomatis kekhawatiran masyarakat terhadap perbankan nasional pun akan hilang. Namun
,sebaliknya ,apabila krisis global bertambah parah , maka ke khawatiran masyarakat juga
akan meningkat yang dapat mengakibatkan meningkatnya animo masyarakat untuk
mengambil simpanan nya di bank bank nasional , sehingga akan membuat ambruk nya sendi-
sendi perbankan nasional. Untuk mengantisipasi hal ini, maka salah satu alternatif yang perlu
di pikirkan oleh pemerintah adalah dengan menjamin 100% semua dana nasabah, termasuk
dana kredit yang di kucurkan oleh bank. Hal ini bertujuan agar masyarakat tidak khawatir
terhadap simpanan nya dan dunia perbankan bisa berjalan dengan normal sekaligus menjaga
sextor riel bisa tetap bergerak dengan terjamin nya kebutuhan dana dari perbankan.

b. Dampak Terhadap Bursa Saham


Bursa saham Indonesia juga mengalami penurunan indeks yang signifikan, sampai
melebihi 11%, sehingga memaksa Otoritas Bursa untuk melakukan penghentian perdagangan
selama 3 hari untuk mencegah lebih terpuruknya bursa akibat sentimen negatif. Untuk
memitigasi kemungkinan lebih terpuruknya indeks yang tidak mencerminkan fundamental
perusahaan, maka telah diambil berbagai langkah berikut ini.

1) Pelarangan short selling, dan penyelidikan terhadap beberapa perusahaan sekuritas


yang disinyalir melakukan short selling pada saat terjadi kepanikan di BEI.

2) Penetaoan auto rejection sampai dengan 10% (batas atas dan batas bawah) dari
sebelnya sebesar 30% untuk mencegah lebih terburuknya indeks dan di sisi lain mencegah
terjadinya aksi profit taking yang berlebihan dari investor. (Walaupun sebenarnya kebijakan
ini, terutama untuk ketentuan batas atas, akan memperlambat pulihnya indeks/rebound).

3) Pencanangan program buyback oleh pemerintah dan BUMN yang diikuti dengan
pengendoran aturan buyback di bursa saham, yang bertujuan untuk menstabilkan pasar saham
serta mencegah dikuasainya aset negara oleh pihak-pihak asing dengan harga sangat murah.

c. Dampak Terhadap Nilai Tukar dan Inflasi


Dampak krisis keuangan jelas terlihat pada nilai tukar rupiah yang melemah
terhadap dolar AS bahkan sempat mencapai Rp10.000/USD pada minggu kedua Oktober
2008. Hal ini lebih dikarenakan adanya aliran keluar modal asing akibat kepanikan yang
berlebihan terhadap krisis keuangan global. Dampak sejenis juga akan terjadi pada inflasi.
Karena melemahnya rupiah terhadap USD, maka harga barang-barang juga akan terimbas
untuk naik, karena Indonesia masih mengimpor banyak kebutuhan termasuk tepung dan
kedelai
d. Dampak Terhadap Ekspor dan impor
Krisis keuangan global ini sudah pasti akan sangat berdampak kepada ekspor
Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor, bukan hanya ke AS.

Anda mungkin juga menyukai