Anda di halaman 1dari 44

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
SEMESTER GANJIL TAHUN AKADEMIK 2016/2017
A. IDENTITAS
1. Jurusan/Prodi : PAI A, B, C, dan D
2. Nama Matakuliah : Pengantar Studi Hadits
3. Kode Matakuliah : Sta.105
4. Semester/SKS : 1 (Satu)/2 SKS
5. Jenis Matakuliah : Wajib
6. Prasyarat :
7. Dosen/Tim Dosen : Mahbub Nuryadien, M.Ag.

B. CAPAIAN PEMBELAJARAN MATA KULIAH


1. Sikap
Mahasiswa mampu mengembangkan sikap disiplin, tanggungjawab, tenggangrasa, jujur, amanah,gotong royong dan sikap
kepedulian terhadap sesama berdasarkanPengantar Ilmu Studi Hadits.
Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya’Memiliki sikap saleh spiritual danbMemiliki sikap saleh sosial seperti para tokoh
dalam sejarah ilmu Hadits

2. Pengetahuan
Mahasiswa mampu mengetahui, menghayati dan memahami dengan baik arti penting Pengantar Ilmu Studi Hadits sebagai
suatu pengetahuan untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam.
Mahasiswa memiliki pengetahuan tentang konsep Pengantar Ilmu Studi Hadits atau Ulumul Hadits yang diambil dari
sumber primer dan sumber skunder
3. Keterampilan
Mahasiswa mampu menerapkan teori-.teori Pengantar Studi Hadits dalam menggali aspek-aspek hukum dan norma dalam
Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al Qur’an
Mahasiswa mampu mencari /merujuk sebuah hadis ke dalam kitab aslinya (melalui Takhrij Hadis), sehingga dapat
membedakan mana hadis Nabi dan bukan hadis Nabi, sebagai landasan rujukan keberadaan hadis
Mahasiswa dapat memberikan penilaian terhadap Hadis secara kuantitas dan kualitas untuk dapat menentukan dapat
diamalkan dan tidak dapat diamalkannya sebuah hadis)

C. DESKRIPSI MATA KULIAH

Mata Kuliah ini meliputi kajian tentang : Terminologi, Hadits sebagai sumber ajaran Islam, Sejarah Pra Kodifikasi, Kodifikasi
Hadits: Sejarah dan perkembanganya, pembagian Hadits, Syarat-syarat Hadits Shahih, Hadits Dho’if dan macam-macamnya,
Syarat-syarat seorang Perawi dan proses Tarnsformasi, Ilmu Jarh wa Al Ta’dil, Hadits Maudhu’, Pengertian Takhrij secara
Teoritis, Jarh wa al Ta’dil, Ikhtisar Sanad dan Matan, dan Inkarussunnah.
D. MATRIKS PEMBELAJARAN

No Pert
Ke Tujuan Materi Bentuk Perkuliahan Jenis Referensi
Pembelajaran Penilaian
Metode Aktivitas

1 1 Mahasiswa mampu -Kontrak Belajar - Interactive -Mahasiswa dan dosen Autentik Satuan Acara
membedakan Learning saling Assesment Perkuliahan (SAP)
terminology - Lecturing memperkenalkan diri
sunnah, hadits, khabar - Curah -Mahasiswa
dan atsar, serta pendapat mengajukan pertanyaan
struktur hadits (sanad, tentang definisi sunnah,
matan, dan rawi khabar, hadits dan atsar
2 2 Mahasiswa mampu -Pengertian Sunnah, Presentasi -Mahasiswa - Muhammad Ajaj Al
membedakan Hadits, Khabar dan Kelompok 1 mengajukan Khatib, Al Sunnah
terminology Atsar Diskusi, pertanyaan tentang Qabla wa Al Tadwin
sunnah, hadits, khabar -Struktur Hadits Ceramah dan definisi sunnah, - Ushul al-
dan atsar, serta (Matan, Sanad dan Tanya Jawab. khabar, hadits dan Hadis:Ulumuhu Wa
struktur hadits (sanad, Matan) Makalah, atsar Mushthalahuhu
matan, dan rawi -Macam-macam Power Point, - Taisyir Mushtholah
Sunnah Buku al-Hadis
Referensi -Fatchur Rahman,
Ihtisar Musthalah
Hadits, Bandung: Al
Ma’arif, 1985

3 3 Mahasiswa mampu -Sumber ajaran Islam, - Lecturing -Mahasiswa Autentik -Subhi Ash Shalih,
mengetahui hadits -dalil-dalil kehujahan, - Listening berkelompok Assesment Ulum al Hadits wa
sebagai sumber ajaran - fungsi hadits Team -Mahasiswa mendapat Musthalahu, Terj.,
Islam, dalil-dalil terhadap Al Qur’an - Student tugas untuk Jakarta: Pustaka
kehujahan, dan fungsi - Perbedaan Al Qur’an Investigation mendengarkan secara Firdaus, 1995
hadits terhadap Al dan Hadits sebagai aktif materi yang -Hasbi Ash Shidiqi,
Qur’an sumber ajaran Islam disampaikan Sejarah dan
-Mahasiswa berdiskusi Pengantar Ilmu
dalam kelompok dan Hadits, Jakarta :
mempresentasikan Bulan Bintang, 1993
hasil
4 4 Mahasiswa mampu -Hadits Pada Periode -Lecturing Setiap kelompok Autentik Muhammad
mengetahuisejarah Rasul; - Diskusi mahasiswa dengan Assesment Muhammad Abu
Hadits Pra Kodifikasi: -Hadits pada Periode materi berbagai kreatifitasnya Zahwu Al Hadits wa
Hadits Pada Periode Sahabat dan Tabi’in dengan masing-masing dipandu al Muhaditsuna
Rasul; dan Hadits berbagai oleh dosen Hasbi Ash Shidiqi,
pada Periode Sahabat strategi mengorganisir kelas Sejarah dan
dan Tabi’in pembelajaran untuk memahami Pengantar Ilmu
Presentase materi dengan berbagai Hadits, Jakarta :
kelompok variasi strategi Bulan Bintang, 1993
-Student pembelajaran
observation
5 5 Mahasiswa mampu -Pembukuan Hadits -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik -Muhammad Mustafa
memahami Kodifikasi Abad II, III, dan memahami mahasiswa dengan Assesment Azami,Dirasat fi Al
Hadits : Sejarah dan abad IV H materi berbagai kreatifitasnya Hadits an Nabawi wa
Perkembanganya; - Pembukuan Hadits dengan masing-masing dipandu Tarikh
Pembukuan Hadits Abad V sampai berbagai oleh dosen Tadwinih,Beirut: Al
Abad II, III, dan IV H sekarang strategi mengorganisir kelas Maktab al Islami,
dan Pembukuan pembelajaran untuk memahami 1980
Hadits Abad V sampai -Presentase materi dengan berbagai -Ahmad Husnan,
sekarang kelompok variasi strategi Kajian Hadits Metode
pembelajaran Takhrij, Jakarta:
Pustaka, 1993
6 6 Mahasiswa mampu -Pengertian Ulumul -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik -Hasbi Ash Shidiqi,
memahami konsep Hadits memahami mahasiswa dengan Assesment Sejarah dan
Ulumul Hadits -Sejarah materi berbagai kreatifitasnya Beirut Pengantar Ilmu
perkembangan dengan masing-masing dipandu Hadits, Jakarta :
Ulumul Hadits berbagai oleh dosen Bulan Bintang, 1993
-Cabang-cabang strategi mengorganisir kelas -M. Suhudi Ismail,
Ulumul Hadits pembelajaran untuk memahami Pengantar Ilmu
-Presentase materi dengan berbagai Hadits, Jakarta: Bulan
kelompok variasi strategi Bintang, 1994
- Group pembelajaran
Discussion
- Lecturing
7 7 Mahasiswa mampu -Hadits Mutawatir, -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik -Muhammad Mustafa
memahami Pembagian -Hadits Masyhur memahami mahasiswa dengan Assesment Azami,Dirasat fi Al
Hadits ditinjau dari -Hadits Ahad materi berbagai kreatifitasnya Hadits an Nabawi wa
segi Kuantitas Sanad dengan masing-masing dipandu Tarikh
berbagai oleh dosen Tadwinih,Beirut: Al
strategi mengorganisir kelas Maktab al Islami,
pembelajaran untuk memahami 1980
-Presentase materi dengan berbagai -Jalaluddin al Suyuthi,
kelompok variasi strategi Tadrib al Rawi fi
- Group pembelajaran Syarh Taqrib al
Discussion Nawawi, Beirut: Dar
Ihya al Sunnah, 1979
8 8 Ujian Tengah
Semester (UTS)
9 9 Mahasiswa mampu -Hadits Shahih -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik Subhi Shalih, Ulum
memahami Pembagian -Hadits Hasan memahami mahasiswa dengan Assesment Al Hadits wa
Hadits ditinjau dari -Hadits Dha’if materi berbagai kreatifitasnya Musthalahuhu, Beirut
segi Kualitas -Ma’mul bih dan gair dengan masing-masing dipandu : Dar al Ilmu li al
Ma’mul bih berbagai oleh dosen Malayin, 1977
strategi mengorganisir kelas
pembelajaran untuk memahami
-Presentase materi dengan berbagai
kelompok variasi strategi
pembelajaran
10 10 Mahasiswa mampu -Konsep Hadits Dha’if -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik Said Agil Husain Al
memahami dan Macam- memahami mahasiswa dengan Assesment Munawar, Al Qur’an
konsepHadits Dha’if macamnya materi berbagai kreatifitasnya Membangun
dan Macam- -Hadits Dha’if dengan masing-masing dipandu Keshalehan Hakiki,
macamnya disebabkan Cacat dan berbagai oleh dosen Jakarta : Ciputat
Macam-macamnya strategi mengorganisir kelas Press, 2002
-Kehujjahan Hadits pembelajaran untuk memahami
Dha’if -Presentase materi dengan berbagai
kelompok variasi strategi
pembelajaran
11 11 -Pengertian Rawi dan -Lecturing Setiap kelompok Autentik -Jalaluddin al Suyuthi,
Mahasiswa Mampu Transformasi Hadits -Tanya jawab mahasiswa dengan Assesment Tadrib al Rawi fi
memahami konsep -Syarat-syarat Perawi memahami berbagai kreatifitasnya Syarh Taqrib al
Syarat-syarat Perawi -Lafadz-lafadz yang materi masing-masing dipandu Nawawi, Beirut: Dar
dan Transformasi digunakan dalam dengan oleh dosen Ihya al Sunnah, 1979
Hadits (Tahammulul Transformasi Hadits berbagai mengorganisir kelas -Mahmud At Tahhan,
Ada) strategi untuk memahami Ushulut Takhrij Wa
pembelajaran materi dengan berbagai Dirasatu Asanid, Terj.
-Presentase variasi strategi Metode Takhrij dan
kelompok pembelajaran Penelitian Sanad
-Group Hadits, Surabaya : PT
Discussion Bina Ilmu, 1995

12 12 -Pengertian, -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik -Mahmud At Tahhan,


Mahasiswa mampu -Awal muncul dan - memahami mahasiswa dengan Assesment Ushulut Takhrij Wa
memahami konsep factor yang materi berbagai kreatifitasnya Dirasatu Asanid, Terj.
Hadits Maudhu melatarbelakangi, dengan masing-masing dipandu Metode Takhrij dan
-Kriteria Kepalsuan berbagai oleh dosen Penelitian Sanad
suatu Haditsl strategi mengorganisir kelas Hadits, Surabaya : PT
pembelajaran untuk memahami Bina Ilmu, 1995
-Presentase materi dengan berbagai -Ahmad Husnan,
kelompok variasi strategi Kajian Hadits Metode
-Group pembelajaran Takhrij, Jakarta:
Discussion Pustaka, 1993
13 13 Mahasiswa mampu Pengetian , Obyek -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik -M Syuhudi
memahami konsep Pembahasan dan memahami mahasiswa dengan Assesment Ismail,Hadits Nabi
Hadits Maudhu Kegunaannya, materi berbagai kreatifitasnya Menurut Pembela,
Lafadz-lafadz serta dengan masing-masing dipandu Pengingkar, dan
Mahasiswa mampu Maratib Jarh Wa Al berbagai oleh dosen Pemalsunya
memahami konsep Ta’di strategi mengorganisir kelas
Ilmu Jarh Wa Al pembelajaran untuk memahami
Ta’dil -Presentase materi dengan berbagai
kelompok variasi strategi
-Lecturing pembelajaran
- Group
Discussion
14 14 Mahasiswa mampu -Pengertian Takhrij -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik -M Syuhudi
memahami konsep Hadits memahami mahasiswa dengan Assesment Ismail,Hadits Nabi
Takhrij Hadits -Sejarah dan materi berbagai kreatifitasnya Menurut Pembela,
Perkembangan Takhrij dengan masing-masing dipandu Pengingkar, dan
Hadits berbagai oleh dosen Pemalsunya
-Metode Takhrij strategi mengorganisir kelas -Jalaluddin al Suyuthi,
Hadits pembelajaran untuk memahami Tadrib al Rawi fi
-Metode Takhrij -Presentase materi dengan berbagai Syarh Taqrib al
Hadits melalui Rawi kelompok variasi strategi Nawawi, Beirut: Dar
-Metode Takhrij Diskusi, pembelajaran Ihya al Sunnah, 1979
melalui Lafadz Ceramah dan -Mahmud At Tahhan,
Pertama Hadits Tanya Jawab. Ushulut Takhrij Wa
-Takhrij melalui Kata- Makalah, Dirasatu Asanid, Terj.
kata dalam Matan Power Point, Metode Takhrij dan
Hadits Buku Penelitian Sanad
-Metode Takhrij Referensi Hadits, Surabaya : PT
Melalui Tema Hadits Bina Ilmu, 1995
-Metode Takhrij
Berdasarkan status
Hadits
-Kritik Sanad dan
Matan
-Kaidah dan Langkah
Kritik Sanad dan
Matan
-Unsur Kaidah Minor
Kritik Sanad
-Unsur Kaidah Minor
Kritik Matan
15 15 Mahasiswa mampu -Pengertian -Tanya jawab Setiap kelompok Autentik -M Syuhudi
memahami konsep Inkarussunnah memahami mahasiswa dengan Assesment Ismail,Hadits Nabi
Inkarussunah -Sejarah materi berbagai kreatifitasnya Menurut Pembela,
Inkarussunnah dengan masing-masing dipandu Pengingkar, dan
-Argumentasi dan berbagai oleh dosen Pemalsunya
Bantahan Ulama thd strategi mengorganisir kelas
Inkarussunnah di pembelajaran untuk memahami
Indonesia -Presentase materi dengan berbagai
kelompok variasi strategi
pembelajaran
16 16 Ujian Akhir Semester

E. REFERENSI

1. Wajib
a. Muhammad Ajaj Al Khatib, Al Sunnah Qabla wa Al Tadwin, Beirut : Dar al Fikr, 1971
b. ----------------------------------, Ushul Al Hadits, Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Beirut : Dar
c. Subhi Shalih, Ulum Al Hadits wa Musthalahuhu, Beirut : Dar al Ilmu li al Malayin, 1977
d. Mahmud At Tahhan, Ushulut Takhrij Wa Dirasatu Asanid, Terj. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits,
Surabaya : PT Bina Ilmu, 1995
e. Suhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta : Gema Insan Press, 1995
f. ------------------, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta : Bulan Bintang, 1992
g. Ushul al-Hadis:Ulumuhu Wa Mushthalahuhu
h. Taisyir Mushtholah al-Hadis

2. Pendukung
a. M. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung : PT. Ma’arif, 1990
b. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1981
c. ------------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1993
d. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama 1996
e. Said Agil Husain Al Munawar, Al Qur’an Membangun Keshalehan Hakiki, Jakarta : Ciputat Prss, 2002

Cirebon, September 2016


Dosen Pengampu,

(Mahbub Nuryadien, M Ag)


Nip. 196710092003121001

Mengetahi,

Ketua Jurusan, Gugus Mutu,

(Dr. H. Suteja, MAg) (Dr. Hj Nurlaela, M.Ag)


Nip. 196303051999031001 Hip.. 196106271986032001
HANDOUT PENGANTAR STUDI HADITS

A. IDENTITAS MATA KULIAH


1. Nama Matakuliah : Pengantar Studi Hadits
2. Kode Matakuliah : Sta.105
3. Semster/SKS : 1 (Satu)/ 2 SKS
4. Jurusan/Fakultas : PAI/
5. Jenis Matakuliah : Wajib
6. Prasyarat :-
7. Dosen : H. Mahbub Nuryadien, M.Ag.

B. BAGIAN ISI
Pertemuan 1
Pertemuan 2
1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu membedakan terminology sunnah, hadits, khabar dan atsar, serta struktur hadits (sanad, matan, dan
rawi)
2. Uraian Saingkat Materi
2.1.Pengertian Sunnah,Hadits, Khabar dan Atsar
Sunnah munurut bahasa berarti jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada yg buruk. Sunnah
juga berarti undang-undang atau peraturan yang berlaku, jalan yang telah dijalani, dan keterangan.
Sunnah menurut istilah adalah sebagai sesuatu yang dibiasakan oleh nabi Muhammad, sehingga sesuatu itu lebih banyak
dikerjakan oleh nabi dari pada ditinggalkan.
Hadits menurut bahasa adalah al-jadid (baru), qarib (dekat), dan khabar (berita).
Hadits menurut istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. baik dalm bentuk ucapan,
perbuatan dan maupun ketetapan (taqrir) nabi.
Khabar adalah , ucapan, perbuatan dan ketetapan para sahabat.
Atsar adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan para tabi’in
Menurut jumhur ulama mengartikan sunnah, hadits, khabar dan atsar sama saja yaitu sesuatu yang disandarkan kepada nabi
Muhammad saw. baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan Nabi.
Pengertian Hadits menurut ulama ahli ushul fiqih adalah segala yang diriwayatkan dari nabi Muhammad saw. berupa
perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi yang berkaitan dengan hukum
Menurut Ahli Hadits mendefinisikan Hadits sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw., baik perkataan, perbuatan,
taqrir, tabi’at budi pekerti, atau perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul seperti bersemidi di gua hiro.
2.2. Pembagian Sunnah
a. Sunnah Qauliyah, yaitu yang sering dinamakan dengan khabar atau berita berupa perkataan nabi saw. yang di dengar dan
disampaikan oleh seseorang atau beberapa sahabat kepada orang lain. Sunnah qauliyah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu
(1) diyakini benarnya; (2) diyakini dustanya; dan (3) yang tidak diyakini benarnya dan dustanya.
b. Sunnah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh nabi saw. yang diketahui dan disampaikan oleh para sahabat
kepada orang lain.
c. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan nabi saw. tetapi nabi
hanya diam dan tidak mencegah
2.3.Struktur Hadits/Sunnah
Sanad:
Sanad atau Thariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matnul Hadits kepada jungjungan nabi Muhammad saw.

Urutan para perawi hadits yang kemudian berlanjut kepada matan. (jalan menuju kepada matan, yaitu para perawi
yang menyampaikan matan)

Matan
Perkataan terakhir dari sanad atau pembicaraan atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik
pembicaraan itu sabda Rasulullah, sahabat atau tabi’in.

Rawi:

Orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang
(gurunya) hadits
Pertemuan 3

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengetahui hadits sebagai sumber ajaran Islam, dalil-dalil kehujahan, dan fungsi hadits terhadap Al
Qur’an serta perbedaan Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum Islam.

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran


2.1.Kehujjahan Hadits
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur ulama tentang sunnah rasul sebagai sumber hukum Islam yang kedua sesudah al-
Qur’an didalam menetapkan sesuatu keputusan hukum. Kehujahan sunnah berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan sunnah
rasulullah:
2.1.1. Dalil Al Qur’an (QS. Al Hasr ayat 7 dan Ali Imran ayat 31
2.1.2. Dalil Hadits

ِ ‫ﺼﻠﱡﻮْ اأَﺑَﺪًاﻣَﺎإِﻧﱠﺘَ َﻤ ﱠﺴ ْﻜﺘُ ْﻤ ِﻜﺘَﺎﺑَﺎ‬


ِ َ‫ﺗَ َﺮ ْﻛﺘُﻔِ ْﯿ ُﻜ ْﻤﺄَ ْﻣ َﺮ ْﯾﻨِﻠَ ْﻨﺘ‬

"Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya
yaitu berupa kitab Allah dan sunnah rasulnya".
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:

‫َﻋﻠَ ْﯿ ُﻜ ْﻤﺒِ ُﺴﻨﱠ ِﺔ َو ُﺳﻨَﺔُاﻟ ُﺨﻠَﻔَﺎءِاﻟﺮﱠا ِﺷ ِﺪ ْﯾﻨَﺎﻟ َﻤ ْﮭﺪِﯾ ْﯿﻨَﺘَ َﻤ ﱠﺴ ْﻜﺘُ ْﻤﺒِﮭَﺎ‬

“Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa Ar Rasyidin yang mendapat petunjuk berpegang
teguhlah kamu sekalian dengannya.”
Hadits-hadits di atas menunjukan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadits menjadikan hadits sebagai pegangan dan
pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada al-Quran.

2.2.Fungsi Sunnah/Hadits Hubungannya dengan Al Qur’an


2.2.1. Sebagai Bayan Tafsir, Sunnah berfungsi untuk menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan
musytarak. Seperti pelaksanaan shalat 5 waktu.
2.2.2. Sebagai Bayan Taqrir, Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an.
2.2.3. Sebagai Bayan Taudhih, Sunnah berfungsi untuk menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur’an.
2.2.4. Sebagai Musyar’i, Sunnah berfungsi sebagai pembuat syari’at (hukum) yang tidak ada dalam al-Qur’an, spt
diwajibakan zakat fitrah, disunnahkan aqiqah dsb.
2.3. Perbedaan Sunnah/Hadits dengan Al Qur’an
2.3.1. Al-Qur’an nilai kebenaranya bersifat qath’i (absolut), sedangkan sunnah/hadits bersifat dzani, kecuali hadits
mutawatir
2.3.2. Seluruh ayat al-Qur’an harus dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi tidak semua hadits mesti dijadikan
sebagai pedoman hidup. Sebab disamping ada sunnah yang tasyri’ ada juga yang ghair tasyri’, ada hadits
shahih dan ada hadits dha’if.
2.3.3. Al-Qur’an sudah pasti otentik lafadz dan maknanya, sedangkan hadits tidak demikian adanya.
2.3.4. Apa bila al-Qur’an berbicara masalah aqidah atau hal-hal yang gaib maka setiap muslim wajib mengimaninya,
tetap tidak demikian dengan hadits

Pertemuan 4

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu mengetahuisejarah Hadits Pra Kodifikasi: Hadits Pada Periode Rasul; dan Hadits pada Periode
Sahabat dan Tabi’in
2. Uraian singkat Materi Pembelajaran
2.1. Hadits Pada Periode Rasul
Aktivitas penulisan hadits pada masa ini sudah berjalan, namun intensitasnya lebih kecil daripada penulisan Al Qur’an.
Diantara sahabat yang menulis hadits : Abdullah bin Amr ibn Ash, Jabir bin Abdillah bin Amr bin Haram al Anshori,
Anas bin Malik, Abu Hurairah ad Dausi dsb.
Ada larangan penulisan hadits pada masa ini, tapi larangan itu khusus untuk penulisan hadits yang disatukan dengan Al
Qur’an.
Menurut M.M. Azmi : (1) Nabi sendiri pernah mengimlakan haditsnya (2) Izin nabi agar hadits-haditsnya ditulis.
Cara Sahabat menerima Hadits dari Rasulullah :
 Al Majlis lirasul (majelis-majelis Rasul)
 Hawadits taqa’u li rasul (Peristiwa kejadian pada diri Rasulullah sendiri)
 Hawadits kanat taqa’u lil muslimin (Peristiwa yang terjadi pada orang-orang Islam)
 Waqa’i’u wa hawadits syahidu fiha tasharufaati al rasul (Peristiwa kejadian yang disaksikan oleh orang-orang
muslim tentang prilaku Rasul)
Pemeliharaan Hadits Pada Masa Rasulullah :
 Melalui aktivitas menghafal. Alasanya : (1) Kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab, (2) mereka
terkenal kuat hafalanya, (3) Rasul sering memberikan dorongan moral melalui do’a-do’anya agar mereka diberi
kekuatan menghafal dan mendapat kedudukan mulia, (4) Rasul sering menjajnjikan kebaikan akhirat kepada
mereka yang menghafal hadits dan menyampaikanya.
 Melalui aktivitas menulis Hadits.

2.2. Hadits Pada Periode Sahabat dan Tabi’in


Sahabat berasal dari kata shahib = empunya dan yang menyertai (Lughah)
Sahabat adalah yang bertemu dan hidup bersama Rasulullah minimal satu tahun lamanya (Ahli Ushul)
Sahabat adalah yang bertemu Rasulullah dengan ;pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah masih hidup, dalam
keadaan Islam dan iman.(Al Muhaditsun)
Tabi’in berarti pengikut. Adapun Tabi’in (istilah) adalah orang-orang yang menjumpai sahabat dalam keadaan iman
dan islam, dan mati dalam keadaan islam, baik perjumpaannya lama maupun sebentar. (Ahli Hadits)

Metode sahabat dalam mencari Hadits :


 Thariqul Musyafahah (berdialog)
 Thariqul Musyahadah (menyaksikan)
 Thariqu al Sima’ (mendengar)

Cara Shahabat Menyampaikan Hadits :


1. Forum Musyafahah (dialog secara lisan)
2. Melalui tulisan (spt surat menyurat)
Pertemuan 5

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami Kodifikasi Hadits : Sejarah dan Perkembanganya; Pembukuan Hadits Abad II, III, dan IV
H dan Pembukuan Hadits Abad V sampai sekarang
2. Uraian singkat Materi
2.1. Kodifikasi Hadits
Kodifikasi (tadwin) bermakna mengumpulkan undang-undang dan menyusunya
Kodifikasi hadits adalah usaha mengumpulkan hadits dalam sebuah buku atas prakarsa dari pemerintah (negara) serta
digunakan oleh dan untuk kepentingan umat Islam, bukan untuk kepentingan pribadi.
Penulisan (kitabah) hadits yang sudah ada sejak zaman nabi tidak termasuk dalam pengertian tadwin (kodifikasi) hadits,
karena penulisan pada masa nabi hanya dilakukan oleh beberapa personil secara tidak beraturan.

2.2. Sejarah dan perkembangannya


Kegiatan kodifikasi hadits tidak terlepas dari peran yang diberikan oleh Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz, sebagai khalifah
Bani Umayyah pada tahun 99 H. Dialah yang paling berjasa menyelamatkan hadits dari kepunahan, ia seorang pencatat
hadits dan terkenal keshalehanya sehingga sering dipandang sebagai Khulafaur Rasyidin kelima.
Pada masa Kalifah Umar bin Abdul ‘Aziz inilah penghimpunan hadits secara massal atas perintah beliau. Beliau banyak
memberikan perhatian terhadap hadits, yaitu terbukti dengan dikelurkanya instruksi kepada para ulama dan umara untuk
meneliti dan membukukan hadits nabi. Beliau juga ikut serta mendiskusikan hadits-hadits yang telah dikumpulkan.
Masa pemerintahan Umar bin Abdul ‘Aziz dapat dikatakan sebagai periode pengkodifikasian hadits secara resmi oleh
negara
Orang yang pertama melaksanakan instruksi pentadwinan hadits Umar bin Abdul ‘Aziz adalah Imam Al Zuhri. Menurut
sejarawan dan muhaditsin bahwa orang pertama yang melakukan kodifikasi hadits secara resmi adalah Imam Al Juhri.
Faktor yang mendorong Imam Al Zuhri untuk menulis hadits adalah :
1. Banyaknya Hadits yang diterimanya
2. Apabila kodifikasi tidak dilakukan maka umat Islam pada masa mendatang akan banyak kesulitan untuk mengenal dan
mempelajari hadits.
2.3. Pembukuan Hadits pada abad II, III, IV sampai sekarang
2.3.1. Pembukuan dan Penulisan Hadits Abad II
Pada abad ke 2, ulama dalam mengumpulkan Hadits tidak dengan menyaringnya secara ketat. Mereka tidak hanya
membukukan hadits saja tetapi fatwa-fatwa sahabat, bahkan fatwa-fatwa tabi’in semua itu dilakukan secara bersama-
sama. Maka dalam kitab-kitab hadits tersebut terdapat hadits-hadits marfu’ dan hadits maqtu’.
Peristiwa yang menonjol pada periode ini adalah: (a) Melemahnya daya hafal di kalangan umat Islam; (b) Panjang
dan bercabangnya sanad-sanad Hadits, lantaran bentangan jarak dan waktu serta semakin banyaknya rawi; dan (c)
Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran. Dengan adanya ketiga peristiwa
tersebut, para Imam umat Islam bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan beberapa langkah, diantaranya :
(1) Pembukuan Hadits secara resmi; (2) Sikap para ulama yang lebih kritis terhadap para perawi Hadits dalam upaya
Jarh wa al Ta’dil; (3) Sikap Tawaquf (tidak menolak dan tidak menerima) bila mendapat Hadits dari seseorang yang
tidak mereka kenal sebagai ahli Hadits; dan (4) Sikap menelusuri sejumlah Hadits untuk mengungkap kecacatan yang
mungkin tersembunyi di dalamnya.
2.3.2. Masa pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadits Abad III H
Abad III H merupakan masa pembukuan Hadits dan merupakan zaman keemasan sunnah, sebab pada masa ini
sunnah danilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna. Para ahli Hadits berusaha menyisihkan Hadits dari
fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, mereka menyusun kitab-kitab Musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Pada
pertengahan abad ini, mulai muncul kitab-kitab Hadits yang hanya memuat Hadits Shahih, dan pada
perkembanganya dikenal dengan Kutub al Sittah, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud,
Sunan at Tirmidi, Sunan an Nasa’i, Sunan Ibnu Majah.
2.3.3. Masa Pemeliharaan, Penertiban dan Penambahan dalam Penulisan Hadits Abad IV s/d Abad 7 H
Abad ini merupakan abad pemisah antara ulama mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab Hadits mereka
berusaha menemui para sahabat atau tabi’in penghafal Hadits dan kemudian menelitinya sendiri, dengan
Ulama Muta’akhirin, yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab Hadits, mereka hanya menukil dari kitab-
kitab yang telah disusun oleh ulama Mutaqadimin.
Usaha ulama Hadits pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklasifikasikan Hadits dengan
menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandunganya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab Hadits,
mensyarahkan dan mengikhtisarkan kitab-kitab Hadits.
2.3.4. Pensyarahan, Penghimpunan dan Pembahasan Hadits Abad VII sampai sekarang
Periwayatan Hadits pada masa ini lebih banyak dilakukan dengan cara Ijazah dan Mukatabah. Sedikit sekali
dari ulama Hadits melakukan periwayatan Hadits secara hafalan. Pada masa ini para ulama Hadits umumnya
mempelajari kitab-kitab Hadits yang sudah ada dan selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya
sehingga menghasilkan jenis-jenis karya seperti kitab Syarah, Mukhtasyar, Zawaid, Takhrij dan lain-lain.

Pertemuan 6

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Ulumul Hadits dan Sejarah Perkembanganya

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran


2.1.Pengertian Ilmu Hadits
Para ulama berbeda pendapat tentang penyebutan istilah yang mengkaji Hadits. Ada yang menyebut Ilmu Hadits, Ilmu
Diroyah Hadits, Ulum al Hadits, Musthalahu al Hadits dan Ushul al Hadits. Ulama mutaqaddimin lebih suka
menyebuit Ilmu Hadits. Sedangkan ulama Muta’akhirin menyebutnyta dengan istilah Ilmu Diroyah Hadits.
Ilmu Hadits adalah Ilmu yang membahas tentang metode penyampaian Hadits Nabi saw dari aspek pengetahuan
mengenai keadaan perawi, kedudukan dan keadilanya serta keadaan sanad dari segi kemuttashilan dan kemunqathi’an-
nya dan sebagainya.
Ilmu Diroyah Hadits adalah Ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macamnya, hukum-
hukumnya, keadaan perawi, syarat-syarat perawi, macam-macam yang diriwayatkan dan segalah hal yang berkaitan
dengan hal tersebut.
2.2.Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
Pembicaraan mengenai Ilmu Hadits sebenarnya sudah dimulai sejak masa sahabat. Hal ini dapat dilihat dengan
munculnya salah cabang ilmu Hadits, yakni Jarh wa At Ta’dil. Pada periode ini pembicaraan tentang perawi, baik dari
segi positif (Ta’dil) maupun negatif (jarh).
Pada masa Tabi’in kajian Imu Hadits ini berkembang dengan munculnya berbagai kitab Hadits seperti Thabaqat Ibnu
Sa’ad bin Mani’, Gharib al Hadits karya Abu Ubaid al Qasim bin Salam dsb. Namun kitab-kitab tersebut
pembahasanya belum mengarah kepada kajian Ilmu Hadits secara khusus sebagai sebuah kitab yang berdiri sendiri.
Munculnya kitab Al Muhaddits al Fashil baina Rawi wa Al Wa’i karya Al Qadhi Abu Muhammad al
Ramahkhurmuzy (360 H0, menjadi tonggak sejarah bagi lahirnya Ilmu Hadits. Kitab ini membahas pokok kajian Ilmu
Hadits secara khusus dan menyeluruh serta menempatkannya sebagai sebuah Ilmu yang berdiri sendiri. Jejak al
Ramahkhurmuzy kemudian diikuti oleh ulama-ulama yang lain.
2.3.Pembagian Ilmu Hadits
Menurut para Muhadditsun Ilmu Hadits dibagi menjadi dua, yaitu : (1) Ilmu Hadits Riwayah dan (2) Ilmu Hadits
Diroyah.
Ilmu Hadits Riwayah adalah ilmu yang menukilkan segala apa yang disandarkan kepada Nabi saw, baik perkataan,
perbuatan, taqrir, sifat khalqiyah maupun khulqiyah.
Jumhur Ulama memberikan definisi Ilm Hadits riwayah sebagai suatu ilmu untuk mengetahui sabda-sabda Nabi,
perbuatan taqrir maupun sifat-sifatnya..
Obyek Kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah :
a. Cara periwayatan Hadits yang meliputi bagaimana cara penerimaan Hadits dan penyampaianya kepada orang lain.
b. Penulisan atau pembukuan Hadits’
Ilmu Hadits Diroyah ialah Ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam dan hukumnya,
keadaan perawi dan pwersyaratnya, kelompok yang diriwayatkanya dan segala apa yang berkaiatan dengan hal
tersebut. Ada juga yang mengatakan bahwa Ilmu hadits diroyah adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan mengenai
keadaan Rawi dan Marwi.
2.4.Cabang-cabang Ilmu Hadits
Adapun cabang-cabang Ilmu Hadits pada pokok masalah yang dibahasnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
2.4.1.Cabang Ilmu Hadits yang pokok pembahasanya berpangkal pada sanad dan rawi.
(1) Ilmu Rijal al Hadits membahas secara umum tentang keadaan perawi an kehidupanya. Hadits
(2) Ilmu Thabaqat ar Ruwah, ilmu yang membahas tentang keadaan rawi berdasarkan pengelompokan.
(3) Ilmu Tarikh Rijal Al Hadits, membahas tentang rawi yang menjadi sanad suatu hadits mengenai tanggal
lahirnya, silsilah keturunanya, guru-gurunya, jumlah hadits yang diriwayatkanya serta murid-muridnya.
(4) Ilmu Jarh wa Ta’dil, ilmu yang membahas tentang hal ihwal para perawi dalam mengkritik keaiban dan
memuji keadilanya.
2.4.2.Cabang-cabang Ilmu Hadits yang pokok pembahasanya berpangkal pada matan :
(1) Ilmu Gharib al Hadits
(2) Ilmu Asbab al Wurud al Hadits
(3) Ilmu Tawarikh al Matan
(4) Ilmu Nasikh wa Al Mansukh
(5) Ilmu Thariq Al Hadits
(6) Ilmu Tashif wa Tahrif
2.4.3. Cabang Ilmu Hadits yang pokok pembahasanya berpangkal pada sanad dan matan.
(1) Ilmu Ilahi al Hadits, menjelaskan sebab-sebab yang samar yang dapat mencacatkan suatu Hadits.
(2) Ilmu Fann al Mubhamat, menerangkan tentang nama-nama orang yang tidak disebutkan namanya di
dalam sanad dan matan.

2.5.Tokoh-tokoh dan kitab-kitabnya


a. Al Qadi Abu Muhammad ar Ramahurmuzy menyusun kitab al Muhadditsu al Fashil baina Rawi wa al Wa’i.
b. Al Hakim Abu Abdillah an Naisabury kitabnya Ma’rifat Ulum al Hadits.
c. Al Khatib Abu Bakar Ahmad bin Ali al Bagdadi kitabnya: Al Kifayah fi Al Qawanin ar Riwayah.
d. Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalany kitabnya: Al Ishabah wa Al Idhah
e. Ibnu Katsir kitabnya: At Tamil
f. As Suyuthi kitabnya: Tadribu ar Rawi
g. Ibnu Hajar kitabnya: Tahdibu at Tahdib.
h. Ibnu Abi Hatim kitabnya: Illahi al Hadits
i. Ibnul Jauzy kitabnya: Adh Dhu’afa
j. Abu Ahmad al Asykary kitabnya: At Tashhif wa At Tahrif
k. Muhammad Ibnu Musa al Hazimy kitabnya: Al I’tibar
l. Majduddin Ibnu Atsir kitabnya: An Nihayah fi Gharib al Hadits

Pertemuan 7

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami Pembagian Hadits ditinjau dari segi Kuantitas Sanad
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
Hadits Mutawatir, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak secara terus menerus tanpa terputus hingga tercatat
dalam sebuah kitab
Hadits Masyhur, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak secara terus menerus tanpa terputus hingga tercatat
dalam sebuah kitab, tapi tidak samapi derajat mutawatir
Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oelh dua orang dan seterusnya demikian, hingga tercatat dalam sebuah kitab
Hadits Gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan seorang kepada seorang dan setrusnya
Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu orang, dua atau lebih, tetapi tidak mencapai mutawatir
Syarat-syarat Hadits Mutawatir
 Diriwayatkan oleh perawi yang banyak. Kata banyak ulama berselisih pendapat ada 4 sesuai jumlah khulafaurasyidin, atau 5
sesuai saksi li’an, atau 10 sebab ia adalah awal jam’al katsrah. Bahkan ada yang mengatakan 313 atau 1400 perawi.
 Kwantitas jumlah perawi sebagaimana tersebut diatas, ada pada setiap thabaqatnya.
 Adanya suatu keyakinan bahwa para perawi tersebut mustahil untuk berbohong.
 Sandaran berita tersebut bersifat indrawi. Artinya berita yang mereka sampaikan haruslah benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatan langsung
Macam-macam Hadits Mutawatir
 Mutawatir Lafdzi: Ma tawatara lafdzuhu wa ma’nahu
 Mutawatir Ma’nawi : Ma ittafaqa naqalathu ‘ala manahu min gairi muthabaqatin fi al lafdzi.
Kehujahan hadits mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah al ‘ilmu al dlaruri, yakni sutu keyakinan dan pengetahuan yang pasti yang
mengharuskan umat islam menerima dan mengamalkanya. Sebab sesuatu yang ditetapkan dengan jalan tawatur sama
kedudukanya dengan sesuatu yang ditetapkan dg jalan penglihtan. Oleh karena itu semua hadits mutawatir dapat diterima
sebagai sumber tasyri’ dan dalil hukum tanpa penelitian terhadap sanad-sanadnya.
Macam-macam Hadits Ahad
 Hadits Masyhur, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak secara terus menerus tanpa terputus hingga tercatat
dalam sebuah kitab, tapi tidak samapi derajat mutawatir
 Hadits Aziz, yaitu hadits yang diriwayatkan oelh dua orang dan seterusnya demikian, hingga tercatat dalam sebuah kitab
 Hadits Gharib, yaitu hadits yang diriwayatkan seorang kepada seorang dan setrusnya
Pertemuan 8

Ujian Tengah Semester (UTS)

Pertemuan 9

1. Tujuan Pembelajaran

Mahasiswa mampu memahami Pembagian Hadits ditinjau dari segi Kualitas


2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran

Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas

 Hadits Shahih, yaitu hadits yang bersambung sanadnya (sampai Nabi), diriwayatkan oleh (perawi) yang adil dan dhabit
sampai akhir sanad (didalam hadits itu) tidak terdapat kejanggalan (syudzudz) dan cacat (‘Illat)

 Hadits Hasan, yaitu hadits yang bersambung sanad-sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, hadits yang rendah tingkat
kekuatan hafalanya, tidak rancu dan tidak cacat

 Hadits Dha’if, yaitu hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan

Syarat-Syarat Hadits Shahih

 Sanadnya bersambung, yaitu setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada di
atasnya dan begitu selanjutanya sampai rawi pertama.

 Perawinya bersifat adil, yaitu suatu watak dan sifat yang kuat mampu menggerakan orangnya kepada perbuatan taqwa.

 Perawinya bersifat dhabit, yaitu orang yang kuat hafalanya apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu
kepada siapa yang dikehendakinya
 Terhindar dari kerancuan (syudzudz), yaitu suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda engan rawi yang lebih kuat

 Terhindar dari ‘Illat (cacat), yaitu sebab yang tersembunyi yang merusakkan kualitas hadits

Pembagian Hadits Shahih

 Shaihi Li Dzatihi, hadits shahih yang mencapai tingkatan keshahihan dengan sendirinya tanpa dukungan hadit lain yang
menguatkanya sertra memiliki lima kriteria.

 Shahih Li Ghairihi, yaitu hadits hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi shahih karena ada perawi lain yang
menguatkannya

Pembagian Hadits Hasan

 Hasan Li Dzatihi, yaitu hadits yang bersambung sanad-sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, hadits yang rendah
tingkat kekuatan hafalanya, tidak rancu dan tidak cacat.

 Hasan Li Ghairihi, yaitu hadits yang didalam isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaanya, tidak bisa dipastikan
kelayakanya atau tidak layaknya, tapi ia bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat dusta
sedang matanya didukung oleh muttabi’ atau syahid.

Macam-macam Hadits Dha’if

 Beberapa ahli hadits menghimpun macam-macam hadits dha’if berjumlah 381. Pendapat ini dibantah oleh Subhi Shalih
dengan alasan tidak aktual dan tidak memenuhi ciri-ciri tertentu.

 Ibnu Shalah berkata jumlah hadits dha’if tidak lebih dari 42 macam

 Nur al Din ‘Itr berkata jumlah hadits dha’if banyak sekali macamnya

 Menurut Al Ustadz Syaikh Muhammad al Simahi hadits dha’if berjumlah 510 macam

Sebab-sebab yang menjadikan suatu Hadits Dha’if


 Ketidakmustahilan (tidak bersambung) Sanad, spt. Hadits Mursal, Munqathi’, Mu’dhal, Mudallas, dan Hadits Mu’allal.

 Selain Ketidakmustahilan Sanad spt., Hadits Mudha’af, Mudhtharib, Maqlub, Syadz, Munkar, dan Hadits Matruk.

Tingkatan Sanad yang Paling Lemah

 Sanad penduduk Syam yang paling lemah adalah Muhammad bin Qais al Mashlub, Ubaidillah bin Zahr, Ali bin Yazid, Al
Qasim dan Abu Umamah.

 Sanad Penduduk Mesir yang paling Dha’if adalah Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj bin Rusydin bin Sa’ad, Bapaknya,
Kakeknya, Furrah bin Abdur Rahman bi Haiwih.

 Sanad Ibnu Abbas yang paling lemah adalah Al Sudi al Saghir Muhammad bin Marwan, Al Kalbi, Abu Shalih dan Ibnu
Abbas

Kehujjahan Hadits Dha’if

 Hadits Dha’if tidak dapat dijadikan hujjah agama, baik untuk penetapan hukum maupun untuk menetapkan keutamaan amal.
Pendapat ini diikuti oleh bin Ma’in, Ali bin Hazm, Abu Bakar Ibnu al Arabi, Al Shihab al Hafazy, Al Jalal al Dawani.

 Hadits Dha’if bisa dijadikan hujjah dalam masalah fadlailul ‘amal, baik yang berkaitan dengan hal yang dianjurkan maupun
yang dilarang. Pendapat ini diikuti oleh Imam al Nawawi, Syekh Ali al Qari dan Ibnu Hajar al Haitami

Hadits Dha’if dapat dijadikan Hujjah dengan syarat-syarat

 Kandungan Hadits tersebut berkenaan dg kisah, nasihat, keutamaan, dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dg sifat-sifat Allah,
tafsir ayat Al Qur’an, hukum halal haram dan yang semacamnya.

 Kedha’ifan Hadits tersebut tidak parah

 Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadits Dha’if tersebut

 Amal yg dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits Dha’if tsb. Tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian.
Syarat-syarat mengamalkan Hadits Dha’if Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani :

 Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu parah kedha’ifanya.

 Hadits dha’if yang bersangkutan berada pada suatu dalil yang umum sehingga tidak dapat diamalkan sehingga tidak dapat
diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak mempunyai dalil pokok.

 Ketika hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaanya, untuk menghindari
penyandaran kepada nabi sesuatu yang tidak beliau katakan.

Pertemuan 10

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Hadits Dha’if dan Macam-macamnya

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran

Hadits Dha’if, yaitu hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan

Macam-macam Hadits Dha’if :

 Beberapa ahli hadits menghimpun macam-macam hadits dha’if berjumlah 381. Pendapat ini dibantah oleh Subhi Shalih
dengan alasan tidak aktual dan tidak memenuhi ciri-ciri tertentu.

 Ibnu Shalah berkata jumlah hadits dha’if tidak lebih dari 42 macam

 Nur al Din ‘Itr berkata jumlah hadits dha’if banyak sekali macamnya

 Menurut Al Ustadz Syaikh Muhammad al Simahi hadits dha’if berjumlah 510 macam

Sebab-sebab yang menjadikan suatu Hadits Dha’if :


 Ketidakmustahilan (tidak bersambung) Sanad, spt. Hadits Mursal, Munqathi’, Mu’dhal, Mudallas, dan Hadits Mu’allal.

 Selain Ketidakmustahilan Sanad spt., Hadits Mudha’af, Mudhtharib, Maqlub, Syadz, Munkar, dan Hadits Matruk.

Tingkatan Sanad yang Paling Lemah adalah sebagai berikut :

 Sanad penduduk Syam yang paling lemah adalah Muhammad bin Qais al Mashlub, Ubaidillah bin Zahr, Ali bin Yazid, Al
Qasim dan Abu Umamah.

 Sanad Penduduk Mesir yang paling Dha’if adalah Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj bin Rusydin bin Sa’ad, Bapaknya,
Kakeknya, Furrah bin Abdur Rahman bi Haiwih.

 Sanad Ibnu Abbas yang paling lemah adalah Al Sudi al Saghir Muhammad bin Marwan, Al Kalbi, Abu Shalih dan Ibnu
Abbas

Kehujjahan Hadits Dha’if :

 Hadits Dha’if tidak dapat dijadikan hujjah agama, baik untuk penetapan hukum maupun untuk menetapkan keutamaan amal.
Pendapat ini diikuti oleh bin Ma’in, Ali bin Hazm, Abu Bakar Ibnu al Arabi, Al Shihab al Hafazy, Al Jalal al Dawani.

 Hadits Dha’if bisa dijadikan hujjah dalam masalah fadlailul ‘amal, baik yang berkaitan dengan hal yang dianjurkan maupun
yang dilarang. Pendapat ini diikuti oleh Imam al Nawawi, Syekh Ali al Qari dan Ibnu Hajar al Haitami

Hadits Dha’if dapat dijadikan Hujjah dengan syarat-syarat :

 Kandungan Hadits tersebut berkenaan dg kisah, nasihat, keutamaan, dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dg sifat-sifat Allah,
tafsir ayat Al Qur’an, hukum halal haram dan yang semacamnya.

 Kedha’ifan Hadits tersebut tidak parah

 Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadits Dha’if tersebut

 Amal yg dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadits Dha’if tsb. Tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian.
Syarat-syarat Mengamalkan Hadits Dha’if merurut pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar adalah :

 Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu parah kedha’ifanya.

 Hadits dha’if yang bersangkutan berada pada suatu dalil yang umum sehingga tidak dapat diamalkan sehingga tidak dapat
diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak mempunyai dalil pokok.

 Ketika hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaanya, untuk menghindari
penyandaran kepada nabi sesuatu yang tidak beliau katakan.

Pertemuan 11

1. Tujuan Pembelajaan
Mahasiswa mampu memahami konsep Rawi dan Proses Transformasi Hadits (Tahammul Ada)
2. Raiaan Materi Pelajaran
a. Perawi Hadits
Kata Rawi berarti orang yang meriwayatkan atau emberikan Hadits.Sedangkan menurut istilah Rawi adalah orang yang
menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya, baik itu laki-laki maupun perempuan.
Adapun syarat-syarat Rawi adalah sebagai berikut: Muslim, Berakal, Dhabit, dan Adil
Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadits, yaitu :
-At Tahammul (kegiatan menerima Hadits dari periwayat Hadits
-Al ‘Ada (kegiatan menyampaikan Hadits kepada orang lain)
-Al Isnad (penyebutan susunan rangkaian periwayatanya ketika menyampaikan Hadits)
b. Cara penyampaian (Tahammul) atau Proses Transformasi Hadits
Metode transmisi Hadits atau dikenal dengan istilah Jalan menerima Hadits (Thuruq al Tahammul) dan penyampaianya yaitu
cara-cara menerima Hadits, mengambilnya dari Syekh atau gurunya.
 Al Sima’, yaitu mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik secara didiktekan maupun bukan, baik dari hafalanya
maupun tulisanya. Lafadznya: akhbarani, akhbarana, hadtsana, hadatsani, sami’tu dan sami’na.
 Al Qira’ah atau ‘Aradl, yaitu pembaca menyuguhkan haditsnya ke hadapan sang guru, baik ia sendiri yang membacanya
maupun orang lain yang membacanya sedang ia mendengarkanya. Lafadznya : qara’tu ‘alaih, quri’a ‘ala fulan wa ana
asma’, hadatsan au akhbarana qira’ah alaih.
 Ijazah, yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits daripadanya atau kitab-kitabnya.
Ijazah ada tiga jenis: (1) Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan seseuatu yang tertentu kepada
orang yang tertentu), (2) Ijazah fi ghairi mu’ayyanin li mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu
kepada orang tertentu), dan (3) Ijazah ghairi mu’ayyanin bighairi mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan ssuatu yang tidak
tertentu kepada yang tidak tertentu).
 Munawalah, yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kep. muridnya atau salinan yg sudah dikoreksinya untuk
diriwayatkan. Munawalah ada dua tipe: (1)dg dibarengi ijazah, dan (2)tanpa dibarengi ijazah. Adapun lafadz yg
digunakanya utk yg dibarengi jazah anba’ani, anbana, dan yg tidak dibarengi ijazah: nawalani dan nawalana.
 Mukatabah, yaitu seorang guru yg menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang lain
atau yg ada dihadapanya.
 Wijadah, yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yg tk diriwayatkannya, baik dg lafadz sima, qira’ah maupun lainya dr
para pemilik hadits dan pemilik tulisan.
 Washiyah, yaitu pesan seseorang di kala akan mati atau bepergian, dg sebuah kitab spy diriwayatkan.
 I’lam, yaitu pemberitahuan guru kep. muridnya bhw hadits yg diriwayatkanya adalah riwayatnya sendiri yg

Pertemuan 12

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Ilmu Jarh Wa Al Ta’dil
Mahasiswa mampu menerapkan teori Ilmu Jarh Wa Al Ta’dil

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran


2.1.Pengertian Ilmu Jarh wa At Ta’dil
Jarh berasal dari kata jaraha yang berarti melukai tubuh ataupun yang lainya dengan menggunakan benda tajam,pisau,
pedang dll.. Jarh juga berarti memakai atau menistai, baik di muka maupun di belakang.
Jarh menurut istilah adalah nampaknya suatu sifat dalam diri perawi yang mencacatkan keadilanya atau merusak
hafalan dan ingatanya, yang dapat menyebabkan riwayatnya batal dan lemah atau ditolak.
Jarh menurut ahli hadits adalah sifat seorang perawi yang dapat mencacatkan keadilan dan hafalanya.
Ta’dil berasal dari kata t‘adala yang berarti menyamaratakan, mengimbangi sesuatu dengan yang lain dan menegakan
keadilan atau berlaku adil
Ta’dil menurut istilah adalah mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang dengan karenanya memandang adil, yang
menjadi sumbu perimaan riwayatnya.
lmu Jarh wa Ta’dil adalah Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan kepada para perawi
dan tentang penta’dilanya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang
martabat kata-kata itu.
2.2.Metode Jarh dan Ta’dil
3. Al Amanah wa an Naz’ahah fi al Hukmi (obyektif dalam melakukan penilaian terhadap rawi)
4. Al Diqqah fi al Bahtsi wa al Hukmi (cermat dan teliti dalam penelitiannya)
5. Iltizam al Adab fi al Jarh (Tetap memegang meskipun dalam menilai cacat perawi)
6. Al Ijmal fi at Ta’dil wa at Tafshil (Ta’dil dilakukan secara global sedangkan dalam tarjih harus diperinci sebab-
sebab cacatnya perawi bwersangkutan)

2.3.Kaidah-kaidah Jarh dan Ta’dil


(a) Bersandar pada cara-cara periwayatan hadits, syahnya periwayatan, keadaan perawi dan kadar kepercayaan
kepada mereka. Ini dinamakan Naqd Kharijun atau kritik ekstern (yang datang dari luar)
(b) Berkenaan dengan hadits itu sendiri, apakah maknanya shahih atau tidak, dan apa jalan-jalan keshahihanya dan
ketidakshahihanya. Ini dinamakan Naqd Dakhliyun atau kritik intern, yang mengenai diri hadits itu sendiri.
2.4.Sejarah dan Perkembang Ilmu Jarh dan Ta’dil
Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan kepada para perawi
dan tentang penta’dilanya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat
kata-kata itu. (Hasbi Ash Shidiqi)
Ilmu ini merupakan salah satu bagian dari ilmu rijal al Hadits dan ilmu ini dipandang sebagai bagian terpenting dalam
ilmu-ilmu Hadits dan suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Ilmu ini tumbuh seiring dengan tumbuhnya periwayatan Hadits. Dan berkembangnya lebih nyata sejak terjadinya al
fitnah al Kubra atau pembunuhan thdp Khalifah Utsman bin Affan tahun 36 H. Pada waktu itu, umat muslimin telah
terkotak-kotak ke dalam berbagai kelompok, masing-masing mencari legitimasi dg mengutip hadits Rasul. Jika tidak
ditemukan mereka membuat hadits palsu. Sejak itulah para ulama hadits menyeleksi hadits Rasul baik dari segi matan
maupun kritik sanadnya.

2.5.Perkembangan Ilmu Jarh dan Ta’dil


Menurut Ibnu Adi ilmu ini telah ada sejak zaman sahabat.
Menurut Muhammad Ajjaj al Khatib, perkembangan ilmu jarh dan ta’dil sejalan dengan perkembangan periwayatan
dalam Islam.
Pada masa tabi’in muncul beberapa ulama yang membahas masalah jarh wa ta’dil, diantaranya Asy Sya’bi, Ibnu Sirin,
dan Sa’id bin al Musyayyab.
Pada abad 2 H, perkembangan ilmu jarh dan ta’dil mengalami kemajuan dengan bukti aktivitas para ahli semakin giat
men-tajdid dan men-ta’wil para rawi, diantaranya Yahya bin Sa’id Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.
Pada abad 3 H, baru dilakukan penyusunan kitab jarh dan ta’dil, diantaranya Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hambal,
Muhammad bin Sa’ad, Ali bin Madini, Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Ishaq bin Rahawaih.

2.6.Lafadz-lafadz Jarh dan Tingkatanya


(a) Kalimat atau kata-kata yang menunjukan cela perawi pada tingkat pertama adalah Akdzabun nas atau orang yang
paling dusta.
(b) Selanjutnya kata-kata di bawah tingkatan pertama adalah seperti dajjal, kadzdzab atau wudlula’. Kata-kata
yudla’u atau yakdzibu.
(c) Tingkatan ketiga biasanya menggunakan kata-kata seperti fulan yasyriqul hadits (ia mencuri hadits), fulan
muttaham bil kadzib (ia tertuduh dusta), atu saqith, matruk, balik atau dzahibul hadits.
(d) Keempat adalah kata-kata fulan rudda haditsuhu, mardudul Hadits, dlo’if jiddan
(e) Kata-kata tingkatan kelima adalah fulan la yubtajju bihi, dla’afahu, mudztharibul hadits, lahu ma yunkar.
(f) Tingkatan ke enam adalah kata-kata yang paling ringan dalam mentarjih, Kata yang digunakan adalah fihi maqaal
adna maqal.

2.7.Lafadz-lafadz Ta’dil
(a) Kata-kata yang menduduki tingkat teratas untuk menyatakan bahwa seorang perawi itu tidak ada cacatnya atau ia
dipercaya adalah autsaqun nas (orang paling dapt dipercaya) atau ilaihi muntaha, adlbatun nas dan la a’rifu lahu
nadhiran fi al dunya (aku tidak mengetahui tandinganya di dunia)
(b) Tingkat kedua spt. Kata fulan la’ yus’alu ‘anhu (si fulan tidak dipertanyakan lagi)
(c) Tingkat ketiga spt. Kata tsiqah-tsiqah dan tsabat-tsabat dan juga kata-kata tsiqah ma’mun, tsabat, hujjah, dan
shahib hadits.
(d) Tingkat keempat adalah kata-kata tsiqah, tsabat, hujjah, imam, dhabit dan hafidz.
(e) Kelima adalah kata-kata laisa bihi ba’sun atau la ba’sa bihi. Kata ini menunjukan perawi kurang hafalanya.
(f) Keenam adalah kata-kata laisa bi ba’idin min al shawab, jarwa haditsuhu, muqarabatul hadits, shadiqun insya
Allah atau arju an la’ ba’tsa bihi

2.8.Kitab-kitab Jarh dan Ta’dil


(a) Al Jarh wa At Ta’dil karya Abdurrahman bin Abi Hatim ar Rasi, terdiri dari 4 jilid dan memuat 10.050 perawi.
(b) Mizan al I’tidal karya Imam Syamsuddin Muhammad adz Dzahabi, terdiri dari 3 jilid dan memuat 10 907 rijal al
Sanad.
(c) Lisan al Mizan karya Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani, yang mencakup isi Mizan al I’tida, terdiri dari 6 jilid dan
memuat 14.343 perawi.
(d) Ma’rifat al Rijal karya Yahya ibn Ma’in.
(e) At Thabaqat karya Muhammad ibn Sa’ad al Zuhri al Bashri
(f) Al Kamil fi at Tarikh karya Ibnu Katsir

2.9.Ilmu-ilmu yang terkait dengan Jarh dan Ta’dil


(a) Ilmu Rijal al Hadits. Ilmu jarh wa ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijal al hadits.
(b) Takhrij al Hadits. Di dalam mentakhrij hadits harus mengetahui apakah hadits yang ditakhrijnya dapat diterima
atau ditolak
2.10. Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil
(a) Jumhur ulama mengatakan bahwa jarh harus didahulukan daripada ta’dil, karena didalam jarh orang menerangkan
sifat-sifat yang tersembunyi dari perawi itu.
(b) Sebagian Ulama berbeda pendapat ttg jarh dan ta’dil:
1. Jarh didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak, sebab jarih memiliki pengetahuan
yang lebih banyak. (jumhur ulama)
2. Ta’dil didahulukan dari tarjih jika jumlah mu’addilnya lebih banyak dari pada jarih. Jumlah yang banyak
memperkuat kedudukan mereka.
3. Pertentangan itu masih tetap dalam pertentanganya selama belum ada yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus didahulukan dari tarjih karena jarih masih mungkin terpengaruh oleh subyektivitas pribadionalnya.

Pertemuan 13

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Hadits Maudhu
Mahasiswa mampu membedakan hadits Maudhu dan yang lainya
Mahasiswa mampu memberikan contoh hadits Maudhu
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
2.1.Definisi Hadits Maudhu’ (Palsu)
Kata Maudhu’ adalah isim maf’ul dari kata wadha’a yang berarti mengada-ada dan mendustakan.
Hadits Maudhu’ (terminologi) adalah hadits yang dibuat-buat oleh para pendusta dan mereka menyandarkanya kepada
Rasulullah saw.
Penggunaan terminologi hadits maudhu’ atau hadits palsu, tidaklah harus difahami secara harfiah dan parsial dari
masing-masing kata yang ada. Justru penggabungan dua kata tersebut menjadi satu kesatuan yang telah memberikan
nuansa baru, sebagai yang berasal bukan dari Nabi, dan untuk memudahkan bahasa pengungkapan riwayat palsu serta
menjelaskan kepalsuanya.
2.2.Sejarah dan Perkembangan Hadits Palsu
Pemalsuan hadits telah terjadi sejak masa Nabi saw. didasarkan kepada hadits Nabi.
Menurut riwayat al Thahawi dan al Thabari, pada masa Rasul ada seseorang yang mengaku telah diberi wewenang
untuk menyelesaikan suatu masalah kelompok masyarkat di Madinah. Setela di cek ternyata Rasul tidak pernah
menyuruh.
Pendapat lain mengatakan pemalsuan Hadits telah terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertentangan
antara khalifah Ali dengan gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sofyan mempunyai pengaruh besar dalam perpecahan
umat dan munculnya partai politik serta sekte-sekte keagamaan.

2.3.Latar Belakang Orang Memalsukan Hadits


(a) Politik
(b) Ekonomi
(c) Golongan (mazhab fiqh ataupun Teologi)
(d) Mencari Muka kepada Penguasa
(e) Hidup Kezuhudan
(f) Daya Tarik dalam berdakwah
2.4.Faktor-faktor Munculnya Hadits Palsu
7. Pertentangan Politik. Peepecahan umat Islam akibat perbedaan pandangan politik memberikan pengaruh yang
besar dalam penyebaran hadits palsu.
8. Usaha Musuh Islam. Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelekanya dilakukan oleh orang-orang zindiq,
lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang dikalahkannumat Islam.
9. Mendorong berbuat baik. Ini dilakukan oleh para ahli tasawuf. Tujuanya agar lebih dekat dengan Allah
10. Upaya untuk memperoleh fasilitas Duniawi
11. Kepalsuan yang tidak disengaja. Ini terjadi pada rawi

2.5.Tokoh-tokoh Hadits Palsu


(a) Abdul Karim Ibn Abu Al Auja’. Ia telah memalsukan hadits sebanyak 4.000 buah
(b) Muhammad bin Ahmad bin Halib, seorang zahid yang menjauhi kesenangan duniawi dan hanya makan kacang-
kacang sebagai makanan pokok.
(c) Zakaria bin Yahya al Waqqar, seorang faqih yang rajin beribadah dan mempunyai majelis ta’lim.
(d) Ghiyats bin Ibrahim, seorang penjilat yang mengeruk keuntungan duniawi dengan hadits-hadits palsunya.
2.6.Ciri-ciri Hadits Palsu Pada Rawi
(a) Pengakuan dari Rawi bahwa ia telah memalsukan hadits, seperti Abu Ismah Nuh bin Abi Maryam.
(b) Adanya indikasi bahwa rawi tersebut memalsukan Haditsd, seperti seorang rafidhah yang meriwayatkan hadits
ahlul bait

2.7.Ciri Hadits Palsu pada Matan


(a) Kerancuan redaksi atau matan hadits
(b) Setelah diadakan penelitian terhadap suatu hadits, ternyata menurut ahli hadts tidak terdapat pada hafalan para rawi
dan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits.
(c) Haditsnya menyalahi ketentuan-ketentuan telah ditetapkan.
(d) Haditsnya bertentangan dengan petunjuk al Qur’an yang pasti, sunnah mutawatir, atau ijma’ yang pasti dan tidak
dapat dikompromikan.

2.8.Kitab yang menghimpun hadits Palsu


(a) Al La’ah al Mashnu’ah fi al Ahadits al Maudhu’ah, karya Al Hafidz Jalaluddin al Suyuti
(b) Al Maudhu’ah, karya Imam al Hafidz Abu al Faraj Abdurrahman bin Al Jauzi
(c) Al Mashnu’ fi al Hadits Maudhu’, karya Ali al Qarri

Pertemuan 14

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Takhrij Hadits
2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran
2.1.Pengertian Takhrij, Ikhraj dan Istikhraj
Kata takhrij bentuk mashdar dari kata kharaja berarti keluar. Selain itu, takhrij juga berarti ijtima’u amraini
mutadladlaini fi syai’in wahidin artinya bertemunya dua hal yang bertentangan pada suatu waktu. Ada juga yang
berpendapat, takhrij juga berarti : (1) al Istinbath yang berarti mengeluarkan, (2) al Tadrib artinya hal melatiah atau
pembiasaan, dan (3) al Taujih yang berarti memperhadapkan.
Takhrij (terminologi) adalah petunjuk jalan ke tempat letak hadits pada sumber-sumber yang orisinil takhrij-nya
berikut sanad-nya, kemudian dijelaskan martabat haditsnya bila diperlukan.
Ikhraj, berarti mengemukakan hadits kepada orang lain, dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yalah
menyampaikan hadits itu, dengan metode periwayatanya yang ditempuh.

2.2.Tiga pengertian Takhrij Menurut Ulama


Takhrij berarti sama dengan ikhraj, yaitu mengemukakan hadits kepada orang lain dengan menyebutkan tempat
pengambilanya. Misalnya hadits itu ditakhrij oleh Bukhari, artinya Bukhari meriwayatkan suatu hadits serta
menyebutkan tempat keluarnya.
Takhrij berarti mengeluarkan hadits dan meriwayatkanya dari isi kitab-kitab. Artinya ahli hadits mengeluarkan hadits
dari gurunya atau kitab-kitab dan lain sebagainya, lalu dikatakan dari periwayatan dirinya, atau dari sebagaian
gurunya, dari teman-temanya atau dari yang lain.
Takhrij berarti al dalalah, artinya menunjukan sumber asli suatu hadits serta menyebutkan orang yang
meriwayatkanya.
Sedangkan istikhraj, berarti mengeluarkan hadits dari kitab tertentu dengan sanad-nya sendiri, dan dalam sanad-nya
itu bertemu dengan guru-guru diatasnya
Istikhraj, disyaratkan bertemu kedua sanad-nya pada guru atau di atasnya sampai periwayatan pertama. Sedangkan
takhrij dan ikhraj tidak mensyaratkan demikian. Dengan demikian dapat difahami bahwa takhrij itu adalah :
1. Usaha untuk menemukan suatu hadits dari sumber aslinya, dengan mengeluarkan sanad dan matan-nya.
2. Usaha untuk mencarikan penilaian kualitas suatu hadits ketika diperlukan, apakah suatu hadits shahih atau dha’if, atau
bukan hadits Rasul, dan lain-lainnya.

2.3.Sejarah Perkembangan Ilmu Takhrij


Ilmu takhrij pada mulanya hanyalah berupa tuturan kata-kata yang belum tertulis dalam kitab dan tidak banyak
dibutuhkan oleh para ulama pada masa itu.
Keterbatasan para ulama dan peminat hadits untuk menelaah kitab-kitab sunnah, mereka mengalami kesulitan untuk
mengetahui letak hadits yang dijadikan penguat dalam menyusun kitab ilmu syari’ah dan ilmu lainya spt., tafsir, fiqh,
sejarah dll. Sejak peristiwa ini terjadi mulailah muncul suatu ilmu takhrij al hadits.
Ulama yang pertama melakukan takhrij adalah al Khatib al Bagdadi (463 H). Kemudian diikuti oleh Muhammad bin
Musa al Hazimi al Syafi’iy (584 H) dengan karyanya “Takhrij al Ahadits al Mahazzab”.
Periode selanjutnya sekitar abad 4-7 H kegiatan takhrij berupa perbaikan susunan kitab-kitab hadits sudah ada, spt.
Kitab Jami’, Istidrak dan Istikhraj sudah disusun.
Pada abad 8 – 11 H muncul kitab Takhrij yang besar, spt., “Takhrij Ahadits al Mukhtasar al Kabir karya Ibnu al Hajib.

2.4.5 Metode Takhrij Hadits


2.4.5.1.Metode takhrij hadits melalui perawi hadits yang pertama
2.4.5.2.Melalui lafadz matan pertama hadits
2.4.5.3.Melalui kata-kata dalam matan hadits
2.4.5.4.Melalui tema hadits
2.4.5.5.Berdasarkan status hadits
Menurut Syuhudi Ismail menawarkan dua jenis metode:
-Metode penelusuran hadits melalui lafal.
-Metode penelusuran hadits melalui topik masalah.

2.5.Metode Takhrij melalui Perawi Pertama


Metode ini dilakukan dg terlebih dahulu mengetahui secara cermat dan pasti siapa perawi pertama sebuah hadits yang
akan ditakhrij. Perawi pertama itu dpt berupa para sahabat atau tabi’in. Caranya dg mencari nama pertama itu dlm
kitab Hadits tertentu. Setelah ditemukan, langkah selanjutnya mencari hadits yang diinginkan dlm kitab kumpulan
hadits yg diriwayatkan oleh perawi itu.
Kitab-kitab yg membantu ada 3: (1) Kitab al Masanid; (2) Kitab al Ma’ajim; (3) Kitab al Atraf
Kitab al Masanid adalah ktab-kitab hadts yg disusun bersandar kepada nama-nama sahabat
Kitab al Atraf adalah kitab hadits dimana penyusun hadits itu membatasi diri hanya menyebutkan permulaan hadits
untuk mengindifikasikan bunyi selanjutnya. Kitab ini menyebutkan sanad-sanadnya setiap matan
2.6.Metode Takhrij melalui Lafadz Pertama Hadits
Penggunaan metode ini tergantung kepada lafadz pertama Matan hadits, sesuai urutan huruf-huruf hijaiyah.
Kitab-kitab penunjang metode ini ada tiga jenis: (1) Kitab yang khusus memuat hadits-hadits terkenal yg beredar luas
dari mulut ke mulut; (2) Kitab yang memuat hadits-hadits yang tersusun berdasarkan urutan huruf mu’jam
(ensiklopedi); (3) Kunci-kunci daftar isi yg disusun para ulama untuk kitab tertentu.
Kelebihan metode ini adalah hadits dpt ditelusuri sumber aslinya, sanad dan matanya secara lengkap mudah dan cepat.
Kesulitanya adalah bila terdapat kelainan lafadz pertama tersebut meskipun ma’nanya sama.

2.7.Takhrij melalui Kata-kata Dlm Matan Hadits


Metode ini tergantung kepada kata-kata yg terdapat dalam hadits, baik berupa isim atau fa’il serta mengutamakan
kata-kata yg agak asing.
Metode ini menggunakan kitab-kitab diantaranya al Mu’jam al mufahras li al Fadzil Hadits al Nawawi. Kitab Mu’jam
merupakan kamus untuk 9 kitab hadits, yaitu Shahih Bukhari dg kode Kha, Shahih Muslim dg kode mim, sunan
Turmudz dg kode Ta’, Sunan Abu Dawud kode Dal dll.

2.8.Metode Takhrij Melalui Tema Hadits


Metode ini bersandar kepada pengenalan tema-tema hadits. Setelah mengetahui tema hadits yang akan ditakhrij, lalu
mencarinya pada kitab-kitab yg dpt dipakai.
Kitab-kitab yg digunakan : (1) Kitab takhrij hadits secara umum, (2) Kitab-kitab takhrij hadits dari beberapa kitab
tertentu, (3) Kitab-kitab Fiqh, (4) Kitab-kitab hadits hukum, (5) Kitab-kitab hadits Targib wa Tarhib, (6) Kitab-kitab
Tafsir, dan (7) Kitab-kitab takhrij hadits sejarah hidup dan sifat-sifat-sifat nabi

2.9.Metode Takhrij Berdasarkan status Hadits


Metode ini sangat memperhatikan hal ihwal dan sifat-sifatnya yg terdapat pada matan dan sanad.
Kitab-kitab yang berkaitan adalah ......
1. Sekitar hadits mutawatir
2. Sekitar hadits qudsi
3. Sekitar hadits mursal
4. Sekitar hadits maudhu’
KRITIK SANAD DAN MATAN
 Latar Belakang : Hadits Nabi terjadi pemalsuan hadits terutama pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, proses
penghimpunan hadits ke dalam kitab-kitab hadits, dan telah terjadi periayatan hadits secara makna, serta adanya keharusan
penelitian sanad dan matan dalam kedudukan hadits sebagai hujjah

Kaidah dan Langkah Kritik Sanad dan Matan


 Unsur-unsur Kaidah Mayor Kritik sanad yaitu : 1. Sanadnya bersambung; 2. Perawinya bersifat adil; 3. Perawinya bersifat
dhabith; 4. Tidak ada kejanggalan (syudud); dan 5. Tidak terdapat ‘Illat.
 Unsur-unsur Kaidah Mayor Kritik Matan, yaitu tidak terdapat Syudud dan Illat

Unsur Kaidah Minor Kritik Sanad


 Kaidah Mayor Sanad bersambung, mengandung unsur kaidah Minor : (a) Muttashil (bersambung); (b) Marfu’ (bersandar
kepada Nabi); (c) Mahfuzh (terhindar dari syudzudz; dan (d) Bukan Mu’all (bercacat).
 Kaidah Mayor Periwayat bersifat Adil, mengandung unsur kaidah Minor: (a) beragama Islam; (b) Mukallaf (balig dan
berakal); (c) melaksanakan ketentuan agama Islam; (d) memelihara muru’ah (adab kesopanan pribadi yg membawa
pemeliharaan manusia kep. Tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan)
 Unsur Kaidah Mayor Periwayat bersifat Dhabith, mengandung unsur kaidah Minor: (a) Hafal dengan baik hadits yg
diriwayatkanya; (b) Mampu dg baik meyampaikan riwayat hadits yg dihafalnya kep orang lain; (c) Terhindar dari syudzudz
dan (d) Terhindar dari ‘illat

Unsur Kaidah Minor Kritik Matan


 Tolok ukur penelitian matan menurut Al Khathib Al Bagdadi adalah: (1) Tidak bertentangan dg akal yg sehat; (2) Tidak
bertentangan dg hukum Al Qur’an yg telah muhkam; (3) Tidak bertentang dg hadits mutawatir; (4) Tidak bertentangan dg
amalan yg telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu; (5) Tidak bertentang dg dalil yg sudah pasti; dan (6) Tidak bertentang
dg hadits ahad yg kualitas keshahihanya lebih kuat.
Tolok ukur penelitian matan menurut Shalah al Din al Adhabi: (1) Tidak bertentangan dg petunjuk al Qur’an; (2) Tidak
bertentangan dg hadits yg kualitasnya lebih kuat; (3) Tidak bertentangan dg akal sehat, indera, dan sejarah; (4) Susunan
pernyataanya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.

Pertemuan 15

1. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu memahami konsep Inkarussunah

2. Uraian Singkat Materi Pembelajaran


2.1.Pengertian Inkaru Sunnah

Kata” Ingkar sunah “ terdiri dari dua kata yaitu “ Ingkar dan sunah”. Kata “Ingkar” berasal dari akar kata arab ‫اَ ْﻧ َﻜ َﺮ ﯾُﻨْﻜ ُﺮ‬
‫ ا ْﻧ َﻜ َﺮ‬yang mempunyai beberapa arti diantaranya “tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh
atau tidak mengetahui sesuatu dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati. Sedangkan pengertian Inkaru
Sunnah menurut Istilah adalah :
1) Paham yang timbul dalam masyarakat Islam yang menolak hadist dan sunah sebagai sumber ajaran agama Islam
kedua setelah Al-qur’an.
2) Pahan yang timbul pada sebagian minoritas umat Islam yang menolak dasar hukum Islam dari sunah shahih baik
sunah praktis atau yang secara formal dikodifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir ataupun ahad atau
sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.
Definisi kedua lebih rasional yang mengakumulasi berbagai macam Ingkar sunah yang terjadi disebagai masyarakat
belakang ini terutama, sedang definisi sebelumnya tidak mungkin terjadi karena tidak ada atau tidak mungkin seorang
muslim mengingkari sunah sebagai dasar hukum sunah.

2.2.Sejarah Inkaru Sunnah


3. Sejarah perkembangan Ingkar Sunah hanya terjadi dua kali masa, yaitu masa klasik dan masa modern. Menurut Prof.
Dr. M. Mushthafa Al- Azhami sejarah Ingkar sunah klasik terjadi pada masa Asy-Syafi’i (w.204 H) abad ke-2 H/7 M.
Kemudian pada abad modern ingkar sunah timbul kembali di India dan Mesir dari abad 19 M/13 H sampai masa
sekarang.
4. a) Inggkar Sunah Klasik
Ingkar Sunah klasik terjadi pada masa Imam Asy-Syafi’i ( w. 204 H), yang menolak kehujjhan sunah dan menolak
sunah sebagai sumber hukum Islam baikmutawatir atau ahad. Imam Asy-syafi’i yang dikenal sebagai nashir sunah
(pembela sunah) pernah didatangi oleh seseorang yang disebut sebagai ahli tentang mazhab teman-temannya yang
menolak seluruh sunah, baik mutawatir atau ahad. Ia datang untuk berdiskusi dan berdebat dengan Asy-syafi’i secara
panjang dan lebar dengan berbagai argumentasi yang diajukan.

Secara garis besar, Muhammad Abu Zahrah berkesimpulan bahwa ada tiga kelompok pengingkar sunah yang
berhadapan dengan Asy-Syafi’i, yaitu sebagai berikut:
1) Menolak sunah secara keseluruhan, golongan ini hanya mengakui Al-qur’an saja yang dapat dijadikan hujjah.
2) Tidak menerima sunah kecuali, yang semakna dengan Al-qur’an.
3) Hanya menerima sunah mutawatir saja dan menolak selain mutawatir yakni sunah ahad.

Dari penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa formulasi ingkar sunah adalah mereka yang menolak sunah secara
total dan mereka yang menolak hadist ahad dan menerima hadist mutawatir. Para ahli hadist menyebut para kelompok
ini sebagai kelompok ingkar sunah, seperti yang diformulasikan oleh Imam Syafi’i sebagai kelompok ingkar sunah
klasik untuk membedakannya dengan kelompok ingkar sunah yang muncul pada abad ke-14 yang disebut kelompok
ingkar sunah di abad modern.

b) Inkarusunnah Moderen

Sebagaimana pembahasan bahwa ingkar sunah klasik lahir di Irak (kurang lebih abad 2 H/ 7 M), kemudian menetes kembali pada
abad modern di India (kurang lebih 19 M/ 13 H), setelah hilang dari peredaran kurang lebih 11 abad. Baru muncul ingkar sunah di
Mesir pada abad 20 M.
Al-Mawdudi yang dikutip oleh Khadim Husein Ilahi Najasay seorang guru besar fakultas tarbiyah Jamiah Ummmi Al-Qura
Thaif demikian juga dikutip beberapa ahli hadits juga mengatakan bahwa ingkar sunnah lahir kembali di India. Setelah kelahirannya
pertama di Irak masa klasik. Maka timbullah kelompok-kelompok sempalan Al-Quraniyyun seperti Ahl- Ad- Dzikir wa Al-Qur’an
didirikan oleh Abdullah umat muslimah didirikan oleh Ahmad Ad-Din, Thulu Al-Islam yang didirikan oleh Parwez dan gerakan
Ta’mir Insaniyat yang didirikan oleh Abdul Khalik Mawadar.
Pada awal timbulnya ingkar sunah modern ini adalah akibat pengaruh kolonialisme yang semakin dahsyat sejak awal 19 M di
dunia Islam. Terutama di India setelah terjadinya pemberontakan melawan colonial Inggris 1857 M berbagai usaha dilakukan
kolonial untuk pendangkalan ilmu agama dan umum, penyimpangan aqidah melalui pimpinan-pimpinan umat islam dan tergiurnya
mereka terhadap teori-teori baarat untuk memberikan interpretasi hakekat Islam.
Tokoh-tokoh kelompok ingkar sunah modern akhir abad ke 19 dan 20 yang terkenal adalah Taufik Siddqi (wafat 1920 dari
Mesir Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad khalifah kelahiran mesir yang menetap di Amerika serikat dan Kasasim Ahmad
mantan ketua partai sosialis rakyat Malaysia. Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok ingkar
sunnah klasik, untuk lebih jelasnya daapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Taufik Sidqi dari Mesir
Beliau berpendapat bahwa tidak ada satupun hadits nabi SAW yang dicatat pada zamannya.
Pencatatan hadits nabi SAW dilakukan setelah nabi SAW wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadits nabi tersebut manusia
berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadits seperti yang terjadi.
2. Ghulam Ahmad Parvez dari India
Ia adalah pengikut setia Taufik Sidqi, pendapatnya yang terkenal adalah mengenai tata cara sholat yang terserah pada pemimpin umat
untuk menentukan secara musyawarah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat.
3. Rasyad Khalifah dari Amerika Serikat
Ia mengakui bahwa al-quran adalah satu-satunya sumber ajaran islam, namun ia menolak al-hadits bahkan menilainya sebagai buatan
iblis yang di bisikan kepada Nabi Muhammad SAW.
4. Kasim Ahmad dari Malaysia
Menurut pendapatnya asal mula hadits Nabi SAW yang di himpun dalam kitab-kitab hadist adalah dongeng-dongeng semata, karena
hadits nabi tersebut ditulis seteleah nabi SAW wafat
5. Ingkar Sunnah di Indonesia
Tokoh-Tokoh Ingkar sunnah yang tercatat di Indonesia antara lain:
Lukman Sa’ad, Dadang Setio Groho, Safran Batu Bara dan Dalimi Lubis.
Pertemuan 16

Ujian Akhir Semester

REFERENSI

1. Wajib
a. Muhammad Ajaj Al Khatib, Al Sunnah Qabla wa Al Tadwin, Beirut : Dar al Fikr, 1971
b. ----------------------------------, Ushul Al Hadits, Ulumuhu Wa Musthalahuhu, Beirut : Dar
c. Subhi Shalih, Ulum Al Hadits wa Musthalahuhu, Beirut : Dar al Ilmu li al Malayin, 1977
d. Mahmud At Tahhan, Ushulut Takhrij Wa Dirasatu Asanid, Terj. Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadits, Surabaya : PT
Bina Ilmu, 1995
e. Suhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, Jakarta : Gema Insan Press, 1995
f. ------------------, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta : Bulan Bintang, 1992

2. Pendukung
a. M. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung : PT. Ma’arif, 1990
b. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1981
c. ------------------------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1993
d. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Jakarta : Gaya Media Pratama 1996
e. Said Agil Husain Al Munawar, Al Qur’an Membangun Keshalehan Hakiki, Jakarta : Ciputat Prss, 2002

Cirebon, September 2016


Dosen Pengampu,

(Mahbub Nuryadien, M Ag)


Nip. 196710092003121001

Mengetahui,

Ketua Jurusan, Gugus Mutu,

(Dr. H. Suteja, MAg) (Dr. Hj Nurlaela, M.Ag)


Nip. 196303051999031001 Hip.. 196106271986032001
SOAL UTS :

1. Jelaskan oleh saudara tentang : (a) Perbedaan Sunnah, Hadits, Khabar, dan Atsar; (b) Macam-macam Sunnah disertai dengan
contohnya; (c) Perbedaan sunnah atau Hadits dengan Al Qur’an dan fungsi Sunnah atau Hadits terhadap Al Qur’an disertai
contohnya.
2. Berikan uraian singakat tentang Hadits pada masa Nabi dan pada masa sahabat! Bagaimana penulisan, penerimaan atau penyampaian
(transformasi) Hadits, dan pemeliharaan Hadits pada masa tersebut?
3. Hadits ditinjau dari segi kuantitas sanad dapat dikelompokan menjadi Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad. Jelaskan perbedaan kedua
Hadits tersebut, macam-macam Hadits Mutawatir dan macam-macam Hadits Ahad, serta syarat-syarat Hadits Mutawatir dan Hadits
Ahad disertai contohnya!
Good Luck

Ujian Akhir Semester

SOAL :

1. Jelaskan oleh saudara tentang definisi Jarh wa al Ta’dil menurut bahasa dan istilah, sejarah perkembangannya dan tingkatan-
tingkatan lafadz-lafadz Ilmu Jarh wa at Ta/dil!
2. Jelaskan perbedaan Hadits Dha’if dan Hadits Maudu’, faktor-faktor yang menyebabkan munculnya Hadits Mauhdu’, ciri-ciri
(karakteristik) Hadits Maudhu’,dan sebutkan tokoh-tokoh dan contoh-contoh Hadits Maudhu’!
3. Salah pokok bahasan materi Ilmu Hadits adalah Ilmu Takhrij Hadits. Jelaskan oleh saudara definisi Takhrij Hadts menurut bahasa
dan istilah dan metode-metode Takhrij Hadits yang ditawarkan oleh para ulama disertai kelebihan dan kekurangannya!
4. Bagaimana pendapat saudara tentang Inkaru al Sunnah atau Munkiru al Sunnah? Jelaskan argumen-argumen mereka (Inkaru al
Sunnah), baik dalil aqli maupun dalil naqli! Dan bagaimana bantahan para pembela al Sunnah terhadap argumen Inkaru al Sunnah?

Good Luck

Anda mungkin juga menyukai