Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah swt yang memiliki
peranan penting dalam kehidupan di muka bumi. Manusia adalah makhluk yang
paling tinggi derajatnya.” Asal muasal manusia diciptakan oleh Allah yaitu dari
sari pati (berasal) dari tanah. Kemudian dijadikan sari pati itu menjadi air mani
yang disimpan dalam tempat yang kokoh yaitu (rahim). Kemudian air mani itu
diajdikan segumpal darah, dan segumpal darah itu dijadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikannya
mahkluk yang (berbentuk) lain (manusia). Maha Suci Allah, Pencipta yang paling
baik”. (QS. Al-Mu’minun ayat 12-14). Manusia juga diciptakan dengan
diberikan akal yang merupakan aspek rohaniah dalam tubuh manusia yang bisa
membuat manusia itu berpikir dan mampu menganalisis dalam membedakan hal
baik dan buruk. Artinya manusia mempunyai peluang untuk melakukan kejahatan
dan kebaikan. “Kalau sekiranya Kami menurunkan Alquran ini kepada sebuah
gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut
kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia
supaya mereka berpikir.“ (QS Al Hasyir: 21)

Pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup sendiri karena manusia adalah
makhluk sosial, yang perlu kehadiran orang lain dalam melakukan interaksi
sosial. Sebagai makhluk sosial seorang manusia melakukan interaksi dengan
manusia lain dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena hidup manusia akan
berarti jika dapat hidup bersama dengan manusia lain. Menurut H. Booner
(1996) dalam bukunya Social Psychology memberikan rumusan interaksi sosial
bahwa: “Interaksi sosial adalah hubungan antar dua individu atau lebih, dimana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki
kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.” Dalam memenuhi kebutuhan
manusia akan melakukan tindakan sosial. Dari masa pertumbuhan manusia sejak
kecil sudah melakukan tindakan sosial dan semakin dewasa semakin beragam
pula tindakan sosial yang harus dilakukan. Manusia selalu membutuhkan orang

1
lain mulai dari orang terdekat seperti keluarga sampai orang yang sekalipun tidak
dikenal (dalam Titin, 2012). Perilaku manusia yang mementingkan diri sendiri
juga sering terlihat ketika ada orang yang mengalami kesulitan sering tidak
mendapatkan bantuan orang lain. Namun sebagian orang ketika melihat orang
lain dalam kesulitan langsung membantunya sedangkan yang lain diam saja
walaupun mereka sebenarnya mampu untuk membantu. Karena sebagian orang
cenderung menimbang-nimbang dahulu sebelum bertindak untuk menolong dan
ada yang merasa kasihan namun masih mempertimbangkan ketika ingin
menolong (Titin, 2012). Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan adanya rasa empati
pada seseorang. Menurut Hoffman (2002) melihat adanya proses alamiah empati
sejak bayi dan masa-masa selanjutnya

Ketika seseorang merasakan apa yang dirasakan orang lain artinya orang
tersebut mempunyai rasa empati. Sebagai manusia dan mahkluk sosial juga
seorang penumpang sudah seharusnya memiliki rasa empati terutama terhadap
orang yang lebih membutuhkan walaupun sama-sama penumpang. Menurut
Damardjati (1995) pengertian penumpang adalah: “ Setiap orang yang diangkut
ataupun yang harus diangkut di dalam pesawat udara ataupun alat pengangkutan
lainnya, atas dasar persetujuan dari perusahaan ataupun badan yang
menyelenggarakan angkutan tersebut “. Menurut Yoeti (1999) pengertian
penumpang adalah pembeli produk dan jasa pada suatu perusahaan adalah
pelanggan perusahaan barang dan jasa mereka dapat berupa seseorang (individu)
dan dapat pula sebagai suatu perusahaan. Pertengahan Oktober lalu, media sosial
ramai menanggapi sebuah unggahan yang memperlihatkan rendahnya empati
memposting kronologi kejadian saat dua orang perempuan berumur 20 tahunan
yang enggan memberikan kursi prioritas kepada seorang kakek yang berdiri di
samping perempuan tersebut. Awalnya, Ahadi hanya menegur dengan
mengatakan bahwa sang kakek lebih berhak menduduki kursi tersebut. Alih-alih
berdiri, perempuan tersebut malah menimpali permintaan Ahadi dengan
sanggahan yang membuat geleng-geleng kepala, perempuan tersebut meminta
maaf dan mengatakan bahwa dirinya seorang perempuan dan perempuan lemah
harus diprioritaskan. Tak hanya itu, seorang teman perempuannya ikut menjawab
mengatakan mengapa menyuruh mereka berdiri dan perempuan itu malah
mengatakan banci untuk Ahadi, dan mengtakan bahwa Ahadi iri karena tidak

2
mendapatkan tempat duduk. Akhirnya si kakek mengalah dan mengatakan tidak
masalah jika harus berdiri. (tirto.id)

Kejadian serupa sudah sering terjadi. Tempat duduk prioritas (TDP) di


KRL seringkali memang dimanfaatkan oleh orang yang tidak sepantasnya duduk
di kursi tersebut. Rendahnya rasa empati juga tercermin ketika sebuah akun Path
bernama Dinda, pada 2014, mengunggah keluhannya soal ibu hamil yang
meminta tempat duduknya. Pemilik akun tersebut mengatakan bahwa ia benci
terhadap ibu-ibu hamil yang tiba-tiba minta duduk dan ia juga mengatakan bahwa
ia tahu ibu itu hamil tapi tolong berangkat pagi ke stasiun. Kemudian ia
mengatakan bahwa ia saja yang tidak hamil bela-belain berangkat pagi demi
mendapatkan tempat duduk ia juga menambahkan lagi dengan mengatakan tidak
mau susah tapi nyusahin orang kalau tidak mau susah jangan kerja dirumah saja.
Wanita itu juga mengatakan dalam media sosialnya mentang-mentang hamil
maunya dingertiin tapi tidak mau usaha, terakhir ditambahkan dengan hastag
notetomyselfjgnnyusahinorg!. Unggahan pun menyebar di berbagai media setelah
di screenshoot, dan menjadi viral akunya pun sealama bulan-bulanan menjadi
bahan cacian. Namun setelah kejadian itu pemilik akun Dinda memposting
permintaan maaf yang masih dibumbui kalimat pembelaan diri.
https://tirto.id/empati-di-atas-tempat-duduk-prioritas-krl-b36x. (diakses pada hari
Rabu tanggal 1 Mei 2019 21.08 WIB).

Seperti halnya di dalam bus Trans kutaraja yang merupakan transportasi


umum banyak orang tua atau orang yang benar-benar membutuhkan rasa empati
tersebut. Setiap manusia pasti memiliki rasa empati walaupun hanya sedikit.
Namun ketika seseorang itu merasa empati saat melihat seseorang membutuhkan
pertolongan, tetapi belum tentu dengan rasa empati itu seseorang akan menolong.
Karena setelah di observasi masih banyak kaum muda yang belum menyalurkan
rasa empatinya. Artinya masih menimbang-nimbang ketika ingin menolong. Dari
hasil observasi masih banyak terlihat kaum yang muda atau yang lebih muda
tidak menyalurkan rasa empati itu, terlihat saat seorang nenek masuk kedalam
bus kemudian tempat duduk pun penuh, namun tidak satu pun kaum yang lebih
muda mengerti untuk bangun dan memberikan tempat duduknya untuk nenek
tersebut yang lebih membutuhkan. Begitu juga terhadap orang yang lebih muda,
masih banyak yang belum menyalurkan rasa empatinya. Ini merupakan suatu

3
masalah apalagi Banda Aceh terkenal dengan syariat islam, namun hal seperti itu
masih banyak ditemukan. Apakah masyarakat Banda Aceh yang merupakan
daerah bersyariat islam masih minim dengan rasa empati?

Rasa empati mungkin dimiliki oleh semua manusia. Para teoretikus awal
memandang empati sebagai trait atau karakter yang stabil dan dapat diukur,
namun tidak dapat diajarkan (Cronbach, 1955, dan Hogan, 1969). Dengan kata
lain, mereka mengatakan bahwa empati bersifat “being”, dimiliki oleh manusia
secara kodrati sebagai pemberian dari Allah Swt., atau secara genetis diturunkan
oleh para orangtua kepada anak-anaknya. Namun demikian, mereka menyatakan
empati tidak dapat dikembangkan. Mereka meyakini empati hanya bisa diukur,
tetapi untuk mengukurnya mereka masih belum ada kesepahaman mengenai
instrument mana yang paling tepat untuk digunakan. Pendapat mereka ini
dikemudian hari akan diluruskan oleh para ilmuwan lainnya, mereka mengatakan
empati dapat diukur dan dapat pula ditingkatkan. Menurut Danil Batson dengan
empati dapat mendorong seseorang untuk melakukan pertolongan altruisme (Siti,
2015)

Menurut Salam altruisme merupakan asal kata dari alteri yang berarti
other, orang lain berkebalikan dengan egoism. Altruisme adalah suatu paham
atau aliran yang pada prinsipnya mengutamakan kepentingan orang lain sebagai
lawan dari kepentingan diri sendiri (Titin, 2012). Jadi seseorang yang mempunyai
rasa empati belum tentu juga mempunyai rasa altruisme, namun jika seseorang
mempunyai rasa altruisme sudah pasti orang tersebut mempunyai rasa empati.
Secara garis besar perbedaan empati dan altruisme adalah empati ikut merasakan
apa yang orang lain rasakan (adanya tekanan), sedangkan altruisme perilaku
menolong timbul tanpa adanya tekanan atau kewajiban, melainkan bersifat suka
rela tanpa menimbang-nimbang. Frans (2008) menjelaskan altruisme sebagai
perilaku membantu atau menghibur yang diarahkan pada individu yang
membutuhkan pertolongan, ketika sedang sakit, atau sedang mengalami tekanan.
Individu yang memiliki sifat altruis selalu berusaha untuk mempertimbangkan
hak dan kesejahteraan orang lain, mereka selalu berusaha agar orang lain tidak
mengalami kesusahan. Banyak hal yang dapat mendorong seseorang memiliki
perilaku altruisme.

4
Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan perilaku
altruisme adalah empati. Artinya rasa empati dapat mendorong seseorang
berprilaku altruisme, semakin tinggi rasa empati semakin besar peluang
seseorang menjadi altruisme. Sarwono mengatakan perilaku altruisme merupakan
perilaku yang dilakukan seseorang untuk memberikan bantuan pada orang lain
yang bersifat tidak mementingkan diri sendiri dan bukan untuk kepentingan diri
sendiri (dalam Linda, 2017). David mengatakan altruisme adalah motif untuk
meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa sadar untuk kepentingan seseorang
(dalam Siti, 2015).

Masih banyak masyarakat aceh yang belum menerapkan perilaku


altruisme ini, sama halnya ketika didalam bus Transkutaraja bahwa masih ada
terlihat orang-orang yang lebih muda tidak mempunyai rasa untuk menolong
ketika ada seorang nenek-nenek atau orang yang lebih tua dan lebih
membutuhkan tempat duduk. Mungkin para penumpang yang lebih muda ketika
melihat seorang nenek yang berdiri dengan kekuatan yang tidak terlalu kuat lagi
seperti kuatnya orang muda mungkin ikut merasakan apa yang dirasakan nenek-
nenek tersebut artinya seseorang itu mempunyai rasa empati namun belum tentu
memiliki rasa altruisme. Artinya dengan rasa empati itu seseorang masih
menimbang-nimbang apakah ingin membantu atau tidak. Sedangkan altruisme
rasa tolong menolong dengan suka rela tanpa menimbang-nimbang apapun. Teori
yang mendukung seperti menurut Myers (2000) yaitu teori norma sosial yang
mengemukakan bahwa kita membantu orang lain karena sesuatu meminta kita,
bahwa kita semestinya berbuat sesuatu, seseatu itu berupa norma (dalam Titin,
2012). Teori ini sesuai dengan apa yang ingin diteliti pada penelitian ini.
Sedangkan menurut Mussen (Safaria 2005) aspek yang terkandung dalam empati
mereka mampu menyadari orang lain, memandang segala sesuatu tidak seperti
mereka. Dan mereka sering memodifikasi perilakunya dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan minat orang lain. Fesbach, empati adalah
sejenis pemahaman perspektif yang mengacu pada “respon emosi yang dianut
bersama dan dialami individu ketika ia mempresepsikan reaksi emosi orang lain”.
Artinya empati dapat mempengaruhi seseorang melakukan altruisme. Semakin
besar rasa empati maka peluang perilaku altruisme semakin besar (dalam Titin,

5
2012). Peneliti ingin melihat hubungan empati dengan perilaku altruisme pada
penumpang Transkutaraja di Kota Banda Aceh.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah utama
dalam penelitian ini adalah “Apakah ada Hubungan Antara Empati dan Prilaku
Altruisme Pada Penumpang Transkutaraja di Kota Banda Aceh?”

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk
“Mengetahui Apakah ada Hubungan antara Empati dengan Perilaku Altruisme di
Kota Banda Aceh”.

D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti, maka
diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi setiap pembaca.
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah teori dalam
bidang psikologi dan memberikan manfaat untuk perluasan pemikiran tentang
pengembangan ilmu psikologi, khususnya yang berhubungan dengan penelitian
tentang hubungan antara empati dan prilaku altruisme pada penumpang
transkutaraja di Kota Banda Aceh.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dijadikan sebagai salah
satu sumber informasi serta penambahan wawasan dan pengetahuan agar para
penumpang memiliki rasa empati yang tinggi dalam berkehidupan sosial.

E. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ini berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu
yang mempunyai karakteristik yang relatif sama dalam hal tema yang ingin
dikaji, namun memiliki perbedaan dalam hal kriteria subjek dan metode
penelitian yang akan digunakan. Penelitian yang akan dilakukan adalah mengenai

6
hubungan antara empati dan perilaku altruisme pada penumpang Transkutaraja di
Kota Banda Aceh. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Titin
Nurhidayati (2012) tentang empati dan munculnya perilaku altruistik pada masa
remaja dimana penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku altruistik merupakan
perilaku menolong orang lain dengan tidak memikirkan imbalan dari siapapun.
Seseorang yang melakukan perilaku altruistik karena dalam diri orang itu
tertanam rasa empati, rasa empati muncul ketika seseorang menghubungkan
egoism dengan simpati, yang merupakan sumber seseorang melakukan perilaku
altruistik.
Penelitian lain yaitu hubungan antara empati dengan perilaku altruisme
pada mahasiswa psikologi universitas muhammadiyah dilakukan oleh (Siti
Fatimah, 2015) penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan positif yang
sangat signifikan antara empati dengan perilaku altruisme artinya semakin tinggi
empati maka semakin pula perilaku altruisme mahasiswa, sebaliknya semakin
rendah empati maka semakin rendah dengan perilaku altruisme.
Penelitian lain yang juga terkait adalah penelitian yang dilakukan oleh
Linda Tri Sulawati (2017) mengenai perilaku altruis relawan organisasi AbdA
ditinjau dari tingkat EQ dan SQ, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku
altruisme relawan Aku Berjuang di jalan Allah (AbdA) ditinjau dari tingkat
kecerdasan emosi dan tingkat kecerdasan spiritual.
Penelitian terakhir yang juga terkait adalah penelitian yang dilakukan
oleh (Toni, Itriyah, dan Desy) mengenai hubungan antara empati dengan perilaku
altruisme pada komunitas Punk Food Not Bombs di Kota Palembang,
berdasarkan analisis penelitian ini menyimpulkan bahwa besarnya koefisien
antara variable perilaku altruisme dengan empati menunjukkan bahwa ada
hubungan yang sangat signifikan antara perilaku altruisme dengan empati pada
komunitas Punk Food Not Bombs di Kota Palembang. Terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara perilaku altruisme dengan empati.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa walaupun


telah ada penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dan membahas tentang
hubungan antara empati dengan perilaku altruisme, namun terdapat perbedaan
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Dengan demikian,

7
maka penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini dapat dikatakan benar
keasliannya.

8
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Empati
1. Definisi Empati

Banyak teori empati dan penemuan yang mencoba menjelaskan hubungan


perilaku dan hasil. Hurlock (1991) menjelaskan bahwa empati merupakan
kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami perasaan dan emosi orang
lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri mengalami perasaan
yang sama dengan orang tersebut. Menurut Keen (2007) empati adalah mengenali
perasaan orang lain dan dapat berpartisipasi dalam perasaan emosional orang
tersebut tanpa mengalami sendiri. Berbeda lagi dengan pendapat dari Gagan
(1983) yang mengartikan empati sebagai kemampuan untuk merasakan perasaan
orang lain. Disisi lain, menurut Halpern (2007) empati adalah keterampilan yang
dipelajari atau sikap hidup yang dapat digunakan untuk masuk ke dalam dunia
orang lain yang bertujuan untuk dapat memahami dan mengerti perasaan orang
tersebut.

Davis (1980) empati meliputi kapasitas afektif untuk merasakan perasaan


orang lain dan kapasitas kognitif untuk memahami sudut pandang orang lain.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi empati


adalah sekumpulan konstruk yang berkaitan dengan respon seseorang terhadap
hal-hal yang dialami orang lain dan secara spesifik yaitu meliputi proses yang
terjadi pada pengamat serta bentuk afektif dan non-efektif yang dihasilkan dari
proses tersebut.

2. Aspek-aspek Empati

Menurut Davis (1980) mengungkapkan bahwa terdapat 4 aspek


empati:

a. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut


pandang orang lain secara spontan. Perspective taking secara psikologis dan

9
sosial penting bagi keharmonisan interaksi antar individu. Perspective dapat
menurunkan stereotype dan pandangan buruk terhadap kelompok lain secara
lebih efektif dibandingkan dengan melakukan penekanan terhadap stereotype.
Apabila konsep perspective taking ini dikaitkan dengan theory of mind,
dimana seseorang dapat menyimpulkan kondisi mental orang lain,
memahami dari perspektif mereka, dan dapat pula menginterpretasikan serta
memprediksi perilaku selanjutnya dari orang lain. Kunci pokoknya adalah
dimana seseorang dapat mengoptimalkan kemampuan berpikirnya untuk
memahami kondisi orang lain, melalui pemaknaan sikap dan perilaku yang
terlihat. Karena berkaitan erat dengan daya kognisi, kemampuan setiap orang
dalam melakukan perspective taking akan berbeda-beda tergantung dengan
kecermatan analisisnya.
b. Fantasy, merupakan kecenderungan seseorang untuk mengubah diri ke dalam
perasaan dan tindakan dari karakter-karakter khayalan yang terdapat pada
buku-buku, layar kaca, bioskop, maupun dalam permainan-pcrmainan. Aspek
ini akan melihat kecenderungan individu menempatkan diri dan hanyut
dalam perasaan dan tindakan aktor.
c. Empathic Concern, merupakan orientasi seseorang terhadap orang lain
berupa perasaan simpati , kasihan dan perduli terhadap orang lain yang
ditimpa kemalangan. Emphatic Concern sebagai cermin dari perasaan
kehangatan dan simpati, erat kaitannya dengan kepekaan dan keperdulian
terhadap orang lain
d. Personal distress, merupakan orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri
yang meliputi perasaan cemas dan gelisah pada situasi interpersonal.
Kegelisahan dalam hubungan interpersonal menyebabkan individu melarikan
diri dari situasi tersebut untuk mereduksi ketegangan, sehingga seseorang
dengan personal distress yang tinggi akan memiliki empati yang rendah,

Berdasarkan uraian aspek-aspek diatas, dapat ditarik kesimpulan


bahwa dalam penelitian ini aspek-aspek yang dipakai sebagai acuan untuk
membuat alat ukur adalah aspek-aspek empati dari Davis (1980) yang
meliputi 4 (empat) aspek, yaitu :
a. Aspek Perspectiv Taking

10
Dengan indikator : memahami bagaimana seseorang akan berpikir dan
merasakan apabila ia berada pada posisi orang lain
b. Aspek Fantasy
Dengan indikator: membayangkan bagaimana seseorang dapat
merasakan yang orang lain rasakan
c. Aspek Empatic Concern
Dengan indikator: perasaan simpati terhadap kemalangan orang lain
d. Aspek Personal Distress
Dengan indikator: perasaan cemas dan gelisah pada situasi interpersonal

B. Altruisme
1. Definisi Perilaku Altruisme

Menurut David O. Sears (1991), altruistik adalah tindakan sukarela yang


dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa
mengharapkan apapun kecuali mungkin perasaan melakukan kebaikan
(Roudlotul, 2018). Menurut Glasman (2009) altruistik adalah konsep perilaku
menolong seseorang yang didasari oleh keuntungan atau manfaat yang akan
diterima pada kemudian hari dan dibandingkan dengan pengorbanan yang ia
lakukan saat ini untuk menolong orang tersebut. Istilah altuistik ini digunakan
pertamakali oleh Auguste Comte. Dalam penjabarannya mengenai altruistik,
Auguste Comte membagi sifat altruistik menjadi dua, yaitu perilaku menolong
yang altruistik dengan 17 altruistik menolong yang egois. Menurutnya dalam
memberikan pertolongan, manusia memiliki motif (dorongan), yaitu altruistik
dan egois. Kedua dorongan tersebut sama-sama ditujukan untuk memberikan
pertolongan. Perilaku menolong yang egois tujuannya justru memberi manfaat
untuk diri si penolong atau dia mengambil manfaat dari orang yang ditolong.
Sedangkan perilaku menolong altruisme yaitu perilaku menolong yang ditujukan
semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong (Desmita, 2008). Istilah
altruisme kadang-kadang digunakan secara bergantian dengan tingkah laku
prososial, altruisme yang sesungguhnya adalah kepedulian yang tidak
mementingkan diri sendiri melainkan untuk kebaikan orang lain (Baron&Byrne,
2005).

11
Lebih jelasnya lagi David G. Myers (2012) memaparkan bahwa altruistik
adalah lawan dari egoisme. Altruistik merupakan motif untuk meningkatkan
kesejahteraan orang lain tanpa sadar untuk kepentingan pribadi seseorang. Orang
yang altruistik peduli dan mau membantu meskipun jika tidak ada keuntungan
yang ditawarkan atau tidak ada harapan ia akan mendapatkan kembali sesuatu.
Altruistik adalah kebalikan dari sifat egois, menolong dengan disertai mengharap
keuntungan bukan termasuk sifat altruistik. Hal tersebut karena dengan
mengharapkan suatu timbal balik dari suatu tindakan menolong bukan tindakan
yang semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong melainkan mengharap
upah kebaikan untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain tidak semua bentuk
perilaku tolong menolong dapat disebut sebagai altruistik, namun perlu melihat
motif (niat) penolong dalam melakukan pertolongan kepada orang lain. Dalam
ajaran islam diajarkan bahwa seorang muslim harus mengutamakan kepentingan
orang lain dari pada dirinya sendiri bahkan meskipun ia miskin. Kepribadian
tersebut adalah altruistik yang merupakan sebuah karakter dasar pada muslim
sejati, yang membedakan dari orang lain. Mereka mampu menyampingkan
egonya untuk membantu orang lain dan sifat ini sangat mulia. Allah berfirman:
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya" (Surat Al-
Maidah : 2)

Dapat disimpulkan bahwa kepribadian altruistik merupakan perilaku


tolong-menolong dengan suka rela dan memberikan manfaat kepada orang lain
tanpa mengharapkan imbalan dari perbuatan tolong-menolong yang telah
dilakukan.

2. Aspek-aspek Altruisme

Alruisme tidak dapat diukur menggunakan angka, namun bisa dianalisis


melalui perbuatan-perbuatan yang tampak dan dapat diindra oleh panca indra.
Untuk mendeteksi seberapa besar tingkat altruis seseorang kita dapat
mengukurnya lewat aspek-aspek atau karakteristik altruisme.

12
Menurut Myers (2012 karakteristik seseorang yang memiliki sifat
altruisme yaitu orang yang memiliki lima sifat pada dirinya. Sifat tersebut antara
lain :

a. Empati

Perilaku altruistis akan terjadi dengan adanya empati dalam diri


seseorang. Seseorang yang paling altruis merasa diri mereka paling
bertanggung jawab, bersifat sosial, selalu menyesuaikan diri, toleran, dapat
mengontrol diri, dan termotivasi untuk membuat kesan yang baik.

b. Belief On A Just World (Meyakini Keadilan Dunia)

Seorang yang altruis yakin akan adanya keadilan di dunia (just world),
yaitu keyakinan bahwa dalam jangka panjang yang salah akan dihukum dan
yang baik akan dapat hadiah. Orang yang keyakinannya kuat terhadap
keadilan dunia akan termotivasi dengan mudah menunjukkan perilaku
menolong.

c. Sosial Responsibility (Tanggung Jawab Sosial)

Setiap orang bertanggung jawab terhadap apapun yang dilakukan


orang lain, sehingga ketika ada orang lain yang membutuhkan pertolongan
orang tersebut harus menolongnya.

d. Kontrol Diri Secara Internal

Karakteristik dari perilaku altruistik selanjutnya adalah mengontrol


dirinya secara internal. Hal-hal yang dilakukan dimotivasi oleh kontrol dari
dalam dirinya (misalnya kepuasan diri).

e. Ego yang Rendah


Seseorang yang altruis memiliki keegoisan yang rendah. Dia
lebih mementingkan orang lain dari pada dirinya sendiri.

13
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Altruistik
Ada lima karakteristik kepribadian yang ditemukan di antara orang-orang
di eropa yang secara aktif ditahun 1940-an menyelamatkan Yahudi dari
pembunuhan Nazi (Oliner & Oline, 1988) sebagai berikut:
1. Empati.
Seperti yang anda duga, mereka yang menolong ditemukan
mempunyai empati lebih tinggi dari pada mereka yang tidak menolong.
Partisipan yang paling altruistik menggambarkan diri mereka sebagai
bertanggung jawab, bersosialisasi, menenangkan, oleran, memiliki self-
control, dan termotivasi untuk membuat impresi yang baik.
2. Mempercayai Dunia Yang Adil.
Orang yang menolong mempersepsikan dunia sebagai tempat yang
adil dan percaya bahwa tingkah laku yang baik diberi imbalan dan
tingkah laku dan tingkah laku yang buruk di beri hukuman. Kepercayaan
ini mengarah pada kesimpulan bahwa menolong yang membutuhkan
adalah hal yang tetap untuk di lakukan dan adanya pengharapan bahwa
orang yang menolong akan mendapat keuntungan dari melakukan
sesuatu yang baik.
3. Tanggung Jawab Sosial.
Mereka yang paling menolong mengekspresikan kepercayaan bahwa
setiap orang bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik untuk
menolong orang yang membutuhkan.
4. Locus Of Control Internal.
Ini merupakan kepercayaan individu bahwa dia dapat memilih untuk
bertingkah laku dalam cara yang memaksimalkan hasil akhir yang baik
dan meminimalkan yang buruk. Mereka yang menolong mempunyai
locus of control internal yang tinggi. Mereka yang tidak menolong,
sebaliknya, cenderung memiliki locus of control eksternal dan percaya
bahwa apa yang mereka lakukan tidak relevan, karena apa yang terjadi di
atur oleh keuntungan, takdir, orang-orang yang berkuasa, dan factor-
faktor yang tidak terkontrol lainnya.
5. Egosentrisme Yang Rendah.
Mereka yang menolong tidak bermaksud untuk menjadi egosentris,
self-absorbed, dan kompetitif.

14
C. Transportasi
1. Definisi Transportasi

Menurut Bowersox (1981), transportasi adalah perpindahan barang


atau penumpang dari suatu tempat ketempat lain, dimana produk dipindahkan
ke tempat tujuan dibutuhkan. Dan secara umum transportasi adalah suatu
kegiatan memindahkan sesuatu (barang dan/atau barang) dari suatu tempat ke
tempat lain, baik dengan atau tanpa sarana.

2. Definisi Penumpang
Menurut Yoeti (1999) pengertian penumpang adalah Pembeli Produk dan
jasa pada suatu perusahaan adalah pelanggan perusahaan barang dan jasa
mereka dapat berupa seseorang (individu) dan dapat pula sebagai suatu
perusahaan.

3. Definisi Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh adalah salah satu kota yang berada di Aceh dan
menjadi ibukota Provinsi Aceh, Indonesia. Sebagai pusat pemerintahan,
Banda Aceh menjadi pusat kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya.
Kota Banda Aceh juga merupakan kota Islam yang paling tua di Asia
Tenggara, di mana Kota Banda Aceh merupakan ibu kota dari Kesultanan
Aceh.

D. Hubungan Empati dengan Perilaku Altruisme Pada Penumpang


Transkoetaradja

Individu yang altruistik akan peduli dan mau membantu meskipun


tidak ada keuntungan yang di tawarkan atau tidak diharapkan akan mendapat
imbalan (Myers, 2012). Menurut Wilson dan petruska (dalam Roudlotul,
2018) individu yang memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menolong
biasanya memiliki karakteristik kepribadian, yakni memiliki harga diri yang
tinggi, rendahnya kebutuhan akan persetujuan orang lain, dan rendahnya
menghindari tanggung jawab.

15
Dalam menaiki transportasi umum seperti transkutaraja khususnya di
Banda Aceh sebagai penumpang sudah seharusnya memiliki rasa tolong
menolong terhadap sesama penumpang yang memang membutuhkan
pertolongan, seperti orang yang lebih tua, ibu hamil, dan orang-orang yang
membutuhkan bantuan. Dalam hal ini seperti tempat duduk yang penuh. Rela
menolong berarti melakukan perbuatan baik untuk kepentingan orang lain
yang kurang mampu. Dengan maksud, agar orang yang di tolong dapat
tertolong. Dengan label bahwa Kota Banda Aceh adalah kota islam atau
bersyariat islam artinya hal tersebut menuntut agar terbiasa dalam tolong
menolong. Hal ini adalah salah satu bentuk perilaku yang altruistik, yaitu
individu dapat berempati, peka, berinisiatif, dan rela berkorban serta memiliki
tanggung jawab sosial (Myers, 1994). Menurut Bierhoff (dalam Meyers,
2012) menjelaskan bahwa tingkah laku altruistik berdasarkan pada motivasi
individu yang menolong dan motivasi yang dimiliki untuk bertingkah laku
prososial disebabkan adanya empati. Hal tersebut diperkuat oleh (Dayaksini
dan Hudaniah 2009) yang menyatakan bahwa empati merupakan dasar dari
lahirnya perilaku menolong. Menurut (Oliner & Oline, 1988) faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku altruistik yaitu empati. Egosentrisme yang
rendah, Tanggung jawab sosial, Locus of control internal, dunia yang adil.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakakn oleh Batson


(1991) yang menjelaskan bahwa empati dapat menimbulkan dorongan untuk
menolong dan tujuan dari menolong itu untuk memberikan kesejahteraan bagi
target empati. Menurut Batson (1991), sebagian besar perilaku menolong
bersifat egois, namun dia juga berpendapat bahwa altruistik yang murni juga
ada, meskipun tidak begitu banyak yang melakukan. Salah satu penjelasan
mengapa empati membangkitkan perilaku menolong, karena menolong di
anggap sebagai cara yang efisien untuk mengurangi penderitaan orang lain.
Empati adalah salah satu penyebab membangkitkan seseorang untuk
memberikan pertolongan secara tulus yang berorientasi pada kesejahteraan,
kebaikan, kemaslahatan orang yang ditolong. Pertolongan yang diberikan,
dengan dorongan altruistik ini tidak menimbang keuntungan dan kerugian,
kalaupun dari hasil menolong itu menghasilkan kerugian (baik materi maupun
non materi) tidak akan mempengaruhi niat seseorang untuk menolong.

16
Hal ini diperkuat dengan kasus di sebuah transportasi public Jakarta
khususnya KRL, disediakan Tempat Duduk Prioritas (TDP) yang
diperuntukkan bagi orang lanjut usia, perempuan hamil, anak kecil dan
penyandang disabilitas. Empati diuji, akal sehat diukur. Banyak anak muda
yang tak peduli. (tirto.id, 2016). Kasus tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara empati dan perilaku altruistik. Bahwa
semakin tinggi empati yang dimiliki maka semakin tinggi pula altruisme. Hal
ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang berhubungan dengan
tinggi rendahnya altruistik seseorang.

Kedua variabel tersebut saling keterkaitan, karena empati lahir secara


naluri dan empati juga mendukung munculnya perilaku altruisik. Dalam diri
seseorang rasa empati dan perilaku altruistik memberikan suatu tindakan yang
positif, yaitu saling tolong menolong khususnya didalam transportasi umum
terhadap orang-orang yang membutuhkan seperti orang lanjut usia, perempuan
hamil, anak kecil dan penyandang disabilitas.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat digambarkan suatu


kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

DORONGAN
TINGGI BERPERILAKU
ALTRUISME BESAR
EMPATI

RENDAH DORONGAN
BERPERILAKU
ALTRUISME KECIL

E. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian diatas maka hipotesis dalam


penelitian ini adalah: “ Terdapat hubungan negatif antara empati dan perilaku
altruisme pada penumpang Transkutaraja”. Yaitu semakin rendah tingkat empati
semakin rendah pula tingkat altruisme.

17
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Dan Metode Penelitian


Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian
yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada
populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya
dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian,
analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis
yang telah ditetapkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan
tujuan untuk mendeskripsikan objek penelitian ataupun hasil penelitian. Sugiyono
(2012)

B. Identifikasi Variabel Penelitian


1. Variabel Bebas
Variabel ini memengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau
timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2013:39). Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah empati
2. Variabel Terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013: 39). Variabel
dependen dalam penelitian ini adalah perilaku altruisme.

C. Defenisi Operasional Variabel Penelitian


1. Empati
Davis (1980) mendefinisikan empati meliputi kapasitas afektif untuk
merasakan perasaan orang lain dan kapasitas kognitif untuk memahami
sudut pandang orang lain. Menurut Davis (1998) empati memiliki
beberapa aspek yaitu:
a) Aspek Perspectiv Taking,
b) Aspek Fantasy,
c) Aspek Empatic Concern,
d) Aspek Personal Distress.

18
Pada dasarnya empati adalah kemampuan mengerti, memahami dan
merasakan apa yang orang lain rasakan serta kemampuan untuk
membayangkan jika diri sendiri mengalami perasaan yang sama dengan
orang tersebut.

2. Perilaku Altruisme
Myers (2012) memaparkan bahwa altruistik adalah lawan dari
egoisme. Altruistik merupakan motif untuk meningkatkan kesejahteraan
orang lain tanpa sadar untuk kepentingan pribadi seseorang. Orang yang
altruistik peduli dan mau membantu meskipun jika tidak ada keuntungan
yang ditawarkan atau tidak ada harapan ia akan mendapatkan kembali
sesuatu. Menurut Myers (2012) perilaku altruisme terdiri dari lima aspek
yaitu :
1) Empati
2) Belief On A Just World (Meyakini Keadilan Dunia)
3) Sosial Responsibility (Tanggung Jawab Sosial)
4) Kontrol Diri Secara Internal
5) Ego yang Rendah

Pada dasarnya perilaku altruisme adalah tolong-menolong dengan


suka rela dan memberikan manfaat kepada orang lain tanpa mengharapkan
imbalan dari perbuatan tolong-menolong yang telah dilakukannya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, S. (2015). HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU


ALTRUISME PADA MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA. NASKAH PUBLIKASI, 1-10.

Nurhidayati, T. (2012). empati dan munculnya perilaku altruistik pada masa remaja. edu
islamika, 102-123.

Sulawati, L. T. (2017). Perilaku Altruis Relawan Organisasi AbdA di Tinjau dari Tingkat
EQ dan SQ. Jurnal Psikologi Integratif, 142-156.

Yoeti, O.A. 1999. Psikologi Pelayanan Wisata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Toni, I. D. (n.d.). HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU
ALTRUISME PADA KOMUNITAS PUNK FOOD NOT BOMBS DI KOTA
PALEMBANG.

Davis, M. H. (1980). A Multidimensional Approach to Individual Differences in


Empathy. JSAS Catalog of Selected Documents in Psychology, 10, 85
Keen S (2007). Empathy and the Novel. Oxford University Press.

Gagan JM (1983). Methodological notes on empathy. Advances in Nursing


Science,5:65–7
Halpern J. (2007). Empathy and Patient-Physician Conflicts. Society of General Internal
Medicine, 22:696–700
Hurlock, E. B. (1991). Perkembangan anak. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.
Davis, M.H. (1980). A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy.
Catalog of Selected Documents in Psychology, 10, 1-19
Viorensika, S., & Suleeman, J. (2013). Gambaran Empati Pada Mahasiswa Psikologi
Jenjang Sarjana. FPsi UI, 5-8.

David O, sears, dkk (1985). Sosial Psychology Fth Edition (Alih Bahasa; Michaef
Adryantoo, Jakarta; Erlangga. Edisi Kelima).

Desmita, (2008). Psikologi Perkembangan, Bandung: Remaja Rosdakarya.

20
Baron, R.A., & Byrne, D., (2004) . Psikologi Sosial jilid 1 (edisi kesepuluh). Jakarta:
Penerbit Erlangga.

David G. Myers, Psikologi Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hal. 187.

Tamin, O. Z., (1997), Perencanaan dan Pemodelan Transportasi , Penerbit ITB,


Bandung.

Wikimicky. (2018, 07 22). Kota Banda Aceh. https://web.werosae.com/read-


blog/39_kota-banda-aceh.html.

tirto.id. (2016, 11 11). Empati di Atas Tempat Duduk Prioritas KRL.


https://tirto.id/empati-di-atas-tempat-duduk-prioritas-krl-b36x.

Sugiyono. 2013. Metodelogi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. (Bandung:


Alfabeta)

21

Anda mungkin juga menyukai