Anda di halaman 1dari 4

Kekayaan Sumber Daya Alam Kongo, Berkah atau Kutukan?

Praktik-praktik brutal milisi bersenjata di pertambangan, salah kelola ekonomi, kepemimpinan


diktator dan korupsi melanggengkan krisis kemanusiaan di Kongo.

tirto.id - Benua Afrika kaya dengan kekayaan alam yang tersebar di 54 negara. Sierra Leone dan
Botswana terkenal akan hasil tambang berlian. Nikel dan uranium yang berlimpah dapat ditemui di
tanah Burundi, aluminium dan gas di Guinea dan Mozambique, lalu emas di Burkina Faso dan Benin.

Lima dari 30 negara penghasil minyak terbesar di dunia juga ada di Afrika dan 30 persen dari
kandungan sumber daya mineral yang ada di muka bumi juga ditemukan di benua hitam ini.

Di antara sederet negeri Afrika yang dikaruniai sumber daya alam berlimpah, Republik Demokratik
Kongo sangat berpotensi menjadi negara terkaya di muka bumi.

Sungai Kongo menyandang predikat berlapis: terpanjang kedua di Afrika setelah sungai Nil di Mesir,
terbesar kedua di dunia setelah sungai Amazon, dan terdalam di dunia mencapai lebih dari 220
meter. Ditunjang iklim tropis dan tipikal hutan hujan lebat, rakyat Kongo seharusnya tidak
kekurangan sumber air bersih dan segala aktivitas kehidupan dasar lainnya.

Selain diberkahi kesuburan, tanah Kongo juga mengandung banyak sekali kekayaan alam bernilai
mahal. Emas dan koltan yang terkandung dalam komponen sirkuit elektronik telepon genggam dan
komputer salah satunya berasal dari Kongo.

Produksi uranium Kongo juga tersohor, termasuk yang dipakai untuk meracik bom atom yang
meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Beberapa produk mineral lainnya seperti berlian,
kobalt, koltan hingga minyak bumi menambah kekayaan tanah yang dulunya bernama Zaire ini.

Berkat atau Kutukan?

Kekayaan sumber daya alam Kongo ternyata tak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya.
Alih-alih berkubang uang dan hidup mapan, berbagai jenis mineral berharga ini malah
mendatangkan penderitaan berupa kolonialisme dan konflik bersenjata.

Situasi perebutan sumber daya alam yang bermula di bawah kolonialisme Belgia, terus berlanjut
hingga hari ini. Berita-berita yang keluar dari Kongo lebih sering menampilkan wajah perang sipil
antara pemerintah dan kelompok bersenjata, kediktatoran hingga korupsi.
Dilansir dari AFP, kobalt adalah salah satu mineral yang dipakai untuk produk baterai berteknologi
tinggi. Mineral ini tersemat dalam baterai ponsel keluaran iPhone hingga mobil listrik Tesla. Dalam
dua tahun terakhir, harganya sudah mencapai 81.500 dolar per ton.

Dengan predikat pemasok dua pertiga kobalt untuk pasar global, para penambang Kongo menjual
biji kobalt berkualitas tinggi hanya sekitar 7.000 dollar per ton. Mereka seperti tak menyadari betapa
harga kobalt tengah meroket.

Praktik penambangan kobalt di Kongo sering mendapat kritik dari kalangan LSM lantaran melibatkan
para pekerja anak-anak dan dengan kondisi kerja yang berbahaya. Laporan Amnesty Internasional
pada November 2017 menyebutkan bahwa hampir separuh dari 28 perusahaan besar dunia
termasuk Microsoft, Renault dan Huawei telah gagal membuktikan bahwa mereka tak meraup
keuntungan dari penderitaan para pekerja anak di Kongo.

Laporan Amnesty Internasional lainnya menyebutkan sekitar 100 ribu sampai 150 ribu orang bekerja
di tambang kobalt Kongo. Jumlah tersebut sudah termasuk anak-anak.

Milisi lokal aktif beroperasi di berbagai lokasi tambang. Mereka kerap menarik pungutan dari para
penambang. Tentara pemerintah juga melakukan praktik serupa.

Seperti yang dilaporkan BBC, jika milisi bersenjata ini tak berhasil mengeruk pungutan, mereka akan
pindah ke desa lain, kemudian meneror penduduk setempat, mencuri, memperkosa bahkan
membunuh warganya. Wilayah Kongo timur adalah sarang bagi puluhan kelompok milisi yang terus
meneror penduduk lokal dan mengeksploitasi sumber daya mineral sejak 2003.

Pada September 2011, Guardian melaporkan bahwa para wanita korban pemerkosaan milisi di
Kongo timur dipaksa bekerja untuk menambang emas, koltan, dan timah dalam status sebagai
budak. Awalnya mereka bekerja sebagai petani lokal yang punya perkebunan di dalam hutan. Tapi
sejak semuanya dikuasai oleh milisi, para perempuan ini dipaksa beralih profesi tanpa dibayar.

Di provinsi North Kivu, pertambangan koltan kerap dikuasai oleh kelompok milisi yang tak segan
membantai seisi desa apabila keinginannya tak dipenuhi. Kandungan koltan diperuntukkan bagi
pembuatan komponen elektronik seperti kapasitor. Harga koltan bisa berlipat ganda ketika dibeli
oleh pengepul dan dijual ke perusahaan besar dunia.

Pemerintahan yang Kacau

Rilis terbaru badan pengungsi PBB (UNHCR) memperingatkan bahwa Kongo menghadapi bencana
kemanusiaan. Kekerasan antarsuku, bentrokan antara milisi bersenjata dengan tentara pemerintah,
kemunculan kelompok-kelompok bersenjata baru telah memicu perpindahan massal penduduk
Kongo ke negara tetangga.
Di provinsi Tanganyika yang berpenghuni sekitar tiga juta orang, pertikaian etnis terjadi antara
kelompok Twa, Luba dan berbagai kelompok lainnya. Sekitar 630.000 penduduk terpaksa mengungsi
ke dekat Kalemie, ibukota provinsi. Mereka menghindari serangan, pembunuhan, penculikan dan
pemerkosaan yang marak di pedesaan.

Sudah ada lebih dari 800 kasus pelanggaran HAM sampai dua minggu pertama bulan Februari ini.
Sementara sepanjang tahun 2017 tercatat ada 12.000 kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan.

Joseph Kabila, presiden Kongo yang menjabat sejak 2001 silam, kini sibuk membangun
mengkonsolidasikan kediktatorannya. Masa jabatan yang sebenarnya sudah berakhir sejak
Desember 2016 lalu, diperpanjang secara sepihak oleh Kabila.

Tindakan tersebut memicu serangkaian aksi demonstrasi terorganisir menentang Kabila. Dilansir dari
Reuters, pada Rabu (21/2) aparat keamanan Kongo membungkam aksi protes dengan membunuh
para demonstran.

Kekacauan di Kongo juga merupakan warisan diktator militer yang pernah memimpin Kongo selama
32 tahun lamanya (1965-1997). Setelah mengkudeta pemimpin nasionalis sayap kiri Patrice
Lumumba, Mobutu memerintah Kongo secara cara otoriter. Selama puluhan tahun, ia sukses
menghabisi kelompok-kelompok pemberontak dan membungkam oposisi.

Rezim Mobutu gagal total membangun kondisi ideal untuk pertumbuhan ekonomi Kongo. Ia justru
sibuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Meski telah tumbang 21 tahun silam, rezim Mobutu
mewariskan korupsi, salah kelola ekonomi, dan mundurnya infrastruktur negara yang menyebabkan
Kongo terus terperosok dalam pusaran konflik.

Kongo diguncang perang sipil semenjak tahun-tahun teraknir kekuasaan Mobutu. Perang Kongo
Pertama (1996-1997) mengusung agenda pelengseran Mobutu. Disusul serentetan Perang Kongo
Kedua (1998-2003) yang melahirkan konflik Ituri (1999-2007), konflik Kivu (2004-2013) menurunkan
pemberontakan M23 (2012-2013), dan terakhir konflik Dongo (2009).

Dalam “Natural Resources Conflict in the Democratic Republic of the Congo: A Question of
Governance?” (2011), Clementine Burnley (2011) menyebutkan bahwa pengelolaan sumber daya
alam tetap dipengaruhi oleh aktor-aktor di panggung politik Kongo, termasuk penguasa.

Pemangku kepentingan yang hadir dan malah bersikap menghasut dan mencari keuntungan dari
masalah-masalah tata kelola sumber daya alam di Kongo.
Namun yang perlu digarisbawahi, tidak semua kawasan Afrika yang diberi kelimpahan sumber daya
alam mengalami konflik. Dalam buku Natural Resources And Conflict In Africa (2007), Abiodun Alao
membandingkan beberapa negara dengan kekayaan sumber daya alam yang sama namun jarang
dilanda konflik besar dan berkepanjangan.

Rwanda, misalnya, pernah mengalami pembantaian massal pada 1994 yang dipicu oleh konflik lahan
dan sentimen antar etnis. Namun Gambia, kendati masyarakatnya multi etnis dan sama-sama kaya
sumber daya alam, tak pernah mengalami konflik sedahsyat Rwanda.

Limpahan berlian di Sierra Leone adalah sumber konflik dan perang. Namun di Botswana, berlian jadi
berkah yang mampu penopang utama stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa tak ada korelasi langsung antara sumber daya alam dan
konflik. Suprastruktur dan aktor politik-lah yang menyebabkan konflik. Menurut Alao menyebut
faktor pemicu konflik sumber daya alam di Afrika adalah distribusi kekayaan yang timpang,
rendahnya upah yang diterima para pekerja lapangan, dan korupsi aktor-aktor politik setempat.

Kongo yang berpotensi menjadi negara makmur tampaknya akan terus terlilit pusaran konflik.
Sumber daya alam melimpah justru tidak menjamin kemakmuran dan keadilan dapat terdistribusi
merata di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai