Anda di halaman 1dari 6

Nama Kelompok :

1.Nurhayati Situmorang (140)

2.Ni Md Dewi Kurnia Widiya Santi (131)


3.Putu Ary Silvia Maharani (132)
4.Ni Luh Putu Indah Suryani (133)
5.Putu Nanda Puspa Dewi (134)
6.Arsyila Nafisa Muftiara (135)
7.Ni Komang Jeni Frika Yanti (136)
8.Viana Mulya Dewi (137)
9.Torrich Omar Sriwijaya (138)
10.Virgi Fahrezi Wibisono (139)

Gugus/Kelompok : 07/14

SEKOLAH ITU CANDU – Roem Topasimasang


Ringkasan
Sekolah merupakan hal yang di anggap penting dalam kehidupan manusia di zaman
sekarang ini. Pentingnya sekolah juga mendorong pemerintah menghabiskan banyak dana
untuk membangun sekolah-sekolah yang pantas. Di balik sekolah sekolah megah zaman
sekarang ada banyak cerita unik tentang kasus kasus pembangunan sekolah, maupun sekolah-
sekolah yang tak biasa di masa lalu. Mulai dari cerita sekolah yang mencoba untuk terlihat
beda dari sekolah lainya berbeda dari segi jadwal, maupun segi belajar mengajar. Di masa lalu
bangsa yunani menggunakan kata scole yang berarti waktu luang yang biasanya mereka isi
dengan berkunjung ke orang yang di anggap pintar untuk menanyakan masalah masalah
tertentu. Seiring dengan perkembangan zaman orang-orang yunani mempercayakan orang-
orang pintar tersebut untuk mengasuh dan mengajarkan hal-hal kepada anak mereka. Maka
sejak itulah telah beralih pendidikan dengan orang tua menjadi pendidikan dengan pengasuh
yang telah di percayai orang tua untuk mengasuh anaknya sehingga di sebut ibu asuh atau ibu
yang memberikan ilmu yang di sebut dengan alma mater.

Waktu semakin berlalu, orang tua semakin terbiasa saja mepercayakan pengasuhan putra putri
mereka kepada lembaga lembaga pengasuh pengganti yang semakin lama semakin sistematis.
Seorang bernama Johanes Amos Comenius melalui mahakaryanya yang kemudian di anggap
sebagai teori pengajaran. Lalu seorang bekebangsaan swiss Johan Heinrich pada abad ke 18
tampil dengan gagasan yang lebih rinci yang mengelompokan siswa menjadi beberapa jenjang
pendidikan.

Ada sekolah yang tak punya daftar mata pelajaran baku, tak punya jadwal jam belajar
resmi, tak punya kelas-kelas yang dibagi-bagi per tingkat atau per jurusan, tak
menyelenggarakan ulangan atau ujian kolektif seperti yang lazim selama ini, murid-muridnya
pun bebas memilih dan menetapkan sendiri apa yang mau mereka pelajari dan dengan cara
bagaimana yang mereka anggap paling tepat dan sesuai untuk diri mereka. Nah, itulah
Universitas Rockefeller di kota New York. Sekolah tempat berkumpulnya para pendekar dan
jago-jago penemu kelas dunia. Tak kurang dari dua orang mahasiswanya dan enam belas orang
tenaga pengajarnya adalah pemegang Hadiah Nobel. Herannya, ini sekolah justru kurang sohor
dibanding banyak nama besar para penghuninya. Dalam waktu cukup lama, ini sekolah malah
tenggelam jauh di bawah bayang-bayang nama besar perguruan tinggi the big ten Amerika
Serikat.

Sekolah yang dapat berkegiatan di sembarang tempat, ternyata bukan monopoli ‘sekolah-
sekolah jalanan’ saja. Jenis sekolah ini malah bisa lebih menisbikan ruang dan waktu, karena
kegiatan belajarnya bisa saja dilakukan di... kamar kecil! Namanya ‘Sistem Belajar Jarak Jauh’.
Satu contoh lagi Sekolah Tinggi Wiraswasta di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. Sejak
awal pendiriannya, sekolah ini secara sadar dan sengaja menyatakan kepada para
mahasiswanya bahwa mereka tidak akan memperoleh ijazah atau gelar akademis apa pun dari
sekolah ini, bahwa mereka disiapkan hanya untuk satu tujuan yang tegar. Apa boleh buat, ini
memang dilema tragis sekolah-sekolah yang mencoba menyimpang dari kebiasaan umum:
tidak populer, tidak diminati, bahkan juga tak bisa dimengerti oleh orang banyak. Persoalannya
hanyalah karena sekolah menjadi suatu pengertian stereotip, bahkan suatu stigma kental, dalam
alam pikiran masyarakat. Padahal, dalam kenyataannya dan dalam kemestiannya tidaklah
demikian. Sekolah, pada akhirnya memang hanyalah satu kata, istilah, sebutan, nama, untuk
suatu tujuan dan makna yang sesungguhnya sama sekali tak dapat ditandai pada cara wujudnya,
pada wadag lahirnya. Semua atributnya yang resmi dan mapan selama ini, bukanlah sesuatu
yang sakral dan mesti dikeramatkan. Semua sandangan kehormatannya yang sudah mentradisi
selama ratusan atau bahkan ribuan tetapi juga boleh tak ada, bahkan boleh ditiadakan sama
sekali
Tentang kapan saatnya seorang remaja putri tampak benar-benar cantik, saya merasa
seorang perempuan, khususnya seorang remaja putri, tampak cantik kala ia memakai ...
seragam sekolahnya. Tentu ada sebabnya, Gadis itu tetangga saya. tatkala dia berseragam
kemeja putih dengan rok abu-abu kebiruan sampai ke batas lutut, dengan sepatu putih dan kaos
kaki putih sebatas mata kakinya, dengan tas sekolah bersandang pada bahunya, dengan jepitan
rambut yang ditata dengan gaya Lady Di, nyaris tanpa polesan pupur-gincu pada wajahnya,
lalu melangkah anggun lewat depan rumah saya saat ia berangkat atau pulang sekolah ......
ambooiiii, cantiknya!.

He who can, does! He who cannot, teaches! (Dia yang bisa, kerjakan! Dia yang tak bisa,
ajarkan!). Ungkapan ini datang dari George Bernard Shaw. Cukup bijak, malahan teramat
bijak, sehingga mestilah dipahami dengan suatu kearifan tersendiri. Seorang guru besar ilmu
pendidikan di Bandung sampai-sampai menuduh Shaw memandang remeh pekerjaannya
sebagai pendidik. Padahal, barangkali dia lupa, Shaw itu memang penulis pamflet sosial dan
drama komedi, meskipun memang banyolannya teramat sering tragis dan bernada sengak.

Awal tahun ajaran adalah masa paling hiruk-pikuk dan halai-balai bagi semua sekolah.
Ini memang masa pengumuman hasil ulangan dan ujian akhir murid-murid, pengumuman
kenaikan kelas, penyusunan laporan tahunan, dan juga geger musiman: pendaftaran, ujian
masuk, penerimaan murid baru. lnilah memang waktu yang bisa bikin para pengurus sekolah,
para kepala sekolah, juga guru-guru, jadi senewen kalau tak kuat-kuat tahan diri.

Kalau sudah tahun ajaran baru redaktur-redaktur koran akan selalu membuat tajuk dan
pasang kepala berita yang itu-itu juga: orang tua susah, mengeluh, semua bingung cari
sekolahan anak-anaknya. Uang pendaftaran dan uang sekolah yang kelewat batas dan
mencekik leher orangtua menggambarkan sekolah yang sekarang menjadi terlalu komersial.
Buktinya, sekolah-sekolah negeri yang dibiayai pemerintah saja masih perlu memungut SPP.

Di masa sekarang ngurus sekolah sama dengan ngurus perusahaan, perusahaan besar
malah. Tiap hari sekolah mengurusi ratusan murid dan karyawan. Malah sebenarnya jauh lebih
sulit. Apalagi sekolah swasta seperti yang segalanya tergantung pada perhitungan yang benar
benar terinci dan tepat. Semuanya jadi tentang berlomba-lomba bertahan hidup. Maka dari itu
sekolah-sekolah zaman sekarang ini sudah menjadi majikan terbesar dan paling anonim dari
semua majikan.

Masih banyak anak-anak yang mengorbankan sebagian besar waktu mereka yang amat
berharga untuk melakukan berbagai pekerjaan yang mestinya cuma menjadi bagian pekerjaan
orangtua mereka. Di Jakarta saja, banyak anak-anak yang tidak bersekolah lagi dan bekerja
serabutan mencari uang seperti orang dewasa. Pekerjaan itu memang mereka lakukan selepas
atau sebelum jam sekolah dan baru pulang ke rumah menjelang tengah malam untuk istirahat
dan tidur. Kapankah mereka punya waktu untuk belajar? Belum lagi waktu untuk bermain dan
menikmati waktu senggang sebagaimana lazimnya anak-anak.

Pada bab ini membahas tentang peran pemgunaan devisa untuk pendidikan yang di banding-
bandingkan dengan penggunaan devisa untuk pembelian

Senjata. Para negara maju menggunakan devisa sebagian besar untuk pembelian senjata, tetapi
bagaimana dengan negara berkembang ?

Negara berkembang seperti indonesia lebih menggunakan devisa mereka untuk pendidikan,
tetapi di lain hal devisa tersebut bukanlah untuk menunjang fasilitas-fasilitas sekolah
melainkan menghabiskan uang pendidikan untuk lebih membayar guru-furu di sekolah yang
dulunya hanya seberapa sekarang para guru tersebut di bayar 3x lipat lebih banyak sedangkan
fasilitas yang mendukung siswa untuk belajar tidak lah layak. Walaupun pemerintah sudah
ingin memajukan mutu pendidikan seperti strategi perubahan kuantitatif dan penambahan
penggunaan devisa tetapi mutu pendidikan tetap sepeerti itu saja seperti contoh praktik praktik
pengajaran di ruang kelas juga semakin baik tetapi masalahnya berapa banyak percobaan
percobaan metodologis dan mikropedagogik semacam itu hanya berpikir sebagai usaha coba
coba yang berharga mahal. Lantas inilah yang di maksud dengan penurunan mutu pendidikan
di negara berkembang yang tidak bisa di samakan dengan persenjataan perang.

Serombongan anak-anak dari dusun Galung-Galung di Propinsi Sulawesi Selatan rela


melakukan lintas-pedalaman untuk bersekolah di dusun tetangga. Hal itu dikarenakan tidak
adanya sekolah di dusun mereka. Sekolah Dasar (SD) itu terletak di dusun Bulu-Bulu. Mereka
menempuh perjalanan tersebut dengan suka cita setiap harinya.

Mereka berpikir bahwa jika sekolah tidak terlalu merubah kehidupan mereka dan tidak
mampu membantu memecahkan masalah yang sudah menghantui mereka puluhan tahun, maka
apa guna sekolah? Oleh dari itu banyak anak muda di dusun itu memutuskan untuk berhenti
sekolah setelah tamat sd sehingga mereka kembali dan bekerja di dusunnya.

Sekolah memang sudah mendarah daging dan nyaris menjadi segala-galanya. Sekolah
memang terinternalisasikan sedemikian rupa dalam seluruh bagian kehidupan manusia.
Semacam gejala ‘ketaksadaran kolektif’, sehingga setiap orang merasa kehilangan sesuatu
yang teramat bermakna bagi diri dan hidupnya jika ia gagal atau terputus di tengah jalan dalam
mencapai suatu tingkatan sekolah tertentu. Apalagi kalau sekolah secara terang-terangan
menolak, menampik, dan menyisihkannya. Masyarakat pasti akan mengecapnya gagal, dan
lama kelamaan dia sendiri pun akan menganggap dirinya gagal dan sia-sia.

Jadi, sekolah jualah yang benar dan kuasa, tak pernah salah dan kalah. Adapun yang
salah dan memang selalu dipersalahkan ialah mereka yang justru gagal menjalaninya. Yang
ditolak olehnya ialah orang-orang yang kalah.

Sekolah sudah mati ? Lha ? terus gimana dong ? Sebelum menjawab pertanyaan itu,
perlu jelas lebih dahulu apa sebenarnya fungsi sekolah. Ada banyak rumusan tentang fungsi
sekolah. Namun, semua rumusan itu sebenamya dapat diringkas, bahwa sekolah, sebagai
lembaga pendidikan, pada dasarnya berfungsi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia
yang disebutnya sebagai 'taksonomi pendidikan', membentuk watak dan sikap,
mengembangkan pengetahuan, serta melatihkan keterampilan. Pokoknya, sekolah bertugas
membentuk seseorang untuk menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya, yang seutuhnya,
karena tiga matra pokok itulah. So¸bagaimana kenyataanya ?

Lantas apa makna dan fungsi sekolah yang semakin banyak kita bangun serta para
sarjana yang semakin banyak kita luluskan dari sekolah? Kalau anak-anak sekolah sekarang
berkelahi tawuran di jalan-jalan raya, menghisap ganja, iseng-iseng jadi 'perek' atau kumpul
kebo, menghamburkan cat semprot untuk menulis grafiti 'serem-serem' di taman-taman, aspal
jalanan, pagar-pagar gedung, dll, apakah itu masih tanggung jawab sekolah? Kalau banyak
sarjana lulusan sekolah tertinggi sekarang lantas larut jadi koruptor dan tukang peras rakyat
kecil.... itu salah siapa lagi? Ya, sebenarnya memang sekolah tidak berfungsi lagi sebagaimana
mestinya alias... sudah mati!

Jadi, apakah sekolah itu? Sekolah, mestinya seperti suatu oasis, tulis Gene Bylinsky,
seorang wartawan lepas. Dalam salah satu laporannya. Kias ini pun jelas maksudnya, suatu
tempat teduh dan sumber air di tengah padang pasir kerontang untuk melepas lelah dan dahaga.
Dalam artian ini, Bylinsky ingin memaknakan sekolah sebagai suatu tempat di mana orang-
orang memuaskan dahaga keingintahuannya, mewujudkan utopia-utopia dan irnajinasi
kekaryaannya, agar tidak mubazir dan sekadar fatamorgana. Jadi, suatu antitesis bagi
pendidikan massal yang dianjurkan dan dilaksanakan selama ini.

Terdengar seperti berbau fasis? Mungkin. Atau salah, tafsiran Bylinsky bisa saja
disalahkaprahi, dan memang, memberi peluang ke arah kerancuan makna dengan kias menara
gadingnya Gasset yang dihujat ramai-ramai itu. Arnold Anderson, seorang pakar pendidikan
lainnya, mengecam kecenderungan elitisme dan eksklusivisme sekolah semacam itu sebagai
kecenderungan ‘parokialisme pendidikan’.

Ah, mengapa susah? Begini saja: sekolah itu… pasar! Ya, memang tak pernah ada
rasanya orang yang terang-terangan menyatakan kias seperti ini. Namun, secara tersirat, bisa
dilacak dalam teori-teori para pakar ekonomi. Yang terpenting di antaranya, tentu saja, adalah
cikal-bakalnya ilmu pengetahuan ekonomi modern itu sendiri, Adam Smith. Orang Scott inilah
yang pernah bilang bahwa seorang keluaran sekolah bisa dipersamakan dengan satu sekrup,
suatu komponen, dari roda mesin raksasa yang bernama sistem perekonomian, bahwa
sumberdaya manusia terlatih hasil sekolah adalah salah satu faktor atau fungsi produksi
ekonomi yang utama dan vital, selain sumberdaya alam dan sumber daya modal (uang). ltulah
memang kaidah ekonomi yang paling asas sampai saat ini.

Ini menandakan bahwa lembaga sekolah secara substansial hanya bisa dipahami dalam
kerangka kontekstualnya. Jadi, keberadaan lembaga sekolah adalah suatu keabsahan yang nisbi
benar. Artinya, ia tetap absah pula untuk diragukan dan digugat. Dan, altematif juga bisa berarti
sesuatu yang arnat sangat berbeda: tidak sekedar memperbaiki, meningkatkan, menyesuaikan,
menambal sulam; tapi juga meniadakan, menafikan, mengubah, atau menggantinya sama sekali
dengan sesuatu yang benar-benar baru dan membaharu! Why not?

Kesimpulan

Sekolah yang dimata masyarakat yang dianggap sebagai tempat wajib menuntut ilmu
sebenarnya memiliki permasalahan yang kompleks diantaranya yaitu penyelewengan dana
yang tidak sesuai dengan fasilitas yang telah dibangun, yang telah dianggarkan dengan dana
yang cukup besar. Pendidikan di Indonesia telah banyak memakan waktu bagi generasi muda,
minimal 12 tahun waktu untuk menempuh pendidikan bagi anak-anak muda. Sekolah yang
seharusnya mengedukasi dan mengarahkan bakat dan potensi siswanya malah cenderung lebih
mengekang dan membuat standar yang mengharuskan semua orang memiliki potensi yang
sama.

Anda mungkin juga menyukai