Anda di halaman 1dari 14

NEKROSIS

Pendahuluan

Patologi adalah ilmu atau bidang studi tentang penyakit. Patofisiologi adalah ilmu yang
mempelajari fungsi yang berubah atau terganggu, misalnya perubahan-perubahan fisiologis
yang ditimbulkan penyakit pada makhluk hidup. Empat aspek dalam proses penyakit yang
membentuk inti patologi adalah:

1. Penyebab penyakit (etiologi)


2. Mekanisme terjadinya penyakit (patogenesis)
3. Perubahan struktural yang ditimbulkan oleh penyakit di dalam sel
4. jaringan (manifestasi klinis)

Sel normal memerlukan keseimbangan antara kebutuhan fisiologik dan keterbatasan-


keterbatasan strukur sel dan kemampuan metabolik, hasilnya adalah hasil yang terus
seimbang atau homeostatis. Keadaan fungsional sel dapat berubah ketika bereaksi terhadap
stress yang ringan untuk mempertahankan keadaan yang seimbang. Konsep keadaan normal
bervariasi:

1. Setiap orang berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan susunan genetik
2. Setiap orang memiliki perbedaan dalam pengalaman hidup dan interaksinya dengan
lingkungan
3. Pada tiap individu terdapat perbedaan parameter fisiologi karena adanya pengendalian
dalam fungsi mekanisme.

Definisi Nekrosis

Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel akut atau trauma
(misalnya: kekurangan oksigen, perubahan suhu yang ekstrem, dan cedera mekanis), di mana
kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat menyebabkan rusaknya sel,
adanya respon peradangan dan sangat berpotensi menyebabkan masalah kesehatan yang
serius.

Stimulus yang terlalu berat dan berlangsung lama serta melebihi kapasitas adaptif sel akan
menyebabkan kematian sel di mana sel tidak mampu lagi mengompensasi tuntutan
perubahan. Sekelompok sel yang mengalami kematian dapat dikenali dengan adanya enzim-
enzim lisis yang melarutkan berbagai unsur sel serta timbulnya peradangan. Leukosit akan
membantu mencerna sel-sel yang mati dan selanjutnya mulai terjadi perubahan-perubahan
secara morfologis.

Nekrosis biasanya disebabkan karena stimulus yang bersifat patologis. Selain karena stimulus
patologis, kematian sel juga dapat terjadi melalui mekanisme kematian sel yang sudah
terprogram di mana setelah mencapai masa hidup tertentu maka sel akan mati. Mekanisme ini
disebut apoptosis, sel akan menghancurkan dirinya sendiri (bunuh diri/suicide), tetapi
apoptosis dapat juga dipicu oleh keadaan iskemia.

Macam – Macam Nekrosis


1. Nekrosis koagulatif
2. Nekrosis likuefaktif
3. Nekrosis kaseosa
4. Nekrosis lemak
5. Nekrosis fibrinoid
6. Nekrosis gangrenosa

Definisi Nekrosis Liquefaktif

Nekrosis liquefaktif merupakan salah satu tipe nekrosis yang termasuk bakteri fokal atau
infeksi jamur. Sebagai akibat autolisis atau heterolisis terutama khas pada infeksi fokal
kuman, karena kuman memiliki rangsangan kuat pengumpulan sel darah putih. Salah satu
contoh nekrosis liquefaktif ditunjukkan dengan kematian sel hipoksia pada sistem saraf pusat.
Apapun patogenesisnya, liquefaktif pada hakikatnya mencerna bangkai kematian sel dan
sering meninggalkan cacat jaringan yang diisi leukosit imidran dan menimbulkan abses.
Materialnya berwarna kuning krem. Biasanya terdapat pada abses pada otak.

Mekanisme Nekrosis Liquefaktif.

Dua proses penting yang menunjukkan perubahan nekrosis adalah pencernaan sel oleh enzim
dan denaturasi protein.

Proses nekrosis:

Pencernaan enzym katalitik dari lisosom yang mati (autolisis) atau dari lisosom leukosit
imigran (heterolisis) menyebabkan terbentuknya nekrosis liquefaktif dilanjutkan dengan
terjadinya denaturasi protein yang menyebabkan nekrosis koagulatif. Perubahan morfologis
dari nekrosis liquefaktif sampai nekrosis koagulatif memerlukan waktu.

Ciri- Ciri/ Tanda-Tanda Nekrosis Liquefaktif.

Degenerasi menyebabkan perubahan yang khas pada nukleus khususnya pada sel yang
mengalami neurotik. Perubahan-perubahan biasanya ditandai dengan perubahan mikroskopis,
perubahan makroskopis dan perubahan kimia klinik.

Perubahan mikroskopis pada sel yang mengalami neurotik liquefaktif terjadi pada sitoplasma
dan organel – organel sel lainnya.Tanda yang terlihat pada inti sel (nukleus)saat mengalami
nekrosis antara lain:

 Piknosis (pyknosis)

Inti sel menyusut hingga mengkerut, menunjukkan penggumpalan, densitas kromatinnya


meningkat, memiliki batas yang tidak teratur, dan berwarna gelap.

 Karioreksis (karyorrhexis)
Membran nukleus robek, inti sel hancur sehingga terjadi pemisahan kromatin dan membentuk
fragmen-fragmen dan menyebabkan materi kromatin tersebar dalam sel.

 Kariolisis (karyolisis)

Inti sel tercerna sehingga tidak dapat diwarnai lagi dan benar-benar hilang.

Perubahan makroskopis pada sel yang mengalami neurotik terlihat perubahan morfologis sel
yang mati tergantung dari aktivitas enzim lisis pada jaringan yang nekrotik. Jika aktivitas
enzim lisis terhambat maka jaringan nekrotik akan mempertahankan bentuknya dan
jaringannya akan mempertahankan ciri arsitekturnya selama beberapa waktu. Jaringan
nekrotik juga dapat mencair sedikit demi sedikit akibat kerja enzim dan proses ini disebut
nekrosis liquefaktif. Nekrosis liquefaktif khususnya terjadi pada jaringan otak, jaringan otak
yang nekrotik mencair meninggalkan rongga yang berisi cairan.

Kematian sel menyebabkan kekacauan struktur yang parah dan akhirnya organa sitoplasma
hilang karena dicerna oleh enzym litik intraseluler (autolysis).

Tahap infeksi akut awal terjadi denaturasi protein yang mempengaruhi reaksi leukosit.
Kemudian jaringan nekrosis diserap oleh jaringan granular menyebabkan terbentuknya bekas
luka.

Terkadang luka yang terbentuk dapat sembuh sempurna, misalnya pada hati atau pada orang
yang masih muda.

Perubahan-perubahan pada jaringan neurotik akan menyebabkan :

1. Hilangnya fungsi darah yang mati.


2. Dapat menjadi fokus infeksi dan merupakan media pertumbuhan yang baik untuk
bakteri tertentu.
3. Menimbulkan perubahan sistemik seperti demam dan peningkatan leukosit.
4. Peningkatan kadar enzim-enzim tertentu dalam darah akibat kebocoran sel-sel yang
mati.

Kesimpulan

Nekrosis lequefaktif merupakan salah satu tipe nekrosis yang termasuk bakteri fokal atau
infeksi jamur. Sebagai akibat autolisis atau heterolisis terutama khas pada infeksi fokal
kuman, karena kuman memiliki rangsangan kuat pengumpulan sel darah putih. Dua proses
penting yang menunjukkan perubahan nekrosis adalah pencernaan sel oleh enzim dan
denaturasi protein.

Nekrosis dimulai dari pencernaan enzym katalitik dari lisosom yang mati (autolisis) atau dari
lisosom leukosit imigran (heterolisis) menyebabkan terbentuknya nekrosis
liquefaktif dilanjutkan dengan terjadinya denaturasi protein yang menyebabkan nekrosis
koagulatif. Perubahan morfologis dari nekrosis liquefaktif sampai nekrosis koagulatif
memerlukan waktu.

http://dentistrymolar.wordpress.com/2011/03/04/nekrosis-liquefaktif/
DEGENERASI
2.1 DEGENERASI
Pada buku patologi, perubahan morfologi sel karena rangsang nonletal yang bersifat reversible pada
sel disebut degenerasi. Istilah ini tidak lagi digunakan, tetapi kini digunakan istilah baru yaitu jejas
reversible atau perubahan reversible.
Degenerasi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu pembengkakan sel dan perubahan perlemakan.
Pembengkakan sel timbul jika sel tidak dapat mengatur keseimbangan ion dan cairan yang
menyebabkan hidrasi sel. Sedangkan perubahan perlemakan bermanifestasi sebagai vakuola-
vakuola lemak di dalam sitoplasma dan terjadi karena hipoksia atau bahan toksik. Perubahan
perlemakan dijumpai pada sel yang tergantung pada metabolism lemak seperti sel hepatosit dan sel
miokard.
(Janti Sudiono, 2003 : 13)
1. Degenerasi Albumin
Pembengkakan sel adalah manifestasi awal sel terhadap semua jejas sel. Perubahan morfolofi yang
terjadi sulit dilihat dengan mikroskop cahaya. Bila pembengkakan sel sudah mengenai seluruh sel
dalam organ, jaringan akan tampak pucat, terjadi peningkatan turgor, dan berat organ.
Gambaran mikroskopis menunjukkan sel membengkak menyebabkan desakan pada kapiler-kapiler
organ. Bila penimbunan air dalam sel berlanjut karena jejas sel semakin berat, akan timbul vakuola-
vakuola kecil dan nampak cerah dalam sitoplasma. Vakuola yang terjadi disebabkan oleh
pembengkakan reticulum endoplasmik.
2. Degenerasi Hidrofik (Degenerasi Vakuolar)
Degenerasi hidrofik merupakan jejas sel yang reversible dengan penimbunan intraselular yang lebih
parah jika dengan degenerasi albumin. Etiologinya sama dengan pembengkakan sel hanya intensitas
rangsangan patologik lebih berat dan jangka waktu terpapar rangsangan patologik lebih lama.
Secara miokroskopik organ yang mengalami degenerasi hidrofik menjadi lebih besar dan lebih berat
daripada normal dsan juga nampak lebih pucat. Nampak juga vakuola-vakuola kecil sampai besar
dalam sitoplasma
3. Degenerasi Lemak
Degenerasi lemak dan perubahan perlemakan (fatty change) menggambarkan adanya penimbunan
abnormal trigliserid dalam sel parenkim. Perubahan perlemakan sering terjadi di hepar karena hepar
merupakan organ utama dalam metabolism lemak selain organ jantung, otot dan ginjal.
Etiologi dari degenerasi lemak adalah toksin, malnutrisi protein, diabetes mellitus, obesitas, dan
anoksia. Jika terjadi gangguan dalam proses metabolism lemak, akan timbul penimbunan trigliserid
yang berlebihan. Akibat perubahan perlemakan tergantung dari banyaknya timbunan lemak. Jika
tidak terlalu banyak timbunan lemak, tidak menyebabkan gangguan fungsi sel, tetapi jika timbunan
lemak berlebihan, terjadi perubahan perlemakan yang menyebabkan nekrosis.
4. Degenerasi Hyalin (Perubahan Hyalin)
Istilah hyaline digunakan untuk istilah deskriprif histologik dan bukan sebagai tanda adanya jejas sel.
Umumnya perubahan hyaline merupakan perubahan dalam sel atau rongga ekstraseluler yang
memberikan gambaran homogeny, cerah dan berwarna merah muda dengan pewarnaan
Hematoksilin Eosin. Kedaan ini terbentuk akibat berbagai perubahan dan tidak menunjukkan suatu
bentuk penimbunan yang spesifik.
5. Degenerasi Zenker
Dahulu dikenal sebagai degenerasi hialin pada otot sadar yang mengalami nekrosis. Otot yang
mengalami degenerasi zenker adalah otot rektus abdominis dan diafragma.
6. Degenerasi Mukoid (Degenerasi atau Miksomatosa)
Mucus adalah substansi kompleks yang cerah, kental, dan berlendir dengan komposisi yang
bermacam-macam dan pada keadaan normal disekresi oleh sel epitel serta dapat pula sebagai
bagian dari matriks jaringan ikat longgar tertentu.
Musin dapat dijumpai di dalam sel, dan mendesak inti ke tepi seperti pada adenokarsinoma gaster
yang memberikan gambaran difus terdiri atas sel-sel gaster yang memiliki sifat ganas dan
mengandung musin. Musin tersebut akan mendesak inti ke tepi sehingga sel menyerupai cincin
dinamakan Signet Ring Cell. Musin di jaringan ikat, dahulu dinamakan degenerasi miksomatosa.
Keadaan ini menunjukkan adanya musin di daerah interselular dan memisahkan sel-sel Stelata
(Stellate Cell/ Star Cell).
(Janti Sudiono, 2003 : 14-20)

2.2 DEGENERASI PADA JARINGAN LUNAK


2.2.1 Xerostomia
Xerostomia merupakan istilah untuk keadaan mulut yang kering, sama seperti xeroptalmia yang
digunakan untuk mata yang kering dan xerodermia untuk kulit yang kering. Bila mukosa pada
beberapa daerah kering, seperti pada mata, mulut, hidung dan pharynx, maka sindrom Sicca sering
digunakan untuk keadaan ini. Daerah-daerah mulut yang kering dapat disebut keratokonjungtivitis
sicca, rhinitis sicca, paringitis sicca dan bahkan laryngitis sicca. Pada tiap keadaan tersebut terlihat
mukosa yang kering, walaupun pada sebagian besar keadaan, kekeringan tersebut hanya bersifat
subyektif.
(Gayford, 1990 : 169)
Pada mukosa mulut normalnya basah serta mengkilat. Bila dikeringkan dengan sepotong kasa akan
terlihat butiran cairan dari kelenjar local, dalam beberapa menit saja. Kelenjar ini, mempunyai
peranan penting, walaupun hanya menghasilkan sebagian kecil dari seluruh cairan pelumas mulut,
sebagian besar diantaranya diproduksi oleh kelenjar ludah mayor. Dari kelenjar-kelenjar ludah
tersebut, kelenjar parotid merupakan yang paling penting. Kedua kelenjar submandibula dapat
dipotong tanpa kesulitan yang berarti setelah operasi, tetapi pemotongan salah satu kelenjar parotis
atau hilangnya sekresi dari kelenjar ini, dapat menyebabkan mulut terasa kering.
(Gayford, 1990 : 170)

Penyebab Xerostomia
1. Fisiologi : sensasi mulut kering yang subjektif terjadi setelah bicara yang berlebihan dan selama
berolahraga. Pada keadaan ini ada dua faktor yang ikut berperan. Bernafas melalui mulut yang
terjadi pada saat olah raga, berbicara atau menyanyi, juga dapat member efek kering pada mulut.
Selain itu, juga ada komponen emosional, yang merangsang terjadinya efek simpatik dari sistem
saraf autonom dan menghalangi sistem parasimpatik, sehingga menyebabkan berkurangnya aliran
ludah dan mulut menjadi kering. Sebagian besar orang mengalami sensasi mulut kering sebelum
melakukan Tanya jawab yang penting atau sebelum pidato.
2. Agenesis dari kelenjar ludah : sangat jarang terjadi, tetapi kadang-kadang pasien memang
mempunyai keadaan mulut yang kering sejak lahir. Hasil sialografi menunjukkan cacat yang besar
dari kelenjar ludah. Selain itu, terdapat berbagai macam keadaan yang ikut berpengaruh disini.
Gejala ringan yang timbul meliputi sulit mengunyah makanan yang kering, serta rasa kering pada
mulut yang terus menerus. Pada keadaan lebih lanjut, mukosa terlihat kering, dengan lidah yang
merah, meradang tapi kering. Kecepatan pembentukan karies sangat meningkat. Usaha
mempertahankan gigi-gigi, berperan penting, karena pasien biasanya sukar menerima penggunaan
gigi tiruan.
3. Karena penyumbatan hidung : pada anak-anak, penyebab penyumbatan hidung yang paling sering
terlihat adalah pembesaran tonsil nasoparingeal (adenoid). Pada orang dewasa terdapat berbagai
macam penyebab, dari penyimpangan keadaan hidung, polip hidung atau hipertropi rhinitis. Semua
keadaan tersebut menyebabkan pasien bernafas dari mulut, tanpa penyumbatan hidung. Atau
mungkin juga berupa maloklusi gigi-gigi seri, biasanya gigi seri yang protrusi (maloklusi Angle klas III
divisi 1) atau bibir yang lemah serta kurang berfungsi. Kadua faktor tersebut dapat terlihat
bersamaan.
Apapun penyebabnya, akibatnya sama yaitu rasa kering yang bersifat subjektif pada mulut dan
hyperplasia dari jaringan gingiva yang kering di sekitar gigi-gigi seri atas pada permukaan labial.
Gingival dapat menjadi merah, mengkilat, dan sering mudah berdarah.
4. Faktor penuaan dan psikologi : normalnya, mulut menjadi kering dengan bertambahnya umur,
terbukti bahwa banyak orang lanjut usia yang menemukan bahwa mulutnya bereaksi dengan cara
yang sama. Keadaan mulut yang kering dapat terlihat berupa kesulitan mengunyah dan menelan,
atau kesulitan dalam menggunakan gigi tiruan. Mukosa yang kering menyebabkan pemakaian gigi
tiruan tidak menyenangkan, karena gagal untuk membentuk selapis tipis mucous untuk tempat gigi
tiruan melayang pada permukaannya, dan dengan tegangan permukaan yang berkurang untuk
retensi gigi tiruan dalam menahan tekanan kunyah. Bila daerah pendukung gigi tiruan telah terasa
nyeri, trauma dapat berlangsung terus.
Seringkali wanita menopause terserang xerostomia, tetapi pria pada kelompok umur yang sama juga
tidak jarang terserang, yang mengeluh tentang berbagai sensasi pada mulutnya, salah satunya rasa
kering pada mulut. Pada pemeriksaan pasien tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda mulut kering
yang objektif. Sangat mengherankan bahwa banyak obat yang kurang bermanfaat untuk keadaan
tersebut. Tipe pasien lain mempunyai tanda-tanda psikiatrik yang rumit dari depresi ringan maupun
kecemasan. Perawatan untuk pasien ini dengan antidepresan atau obat penenang.
5. Xerostomia pada keadaan demam serta infeksi pernafasan : kadang-kadang demam dapat
menimbulkan keadaan mulut yang kering, biasanya keadaan tersebut kurang tidak begitu
mengganggu pasien dan dapat diperingan dengan beberapa teguk air. Pada pasien yang tidak sehat,
mulut kering mudah terserang infeksi sekunder dengan candida albicans, serta kemungkinan
terjadinya infeksi kelenjar parotis, yang menyebabkan terjadinya akut supuratif parotitis.
Infeksi pernafasan biasanya menyebabkan mulut terasa kering. Pada infeksi saluran pernafasan
bagian atas, penyumbatan hidung menyebabkan pasien bernafas melalui mulut. Bronchitis, asma
dan pneumonia dapat meningkatkan kecepatan pernafasan, dan karena usaha pasien untuk
menghirup nafas sebesar-besarnya, ia menghirup udara dengan mulut. Terutama pada pasien asma,
mulut menjadi sangat kering dengan deposit mucous di sekitar gigi-giginya.
Kebrsihan mulut sanagt penting peranannya dalam mencegah infeksi sekunder. Kebersihan mulut
dapat ditingkatkan dengan menjaga mulut selalu dalam keadaan basah.
6. Penyakit kelenjar ludah menimbulkan xerostomia : selain syndrome Sjogren, penyakit-penyakit
kelenjar ludah jarang menimbulkan xerostomia. Penyakit harus mengenai kedua kelenjar parotis
secara bergantian untuk dapat menimbulkan kerusakan yang menyeluruh. Infeksi paroris juga dapat
menimbulkan xerostomia.
7. Sindron Sicca (Sindron Sjogren) : merupakan penyebab xerostomia yang paling penting dan tanda-
tandanya telah dibahas sebelumnya. Biasanya penderita seorang wanita, dalam periode menopause
serta menderita penyakit auto-imun, terutama rheumatoid artritis.
Mukosa-mukosa selain mukosa mulut dapat terserang. Mukosa mulut terlihat keriput, atau
mengkilat dengan lidah berlobus yang khas.
8. Setelah Radioterapi : dengan teknik radioterapi yang baru dan lebih baik, bahkan untuk radiasi
mulut, kelenjar ludah tetap dapat dilindungi untuk menghalangi terjadinya kerusakan. Radiasi
parotis jarang diperlukan. Bahkan setelah dilakukan radiasi kelenjar parotis unilateral, akan terlihat
adanya perubahan besar. Pada pasien yang lebih muda, insiden karies gigi meningkat cepat.
Biasanya karies tersebut terletak di servikal dan dapat mengenai semua gigi.
9. Keadaan-keadaan lain yang menimbulkan xerostomia : diabetes mellitus yang sering tidak
terkontrol serta berhubungan dengan polidipsia dan poliuria, dapat menyebabkan mulut kering.
Diabetes inspidus karena sifat dehidrasi yang dimilikinya, dapat menyebabkan xerostomia. Dehidrasi
medis atau operasi dari penyebab apapun dapat member efek serupa, keadaan-keadaan tersebut
dapat bervariasi, dari perdarahan sampai hiperparatiroidism. Uremia tidak hanya menimbulkan
mulut berbau tetapi juga menimbulkan xerostomia. Perokok juga mula-mula mengalami ptialism,
yang setelah beberapa jam kemudian berubah menjadi mulut yang kering.
10. Obat yang merangsang xerostomia : ada sejumlah obat yang salah satu efek sampingnya, berupa
xerostomia. Untuk menyebutkan semua obat yang menimbulkan rasa kering pada mulut, kita perlu
menyebutkan hampir semua obat yang terdapat pada farmakope. Ada beberapa obat dari tiap
kelompok, yang dibicarakan disini dalam hubungannya dengan xerostomia.
a. Obat yang bekerja pada daerah otak yang tinggi.
Semua obat yang menghalangi aktivitas pusat otak yang tinggi juga dapat menghalangi sistem saraf
simpatik dan parasimpatik. Efek anti-sialogogik sama dengan berkurangnya aliran ludah selama
pasien tidur. Yang termasuk kelompok tersebut adalah semua obat yang termasuk kategori obat
penenang, hipnotik, narkotik, dan penghilang rasa sakit.
b. Obat yang bekerja pada ganglia autonomic
Aksi obat ini berjalan melalui ganglia parasimpatik, yang mempunyai pola perpindahan
neurohumoral yang sama dengan ganglia simpatik. Nikotin dapat menyebabkan rangsang permulaan
pada penggunaan dosis tinggi, diikuti dengan efek penyumbatan. Jadi secara teoritis dapat dikatakan
bahwa perokok berat selalu mengalami xerostomia. Anggapan tersebut memang selalu didukung
bukti-klinis, tapi berapa besar pengaruh perubahan local pada mukosa mulut tidak diketahui.
c. Obat yang bekerja pada pertemuan parasimpatik neuro-efektor
Sebagian besar obat yang menimbulkan xerostomia bekerja pada daerah ini dengan cara memblokir
efek muskarinik dari asetilkolin. Atropine, suatu alkaloid beladona, bersama dengan substansi lain
yang berhubungan dengannya, seperti hemotropin, hiosin dan produk-produk ammonium
quartenari lainnya, juga dapat menyebabkan mulut terasa kering bila diberikan secara sistemis. Ada
sejumlah obat yang digunakan sebagai spasmolitik, dan untuk mengurangi sekresi gastric, seperti
propantelin (probanten) dan poldin (nakton), mempunyai efek sama.
Semua antihistamin mempunyai efek samping kolinergiok serta dapat mengurangi aliran ludah.
Derivate penotiasin juga mempunyai efek yang sama. Bahkan pada dasarnya, bebrapa antihistamin
merupakan derivate penotiasin. Keadaan yang serupa berlaku juga untuk beberapa obat yang
digunakan untuk perawatan Parkisonism, seperti benzhexol, benztropin, dan orphenadrin.
Obat trisilik anti depresi seperti imipramin, amitriptylin, dan komponen yang berhubungan
dengannya, dapat menyebabkan mulut terasa kering. Kerena depresi endogenus sendiri dapat
menyebabkan xerostomia, sulit untuk menentukan apakah penyakit atau cara perawatannya yang
menimbulkan mulut kering.
d. Obat yang bekerja pada daerah pertemuan adrenergic neuro-efektor
Ampetamin dan derivatnya yang digunakan sebagai obat perangsang atau obat penurun nafsu
makan dapat mengurangi aliran ludah. Epedrin, yang masih sering digunakan untuk perawatan
asma, bertujuan untuk mengurangi ketegangan bronkus, juga mempunyai efek serupa. Untungnya
pembesaran bronkus terjadi dengan efek yang lebih khusus dan aksi yang lebih kecil terhadap
kelenjar ludah.
(Gayford, 1990 : 170-174)

2.2.2 Gangguan Pengecapan (Taste Disorder)


 Fungsi Pengecapan :
- Terdapat 4 macam rasa : manis, asin, pahit dan asam.
- Cita rasa, selera (flavor) : ekspresi yang dirasakan sebagai akibat dari timulus gustatori, olfaktori
dan somatic.
- Taste bud bagian anterior rasa asin dan manis.
 Papila-papila pada lidah
1. Papila fungiformis : 2/3 anterior lidah
2. Papila circumvalata : postetior lidah, depan sulkus terminalis
3. Papila foliata : posterior-lateral lidah
 Gangguan Pengecapan
1. Ageusia adalah hilangnya daya pengecap secara total
2. Hipogeusia adalah berkurangnya daya pengecapan
3. Cacogeusia adalah gangguan pengecapan yang ditandai sensasi rasa yang tidak enak pada
makanan

 Etilogi Gangguan Pengecapan


1. Drug Induced
Mis : Penisilamin, griseofulvin, metroniazole, litium karbonat
2. Post Influenza like hypogeusia and Hyposmia
Gangguan penghidu dan pengecapan selama mengidap penyakit saluran napas
3. Acute Zinc Loss
Zinc : kofaktor pembentukan alkaline fosfatase, enzim yang banyak pada membrana taste bud
 Pemeriksaan Penunjang
- The Drop Technique : digunakan 4 macam rasa manis (gula pasir), pahit (kinin), kecut/asam (larutan
Asam cuka) dan asin (larutan garam).
Penderita diminta utk mengidentifikasi rasa dari bahan tes yang diletakkan diatas lidah sambil
menutup hidung.
- Elektrogustometri : Tes pengecapan secara kuantitatif
 Pengobatan
- Meghentikan semua obat yang menyebabkan gangguan
- Zinc sulfat 110 mg/hr/oral. Perbaikan fungsi biasa terlihat selama lebih 12 bulan
(M. Amsyar Akil, 2008)
2.3 DEGENERASI PADA JARINGAN KERAS
2.3.1 Oteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit gangguan metabolisme, dimana tubuh tidak mampu menyerap
dan menggunakan bahan-bahan untuk proses pertulangan secara normal, seperti zat kapur = Kalk
(calcium), phosphate, dan bahan-bahan lain (Yatim, Faisal. 1.2003).
Pada keadaan ini terjadi pengurangan masa/ jaringan tulang per unit volume tulang dibandingkan
dengan keadaan normal. Meskipun mungkin zat-zat dan mineral untuk pembentuk tulang di dalam
darah masih dalam batas nilai normal (Yatim, Faisal. 1.2003).
Secara epidemiologi osteoporosis merupakan penyakit dengan gejala yang sangat bervariasi dari
seorang penderita dan penderita yang lain, mulai dari yang tanpa gejala sampai yang berat hingga
menimbulkan patah tulang (fraktur) (Yatim, Faisal. 2. 2003).
Bila tidak ada keadaan/penyakit pemberat lain (komplikasi), bisa saja tidak ada keluhan, paling-
paling hanya rasa sakit/tidak enak atau pegal-pegal di bagian punggung atau di daerah tulang yang
mengalami osteoporosis (Yatim, Faisal. 2. 2003).

Osteoporosis dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :


1. Osteoporosis tipe 1
Disebut juga osteoporosis ideopatik (post-menoposal osteoporosis), bisa terjadi pada dewasa muda
dan usia tua, baik pria maupun wanita. Pada wanita usia 51-75 tahun 6 kali lebih banyak
dibandingkan dengan pria kelompok usia yang sama (Yatim, Faisal. 15. 2003).

Osteoporosis tipe 1 berkaiatn dengan :


• Perubahan hormone setelah menopause
• Banyak dikaitkan dengan patah tulang pada ujung tulang pengumpil (= radius ) lengan bawah
Pada osteoporosis tipe 1 ini terjadi penipisan bagian keras tulang paling luar (korteks) dan perluasan
rongga tulang (trabikula) (Yatim, Faisal. 15. 2003).
2. Osteoporosis tipe 2
Disebut juga senile osteoporosis (involutional osteoporosis), banyak terjadi pada usia di atas 70
tahun, dan 2 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria pada usia yang sama.
Osteoporosis tipe 2 terjadi karena :
 Gangguan pemanfaatan vitamin D oleh tubuh, misalnya karena keadaan kebal terhadap vitamin D
(vitamin D resisten)
 Atau kekurangan dalam pembentukan vitamin D (vitamin D synthesa)
 Atau mungkin karena kurangnya sel-sel perangsang pembentuk vitamin D (vitamin D reseptor
(Yatim, Faisal. 15. 2003)
Umumnya kondisi puncak masa tulang dicapai pada usia 16-40 tahun. Kemudian terjadi peningkatan
turn-over tulang yang menimbulkan berkurangnya masa tulang secara bertahap antara 2-3 persen
dalam setahun. Kecepatan turn-over tulang akan turun kembali setelah tahun pasca-menopause
atau sekitar usia 65 tahun. Faktor penting yang menentukan puncak masa tulang adalah faktor-
faktor genetik dan konstitusional, hormonal dan asupan kalsium, serta aktivitas fisik (Yatim,
Faisal.16.2003).
Pada pemeriksaan rontgen, terlihat berkurangnya kepadatan tulang dan menghilangnya susunan
trabikula. Lapisan keras tulang (korteks) dari tulang panjang tampak menipis, yang juga sebagai
akibat dari peningkatan aktivitas penyerapan ttulang pada penyakit osteoporosis. Sedangkan lapisan
keras bagian luar tulang (periosteum) kelihatan lebih halus pada gambaran rontgen (Yatim,
Faisal.9.2003).

2.3.2 Kelainan Degenerasi Tulang


1. Osteoarthritis (OA)
Osteoarthritis merupakan penyakit sendi yang karakteristik dengan menipisnya rawan sendi secara
progresif, disertai dengan pembentukan tulang baru pada trabekula subkondral dan terbentuknya
rawan sendi dan tulang baru pada tepi sendi (osteofit) (Harul, Bobby, Herlambang, M Penggalih.
2009).

Etiologi :
Penyakit ini sering terjadi tanpa diketahui sebabnya (osteoarthritis idiopatik). Osteoarthritis dapat
terjadi akibat trauma pada sendi, infeksi, atau variasi herediter, perkenbangan, kelainan metabolic
dan neurologic (osteoarthritis sekunder) (Harul, Bobby, Herlambang, M Penggalih. 2009).
Osteoarthritis biasanya melibatkan semua jaringan yang membentuk sendi synovial, termasuk rawan
sendi, tulang subchondral, tulang metaphase, synovium, ligament, kapsul sendi, dan otot-otot yang
bekerja melalui sendi; tetapi perubahan primer meliputi kerusakan rawan sendi, remodeling tulang
subchondral dan pemebtukan osteofit. Perubahan struktur tulang rawan sendi yang paling dini
terlihat pada osteoarthritis adalah kerusakan atau fibrilasi zona superficial sampai ke zona
transisional dan violasioleh pembuluh darah tulang subchondral (Harul, Bobby, Herlambang, M
Penggalih. 2009).
Pathogenesis
a. Tulang rawan sendi
 Stage I : gangguan atau perubahan matriks kartilago
Berhubungan dengan peningkatan konsentrasi air yang mungkin disebabkan gangguan mekanik,
degradasi makromolekul matriks, atau perubahan metabolism kondrosit. Awalnya konsentrasi
kolagen tipe II tidak berubah, tapi jarring-jaring kolagen dpaat rusak dan konsentrasi aggrecan dan
derajat agregasi proteoglikan menurun.
 Stage II : respon kondrosit terhadap ganguan atau perubahan matriks
Ketika kondrosit mendeteksi gangguan atau perubahan matriks, kondrosit berespon dengan
meningkatkan sintesis dan degradasi matriks, serta berproliferasi. Respon ini dapat menggantikan
jaringan yang rusak, mempertahankan jaringan, atau meningkakan volume kartilago. Respon dapat
berlangsung selama bertahun-tahun.
 Stage III : penurunan respon kondrosit
Kegagalan respon kondrosit untuk menggantikan atau mempertahankan jaringan mengakibatkan
kerusakan tulang rawan sendi disertai dan diperparah oleh penurunan respom kondrosit. Penyebab
penurunan respon ini belum diketahui, namun diperkirakan akibat kerusakan mekanis pada jaringan,
dengan kerusakan kondrosit dan down regulasi respon kondrosit terhadap sitokin anabolik.
(Harul, Bobby, Herlambang, M Penggalih. 2009)

2.3.3 Penyakit Sendi Temporomandibula


Lesi dari sendi terdiri dari arthritis karena berbagai etiologi, yang jarang terjadi dan disartrosis
fungsional yang merupakan sebagian besar problem dari sendi temporomandibula, pada keadaan
klinis. Karena keterbatasan gerak dari rahang bawah merupakan gejala yang paling penting dari
penyakit sendi temporomandibula, maka akan dibahas tentang faktor penyebabnya.
Keadaan-keadaan tersebut antara lain :
1. Disatrosis temporomandibula
2. Temporomandibula arthritis
3. Keterbatasan pergerakan rahang bawah
(Gayford, 1990 : 208)

1. Disartrosis temporomandibula
Adalah kelainan kronis ditandai dengan rasa sakit, clicking dan trismus, bila tidak ada kelainan
radiografi atau patologi, serta mungkin disebabkan oleh ketidak teraturan fungsi artikulasi gigi.

Etiologi dan patogenesis


Condyle bukan merupakan sendi pedukung berat tubuh; permukaan oklusal dari gigi-gigi dapat
menggantikan fungsi tersebut dengan rongga mulut sebagai ‘rongga sendi’. Jadi, rahang bawah
mempunyai tiga permukaan sendi, satu untuk menahan berat tubuh, dan sering mengandung benda
asing dalam bentuk makanan, pipa (permukaan oklusal gigi-gigi) dan objek lain.
Kepala condyle terletak pada fossa glenoid dan seluruh pergerakan rahang bawah diatur oleh aksi
propioseptif otot, membrane periodontal dari gigi dan kapsul sendi. Restorasi yang terlalu tinggi
pada gigi-gigi dapat menyebabkan rahang bawah kurang dapat memberi aksi yang normal yang
menyebabkan gigitan tidak enak dengan disertasi pergeseran sendi, karena satu atau beberapa gigi
terletak dalam oklusi yang tidak normal. Gigi permanen yang sedang erupsi atau gigi lain yang terasa
sakit juga dapat menyebabkan gigitan yang salah. Sindrom tersebut juga dapat terjadi pada pasien
dengan oklusi normal, namun disebabkan oleh pergerakan condyle yang terlalu besar atau tidak
normal.
Dengan tanggalnya gigi-gigi dan digantikan dengan protesa, kemungkinan terjadinya disfungsi sendi
meningkat. Pergeseran codyle dapat terjadi karena gigitan yang tidak tepat dan karena abrasi dari
permukaan oklusal.
Dilihat dari permasalahn tersebut, pergeseran condyle berarti bahwa artikulasi gigi (pengaruh
maloklusi) hanya dapat diperoleh dengan mengorbankan kekontinyuan aktivitas otot (kejang) atau
karena postur otot yang tidak normal. Oleh karena itu, rasa sakit dapat disebabkan oleh tekanan
pada daerah sepertiga belakang dari diskus inter-artikular, tetapi sebagian besar gejala yang terjadi
umunya disebabkan aktivitas otot yang ridak teratur atau terlalu besar, yang bersifat melindungi,
dalam usaha mempertahankan oklusi gigi-gigi dengan mengorbankan salah satu atau kedua sendi
temporomandibula.
Tidak adanya pola ketidakharmonisan oklusi yang selalu berhubungan dengan disartrosis , dan
banyak pasien yang dating dengan maloklusi yang menyeluruh atau tanggalnya gigi geraham yang
tidak mengalami gejala sendi apapun. Sebaliknya, faktor oklusal dapat langsung dihilangkan dengan
hilangnya gejala tersebut setelah dilakukan perbaikan oklusi. Ada juga faktor-faktor lain yang ikut
berperan pada keluhan tersebut. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa stress mungkin ikut
berperan dengan adanya gejala depresi. Mereka biasanya juga lenih sering mengalaim migraine, dan
gangguan muskoskletal, seperti fibrositis, sakit pada tulang belakang dan sakit kepala.
Bruxism merupakan kebiasaan grinding atau clenching, karena faktor kecemasan, yang dapat
merupakan faktor penting dalam menimbulkan dan memperberat rasa sakit tersebut. Bruxism
terjadi pada malam hari dan sering terlihat sebagai kekakukan sendi atau sakit pada otot
pengunyahan pada pagi harinya. Pada keadaan tersebut gigi-gigi sering mempunyai bekas abrasi.
Patologi dari disartrosis temporomandibula tidak diketahui, karena keadaan ini jinak dan terbatas,
maka jaringan untuk pemeriksaan patologi tidak diperoleh. Diskus sendi temporomandibula tidak
jarang dipotong untuk keadaan disartrosis yang tidak dapat dirawat dan terlihat sebagai daerah
neovaskulariosasi, degenerasi dan kalsifikasi.

Tanda-tanda klinis
Pasien biasanya wanita pada semua kelompok umur, diantara umur 15 tahun ke atas, tetapi insiden
puncak pada awal 20 tahun.
Gejala utama dari keadaan ini adalah :
1. Rasa sakit
2. Trismus (keterbatasan gerak rahang bawah karena kejang otot) dan beberapa episode terkuncinya
sendi
3. Klicking
Radiograf
Pemeriksaan radiografi dapat dilakukan namun mungkin tidak bisa menunjukkan kelainan pada
permukaan artikulasi sendi. Penyempitan tapi pemeriksaan radiograf sering kurang bermanfaat
sehingga bila mungkin, tidak perlu dilakukan terutama bila diagnosa dapat ditentukan dengan
mudah.
(Gayford, 1990 : 209-214)

2. Artritis temporomandibula
a. Pembentukan nanah
i. Penyebaran dari struktur yang menular
* Mastoid
* Rahang bawah
* Kulit dan parotid
ii. Haematogenus
b. Tuberkulus
c. Penyakit reumatik
d. Osteoartritis
e. Gout
f. Traumatik

a. Akut supuratif arthritis dari sendi rahang bawah merupakan keadaan yang jarang terjadi dan
semakin jarang terlihat sejak ditemukannya antibiotic untuk mengontrol atitis media, yang dahulu
merupakan sumber infeksi. Infeksi jarang meluas dari ramus asenden rahang bawah yang terserang
osteomyelitis dan jarang dapat mencapai daerah sendi dari kulit atau kelenjar parorid. Arthritis
haematologi dapat timbul selama terjadinya skalartina (spiogen), stapilokokus septicemia, dan
gonorrhoeae.
Patologi : ruang sendi terisi nanah dan tulang rawan serta tulang di sekitarnya mengalami kerusakan.
Pada keadaan yang tidak terawatt, keadaan tersebut berkembang menjadi ankilosis, tetapi
perawatan yang efektif dapat mengembalikan sendi ke keadaan semula atau sekurang-kurangnya
menyebabkan fibrous ankilosis.
Gambaran klinis : pasien dating dengan rasa sakit yang hebat, pembengkakan local dan trismus.
Keadaan ini mirip dengan akut parotitis dan abses submasterik.
b. Tuberkulosis dan syphilis arthritis : sangat jarang terjadi.
c. Penyakit rheumatoid : mengenai sendi temporomandibula pada seperempat dari seluruh keadaan,
dengan bersifat progresif dan parah. Keadaan tersebut jarang mengenai secara ringan. Rasa sakit
yang terjadi tidak terlalu hebat dan keterbatasan gerak membuka mulut merupakan cirri dari
keadaan tersebut. Kepala condyle tererosi dengan cepat sampai tinggal batang leher condyle yang
terartikulasi melalui fibrous ankilosis yang masih dapat bergerak melaui fossa glenoid.
Diagnosa biasanya dapat segera ditentukan karena semua tanda penyakit terlihat pada pasien. Tidak
ada cara perawatan local tertentu yang merupakan indikasi, walaupun keterbatasan gerak yang
besar memrlukan kondilektomi.
d. Osteoartritis : merupakan kelainan degenerative yang mempunyai insiden asimptomatik sangat
tinggi pada seluruh sendi setelah usia pertengahan, dan sendi temporomandibula juga terserang.
Jarang terlihat penderita osteoarthritis mengalami gejala khas dari keterbatasan gerak yang terasa
sakit, dengan krepitus hasil pemeriksaan radiograf untuk mendukung diagnosa, yaitu kerusakan
ruang sendi, osteosklerosis dari permukaan sendi, dan osteopit.
e. Gout arthritis : jarang terjadi pada sendi temporomandibula, serta hanya terjadi pada keadaan
yang telah parah saja.
f. Traumatik : keadaan ini pada dasarnya bukan merupakan arthritis, tetapi dapat terjadi peradangan
local karena kerusakan jaringan dan dapat terjadi haemartrosis. Keadaan ini, pasti berasal dari
trauma tidak langsung terhadap sendi, yang meluas karena adanya pukulan pada rahang bawah,
pada saat gigi-gigi dalam keadaan terbuka. Terlihat trismus yang dalam keadaan tersebut.
(Gayford, 1990 : 216-218)

3. Keterbatasan gerak rahang bawah


Merupakan gejala yang sangat sering terjadi dan dapat disebabkan oleh :
a. Trismus – kejang otot
b. Ankilosis – keterbatasan organik atau structural dari pergerakan condyle, dapat intra-artikular
atau ekstra-artikular.

a. Trismus
Merupakan gejala dan dapat disebabkan oleh berbagai penyebab yang dapat dibagi menjadi tiga
kelompok. Yaitu yang berasal dari penyakit peradangan akut yang terasa di sekitar ramus asenden
rahang bawah. Diagnosa ditentukan dengan berdasar pada tanda-tanda penyakit yang berhubungan
dengannya. Kelompok kedua dari gangguan tersebut disebabkan oleh benturan langsung atau
peradangan dari otot pengunyahan dan kelompok ketiga, dimana trismus tidak selalu terjadi, berasal
dari gangguan sistem saraf sentral.
b. Ankilosis.
Intra-artikular : ankilosis tulang atau fibrous dapat terjaid karena trauma, akut supuratif atritis atau
penyakit rheumatoid. Pada keadaan seperti itu, keterbatasan gerak membuka mulut terlihat sangat
besar, tidak terasa sakit dan berlangsung dalam waktu yang lama. Bila terjadi pada masa anak-anak,
keadaan tersebut biasanya disertai dengan hipoplasia condyle dengan penyimpangan rahang bawah.
Ekstra-artikular : dapat terjadi karena daerah sambungan fibrous atau tulang antara rahang bawah
dan kepala, di luar kapsul sendi, atau karena jaringan parut yang terbentuk pada wajah karena luka
bakar atau trauma (baik operasi ataupun tidak) ataupun infeksi kronis.
(Gayford, 1990 : 218-220)

Anda mungkin juga menyukai