Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkambangan sel, kematian menjadi
salah satu aspek yang tidak terelakkan. Beberapa faktor dapat ,menjadi alasan kematian,
yaitu akibat penuaan, kematian terprogram, dan pengaruh dari lingkungan luar.
Kematian sekelompok sel atau jaringan pada lokasi tertentu dalam tubuh disebut
Nekrosis. Nekrosis biasanya disebabkan karena stimulus yang bersifat patologis. Selain
karena stimulus patologis, kematian sel juga dapat terjadi melalui mekanisme kamatian
sel yang sudah terprogram dimana setelah mencapai masa hidup tertentu maka sel akan
mati.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah pengertian kematian sel pada tubuh makhluk hidup?
1.2.2 Apa saja jenis-jenis dari kematian sel atau nekrosis?
1.2.3 Apa dampak dari kematian sel atau nekrosis?
1.2.4 Apa saja penyebab kematian sel atau nekrosis?
1.2.5 Bagaimana pengobatan nekrosis pada tubuh?
1.2.6 Apakah pengertian kematian somatic?
1.2.7 Apa saja kriteria kematian somatic?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian kematian sel pada tubuh makhluk hidup.
1.3.2 Untuk mengetahui jenis-jenis dari kematian sel atau nekrosis.
1.3.3 Untuk mengetahui dampak dari kematian sel atau nekrosis.
1.3.4 Untuk mengetahui penyebab kematian sel atau nekrosis.
1.3.5 Untuk mengetahui pengobatan nekrosis pada tubuh.
1.3.6 Untuk mengetahui pengertian kematian somatic.
1.3.7 Untuk mengetahui kriteria kematian somatic.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kematian Sel


1. Nekrosis
Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan selakut
atau trauma. kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat
menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat berpotensi
menyebabkan masalah kesehatan yang serius.
Akibat jejas yang paling ekstrim adalah kematian sel (cellular death). Kematian sel
dapat mengenai seluruh tubuh (somatic death) atau kematian umum dan dapat pula
setempat, terbatas mengenai suatu daerah jaringan teratas atau hanya pada sel-sel
tertentu saja. Terdapat dua jenis utama kematian sel, yaitu apotosis dan nekrosis.
a. Perubahan Mikroskopis
Perubahan pada sel yang nekrotik terjadi pada sitoplasma dan organel-
organel sel lainnya. Inti sel yang mati akan menyusut (piknotik), menjadi padat,
batasnya tidak teratur dan berwarna gelap. Selanjutnya inti sel hancur dan
meninggalkan pecahan-pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam sel. Proses
ini disebut karioreksis. Kemudian inti sel yang mati akan menghilang (kariolisis).
b. Perubahan Makroskopis
Perubahan morfologis sel yang mati tergantung dari aktivitas enzim lisis
pada jaringan yang nekrotik. Jika aktivitas enzim lisis terhambat maka jaringan
nekrotik akan mempertahankan bentuknya dan jaringannya akan mempertahankan
ciri arsitekturnya selama beberapa waktu. Nekrosis ini disebut nekrosis
koagulatif, seringkali berhubungan dengan gangguan suplai darah. Contohnya
gangren.
Jaringan nekrotik juga dapat mencair sedikit demi sedikit akibat kerja
enzim dan proses ini disebut nekrosis liquefaktif. Nekrosis liquefaktif khususnya
terjadi pada jaringan otak, jaringan otak yang nekrotik mencair meninggalkan
rongga yang berisi cairan. Pada keadaan lain sel-sel nekrotik hancur tetapi
pecahannya tetap berada pada tempatnya selama berbulan-bulan atau bahkan

2
bertahun-tahun dan tidak bisa dicerna. Jaringan nekrotik ini tampak seperti keju
yang hancur. Jenis nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa, contohnya pada
tuberkulosis paru.
Jaringan adiposa yang mengalami nekrosis berbeda bentuknya dengan
jenis nekrosis lain. Misalnya jika saluran pankreas mengalami nekrosis akibat
penyakit atau trauma maka getah pankreas akan keluar menyebabkan hidrolisis
jaringan adiposa (oleh lipase) menghasilkan asam berlemak yang bergabung
dengan ion-ion logam seperti kalsium membentuk endapan seperti sabun.
Nekrosis ini disebut nekrosis lemak enzimatik.
c. Perubahan Kimia Klinik
Kematian sel ditandai dengan menghilangnya nukleus yang berfungsi
mengatur berbagai aktivitas biokimiawi sel dan aktivasi enzim autolisis sehingga
membran sel lisis. Lisisnya membran sel menyebabkan berbagai zat kimia yang
terdapat pada intrasel termasuk enzim spesifik pada sel organ tubuh tertentu
masuk ke dalam sirkulasi dan meningkat kadarnya di dalam darah.
2. Apoptosis

Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram (programmed cell death), adalah
suatu komponen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga
keseimbangan pada organisme multiseluler. Sel-sel yang mati adalah sebagai respons dari
beragam stimulus dan selama apoptosis kematian sel-sel tersebut terjadi secara terkontrol
dalam suatu regulasi yang teratur.

Informasi genetik pemicu apoptosis aktif setelah sel menjalani masa hidup
tertentu, menyebabkan perubahan secara morfologis termasuk perubahan pada inti sel.
Kemudian sel akan terfragmentasi menjadi badan apoptosis, selanjutnya fragmen tersebut
diabsorpsi sehingga sel yang mati menghilang.

a. Penyebab Apoptosis

Kematian sel terprogram di mulai selama embriogenesis dan terus berlanjut


sepanjang waktu hidup organisme. Rangsang yang menimbulkan apoptosis meliputi

3
isyarat hormon, rangsangan antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang
mengidentifikasi sel yang menua atau bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan
seringkali menyebabkan apoptosis, yang akhirnya yang mengakibatkan kematian
virus dan sel penjamu (host). Hal ini merupakan satu cara yang dikembangkan oleh
organisme hidup untuk melawan infeksi virus. Virus tertentu (misalnya; Virus
EpsteinBarr yang bertanggung jawab terhadap monunukleosis) pada gilirannya
menghasilkan protein khusus yang menginaktifkan respons apoptosis. Defisiensi
apoptosis telah berpengaruh pada perkembangan kanker dan penyakit neuro
degeneratif dengan penyebab yang tidak diketahui, termasuk penyakit Alzheimer dan
sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis yang dirangsang-
antigen dari sel imun (sel T dan sel B) sangat penting dalam menimbulkan dan
mempertahankan toleransi diri imun (Elizabeth J. Corwin, 2009).

b. Mekanisme Apoptosis

Apoptosis ditimbulkan lewat serangkaian kejadian molekuler yang berawal


dengan berbagai cara yang berbeda tapi pada akhirnya berpuncak pada aktivasi enzim
kaspase. Mekanisme apoptosis secara filogenetik dilestarikan; bahkan pemahaman
dasar kita tentang apoptosis sebagian besar berasal dari eksperimen cacing
nematoda Caenorhabditis elegans; pertumbuhan cacing ini berlangsung melalui pola
pertumbuhan sel yang sangat mudah direproduksi, diikuti oleh kematian sel.
Penelitian terhadap cacing mutan menemukan adanya gen spesifik (dinamakan
gen ced singkatan dari C. elegans death; gen ini memiliki homolog pada manusia)
yang menginisiasi atau menghambat apoptosis.

Proses apoptosis terdiri dari fase inisiasi (kaspase menjadi aktif) dan fase
eksekusi, ketika enzim mengakibatkan kematian sel. Inisiasi apoptosis terjadi melalui
dua jalur yang berbeda tetapi nantinya akan menyatu (konvergen), yaitu:
jalur ekstrinsik atau, yang dimulai dari reseptor, dan jalur intrinsik atau jalur
mitokondria (Mitchell; Kumar; Abbas & Fausto, 2008).

4
PERBEDAAN ANTARA NEKROSIS DAN APOPTOSIS

Nekrosis Apoptosis

Kematian oleh faktor luar sel Kematian diprogram oleh sel

Sel membengkak Sel tetap ukurannya

Pembersihan debris oleh fagosit dan


Pembersihan berlangsung cepat
sistem imun sulit

Sel sekarat tidak dihancurkan fagosit Sel sekarat akan ditelan fagosit karena ada
maupun sistem imun sinyal dari sel

Lisis sel Non-lisis

Merusak sel tetangga (inflamasi) Sel tetangga tetap hidup normal

2.2 Jenis-jenis Kematian Sel atau Nekrosis


1. Nekrosis koagulatif
Terjadi akibat hilangnya secara mendadak fungsi sel yang disebabkan oleh
hambatan kerja sebagian besar enzim. Enzim sitoplasmik hidrolitik juga dihambat
sehingga tidak terjadi penghancuran sel (proses autolisis minimal). Akibatnya struktur
jaringan yang mati masih dipertahankan, terutama pada tahap awal (Sarjadi, 2003).
Terjadi pada nekrosis iskemik akibat putusnya perbekalan darah. Daerah yang
terkena menjadi padat, pucat dikelilingi oleh daerah yang hemoragik. Mikroskopik
tampak inti-inti yang piknotik. Sesudah beberapa hari sisa-sisa inti menghilang,
sitoplasma tampak berbutir, berwarna merah tua. Sampai beberapa minggu rangka sel
masih dapat dilihat (Pringgoutomo, 2002). Contoh utama pada nekrosis koagulatif

5
adalah infark ginjal dengan keadaan sel yang tidak berinti, terkoagulasi dan asidofilik
menetap sampai beberapa minggu (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
2. Nekrosis likuefaktif (colliquativa)
Perlunakan jaringan nekrotik disertai pencairan. Pencairan jaringan terjadi akibat
kerja enzim hidrolitik yang dilepas oleh sel mati, seperti pada infark otak, atau akibat
kerja lisosom dari sel radang seperti pada abses (Sarjadi, 2003).
3. Nekrosis kaseosa (sentral)
Bentuk campuran dari nekrosis koagulatif dan likuefaktif, yang makroskopik
teraba lunak kenyal seperti keju, maka dari itu disebut nekrosis perkejuan. Infeksi
bakteri tuberkulosis dapat menimbulkan nekrosis jenis ini (Sarjadi, 2003). Gambaran
makroskopis putih, seperti keju didaerah nekrotik sentral. Gambaran makroskopis,
jaringan nekrotik tersusun atas debris granular amorf, tanpa struktur terlingkupi
dalam cincin inflamasi granulomatosa, arsitektur jaringan seluruhnya terobliterasi
(tertutup) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
4. Nekrosis lemak
Terjadi dalam dua bentuk:
a. Nekrosis lemak traumatic
Terjadi akibat trauma hebat pada daerah atau jaringan yang banyak
mengandung lemak (Sarjadi, 2003).
b. Nekrosis lemak enzimatik
Merupakan komplikasi dari pankreatitis akut hemorhagika, yang mengenai
sel lemak di sekitar pankreas, omentum, sekitar dinding rongga abdomen.
Lipolisis disebabkan oleh kerja lypolitic dan proteolytic pancreatic enzymes yang
dilepas oleh sel pankreas yang rusak (Sarjadi, 2003). Aktivasi enzim pankreatik
mencairkan membran sel lemak dan menghidrolisis ester trigliserida yang
terkandung didalamnya. Asam lemak yang dilepaskan bercampur dengan kalsium
yang menghasilkan area putih seperti kapur (mikroskopik) (Kumar; Cotran &
Robbins, 2007).
5. Nekrosis fibrinoid
Disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah imun. Hal ini ditandai dengan adanya
pengendapan fibrin bahan protein seperti dinding arteri yang tampak kotor dan

6
eosinofilik pada pada mikroskop cahaya. Nekrosis ini terbatas pada pembuluh darah
yang kecil, arteriol, dan glomeruli akibat penyakit autoimun atau hipertensi maligna.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan nekrosis dinding pembuluh darah sehingga
plasma masuk ke dalam lapisan media. Fibrin terdeposit disana. Pada pewarnaan
hematoksilin eosin terlihat masa homogen kemerahan (Sarjadi, 2003).

2.3 Dampak Nekrosis


Jaringan nekrotik akan menyebabkan peradangan sehingga jaringan nekrotik
tersebut dihancurkan dan dihilangkan dengan tujuan membuka jalan bagi proses
perbaikan untuk mengganti jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik dapat digantikan oleh
sel-sel regenerasi (terjadi resolusi) atau malah digantikan jaringan parut. Jika daerah
nekrotik tidak dihancurkan atau dibuang maka akan ditutup oleh jaringan fibrosa dan
akhirnya diisi garam-garam kalsium yang diendapkan dari darah di sekitar sirkulasi
jaringan nekrotik. Proses pengendapan ini disebut kalsifikasi dan menyebabkan daerah
nekrotik mengeras seperti batu dan tetap berada selama hidup.
Perubahan-perubahan pada jaringan nekrotik akan menyebabkan:
1. Hilangnya fungsi daerah yang mati.
2. Dapat menjadi fokus infeksi dan merupakan media pertumbuhan yang baik untuk
bakteri tertentu, misalnya bakteri saprofit pada gangren.
3. Menimbulkan perubahan sistemik seperti demam dan peningkatan leukosit.
4. Peningkatan kadar enzim-enzim tertentu dalam darah akibat kebocoran sel-sel
yang mati.

2.4 Penyebab Nekrosis dan Akibat Nekrosis


1. Penyebab Nekrosis
a. Iskhemi
Iskhemi dapat terjadi karena perbekalan (supply) oksigen dan makanan
untuk suatu alat tubuh terputus. Iskhemi terjadi pada infak, yaitu
kematian jaringan akibat penyumbatan pembuluh darah. Penyumbatan dapat
terjadi akibat pembentukan trombus.

7
Penyumbatan mengakibatkan anoxia.Nekrosis terutama terjadi apabila
daerah yang terkena tidak mendapat pertolongan sirkulasi kolateral. Nekrosis
lebih mudah terjadi pada jaringan-jaringan yang bersifat rentan terhadap anoxia.
Jaringan yang sangat rentan terhadap anoxia ialah otak.
b. Agens biologic
Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah
dan trombosis. Toksin ini biasanya berasal dari bakteri - bakteri yang virulen, baik
endo maupun eksotoksin.
c. Agens kimia
Dapat eksogen maupun endogen. Meskipun zat kimia merupakan juga
merupakan juga zat yang biasa terdapat pada tubuh, seperti natrium danglukose,
tapi kalau konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis akibat gangguan
keseimbangan kosmotik sel. Beberapa zat tertentu dalam konsentrasi yang rendah
sudah dapat merupakan racun dan mematikan sel, sedang yang lain baru
menimbulkan kerusakan jaringan bila konsentrasinya tinggi.
d. Agens fisik
Trauma, suhu yang sangat ekstrem, baik panas maupun dingin, tenaga
listrik, cahaya matahari, tenaga radiasi. Kerusakan sel dapat terjadi karena timbul
kerusakan potoplasma akibat ionisasi atau tenaga fisik, sehingga timbul
kekacauan tata kimia potoplasma dan inti.
e. Kerentanan (hypersensitivity)
Kerentanan jaringan dapat timbul spontan atau secara di dapat (acquired)
dan menimbulkan reaksi imunologik. Pada seseorang bersensitif terhadap obat-
obatan sulfa dapat timbul nekrosis pada epitel tubulus ginjal apabila ia makan
obat-obatan sulfa. Juga dapat timbul nekrosis pada pembuluh-pembuluh darah.
Dalam imunologi dikenal reaksi Schwartzman dan reaksi Arthus.
2. Akibat Nekrosis
a. Sekitar 10% kasus terjadi pada bayi baru lahir, nekrosis kortikalis terjadi karena
persalinan yang disertai dengan abruptio placentae sepsis bakterialis.
b. Pada anak-anak, nekrosis kortikalis terjadi karena infeksi, syok, dan dehidrasi.
c. Pada dewasa, 30% kasus disebabkan oleh sepsis bakterialis.

8
d. Sekitar 50% kasus terjadi pada wanita yang mengalami komplikasi kehamilan,
abroptio placenta, placenta previa, pendarahan rahim, infeksi yang terjadi segera
setelah melahirkan (sepsis puerpurium), penyumbatan arteri oleh cairan ketuban
(emboli), kematian janin di dalam rahim, dan pre-eklamsi(tekanan darah tinggi
disertai adanya protein dalam air kemih atau penimbunan cairan selama
kehamilan).

2.5 Pengobatan Nekrosis


Pengobatan nekrosis biasanya melibatkan dua proses yang berbeda. Biasanya,
penyebab nekrosis harus diobati sebelum jaringan mati sendiri dapat ditangani. Sebagai
contoh, seorang korban gigitan ular atau laba-laba akan menerima anti racun untuk
menghentikan penyebaran racun, sedangkan pasien yang terinfeksi akan menerima
antibiotik. Bahkan setelah penyebab awal nekrosis telah dihentikan, jaringan nekrotik
akan tetap dalam tubuh. Respon kekebalan tubuh terhadap apoptosis, pemecahan
otomatis turun dan daur ulang bahan sel, tidak dipicu oleh kematian sel nekrotik.
Terapi standar nekrosis (luka, luka baring, luka bakar, dll) adalah bedah
pengangkatan jaringan nekrotik. Tergantung pada beratnya nekrosis, ini bisa berkisar dari
penghapusan patch kecil dari kulit, untuk menyelesaikan amputasi anggota badan yang
terkena atau organ. Kimia penghapusan, melalui enzimatik agen debriding, adalah pilihan
lain. Dalam kasus pilih, khusus belatung terapi telah digunakan dengan hasil yang baik.

2.6 Pengertian Kematian Somatic


Kematian somatic disebut juga kematian seluruh individu. Kematian
somatik merupakan seseorang dinyatakan meninggal jika fungsi vital
berhenti tanpa ada kemungkinan untuk berfungsi kembali. Jadi, jika seorang
berhenti bernafas dan tidak dapat diresusitasi, maka jantung dengan cepat berhenti
berdenyut sebagai akibat dari anoksia, dan orang itu tidak dapat disangkal lagi telah mati.
Kematian somatic terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan,
yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan secara menetap
(ireversibel).Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, naditidak

9
teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerakan pernapasan dan suara
pernapasan tidak terdengar pada auskultasi.
Dengan kemajuan teknologi, maka jika seorang penderita pernafasannya berhenti
dapat dipasang respirator mekanis. Jika denyut jantung penderita mulai terputus-putus,
dapat dipasang alat pacu jantung elektris. Dengan adanya peralatan untuk
mempertahankan hidup semacam ini, maka definisi kematian menjadi lebih sulit.
Sebenarnya, sebaiknya dijelaskan bahwa tidak semua sel tubuh mati secara serentak.
Sudah dibuat jaringan hidup dari jaringan-jaringan yang diambil dari mayat. Dalam
rumah sakit sekarang ini, definisi umum tentang kematian somatik menyangkut kegiatan
sistem saraf pusat khususnya otak. Jika otak mati, maka kegiatan listrik berhenti
dan elektroensefalogramnya menjadi isoelektris atau mendatar. Jika
hilangnya kegiatan listrik terjadi selama jangka waktu yang sudah
ditentukan secara ketat, maka para dokter berwenang menganggap penderita
meninggal walaupun paru dan jantung masih dapat dijalankan terus secara buatan untuk
beberapa lama.
Setelah kematian, terjadilah perubahan-perubahan tertentu
y a n g d i n a m a k a n p e r u b a h a n postmortem. Karena reaksi kimia dalam otot orang
mati, timbul suatu kekakuan yang dinamakan rigor mortis, algor mortis menunjukkan
pada dinginnya mayat, karena suhu tubuhnya mendekati suhu lingkungan. Perubahan
lain disebut l i v o r mortis atau perubahan warna postmortem.
U m u m n y a perubahan warna semacam itu disebabkan oleh kenyataan bahwa
sirkulasi berhenti, darah di dalam pembuluh mengambil tempat menurut tarikan
gravitasi, dan jaringan-jaringan yang terletak paling bawah dalam tubuh menjadi
merah keunguan, disebabkan oleh bertambahnya kandungan darah.
Karena jaringan-jaringan di dalam mayat itu mati, maka secara mikroskopis
enzim-enzim dikeluarkan secaralokal, dan mulai terjadi reaksi lisis. Reaksi-
reaksi ini, disebut otolisis postmortem yang sangat mirip dengan perubahan-
perubahan yang terlihat pada jaringan nekrotik, tetapi tentu saja tidak lagi
disertai reaksi peradangan. Akhirnya, bila tidak dicegah dengan tindakan-
tindakan tertentu (misalnya pembalseman) bakteri-bakteri akan tumbuh dengan subur dan
akan terjadi pembusukan. K e c e p a t a n mulai timbulnya perubahan

10
p o s t m o r t e m s a n g a t b e r b e d a - b e d a , tergantung pada individu maupun pada sifat-
sifat lingkungan sekitarnya.
2.7 Kriteria Kematian Somatik
1. Terhentinya fungsi sirkulasi secara ireversibel (denyut jantung).
2. Terhentinya fungsi pernafasan.
3. Terhentinya fungsi otak (tidak ada reflek batang otak)
4. Perubahan post mortem: rigor mortis (kekakuan) livor mortis (warna ungu
kebiruan) algor mortis (pendinginan), autolisis (pencairan)

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan sel akut
atau trauma, dimana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol yang dapat
menyebabkan rusaknya sel, adanya respon peradangan dan sangat berpotensi
menyebabkan masalah kesehatan yang serius. Nekrosis hanya dapat diobati sebelum
jaringan sel tersebut mati.
Apoptosis adalah kematian sel yang terprogram (programmed cell death), adalah
suatu komponen yang normal terjadi dalam perkembangan sel untuk menjaga
keseimbangan pada organisme multiseluler.
Kematian somatic terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang
kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan secara
menetap (ireversibel).Secara klinis tidak ditemukan refleks-
refleks, EEG mendatar, naditidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada
gerakan pernapasan dan suara pernapasan tidak terdengar pada auskultasi.
3.2 Saran
Nekrosis merupakan kematian sel sebagai akibat dari adanya kerusakan selakut
atau trauma, di mana kematian sel tersebut terjadi secara tidak terkontrol. Maka kita
harus mempraktekkan gaya hidup sehat, dengan makan makanan yang sehat dan
melakukan aktivitas yang teratur sebelum mendapatkan hal yang tidak diinginkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Edisi 3. Jakarta: EGC.


Kumar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7,
Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lestari, Ajeng S.P. dan Agus Mulyono. 2011. Analisis Citra Ginjal untuk Identifikasi Sel
Psikonosis dan Sel Nekrosis. Jurnal Neutrino Vol.4, No.1, p:48-66.
Pringgoutomo, S.; S. Himawan; A. Tjarta. 2002. Buku Ajar Patologi I. Jakarta: Sagung Seto.
Robbins & Cotran., 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit (ed.7). Mitchell, R.N., Kumar,V.,
Abbas, A.K., Fausto, N (editor). Jakarta: EGC.
Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
http://novanopbegaul.blogspot.co.id/2015/05/makalah-kematian-sel.html

13

Anda mungkin juga menyukai