Anda di halaman 1dari 43

A.

KELAINAN RETROGRESIF

Kelainan Retrogresif, yaitu proses kemunduran suatu jaringan atau organ yang sebelumnya
telah tumbuh mencapai batas normal.
termasuk di dalamnya : Atropi, Degenerasi dan Infiltrasi, Gangguan Metabolisme,
Kematian sel ; Nekrosis, Apoptropi,Postmortal, Penimbunan pigment, Melanin, MineraL,
Defisiensi.
Setiap sel melaksanakan kebutuhan fisiologik yang normal yang disebut Homeostasis
normal. Sel memiliki fungsi dan struktur yang terbatas, dalam metabolisme, difrensiasi, dan
fungsi lainnya karena pengaruh dari sel-sel sekitarnya dan tersedianya bahan-bahan dasar
metabolisme. Sel mendapatkan stimulus yang patologik , fisiologik dan morphologic. Bila
stimulus patologik diperbesar hingga melampaui adaptasi sel maka timbul jejas sel atau sel
yang sakit (cell injury) yang biasanya bersifat sementara (reversible). Namun jika stimulus
tetap atau bertambah besar , sel akan mengalami jejas yang menetap (irreversible) yaitu sel
yang mati atau nekrosis. Perubahan-perubahan tersebut hanya mencerminkan adanya
“cedera-cedera biomolekuler”, yang telah berjalan lama dan baru kemudian dapat dilihat.
Adaptasi, jejas dan nekrosis dianggap sebagai suatu tahap gangguan progresif dari fungsi dan
struktur normal suatu sel. DEGENERASI (regresif) adalah merupakan suatu proses
kemunduran.
Yang termasuk degenerasi(regresif) :
1 .ATROPI
Atropi adalah perubahan ukuran sel dari normal menjadi lebih kecil akibat
berkurangnya substansi sel sehingga jaringan yang disusun oleh sel tersebut menjadi lebih
kecil. Mengecilnya alat tubuh tersebut karena sel-sel yang menjalankan fungsi alat tubuh
tersebut mengecil. Jadi bukan mengenai sei-sel jaringan ikat atau stroma alat tubuh tersebut.
Stroma tampaknya bertambah yang sebenarnya relative karena stroma tetap.
Atropi dibedakan menjadi :
a. Atropi fisiologik
Atropi fisiologik adalah atropi yang merupakan proses normal pada manusia. Beberapa
alat tubuh dapat mengecil atau menghilang sama sekali selama masa perkembangan
kehidupan, dan jika alat tubuh tersebut tidak menghilang pada usia tertentu malah dianggap
patologik. Contoh : kelenjar thymus, ductus thyroglosus. Misalnya pada atropi senilis, organ
tubuh pada usia lanjut akan mengalami pengecilan. Atropi senilis juga dapat disebut atropi

1
menyeluruh(general) karena terjadi pada seluruh organ tubuh. Atropi menyeluruh juga terjadi
pada keadaan kelaparan (Starvation).

b. Atropi patologik
Atropi patologik dapat dibagi beberapa kelompok :

1. ) Atropi disuse adalah atropi yang terjadi pada organ yang tidak beraktifitas dalam
jangka waktu lama.
2.) Atropi desakan terjadi pada suatu organ tubuh yang terdesak dalam waktu lama.
3.) Atropi endokrin terjadi pada organ tubuh yang aktivitasnya tergantung pada
rangsang hormon tertentu.
4.) Atropi vaskuler terjadi pada organ yang mengalami penurunan aliran darah
hingga dibawah nilai krisis.
5.) Atropi payah (exhaustion atrophy) terjadi karena kelenjar endokrin yang terus
menghasilkan hormone yang berlebihan akan mengalami atropi payah.
6.) Atropi serosa dari lemak terjadi pada malnutrisi berat atau pada kakheksia.
Jaringan lemak yang mengalami atropi akan menjadi encer seperti air atau lender.
7.) Atropi coklat juga memiliki hubungan dengan malnutrisi berat atau kakheksia
dan organ yang mengalami atropi adalah jantung dan hati.

2. DEGENERASI DAN INFILTRASI


Degenerasi Ialah perubahan-perubahan morfologik akibat jejas-jejas yang nonfatal.
Perubahan perubahan tersebut masih dapat pulih (reversible). Meskipun sebab yang
menimbulkan perubahan tersebut sama, tetapi apabila berjalan lama dan derajatnya
berlebih akhirnya mengakibatkan kematian sel atau yang disebut nekrosis. Jadi
sebenarnya jejas sel (cellular injury) dan kematian sel merupakan kerusakan sel yang
berbeda dalam derajat kerusakannya.Pada jejas sel yang berbentu degenerasi masih dapat
pulih, sedangkan pada nekrosis tidak dapat pulih (irreversible).
Infiltrasi terjadi akibat gangguan yang sifatnya sitemik dan kemudian mengenai sel-
sel yang semula sehat akibat adanya metabolit –metabolit yang menumpuk dalam jumlah
berlebihan. Karena itu perubahan yang awal adalah ditemukannya metabolit-metabolit
didalam sel. Benda-benda ini kemudian merusak struktur sel.
Jadi degenerasi terjadi akibat jejas sel, kemudian baru timbul perubahan metabolisme,
sedangkan infiltrasi mencerminkan adanya perubahan metabolisme yang diikuti oleh jejas
seluler. Degenerasi dan infiltrasi dapat terjadi akibat gangguan yang bersifat biokomiawi

2
atau biomolekuler. Sebagai contoh degenerasi dapat terjadi akibat anoxia. Infiltrasi dapat
terjadi akibat penumpuka glikogen didalam sel, karena itu disebut infiltrasi glikogen.

3. GANGGUAN METABOLISME
Memang setiap sel selalu terancam mengalami kerusakan, tetapi sel hidup mempunyai
kemampuan untuk coba menanggulanginya. Jejas ini kemudian mengakibatkan gangguan
dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak pada sel.
Gangguan metabolisme intraseluler ini akhirnya mengakibatkan perubahan pada struktur
sel.

4. NEKROSIS
Akibat jejas yang paling ekstrim adalah kematian sel. (celluler death). Celluler death
dapat mengenai seluruh tubuh (somatic death) atau kematian umum dan dapat pula
setempat. Terbatas mengenai suatu daerah jaringan teratas atau hanya pada sel-sel tertentu
saja. Perubahan Morfologi yang terjadi pada kematian sel dalam jaringan pada tubuh
yang hidup disebut nekrosis.
Sel yang diawetkan dalam larutan fiksatif(contoh formalin) adalah sel mati tapi tidak
mengalami nekrosis sebab sel tersebut tidak menunjukkan perubahan morfologi sel.
Dua proses yang menyebabkan perubahan pada nekrosis adalah :
a.akibat dari pencernaan oleh enzim yang ada dalam sel
b. denaturasi protein.
Enzim katalitik berasal dari lisosom sel itu sendiri yang mati, kemudian mencerna
selnya sendiri, proses ini disebut autolysis. Selain autolysis dapat juga terjadi heterolysis,
yaitu sel yang mati dicerna oleh enzim yang berasal dari lisosom sel leukosit yang datang
kedaerah nekrotik. Proses morfologi nekrosis tergantung dari peristiwa mana yang lebih
berpengaruh pada nekrosis tersebut apakah pencernaan oleh enzim atau denaturasi
protein. Jika denaturasi protein lebih berpengaruh pada proses nekrosis, terjadilah proses
nekrosis yang disebut nekrosis koagulativa. Namun sebaliknya, bila pencernaan oleh
enzim katalitik pada struktur sel lebih berpengaruh disebut nekrosis liquefaktif atau
nekrosis kolikuativa.
Massa yang terdiri dari sel-sel nekrotik akan menunjukkan gambaran morfologi antara
lain :
1) Nekrosis Koagulativa , banyak ditemukan, protein sel koagulasi , bentuk sel
/susunan jaringan masih terlihat (nekrosis struktural). Bila tidak terlihat à nekrosis

3
tanpa struktur o.k dicerna enzim (nekrosis koliquativa pada tuberkulosis) Awal
konsistensi normal / kenyal /lunak
2) Nekrosis Koliquativa, jaringan tanpa stroma kuat, (misal: otak) à mencair à kista
3) Nekrosis Lemak, trauma jaringan lemak, enzim lipase
4) Nekrosis Gangrenosa, dimulai: nekrosis iskemik àkuman à gangren basah/kering
5) Nekrosis Fibrinoid, hipertensi maligna à nekrosis lapisan muscularis à
timbunan fibrin
Nekrosis dapat disebabkan oleh :
1) Ishkemi : perbekalan (supply) oksigen dan makanan untuk suatu alat terputus.
2) Agens biologik : Toksin bakteri yang dapat mengakibatkan kerusakan dinding
pembuluh darah dan thrombosis.
3) Agens Kimia : dapat eksogen maupun endogen. Meskipun zat kimia yang biasa
terdapat dalam tubuh , seperti natrium dan glucose, tapi kalau konsentrasinya tinggi
dapat mengakibatkan nekrosis akibat gangguan osmotik sel. Produk-produk
metabolisme tubuh sendiri dapat bertindak sebagai racun, yang disebut
autointoksikasi, misalnya pada wanita hamil dengan keracunan kehamilan (toxemia
gravidarum), pada payah ginjal dapat menyebabkan uremi. Gas chloroform tidak
merusak paru-paru tetapi setelah diserap dapat merusak hati.
4) Agen fisik : Trauma, suhu yang sangat ekstrim baik panas atau dingin, tenaga
listrik, cahaya matahari, tenaga radiasi. Kerusakan sel dapat terjadi karena timbul
kerusakan protoplasma akibat ionisasi atau tenaga fisik, sehingga timbul kekacauan
tata kimia protoplasma dan inti.
5) Kerentanan (Ihypersensitivity) : kerentanan jaringan dapat timbul spontan atau
secara didapat(accuired) dan menimbulkan reaksi imunologik.

5. APOPTOSIS
Apoptosis dan nekrosis sama-sama merupakan proses kematian sel . Apoptosis adalah
kematian sel per sel , sedangkan nekrosis melibatkan sekelompok sel. Membran sel yang
mengalami apoptosis akan mengalami penonjolan-penonjolan keluar tanpa disertai
hilangnya integritas membran. Sedangkan pada nekrosis akan mengalami kehilangnya
integritas membran. Sel yang mengalami apoptosis akan menciut dan membentuk badan
apoptosis. Pada nekrosis sel akan membengkak (proses peradangan) untuk kemudian
mengalami lisis. Sel aportosis lisosomnya utuh pada nekrosis mengalami kebocoran
lisosom. Sel yang mengalami apoptosis biasanya akan dimakan oleh sel yang berdekatan

4
atau yang berbatasan langsung dengannya dan beberapa makrofag. Nekrosis akan
dimakan oleh makrofag. Secara biokimia apoptosis terjadi sebagai respon dari dalam sel
yang mungkin merupakan proses fisiologis sedangkan nekrosis terjadi karena trauma
nonfisiologis.

6. POSMORTAL
Kematian bukanlah akhir dari proses dalam tubuh yang mengalami kematian.Tubuh
akan terus mengalami perubahan. Perubahan ini dipengaruhi oleh :
a. Suhu lingkungan sekitarnya
b. Suhu tubuh saat terjadi kematian
c. Ada tidaknya infeksi umum

Serangkaian perubahan yang terjadi setelah kematian tubuh antara lain :


1). Autolisis ; jaringan yang mati dihancurkan oleh enzim-enzim antara lain enzim dari
lisosom, mikroorganisme yang mengifeksi jaringan mati. Tubuh yang mati akan
mencair, kecuali jika dicegah dengan pengawetan atau pendinginan.
2). Algor Mortis ; suhu tubuh menjadi dingin sesuai suhu lingkungan memerlukan waktu
24 s/d 48 jam untuk menjadi dingin sesuai suhu lingkungan. Suhu tubuh menjadi
dingin karena proses metabolisme terhenti. Jika ditempat yang dingin maka akan
lebih cepat dingin, tetapi jika ditempat yang panas akan lebih lambat.
3). Rigor Mortis (kaku mayat); timbul setelah 2 s/d 4 jam setelah kematian. Mencapai
puncak setelah 48 jam dan kemudian menghilang selama 3 sampai 4 hari.
4). Livor Mortis (lebam mayat) ; Nampak setelah 30 menit kematian dan mencapai
puncaknya setelah 6 hingga 10 jam.Lebam mayat timbul pada bagian bawah tubuh.
5). Pembekuan Darah postmortal ; beku darah post mortal berkonsistensi lunak, elastic
dan seperti gel, berbeda dengan thrombus yang konsistensinya keras dan kering.
6). Jejas postmortal ; enzim dalam tubuh masih aktif untuk beberapa waktu setelah
kematian. Jejas postmortal tidak dijumpai reaksi radang pada jejas, sedangkan pada
lesi antemortal Nampak reaksi radang.
7). Pembusukan ; hancurnya tubuh yang mati karena invasi bakteri. Kulit menjadi
kehijauan setelah 1 sampai 2 minggu.

5
7. PENIMBUNAN PIGMEN
Pigment adalah substansi berwarna yang dapat merupakan bahan normal dalam sel.
Pigmen yang ada dalam tubuh dapat berasal dari endogen yang disintesa dalam tubuh,
dan eksogen berasal dari luar tubuh.
a. Pigmen eksogen dari luar tubuh misal :
1). debu carbon
2). perak, masuk kedalam tubuh sebagai obat-obatan
3). tanda rajah (tattoo)
b. Pigmen endogen
Hampir seluruhnya berasal dari peruntuhan haemoglobin, meliputi :
 Hemosiderin ; adalah pigmen yang berbentuk granular atau kristal dan
2).berwarna kuning keemasan hingga coklat dan banyak mengandung zat besi
didalam sel (intraselular). Haemosiderin dibentuk dalam 24 jam.
Hematoidin ; pigmen bentuk Kristal berwarna coklat keemasan, tidak mengandung
zat besi dan identik dengan bilirubin. Hematoidin merupakan pigmen ekstraselular.
Haemotoidin dibentuk dalam 7 hari.
 Bilirubin ; pigmen normal yang dijumpai pada empedu, berasal dari haemoglobin
tetapi tidak mengandung besi. Jika konsentrasi pigmen dalam sel dan jaringan
meningkat, terjadi pigmentasi warna kuning yang disebut ikterus. Meskipun
didistribusikan keseluruh tubuh namun jumlah terbanyak ditemukan dalam hati
dengan produksi normal 0,2 – 0,3 gram, berasal dari penghancuran sel eritrosit yang
sudah tua oleh proses fagosif mononuclear di limpa, hati dan sumsum tulang.

8. MELANIN
Coklat-hitam dan dapat dijumpai pada rambut, kulit, iris mata dan lain-lain.
Pigmen melanin berasal dari yang oleh enzim tirosin oksidase diubah menjadi 3,4-
dihidroksifenilalanin (DOPA), selanjutnya DOPA oleh enzim DOPA oksidase diubah
menjadi melanin. Untuk kerja dari enzim tirosin oksidase dan enzim DOPA oksidase
diperlukan tirosinase (Cu).
Beberapa hal yang dapat mengurangi pengurangan pigmen melanin :
 Faktor yang menghalangi kualitas enzim tirosinase.
 Defisiensi tembaga (Cu)
 Zat yang mengandung belerang seperti glutation dan sistein.

6
Substansi yang mengandung belerang akan mengikat tembaga yang diperlukan untuk
pembentukan melanin. Meningkatnya suhu dan sinar ultraviolet menyebabkan
hyperpigmentasi.
Kegunaan pigmen melanin adalah melindungi tubuh dari sinar. Hal ini didukung oleh
tingginya karsinoma kulit pada kulit putih disbanding kulit hitam. Berikut kelainan
yang terjadi pada melanin :
 hiperpigmentasi menyeluruh, misal chloasma gravidarum, ACTH >> à
penyakit Addison
 hiperpigmentasi lokal, misal bercak tanpa penambahan melanosit (ephelides),
neurofibromatosis
 hipopigmentasi menyeluruh pada albino
 hipopigmentasi lokal, misal vitiligo, bekas luka

9. MINERAL
Selain zat karbon, hydrogen, nitrogen dan oksigen yang merupakan bagian
terpenting dalam jaringan pada tubuh terdapat 13 macam unsur lain yang juga sangat
penting dalam kehidupan manusia, 7 diantaranya terdapat dalam jumlah banyak yaitu
kalsium, fosfor, magnesium, natrium, kalium, chlor, dan sulfur. Sedangkan 6 lainnya
merupakan ‘trace elements” tetapi vital yaitu besi, tembaga, mangan, yodium, kobal
(Co), dan seng (Zn). Dalam makanan sehari-hari sudah cukup, tetapi pengeluaran
berlebihan (muntah, diare) atau gangguan penyerapan dapat menimbulkan defisiensi.
Sebaliknya jumlah yang berlebihan dalam makanan atau gangguan ekskresi,
menimbulkan penimbunan yang berlebihan pada jaringan atau cairan tubuh dan dapat
menyebabkan gangguan metabolik, susunan kimiawi dan gejala klinik yang nyata.

10. DEFISEINSI
Ketidak seimbangan nutrisi merupakan penyebab utama jejas sel antara lain defisiensi
protein, vitamin dan mineral. Jumlah lipid yang berlebihan merupakan faktor
pendukung terjadinya arteriosklerosis yang dapat menyebabkan sel/jaringan
mengalami defisiensi oksigen dan makanan. Jejas yang disebabkan oleh defisiensi
nutrisi antara lain Starvation, marasmus, kwashiorkor atau yang lebih dikenal
gangguan nutrisi.

7
B. ASMA

Asma sendiri berasal dari kata asthma. Kata ini berasal dari bahasa Yunani yang
memiliki arti sulit bernafas. Penyakit asma dikenal karena adanya gejala sesak nafas,
batuk, dan mengi yang disebabkan oleh penyempitan saluran nafas. Atau dengan kata
lain asma merupakan peradangan atau pembengkakan saluran nafas yang reversibel
sehingga menyebabkan diproduksinya cairan kental yang berlebih (Prasetyo, 2010)

1. JENIS – JENIS PENYAKIT ASMA


Beberapa ahli membagi asma dalam 2 golongan besar, seperti yang dianut banyak
dokter ahli pulmonologi (penyakit paru-paru) dari Inggris, yakni:
a. Asma Ekstrinsik
b.Asma Intrinsik

1). Asma Ekstrinsik


Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum, dan disebabkan
karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal tertentu (alergen), yang tidak
membawa pengaruh apa-apa terhadap mereka yang sehat. Pada orang-orang tertentu,
seperti pada penderita asma, sistem imunitas bekerja lepas kendali dan menimbulkan
reaksi alergi. Reaksi ini disebabkan oleh alergen. Alergen bisa tampil dalam bentuk:
mulai dari serbuk bunga, tanaman, pohon, debu luar/dalam rumah, jamur, hingga
zat/bahan makanan. Ketika alergen memasuki tubuh pengidap alergi, sistem
imunitasnya memproduksi antibodi khusus yang disebut IgE. Antibodi ini mencari
dan menempelkan dirinya pada sel-sel batang. Peristiwa ini terjadi dalam jumlah
besar di paru-paru dan saluran pernafasan lalu membangkitkan suatu reaksi. Batang-
batang sel melepaskan zat kimia yang disebut mediator. Salah satu unsur mediator ini
adalah histamin. Akibat pelepasan histamin terhadap paru-paru adalah reaksi
penegangan/pengerutan saluran pernafasan dan meningkatnya produksi lendir yang
dikeluarkan jaringan lapisan sebelah dalam saluran tersebut.

2.) Asma intrinsik


Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari alergen.
Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi, dan kondisi lingkungan seperti cuaca,
kelembaban dan suhu udara, polusi udara, dan juga oleh aktivitas olahraga yang
berlebihan. Asma intrinsik biasanya berhubungan dengan menurunnya kondisi
ketahanan tubuh, terutama pada mereka yang memiliki riwayat kesehatan paru-paru

8
yang kurang baik, misalnya karena bronkitis dan radang paru-paru (pneumonia).
Penderita diabetes mellitus golongan lansia juga mudah terkena asma intrinsik.
Tujuan dari pemisahan golongan asma seperti yang disebut di atas adalah untuk
mempermudah usaha penyusunan dan pelaksanaan program pengendalian asma yang
akan dilakukan oleh dokter maupun penderita itu sendiri. Namun dalam prakteknya,
asma adalah penyakit yang kompleks, sehingga tidak selalu dimungkinkan untuk
menentukan secara tegas, golongan asma yang diderita seseorang. Sering indikasi
asma ekstrinsik dan intrinsik bersama-sama dideteksi ada pada satu orang.

2. . GEJALA PENYAKIT ASMA


Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita lebih
sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan sesak napas yang
singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita lainnya hampir selalu
mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami serangan hebat setelah
menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah terpapar oleh alergen maupun
iritan. Menangis atau tertawa keras juga bisa menyebabkan timbulnya gejala dan juga
sering batuk berkepanjangan terutama di waktu malam hari atau cuaca dingin.
Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan napas yang
berbunyi (mengi, bengek), batuk dan sesak napas. Bunyi mengi terutama terdengar
ketika penderita menghembuskan napasnya. Di lain waktu, suatu serangan asma
terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara bertahap semakin memburuk. Pada
kedua keadaan tersebut, yang pertama kali dirasakan oleh seorang penderita asma
adalah sesak napas, batuk atau rasa sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam
beberapa menit atau bisa berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa
hari.
Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di leher. Batuk
kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa merupakan satu-
satunya gejala.Selama serangan asma, sesak napas bisa menjadi semakin berat,
sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan
mengeluarkan banyak keringat.
Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk berbicara
karena sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan kesadaran yang
menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat dibangunkan sebentar
kemudian segera tertidur kembali) dan sianosis (kulit tampak kebiruan) merupakan

9
pertanda bahwa persediaan oksigen penderita sangat terbatas dan perlu segera
dilakukan pengobatan. Meskipun telah mengalami serangan yang berat, biasanya
penderita akan sembuh sempurna,Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-
paru) bisa pecah dan menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau
menyebabkan udara terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk
sesak yang dirasakan oleh penderita.
Terapi Penanganan Terhadap Gejala Terapi ini dilakukan tergantung kepada
pasien. Terapi ini dianjurkan kepada pasien yang mempunyai pengalaman buruk
terhadap gejala asma, dan dalam kondisi yang darurat. Penatalaksanaan terapi ini
dilakukan di rumah penderita asma dengan menggunakan obat bronkodilator seperti:
β2 -agonist inhalasi dan glukokortikosteroid oral (GINA, 2005).

3. PENYEBAB TERJADINYA ASMA


Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi
pencetus asma, yaitu:
a. Pemicu (trigger) yang mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran
pernafasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Banyak
kalangan kedokteran yang menganggap pemicu dan bronkokonstriksi adalah
gangguan pernafasan akut, yang belum berarti asma, tapi bisa menjurus menjadi
asma jenis intrinsik. Gejala-gejala bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu
cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah
diatasi dalam waktu singkat. Namun saluran pernafasan akan bereaksi lebih cepat
terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi peradangan. Umumnya
pemicu yang mengakibatkan bronkokonstriksi termasuk stimulus sehari-hari
seperti: perubahan cuaca dan suhu udara, polusi udara, asap rokok, infeksi saluran
pernafasan, gangguan emosi, dan olahraga yang berlebihan.

b. Penyebab (inducer) yang mengakibatkan peradangan (inflammation) pada saluran


pernafasan. Penyebab asma (inducer) bisa menyebabkan peradangan
(inflammation) dan sekaligushiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari
saluran pernafasan. Oleh kebanyakan kalangan kedokteran, inducer dianggap
sebagai penyebab asma sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik. Penyebab asma
(inducer) dengan demikian mengakibatkan gejala-gejala yang umumnya
berlangsung lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi, dibanding gangguan

10
pernafasan yang diakibatkan oleh pemicu (trigger). Umumnya penyebab asma
(inducer) adalahalergen, yang tampil dalam bentuk: ingestan, inhalan, dan kontak
dengan kulit. Ingestan yang utama ialah makanan dan obat-obatan. Sedangkan
alergen inhalan yang utama adalah tepung sari (serbuk) bunga, tungau, serpih dan
kotoran binatang, serta jamur.

C. CA CERVIX
1. PENGERTIAN

Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di
daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan
mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada
serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang
merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang
senggama atau vagina.

Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.


Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi
serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran
servikal yang menuju ke rahim.

2. FAKTOR RESIKO KANKER SERVIKS

Menurut Diananda (2007), faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :

a..Usia > 35 tahun mempunyai risiko tinggi terhadap kanker leher rahim.
Semakin tua usia seseorang, maka semakin meningkat risiko terjadinya kanker
laher rahim. Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia lanjut merupakan
gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap
karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.

b. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang 20 tahun dianggap
terlalu muda untuk melakukan hubungan seksual dan berisiko terkena kanker
leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka yang menikah pada usia > 20
tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar
matang.

11
Ukuran kematangan bukan hanyadilihat dari sudah menstruasi atau belum.
Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit
bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah
wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan
seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal
ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda,
sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap
rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar termasuk zat-zat
kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah
sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan
tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel
yang mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini
akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks
dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu
rentan terhadap perubahan.

c. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi, dan sering berganti-ganti


pasangan. Berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya Human Papilloma Virus (HPV). Virus ini akan mengubah
sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi lebih banyak sehingga
tidak terkendali sehingga menjadi kanker.

d. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan


obat-obatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks
yang merangsang terjadinya kanker.

e. Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar
terkena kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok.
Penelitian menunjukkan, lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin
dan zat-zat lainnya yang ada di dalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan
daya tahan serviks di samping meropakan ko-karsinogen infeksi virus. Nikotin,
mempermudah semua selaput lendir sel-sel tubuh bereaksi atau menjadi
terangsang, baik pada mukosa tenggorokan, paru-paru maupun serviks. Namun
tidak diketahui dengan pasti berapa banyak jumlah nikotin yang dikonsumsi yang
bisa menyebabkan kanker leher rahim.

12
Riwayat penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena
penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV
diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita
yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker leher rahim.

f. Paritas (jumlah kelahiran). Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak
anak, apalagi dengan jarak persalinan yang terlalu pendek. Dari berbagai literatur
yang ada, seorang perempuan yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk
golongan risiko tinggi untuk terkena penyakit kanker leher rahim. Dengan
seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan berdampak pada seringnya terjadi
perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya dampak dari luka tersebut akan
memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab
terjadinya penyakit kanker leher rahim.

g. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan


kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4 tahun dapat
meningkatkan risiko kanker leher rahim 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral mungkin
dapat meningkatkan risiko kanker leher rahim karena jaringan leher rahim
merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan.
Hingga tahun 2004, telah dilakukan studi epidemiologis tentang hubungan antara
kanker leher rahim dan penggunaan kontrasepsi oral. Meskipun demikian, efek
penggunaan kontrasepsi oral terhadap risiko kanker leher rahim masih
kontroversional. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Khasbiyah
(2004) dengan menggunakan studi kasus kontrol. Hasil studi tidak menemukan
adanya peningkatan risiko pada perempuan pengguna atau mantan pengguna
kontrasepsi oral karena hasil penelitian tidak memperlihatkan hubungan dengan
nilai p>0,05.

13
3.. KLASIFIKASI STADIUM KANKER SERVIX

a. Stadium I. Kanker leher rahim hanya terdapat pada daerah leher rahim
1). Stadium IA. Kanker invasive didiagnosis melalui mikroskopik
(menggunakan mikroskop), dengan penyebaran sel tumor mencapai
lapisan stroma tidak lebih dari kedalaman 5 mm dan lebar 7 mm.
a).Stadium IA1. Invasi lapisan stroma sedalam 3 mm atau kurang dengan
lebar 7 mm atau kurang.
b) .Stadim IA2. Invasi stroma antara 3- 5 mm dalamnya dan dengan lebar
7 mm atau kurang.
2). Stadium IB. tumor yang terlihat hanya terdapat pada leher rahim atau
dengan pemeriksaan mikroskop lebih dalam dari 5 mm dengan lebar 7
mm.
a.) Stadium IB1. Tumor yang terlihat sepanjang 4 cm atau kurang.
b) Stadium IB2. Tumor yang terlihat lebih panjang dari 4 cm.
3). Stadium II. Kanker meluas keluar dari leher rahim namun tidak
mencapai dinding panggul. Penyebaran melibatkan vagina 2/3 bagian atas.
a) Stadium IIA. Kanker tidak melibatkan jaringan penyambung
(parametrium) sekitar rahim, namun melibatkan 2/3 bagian atas vagina.
b) Stadium IIB. Kanker melibatkan parametrium namun tidak melibatkan
dinding samping panggul.
4 ) Stadium III. Kanker meluas sampai ke dinding samping panggul dan
melibatkan 1/3 vagina bagian bawah. Stadium III mencakup kanker yang
menghambat proses berkemih sehingga menyebabkan timbunan air seni di
ginjal dan berakibat gangguan ginjal.
a) Stadium IIIA. Kanker melibatkan 1/3 bagian bawah vagina namun
tidak meluas sampai dinding panggul.
b) Stadium IIIB. Kanker meluas sampai dinding samping vagina yang
menyebabkan gangguan berkemih sehingga berakibat gangguan ginjal.
5 ).Stadium IV. Tumor menyebar sampai ke kandung kemih atau rectum, atau
meluas melampaui panggul.
a).Stadium IVA. Kanker menyebar ke kandung kemih atau rectum.
b).Stadium IVB. Kanker menyebar ke organ yang jauh.

14
4. GEJALA KLINIS KANKER SERVIX

Menurut Dalimartha (2014), gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker


ditandai dengan Fluor albus (keputihan) merupakan gejala yang sering
ditemukan getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk
akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor
menjadi ulseratif. Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama
(disebut sebagai perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 -
80%).

Pada tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus.
Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea,
hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan
intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi
pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid.

Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari daerah


lumbal.

Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih bervariasi,
sekret dari vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi vagina serta
mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi dan nyeri
makin progresif. Menurut Baird (2015) tidak ada tanda-tanda khusus yang
terjadi pada klien kanker serviks. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan
dalam (vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik
darah yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair
sampai menggumpal.

Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki, hematuria
dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan rektum dapat
terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga merupakan gejala penyakit
lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear ditemukannya sel-sel abnormal di bagian
bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau yang baru-baru ini
disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat. Sering kali
kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila sudah berkembang
menjadi kanker serviks, barulah muncul gejala-gejala seperti pendarahan serta

15
keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat buang air kecil dan rasa
sakit saat berhubungan seksual (Wiknjosastro, 2015).

5. DIAGNOSIS KANKER SERVIX

Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan.


Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini
dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu penegakkan
diagnosis seperti palpasi, inspeksi, kolposkopi, kuretase endoserviks,
histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan
X-ray untuk paru-paru dan tulang.

Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan


sebaiknya dipastikan dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat
dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi,
arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai
saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau
deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai


berikut (Suharto, 2007) :

a. Pemeriksaan pap smear

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sel kanker lebih awal pada
pasien yang tidak memberikan keluhan. Sel kanker dapat diketahui pada
sekret yang diambil dari porsi serviks. Pemeriksaan ini harus mulai
dilakukan pada wanita usia 18 tahun atau ketika telah melakukan aktivitas
seksual sebelum itu. Setelah tiga kali hasil pemeriksaan pap smear setiap tiga
tahun sekali sampai usia 65 tahun. Pap smear dapat mendeteksi sampai 90%
kasus kanker leher rahim secara akurat dan dengan biaya yang tidak mahal,
akibatnya angka kematian akibat kanker leher rahim pun menurun sampai
lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya
menjalani pap smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun.

Apabila selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil pemeriksaan


yang normal, maka pemeriksaan pap smearbisa dilakukan setiap 2 atau 3

16
tahun sekali. Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut
(Prayetni,2015 ):

1.)Normal.

2).Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas).

3.)Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).

4.)Karsinoma in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling luar).

5.)Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih


dalam atau ke organ tubuh lainnya).

b. Pemeriksaan DNA HPV

Pemeriksaan ini dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s


smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala
besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA HPV yang
negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%.
Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur diatas 30
tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi
HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara
infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda.
Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita muda yang aktif secara
seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi
DNA HPV yang positif yang ditentukan kemudian lebih dianggap sebagai
HPV yang persisten. Apabila hal ini dialami pada wanita dengan usia yang
lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks.

c. Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu
pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear
menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker. Biopsi ini dilakukan untuk
melengkapi hasil pap smear. Teknik yang biasa dilakukan adalah punch
biopsy yang tidak memerlukan anestesi dan teknik cone biopsy yang
menggunakan anestesi. Biopsi dilakukan untuk mengetahui kelainan yang
ada pada serviks. Jaringan yang diambil dari daerah bawah kanal servikal.

17
Hasil biopsi akan memperjelas apakah yang terjadi itu kanker invasif atau
hanya tumor saja

d. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)

Kolposkopi dilakukan untuk melihat daerah yang terkena proses metaplasia.


Pemeriksaan ini kurang efisien dibandingkan dengan pap smear, karena
kolposkopi memerlukan keterampilan dan kemampuan kolposkopis dalam
mengetes darah yang abnormal (Prayetni, 1997).

e. Radiologi

1 ).Pelvik limphangiografi, yang dapat menunjukkan adanya gangguan pada


saluran pelvik atau peroartik limfe.

2). Pemeriksaan intravena urografi, yang dilakukan pada kanker serviks


tahap lanjut, yang dapat menunjukkan adanya obstruksi pada ureter
terminal. Pemeriksaan radiologi direkomendasikan untuk mengevaluasi
kandung kemih dan rektum yang meliputi sitoskopi, pielogram intravena
(IVP), enema barium, dan sigmoidoskopi. Magnetic Resonance Imaging
(MRI) atau scan CT abdomen / pelvis digunakan untuk menilai
penyebaran lokal dari tumor dan / atau terkenanya nodus limpa regional
(Gale & charette, 1999).

6. PENCEGAHAN KANKER SERVIKS

Sebagian besar kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan
menghindari faktor- faktor penyebab kanker meliputi (Dalimartha, 2004)

a. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia


muda, pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks.
Wanita yang berhubungan seksual dibawah usia 20 tahun serta sering
berganti pasangan beresiko tinggi terkena infeksi. Namun hal ini tak
menutup kemungkinan akan terjadi pada wanita yang telah setia pada satu
pasangan saja.

18
b. Wanita usia di atas 25 tahun, telah menikah, dan sudah mempunyai
anak perlu melakukan pemeriksaan pap smear setahun sekali atau
menurut petunjuk dokter. Pemeriksaan Pap smear adalah cara untuk
mendeteksi dini kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat,
tidak sakit dengan biaya yang relatif terjangkau dan hasilnya
akurat.Disarankan untuk melakukan tes Pap setelah usia 25 tahun atau
setelah aktif berhubungan seksual dengan frekuensi dua kali dalam
setahun. Bila dua kali tes Pap berturut-turut menghasilkan negatif, maka
tes Pap dapat dilakukan sekali setahun. Jika menginginkan hasil yang
lebih akurat, kini ada teknik pemeriksaan terbaru untuk deteksi dini
kanker leher rahim, yang dinamakan teknologi Hybrid Capture II System
(HCII). 3. Pilih kontrasepsi dengan metode barrier, seperti diafragma dan
kondom, karena dapat memberi perlindungan terhadap kanker leher
rahim.

c. Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat
mengatasi masalah kanker mulut rahim. Penelitian mendapatkan hubungan
yang terbalik antara konsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning
(banyak mengandung beta karoten atau vitamin A, vitamin C dan vitamin
E) dengan kejadian neoplasia intra epithelial juga kanker serviks. Artinya
semakin banyak makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan
semakin kecil risiko untuk kena penyakit kanker mulut rahim 5. Pada
pertengahan tahun 2006 telah beredar vaksin pencegah infeksi HPV tipe
16 dan 18 yang menjadi penyebab kanker serviks. Vaksin ini bekerja
dengan cara meningkatkan kekebalan tubuh dan menangkap virus sebelum
memasuki sel-sel serviks. Selain membentengi dari penyakit kanker
serviks, vaksin ini juga bekerja ganda melindungi perempuan dari
ancaman HPV tipe 6 dan 11 yang menyebabkan kutil kelamin.Yang perlu
ditekankan adalah, vaksinasi ini baru efektif apabila diberikan pada
perempuan yang berusia 9 sampai 26 tahun yang belum aktif secara
seksual. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dalam jangka waktu tertentu.
Dengan vaksinasi, risiko terkena kanker serviks bisa menurun hingga 75%.

19
7 . PENGOBATAN KANKER SERVIX

Terapi karsinoma serviks dilakukan bila mana diagnosis telah dipastikan


secara histologik dan sesudah dikerjakan perencanaan yang matang oleh
tim yang sanggup melakukan rehabilitasi dan pengamatan la njutan (tim
kanker / tim onkologi). Pemilihan pengobatan kanker leher rahim
tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, stadium penyakit, usia, keadaan
umum penderita, dan rencana penderita untuk hamil lagi. Lesi tingkat
rendah biasanya tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut, terutama jika
daerah yang abnormal seluruhnya telah diangkat pada waktu pemeriksaan
biopsi. Pengobatan pada lesi prekanker bisa berupa kriosurgeri
(pembekuan), kauterisasi (pembakaran, juga disebut diatermi),
pembedahan laser untuk menghancurkan sel-sel yang abnormal tanpa
melukai jaringan yang sehat di sekitarnya dan LEEP (loop electrosurgical
excision procedure) atau konisasi (Wiknjosastro, 1997).

a.Pembedahan

Pada karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks


paling luar), seluruh kanker sering kali dapat diangkat dengan bantuan
pisau bedah ataupun melalui LEEP (loop electrosurgical excision
procedure) atau konisasi. Dengan pengobatan tersebut, penderita masih
bisa memiliki anak. Karena kanker bisa kembali kambuh, dianjurkan
untuk menjalani pemeriksaan ulang dan Pap smear setiap 3 bulan
selama 1 tahun pertama dan selanjutnya setiap 6 bulan. Jika penderita
tidak memiliki rencana untuk hamil lagi, dianjurkan untuk menjalani
histerektomi. Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat
kuratif maupun paliatif. Kuratif adalah tindakan yang langsung
menghilangkan penyebabnya sehingga manifestasi klinik yang
ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif adalah
tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita. Histerektomi
adalah suatu tindakan pembedahan yang bertujuan untuk mengangkat
uterus dan serviks (total) ataupun salah satunya (subtotal). Biasanya
dilakukan pada stadium klinik IA sampai IIA (klasifikasi FIGO). Umur
pasien sebaiknya sebelum menopause, atau bila keadaan umum baik,

20
dapat juga pada pasien yang berumur kurang dari 65 tahun. Pasien juga
harus bebas dari penyakit umum (resiko tinggi) seperti penyakit
jantung, ginjal dan hepar.

b.Terapi penyinaran (radioterapi)

Terapi radiasi bertujuan untuk merusak sel tumor pada serviks serta
mematikan parametrial dan nodus limpa pada pelvik. Kanker serviks
stadium II B, III, IV sebaiknya diobati dengan radiasi. Metoda
radioterapi disesuaikan dengan tujuannya yaitu tujuan pengobatan
kuratif atau paliatif. Pengobatan kuratif ialah mematikan sel kanker
serta sel yang telah menjalar ke sekitarnya atau bermetastasis ke
kelenjar getah bening panggul, dengan tetap mempertahankan
sebanyak mungkin kebutuhan jaringan sehat di sekitar seperti rektum,
vesika urinaria, usus halus, ureter. Radioterapi dengan dosis kuratif
hanya akan diberikan pada stadium I sampai III B. Apabila sel kanker
sudah keluar ke rongga panggul, maka radioterapi hanya bersifat
paliatif yang diberikan secara selektif pada stadium IV A. Terapi
penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas
pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi
untuk merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya.

Ada dua jenis radioterapi yaitu radiasi eksternal yaitu sinar berasal
dari sebuah mesin besar dan penderita tidak perlu dirawat di rumah
sakit, penyinaran biasanyadilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-
6 minggu. Keduannya adalah melalui radiasi internal yaitu zat
radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul dimasukkan langsung ke
dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan selama 1-3 hari dan selama itu
penderita dirawat di rumah sakit. Pengobatan ini bisa diulang beberapa
kali selama 1-2 minggu.

Efek samping dari terapi penyinaran adalah iritasi rektum dan


vagina, kerusakan kandung kemih dan rektum dan ovarium berhenti
berfungsi .

21
c.Kemoterapi

Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat


melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan
utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat
perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada
jenis kanker dan fasenya saat didiag nosis. Beberapa kanker
mempunyai penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh
dengan pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin
hanya diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut
pengobatan adjuvant. Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan
untuk mengontrol penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun
tidak mungkin sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase
akhir, kemoterapi digunakan sebagai paliatif untuk memberikan
kualitas hidup yang lebih baik. Kemoterapi secara kombinasi telah
digunakan untuk penyakit metastase karena terapi dengan agen-agen
dosis tunggal belum memberikan keuntungan yang memuaskan.
Contoh obat yang digunakan pada kasus kanker serviks antara lain
CAP (Cyclophopamide Adrem ycin Platamin), PVB (Platamin Veble
Bleomycin) dan lain –lain (Prayetni, 1997).

D.NEKROSIS

1.PENGERTIAN

Nekrosis merupakan kondisi cedera pada sel yang mengakibatkan


kematian dini sel-sel dan jaringan hidup

2. TANDA – TANDA NEKROSIS


Tanda-tanda awal nekrosis seluler termasuk pembengkakan mitokondria, suatu
proses yang merusak metabolisme oksidatif intraseluler. Kemudian, kepadatan
lokal muncul, dengan pengentalan materi genetik. Organ-organ sitoplasma
terganggu, dan sel-sel yang terkena terpisah dari sel-sel tetangga. Pembubaran
lisosom, yang biasanya rumah enzim hidrolitik, menyebabkan asidosis

22
intraseluler. Nukleus membengkak dan menggelap (pyknosis) dan akhirnya
pecah (kariolisis). Membran luar sel juga pecah, mengakibatkan hilangnya
kapasitas pemompaan ion dan aliran cepat ion natrium dan kalsium ke dalam
lingkungan intraseluler, menghasilkan syok osmotik (pergeseran tiba-tiba
dalam konsentrasi zat terlarut intraseluler dan ekstraseluler).

Nekrosis merupakan nama yang diberikan untuk kematian sel dan jaringan
hidup yang tidak terprogram. Ini kurang teratur daripada apoptosis, yang
merupakan bagian dari kematian sel terprogram. Berbeda dengan apoptosis,
pembersihan puing-puing sel oleh fagosit sistem kekebalan umumnya lebih
sulit, karena kematian yang tidak teratur umumnya tidak mengirim sinyal sel
yang memberitahu fagosit terdekat untuk menelan sel yang sekarat.

Kurangnya pensinyalan ini mempersulit sistem kekebalan untuk mencari dan


mendaur ulang sel-sel mati yang telah mati melalui nekrosis dibandingkan jika
sel telah mengalami apoptosis. Pelepasan konten intraseluler setelah kerusakan
membran sel adalah penyebab peradangan pada nekrosis. Ada banyak
penyebab nekrosis termasuk cedera, infeksi, kanker, infark, racun dan
peradangan. Kerusakan parah pada satu sistem penting di dalam sel
menyebabkan kerusakan sekunder pada sistem lain, yang disebut “kaskade
efek”.

3. PENYEBAB NEKROSIS

Nekrosis dapat timbul karena kurangnya perawatan yang tepat ke tempat luka.
Nekrosis disertai dengan pelepasan enzim khusus, yang disimpan oleh
lisosom, yang mampu mencerna komponen sel atau seluruh sel itu sendiri.
Cedera yang diterima oleh sel dapat membahayakan membran lisosom, atau
dapat memulai reaksi berantai yang tidak terorganisir yang menyebabkan
pelepasan dalam enzim. Tidak seperti dalam apoptosis, sel-sel yang mati oleh
nekrosis dapat melepaskan bahan kimia berbahaya yang merusak sel-sel lain.

23
4.JENIS- JENIS NEKROSIS
Berdasarkan penyebab kematian sel, lokasi bagian tubuh yang terkena, dan
durasinya, ada 6 jenis nekrosis. Dari jumlah tersebut, 2 yang pertama adalah
yang paling umum.

a.Nekrosis likuifaktif
Sel-sel kita memiliki enzim yang dapat mencerna diri mereka sendiri. Pada
nekrosis likuifaktif, enzim pencernaan ini berperan, menghasilkan massa
jaringan terlarut yang dicairkan. Nekrosis likuifaktif dapat menyebabkan
pembubaran jaringan parsial atau lengkap, sehingga membentuk cairan kental.

Nekrosis likuifaktif terjadi selama infeksi di bagian tubuh mana pun, kecuali
otak. Racun mikroba juga mengeluarkan enzim yang dapat mencerna sel. Di
otak, nekrosis jenis ini terjadi karena anoksia atau hipoksia otak.

b. Nekrosis koagulatif
Jenis nekrosis ini terjadi karena cedera mekanik atau kehilangan oksigen ke
bagian tubuh mana pun, kecuali otak. Luka biasanya merusak enzim
pencernaan sel, sehingga pencernaan terjadi oleh sel-sel di sekitarnya. Oleh
karena itu, bentuk Nekrosis koagulatif lebih lambat dari jenis likuifaktif,
karena tergantung pada sel-sel di sekitarnya. Pada nekrosis koagulatif, semua
sel mati, tetapi mereka mempertahankan arsitekturnya.

c. Nekrosis caseous
Jenis ini secara khusus terlihat selama infeksi TBC, meskipun
beberapa jamur lain juga dapat menyebabkannya. Pada Nekrosis caseous,
jaringan yang mati memiliki penampilan seperti keju cottage yang keputihan.
Struktur ini memiliki sejumlah besar makrofag dan limfosit teraktivasi.
Seluruh struktur disebut granuloma.

d. Nekrosis fibrinoid
Jenis nekrosis ini spesifik untuk kerusakan vaskuler, atau yang berhubungan
dengan darah. Nekrosis fibrinoid melibatkan pengendapan fibrin dalam
pembuluh darah kita pada tingkat mikroskopis. Namun, secara makroskopis,
itu tidak mudah diidentifikasi.

24
e. Nekrosis lemak
Adiposit adalah sel khusus yang menyimpan energi dalam bentuk lemak. Jika
nekrosis terjadi di tempat yang kaya sel-sel ini, enzim memecah adiposit untuk
melepaskan asam lemak bebas. Ini kemudian muncul sebagai bercak putih
pada kulit. Nekrosis lemak terutama terjadi selama pankreatitis, yang pada
dasarnya adalah pembengkakan pankreas. Nekrosis lemak juga dapat terjadi
pada jaringan payudara, karena mereka juga memiliki simpanan lemak.

f. Nekrosis gangren
Setiap sel atau jaringan mati di ekstremitas, terutama tungkai bawah, dikenal
sebagai gangren. Nekrosis gangren hadir sebagai kulit menghitam, dengan
pembusukan. Secara teknis ini bukan jenis nekrosis, melainkan klasifikasi
nekrosis yang ditemukan di tempat tertentu. Nekrosis gangren dapat
bermanifestasi sebagai nekrosis koagulatif (kering) atau nekrosis likuifaktif
(cair).

E. CHF

1. PENGERTIAN

Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung adalah ketidakmampuan


jantung untuk memompa darah secara adekuat ke seluruh tubuh .

Klasifikasi

a.. Gagal jantung akut -kronik

1.) Gagal jantung akut terjadinya secara tiba-tiba, ditandai dengan penurunan
kardiak output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Ini dapat
mengakibatkan edema paru dan kolaps pembuluh darah.

2.)Gagal jantung kronik terjadinya secar perkahan ditandai dengan penyakit


jantung iskemik, penyakit paru kronis. Pada gagal jantung kronik terjadi
retensi air dan sodium pada ventrikel sehingga menyebabkan
hipervolemia, akibatnya ventrikel dilatasi dan hipertrofi.

25
b.. Gagal Jantung Kanan- Kiri

1.). Gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel gagal untuk memompa darah
secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti pulmonal, hipertensi dan
kelainan pada katub aorta/mitral

2.) Gagal jantung kanan, disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat gagal
jantung kiri yang berlangsung cukup lama sehingga cairan yang
terbendung akan berakumulasi secara sistemik di kaki, asites,
hepatomegali, efusi pleura, dll.

c.. Gagal Jantung Sistolik-Diastolik

1.) Sistolik terjadi karena penurunan kontraktilitas ventrikel kiri sehingga


ventrikel kiri tidak mampu memompa darah akibatnya kardiak output
menurun dan ventrikel hipertrofi

2.) Diastolik karena ketidakmampuan ventrikel dalam pengisian darah


akibatnya stroke volume cardiac output turun.

2. ETIOLOGI CHF

Penyebab gagal jantung kongestif yaitu:

a.. Kelainan otot jantung

b. Aterosklerosis koroner

c. Hipertensi sistemik atau pulmonal

d. Peradangan dan penyakit miokardium

e.. Penyakit jantung lain seperti stenosis katup semilunar, tamponade


perikardium, perikarditis konstruktif, stenosis katup AV

f. Faktor sistemik seperti demam, tirotoksikosis, hipoksia, anemia.

26
3. TANDA DAN GEJALA CHF

a.. CHF Kronik

Meliputi: anoreksia, nokturia, edema perifer, hiperpigmentasi ekstremitas


bawah, kelemahan, heaptomegali,ascites, dyspnea, intoleransi aktivitas barat,
kulit kehitaman.

b. CHF Akut

Meliputi: ansietas, peningkatan berat badan, restletness, nafas pendek, bunyi


krekels, fatigue, takikardi, penurunan resistensi vaskuler, distensi vena
jugularis, dyspnea, orthopnea, batuk, batuk darah, wheezing bronchial,
sianosis, denyut nadi lemah dan tidak teraba, penurunan urin noutput,
delirium, sakit kepala.

4. KOMPLIKASI CHF

a. Trombosis vena dalam, karena pembentukan bekuan vena karena stasis


darah.

b.. Syok Kardiogenik, akibat disfungsi nyata

c. Toksisitas digitalis akibat pemakaian obat-obatan digitalis.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. EKG; mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan aksis,


iskemia dan kerusakan pola.

b. ECG; mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi atrium,


ventrikel hipertrofi, disfungsi pentyakit katub jantung.

c. Rontgen dada; Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan mencerminkan


dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah atau
peningkatan tekanan pulnonal.

27
d. Scan Jantung; Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan
jantung.

e. Kateterisasi jantung; Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan


membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis katub
atau insufisiensi serta mengkaji potensi arteri koroner.

f. Elektrolit; mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan


fungsi ginjal, terapi diuretic.

g. Oksimetri nadi; Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika CHF


memperburuk PPOM.

h. AGD; Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau


hipoksemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida.

i. Enzim jantung; meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan


jantung,missal infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK
dan Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH)

F. INTERAKSI GENETIK DAN LINGKUNGAN TERHADAP MANUSIA

1.INTERAKSI ANTAR GENETIK DAN LINGKUNGAN MANUSIA

Selain terjadi interaksi antar alel, interaksi juga dapat terjadi secara
genetik.Selain mengalami berbagai modifikasi rasio fenotipe karena adanya
peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan semu terhadap hukum
Mendel yang tidak melibatkan modifikasi rasio fenotipe, tetapi menimbulkan
fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil kerja sama atau interaksi dua pasang
gen nonalelik. Peristiwa semacam ini dinamakan interaksi gen menurut
(Suryo: 2011).

Bila kita perhatikan kejadian-kejadian yang ada di sekitar kita maka akan
tampak adanya kesamaan kejadian satu dengan kejadian lainnya, tetapi ada
pula perbedaan kejadian satu dengan kejadian lainnya. Sama halnya manusia,
manusia satu dengan manusia lainnya meskipun memiliki beberapa kesamaan

28
(contoh, kesamaan bawaan atau lingkungan) tetapi masih saja terdapat
perbedaan yang ditimbulkan. (Elvita, A., dkk. 2009).

Setiap manusia mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan yang


berbeda. Hal ini dapat dipengaruhi dari berbagai faktor, yaitu faktor dari
dalam (faktor yang ada dalam diri manusia itu sendiri, faktor
hereditas:bawaan/warisan) dan faktor luar (faktor lingkungan). Dengan faktor
bawaan tertentu dan disertai dengan faktor lngkungan yang tertentu pula maka
akan menghasilkan pola pertumbuhan dan perkembangan tertentu pula.

Masing-masing individu lahir ke dunia dengan suatu hereditas tertentu. Ini


berarti bahwa, karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan atau
pemidahan dari cairan-cairan “germinal’ dari pihak orang tuanya. Di saming
itu individu tumbuh dan berkembang tidak lepas dari lingkungannya, baik
lingkungan fisik, lingkungan psikologi, maupun lingkungan sosial. Setiap
pertumbuhan dan perkembangan yang kompleks merupakann hasil interaksi
dari hereditas dan lingkungan. (Harris, Harry. 2008).

2. INTERAKSI FAKTOR EKSTRENSIK DAN INTRINSIK


TERHADAP PENYAKIT

a. Faktor Ekstrinsik Penyakit

Beberapa penyebab penting dari penyakit pada manusia adalah agen infeksi,
trauma mekanis, bahan kimia beracun, radiasi, suhu yang ekstrim, masalah
gizi dan stres psikologik. Walaupun faktor ekstrinsik ini merupakan penyebab
penting dari kesengsaraan manusia, tetapi pandangan tentang penyakit yang
hanya memperhitungkan faktor-faktor ini tidaklah lengkap. Karena penyakit
sesungguhnya merupakan bagian dari hidup individu yang sakit, karena itu
harus juga dipertimbangkan mekanisme respon intrinsik dari individu tersebut
dan semua proses biologis yang terpengaruh oleh agen ekstrinsik tertentu.
(Tamher Sayti, Heryati. 2012).

29
b. Faktor Intrinsik Penyakit

Banyak sitat dan individu yang merupakan faktor intrinsik penyakit, karena
sifat-sifat tersebut mempunyai dampak yang penting pada perubahan berbagai
keadaan pada individu. Umur, jenis kelamin, dan kelainan-kelainan yang
didapatkan dari perjalanan penyakit sebelumnya adalah faktor-faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam patogenesis penyakit. Di atas segalanya,
keadaan genetik atau genom individu juga merupakan bagian esensial dari
penyebab penyakit. Hal ini benar, sebab sifat anatomik hospes, berbagai
macam mekanisme fisiologis kehidupan sehari-hari, dan cara memberikan
respons ter hadap cedera semuanya ditentukan oleh infor masi genetik yang
terkumpul pada saat konsepsi.
Dalam mempelajari sifat biologi penyakit, maka faktor genetik dan

lingkungan selalu harus diperhatikan. (Tamher Sayti, Heryati. 2012)

3. KELAINAN DENGAN WARISAN MULTI FACTOR

a. Kelainan Kromosom

Dua tipe kelainan kromosom yang mungkin terjadi dalam sindrom


karakteristik adalah kelainan dalam jumlah dan kelainan dalam struktur dari
kromosom.

b. Kelainan jumlah kromosom

Kelainan kromosom dapat berkembang dengan berbagai cars sewaktu


pembelahan sel berlangsung. Kegagalan ini menghasilkan kelainan jumlah
kromosom dalam sel, disebut aneuploidi. Kesalahan jumlah kromosom ini
dapat terjadi sewaktu pembelahan meiosis dari satu gamet atau terjadi karena
kegagalan berpisah diawal pembelahan sel dari satu zigot. Kegagalan berpisah
yaitu kegagalan dari pasangan kromosom homolog untuk berpisah selama
meiosis atau dalam tahap pertama pembelahan sel zigot. Kegagalan ini
mengakibatkan pembelahan sel menghasilkan satu sel anak
yang mengandung satu kromosom ekstra dan

30
satu sel anak lain yang jumlah kromosomnya kurang satu dari normal.

Suatu aneuploidi yang mengandung satu kromosom ekstra pada posisi tertentu
(ada tiga bukan sepasang kromosom) disebut trisomi, dan aneuploidi yang
kromosomnya kurang satu (hanya satu dan bukan sepasang kromosom)
disebut monosomi. Jika kegagalan berpisah terjadi pada gamet, maka
fertilisasi yang melibatkan sperms atau ovum tersebut akan menghasilkan
zigot dengan jumlah kromosom abnormal. Anomali ini akan terns
ditransmisikan pada setiap sel keturunan berikutnya. Jika kegagalan berpisah
terjadi sewaktu pembelahan sel tahap pertama dari zigot, akan terbentuk dua
baris sel. Jika kegagalan berpisah terjadi pada tahap kedua atau tahap
selanjutnya dari pembelahan sel, hanya turunan dari sel yang abnormal yang
akan terkena dan sel-sel lainnya akan tetap normal. Fenomena ini
menimbulkan keadaan mosaik, yaitu kondisi dimana informasi genetik pada
sel-sel seorang individu berbeda-beda. akibat yang ditimbulkan bervariasi,
tergantung dari jumlah pembelahan sel yang mengalami kegagalan berpisah
pada individu tersebut. Semakin dini kesalahan tersebut terjadi, semakin
banyak sel pada organisme tersebut yang terlibat; karena itu, semakin besar
kemungkinan bahwa organisme tersebut tidak dapat hidup.

c. Kelainan struktur kromosom

Kelainan struktur kromosom terjadi jika kro mosom pecah dan pecahannya
hilang atau me lekat pada kromosom lain. Kejadian ini disebut translokasi.
Pengaturan kembali yang dilakukan set dapat menghasilkan keseimbangan
normal tetapi dapat jugs menjadi tidak seimbang. Jika terjadi keseimbangan
normal, total materi genetik di dalam sel tetap sama seperti dalam sel dengan
kromosom normal. Pengaturan semacam ini bia sanya tidak akan
menimbulkan sindrom klinis. Jika terjadi ketidakseimbangan, maka terjadi
kelebihan atau kekurangan materi genetik dalam barisan sel-sel tersebut.
Pengaturan semacam ini biasanya menimbulkan perubahan dalam fenotip
klinis. (Price & L. M. 2009).

31
d. Prognosis kelainan kromosom

Kurang lebih 0,6% neonatus memiliki kelainan kromosom mayor yang dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas atau mortalitas. Tetapi, sebagian besar
kelainan kromosom menyebab kan kematian, dan hasil konsepsi lenyap pada
tahap tertentu dalam kehamilan atau tidak me lekat pada uterus. Sekitar 50%
dari embrio dan fetus yang mengalami abortus spontan memiliki kelainan
kromosom. Hilangnya sebagian kro mosom atau duplikasi kromosom yang
tidak me nimbulkan kematian seringkali mengakibatkan bentuk tubuh
dismorfik, retardasi mental, dan ketidakmampuan untuk berkembang. Trisomi
otosom yang paling sering terjadi dan dapat tetap bertahan hidup setelah lahir
adalah trisomi 21, sindrom Down; trisomi 18, sindrom Edward; dan trisomi
13, sindrom Patau.

Zigot yang kekurangan kromosom' X dapat tetap hidup dan menghasilkan


individu yang hidup dengan kromosom 45X komplemen, atau Sindrom
Turner. Kadang-kadang mosaik X nam pak terlihat, dengan beberapa garis sel
mem punyai satu X atau tidak sama sekali. Insidensnya kira-kira 1 di antara
2500 kelahiran bayi wanita dan sekitar 8% pada abortus spontan. Frekuen
sinya lebih tinggi pada ibu usia muds. Zigot de ngan genotip pria dengan
kromosom X ekstra menghasilkan individu dengan kromosom 47XYY
komplemen atau Sindrom Klinefelter. Insidensnya 1 dalam 850 kelahiran bayi
pria. Keadaan ini mungkin tidak terdiagnosis pada masa bayi atau anak-anak,
namun baru diketahui pada masa adolesens ketika anak pria pergi ke dokter
karena pubertasnya terlambat. Juga telah dilaporkan adanya beberapa kom
binasi Xs dan Ys majemuk yang berbeda. Wanita dengan genotip 47XXX
terjadi kurang lebih 1 dalam 1000 kelahiran.

e. Abnormalitas Gen

Kongenital tidak sinonim dari herediter. Ab normalitas dapat berupa


kongenital, yaitu jika terjadi pada waktu lahir dan tidak ditentukan oleh
genetik. Sebaliknya, abnormalitas yang diten tukan oleh genetik dapat bukan
kongenital, tapi mungkin dapat bermanifestasi pada setiap saat dalam
kehidupannya, dan pada beberapa kea daan baru muncul pada usia
pertengahan.

32
Ekspresi fenotip dari gen dapat terjadi dalam satu dari empat macam pola
keturunan: dominan otosomal, resesif otosomal, dominan terkait X, dan resesif
terkait X (mendelian). Dalam tulisan, sifat bawaan dominan ditunjukkan
dengan huruf besar; sifat bawaan resesif ditunjukkan dengan huruf kecil.

Ada tiga kemungkinan dari genotip, AA, Aa, dan aa jika ada 2 alel (bentuk-
bentuk alternatif dari sebuah gen pada tempat yang sama dalam kromosom), A
dan a, pada sebuah lokus. I ndividu yang mempunyai 2 gen yang sama, AA
atau aa, disebut homozigos untuk gen tersebut; dan in dividu yang mempunyai
Aa disebut heterozigos untuk gen tersebut.

Jika sifat bawaan dominan, maka ia selalu bermanifestasi bila individu


tersebut mempunyai gen A meskipun ada gen a dari heterozigot. Jika sifat
bawaan resesif, ia hanya dapat bermanifes tasi bila tidak ada dosis majemuk,
yaitu bila in dividu itu mempunyai homozigos aa. Sifat bawa an ini tidak
bermanifestasi pada homozigot AA atau heterozigot Aa. Namun, heterozigot
Aa adalah karier untuk sifat bawaan, sebab individu itu dapat meneruskan gen
itu kepada keturunan nya. Selain itu, heterozigot juga dapat menunjuk kan
fenotip dari kedua alel. Bila kedua gen dapat bermanifestasi tanpa tergantung
kepada yang lain maka gen-gen itu disebut sebagai kodo minan.

Jika individu menunjukkan gangguan do minan otosomal, maka setidaknya


satu dari orang tuanya terkena (genotip Aa atau AA) atau bisa juga terjadi
karena ada mutasi baru (pe rubahan dari sebuah atau beberapa gen) dalam
sebuah sel benih. Anak-anak pria dan wanita akan terpengaruh pada jumlah
yang sama. Se dan jenis kelamin dapat meneruskan sifat ba waannya kepada
anak pria dan wanitanya dan akan ada transmisi vertikal dari sebuah sifat
bawaan kepada generasi-generasi seterusnya. Mutasi baru, lebih sering terjadi
pada sel benih dari ayah yang berusia 5 sampai 7 tahun lebih tua dari pada
populasi ayah pada umumnya yang meneruskan mutasi keturunan. Mutasi
akibat usia orang tua yang lanjut memegang peranan penting dalam terjadinya
Sindrom Marfan dan kerdil akondroplastik.

Gangguan dominan otosomal tidak sering ter jadi. Ekspresi sifat bawaan dari
individu hete rozigot dapat bervariasi sehingga beberapa di antaranya nampak
normal secara klinis. Namun, pada keadaan homozigos keadaan klinisnya

33
dapat secara series atau bahkan dapat menye babkan kematian. Salah satu
contoh adalah hiperkolesterolemi familial. Dalam beberapa kea daan, seperti
penyakit Huntington dan penyakit ginjal polikistik, meskipun gen
abnormalnya su dah ada pada waktu konsepsi, keadaan pato logisnya baru
muncul pada saat dewasa.

Keadaan resesif otosomal hanya nampak bila individu yang terkena


mempunyai dua alel yang mutasi atau abnormal. Jika kedua orang tuanya
secara fenotip normal tapi heterozigos secara genotip (Aa), maka anak-
anaknya dapat terkena jika genotipnya aa. Kombinasi lain yang dapat
mengakibatkan terkenanya anak adalah jika salah satu orang tuanya terkena
(aa) dan yang lainnya heterozigos (Aa). Pria dan wanita sama
kemungkinannya untuk terkena. Contoh-contoh dari gangguan gen tunggal;

1.) Dominan otosomal

2.) Hiperkolesterolemi familial

3.) Penyakit ginjal polikistik

4.) Penyakit Huntington

5.) Sferositosis herediter

6.) Anemia sel sabit

7.).Albinisme

8.) Hemofilia

f. Abnormalitas gen tunggal

Abnormalitas dari gen tunggal tak dapat diketahui dengan pemeriksaan sel
secara mikroskopis, karena kariotip dari individu yang terkena normal.
Adanya gen abnormal dapat dilacak dengan mengamati sebuah sifat bawaan
feno tipik yang abnormal pada individu dan pada pohon keluarga.
Abnormalitas gen tunggal dapat nampak dalam berbagai keadaan, mulai dari
defek lokalisasi anatomis yang sederhana sam pai pada gangguan yang tak

34
nyata atau kompleks dari kimia tubuh. Populasi secara keseluruhan dari
frekuensi gangguan gen tunggal adalah sekitar 1%, dengan 0,7% sebagai
dominan, 0,25% sebagai resesif, dan 0,04% terkait X (lihat daftar di bawah
sebagai contoh dari gangguan gen tunggal).

Akibat abnormalitas gen tunggal. Dalam se buah kategori abnormalitas gen


tunggal, DNA yang menyimpang dapat mengakibatkan produk si molekul
protein abnormal, misalnya, molekul hemoglobin. Sedikit penyimpangan pada
struktur hemoglobin dapat mengakibatkan perubahan secara fisik dan dapat
berkembang menjadi penya kit yang serius. (Robbins, S.L., et al. 2012).

Individu dengan anemia sel sabit mempunyai gen resesif abnormal yang
homozigot yang me ngubah satu asam amino dalam rantai hemoglobin beta.
Hemoglobin yang berbeda ini menghasilkan sel darah merah'yang mengalami
defor mitas atau berbentuk sabit. Sel darah merah berbentuk sabit ini mudah
sekali rusak, dan mengakibatkan tanda-tanda dan gejala yang hebat. Individu
yang mempunyai gen hemoglobin abnormal yang heterozigot, mempunyai
sifat bawaan sel sabit dan tidak mempunyai gejala untuk penyakit ini.

Beberapa gangguan resesif melibatkan abnormalitas dari protein enzim.


Abnormalitas gen tunggal ini mungkin muncul sebagai gangguan metabolisme
sejak lahir. Pada keadaan normal, jumlah enzim yang tersedia lebih dari yang
dibu tuhkan. Oleh karena itu, penurunan sampai se banyak 50%, seperti pada
orang yang mempu nyai hanya satu alel yang mutasi, yaitu dengan genotip Aa,
tidak akan menimbulkan gangguan kesehatan. Tetapi defisiensi total pada
individu dengan dua gen mutan, yaitu genotip aa, akan mengakibatkan
kelainan metabolisme yang serius.

Akibat patologis pada gangguan metabolisme sejak lahir disebabkan oleh


gangguan pada jalur metabolik yang normal. Sebuah gen yang abnor mal
dapat mengakibatkan produksi yang salah atau sama sekali tidak
memproduksi. Jika pro duknya berupa enzim, maka akibat dari
abnormalitas gen itu adalah hilangnya kerja dari enzim itu, keadaan yang

kadang-kadang disebut sebagai enzimopati. (Robbins, S.L., et al. 2012).

35
Akibat-akibat dari enzimopati bermacam-ma cam. Penyakit dapat terjadi
akibat tidak adanya produk akhir, penumpukkan substrat yang tidak terpakai
karena adanya hambatan, atau akibat penimbunan produk dari jalur metabolik
lain yang biasanya sedikit dipakai akibat "terhambatnya" jalur metabolik yang
biasa dipakai. Contoh klasik dari keadaan yang disebabkan tidak adanya
produk akhir adalah albinisme. Pigmen melanin tidak diproduksi, akibatnya
tidak ada pigmen pada rambut, kulit atau iris. Contoh yang lain adalah tidak
adanya hormon tiroid yang mengakibatkan kretinisme; dan diabetes insipidus
akibat tidak diproduksinya hormon anti diuretik oleh kelenjar pituitaria.
(Robbins, S.L.,et al. 2012).

Contoh penumpukan substrat-substrat pada jalur sebelum hambatan adalah


galaktosemia, dimana galaktosa tidak diubah menjadi glukosa karena tidak
adanya enzim. Akibatnya, galaktosa menumpuk pada darah dan jaringan lain,
men gakibatkan kerusakan pada hati, otak dan ginjal. Pada penyakit Tay-Sack,
akibat ada enzim yang hilang, individu yang terkena akan cepat sekali
mengalami penumpukkan lipid tertentu di dalam neuron-neuron otaknya. Ini
mengakibatkan degenerasi sel-sel ini yang menyebabkan kebu taan,
kelumpuhan, dan kematian, yang biasanya terjadi sebelum berusia 4 tahun.
(Robbins, S.L., et al. 2012).

Penyakit dapat timbul akibat penumpukan metabolit tak terpakai yang


terbentuk karena dipakainya jalur metabolik alternatif. Metabolit metabolit tak
terpakai ini dapat berbahaya jika ada dalam jumlah yang berlebihan. Contoh
klasik untuk keadaan ini adalah fenilketonuria (PKU). Akibat tidak adanya
enzim pada jalur yang memetabolisme protein makanan, maka fenila lanin
akan menumpuk. Jalur alternatif yang me metabolisme fenilalanin akan
menghasilkan zat zat toksik.

Abnormalitas gen tunggal lain dapat meng akibatkan kelainan pada


pertumbuhan tulang atau kimia jaringan ikat atau aktivitas sekresi dari sel.
Pada fibrosis kistik, terdapat kelainan pada sekresi banyak kelenjar eksokrin,
seperti pada kelenjar keringat, pancreas, dan sekresi bronchial individu yang
terkena akan cepat meninggal akibat komplikasi paru-paru. Ada jugs keadaan
keadaan yang ditentukan secara genetik di mans individu yang normal

36
menunjukkan respon yang tidak umum terhadap beberapa agen dari luar,
misalnya obat. Hal ini diketahui dengan adanya perkembangan dari ilmu
farmakogenetik, yang mempelajari respon yang berbeda-beds terhadap obat.
Daftar fenotip abnormal dari keadaan ini ditentukan oleh penurunan
mendelian yang meliputi ratusan keadaan yang berbeda. (Robbins, S.L., et al.
2012).

g. Gen kromosom seks

Sama seperti halnya pada otosom, gen-gen pada kromosom X dapat bersifat
dominan atau resesif. Gen-gen abnormal yang terletak pada kromosom X
disebut terkait X. Karena wanita mempunyai dua kromosom X, maka ada dua
kemungkinan bagi terjadinya gen mutan yaitu homozigot atau heterozigot.
Karena pria hanya mempunyai satu kromosom X, maka bagi sifat bawaan
terkait X selalu merupakan hemizigos. Oleh karena itu, setiap sifat bawaan
pada kro mosom X selalu diekspresikan pada pria, se dangkan pada wanita
bisa bersifat resesif atau dominan. Karena seorang pria hanya dapat
menurunkan kromosom X-nya pada anak wanita, maka tidak pernah ada
penurunan (transmisi) sifat bawaan terkait X dari seorang ayah kepada anak
laki-lakinya, tapi selalu ada penurunan dari ayah kepada anak wanitanya.

Wanita heterozigot memberikan transmisi yang sebanding kepada anak pria


dan anak wanitanya. Pria hemizigos hanya memberikan transmisi kepada anak
wanitanya dan tidak kepada anak prianya. Ekspresi fenotip dari sifat bawaan
yang diturunkan lebih bervariasi dan lebih ringan pada wanita heterozigot,
karena adanya kromosom X normal pada mereka. Ja rang sekali ada tipe
terkait X yang dominan. Pria hemizigos mendapatkan ekspresi penuh dari sifat
bawaan karena mereka hanya mempunyai sebuah kromosom X, dan bersifat
abnormal.

Tipe terkait X yang resesif relatif sering terjadi. Kelainan ini sepenuhnya
diekspresikan hanya pada pria hemizigos. Wanita heterozigot selalu normal,
tapi mereka adalah karier dari gen mutan mempunyai kemungkinan 50%
untuk menurunkan kepada anak prianya. Anak wanita nya adalah karier dan
separuhnya normal. Semua anak wanita dari pasangan ayah yang terkena dan
ibu yang normal adalah karier, tapi tidak ada anak prianya yang terkena.

37
Semua anak wanita dari pasangan ayah yang terkena dengan ibu yang
heterozigot, mempunyai gen yang abnormal; 50% di antaranya terkena secara
fenotip. Keadaan yang terakhir ini jarang terjadi. Hemofilia A adalah
gangguan pembekuan darah yang diturunkan secara terkait X yang paling
sering terjadi.

Pada penurunan terkait Y, gen-gen pada kro mosom Y diturunkan dari ayah
kepada anak prianya dan tidak kepada anak wanitanya. Gen gen yang
diketahui ada pada kromosom Y adalah gen yang menentukan kelamin pria
dan antigen yang mempengaruhi penolakan pada proses pencangkokan.
(Robbins, S.L., et al. 2012).

h. Keadaan-keadaan poligenik

Banyak hal yang "terjadi dalam keluarga" tapi tidak mengikuti pola mendelian
atau penurunan gen tunggal. Banyak sifat bawaan seperti itu yang
mengakibatkan timbulnya gen majemuk berisiko tinggi yang disebut sebagai
poligenik. Analisa dari banyak keadaan poligenik, menunjukkan bahwa itu
adalah hasil dari interaksi dari bebe rapa gen yang terpisah dan berbagai faktor
ling kungan. Contoh dari keadaan yang multifaktorial itu meliputi hipertensi
esensial, diabetes melitus, penyakit arteri koroner, skizofrenia, labio dan
palatoskisis, penyakit jantung bawaan (lihat kotak di bawah).

Upaya pencegahan terjadinya kelainan poligenik atau multifaktorial, dapat


melibatkan banyak hal yang bersifat non-genetik, karena pengaruh lingkungan
seperti pembatasan diet atau perubahan gays hidup dan kebiasaan me rokok,
akan bermanfaat meskipun tidak berhu bungan dengan genetik. Contoh
keadaam multifaktorial yang diturunkan Genetik dengan faktor-faktor
lingkungan :

1.) Kelainan jantung

2.) Labioskisis dan/atau palatoskisis

3.) Hipospadia

4.) Stenosis pilorus.

38
5.) Penyakit Hirschprung

Anomali atau malformasi kongenital umumnya merupakan hasil interaksi dari


gen-gen majemuk dengan beberapa keadaan lingkungan tertentu. Sebagian
besar anomali kongenital ter jadi tanpa pola penurunan yang jelas.
Penyelidikan pada kembar menunjukkan bahwa kemungkinan untuk
mendapatkan anomali tertentu pada tiap anak kembar lebih besar pada kembar
identik daripada kembar fraternal. Lagipula, banyak penelitian pada keluarga
menunjukkan bahwa kerabat dari seorang yang menderita anomali tertentu,
mempunyai insidens yang lebih besar daripada populasi pada umumnya.
Sebaliknya, peranan dari lingkungan sudah jelas, karena bahkan pada kembar
identik sekalipun frekuensi dari anomali tertentu tidak sepenuhnya 100%.
Pada segi lain, ada faktor-faktor lingkungan, seperti zat kimia toksik, obat-
obatan, pengaruh fisik, dan virus-virus yang mengakibatkan anomali
kongenital. Tetapi, bahkan pada lingkungan teratogen yang sudah jelas dan
kuat sekalipun seperti thalidomide, faktor-faktor lain (genetik dan/atau
lingkungan) tetap harus diperhitungkan, karena tidak semua janin yang terkena
pada masa kritisnya menunjukkan anomali. Tak perlu dikatakan lagi bahwa
interaksi yang kompleks antara gen majemuk dan faktor-faktor lingkungan
mengakibatkan anomali yang belum dapat dimengerti sepenuhnya. (Price &
L. M. 2009)

Sebagai kesimpulan, beberapa penyakit pada manusia timbul sebagai akibat


langsung dari abnormalitas DNA. Dasar persoalannya dapat melibatkan gen
tunggal, gen majemuk, atau ke seluruhan dari kromosom. Ekspresi dari
abnormalitas dapat bervariasi dari mulai malformasi anatomis yang
terlokalisir, sampai kepada masalah kimiawi dan metabolik yang kompleks,
atau meningkatnya kerentanan terhadap sesuatu dari lingkungan.

4. TINDAKAN PENCEGAHAN DAN KONSELING GENETIK.

Penderita yang mempunyai penyakit herediter umumnya merasa putus asa,


sangat sedih dan merasa alam membuat mereka tidak mungkin kembali
menjadi orang normal. Perasaan perasaan ini jelas nampak pada penyakit yang

39
memang tidak mungkin disembuhkan seperti pada bayi yang hampir
meninggal karena penyakit Tay-Sachs. Meskipun demikian, hubungan an tara
genetika dan penyakit jauh berbeda dengan apa yang mula-mula dikenal
sebagai menetap nya DNA. (Cp-Artikel, 2014).

Banyak keadaan yang diturunkan yang manifestasinya dapat dihindari,


meskipun ada satu atau beberapa gen abnormal. Misalnya, kerusakan akibat
fenilketonuria dapat dicegah dengan dengan manipulasi diet yang hati-hati.
Perkembangan penyakit arteri koroner dapat di pengaruhi oleh manipulasi
mulai dari pemberian obat sampai pada perubahan kebiasaan. Tugas dari ahli
genetika manusia pada keadaan seperti ini tidak hanya mencatat dan
memberikan daftar hal-hal yang tak dapat dihindari, tapi memberitahu
penderita mengenai risiko keadaanya berdasarkan genetika dan mengurangi
risiko tersebut dengan memanipulasi lingkungan. Mengubah ekspresi dari
abnormalitas gen adalah perwujudan dari ilmu biomedika di masa yang akan
datang. (Cp-Artikel, 2014).

Keadaan-keadaan yang tak dapat dipengaruhi dengan manipulasi lingkungan,


mem butuhkan pencegahan penyakit dengan mencegah lahirnya individu yang
terkena kelainan tersebut. Proses ini mempunyai dua tingkatan, dan masing-
masing melibatkan keputusan dari individu-individu yang bersangkutan. Pada
tingkatan pertama, kehamilan yang memungkinkan lahirnya individu yang
abnormal dapat dihindari oleh pasangan yang bersang kutan. Pada tingkatan
kedua, kehamilan dapat diakhiri dengan aborsi sebelum janin itu dapat hidup
bebas, jika telah ditentukan bahwa janin itu terkena dengan keadaan yang
dikhawatirkan. Pada contoh pertama, orang tua harus dijelaskan secara
seksama akan risiko yang mungkin terjadi pada individu yang abnormal.
Pembicaraan mengenai risiko pada bayi yang terkena ini harus diutarakan
pada saat kehamilan masih muda, atau jika ada riwayat keluarga yang kuat
terhadap keadaan tertentu. Demikian juga pada kelompok populasi dengan
risiko tinggi yang memiliki in siden yang meningkat untuk keadaan tertentu.
Contohnya, orang Yahudi Eropa Timur menunjukkan meningkatnya insidens
terhadap penyakit Tay-Sachs. Pada keadaan-keadaan tertentu, ada beberapa
pemeriksaan khusus untuk mendeteksi gen resesif tunggal pada orang tua,
yang jika ada dalam dosis majemuk dapat menyebab kan kelainan pada bayi,

40
contohnya, seseorang dengan penyakit Tay-Sack atau penyakit sel sabit. Pada
keadaan-keadaan ini, jika kedua orang tuanya adalah karier dari gen tersebut,
maka pasangan ini dapat diberi tahu tentang kemungkinan mempunyai bayi
yang terkena sebesar satu di antara empat kehamilan.

Berdasarkan pengetahuan ini, orang tua dapat memutuskan untuk menghindari


kehamilan sepe nuhnya, atau mengambil risiko yang sudah diper hitungkan,
atau membiarkan kehamilan terjadi dan berusaha mengetahui diagnosis
prenatal untuk mengantisipasi keadaan dan mungkin mengakhiri kehamilan
itu. Misalnya-, pada pe nyakit Tay-Sachs sel-sel janin dapat diperoleh dengan
melakukan amniosentesis dan dapat ditentukan kandungan enzim tertentu
yang me ngakibatkan penyakit itu. Dengan cara ini, pa sangan orang tua dapat
memiliki keluarga dimana risiko abnormalitas pada kehamilannya sudah
diperhitungkan. (Nuswantara, 2010).

Keputusan yang sangat sulit dan peka ini harus dibuat oleh orang tua yang
bersangkutan, dan mereka harus diberi keterangan yang tepat dan dapat
dipahami mengenai keadaan dan prognosis dari penyakit yang mungkin
terjadi, pola penurunannya, dan kemungkinan muncul nya penyakit pada
keturunannya. Keterangan ini umumnya diberikan oleh orang yang telah
dibekali dengan ketrampilan khusus dalam bim bingan genetik.

Bagi yang belum berpengalaman, sering menemui kesulitan untuk mengenali


keadaan herediter. Banyak keadaan kongenital yang bukan herediter,
sebaliknya hampir semua keadaan identik adalah herediter. Bahkan keadaan-
keadaan yang sudah jelas familial, karena banyak terjadi dalam keluarga,
mungkin saja bukan kelainan herediter, tapi disebabkan karena pengaruh
lingkungan dimana seluruh keluarga terkena. (Nuswantara, 2010).

Seorang konselor kesehatan harus mempunyai keahlian dan mampu


menjelaskan diagnosis setepat mungkin. Konselor harus mampu menjelaskan
kepada pasien dengan ramah, tapi jelas mengenai sifat dan prognosis penyakit
itu serta dampaknya pada individu yang terkena, pengobatan yang ada, dan
cara-cara untuk mencegah timbulnya penyakit tersebut. Keputusan akhir dari
setiap tindakan dibuat oleh orang tua berdasarkan pilihan-pilihan yang ada,
sedangkan pengobatannya dilakukan oleh tim kesehatan sesuai dengan

41
keputusan yang diambil. Meskipun apa yang telah dijelaskan diatas adalah
untuk kasus-kasus penyakit herediter, namun pada dasarnya inti dari semua
tindakan diatas sama dengan hakekat dari profesionalisme pelayanan
kesehatan pada umumnya. (Nuswantara, 2010).

42
DAFTAR PUSTAKA

http://lunaticdipa.blogspot.com/2011/01/kelainan-retrogesif-setiap-sel.html

Muchid, dkk. (2015, September). Pharmaceutical care untuk penyakit asma.

MMWR, Quadrivalent Human Papillomavirus Vaccine Recommendation of the


Advisory Committee on Immunization Practices. 2017. Dept. of Health & Human
Services. Center for Disease Control & Prevention.

umar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L. Robbins. 2007.

Cp-Artikel, 2014. Konsep Patologi Keturunan, Lingkungan Dan Penyakit. http://cp-


artikel.blogspot.com Diakses 29 April 2015.

Elvita, A., dkk. 2009. Genetika


Dasar. http://yayanakhyar.files.wordpress.com. Diakses 29 April 2015.

Buku Ajar Patologi Robbins, Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

ringgoutomo,. 2012. Patologi I (Umum) Edisi 1. Sagung Seto, Jakarta.

Robbins, S.L., et al. 2012. Dasar Patologik Penyakit, Binarupa Aksara, Jakarta.

Suryo . 2011. Genetika Manusia. Gadjahmada University Press,Yogyakarta.

Tamher Sayti, Heryati. 2012. Patologi. Tran Info Media. Jakarta Timur

43

Anda mungkin juga menyukai