Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Patologi merupakan ilmu pengetahuan tentang keadaan struktural dan fungsional yang
menyebabkan penyakit pada manusia. Empat aspek dalam proses penyakit yang membentuk
inti patologi adalah (Robbins & Cotran, 2008) :
Penyebab penyakit (etiologi)
Mekanisme terjadinya penyakit (patogenesis)
Perubahan struktural yang ditimbulkan oleh penyakit di dalam sel dan jaringan
(perubahanmorfologi)
Konsekuensi fungsional perubahan morfologi tersebut (makna klinis)
Sel normal memerlukan keseimbangan antara kebutuhan fisiologik dan keterbatasan-
keterbatasan struktural sel dan kemampuan metabolik, hasilnya adalah hasil yang terusn
seimbang atau homeostasis. Keadaan fungsional sel dapat berubah ketika bereaksi terhadap
stress yang ringan untuk mempertahankan keadaan yang seimbang. Konsep keadaaan normal
bervariasi :
1. Setiap orang berbeda satu dengan yang lain karena perbedaan susunan genetic
2. Setiap orang memiliki perbedaan dalam pengalaman hidup dan interaksinya dengan
lingkungan
3. Pada tiap individu terdapat perbedaan parameter fisiologi karena adanya pengendalian
dalam fungsi mekanisme

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan Kelainan Retrogresif?
2. Apa saja yang termasuk kedalam Kelainan Retrogresif itu?

1.3 Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Patologi
2. Untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa/i khususnya keperawatan tentang
Kelainan Retrogresif

1.4 Manfaat
1. Diharapkan dapat menambah wawasan pembaca dalam sajian makalah yang dibuat
2. Diharapkan mahasiswa/i dapat memahami tentang Kelainan Retrogresif

3
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari bab I ; pendahuluan, bab II ; pembahasan,
dan bab III ; penutup, DAFTAR PUSTAKA.

BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 KELAINAN RETROGRESIF

4
Kelainan retrogresif adalah proses terjadinya kemunduran (degenerasi atau kembali ke
arah yang kurang kompleks) atau kemerosotan keadaan suatu sel, jaringan, organ, organisme,
menuju keadaan yang lebih primitif (menjadi lebih jelek dengan organisasi yang lebih rendah
tingkatannya), kehilangan kompleksitasnya termasuk metabolisme, deferensiasi dan
spesialisasinya.
Setiap sel melaksanakan kebutuhan fisiologik yang normal yang disebut Homeostasis
normal. Sel memiliki fungsi dan struktur yang terbatas, dalam metabolisme, diferensiasi, dan
fungsi lainnya karena pengaruh dari sel-sel sekitarnya dan tersedianya bahan-bahan dasar
metabolisme.
Sel mendapatkan stimulus yang patologik, fisiologik dan morphologic. Bila stimulus
patologik diperbesar hingga melampaui adaptasi sel maka timbul jejas sel atau sel yang sakit
(cell injury) yang biasanya bersifat sementara (reversible). Namun jika stimulus tetap atau
bertambah besar, sel akan mengalami jejas yang menetap (irreversible) yaitu sel yang mati
atau nekrosis. Perubahan-perubahan tersebut hanya mencerminkan adanya cedera-cedera
biomolekuler, yang telah berjalan lama dan baru kemudian dapat dilihat. Adaptasi, jejas dan
nekrosis dianggap sebagai suatu tahap gangguan progresif dari fungsi dan struktur normal
suatu sel. Kelainan retrogesif (regresif) adalah merupakan suatu proses kemunduran.

2. 2 YANG TERMASUK KE DALAM KELAINAN RETROGRESIF


a. Atrofi
Atrofi adalah berkurangnya ukuran suatu sel atau jaringan. Atrofi dapat menjadi suatu
respons yang adaptif yang timbul sewaktu terjadi penurunan beban kerja sel atau jaringan.
Dengan menurunnya beban kerja, maka kebutuhan akan oksigen dan gizi juga berkurang. Hal
ini menyebabkan sebagian besar struktur intrasel, termasuk mitokondria, retikulum
endoplasma, vesikel intrasel, dan protein kontraktil, menyusut.
Atrofi dapat terjadi akibat sel/jaringan tidak digunakan misalnya, otot individu yang
mengalami imobilisasi atau pada keadaan tanpa berat (gravitasi nol). Atrofi juga dapat timbul
sebagai akibat penurunan rangsang hormon atau rangsang saraf terhadap sel atau jaringan.
Hal ini tampak pada payudara wanita pasca menopause atau atrofi pada otot rangka setelah
pemotongan korda spinalis. Atrofi lemak dan otot terjadi sebagai respons terhadap defisiensi
nutrisi dan dijumpai pada orang yang mengalami malnutrisi atau kelaparan. Atrofi dapat juga
terjadi akibat insufisiensi suplai darah ke sel, sehingga pemberian zat gizi vital dan oksigen
terhambat (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Atrofi dibedakan menjadi :

5
1. Atrofi fisiologik
Atrofi fisiologik adalah atropi yang merupakan proses normal pada manusia. Beberapa
alat tubuh dapat mengecil atau menghilang sama sekali selama masa perkembangan
kehidupan, dan jika alat tubuh tersebut tidak menghilang pada usia tertentu malah dianggap
patologik. Contoh : kelenjar thymus, ductus thyroglosus. Misalnya pada atropi senilis, organ
tubuh pada usia lanjut akan mengalami pengecilan. Atrofi senilis juga dapat disebut atropi
menyeluruh(general) karena terjadi pada seluruh organ tubuh. Atrofi menyeluruh juga terjadi
pada keadaan kelaparan (Starvation).
Penyebab atropi senilis adalah :
1) Involusi akibat menghilangnya rangsang tumbuh (growth stimuli),
2) Berkurangnya perbekalan darah akibat arteriosklerosis
3) Berkurangnya rangsang endokrin
Vaskularisasi berkurang karena arteriosklerosis akan menyebabkan kemunduran pada
otak sehingga menimbulkan kemunduran kejiwaan yang disebut demensia senilis. Begitu
pula rangsang endokrin yang berkurang pada masa menopause menyebabkan payudara
menjadi kecil, ovarium dan uterus menjadi tipis dan keriput.
Starvation atropi terjadi bila tubuh tidak mendapat makanan untuk waktu yang lama
misalnya pada yang tidak mendapatkan asupan makanan seperti orang terdampar dilaut,
padang pasir, atau pada orang yang mengalami gangguan saluran pencernaan seperti pada
striktura oesofagus. Karena itu alat-alat tubuh tidak mendapat makanan cukup dan mengecil.
2. Atrofi patologik
Atrofi patologik dapat dibagi beberapa kelompok :
1) Atrofi disuse adalah atropi yang terjadi pada organ yang tidak beraktifitas dalam
jangka waktu lama.
2) Atrofi desakan terjadi pada suatu organ tubuh yang terdesak dalam waktu lama.
3) Atrofi endokrin terjadi pada organ tubuh yang aktivitasnya tergantung pada
rangsang hormon tertentu.
4) Atrofi vaskuler terjadi pada organ yang mengalami penurunan aliran darah hingga
dibawah nilai krisis.
5) Atrofi payah (exhaustion atrophy) terjadi karena kelenjar endokrin yang terus
menghasilkan hormone yang berlebihan akan mengalami atrofi payah.
6) Atrofi serosa dari lemak terjadi pada malnutrisi berat atau pada kakheksia.
Jaringan lemak yang mengalami atrofi akan menjadi encer seperti air atau lender.
7) Atropi coklat juga memiliki hubungan dengan malnutrisi berat atau kakheksia dan
organ yang mengalami atrofi adalah jantung dan hati.

6
b. Degenerasi dan Infiltrasi
Degenerasi ialah perubahan-perubahan morfologik akibat jejas-jejas yang non-fatal.
Perubahan-perubahan tersebut masih dapat pulih (reversible). Meskipun sebab yang
menimbulkan perubahan tersebut sama, tetapi apabila berjalan lama dan derajatnya berlebih
akhirnya mengakibatkan kematian sel atau yang disebut nekrosis. Jadi sebenarnya jejas sel
(cellular injury) dan kematian sel merupakan kerusakan sel yang berbeda dalam derajat
kerusakannya. Pada jejas sel yang berbentuk degenerasi masih dapat pulih, sedangkan pada
nekrosis tidak dapat pulih (irreversible).
Infiltrasi terjadi akibat gangguan yang sifatnya sitemik dan kemudian mengenai sel-sel
yang semula sehat akibat adanya metabolit-metabolit yang menumpuk dalam jumlah
berlebihan. Karena itu perubahan yang awal adalah ditemukannya metabolit-metabolit
didalam sel. Benda-benda ini kemudian merusak struktur sel.
Jadi degenerasi terjadi akibat jejas sel, kemudian baru timbul perubahan metabolisme,
sedangkan infiltrasi mencerminkan adanya perubahan metabolisme yang diikuti oleh jejas
seluler. Degenerasi dan infiltrasi dapat terjadi akibat gangguan yang bersifat biokimiawi atau
biomolekuler. Sebagai contoh degenerasi dapat terjadi akibat anoxia. Infiltrasi dapat terjadi
akibat penumpukan glikogen didalam sel, karena itu disebut infiltrasi glikogen.

c. Gangguan Metabolisme
Memang setiap sel selalu terancam mengalami kerusakan, tetapi sel hidup mempunyai
kemampuan untuk coba menanggulanginya. Jejas ini kemudian mengakibatkan gangguan
dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak pada sel. Gangguan metabolisme
intraseluler ini akhirnya mengakibatkan perubahan pada struktur sel.

d. Nekrosis
Kematian sel nekrotik, terjadi apabila suatu rangsangan yang menyebabkan cedera pada
sel terlalu kuat atau berkepanjangan. Nekrosis sel dicirikan dengan adanya pembengkakan
dan ruptur organel internal yang kebanyakan mengenai mitokondria, dan jelasnya stimulasi
respons peradangan (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Nekrosis merupakan salah satu pola dasar kematian sel. Nekrosis terjadi setelah suplai
darah hilang atau setelah terpajan toksin dan ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi
protein dan kerusakan organel. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi berat jaringan (Kumar;
Cotran & Robbins, 2007).

7
Nekrosis adalah kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup. Nekrosis
dapat dikenali karena sel atau jaringan menunjukkan perubahan-perubahan tertentu baik
secara makroskopis maupun mikroskopis. Secara makroskopis jaringan nekrotik akan tampak
keruh (opaque), tidak cerah lagi, berwarna putih abu-abu. Sedangkan secara mikroskopis,
jaringan nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan, tidak mengambil zat warna hematoksillin,
sering pucat (Pringgoutomo, 2002).
Gambaran morfologik nekrosis merupakan hasil dari digesti enzimatik dan denaturasi
protein yang terjadi secara bersamaan. Digesti enzimatik oleh enzim hidrolitik dapat berasal
dari sel itu sendiri (autolisis) dapat juga berasal dari lisosom sel radang penginvasi
(heterolisis) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
Pada nekrosis, perubahan terutama terletak pada inti. Memiliki tiga pola, yaitu (Lestari,
2011) :
1. Psikonosis
Yaitu pengerutan inti, merupakan homogenisasi sitoplasma dan peningkatan eosinofil,
DNA berkondensasi menjadi massa yang melisut padat.
2. Karioreksis
Inti terfragmentasi (terbagi atas fragmen-fragmen) yang piknotik.
3. Kariolisis
Pemudaran kromatin basofil akibat aktivitas DNA-ase.
Macam-macam nekrosis :
1. Nekrosis koagulatif
Terjadi akibat hilangnya secara mendadak fungsi sel yang disebabkan oleh hambatan
kerja sebagian besar enzim. Enzim sitoplasmik hidrolitik juga dihambat sehingga tidak terjadi
penghancuran sel (proses autolisis minimal). Akibatnya struktur jaringan yang mati masih
dipertahankan, terutama pada tahap awal (Sarjadi, 2003).
Terjadi pada nekrosis iskemik akibat putusnya perbekalan darah. Daerah yang terkena
menjadi padat, pucat dikelilingi oleh daerah yang hemoragik. Mikroskopik tampak inti-inti
yang piknotik. Sesudah beberapa hari sisa-sisa inti menghilang, sitoplasma tampak berbutir,
berwarna merah tua. Sampai beberapa minggu rangka sel masih dapat dilihat (Pringgoutomo,
2002).
Contoh utama pada nekrosis koagulatif adalah infark ginjal dengan keadaan sel yang tidak
berinti, terkoagulasi dan asidofilik menetap sampai beberapa minggu (Kumar; Cotran &
Robbins, 2007).
2. Nekrosis likuefaktif (colliquativa)

8
Perlunakan jaringan nekrotik disertai pencairan. Pencairan jaringan terjadi akibat kerja
enzim hidrolitik yang dilepas oleh sel mati, seperti pada infark otak, atau akibat kerja lisosom
dari sel radang seperti pada abses (Sarjadi, 2003).
3. Nekrosis kaseosa (sentral)
Bentuk campuran dari nekrosis koagulatif dan likuefaktif, yang makroskopik teraba lunak
kenyal seperti keju, maka dari itu disebut nekrosis perkejuan. Infeksi bakteri tuberkulosis
dapat menimbulkan nekrosis jenis ini (Sarjadi, 2003). Gambaran makroskopis putih, seperti
keju didaerah nekrotik sentral. Gambaran makroskopis, jaringan nekrotik tersusun atas debris
granular amorf, tanpa struktur terlingkupi dalam cincin inflamasi granulomatosa, arsitektur
jaringan seluruhnya terobliterasi (tertutup) (Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
4. Nekrosis lemak
Terjadi dalam dua bentuk:
a) Nekrosis lemak traumatik
Terjadi akibat trauma hebat pada daerah atau jaringan yang banyak mengandung lemak
(Sarjadi, 2003).
b) Nekrosis lemak enzimatik
Merupakan komplikasi dari pankreatitis akut hemorhagika, yang mengenai sel lemak di
sekitar pankreas, omentum, sekitar dinding rongga abdomen. Lipolisis disebabkan oleh kerja
lypolitic dan proteolytic pancreatic enzymes yang dilepas oleh sel pankreas yang rusak
(Sarjadi, 2003). Aktivasi enzim pankreatik mencairkan membran sel lemak dan
menghidrolisis ester trigliserida yang terkandung didalamnya. Asam lemak yang dilepaskan
bercampur dengan kalsium yang menghasilkan area putih seperti kapur (mikroskopik)
(Kumar; Cotran & Robbins, 2007).
5. Nekrosis fibrinoid
Nekrosis ini terbatas pada pembuluh darah yang kecil, arteriol, dan glomeruli akibat
penyakit autoimun atau hipertensi maligna. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan nekrosis
dinding pembuluh darah sehingga plasma masuk ke dalam lapisan media. Fibrin terdeposit
disana. Pada pewarnaan hematoksilin eosin terlihat masa homogen kemerahan (Sarjadi,
2003).
Penyebab nekrosis :
Nekrosis dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Iskemia

9
Terjadi akibat anoksia (hambatan total pasokan oksigen) atau hipoksia seluler
(kekurangan oksigen pada sel). Dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti berikut ini
(Sarjadi, 2003):
a. Obstruksi aliran darah
b. Anemia (eritrosit pembawa oksigen berkurang jumlahnya)
c. Keracunan karbon monoksida
d. Penurunan perfusi jaringan dari darah yang kaya oksigen
e. Oksigenasi darah yang buruk, sebagai akibat penyakit paru, obstruksi saluran
nafas, konsentrasi oksigen udara yang rendah
2. Agen biologic
Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah dan
trombosis. Toksin biasanya berasal dari bakteri yang virulensinya tinggi baik endogen
maupun eksogen. Virus dan parasit juga dapat mengeluarkan beberapa enzim dan toksin
yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi jaringan dan menyebabkan
nekrosis (Pringgoutomo, 2002).
3. Agen kimia
Natrium dan glukosa merupakan zat kimia yang berada dalam tubuh. Namun ketika
konsentrasinya tinggi dapat menimbulkan nekrosis akibat gangguan keseimbangan
osmotik sel. Beberapa zat tertentu dapat pula menimbulkan nekrosis ketika
konsentrasinya rendah (Pringgoutomo, 2002).
Respon jaringan terhadap zat kimia berbeda. Misalnya, sel epitel pada tubulus ginjal
dan sel beta pada pulau Langerhans mudah rusak oleh alloxan. Gas yang digunakan pada
perang seperti mustard dapat merusak jaringan paru, gas kloroform dapat merusak
parenkim hati serta masih banyak lagi (Pringgoutomo, 2002).
4. Agen fisik
Trauma, suhu yang ekstrim (panas maupun dingin), tenaga listrik, cahaya matahari,
dan radiasi dapat menimbulkan kerusakan inti sehingga menyebabkan nekrosis
(Pringgoutomo, 2002).
5. Hipersensitivitas
Hipersensitivitas (kerentanan) pada seseorang individu berbeda-beda. Kerentanan ini
dapat timbul secara genetik maupun didapat (acquired) dan menimbulkan reaksi
immunologik kemudian berakhir pada nekrosis. Sebagai contoh, seseorang yang
hipersensitivitas terhadap obat sulfat ketika mengonsumsi obat sulfat dapat timbul
nekrosis pada epitel tubulus ginjal (Pringgoutomo, 2002).

e. Apoptosis

10
Apoptosis, yaitu kematian sel yang diprogram. Apoptosis adalah suatu proses yang
ditandai dengan terjadinya urutan teratur tahap molekular yang menyebabkan disintegrasi sel.
Apoptosis tidak ditandai dengan adanya pembengkakan atau peradangan, namun sel yang
akan mati menyusut dengan sendirinya dan dimakan oleh sel disebelahnya. Apoptosis
berperan dalam menjaga jumlah sel relatif konstan dan merupakan suatu mekanisme yang
dapat mengeliminasi sel yang tidak diinginkan, sel yang menua, sel berbahaya, atau sel
pembawa transkripsi DNA yang salah. Apoptosis merupakan proses aktif yang melibatkan
kerja sel itu sendiri dan namanya diambil dari kata Yunani yang berarti menciut seperti
menguncupnya sebuah bunga.
Timidin fosforilase (TP), suatu faktor pertumbuhan sel endotel yang dihasilkan
trombosit, telah terbukti melindungi sel dari apoptosis dengan merangsang metabolisme
nukleosida dan angiogenesis. Penggunaan obat yang secara khusus menargetkan TP telah
direkomendasikan untuk memperbaiki efek kemoterapi konvensional dengan meningkatkan
apoptosis sel-sel yang bermutasi (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Penyebab Apoptosis :
Kematian sel terprogram di mulai selama embriogenesis dan terus berlanjut sepanjang
waktu hidup organisme. Rangsang yang menimbulkan apoptosis meliputi isyarat hormon,
rangsangan antigen, peptida imun, dan sinyal membran yang mengidentifikasi sel yang
menua atau bermutasi. Virus yang menginfeksi sel akan seringkali menyebabkan apoptosis,
yang akhirnya yang mengakibatkan kematian virus dan sel penjamu (host). Hal ini
merupakan satu cara yang dikembangkan oleh organisme hidup untuk melawan infeksi virus.
Virus tertentu (misalnya; Virus EpsteinBarr yang bertanggung jawab terhadap
monunukleosis) pada gilirannya menghasilkan protein khusus yang menginaktifkan respons
apoptosis. Defisiensi apoptosis telah berpengaruh pada perkembangan kanker dan penyakit
neuro degeneratif dengan penyebab yang tidak diketahui, termasuk penyakit Alzheimer dan
sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig). Apoptosis yang dirangsang-antigen dari
sel imun (sel T dan sel B) sangat penting dalam menimbulkan dan mempertahankan toleransi
diri imun (Elizabeth J. Corwin, 2009).

f. Postmortal
Kematian bukanlah akhir dari proses dalam tubuh yang mengalami kematian.Tubuh
akan terus mengalami perubahan. Perubahan ini dipengaruhi oleh :
1)Suhu lingkungan sekitarnya
2)Suhu tubuh saat terjadi kematian

11
3)Ada tidaknya infeksi umum
Serangkaian perubahan yang terjadi setelah kematian tubuh antara lain :
1. Autolisis ; jaringan yang mati dihancurkan oleh enzim-enzim antara lain enzim dari
lisosom, mikroorganisme yang mengifeksi jaringan mati. Tubuh yang mati akan
mencair, kecuali jika dicegah dengan pengawetan atau pendinginan.
2. Algor Mortis ; suhu tubuh menjadi dingin sesuai suhu lingkungan memerlukan waktu
24 s/d 48 jam untuk menjadi dingin sesuai suhu lingkungan. Suhu tubuh menjadi
dingin karena proses metabolisme terhenti. Jika ditempat yang dingin maka akan lebih
cepat dingin, tetapi jika ditempat yang panas akan lebih lambat.
3. Rigor Mortis (kaku mayat); timbul setelah 2 s/d 4 jam setelah kematian. Mencapai
puncak setelah 48 jam dan kemudian menghilang selama 3 sampai 4 hari.
4. Livor Mortis (lebam mayat) ; Nampak setelah 30 menit kematian dan mencapai
puncaknya setelah 6 hingga 10 jam.Lebam mayat timbul pada bagian bawah tubuh.
5. Pembekuan Darah postmortal ; beku darah post mortal berkonsistensi lunak, elastic
dan seperti gel, berbeda dengan thrombus yang konsistensinya keras dan kering.
6. Jejas postmortal ; enzim dalam tubuh masih aktif untuk beberapa waktu setelah
kematian. Jejas postmortal tidak dijumpai reaksi radang pada jejas, sedangkan pada
lesi antemortal Nampak reaksi radang.
7. Pembusukan ; hancurnya tubuh yang mati karena invasi bakteri. Kulit menjadi
kehijauan setelah 1 sampai 2 minggu.

g. Penimbunan Pigmen
Pigmen adalah substansi yang mempunyai warna dan terakumulasi di dalam sel. Pigmen
sering digambarkan berdasarkan sumber atau asalnya: eksogen (berasal dari luar tubuh) atau
endogen (dihasilkan di dalam tubuh). Pigmen eksogen paling umum berasal dari inhalasi
partikel karbon organik. Partikel ini terakumulasi di dalam makrofag dan limfonodus jaringan
paru, yang menghasilkan penampilan kehitaman pada paru yang disebut anthracosis.
Pigmentasi disebabkan penimbunan pigmen di dalam sel. Pigmentasi lipofuscin pada
kulit umum terjadi pada lansia. Juga pada otak, hati, jantung, dan ovarium. Pigmen ini
agaknya tidak mengganggu fungsi. Pigmen melanin dihasilkan melanosit kulit. Pada penyakit
Addison tredapat hiperpigmentasi kulit. Pada lansia, melanosit berkurang, sehingga kulit
pada orang ini tampak lebih pucat. Pigmen hemosiderin, turunan hemoglobin, adalah pigmen
yang dibentuk karena akumulasi timbunan besi yang berlebihan. Dalam organ disebut
hemosiderosis. Umumnya tidak sampai mengganggu fungsi (Jan Tambayong, 2000).

h.Mineral

12
Selain zat karbon, hydrogen, nitrogen dan oksigen yang merupakan bagian terpenting
dalam jaringan pada tubuh terdapat 13 macam unsur lain yang juga sangat penting dalam
kehidupan manusia, 7 diantaranya terdapat dalam jumlah banyak yaitu kalsium, fosfor,
magnesium, natrium, kalium, chlor, dan sulfur. Sedangkan 6 lainnya merupakan trace
elements tetapi vital yaitu besi, tembaga, mangan, yodium, kobal (Co), dan seng (Zn).
Dalam makanan sehari-hari sudah cukup, tetapi pengeluaran berlebihan (muntah, diare) atau
gangguan penyerapan dapat menimbulkan defisiensi.
Sebaliknya jumlah yang berlebihan dalam makanan atau gangguan ekskresi,
menimbulkan penimbunan yang berlebihan pada jaringan atau cairan tubuh dan dapat
menyebabkan gangguan metabolik, susunan kimiawi dan gejala klinik yang nyata.

i. Defisiensi
Ketidak seimbangan nutrisi merupakan penyebab utama jejas sel antara lain defisiensi
protein, vitamin dan mineral. Jumlah lipid yang berlebihan merupakan faktor pendukung
terjadinya arteriosklerosis yang dapat menyebabkan sel/jaringan mengalami defisiensi
oksigen dan makanan. Jejas yang disebabkan oleh defisiensi nutrisi antara lain Starvation,
marasmus, kwashiorkor atau yang lebih dikenal gangguan nutrisi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kelainan retrogresif adalah proses terjadinya kemunduran (degenerasi atau kembali ke
arah yang kurang kompleks) atau kemerosotan keadaan suatu sel, jaringan, organ, organisme,
menuju keadaan yang lebih primitif (menjadi lebih jelek dengan organisasi yang lebih rendah
tingkatannya), kehilangan kompleksitasnya termasuk metabolisme, deferensiasi dan
spesialisasinya.
Yang termasuk kedalam Kelainan Retrogresif, yaitu :

13
1. Atrofi
2. Degenerasi dan Infiltrasi
3. Gangguan Metabolisme
4. Nekrosis
5. Apoptosis
6. Postmortal
7. Penimbunan pigmen
8. Mineral
9. Defisiensi

3.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan, pembaca dapat memahami penjelasan di
dalamnya sehingga dapat diterapkan, guna pemaksimalan pemahaman mengenai kelainan
retrogresif.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Edisi 3. Jakarta: EGC.


Kumar, Vinay; Ramzi S. Cotran; Stanley L Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins,
Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lestari, Ajeng S.P. dan Agus Mulyono. 2011. Analisis Citra Ginjal untuk Identifikasi Sel
Psikonosis dan Sel Nekrosis. Jurnal Neutrino Vol.4, No.1, p:48-66.
Pringgoutomo, S.; S. Himawan; A. Tjarta. 2002. Buku Ajar Patologi I. Jakarta: Sagung Seto.
Robbins & Cotran., 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit (ed.7). Mitchell, R.N.,
Kumar,V., Abbas, A.K., Fausto, N (editor). Jakarta: EGC.
Sarjadi. 2003. Patologi Umum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

14
15

Anda mungkin juga menyukai