Anda di halaman 1dari 20

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

ANESTESIOLOGI
PENYELENGGARAAN KEPERAWATAN ANESTESI DI INDONESIA SESUAI DENGAN PMK 18 2016

DISUSUN OLEH :

RISMAWATI

SANRA AGUSTINA

FERA NURHAYATI

SILVI AYUNI SAHANA

M. ICHSAN ARDHANA
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Penata Anestesi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan bidang keperawatan anestesi atau
Penata Anestesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
2. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

3. Surat Tanda Registrasi Penata Anestesi yang selanjutnya disingkat STRPA adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh Pemerintah kepada Penata Anestesi yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Surat Izin Praktik Penata Anestesi yang selanjutnya disingkat SIPPA adalah bukti tertulis
pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik keprofesian
5. Standar Profesi Penata Anestesi adalah batasan kemampuan minimal berupa pengetahuan,
keterampilan,
dan perilaku profesional yang harus dikuasai dan dimiliki oleh seorang Penata Anestesi untuk
dapat melakukan praktik keprofesiannya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh
Organisasi Profesi.
6. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
7. Organisasi Profesi adalah Ikatan Penata Anestesi Indonesia
BAB 2
PERIZINAN
BAGIAN KE SATU

• Pasal 2 :Penata Anestesi untuk dapat melakukan praktik keprofesiannya harus


memiliki STRPA. Untuk dapat memperoleh STRPA Anestesi harus memiliki
sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
berlaku selama 5 (lima) tahun.
• Pasal 3: Penata Anestesi untuk dapat melakukan praktik keprofesiannya harus
memiliki STRPA. Untuk dapat memperoleh STRPA Anestesi harus memiliki
sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
berlaku selama 5 (lima) tahun.
•  Pasal 4: Penata Anestesi yang menjalankan praktik keprofesiannya wajib
memiliki SIPPA. SIPPA diberikan kepada Penata Anestesi yang telah
memiliki STRPA yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.
berlaku untuk 1 (satu) tempat.
 
•  Pasal 5: Penata Anestesi hanya dapat memiliki paling banyak 2 (dua)
SIPPA. Permohonan SIPPA kedua dapat dilakukan dengan menunjukkan
bahwa Penata Anestesi telah memiliki SIPPA pertama.
• Pasal 6: Untuk memperoleh SIPPA Penata Anestesi harus mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota. Dalam hal SIPPA dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, persyaratan rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f tidak diperlukan.
Contoh SIPPA sebagaimana tercantum dalam formulir II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
•  Pasal 7: Penata Anestesi warga negara asing dapat mengajukan permohonan memperoleh SIPPA setelah:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
b.membuat surat pernyataan mematuhi etika profesi dan peraturan perundang-undangan
c.mengikuti evaluasi kompetensi
d. memiliki surat izin kerja dan izin tinggal sesuai peraturan perundang-undangan
e.memiliki kemampuan berbahasa Indonesia.
Penata Anestesi warga negara Indonesia lulusan luar negeri dapat mengajukan permohonan memperoleh SIPPA
setelah:
a. memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); dan b. mengikuti evaluasi kompetensi.
• Pasal 8 :SIPPA berlaku sepanjang STRPA masih berlaku dan dapat
diperpanjang kembali selama memenuhi persyaratan. Penata Anestesi warga
negara asing yang akan memerpanjang SIPPA harus:
a. mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat
(2); dan
b. membuat surat pernyataan mematuhi etika profesi dan peraturan perundang-
undangan.
• Pasal 9 : Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilarang mempekerjakan
Penata Anestesi yang tidak memiliki SIPPA. Pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan wajib melaporkan Penata Anestesi yang bekerja dan berhenti di
fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan kepada kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota dengan tembusan kepada Organisasi Profesi.
BAB 3
Penyelenggaraan praktik keprofesian penata anestesi
1. Bagian wewenang
Dalam pasal 10-11 wewenang penata anesti melakukan pelayanan :
A. Prainteraksi : penilaian untuk menentukan status medis sebelum anestesi dan pemberian
informasi serta persetujuan dengan pasien.
B. Intra anestesi : pelayanan yang dilakukan selama tindakan anestesi contohnya memantau
fungsi vital secara kontinu
C. Pasca anestesi : pelayanan setelah tindakan anes hingga pasien pulih
2. Pelimpahan wewenang
Pasal 12-14 penata anestesi dapat melaksanakan pelayanan :
A. Dibawah pengawasan/wewenang dari dokter spesialis dan dokter lainnya
contohnya pelaksanaan sesuai instruksi
B. Berdasarkan penugasan langsung dari pemerintah /pemerintah daerah
yang merupakan penata kesehatan .
• Pasal 15 wewenang untuk melakukan pelayanan berdasarkan penugasan tidak
berlaku jika tidak terdapat dokter spesialis untuk dilimpahi
• Pasal 16 saat melakukan pertolongan pertama dapat dilakukan oleh penata
anestesi yang kompeten untuk mengurangi rasa sakit/ menstabilkan kondisi
pasienPasal
• 17 penata anestesi melaksanakan praktik wajib mengikuti pendidikan/
pelatihan sebelumnya
Bagian ke tiga
Pasal 18
Pencatatan untuk semua tindakan dan hasil dari tindakan yang bisa
dipertanggung jawabkan sampai ke meja hijau .
Bagian ke empat
Hak dan kewajiban : Pasal 19
Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya, Penata Anestesi mempunyai hak
contohnya :
memperoleh perlindungan hukum dan perlindungan dalam bekerja
Pasal 20
Dalam melaksanakan praktik keprofesiannya , penata anestesi mempunyai
kewajiban . Contohnya :
Menghormati dan menjaga privasy pasien sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
BAB 4
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
PASAL 21
(1) Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan praktik keprofesian Penata Anestesi.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat melibatkan organisasi profesi.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan, keselamatan pasien, dan
melindungi masyarakat dari segala kemungkinan yang dapat menimbulkan
bahaya bagi kesehatan.
Pasal 22
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat memberikan tindakan administratif kepada Penata
Anestesi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan
praktik keprofesian Penata Anestesi dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
1. berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. pencabutan SIPPA.
Pasal 23
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat merekomendasikan pencabutan
STRPA terhadap Penata Anestesi yang melakukan pekerjaan Penata Anestesi
tanpa memiliki SIPPA.
(2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan, teguran
tertulis sampai dengan pencabutan izin Fasilitas Pelayanan Kesehatan kepada pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mempekerjakan Penata Anestesi yang tidak
mempunyai SIPPA.
Pasal 24
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. semua nomenklatur Perawat Anestesi
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di Rumah Sakit (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 224) harus dibaca dan dimaknai sebagai
Penata Anestesi; dan b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pekerjaan Perawat Anestesi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 673) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
PERBANDINGAN KEPERAWATAN ANESTESI DI INDONESIA
DENGAN NEGARA LAIN

• PERBANDINGAN ALAT KESEHATAN INDONESIA DAN SINGAPORE


Tidak ada kekurangan alat uji di Korsel. Empat perusahaan mendapat izin
pemerintah untuk membuatnya. Dengan demikian, Korsel kini punya
kemampuan menguji 140.000.
- Singapura memiliki salah satu sistem perawatan kesehatan paling sukses
di dunia, Singapura merancang alat kesehatan dari negaranya sendiri.
- Indonesia masih mengimpor alat kesehatan dari negara lain seperti China
dan Korea Selatan.
• PERBANDINGAN SDM INDONESIA DAN AUSTRALIA
Tenaga kesehatan menjadi isu sistem kesehatan di berbagai Negara di dunia. Sumber Daya
Manusia Kesehatan menjadi hal pokok masalah di Indonesia yang belum terealisasikan
diakibatkan perencanaan kebutuhan sumber daya manusia yang belum merata didistribusikan
di berbagai wilayah Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan agar masalah
pendistribusian tenaga yang belum merata dapat diatasi dengan program kebijakan tersebut
adalah pendekatan geografis dan pendekatan multivasional. Target penempatan daerah yang
menjadi prioritas adalah daerah terpencil, kepulauan, dan perbatasan. Kebijakan ini dalam
proses berjalan karena belum terbukti bahwa target penempatan tersebut belum sepenuhnya
terpenuhi. Pemerintah Indonesia telah memperkuat Sistem Kesehatan Nasional untuk menuju
Indonesia Sehat.
Berbeda dengan Indonesia, sistem pembiayaan kesehatan di Australia berasal
dari pajak, sehingga pelayanan untuk masyarakat sama tidak ada perbedaan
kelas premi. Kesehatan masyarakat juga menjadi perhatian pemerintah
Australia. Angka penyakit menular dapat ditekan, sanitasi dan kualitas air juga
menjadi fokus pemerintah. Pemerintah juga mengembangkan penelitian-
penelitian kesehatan berbasis epidemiologi. Berbagai hal tersebut dilakukan
untuk meningkatkan status kesehatan masyarakatnya.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai