Anda di halaman 1dari 4

KESIMPULAN KETERANGAN PEMOHON

Dr. Nadia Yaroh Bahri, S.H., M.H

PERKARA NOMOR :01/PUU.GUB-III/2018

TERKAIT

PENGUJIAN PASAL 158 AYAT (1) HURUF d

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PILKADA


Hak asasi manusia dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung.
Sedangkan menurut UU Nomor 39 tahun 1999 “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia”.

Hak-Hak Sipil Dan Politik Meliputi:

1. Hak hidup
2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi
3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa
4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah
6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum
7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama
8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi
9. Hak untuk berkumpul dan berserikat
10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.

berdasarkan pasal 44 UU No.39 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang baik sendiri
maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, dan atau usulan kepada pemerintah dalam
rangka pelaksanaan pemerintah yang bersih, efektif, dan efesiensi, baik dengan lisan maupun
dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundand-undangan.

Dan Untuk itu ahli berpendapat bahwa benar Pemohon merasa hak konstitusional
dirugikan dengan adanya ambang batas dalam pengajuan sengketa Pilkada. Yang mana
penerapan keadilan prosedural lebih diutamakan daripada keadilan yang substantif. Dan
Seharusnya MK tidak berpedoman pada ambang batas selisih perolehan suara, MK bisa
melampaui itu jika di temukan fakta suatu pilkada tidak berlangsung jujur dan adil.

Keadilan itu sendiri secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil.
Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar.
Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama tidak
merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya.
Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.

Keadilan substantif adalah keadilan yang diciptakan oleh hakim dalam putusan-
putusannya hasil galiannya atas rasa keadilan didalam masyarakat, dibelenggu bunyi pasal
Undang-Undang yang berlaku. Maka untuk itu seharusnya hakim harus berani membuat trobosan
untuk menggali rasa keadilan, dimana hakim tidak boleh terbelenggu oleh formalitas prosedural
atau pasal-pasal undang-undang.

Berbeda lagi dengan menurut konsep keadilan procedural, sesuatu dianggap adil apabila
pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal didalam undang-undang. Jika
hakim memutus diluar ketentuan Undang-Undang bisa dianggap tidak adil karena melanggar
kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Yang dikatakan adil didalam
keadilan prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan pada aturan-aturan resmi yang
ada sebelumnya. Ini diperlukan agar ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan
sesuatu sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari perbuatannya itu.

Sebenarnya, kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan substantif maupun
keadilan prosedural sama-sama berangkat dari esensi kebaikan hukum yang sama. Dulu, pada
saat kekuasaan ada di satu tangan, monarki atau raja, kalau ada warga masyarakat merasa
dirugikan haknya maka mereka mengajukan perkara itu kepada raja. Raja kemudian menunjuk
hakim untuk mengadili perkara itu tanpa ada aturan tertulis. Pokoknya hakim yang ditunjuk
disuruh mencari sendiri putusan yang baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa dijadikan
pedoman.

Setiap perkara yang muncul kemudian diserahkan kepada hakim-hakim oleh raja agar
diadili menurut kreasinya masing-masing, sesuai dengan rasa keadilan yang ditemukan dalam
penggaliannya. Putusan-putusan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat sebagai putusan
hukum negara. Tetapi ketika kemudian muncul negara-negara demokrasi modern, terutama di
kawasan Eropa Kontinental, muncul pula ide tentang perlunya hukum tertulis. Hakim tak bisa
lagi dibiarkan membuat putusan sendiri-sendiri, melainkan harus memutus sesuai dengan hukum
tertulis.
Untuk itu di dalam negara harus ada lembaga legislatif (yang membuat hukum tertulis
atau undang-undang) sedangkan hakim dimasukkan dalam lembaga yudikatif (yang menegakkan
undang-undang di pengadilan jika ada sengketa). Hakim tidak boleh membuat hukum, tapi harus
menjadi corong pembuat UU. Pembatasan kepada hakim agar tidak membuat hukum (putusan)
sendiri di luar undang-undang dimaksudkan agar ada kepastian sehingga masyarakat bisa
mengukur dan memprediksi sendiri akibat-akibat hukum dari setiap perbuatannya. Dalam
mengadili sengketa, hakim harus berpedoman pada undang-undang karena menurut paham
(legisme) ini keadilan terletak justru terletak pada kepastian hukumnya.

Selanjutnya sejarah berputar lagi. Keadilan dalam bentuk putusan-putusan hakim di luar
undang-undang ternyata dibutuhkan karena di dalam kasus yang sama sering kali terdapat latar
belakang situasi yang berbeda. Keadilan dipandang selalu dinamis, tak bisa dikunci dengan
undang-undang yang statis. Meski bentuk dan akibat suatu perbuatan sama, vonis hakim harus
berbeda jika latar belakang dan situasi yang melingkupinya berbeda. Bukan kepastian, tetapi
keadilanlah yang diperlukan dalam hukum. Kepastian hanya bisa diikuti sepanjang bisa
memastikan bahwa keadilan ditegakkan.

keadilan itu tidak hanya ada dalam pasalpasal UU, tetapi harus lebih banyak dicari di
dalam denyutdenyut kehidupan masyarakat. Tetapi bagi MK, keadilan substantif tak boleh secara
hitam-putih diartikan sebagai keharusan membuat vonis yang selalu keluar dari UU. Keadilan
substantif harus dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan dalam masyarakat, tetapi sekaligus
bisa menerapkan ketentuan UU selama ketentuan di dalam UU dirasa sudah adil. Dengan
demikian, memahami vonis MK harus dilihat dari latar belakang kasus dan pertimbangannya
untuk setiap kasus.

Anda mungkin juga menyukai