Jantra dapat diartikan sebagai roda berputar, yang bersifat dinamis, seperti halnya kehidupan
manusia yang selalu bergerak menuju ke arah kemajuan. Jurnal Jantra merupakan wadah
penyebarluasan tentang dinamika kehidupan manusia dari aspek sejarah dan budaya. Artikel
dalam Jurnal Jantra bisa berupa hasil penelitian, tanggapan, opini, maupun ide atau
pemikiran penulis. Artikel dalam Jantra maksimal 20 halaman kuarto, dengan huruf Times
New Romans, font 12, spasi 2, disertai catatan kaki dan menggunakan bahasa populer namun
tidak mengabaikan segi keilmiahan. Dewan Redaksi Jantra berhak mengubah kalimat dan
format penulisan, tanpa mengurangi maksud dan isi artikel. Tulisan artikel disampaikan
dalam bentuk file Microsoft Word (disket, CD), dialamatkan kepada: Dewan Redaksi Jantra,
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, Jalan Brigjen Katamso 139,
Yogyakarta 55152, Telp. (0274) 373241 Fax. (0274) 381555 E-mail: jantra@bksnt-jogja.com
Alamat Redaksi :
BALAI PELESTARIAN SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL YOGYAKARTA
Jalan Brigjen Katamso 139, Yogyakarta 55152
Telp. (0274) 373241 Fax. (0274) 381555
E-mail : jantra@bksnt-jogja.com
Website : www.bksnt-jogja.com
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenan-Nya,
Jantra Volume II, No. 3, Juni 2007 hadir kembali di hadapan para pembaca. Ernst Cassirer,
seorang filsuf Yahudi pernah mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum, yakni
makhluk yang mengerti serta membentuk simbol. Dengan membentuk simbol, maka manusia
dapat menciptakan suatu dunia kultural, dimana terdapat bahasa, mitos dan agama, kesenian,
serta ilmu pengetahuan. Sejalan dengan Ernst Cassirer ini, Clifford Geertz juga mempertegas
bahwa dengan manusia menciptakan budaya, maka ia akan membentuk pola dari makna-
makna yang terjalin secara menyeluruh dalam bentuk simbol. Oleh karena itu, seluruh
kehidupan manusia selalu berkaitan dengan simbol dan makna yang selalu dimanifestasikan
dalam perilaku mereka. Untuk itu, simbol, makna dan seni tradisi, menjadi topik yang
sangat menarik dalam edisi Jantra kali ini.
Simbol dan makna tentang lingkungan hidup dapat ditemukan antara lain tulisan
Ernawati, Isyanti, Sumintarsih, maupun Isni Herawati. Di sini terlihat bagaimana simbol
dan makna diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, melalui nilai-nilai kearifan
lokal. Simbol dan makna religius terungkap dari tulisan Titi Mumfangati, Emiliana Sadilah,
Siti Munawaroh, serta Endah Susilantini. Perilaku simbolis manusia dalam mengungkapkan
kebutuhan religi, tercermin dalam kegiatan ritual keagamaan yang diyakininya. Tulisan
Dwi Ratna Nurhajarini dan Suwarno, mengungkapkan bagaimana sebuah simbol dan makna
selalu hadir dalam ruang kota maupun tempat tinggal, yang bisa menunjukkan siapa penguasa
maupun pemiliknya. Melalui permainan tradisional Jawa, tulisan Suyami menunjukkan
bagaimana simbol dan makna ‘bermain’ dalam aktivitas hiburan manusia.
Tulisan lain yang tidak kalah menarik adalah tentang sosok Koesnadi Hardjasoemantri
sebagai tokoh pelestari tradisi, yang ditulis oleh Hisbaron Muryantoro. Sebagai budayawan,
kiprah Koesnadi Hardjasoemantri dalam memajukan seni tradisi memang patut dibanggakan.
Akhirnya ulasan tentang multikulturalisme Budaya Pendhalungan di Jawa Timur tulisan
Christanto P Rahardjo, menambah edisi Jantra kali ini menjadi lebih lengkap dan komplit.
Selamat Membaca.
Redaksi
ii
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
DAFTAR ISI
Halaman
Pengantar Redaksi ii
Daftar Isi iii
Air, Makna, Fungsi, dan Tradisi 125
Ernawati Purwaningsih
Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris 131
Isyanti
Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa 136
Sumintarsih
Makna Simbolik Sajen Tingkeban 145
Isni Herawati
Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa 152
Titi Mumfangati
Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta 160
Endah Susilantini
Makna Simbolik Tradisi Prosesi di Gereja Ganjuran 167
Emiliana Sadilah
Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam 177
Siti Munawaroh
Perubahan dan Pergeseran Simbol di Kota Yogyakarta 1945 - 1949 184
Dwi Ratna Nurhajarini
Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus 191
Suwarno
Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural 198
Christanto P Rahardjo
Bi Bibi Tumbas Timun, Permainan Tradisional Yang Sarat Makna 206
Suyami
Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya 213
Hisbaron Muryantoro
Biodata Penulis 220
iii
Air, Makna, Fungsi dan Tradisi (Ernawati Purwaningsih)
Abstrak
1
Isdwi Rahmarto. “Air Mata Air”, dalam Kedaulatan Rakyat. Rabu Wage 28 Maret 2007, hal. 12.
2
Heddy Shri Ahimsa-Putra. “Sistem Air Kehidupan”, dalam Kedaulatan Rakyat. Sabtu Pon 17 Maret
2007, hal. 14.
125
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
pokok bagi makhluk hidup. Manusia meng- selama kurun waktu yang lama. Kearifan
gunakan air tidak hanya untuk minum dan berisikan gambaran atau tanggapan
makan, akan tetapi juga untuk mengairi masyarakat bersangkutan tentang hal-hal
tanaman, sarana transportasi, juga berfungsi yang berkaitan dengan struktur lingkungan,
untuk membersihkan, seperti mencuci bagaimana lingkungan berfungsi, bagaimana
badan, makanan, pakaian, peralatan dapur. reaksi alam atas tindakan manusia, serta
Masih menurut Ahimsa,3 kualitas air di hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta
sekeliling kita jelas menurun dibanding antara manusia dan lingkungan alamnya.5
dengan beberapa dasawarsa yang lalu. Kearifan, tradisi yang tercermin dalam
Penurunan kualitas air disebabkan ulah sistem pengetahuan dan teknologi lokal di
manusia. Kehadiran manusia yang mem- berbagai daerah, secara dominan masih
butuhkan air memang dapat mengganggu diwarnai nilai-nilai adat, seperti bagaimana
kelestarian air itu sendiri, yang berarti juga suatu kelompok sosial melakukan prinsip
membahayakan kelestarian kehidupan konservasi, managemen dan eksploitasi
manusia itu sendiri. Hal yang dapat sumberdaya alam, ekonomi, dan hubungan
dilakukan untuk menghambat penurunan sosial.
ataupun memperbaiki kualitas air yaitu
dengan memperlakukan alam dalam hal ini Sumberdaya Air
air dengan arif. Menurut UU Nomor 11 tahun 1974,
yang dimaksud dengan sumberdaya air
Batasan Kearifan (water resources) adalah semua air yang
Kearifan (wisdom) yang maknanya terdapat di dalam dan atau berasal dari
disepadankan dengan pengetahuan, sumber-sumber air, baik yang ada di atas
kecerdikan, kepandaian, keberilmuan, dan maupun di bawah permukaan tanah (tidak
kebijaksanaan dalam pengambilan ke- termasuk air yang terdapat di laut). Sumber-
putusan yang berkenaan dengan penye- daya air dapat digolongkan menjadi 3 (tiga),
lesaian atau penanggulangan suatu masalah yaitu air permukaan seperti sungai, danau,
atau serangkaian masalah yang pelik dan waduk, dan rawa; air tanah termasuk mata
rumit. Kearifan adalah seperangkat air dan air udara (curah hujan). Sumberdaya
pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu air merupakan sumberdaya yang dapat
kelompok masyarakat setempat (komunitas) diperbaharui. Artinya, meskipun air yang
yang terhimpun dari pengalaman panjang dibutuhkan untuk keperluan makhluk hidup
menggeluti alam dalam ikatan hubungan telah diambil, maka air tersebut tidak akan
yang saling menguntungkan kedua belah habis, akan tetapi akan tersedia kembali.6
pihak (manusia dan lingkungan) secara Berbagai cara dilakukan manusia untuk
berkelanjutan dan dengan ritme yang mendapatkan air bagi keperluan hidupnya.
harmonis.4 Air tersebut berasal dari air hujan, air
Tim G. Babcock menyebutkan bahwa permukaan dan air tanah, sesuai dengan
kearifan adalah pengetahuan dan cara kebutuhan dan kondisi daerahnya. Air hujan
berpikir dalam kebudayaan suatu kelompok yang turun ke bumi ini ada yang kembali ke
manusia yang merupakan hasil pengamatan laut dan ada juga yang masuk ke dalam
3
Ibid.
4
Imam Habibudin. “Kearifan Lokal Masyarakat”, dalam Pengelolaan Repong Damar Untuk Mendukung
Konservasi Lingkungan di Pesisir Krui Lampung Barat. (Tesis) Pasca Sarjana. (Yogyakarta: UGM, 2006).
5
Sumintarsih. Kearifan Lokal Nelayan Madura. (Yogyakarta: BKSNT, 2005).
6
Muhammad Aris Marfai. Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis Atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan.
(Yogyakarta: Penerbit Wahana Hijau, 2005).
126
Air, Makna, Fungsi dan Tradisi (Ernawati Purwaningsih)
tanah. Air hujan yang kembali ke laut disebut kebutuhan. Apabila kebutuhan irigasi hanya
juga dengan air permukaan, yaitu yang berasal dari air permukaan, maka bisa jadi
mengalir melalui sungai atau langsung ke pemenuhan kebutuhan air tidak sebanding
laut. Sedangkan air hujan yang masuk ke dengan kebutuhan yang diharapkan,
tanah disebut sebagai air tanah. misalnya air sungai kering atau sebaliknya
Salah satu sumberdaya air yang di- air sungai melimpah, sehingga kedua
anggap paling murah dan mudah men- kondisi tersebut dapat merusak tanaman.
dapatkannya adalah air tanah. Namun Preferensi manusia untuk memenuhi
demikian, tidak semua air tanah mempunyai kebutuhan hidupnya terhadap sumberdaya
kualitas yang baik. Kualitas air tanah di suatu air yaitu lebih pada sumberdaya air tanah.
daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor Hal ini disebabkan umumnya air tanah
yaitu: iklim, tanah dan batuan, vegetasi, tersebar luas dan pemanfaatannya dapat
waktu dan aktivitas manusia.7 dilakukan di daerah yang memerlukan
dengan biaya lebih murah dibandingkan
Pemanfaatan Sumberdaya Air pemanfatan air permukaan (sungai).
Sumberdaya air yang banyak dimanfaat-
kan terutama oleh manusia adalah sumber- Permasalahan Terkait Dengan Sumber-
daya air bawah tanah atau disebut juga air daya Air
tanah. Sumberdaya air tanah memainkan Banjir merupakan fenomena alam yang
peranan penting di dalam penyediaan hampir dapat dipastikan terjadi bersamaan
pasokan kebutuhan akan air bagi berbagai dengan datangnya musim hujan. Bencana
keperluan. Air tanah digunakan untuk banjir, tanah longsor, kekeringan, merupakan
keperluan air minum baik bagi penduduk di akibat ulah, perilaku dan hasil kerja manusia
pedesaan maupun perkotaan. Kualitas air dalam memberlakukan dan mengelola
tanah berpengaruh juga pada kesehatan. sumberdaya alam dan lingkungannya.
Kualitas air tanah yang jelek, apabila Kesalahan pengelolaan terhadap kondisi
dipergunakan untuk kebutuhan minum dan alam dan sumberdayanya merupakan faktor
makan tentunya akan menim-bulkan penting yang menjadi penyebab utama
penyakit, sebagai contoh, air tanah yang terjadinya bencana banjir, tanah longsor,
mengandung bouksit berdampak pada kekeringan. Banjir dapat terjadi oleh bebe-
kerusakan gigi. Air tanah yang banyak rapa sebab;
mengandung kapur berdampak pada ginjal. 1. Terjadinya penggundulan hutan dan
Demikian juga dengan air tanah jika rusaknya kawasan resapan air di daerah
digunakan untuk mencuci serta mandi, hulu;
apabila kualitasnya jelek maka pakaian yang 2. Beralihnya fungsi penggunaan lahan di
dicuci tidak dapat bersih dan apabila untuk daerah hulu yang semula kawasan
keperluan mandi, akan berpengaruh terhadap pertanian dan budidaya menjadi ka-
kulit. wasan pemukiman dan atau kawasan
Selain untuk kebutuhan domestik terbangun;
(misalnya mandi, mencuci, air minum, dsb.) 3. Pendangkalan di saluran sungai dan
air tanah juga dimanfaatkan untuk kebutuhan drainase;
industri dan pertanian. Bagi petani, 4. Perilaku manusia dan dampak pemba-
kebutuhan air tanah penting untuk irigasi. ngunan fisik kota;
Pemanfaatan air tanah untuk keperluan 5. Tidak adanya kesadaran dan kepekaan
irigasi umumnya diatur sesuai dengan lingkungan dari perilaku masyarakat;
7
Rosalina Rosina Mirino. Evaluasi Potensi Sumberdaya Airtanah Bebas di Distrik Ransiki Kabupaten
Manokwari Propinsi Papua. (Tesis) Pasca Sarjana. (Yogyakarta: UGM, 2005).
127
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
6. Tidak dipatuhinya berbagai regulasi dahulu yaitu sebagai negara yang subur
terutama berkaitan dengan kegiatan makmur, gemah ripah loh jinawi rasanya
pembangunan.8 sulit. Namun, paling tidak jangan mem-
Banjir yang melanda Ibukota Jakarta perparah keadaan atau menambah kerusakan
pada awal tahun 2007 sebagai suatu lingkungan. Dengan berlaku arif terhadap
fenomena betapa kearifan lingkungan lingkungan, paling tidak hal itu dapat
kurang diperhatikan dan cenderung di- membantu dalam mengurangi resiko
abaikan. Bangunan beton atau gedung bencana alam terutama sebagai akibat ulah
pencakar langit berlomba menghiasi bumi manusia.
Jakarta, sementara luas area untuk resapan Reaktualisasi nilai-nilai budaya yang
air hujan semakin sempit. mempunyai bentuk kearifan terhadap
Pada daerah lain di tanah air, kasus lingkungan mulai perlu dihidupkan kembali
penebangan hutan secara liar (illegal di dalam masyarakat, setelah sekian lama
logging), aktivitas penambangan dalam mati suri tenggelam akibat individualisme
hutan, dan meluasnya kebakaran hutan (hot yang kian menggejala dalam masyarakat
spot) baik di Sumatera, Kalimantan dan modern. Kegiatan gotong royong mem-
Jawa, merupakan faktor rusaknya sumber- bersihkan lingkungan, saluran air, peka-
daya hutan di Indonesia sehingga apabila rangan dan tertib pembuangan sampah perlu
musim penghujan datang maka bencana mendapatkan porsi waktunya kembali di
alam banjir dan tanah longsor menjadi tengah-tengah masyarakat kita yang sudah
ancaman serius di berbagai wilayah tersebut. materialis-individual. Menumbuhkan kesa-
Terkait dengan kerusakan lingkungan di atas, daran untuk tidak membuang sampah
maka perlu kiranya kita kembali lagi sembarangan, membuat sumur resapan air
menengok ke belakang, bagaimana nenek hujan, dan berbagai tindak kepedulian
moyang kita dalam memperlakukan lingkungan lainnya perlu digalakkan sebagai
lingkungannya. bentuk kesadaran budaya yang harus terus
dipelihara.9
Wujud Kearifan Sumberdaya Air Dalam Upacara bersih sendhang merupakan
Upacara Bersih Sendhang bentuk dari suatu tradisi. Dalam upacara
Ungkapan untuk menggambarkan bumi bersih sendhang terkandung nilai-nilai yang
Nusantara sebagai daerah yang gemah ripah dapat dipakai sebagai alat pemersatu, gotong
loh jinawi untuk kondisi sekarang ini royong, dan pengendali sosial. Sebagai alat
sepertinya sudah tidak cocok lagi. Konversi pemersatu yaitu tampak dalam pelaksanaan
areal pertanian semakin meluas dari tahun upacara saat mereka secara bersama-sama
ke tahun, baik untuk kepentingan ekonomi, melaksanakan upacara dengan satu tujuan
sarana dan prasarana maupun untuk yaitu untuk mendapatkan berkah ke-
pemukiman. Demikian juga dengan hutan, selamatan, kesejahteraan, dan ketentraman.
banyak yang gundul akibat dari penebangan Nilai gotong royong nampak dari mayarakat
liar, pembuangan limbah yang seenaknya pendukung upacara dalam persiapan hingga
atau tidak adanya pengelolaan limbah pelaksanaan upacara, baik dari tempat
dengan baik. Kesemuanya itu berpengaruh maupun kelengkapan upacara. Nilai gotong
pada kerusakan lingkungan yang pada royong, terwujud dalam bentuk kerja bakti
akhirnya mengakibatkan bencana alam seluruh masyarakat pendukung upacara
seperti banjir, tanah longsor, kekeringan. dalam membersihkan lingkungan di sekitar
Untuk kembali kepada keadaan jaman mata air yang akan menjadi tempat pelak-
8
Sumintarsih, op.cit.
9
Ibid.
128
Air, Makna, Fungsi dan Tradisi (Ernawati Purwaningsih)
sanaan upacara bersih sendhang. Sebagai adalah suatu cara melestarikan hutan yang
pengendali sosial, upacara bersih sendhang dianggap sebagai pelindung masyarakat. Di
secara langsung maupun tidak langsung daerah tersebut, ada tradisi yang mengatur
membuat masyarakat pendukungnya dapat lingkungan termasuk penebangan hutan
berbuat arif terhadap lingkungannya, yaitu untuk keperluan pribadi, sehingga tidak akan
dengan berbagai pantangan, misalnya tidak menimbulkan bahaya banjir. Di daerah ini
boleh mengotori lingkungan sendhang, tidak hampir sebagian besar warga masyarakat
boleh menebang atau menggunduli hutan di menanam pohon keras yang memberikan
sekitar sendhang. corak penghidupan baru.11
Beberapa contoh upacara bersih Uraian di atas menggambarkan bahwa
sendhang adalah bersih sendhang Pokak di suatu tradisi dalam upacara bersih sendhang
Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten; merupakan wujud kearifan lokal terhadap
upacara bersih kali di Dusun Gunung Bang, sumberdaya air. Masyarakat pendukung
Bejiharjo Karangmojo, Gunungkidul; upacara bersih sendhang memperlakukan
upacara mohon hujan di Desa Kepuharjo, sumberdaya air agar tetap lestari keberadaan-
Cangkringan, Sleman. Upacara bersih nya yaitu dengan selalu menjaga kebersihan
sendhang ini dilakukan di mata air yang sendhang, mentaati larangan ataupun pan-
menjadi sumber kehidupan masyarakat tangan yang terkait dengan sendhang,
sekitar sendhang. Upacara tersebut sebagai menjaga kelestarian lingkungan sendhang
ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang dengan tidak menebangi pohon di se-
Maha Esa, meneruskan apa yang telah kitarnya. Dengan tetap menjaga kelestarian
dilakukan leluhurnya untuk tetap bersyukur sendhang, maka sumber mata air tetap
dan sebagai media untuk memohon agar terjaga dengan baik. Selain itu, upacara
tetap diberi keselamatan, kesuburan, dan bersih sendhang yang bertujuan sebagai
ketentraman di daerah masyarakat ungkapan rasa syukur pada Tuhan yang
pendukungnya. Maha Esa berfungsi untuk selalu menjaga
Upacara minta hujan di Desa Kepuharjo hubungan dengan Sang Pencipta dan sebagai
disebut upacara becekan. Upacara ini dila- kontrol sosial dalam berperilaku terhadap
kukan oleh tiga pedukuhan di Desa Ke- alam lingkungan.
puharjo yaitu: Pagerjurang, Manggong, dan
Kepuh. Upacara mohon hujan ini dilatar- Penutup
belakangi keadaan desa tersebut pada jaman Air merupakan sumber kehidupan bagi
dahulu. Menurut cerita, sejak jaman dahulu makhluk hidup, termasuk manusia. Keter-
ketiga dusun tersebut selalu menghadapi sediaan air baik secara kualitas maupun
masalah kesulitan air. Pada musim kemarau, kuantitas hendaknya senantiasa dijaga
untuk mendapatkan air mereka terpaksa kelestariannya. Pengelolaan sumberdaya air
berjalan jauh ke mata air yang berada di secara arif dan bijaksana menjadi hal penting
sungai. karenanya mereka melakukan dalam menjaga kelestariannya.
upacara minta hujan secara bersama-sama.10 Upacara bersih sendhang merupakan
Masyarakat Desa Kepuharjo sudah salah satu wujud dari kearifan terhadap
sejak dahulu melestarikan lingkungan sumberdaya air yang perlu terus dilestarikan.
dengan arif. Kearifan lingkungan (ekologi)
10
Moertjipto dkk. Upacara Tradisional Mohon Hujan di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (Yogyakarta: Bagian Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997).
11
Ibid.
129
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “Sistem Air Kehidupan”, dalam Harian Kedaulatan Rakyat.
Sabtu Pon 17 Maret 2007.
Habibudin, Imam, 2006. “Kearifan Lokal Masyarakat”, dalam Pengelolaan Repong
Damar Untuk Mendukung Konservasi Lingkungan di Pesisir Krui Lampung
Barat. (Tesis). Yogyakarta: Pascasarjana UGM.
Marfai, Muhammad Aris, 2005. Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis Atas Krisis
Lingkungan Berkelanjutan. Yogyakarta: Penerbit Wahana Hijau.
Mirino, Rosalina Rosina, 2005. Evaluasi Potensi Sumberdaya Airtanah Bebas di
Distrik Ransiki, Kabupaten Manokwari Propinsi Papua. (Tesis). Yogyakarta:
Pascasarjana UGM.
Moertjipto, Sri Retno Astuti dan Sri Sumarsih, 1997. Upacara Tradisional Mohon Hujan
di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Bagian Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rahmarto, Isdwi. “Air Mata Air”, dalam Kedaulatan Rakyat. Rabu Wage 28 Maret
2007.
Sumintarsih, 2005. Kearifan Lokal Nelayan Madura. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
130
Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris (Isyanti)
Abstrak
1
Mulyadi. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi DIY. (Yogyakarta: Proyek P2NB Depdikbud,
1982/1983), hal. 2.
2
Van Peursen. Strategi Kebudayaan. (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1976), hal. 4.
131
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
3
Budi Santoso. “Pembangunan Nasional dalam Perkembangan Kebudayaan”, Makalah Pengarahan
Kajian dan Pembinaan Kebudayaan Pada Penyuluhan Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah.
(Yogyakarta: Depdikbud, 1983/ 1984), hal. 8.
4
Van Peursen, op.cit., hal. 18.
5
Has. “Merti Bumi Di Guyur Hujan” dalam Kedaulatan Rakyat. 27 Februari 2007, hal. 24.
132
Tradisi Merti Bumi Suatu Refleksi Masyarakat Agraris (Isyanti)
6
Titi Mumfangati. Makna dan Fungsi Nyadran Kali di Kabupaten Magelang. Naskah belum diterbitkan.
(Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006 ), hal. 6.
133
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Daftar Pustaka
Budi Santoso, 1983/1984. “Pembangunan Nasional dan Perkembangan Kebudayaan”,
Makalah Pengarahan Kajian dan Pembinaan Kebudayaan Pada Penyuluhan
Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Daerah. Yogyakarta: Depdikbud.
Has. “Merti Bumi di Guyur Hujan”, dalam Kedaulatan Rakyat. 27 Februari 2007.
Mulyadi, 1982/1983. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY.
Yogyakarta: Proyek P2NB Depdikbud.
Titi Mumfangati, 2006. Makna dan Fungsi Nyadran Kali di Kabupaten Magelang.
Naskah belum diterbitkan. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Van Peursen, 1974. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
135
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Sumintarsih
Abstrak
1
J.V. Ball. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antopologi Budaya (Hingga decade 1970). (Jakarta: Gramedia,
1984).
2
B. Rahmanto. “Ke Arah Pemahaman Lebih Baik Tentang Mitos”, Basis. No. 2, Yogyakarta, 1993.
136
Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa (Sumintarsih)
3
B. Herusatoto. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta: Hanindita, 1984).
4
Tradisi merupakan sejumlah kepercayaan, pandangan atau praktik yang diwariskan dari generasi ke
generasi (secara lisan atau lewat tindakan), yang diterima oleh suatu masyarakat atau komunitas sehungga
menjadi mapan dan mempunyai kekuatan seperti hukum (Ahimsa-Putra, tt).
5
Mitos tentang asal-usul padi di Pasundan Jawa Barat dikenal nama Ni Pohaci; mitos tentang asal-usul
padi di Kalimantan dikenal dengan Putri Liung Indung Bunga; mitos asal-usul padi di Jawa, Madura, Banyumas,
dikenal tokoh Dewi Sri.
6
H. Santiko. “Dewi Sri di Jawa”, Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi. (Jakarta: Pusat Penelitian
Purbakala dan Peninggalan Nasional Departemen P dan K, 1980).
137
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Berkaitan dengan ini kemudian di ling- menetapkan contoh model bagi semua tin-
kungan masyarakat agraris muncul kultus dakan manusia baik dari upacara dan
dewi ibu.7 kegiatan sehari-hari yang bermakna.11
Inti dari mitos terjadinya tumbuh- Unsur pemujaan kesuburan tersebut
tumbuhan pada umumnya menceritakan hal terdapat dalam mitos tanaman yaitu bahwa,
yang sama, yaitu munculnya berbagai jenis tokoh wanita sebagai pemeran utama ter-
tumbuh-tumbuhan yang diperlukan manusia jadinya tumbuh-tumbuan.Dalam kebu-
dari tubuh seorang perempuan. Mitos asal dayaan agraris perempuan dianggap yang
mula tumbuh-tumbuhan ini sangat berhu- ‘melahirkan’ segala sesuatu di dunia ini ter-
bungan dengan seorang dewi ibu (mother- masuk tumbuh-tumbuhan yang dibutuhkan
godess) yang dalam kebudayaan agraris manusia; Tokoh perempuan dalam mitos
dianggap yang melahirkan tumbuh- tersebut merupakan analogi dari tumbuh-
tumbuhan yang dibutuhkan manusia. Dalam tumbuhan yang sebenarnya merupakan
upacara-upacara keagamaan terutama yang lambang dari biji-bijian tanaman.
berkaitan dengan harapan manusia terhadap Jadi mitos asal mula tanaman yang
hasil (pertanian) yang melimpah, maka sangat penting dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat pada umumnya melakukan manusia termasuk di sini padi, biasanya
pemujaan terhadap tokoh perempuan yang kejadiannya dihubungkan dengan tokoh
diwujudkan dengan arca-arca kecil yang dewa-dewi dalam agama Hindu. Misalnya
terbuat dari batu, tulang, atau tanduk.8 Gam- Dewi Sri (atau jelmaan Laksmi) dalam
baran tokoh perempuan yang disimbolkan cerita-cerita mitos dewi kesuburan Dewi Sri
sebagai dewi kesuburan dapat dilihat dari selalu didampingi Dewa Wisnu (menjelma
beberapa peninggalan kuno yang ada di sebagai Sadhana). Banyak mitos tentang
Indonesia dalam bentuk arca maupun relief.9 kelahiran, penerus keturunan yang kemudian
Kebudayaan agraris dengan tokoh dewi ibu dihubungkan dengan tokoh perempuan.
sudah ada sebelum ditemukan cara-cara Berkaitan dengan ini kemudian muncul
bercocoktanam.10 kultus dewi ibu dalam masyarakat agraris.
Mitos dewi kesuburan membuktikan Dalam konteks budaya lokal (local
adanya penghormatan dan pemujaan yang genius) hal tersebut menandai bahwa dalam
dilakukan oleh para pemilik mitos tersebut. sistem kepercayaan masyarakat ada
Sampai sekarang ritus-ritus pemujaan hubungan antara otoritas leluhur dengan
terhadap Dewi Sri masih berlangsung, pendukung budaya ritual tersebut. Disebab-
khususnya yang berkaitan dengan pertanian. kan oleh hal ini kemudian timbul ritus-ritus
Upacara-upacara yang dilakukan oleh ma- pemujaan, yang bermakna bagaimana
syarakat tertentu pada umumnya berorientasi partisipasi tokoh supranatural itu dapat
pada tindakan-tindakan yang telah dilakukan memberikan ‘sesuatu’ yang bernilai transe-
oleh para leluhurnya. Dapat dikatakan di dental bagi pemujanya. Perilaku pemujaan
sini bahwa fungsi mitos yang utama adalah
7
H. Hadiwijono. Agama Hindu dan Budha. (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1987).
8
H. Santiko, op.cit.
9
Terdapat di Candi Prambanan pada Candi Siwa, dan Wisnu; pada Candi Borobudur, Pawon, dan Mendut
(Albilladiyah, 1993). Dalam relief-relief candi menggambarkan seorang dewi yaitu tokoh Hariti. Dalam agama
Hindu, Hariti dikenal sebagai dewi pelindung anak-anak, sedangkan dalam agama Buddha, Hariti merupakan
lambang kesuburan. Tokoh Hariti dipahatkan di dinding pintu masuk Candi Mendut dan Candi Banyutibo.
Hariti juga terdapat di Trowulan, Mojokerto, juga Bali. Ciri-ciri Hariti sebagai dewi kesuburan digambarkan
dengan payudara, perut, dan pinggul serba besar (Albiladiyah, 1993).
10
H. Santiko. Ibid.
11
PS. Harysusanto. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliede. (Yogyakarta: Kanisius, 1987).
138
Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa (Sumintarsih)
12
Dalam masyarakat agraris Jawa Dewi Sri digambarkan sebagai simbol Dewi Kesuburan. Konsep
perempuan sebagai simbol kesuburan berkaitan erat dengan masalah produksi dan reproduksi, maka
dimunculkan dalam cerita mitos Dewi Sri seorang tokoh Sadhana sebagai pelengkap simbol kesuburan; simbol
kelaki-perempuanan ini merupakan oposisi eksplisit dalam konteks keturunan (Willis, 1979).
12
Dalam masyarakat agraris Jawa Dewi Sri digambarkan sebagai simbol Dewi Kesuburan. Konsep
perempuan sebagai simbol kesuburan berkaitan erat dengan masalah produksi dan reproduksi, maka
dimunculkan dalam cerita mitos Dewi Sri seorang tokoh Sadhana sebagai pelengkap simbol kesuburan; simbol
kelaki-perempuanan ini merupakan oposisi eksplisit dalam konteks keturunan (Willis, 1979).
13
Slametan, adalah ritus-ritus yang dilakukan dengan sederhana dengan membuat sesaji yang dikendurikan
oleh masyarakat bersangkutan. Ritus-ritus tersebut dapat meliputi sekitar daur-hidup (lifecycle), maupun
yang terkait dengan sumber-sumber kehidupan, terhadap alam supranatural, arwah leluhur/nenek moyang,
dan ritus-ritus lain untuk keselamatan dan perlindungan manusia.
14
F. Magnis Suseno. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafati Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. (Jakarta:
Gramedia, 1989).
139
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
dalam mengolah sawahnya harus telaten dan Ritual methik pada umumnya dilaksa-
selalu berharap alam lingkungan memihak nakan dengan pola umum yang hampir sama
kepadanya. Oleh sebab itu keberhasilan dari daerah ke daerah. Satu atau dua hari
petani di dalam mengolah sawahnya, dari sebelum panen dimulai, dhukun methik
proses menanam padi sampai padi akan membawa sesajian ke sawah dan mengitari
mrekatak (keluar malainya secara bersama- sawah tersebut satu kali putaran searah
sama) dan kemudian meteng atau hamil, jarum jam, lalu menuju ke bagian tengah di
dianggap merupakan anugerah dari Yang Di mana dipilih suatu tempat sebagai titik fokus
Atas dan perlindungan dari Dewi Sri. Atas ritus methik. Setelah membaca suatu man-
dasar itu kemudian ditingkebi supaya padi tra ia segera memotong beberapa tangkai
yang hamil selamat sampai panen nanti. padi dan menganyamnya. Kepangan atau
Jadi upacara Tingkep Tandur merupa- anyaman tangkai padi tersebut lalu digen-
kan ungkapan rasa syukur petani kepada dong oleh dhukun, dipayungi layaknya
Yang Di Atas, pencipta alam semesta yang seperti bayi.
telah memberikan rezeki dan perlindungan Jadi dalam prosesi methik yang berperan
kepada petani. 15 Ungkapan rasa syukur adalah dhukun methik. Tangkai-tangkai padi
karena tanaman padi mereka sudah berbuah yang dipotong dengan jumlah yang disesuai-
juga ditujukan kepada Dewi Sri, dewi padi. kan dengan perhitungan Jawa, kemudian
Dewi Sri adalah tokoh mitos yang lekat dikepang (dianyam) yang mentransforma-
dengan kehidupan petani, yang diyakini sikan kepangan tangkai-tangkai padi tersebut
sebagai pelindung dan penjaga padi milik sebagai pengantin Sri. Sesajian dipersem-
petani. Oleh karenanya masyarakat petani bahkan atas nama Dewi Sri, dan hingga
meyakini bahwa melaksanakan upacara ini benih padi sebagai figur Dewi Sri menjadi
merupakan syarat untuk keberhasilan panen. kering, yang selanjutnya akan disertakan
Dalam prosesi upacara tersebut disertakan untuk ditanam pada musim-musim ke-
sesaji dan perlengkapan upacara.16 mudian. Padi yang terkandung dalam figur
Upacara methik atau panen padi pertama ‘Sri’ tersebut tidak pernah dikosumsi. Ritus
dilakukan sebagai penghormatan kepada methik ini menunjukkan bahwa Mbok Sri
Dewi Sri yang telah menjaga padi sampai pelindung spiritual atas satu dunia kehidupan
lahir atau panen. Upacara menuai padi yang pertanian dan kerumahtanggaan Jawa.18
pertama kali (atau disebut wiwit atau methik) Pengepangan tangkai padi menjadi
ini, dilakukan dengan prosesi upacara me- pengantin ‘Sri’ adalah suatu proses generasi
motong tangkai padi dan kemudian dibalut yang bertalian dengan ranah reproduksi
dengan kain putih seperti pengantin. Padi manusia, dan juga reproduksi pertanian.
yang dipotong tersebut dinamakan parijatha. Melalui substitusi mitologis, figur ‘Sri’
Tangkai padi kemudian dibawa ke empat mempresentasikan suatu surplus di mana
sudut petak sawah yang akan dituai setelah simpanan padi dari satu panen hasilnya
itu padi dibawa pulang dan disimpan ke melimpah dalam panen berikutnya.
dalam lumbung.17
15
Upacara tingkeb tandur masih dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat di Desa Kanoman,
Beran, Sungapan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo.
16
Petani membawa besek atau ancak berisi nasi dan lauk-pauk (tempe, peyek gereh, bakmi, sambel alus,
tumis buncis/kacang panjang; pisang pulut, pisang raja bandung; pengaron rasulan berupa tumpeng nasi
gurih, ingkung, urap, jajan pasar, pisang; dan bunga telon.
17
Lumbung adalah tempat menyimpan padi hasil panen.
18
J. Pamberton. The Appearance of Order: A Politics of Culture in Colonial and Post colonial Java. A
Dessertation Presented to the Faculty of the Graduate School of Cornell University in Partial Fulfillment of
the Requirements for the Degree of Doctor of Philosophy, 1989.
140
Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa (Sumintarsih)
Perkawinan penari tayub menyiapkan sesaji yang dianta-
Kehadiran figur Dewi Sri juga tampak ranya terdapat seuntai padi yang diletakkan
dalam upacara perkawinan, di mana di tempat di mana dia menari. Untaian padi
pertalian antara reproduksi pertanian dan tersebut sebagai simbol Dewi Sri yang diya-
reproduksi manusia berada dalam ritus kini akan memberi pancaran figurnya kepada
kedua dari rangkaian ritus temu pengantin. penari tayub.
Pengantin perempuan dan pengantin laki- Pengejawantahan yang bertalian dengan
laki bersama-sama melangkahi sebuah figur Sri juga dalam acara midodareni.21
bajak19 yang ditempatkan di ambang pintu Oleh dhukun wanita dalam suatu upacara
masuk rumah di mana upacara perkawinan perkawinan pengantin wanita berusaha
tersebut diselenggarakan. Ritus mengguna- ditampilkan oleh dhukun tersebut sebagai
kan bajak sedikit banyak meretensi pengejawantahan yang bertalian dengan
pertaliannya dengan proses reproduksi Sri.20 dunianya Dewi Sri yang menyimbolkan ke-
Di bajak tersebut tertera tanda-tanda dari suburan. Pada malam midodareni menurut
kapur mengenai ramalan yang bertalian keyakinan dhukun pengantin, terjadi proses
dengan reproduksi manusia dan reproduksi substitusi yang mentransformasi sang
pertanian. Bajak yang digunakan untuk ritus pengantin perempuan menjadi figur Dewi
perkawinan itu secepatnya kemudian Sri.
digunakan untuk mengolah lahan sawah, Disebut oleh Pamberton bahwa ritus-
supaya dapat ‘memberikan berkah’ kepada ritus dalam perkawinan pada dasarnya sama
sawah dengan panen yang melimpah. dengan kekuatan-kekuatan yang mengaktif-
Jadi ada hubungan simbol kesuburan kan adar-istiadat pemetikan hasil panen
antara manusia dengan pertanian. Seperti sawah. Pada umumnya orang menyebutkan
diketahui pada alat pertanian bajak (yang ritus panen atau methik dikatakan sebagai
digunakan untuk upacara pengantin) biasa- ‘pernikahan tangkai padi’. Ritus ini ber-
nya tertera suatu perhitungan yang bertalian kaitan dengan cerita Sri Sadhana22 yang
dengan reproduksi manusia; maknanya ada- terkenal itu.
lah ramalan yang bertalian antara reproduksi
manusia (anak keturunan), dan juga repro- Dewi Sri Dalam Ritus Mitoni
duksi pertanian (kesuburan tanah). Pada saat kehamilan seorang perem-
Pada saat panen padi melimpah, di desa- puan mencapai usia tujuh bulan, maka untuk
desa biasanya diadakan upacara sedhekah menjaga keselamatan bayi yang ada dalam
bumi. Dalam rangkaian upacara sedhekah kandungan, dalam tradisi Jawa terdapat
bumi tersebut, ada yang menyertakan penari upacara yang disebut mitoni atau tingkeban.
tayub sebagai personifikasi penghormatan Ketika kehamilan seorang perempuan
kepada Dewi Sri. Dalam tarian ritual itu berusia tujuh bulan, dalam kepercayaan
19
Bajak adalah alat pertanian yang terbuat dari kayu yang berfungsi untuk menggemburkan tanah.
20
H. Santiko, op.cit.
21
Midodareni, adalah rangkaian prosesi perkawinan, di mana sebelum acara perkawinan dilangsungkan
malam harinya ada acara midodareni yang diyakini saat itu pengantin wanita mendapat pancaran cahaya
kecantikan dari para bidadari, di antaranya hadirnya figur Sri dalam diri pengantin.
22
Ringkasan cerita Sri-Sadhana berfokus pada petualangan Dewi Sri dan adik laki-lakinya Sadhana.
Keduanya anak raja Mahapanggung. Setelah Sadhana dewasa ia tidak mau mengikuti kemauan ayahnya agar
cepat menikah, tetapi Sadhana malahan menaruh cinta terhadap Dewi Sri kakaknya. Sri-Sadhana dimarahi
ayahnya kemudian meninggalkan istana diikuti oleh Dewi Sri. Setelah mengetahui anaknya pergi, raja kemudian
minta tolong kepada raja raksasa yang datang melamar Dewi Sri untuk mencarikan anaknya tersebut. Akhir
cerita pada perjalanan yang panjang terjadi inkarnasi Dewi Sri menjadi ular sawah, dan Sadhana menjadi
burung. Keduanya mengalami transformasi menjadi dewa pemurah yang untuk selamanya mendarmabaktikan
dirinya untuk kemakmuran: yaitu Dewi Sri menjamin kesuburan, dan Sadhana menjamin kekayaan.
141
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
orang Jawa kehamilan berumur tujuh bulan telah digambarkan dalam dua cengkir
dianggap umur yang ‘rawan’ terhadap gadhing tersebut. Ukiran gambar dalam
bebendu (bencana) atau tahap yang cengkir gadhing tersebut merupakan
mengharuskan perempuan hamil tersebut personifikasi hadirnya sepasang dewa-dewi
harus hati-hati dalam menjaga kehamilannya yang mengandung harapan si bayi tidak
supaya lahir sesuai waktunya. Ada hanya lahir ‘cantik’ (bila perempuan), dan
kepercayaan kehamilan umur tujuh bulan ‘bagus’ (bila laki-laki) seperti halnya Sri-
dianggap usia kehamilan tua, namun Wisnu, atau Kamajaya-Kamaratih, tetapi
rasionalisasi dari kepercayaan ini tidak ada juga memiliki sifat-sifat seperti dewa-dewi
penjelasannya. Oleh sebab itu kemudian tersebut.
diadakan ritus-ritus mitoni.
Dalam upacara mitoni ini, ada yang Figur Sri Dalam Tata Ruang Rumah
diselenggarakan secara lengkap atau besar, Tradisional
ada yang sederhana, dengan membuat Penghormatan kepada Dewi Sri juga
slametan. Pada masa dahulu, prosesi ber- diekspresikan dalam sistem tata ruang
ganti pakaian tujuh kali setelah upacara bangunan rumah Jawa tradisional. Dalam
mandi, dilaksanakan di depan senthong tata ruang tersebut selalu ada ruang untuk
tengah, atau pasren. Sekarang prosesi tempat persinggahan Dewi Sri yang disebut
upacara tersebut bisa dilaksanakan di ruang pasren atau petanen, atau pedaringan yaitu
tengah atau di ruang mana saja tidak harus suatu ruangan yang terdapat di senthong
di depan senthong tengah. Demikian juga tengah. Senthong tengah oleh masyasrakat
pada upacara brojolan yang menggunakan agraris diyakini sebagai tempat istirahat
dua buah cengkir gadhing, bisa dilaksana- Dewi Sri, oleh sebab itu senthong tengah
kan di tempat upacara mandi atau di ruang tersebut juga dipergunakan untuk tempat
tengah. Dua buah cengkir gadhing tersebut pemujaan kepada Dewi Sri. Tempat tersebut
masing-masing digambari tokoh-tokoh yang merupakan simbolisasi keberadaan Dewi Sri
sudah akrab dalam mitos dongeng-dongeng sebagai dewi kesuburan, dewi padi yang
Jawa, misalnya Kamajaya-Kamaratih, Panji- disakralkan oleh petani. Segala sesuatu yang
Candrakirana, atau Wisnu-Sri. terkait dengan keberhasilan dan tidaknya
Upacara mitoni yang dilaksanakan di usaha tani mereka diyakini tergantung pada
senthong tengah merupakan simbolisasi Sri Dewi Sri. Oleh sebab itu petani melakukan
sebagai dewi kesuburan, dan penggambaran penghormatan kepada Dewi Sri dengan
sebuah tahap kehidupan yang harus dilalui menyediakan tempat khusus untuk tempat
oleh seorang perempuan yang mempunyai bersemayam Dewi Sri yang disebut pasren,
tugas mereproduksi generasi ke generasi. atau petanen tersebut.23 Jadi pasren atau
Upacara tersebut sekaligus juga sebagai petanen bagi petani merupakan simbol
simbol permohonan untuk keselamatan ke- adanya hubungan yang erat antara petani
hamilan dan kelahiran si bayi sesuai dengan dengan Sri. Petani melakukan penghormatan
gambaran yang ada dalam dua buah kelapa dengan melakukan ritual-ritual untuk Dewi
cengkir gadhing. Dua buah cengkir gadhing Sri, dan Dewi Sri diharapkan akan mem-
tersebut di samping sebagai simbol tunas berikan apa yang diinginkan petani yaitu
muda, juga sebuah simbol permohonan, bila hasil panen yang melimpah dari tahun ke
bayi lahir nanti diharapkan seperti yang tahun.
23
Pasren berasal dari kata dasar Sri, mendapat awalan pa dan akhiran an (pa-Sri-an), dalam Bahasa
Jawa menjadi lebur dan dibaca pasren yang berarti sebagai tempat Sri, Dewi Padi; Petanen berasal dari kata
dasar tani mendapat awalan pe dan akhiran an (pe-tani-an), yang artinya tempat Dewi Padi, dan tempat petani
menghormati Dewi Padi.
142
Dewi Sri Dalam Tradisi Jawa (Sumintarsih)
Pada rumah berarsitektur joglo milik tergantung kepada keberadaan Dewi Sri
seorang bangsawan, pasren dilengkapi penjaga sawah tempat sumber kehidupan
aksesori patung Loro Blonyo.24 Patung Loro mereka. Bahwa asal-usul benih kehidupan
Blonyo ini merupakan simbol bersatunya Sri- berasal dari dunia atas (dewa) dan yang
Sadhono sebagai lambang kesuburan. Se- diberikan kepada dunia bawah (manusia),
bagai simbol pasangan pengantin, diharap- maka untuk menjaga kelangsungan benih
kan sang pengantin diberi pancaran ke- kehidupan itu, dan menjaga keserasian hu-
cantikan seperti Dewi Sri, dan kesuburan bungan antara dunia atas dengan dunia ba-
untuk regenerasi sang pengantin. wah petani mengadakan ritus-ritus upacara.
Figur Dewi Sri dalam pemeliharaan Dalam proses pelestariannya dilaksanakan
pertanian maupun rumahtangga menjadi dari waktu ke waktu dengan menyesuaikan
kerangka acuan bagi orang Jawa khususnya situasi dan kondisi masyarakat pendukung-
petani Jawa di dalam memperlakukan tanah nya.
pertaniannya dan rumahnya. Dua hal yang Ritus-ritus atau upacara yang dilakukan
mendasari tindakannya ini adalah supaya manusia itu pada umumnya untuk memuja,
diberi keselamatan dalam melakukan menghormati, dan memohon keselamatan
pekerjaan pertanian dan adanya kepercayaan kepada nenek-moyang dan Tuhannya, yang
bahwa proses kehidupan tanaman sama merupakan kelakuan simbolis manusia
dengan kehidupan manusia. Oleh sebab itu untuk memohon keselamatan yang diatur
mereka berfikir untuk menjaga hubungan oleh adat yang berlaku. Dalam visualisasinya
spiritual terhadap yang memelihara tanah ritus-ritus itu selalu disertai dengan doa,
pertaniannya dengan melakukan ritus-ritus, sesaji, dan slametan atau kenduri.
upacara atau slametan. Mitos Dewi Padi, Dewi Kesuburan atau
Arsitektur rumah Jawa tradisional Dewi Sri sampai sekarang masih tetap hidup.
sekarang ini sudah semakin jarang dijumpai, Visualisasi pemujaan terhadap Dewi Sri
dengan kata lain rumah tradisional Jawa diekspresikan dalam bentuk upacara, sla-
yang memiliki ruang senthong tengah sudah metan seperti upacara tingkeb tandur,
jarang diketemukan. Ini berarti tradisi methik, maupun kehadiran figur Sri yang
pemujaan Dewi Sri di senthong tengah, atau diyakini berada di dalam senthong tengah,
pasren, atau petanen, pedaringan, yang dila- atau dalam prosesi perkawinan yang disebut
kukan oleh petani juga sudah mengalami midodareni.
pergeseran. Penghormatan terhadap Dewi Bagi orang Jawa alam empiris berhu-
Sri di rumah pada umumnya dilakukan oleh bungan erat dengan alam gaib, kepekaan
para petani dengan membuat sesaji yang orang Jawa terhadap dimensi dunia gaib-
diletakkan di ruangan lain, misal di tempat dunia empiris tersebut diungkapkan dengan
menumpuk padi, menyimpan beras sebelum berbagai cara misalnya adanya upacara
padi hasil panen dijual atau dikosumsi pertanian untuk mensiasati kelangsungan
sendiri, atau di dapur. hubungan tersebut. Di dalam hubungannya
dengan kepercayaan ini petani tradisional
Penutup Jawa sangat memperhatikan hal-hal yang
Cerita Sri-Sadhana merupakan berhubungan dengan kehidupan spiritual.
ungkapan dari struktur berfikir petani Jawa Dua hal yang mendasari petani untuk menga-
dalam mereka memperlakukan tanah dakan ritus-ritus pertanian adalah keinginan
pertaniannya, yang diyakini secara mitis untuk memperoleh keselamatan dalam
bahwa keberlangsungan usaha pertaniannya melaksanakan pekerjaan pertanian, dan
24
Patung Loro-blonyo berasal dari kata (loro = dua, blonyo = dilumuri atau diborehi) merupakan
pengejawantahan dari Dewi Sri. Patung loro blonyo adalah sepasang patung dari tanah liat atau ada juga yang
dari kayu dengan posisi duduk bersila yang melambangkan sepasang pengantin yang sedang duduk bersanding.
143
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H.S., 2006. “Tradisi/Adat-Istiadat: Pemahaman dan Penerapannya”,
Materi pembekalan di Direktorat Tradisi, Jakarta.
Albilladiyah, SI., 1993. “Pemujaan Hariti Pada Masa Klasik di Jawa Tengah dan
Persebarannya”. (Draft laporan penelitian). Yogyakarta: BKSNT.
Ball, J.V., 1988. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade
1970). Jakarta: Gramedia
Hadiwijono, H., 1987. Agama Hindu dan Budha. Jakarta: BPK.Gunung Mulia.
Harysusanto, PS., 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius.
Herusatoto, B., 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.
Magnis Suseno, F., 1989. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafati Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Pamberton, J., 1989. The Appearance of Order: A Politics of Culture in Colonial and
Post colonial Java. A Dessertation Presented to the Faculty of the Graduate School
of Cornell University in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree
of Doctor of Philosophy.
Rahmanto, B. “Ke Arah Pemahaman Lebih Baik Tentang Mitos”, dalam Basis. No. 2,
Tahun 1993 Yogyakarta.
Santiko, H., 1980. “Dewi Sri di Jawa”, Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi.
Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Departemen P
dan K.
144
Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (Isni Herawati)
.
MAKNA SIMBOLIK SAJEN SLAMETAN
TINGKEBAN
Isni Herawati
Abstrak
1
Soselisa. Makna Simbolik Beberapa Sajen Slametan Tingkeban, Sebuah Kajian Mengenai Prinsip
Keseimbangan Dalam Konsep Pemikiran Jawa. (Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1987),
hal. 2.
2
Ibid.
3
Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).
145
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
dalam upacara daur hidup, masa kehamilan, kerucut hingga menyerupai gunung.
kelahiran, masa anak-anak, masa remaja, Pada tumpeng ini, atasnya dibuat
masa perkawinan, dan masa kematian runcing atau lancip sebagai tempat
untuk menancapkan lidi yang diberi
Pengertian Upacara Tingkeban sebutir telur rebus, bawang merah atau
Upacara tingkeban adalah upacara yang brambang (allium ascalonicum), dan
diselenggarakan pada bulan ketujuh masa sebuah cabai merah besar (capsicum
kehamilan dan hanya dilakukan terhadap annum). Kemudian pada tumpeng
anak yang dikandung sebagai anak pertama tersebut dihias dengan sayur-sayuran
bagi kedua orangtuanya.4 Upacara ini di- berupa kacang panjang (vigna sinensis),
maksudkan untuk memohon keselamatan, kangkung (ipomoeareptans), dan terong
baik bagi ibu yang mengandung maupun (solanum melongena) yang menge-
calon bayi yang akan dilahirkan. Pada lilingi tumpeng. Tumpeng tersebut
umumnya masyarakat Jawa dalam menye- ditempatkan di sebuah cething (tempat
lenggarakan tingkeban dilakukan serang- nasi) yang terbuat dari anyaman bambu.
kaian upacara di antaranya siraman, ganti 2. Tumpeng gundhul, terbuat dari nasi
pakaian, brojolan, dan slametan. yang dibentuk seperti gunung,
Awal mula adanya upacara tingkeban kemudian disekitarnya dihias dengan
bermula pada jaman Kediri ketika itu telur dadar, gereh pethek (ikan asin
diceritakan ada seorang wanita bernama yang pipih), dan tempe goreng.
Niken Satingkeb. Dalam ceritera rakyat Tumpeng ini juga di-tempatkan dalam
dikisahkan bahwa Niken Satingkeb ber- sebuah cething (tempat nasi) yang
suamikan Sadyo yang hidup pada masa terbuat dari anya-man bambu.
kerajaan Widarbo Kundari. Pada waktu itu 3. Jenang abang (merah)-putih sebanyak
atas perintah Sang Prabu Jayapurusa, Niken 7 (tujuh) macam yang terdiri dari:
Satingkeb diperintahkan untuk mengadakan Jenang abang (merah), jenang putih,
upacara.5 Mengenai pelaksanaan upacara jenang plirit, jenang pupuk, jenang
tingkeban dipilih hari Selasa atau Sabtu baro-baro, jenang palang, dan jenang
setelah tanggal 15 dalam perhitungan pager ayu. Masing-masing jenang ini
kalender Jawa. dimasukkan kedalam takir (tempat atau
Berdasar pada ceritera rakyat itulah kotak yang terbuat dari daun pisang).
maka upacara tingkeban diselenggarakan - Jenang abang (merah) adalah jenang
oleh masyarakat Jawa sampai sekarang. Saat yang terbuat dari bubur beras ketan
ini ada sebagian masyarakat yang melak- yang dicampur gula merah supaya
sanakan upacara tersebut sesuai dengan warnanya merah.
pakemnya, akan tetapi banyak yang menye- - Jenang putih adalah jenang yang
lenggarakan secara sederhana, bahkan sama dibuat dari bubur beras ketan
sekali tidak melakukannya. dicampur santan kelapa.
- Jenang plirit, yaitu jenang yang
Beberapa Sajen Slametan Tingkeban dibuat dari bubur beras ketan. Jenang
Biasanya rangkaian sesaji ada beberapa ini dimasukkan ke dalam takir (kotak
macam, di antaranya: yang dibuat dari daun pisang) separo
1. Tumpeng Robyong, yaitu tumpeng yang jenang merah dan separo jenang putih.
dibuat dari nasi putih, dibentuk seperti
4
Isni Herawati dkk. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada Masyarakat Pendukungnya di
Yogyakarta. (Yogyakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Bagian Proyek dan Pembinaan Nilai Budaya
Propinsi DIY, 1998/1999).
5
Ibid.
146
Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (Isni Herawati)
- Jenang pupuk, adalah jenang merah adalah beras yang telah dicuci bersih
dan jenang putih yang dibuat kemudian ditiriskan, dan direbus sampai
lingkaran dan ditempatkan kedalam matang ke dalam selongsongan kupat.
takir (kotak yang terbuat dari daun 8. Anak-anakan, dibuat dari tepung terigu
pisang). dicampur dengan sedikit air, dibentuk
- Jenang baro-baro, jenang putih yang menyerupai boneka anak laki-laki dan
ditaburi irisan gula merah dan parutan boneka anak perempuan. Sajen ini ter-
kelapa. lebih dahulu dikukus, selanjutnya dile-
- Jenang palang, adalah jenang abang takkan di piring yang telah dialasi
(merah) yang ditumpang silangan dengan daun pisang.
jenang putih. 9. Babon angrem, adalah klepon yang
- Jenang pager ayu, adalah jenang terbuat dari tepung beras ketan, dicam-
kebalikan dari jenang pupuk, yaitu pur dengan air kapur, kemudian diben-
lingkaran sebelah dalam berwarna tuk bulat-bulat dan di dalamnya diberi
merah dan lingkaran luar berwarna gula merah, lalu direbus. Klepon yang
putih dibutuhkan sebanyak 7 biji, masing-
4. Jajan pasar, terdiri dari berbagai masing diletakkan di atas kue serabi lalu
macam buah-buahan dan panganan ditutup dengan kue serabi lagi sehingga
yang dibeli di pasar. Biasanya buah- klepon tadi menjadi tertutup. Serabi
buahan yang dipakai adalah buah yang dibuat dari bahan tepung beras, dicam-
pada waktu itu sedang musim. Untuk pur dengan kelapa parut dibentuk bulat
buah yang harus ada adalah selirang kemudian disangan.
pisang raja dan selirang pisang pulut. 10. Jenang abyor-abyor, jenang ini terbuat
Kemudian untuk panganan jajanan dari beras dicampur dengan gula merah
terdiri dari kacang rebus, lempeng, (gula Jawa) dan santan, lalu dimasak
gethuk, dan sebagainya. hingga menjadi bubur.
5. Pring sedhapur, adalah makanan yang 11. Jenang procot, adalah jenang yang
terbuat dari tepung beras ketan dicam- terbuat dari tepung beras dicampur
pur dengan santan kelapa, dibentuk dengan gula, air, dan santan lalu
tumpeng-tumpeng kecil menyerupai dimasak. Di tengahnya dimasukkan
bentuk gunung. Pada ujung tumpeng sesisir pisang raja yang telah dikukus
dibuatkan bulatan-bulatan kecil yang dan dikupas kulitnya. Sajen tersebut
beraneka warna terbuat dari tepung ditempatkan ke dalam takir atau kotak
beras jug kemudian ditempatkan dalam yang terbuat dari daun pisang.
piring yang telah diberi alas daun pisang 12. Rujak dan rujak crobo, dibuat dari buah-
disebut samir. buahan mentah yang dipasah atau diris-
6. Uler-uleran, terbuat dari adonan tepung iris. Buah-buahan ini berjumlah tujuh
beras dicampur air, kemudian dibentuk macam, di antaranya buah kedondong,
menyerupai ulat atau uler serta diberi pisang kluthuk, nanas, pepaya, mangga,
berbagai macam warna lalu diletakkan belimbing, dan bengkoang. Adapun
di piring saji yang telah diberi alas daun bumbunya cabe, garam, terasi, dan gula
pisang. merah (gula Jawa). Untuk rujak crobo
7. Ketupat komplit, terdiri dari empat bahannya dari rujak biasa, hanya
macam, yaitu kupat sinta (berbentuk ditambah dlingo bengle.Untuk rujak
belah ketupat), kupat luwar (berbentuk ditempatkan ke dalam baskom, sedang
persegi empat panjang), kupat jago rujak crobo diletakkan kedalam takir.
(berbentuk seperti seekor ayam jantan), 13. Sega golong 7 jodho, adalah nasi yang
dan kupat sidolungguh (berbentuk dibentuk bulat menyerupai bola ber-
kerucut). Bahan untuk membuat kupat jumlah 7 jodho (7 pasang) atau 14 biji.
147
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
14. Telur penyon, yaitu telur ayam yang mawar). Biasanya juga dilengkapi daun
sudah direbus dan dikupas kulitnya, sirih dan tembakau.
kemudian dipenyet sedikit dengan
menggunakan bambu (pring) tipis yang Makna Simbolik Beberapa Sajen
digunakan untuk menjepit telur, Tingkeban
sehingga terbentuk lekukan-lekukan Simbol sebagai alat perantara untuk
seperti penyu. Telur ini jumlahnya 7 menguraikan atau menggambarkan sesuatu
butir dan ditempatkan dipiring yang yang sifatnya abstrak. Dalam upacara sla-
sudah dialasi samir dari daun pisang. metan tingkeban ini, sajen yang mengan-
15. Dhawet, terbuat dari tepung beras atau dung makna adalah:
pathi diberi air kemudian dibuat bubur. 1. Tumpeng robyong dan tumpeng
Setelah itu bubur disaring memakai gundhul, dalam penempatannya dijadi-
ayakan yang berlobang besar sehingga kan satu atau berpasangan. Pasangan ini
bubur yang disaring itu menjadi mempunyai lambang sebagai lelaki
cendhol. Cendhol tersebut dicampur (tumpeng robyong) dan wanita
dengan gula Jawa dan air santan lalu (tumpeng gundhul) yang berarti dua
ditempatkan ke dalam baskom. jenis kelamin manusia. Pada tumpeng
16. Bothok atau ayung-ayung, terdiri dari robyong tadi dibuat kerucut atau
biji kacang panjang yang direndam menyerupai gunung, mengandung
lebih dahulu kemudian ditiriskan lalu makna bahwa manusia hendaknya di
ditumbuk setengah lumat atau lembut. dalam segala aspek kehidupannya
Selanjutnya dibumbui dengan garam, mengarah atau beorientasi dan menyatu
kencur, ketumbar, bawang, dan diberi kepada Tuhan sesuai dengan sangkan-
parutan kelapa muda lalu dibungkus parane. Sajen tumpeng melambangkan
daun pisang dan dikukus sampai pemujaan dan pemusatan manusia
matang. kepada Tuhan-Nya, (sing gawe urip).
17. Ketan, kolak, dan apem. Cara mem- Kemudian pada tumpeng diberi sayur-
buatnya beras ketan dicuci sampai sayuran yang menghiasi sekeliling
bersih dan direndam ke dalam air sekitar tumpeng sebagai simbol masyarakat,
2 jam lalu ditiriskan dan dikukus. mengandung makna hubungan manusia
Setelah matang ketan dicampur air dengan masyarakatnya adalah penting
santan, garam, dan daun pandan lalu guna menjaga kerukunan, keharmo-
dikukus lagi sampai masak. Sedangkan nisan, dan mejaga keseimbangan sosial.
kolak dibuat dari ketela rambat dan Untuk sayur yang dipilih adalah kacang
pisang raja direbus dengan santan panjang sesuai dengan bentuknya yang
kelapa yang diberi bumbu gula merah, panjang dan kangkung yang bersulur-
daun pandan, manis jangan dan garam. sulur panjang, melambangkan harapan
Supaya ketela dan pisang tidak hancur agar bayi yang akan dilahirkan kelak
sebelum dimasak terlebih dulu diren- mempunyai umur yang panjang.
dam dengan air kapur. Apem dibuat dari Di dalam rangkaian tumpeng
tepung beras yang dicampur dengan robyong terdapat telur yang ditancapkan
santan kelapa, gula pasir, garam, tape, melambangkan sinar kehidupan. Selain
dan buah nangka. Setelah mengembang yang ditancapkan berupa telur, terdapat
adonan tersebut dimasukkan ke dalam pula bawang merah dan cabe merah
cetakan yang telah diolesi minyak dan yang melambangkan harapan orang tua
dimasak. agar si bayi yang dilahirkan kelak men-
18. Kembang telon, yaitu bunga yang terdiri jadi orang yang cerdas dan berani meng-
dari 3 macam (melati, kenanga, dan hadapi kehidupan.
148
Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (Isni Herawati)
2. Jajan pasar, disajikan sebagai syarat puser. Dalam proses persalinan itu,
yang telah menjadi tradisi masyarakat kawah (air ketuban) karena keluarnya
untuk keperluan tersebut. Selain itu ada lebih dahulu maka disebut sebagai
juga, jajan pasar ini dimaksudkan untuk kakak atau kakang (kakang kawah).
memperingati kepada 5 hari pasaran Sedangkan ari-ari yang keluarnya
(Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi), setelah bayi lahir disebut adi atau adik
pekan 7 hari (Minggu, Senin, Selasa, (adi ari-ari). Jadi sajen jenang abang
Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu), 12 dan jenang baro-baro diperuntukkan
bulan (Sura, Sapar, Mulud, Bakda kepada saudara gaibnya sebagai peng-
Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, hormatan.
Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkaidah Selain jenang abang-putih sebagai
dan Besar), dan windon 8 tahun (Alip, penghormatan, juga sebagai lambang
Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu dan benih ayah dan ibu. Warna abang dari
Jimakir). Tradisi ini dimaksudkan agar jenang abang adalah darah ibu yang di-
ibu bayi melakukan permohonan untuk asosiasikan dengan darah wanita ketika
keselamatan diri dan bayinya. sedang datang bulan (menstruasi),
Jajan pasar dengan segala bentuk sedangkan warna putih dari jenang
macamnya, melambangkan kekayaan, putih adalah melambangkan darah ayah
dengan demikian sajen ini sebagai yang diasosiasikan untuk sperma/air
sarana permohonan dalam segala mani yang berwarna putih, yang hanya
permintaan, baik secara material dapat dihasilkan dari organ tubuh laki-
maupun spiritual. Sedangkan buah- laki. Kemudian untuk jenang yang
buahan yang ada dalam sajen tersebut dibuat dengan warna kombinasi, seperti
adalah melukiskan alam tumbuh- jenang pupuk, plirit, palang, dan jenang
tumbuhan menjadi lambang dari dunia pager ayu melambangkan perpaduan
ramai yang harus dimasuki dan dijalani antara benih ibu dan benih ayah, yang
oleh anaknya kelak. Selanjutnya pada mewujudkan adanya bayi yang sedang
buah-buahan itu tentu ada pisang raja dikandung.
dan pisang pulut masing-masing satu 4. Uler-uleran, menurut orang Jawa
sisir. Pisang raja melambangkan agar mempunyai arti yang luas, bahwa orang
anak tumbuh sebagai anak yang hidup itu harus melalui tahapan-tahapan
memiliki budi yang luhur dan watak seperti seekor ulat atau uler. Untuk men-
yang mulia, sedangkan pisang pulut, jadi kupu-kupu, ulat tersebut harus
sesuai dengan namanya mempunyai melalui beberapa proses perkembangan,
harapan agar anak maupun ibunya yaitu dari bentuk ulat kemudian berubah
didalam kehidupannya dapat melekat; menjadi kepompong. Ulat melambang-
baik dalam tindak-tanduk dan kan harapan orang tua agar si bayi yang
perbuatannya sehingga disenangi oleh akan dilahirkan itu kelak mengikuti
keluarganya dan hidup rukun. tahapan-tahapan ulat, yakni dalam
3. Jenang-jenangan, dalam sajen ini menjalani kehidupannya harus prihatin
jenang-jenangan yang disajikan dan sabar, supaya tujuan hidupnya
sebanyak 7 macam, melambangkan memperoleh kesuksesan dan terkabul
bahwa orang yang diselamati kan- cita-citanya.
dungannya sudah berusia 7 bulan. 5. Pring sedhapur, adalah menggambar-
Menurut kepercayaan Jawa bahwa bayi kan serumpun pohon bambu yang
yang lahir akan bersama-sama dengan terdiri dari beberapa pohon. Sajen
saudara gaibnya yang disebut sedulur melambangkan suatu harapan akan
papat lima pancer. Mereka ini adalah hubungan yang erat diantara sanak
marmarti, kawah, ari-ari, getih, dan keluarga, tetangga serta masyarakat luas
149
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
dengan orang yang sedang slametan. maupun yang masih hidup dapat
Sajen bertujuan untuk penghormatan menghadapi tantangan, berkat perto-
kepada para leluhur, roh gaib dan dha- longan atau perlindungan dari Tuhan
nyang penunggu wilayah dengan Yang Maha Esa atau leluhurmya. Ketan
permohonan agar mereka menjaga dan yang mempunyai sifat pliket atau lekat,
melindungi orang yang sedang menga- melambangkan suatu maksud agar
dakan slametan. antara roh yang mati dan yang masih
6. Kupat atau ketupat komplit, sajen hidup selalu raket atau mempunyai
slametan terdapat kupat atau ketupat hubungan yang erat. Kolak melambang-
bertujuan untuk menggerakkan tamu kan suatu hidangan minuman segar,
yang hadir agar ikut mendoakan sebagai pelepas dahaga. Selain itu juga
keselamatannya. Ketupat menyimbol- melambangkan suatu keadaan atau
kan lahir dan batin manusia. Kemudian tujuan yang tidak luntur atau layu yang
janur yang digunakan untuk pembung- artinya tidak kenal putus asa.6
kus ketupat adalah yang mewakili 9. Rujak Crobo, jika membuatnya terasa
aspek lahir sedang isi ketupat berupa pedas atau sedap, melambangkan bahwa
nasi menunjukkan aspek batin. Jadi ibu yang mengandung itu akan
sajen adalah gambaran aspek lahir dan melahirkan bayi perempuan. Sebaliknya
batin manusia dalam bertindak, berpikir jika rujak tersebut rasanya biasa maka
maupun dalam menciptakan keseim- anak yang dilahirkan kelak adalah laki-
bangan dalam kehidupannya. laki.7
Ketupat yang dibelah tengahnya, 10. Sega golong 7 jodho, adalah melam-
kemudian diisi abon sebagai lambang bangkan bahwa bayi yang dikandung
dari alat kelamin wanita (ibu) dari genap berusia 7 bulan.
situlah seorang anak dilahirkan dari 11. Dhawet atau cendhol, melambangkan
guwa garba ibunya untuk menjalani kelak bayi yang dilahirkan mempunyai
kehidupan di dunia nyata. Maksudnya, saudara banyak.
seorang anak diharapkan untuk 12. Anak-anakan, adalah melambangkan
mencintai ibunya seperti ibu mencintai jika bayi yang dilahirkan berjenis
anaknya. Diharapkan hubungan anak kelamin laki-laki akan berwajah tam-
dengan ibu selalu harmonis dan anak pan, bila lahir perempuan akan berparas
harus selalu hormat kepada ibunya. cantik seperti bidadari.
7. Babon angrem, sajen ini terdiri dari
klepon 7 biji dan serabi 7 biji, melam- Penutup
bangkan bahwa kandungan sudah Berdasarkan simbol dan makna
berusia 7 bulan. Kemudian ibu yang beberapa sajen slametan tingkeban, maka
dislameti diumpamakan sebagai babon tujuan utama adalah untuk memohon atau
(induk ayam) yang sedang angrem atau mengharapkan keselamatan kepada wanita
mengerami telurnya. Jadi klepon ini yang mengandung, dan calon bayi yang
melambangkan telurnya, sedang serabi dikandungnya akan lahir dengan selamat.
sebagai lambang babon atau induknya. Dengan adanya sajen-sajen untuk meng-
8. Ketan, kolak, apem, dalam slametan interpretasikan melalui makna dan simbol
tingkeban, sajen ini dimaksudkan untuk tersebut, kita dapat melihat bagaimana
mengenang para leluhur. Apem melam- masyarakat Jawa mengartikan simbol-
bangkan sebagai payung atau tameng, simbol itu dalam kehidupan mereka.
maksudnya agar perjalanan roh si mati
6
Mulyadi dkk. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY. (Yogyakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1982-1983).
150
Makna Simbolik Sajen Slametan Tingkeban (Isni Herawati)
Daftar Pustaka
Geertz, Clifford, 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Herawati, Isni dkk., 1989/1999. Perubahan Nilai Upacara Tradisional Pada Masyarakat
Pendukungnya di DIY. Yogyakarta: Proyek P2NB.
Mulyadi dkk., 1982/1983. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi di DIY.
Jakarta: Proyek IDKD.
Rostiyati, Anik dkk., 1994/1995. Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat
Pendukungnya Masa Kini. Yogyakarta: Proyek IPNB.
Soselisa, Hermien Lola, 1987. Makna Simbolik Beberapa Sajen Slametan Tingkeban
Sebuah Kajian Mengenai Prinsip Keseimbangan Dalam Konsep Pemikiran Jawa.
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
7
Clifford Geertz. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).
151
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Abstrak
Bagi masyarakat Jawa makam merupakan tempat yang dianggap suci dan pantas
dihormati. Makam sebagai tempat peristirahatan bagi arwah nenek moyang dan keluarga
yang telah meninggal. Keberadaan makam dari tokoh tertentu menimbulkan daya tarik
bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ziarah dengan berbagai motivasi. Kunjungan
ke makam pada dasarnya merupakan tradisi agama Hindu yang pada masa lampau berupa
pemujaan terhadap roh leluhur. Candi pada awalnya adalah tempat abu jenazah raja-
raja masa lampau dan para generasi penerus mengadakan pemujaan di tempat itu.
Makam, terutama makam tokoh sejarah, tokoh mitos, atau tokoh agama, juga merupakan
tujuan wisata rohani yang banyak dikunjungi wisatawan baik dalam negeri maupun
luar negeri.
Kata kunci: Tradisi - Ziarah kubur - Masyarakat Jawa.
1
Christriyati Ariani. “Motivasi Peziarah di Makam Panembahan Bodo Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten
Bantul”, dalam Patra-Widya. Vol. 3 No. 1, Maret 2002. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional),
hal. 152.
152
Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa (Titi Mumfangati)
selamatan (memberi sesaji) di tempat yang Ziarah Sebagai Ungkapan Doa Bagi
angker/keramat. 2 Kata nyadran juga Arwah Leluhur
memiliki pengertian lain yaitu slametan ing Secara umum ziarah yang dilakukan
sasi Ruwah nylameti para leluwur (kang menjelang bulan Ramadhan bagi masyarakat
lumrah ana ing kuburan utawa papan sing Jawa mempunyai maksud untuk mendoakan
kramat ngiras reresik tuwin ngirim arwah leluhur mereka. Masyarakat biasanya
kembang) ‘selamatan di bulan Ruwah secara bersama-sama mengadakan kerja
menghormati para leluhur (biasanya di bakti membersihkan makam desa atau dusun
makam atau tempat yang keramat sekaligus dengan segala tradisi dan adat kebiasaan
membersihkan dan mengirim bunga).3 yang berlaku secara turun temurun. Ada juga
Di daerah-daerah yang mempunyai yang dilengkapi dengan mengadakan
tempat bersejarah, agak berbau angker, kenduri bersama di makam, atau di rumah
pantai-pantai, goa-goa, yang punya kisah kepala dusun mereka. Pada umumnya me-
tersendiri biasanya mempunyai upacara adat reka mengadakan sesaji dengan tidak lupa
yang disebut nyadran. Tak ubahnya dengan membuat kolak dan apem. Tradisi ini biasa
makna upacara-upacara adat yang lain, disebut ruwahan, sesuai dengan bulan diada-
nyadran ini juga mengandung makna kannya yaitu bulan Ruwah.
religius. Ada yang dengan jalan memasang Bagi keluarga-keluarga tertentu
sesaji di tempat itu selama tiga hari berturut- biasanya telah diadakan kesepakatan untuk
turut, ada yang dengan cara melabuh nyadran pada hari ke berapa dalam bulan
makanan yang telah ‘diramu’ dengan Ruwah tersebut. Mereka yang berada jauh
berbagai macam kembang. Ada pula yang dari makam selalu menyempatkan diri untuk
mengadakan kenduri dengan makanan- dapat bersama-sama mengunjungi makam
makanan yang enak, lalu diadakan per- keluarga mereka. Pada waktu ziarah tidak
tunjukan besar-besaran dan sebagainya.4 lupa mereka juga membawa bunga tabur
Kebiasaan mengunjungi makam untuk ditaburkan ke pusara makam keluarga
sebenarnya merupakan pengaruh dari mereka. Setiap keluarga biasanya mengajak
kebiasaan mengunjungi candi atau tempat serta anggota keluarga supaya mereka
suci lainnya di masa dahulu dengan tujuan mengetahui dan mengenal para leluhur yang
melakukan pemujaan terhadap roh nenek telah dimakamkan di situ.
moyang. Kebiasaan ini semakin mendalam Adanya tradisi nyadran ini menimbul-
jika yang dikunjungi adalah tokoh yang kan berbagai aktivitas yang muncul hanya
mempunyai kharisma tertentu, mempunyai pada saat tertentu yaitu hari-hari menjelang
kedudukan tertentu seperti raja, ulama, pe- masyarakat melakukan kegiatan nyadran.
muka agama, tokoh mistik, dan sebagainya.5 Aktivitas yang dapat dikatakan insidental ini
Dengan berkembangnya jaman, seperti misalnya penjualan bunga tabur yang
berkembang pula pemahaman manusia meningkat tajam pada hari-hari sejak
tentang ziarah, bahkan muncul berbagai pertengahan bulan Ruwah. Hal ini dikarena-
maksud, tujuan, motivasi maupun daya tarik kan masyarakat yang nyadran sudah
dari aktivitas ziarah ini. dipastikan akan memerlukan bunga tabur
2
WJS. Poerwadarminta. Baoesastra Djawa. (Batavia: JB Wolters Uitgegevers Maatschappij, 1939), hal.
352.
3
Ibid., hal. 537.
4
Yusan Roes Sudiro. “Makna Religius Upacara Adat di Kalangan Orang Jawa”, Bernas. Sabtu 25
Januari 1986, hal. 4.
5
Ariani, op.cit., hal. 157.
153
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
untuk nyekar di makam leluhur mereka. Walaupun ia telah berguru agama Islam
Karenanya tidak aneh apabila pada saat-saat hingga mengharuskan dirinya masuk pondok
itu penjual bunga mulai marak, baik penjual pesantren, namun ia tetap menganggap
yang memang biasanya sehari-hari berjualan dirinya bodoh. Karenanya ia diberi julukan
bunga ataupun penjual bunga tiban, mereka Panembahan Bodo.7
hanya berjualan bunga pada saat-saat hari Para peziarah datang dengan berbagai
ramai nyekar. tujuan atau motivasi; ngalap berkah, untuk
Terkait dengan tradisi nyekar atau memperoleh kekuatan, popularitas, stabilitas
nyadran ini muncul pula aktivitas lain pribadi, umur panjang, mencari rejeki,
berupa jasa tenaga membersihkan makam. maupun mencari kebahagiaan bagi anak
Di berbagai makam muncul para penyedia cucu atau keselamatan hidup. Hal-hal ini
jasa untuk membersihkan makam keluarga biasanya yang paling umum diharapkan
tertentu dengan sedikit imbalan. Mereka orang apabila berziarah ke makam tokoh
biasanya berada di sekitar makam dan mitos terkenal.
membersihkan makam bagi keluarga yang Secara umum motivasi berziarah dapat
datang untuk ziarah. digolongkan dalam empat hal meliputi
Dalam hal ini tradisi ziarah mempunyai taktyarasa: berziarah dengan tujuan
fungsi untuk mengingatkan kita yang masih memperoleh berkah dan keteguhan hidup
hidup bahwa suatu saat kematian akan kita (ngalap berkah); gorowasi: (berziarah ke
alami. Selain itu juga seperti telah disebut- makam legendaris untuk memperoleh
kan dalam uraian di atas, bahwa ziarah kekuatan, popularitas, stabilitas pribadi,
makam akan menimbulkan ikatan batin serta umur panjang, mencari ketenangan
antara yang masih hidup dengan leluhur batin; widiginong: (berziarah dengan tujuan
yang telah meninggal. mencari kekayaan dunia maupun jabatan
duniawi atau mencari rejeki; samaptadanu:
Berbagai Motivasi Bagi Peziarah Tokoh upaya mencari kebahagiaan anak cucu agar
Mitos selamat atau untuk mencari keselamatan.8
Secara umum tujuan ziarah selain se- Tempat ziarah yang lain dapat disebut-
bagai ungkapan doa dan pengenalan akan kan di sini yaitu di makam KRA Sosronagoro
sejarah nenek moyang, masih ada motivasi yang terletak di daerah Manang, Grogol,
ziarah yang berkembang dalam masyarakat. Sukoharjo. KRA Sosronagoro adalah patih
Contoh yang dapat disebutkan di sini adalah Kraton Surakarta Hadiningrat pada masa
adanya tradisi nyadran makam di kompleks Paku Buwono X. Beliau semasa hidupnya
Makam Sewu di Desa Wijirejo, Pandak, adalah seorang patih yang terkenal, bijak-
Bantul. Di kompleks makam ini dimakam- sana, dan berpengetahuan luas serta dalam.
kan juga tokoh terkenal yang biasa disebut Karenanya sampai sekarang beliau masih
Panembahan Bodo. Di Makam Sewu pada sangat dihormati oleh anak cucunya. Pada
hari-hari tertentu ramai dikunjungi peziarah hari-hari tertentu biasanya malam Jumat dan
yaitu pada hari Selasa Kliwon dan Senin Selasa Kliwon banyak peziarah datang dari
Pon. 6 Panembahan Bodo adalah tokoh berbagai daerah. Mereka berziarah dan
penyebar agama Islam, teguh dalam belajar tirakat ngalap berkah dengan berbagai
agama Islam, mempunyai sifat rendah hati, tujuan atau permohonan. Pada umumnya
tidak mau mengunggulkan diri sendiri. mereka yang datang menginginkan pangkat
6
Ibid., hal. 168.
7
Ibid., hal. 165.
8
Ibid., hal. 173.
154
Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa (Titi Mumfangati)
yang tinggi, ingin naik pangkat, atau meng- kemudian Raden Qosim pindah ke arah se-
inginkan kedudukan tertentu.9 Semua itu latan, sekitar satu kilometer, sesuai petunjuk
karena kharisma tokoh yang dimakamkan yang diperolehnya, lalu mendirikan langgar
yaitu KRA Sosronagoro. Semasa hidup yang digunakan untuk berdakwah. Langgar
beliau sebagai seorang tokoh negara yang yang didirikan terletak di bukit yang agak
kuat bertapa, sifat soleh dan bijak tinggi sehingga dinamakan Desa Drajat.
membuatnya lebih dari manusia biasa. Masyarakat sangat menghormati dan segan
Hidupnya penuh dengan keprihatinan dan terhadap Raden Qosim yang sangat tinggi
kesungguhan dalam mengabdi di kraton pada ilmunya. Sampai meninggalnya beliau
masa mudanya. Bahkan cita-citanya dimakamkan di Desa Drajat tersebut.
ditempuh dengan tapa kungkum di Sungai Masyarakat lalu mengaitkan antara
Pepe. Ketokohannya, bahkan setelah beliau harta, derajat, dan pangkat, serta berang-
wafat pun masih sangat dihormati dan gapan bahwa setiap orang akan dihormati
disegani oleh masyarakat terbukti dan dihargai apabila ziarah ke makam Sunan
makamnya masih selalu ramai dikunjungi Drajat. Karena itu banyak orang yang
para peziarah. Para peziarah datang dengan berziarah ke makam Sunan Drajat dengan
berbagai harapan dan keinginan, rejeki, maksud agar keinginannya tercapai. Dengan
jodoh, pangkat, kedudukan, ketenteraman melakukan tata cara seperti umumnya orang
batin, dan sebagainya. berziarah, berdzikir serta mendoakan arwah
Bagi para peziarah yang bertirakat di yang dimakamkan di situ, sebagai imbalan-
sana kadangkala juga melihat atau nya Yang Maha Kuasa akan mengabulkan
mengalami hal-hal yang aneh, di luar akal keinginannya.
sehat. Misalnya ada peziarah dari Jakarta Tekanan hidup dan kemiskinan juga
yang pada waktu tirakat melihat lampu mendorong orang untuk melakukan tindakan
banyak sekali, ternyata itu merupakan ritual dengan berziarah ke makam tokoh
pertanda keinginannya tercapai, yaitu ingin mitos terkenal, seperti yang terjadi di makam
menjadi pedagang yang sukses. Ada pula Eyang Seloning di sebelah utara Parang
yang melihat harimau putih, yang konon Wedang, Parangtritis, Bantul. Ada peziarah
merupakan penjaga (mbaureksa) makam. yang mempunyai keinginan memiliki rumah
Bagi mereka yang keinginannya terkabul karena ia dan keluarganya selama ini tidak
juga sering mengadakan tahlilan, yasinan, mempunyai rumah yang layak. Dengan
atau selamatan di makam tersebut. bertirakat dan berdoa disertai usaha gigih
Tokoh mitos lain yang terkenal dan akhirnya peziarah itu berhasil memiliki
menjadi tujuan ziarah adalah Sunan Drajat, rumah yang layak bagi keluarganya. Tirakat
yang dimakamkan di Desa Drajat, Keca- yang dilakukan sangat berat seperti pasa
matan Paciran, Lamongan. Mengapa di- ngebleng (tidak makan minum sama sekali),
namakan Sunan Drajat? Pada masa mudanya pasa nyirik uyah (puasa tidak makan garam),
beliau bernama Raden Qosim, putra Sunan dan lain-lain.10
Ampel dengan Dewi Candrawati. Beliau Masyarakat Jawa mempunyai anggapan
ditugaskan untuk berdakwah di bagian barat bahwa keberadaan makam leluhur harus
dari Surabaya, lalu membuka pesantren di dihormati dengan alasan makam adalah
daerah Jelag (termasuk wilayah Desa tempat peristirahatan terakhir bagi manusia
Banjarwati), Kecamatan Paciran. Setahun khususnya leluhur yang telah meninggal.
9
Es Riyana. “Ziarah Menyang Makam KRA Sosronagoro Kanggo Nggayuh Undhaking Kalungguhan”,
Djaka Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus 2000. Taun XXX, hal. 12.
10
Muladi Isdiharto. “Achmad Syarkoni Sawise Diwenehi Manuk Klakon Bisa Mbangun Omah”, Djaka
Lodang. No. 20. Sabtu Pon 14 Oktober 2000. Taun XXX, hal. 10-11.
155
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Leluhur itulah yang diyakini dapat memberi- satwa dan tumbuhan. Di kahyangan atau
kan kekuatan atau berkah tertentu. Oleh alam kadewan roh manusia akan menjelma
karena itu masyarakat mengaktualisasikan kembali ke dalam wujud berbagai binatang,
dengan perlakuan khusus terhadap makam seimbang dengan perbuatannya semasa
leluhur. Hal ini akan semakin tampak nyata hidup di dunia yang penuh dengan godaan
pada makam para tokoh yang dianggap dan hawa nafsu. Hal ini disebut reinkarnasi
mempunyai kekuatan lebih pada masa (kehidupan kedua). Puncak Gunung Maha-
hidupnya. Kisah kehebatan dan luar biasa- meru menggambarkan puncak kesucian.
nya para tokoh yang diziarahi memberikan Karenanya candi pada umumnya dibangun
motivasi para peziarah untuk bertirakat di atas bukit atau tanah yang letaknya lebih
mengharapkan keberuntungan. Dengan tinggi daripada sekitarnya.13
demikian, mereka beranggapan makam Candi Prambanan lebih dikenal dengan
dapat memberikan berkah bagi pengunjung- nama Candi Rara Jonggrang. Dalam prasasti
nya atau peziarahnya yang melaksanakan 856 M disebutkan susunan dan konstruksi
tirakat dengan khusuk dan ikhlas.11 bangunan candi Roro Jonggrang dan raja
yang membangunnya, yaitu Raja Rakai
Candi Sebagai Persemayaman Tokoh Pikatan dari dinasti Sanjaya. Dinasti Sanjaya
Mitos mempunyai aliran kepercayaan agama Siwa
Perilaku religius berkaitan dengan atau Hindu. Dalam kepercayaan Hindu orang
ziarah makam masih banyak lagi di berbagai yang meninggal jenazahnya tidak dikubur
makam keramat yang lain. Candi sebagai tetapi dibakar. Pada masa itu Candi Jong-
salah satu tempat keramat bagi pemeluk grang digunakan untuk menyimpan abu
Hindu Budha merupakan tempat ziarah yang jenazah Raja Kayuwangi. Hal ini sesuai
selalu dikunjungi pada hari-hari atau dengan bentuk konstruksi candi yang berupa
peristiwa tertentu. Candi tak ubahnya lingga dan yoni. Abu jenazah disimpan
makam, merupakan tempat persemayaman dalam yoni dan ditutup dengan lingga.
raja-raja pada masa lampau. Lingga dan yoni juga sebagai simbol laki-
Asal mula istilah candi berasal dari kata laki dan wanita.
Candika, yaitu sebutan bagi Dewi Durga
sesudah mati. Istilah candi juga terdapat di Makam Tokoh Mitos dan Upacara Adat
Pulau Sumatra, yaitu Candi Japara di Berkaitan dengan ziarah ke makam
Lampung dan Candi Bangsu di kompleks tidak lepas dari peran tokoh mitos yang
Muara Takus. Di Kalimantan Timur juga ada sering pula menjadi cikal bakal suatu desa
yaitu Candi Agung. Masyarakat Jawa Timur atau daerah tertentu. Banyak upacara adat
lebih senang menyebut dengan istilah cung- desa tertentu yang mengaitkan dengan tokoh
kup, di Sumatra Utara biasa disebut biara.12 tertentu yang dimakamkan di sekitar daerah
Dalam paham Hindu, candi merupakan yang bersangkutan. Contoh yang dapat
gambaran Gunung Mahameru, tempat para disebutkan di sini misalnya upacara adat Ki
dewa-dewi, bidadara dan bidadari. Puncak Ageng Tunggul Wulung yang setiap tahun
gunung yang tinggi menggambarkan alam diadakan di Dusun Dukuhan, Desa Sendang
“kehutanan” yang penuh dengan aneka Agung, Minggir, Sleman. Upacara adat ini
11
Sumarno. “Makam Sunan Ampel di Surabaya: Pengkajian Terhadap Persepsi dan Motivasi Pengunjung”,
Patra-Widya. Vol. 5 No. 1, Maret 2004. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional), hal. 171.
12
Rini W. “Candi Prambanan Makame Rakai Kayuwangi Pacaran ing Candi Prambanan, bisa Pedhot”,
Djaka Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus 2000, Tahun XXX, hal. 31.
13
Ibid., hal. 31-32.
156
Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa (Titi Mumfangati)
selalu diadakan pada hari Jumat Pon dan Sampai sekarang Ki Ageng Tunggul
pada intinya untuk memuliakan dan Wulung diyakini oleh masyarakat Dusun
menghormati jasa-jasa Eyang Tunggul Dukuhan sebagai cikal bakal mereka dan
Wulung.14 Siapakah Eyang Tunggul Wulung yang memberikan perlindungan terhadap
itu? Beliau adalah seorang tokoh yang sakti warga dusun mereka. Terbukti dengan
mandraguna, masih kerabat Kraton adanya ubarampe upacara adat yang berupa
Majapahit. Konon pada waktu Majapahit sesaji dan jodhang berisi hasil bumi yang
kalah para kerabat dan sentana Majapahit pada saatnya diperebutkan. Masyarakat
bubar melarikan diri ke berbagai daerah meyakini hasil bumi yang diperebutkan itu
menyelamatkan diri. Satu di antaranya akan membawa berkah bagi mereka.
adalah Ki Ageng Tunggul Wulung yang Hal serupa juga terjadi di daerah
melarikan diri ke arah barat sampai di Dusun Gunung Kidul, tepatnya di Dusun Ngenep,
Beji atau Diro sebelah timur Sungai Progo. Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu,
Menurut cerita dari mulut ke mulut, per- Gunung Kidul. Tokoh mitos yang mereka
jalanan Ki Ageng Tunggul Wulung disertai segani adalah Ki Mentokuwoso, seorang
isterinya yang bernama Raden Ayu Gadung tokoh penyiar agama Islam di daerah itu.
Mlati dengan tujuh orang punggawa dan Karena jasa-jasanya terhadap kraton pada
beberapa abdi terpercaya. Juga membawa waktu dulu beliau ditawari untuk minta
pusaka kerajaan yang menurut perintah Raja hadiah yang diinginkan. Beliau hanya minta
Brawijaya harus diserahkan kepada calon agar daerahnya dibebaskan dari kewajiban
raja pengganti yang berhak. Pusaka yang membayar upeti dan diperbolehkan meng-
dibawa antara lain tombak Tunggul Wasesa, adakan upacara Garebeg Maulud seperti di
Keris Pulang Geni, Bendera Tunggul Wu- kraton, dan permintaan itu dikabulkan oleh
lung. Sampai di Dusun Dukuhan bertempat raja. Sebagai tokoh yang sakti dan mem-
tinggal di sana, sampai akhirnya mereka punyai ilmu yang tinggi, konon beliau juga
semua mukswa (meninggal dan hilang menciptakan masjid tiban sebagai pelengkap
bersama raganya). Tempat hilangnya lalu Upacara Grebeg. Masjid itu sekaligus juga
diberi tanda dengan batu nisan seperti menjadi sarana dan tempat dakwah yang
umumnya makam, dan dianggap sebagai dilakukan oleh Ki Mentokuwoso.
tempat keramat. Oleh karena itu banyak Dalam kaitannya dengan asal mula
orang yang berziarah ke tempat itu. Makam Grebeg Ngenep, tokoh Ki Mentokuwoso
Ki Ageng Tunggul Wulung berada di Dusun menghubungkan dunia nyata dengan dunia
Dukuhan di lahan dekat tepi Sungai Progo. gaib bagi masyarakat Ngenep. Bagi orang-
Setiap pelaksanaan upacara disertai orang yang tinggal di Desa Dadapayu dan
dengan pergelaran wayang kulit semalam sekitarnya Upacara Grebeg Ngenep me-
suntuk dan tarian tayub. Sebab diyakini pada rupakan peristiwa yang selalu ditunggu-
masa hidupnya Ki Ageng Tunggul Wulung tunggu untuk ikut berpartisipasi. Bahkan
senang dengan kedua jenis kesenian tersebut. masyarakat secara antusias ikut berebut hasil
Konon pernah suatu saat ada seorang ledhek pertanian (wulu wetu) yang dibentuk dalam
tayub yang ingin hidupnya lebih baik wujud gunungan yang memang diperebut-
melakukan tirakat di makam Tunggul kan setelah acara doa bersama. Nama Ki
Wulung. Tanpa ada sebab yang jelas ledhek Mentokuwoso dan saudara-saudaranya juga
itu menghilang. Karena peristiwa itu masya- selalu dikenang bahkan makamnya sering
rakat menganggap bahwa Eyang Tunggul diziarahi. Menurut Kadus Sembuku, makam
Wulung memang senang dengan kesenian itu Kyai Bayi, salah satu saudara Ki Mento-
dan mengajak ledhek tayub tersebut. kuwoso, sering dijadikan tempat nenepi
14
FX. Subroto. “Upacara Adat Ki Ageng Tunggul Wulung”, Djaka Lodang. No 15. Sabtu Pon 9 Sep-
tember 2000, Taun XXX, hal. 31.
157
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
orang-orang dari luar Ngenep. Biasanya Jumat Kliwon, pada hari-hari libur nasional
orang yang nenepi atau ziarah mempunyai bahkan lebih ramai oleh kunjungan para
keinginan agar dapat naik pangkat.15 wisatawan, baik dalam negeri maupun luar
negeri. Pada waktu banyak pengunjung
Makam Sebagai Objek Wisata Spiritual dipastikan akan banyak para pedagang tiban
Sebagai tempat yang dianggap suci, atau asongan yang menjajakan berbagai
makam juga merupakan tempat wisata yang barang dagangan kepada pengunjung. Hal
pantas untuk dikunjungi. Makam raja-raja ini juga membawa perubahan ekonomi pada
di Imogiri, misalnya, menjadi tujuan wisata masyarakat sekitar makam yang menjadi
yang selalu ramai dikunjungi. Selain sebagai objek wisata tersebut.
tempat yang disucikan, makam raja-raja di
Imogiri memang sebagai kompleks makam Penutup
yang cukup besar, dengan letaknya di atas Tak dapat dipungkiri bahwa dalam kehi-
bukit yang tinggi, dilengkapi dengan dupan masyarakat Jawa ada saat di mana
berbagai fasilitas bagi para pengunjung. manusia akan melakukan aktivitas yang
Demikian pula makam keluarga Pakualaman berkaitan dengan makam atau ziarah ke
di Girigondo, hampir sama dengan makam makam. Makam dan segala aktivitas yang
raja-raja Imogiri. Demikian pula di Makam berkaitan dengan ziarah akan mengingatkan
Sewu (Makam Panembahan Bodo), Makam manusia bahwa setelah kehidupan akan ada
Sunan Ampel, makam para Walisanga, dan kematian, sehingga manusia akan sadar
sebagainya. Masih banyak pula makam untuk biasa melakukan perbuatan baik
tokoh-tokoh terkenal yang sekaligus sebagai sebagai bekal dalam menghadapi alam
objek wisata. arwah. Aktivitas ziarah oleh banyak fihak
Kedatangan pengunjung dari berbagai juga dimanfaatkan untuk kepentingan-
daerah, apalagi yang jauh atau bahkan dari kepentingan tertentu, misalnya mencari
mancanegara, menimbulkan dampak pula ketenangan, mencari rejeki, keberuntungan,
bagi masyarakat sekitar. Selain pada hari- dan sebagainya, sesuai dengan kharisma dan
hari tertentu yang berkaitan dengan ziarah kisah keistimewaan tokoh yang dimakam-
ritual seperti malam Selasa Kliwon atau kan.
Daftar Pustaka
Ariani, Christriyati. “Motivasi Peziarah di Makam Panembahan Bodo Desa Wijirejo,
Pandak, Kabupaten Bantul”, dalam Patra-Widya. Vol. 3 No. 1, Maret 2002.
Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Isdiharto, Muladi.“Achmad Syarkoni Sawise Diwenehi Manuk Klakon Bisa Mbangun
Omah”, Djaka Lodang. No. 20. Sabtu Pon, 14 Oktober 2000. Taun XXX.
Mumfangati, Titi. “Pengaruh Mitos Ki Mentotruno (Mentokuwoso) Bagi Masyarakat
Pendukungnya”, Patra-Widya. Vol. 3 No. 1, Maret 2002. Yogyakarta: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional.
Poerwadarminta, WJS., 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: JB Wolters Uitgegevers
Maatschappij.
15
Titi Mumfangati. “Pengaruh Mitos Ki Mentotruno (Mentokuwoso) Bagi Masyarakat Pendukungnya”,
Patra-Widya. Vol. 3 No. 1, Maret 2002. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional), hal. 220.
158
Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa (Titi Mumfangati)
Rini W. “Candi Prambanan Makame Rakai Kayuwangi Pacaran ing Candi Prambanan,
bisa Pedhot”, Djaka Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus2000. Taun XXX.
Riyana, Es.“Ziarah Menyang Makam KRA Sosronagoro Kanggo Nggayuh Undhaking
Kalungguhan”, Djaka Lodang. No. 10. Sabtu Pon 5 Agustus 2000. Taun XXX.
Subroto, FX. “Upacara Adat Ki Ageng Tunggul Wulung”, Djaka Lodang. No. 15. Sabtu
Pon 9 September 2000. Taun XXX
Sudiro, Yusan Roes. “Makna Religius Upacara Adat di Kalangan Orang Jawa”, Bernas.
Sabtu 25 Januari 1986.
Sumarno, 2004. “Makam Sunan Ampel di Surabaya (Pengkajian Terhadap Persepsi dan
Motivasi Pengunjung)”, Patra-Widya. Vol. 5 No. 1, Maret 2004. Yogyakarta:
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
159
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Abstrak
Manusia pada dasarnya adalah makhluk religius, ungkapan rasa keimanan dan cara
penyampaian doa serta permohonan sangat dipengaruhi oleh budaya, adat istiadat serta
agama. Untuk itu banyak metode maupun petunjuk yang dilakukan manusia dalam
rangka membangun komunikasi dengan Tuhannya, baik secara lahiriah maupun batiniah.
Kata kunci: Tradisi - Mubeng beteng - Spiritual.
160
Mubeng Beteng , Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta (Endah Susilantini)
Safi’i utusan Sultan Hamengkubuwono I, Wulung yang asli berasal dari tutup
pada tahun 1784 Masehi, sehingga karena Ka’bah di Mekkah, yang dibawa oleh
pengaruh keyakinan dan sugesti, penyakit Kiai Iman Safi’i atas perintah Sultan
dan wabah tersebut dapat dihilangkan. Hamengkubuwono I pada tahun 1784
Berikut ini cuplikan dari ceritera kejadian Masehi.
sebenarnya, yang berhubungan dengan Demikian kejadian itu berulang pada
pengibaran bendera pusaka Kanjeng Kiai tahun 1932, tahun 1946, dan tahun 1951
Tunggul Wulung pada Tahun 1919 di dengan upacara yang sama Kanjeng Kiai
Yogyakarta : Tunggul Wulung dikirabkan untuk men-
“Sapérangan para sedulur ing cegah menyebarnya penyakit pes, karena
Ngajogjokarto lan sakiwotengené penyakit tersebut telah menelan korban yang
padha duwé panganggep jèn wesi adji begitu banyak serta sangat meresahkan.2
lan pusaka duwé daja rupa-rupa. Oleh karena itu masyarakat Yogyakarta
Umpamané pijandel marang dwadja memohon kepada kraton untuk diadakan
(klèbèt gendèra) Kandjeng Kiai kirab lagi, sebab waktu itu sarana dan
Tunggul Wulung (pusaka ing Kraton) prasarana kesehatan belum memadai, oleh
jaiku jèn suk ana ambah-ambahan karenanya permintaan dikibarkannya pu-
(epidemi) lelara nular, sapérangan saka untuk dibawa berkeliling kota menjadi
rakjat padha njuwun supaja kelèbèt salah satu alternatif rakyat, guna menang-
pusaka mau diarak mubeng kutha, kaja gulangi penyakit tersebut.
kang kalakon tahun 1919 mubalé lelara Tradisi ritual mubeng beteng yang
influenza”. disertai kirab pusaka Kanjeng Kiai Tunggul
“Sawènèh ana kang tjrita jèn Wulung dilaksanakan oleh kraton Yogyakarta
Kandjeng KiaiTunggul Wulung kang secara besar-besaran, dengan urut-urutan
asli iku asalé saka tjuwilan singeb paling depan adalah pusaka Kanjeng Kiai
“Ka’aba” ing Mekah, kang ngampil Tunggul Wulung diiringi satu batalion
Kiai Iman Sapi’i utusané Ingkang prajurit kraton yang telah ditunjuk untuk
Sinuwun Hamengkubuwono I tahun tugas tersebut, kemudian di belakangnya
1784 M”.1 sebagian warga masyarakat Yogyakarta dari
berbagai penjuru juga ikut ambil bagian
Artinya: mengikuti jalannya upacara kirab pusaka.
Sebagian masyarakat Yogyakarta Ujud nyata secara fisik Kanjeng Kiai
dan sekitarnya mempunyai anggapan Tunggul Wulung adalah bendera segi empat,
bahwa pusaka memiliki khasiat dan dengan latar belakang hitam keunguan
makna yang bermacam-macam. Misal- bergaris tepi kuning, ditengah-tengah
kan terhadap bendera pusaka Kanjeng bendera terdapat gambar seperti burung
Kiai Tunggul Wulung, di saat terjadi elang bertuliskan rajah (huruf bermakna)
wabah penyakit menular sebagian dengan huruf Arab. Berikut ini rekaman
rakyat memohon agar pusaka tersebut penjelasan jalannya upacara pada masa lalu.
di kirab keliling kota, seperti yang “Déné wudjudé dwadja (kelèbèt)
terjadi pada tahun 1919 saat terjangkit Kanjeng Kiai Tunggul Wulung wungu
wabah penyakit influenza. kladuk ireng plisir ing pinggir kuning,
Sebagian masyarakat menceritera- tengahé pepetan putih nganggo buntut
kan bahwa, Kanjeng Kiai Tunggul tjawang loro, sarta udjud bunderan
1
N N. “Ngibarake Pusaka Dwaja Kanjeng Kiai Tunggul Wulung”, dalam Majalah Mekar Sari. Taun III
No. XIX. Juni 1967, Yogyakarta, hal. 12.
2
Ibid.
161
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
dalah bunder londjong loro warnané peringatan Maulud Nabi. Pada saat itu juga,
abang. Kelèbèt mau karakit ana pusaka-pusaka Kraton yang lain ikut di
landhean kang ing putjuké ana waose kirab, yaitu Kanjeng Kiai Ageng, Kanjeng
lantjip papat (catursula) kaparingan Kiai Gadawadana, Kanjeng Kiai Gadatapan
asma Kandjeng Kiai Santri. Kandjeng (semua berujud tombak) sedangkan pusaka-
Kiai Tunggul Wulung kaarak wudjud pusaka yang berujud Bendhé, Wedhung,
putran (duplikat), déné kang asli Cemethi, Ketipung juga dikirabkan pada
winadhahan pethi sarta uga kaarak ing Tahun Dal.4
djèdjèré, saking lawasé wudjud wus Pada masa dekade delapan puluhan,
mbebret (mbedhel) mula bandjur para seniman, budayawan dan para penga-
diputrani mau. Ing djèdjèré uga ana mat politik, bersama-sama memanfaatkan
klèbèt pusaka sidji kang kaarak momen ritual mubeng beteng, untuk
warnané idjo sarta kuning, warna kaja menyampaikan rasa keprihatinan mereka,
mangkono mau arané Paréanom” 3 terhadap kondisi bangsa dan negara. Mereka
Artinya : bersama-sama membaur dengan masyarakat
melakukan ritual ini dengan suatu cara dan
Adapun warna pusaka Kanjeng ungkapan rasa yang berbeda, sesuai dengan
Kiai Tunggul Wulung tersebut ungu keyakinan mereka masing-masing. Berda-
kehitaman warna tepi bendera kuning, sarkan hal tersebut, perlu dijelaskan berbagai
ditengah ada gambar berwarna putih sudut pandang dan konsepsi ritual ini, sesuai
berekor dan bercabang dua, terdapat dengan keadaan sebenarnya.
pula gambar bulat dan lonjong masing-
masing dua buah berwarna merah. Makna membisu dan Mubeng Beteng
Bendera diletakkan pada tongkat yang Menurut Konsep Kejawen
ujungnya terdapat catursula diberi Untuk dapat mengungkap rahasia di
nama Kanjeng Kiai Santri. Kanjeng dalam aspek spiritual dengan konsep ke-
Kiai Tunggul Wulung yang dikirab jawen, akan ditinjau dari segi kesastraannya.
berujud duplikat, adapun yang asli Karya sastra yang berisi ajaran moral dan
diletakkan di dalam peti dan ikut serta religi adalah bagian dari ungkapan tradisi,
dikirab. Oleh karena telah berusia tua yang salah satu di antaranya memuat
dan mudah robek, maka dibuatkan ungkapan budi pekerti dan religi, yang dapat
duplikatnya. Disebelahnya juga terdapat dijadikan sumber penggalian baik secara
sebuah pusaka yang ikut dikirab, historis, religius dan kesastraan. Mengingat
berwarna hijau dan kuning yang disebut peserta ritual mubeng beteng di antaranya
Pareanom. adalah masyarakat yang menganut suatu
Itulah gambaran sekilas tentang asal paham kejawen, maka esensinya akan
mula dari adanya tradisi ritual mubeng dijelaskan dengan konsep tradisi. Seperti
beteng, yang pada masa lalu dilakukan oleh yang termuat dalam Serat Wedhatama karya
masyarakat secara bersama-sama untuk Mangkunegara IV, berisi tentang pelajaran
memperoleh suatu kesembuhan, atas budi pekerti dan akhlak, ternyata dapat
berjangkitnya wabah influenza dan pes. dijadikan sebagai sumber untuk memberikan
Setelah peristiwa itu, selanjutnya tradisi penjelasan mengenai dasar-dasar spiritual.
ritual kirab pusaka Kanjeng Kiai Tunggul Mubeng Beteng menurut konsep
Wulung dilaksanakan sewindu (8 tahun) kejawen diartikan sebagai laku manusia
sekali, pada setiap Tahun Dal, bersamaan secara fisik (sembah raga) dalam usaha-
3
Ibid., hal. 13.
4
Ibid., hal. 12.
162
Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta (Endah Susilantini)
usaha manusia untuk dapat mendekatkan diri hal, yaitu nafsu lauwamah, amarah,
kepada Tuhan. Dalam Serat Wedhatama juga sufiah dan mutmainah. Jadi roh yang
dijelaskan mengenai pengertian sembah suci itu perlu ditundukkan dengan
raga seperti berikut: tindakan kerohanian, agar tunduk sesuai
Sembah raga puniku dengan kehendak-Nya. Tujuan dari pe-
pakartining wong amagang laku nguasaan hawa nafsu adalah untuk
sesuciné asarana saking warih mengingatkan manusia kepada Tuhan
kang wus lumrah limang wektu dan utusan-Nya, dengan cara selalu
wantu wataking wawaton ingat kepada Tuhan dan selalu meng-
ucapkan Asma Allah yang disampaikan
Artinya: dengan rasa hormat, baik dengan
Sembah raga itu merupakan bagian dari kegiatan fisik maupun non fisik ter-
perjalanan hidup yang panjang ditam- masuk ucapan.
silkan sebagai menempuh perjalanan Dari apa yang disampaikan dalam teks
hidup kerohanian, seperti orang yang Serat Sasangka Jati ini termasuk diantara-
bertapa atau beribadah. Sholat lima nya ibadah, dengan melakukan aktivitas fisik
waktu dengan suatu pedoman yang dan batin, termasuk ucapannya adalah
dapat dipertanggung jawabkan. merupakan upaya manusia untuk mem-
Perjalanan ritual mubeng beteng ini bersihkan dirinya dari segala macam nafsu
menurut konsepsi yang tercermin dalam keduniawian, mengendalikan dirinya dari
Serat Wedhatama diartikan sebagai sembah penguasaan hawa nafsu untuk selalu
raga, meskipun lebih menekankan gerak dan mengingat kepada Tuhan, agar dirinya
laku badaniah, akan tetapi tidak mengaba- selamat dan sejahtera. Masih dalam Serat
ikan aspek rohaniahnya. Sedangkan dalam Wedhatama, bahwa ritual mubeng beteng
Serat Sasangka Jati juga dijelaskan bahwa yang diartikan sebagai kegiatan fisik,
sembah raga itu dapat diartikan demikian: memiliki makna yang dalam, seperti yang
telah dijelaskan dalam konsep Islam. Serat
“Roh suci iku uga sipating Pangé-
Wedhatama dalam pupuh tembang Gambuh
ran kang nguwasani napsu kang patang
bait 8 menjelaskan demikian:
prakara (lauwamah, amarah, sufiah,
mutmainah). Dadi tegesé, roh suci isih Wong seger badanipun
perlu nelukaké utawa ngerèh hawa otot daging kulit balung sungsum
nepsuné, supaya manut karsaning roh tumrap ing rah memarah antenging ati
suci. Déné anggoné ngerèh utama antenging ati nunungku
nelukaké mau sarana panguwasané, angruwat ruweting batos
yaiku pangaribawané (ciptané), di- Artinya:
anggo ngéling-éling marang Pangéran
lan utusané kang langgeng, kanthi Manakala segenap bagian tubuh dalam
angluhuraké asmané Pangéran lan keadaan segar dan sehat berkat kete-
sapanunggalané, kang dibabaraké kunan menjalani kewajiban bersuci,
sarana pratandha hormat: tumandangé darah menjadi lancar, hati menjadi
raga lan pengucapané”.5 tenang. Terpusatlah segenap fungsi jiwa
dengan keheningan dapat melenyapkan
Artinya : kegelapan dan keruwetan batin.
Roh suci itu adalah dari Tuhan yang
menguasai nafsu manusia dalam empat
5
R. Sunarta (dalam Ardhani). Al Qur’an dan Sufisme. (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995).
163
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
6
Syaltut M. Al Islam Akidah Wa Syari’ah. (Mesir: Dar Al Qalam, 1965).
164
Mubeng Beteng, Aktivitas Spiritual Masyarakat Yogyakarta (Endah Susilantini)
7
Al Ghazali. Ihya Ulum Al Din. ( Beirut: Dar al Fikr, tt).
8
Ibid., hal. 70.
165
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
wadah segolongan masyarakat yang berke- dengan ekspresi ungkapan rasa, dilakukan
inginan menyampaikan rasa keprihatinan dengan berbagai cara termasuk di antaranya
dengan tertib, tulus tanpa pamrih sehingga adalah melakukan tradisi ritual membisu
mengundang kepedulian mereka terhadap dengan mubeng beteng. Banyak kalangan
kondisi bangsa dan negara. Laku prihatin ini bersama-sama menyatukan langkah merasa
dilakukan dengan tertib dan teratur, apalagi peduli untuk berdoa agar bangsa dan negara-
dilakukan di bawah naungan laku prihatin nya menjadi lebih baik dari sebelumnya, atau
yang diselenggarkan oleh Paguyuban Abdi bagi yang beragama Islam dengan cara
Dalem Kaprajan Kraton Yogyakarta. membisu mengelilingi beteng kraton sambil
Ritualisme menyambut tahun baru berzikir dan berdoa dalam hati. Aspek
Hijriah dengan mubeng beteng adalah bukan spiritual mubeng beteng memiliki makna
aktivitas mubazir, pemaknaan laku prihatin yang dalam, baik ditinjau dari konsep
tersebut paralel dengan tawakal dalam Islam kejawen, konsep Islam dan konsep mo-
dan di lain pihak ekstrapolarisasinya ke dernitas. Ternyata semuanya menjelaskan
dalam etos kerja justru sesuai berlaku dengan hal yang sama tentang makna yang terkan-
tuntutan modernitas.9 dung di dalamnya. Mubeng beteng tidak bisa
hilang begitu saja, sebab ritual ini sekarang
Kesimpulan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa
Apa yang terjadi pada diri manusia dan saja, tetapi sudah bisa diterima dan dilaku-
alam semesta seperti hidup, rezeki, jodoh, kan oleh masyarakat etnis lain selain etnis
bencana, penyakit dan kematian adalah Jawa. Apa yang dilakukan ini dihubungkan
sudah menjadi kehendak Allah. Tetapi ma- dengan kondisi bangsa dan negara saat ini,
nusia wajib berusaha, dengan daya upaya sebagai suatu bentuk keprihatinan dan
serta harapan agar Allah dapat memberikan berharap agar kondisi itu akan segera
yang terbaik kepada manusia. Media pe- berakhir, dan tercapai kondisi yang lebih
nyampaian doa yang dilakukan manusia baik.
Daftar Pustaka
Ardhani, Mohamad, 1995. Al Qur’an dan Sufisme.Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.
Ghazali, Al, tt. Ihya Ullum Al-Din. Beirut: Dar Al Fikr.
Sutrisno, Slamet. “1 Sura, Etos Bangsa dan Zaman Waras”, dalam Kedaulatan Rakyat.
19 Januari 2007.
Syaltut, M., 1965. Al Islam, Akidah Wa Syari’ah. Mesir: Dar Al Qur’an.
N N. “Ngibarake Pusaka Dwaja Kanjeng Kiai Tunggul Wulung”, dalam Majalah Mekar
Sari. Taun III No. XIX. Juni 1967, Yogyakarta.
9
Slamet Sutrisno. “1 Sura, Etos Bangsa dan Zaman Waras”, dalam Kedaulatan Rakyat. 19 Januari 2007,
hal. 12.
166
Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)
Abstrak
Gereja Ganjuran dikenal sebagai salah satu gereja yang memiliki tradisi prosesi
atau perayaan arak-arakan terhadap Hati Kudus Tuhan Yesus. Tradisi ini sudah lama
ada, sejak jaman Belanda dan dilestarikan hingga sekarang. Dari tahun ke tahun (setiap
minggu terakhir Bulan Juni) perayaan arak-arakan ini mengalami perkembangan. Lebih-
lebih setelah ditemukannya sumber air di dekat Candi Ganjuran, perayaan arak-arakan
ini menjadi semakin meriah. Prosesi yang awalnya hanya dihadiri oleh umat Kristiani
daerah setempat kini sudah menjadi milik bangsa kita khususnya yang berdomisili di
Pulau Jawa dan Bali.
Kata kunci: Prosesi - Gereja - Makna dan simbol.
1
Panitia Prosesi, Panduan Prosesi 2004 di Gereja Ganjuran Sumbermulya Bambanglipura, Bantul,
Yogyakarta, hal. 53 – 55.
167
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
168
Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)
Paus Pius X di Eropa. Pada saat itu banyak bolisasi atas empati umat mengikuti Tuhan
umat yang mulai ragu dan bimbang terhadap Yesus yang berjalan ke Taman Getsemani.
kehadiran Tuhan Yesus Kristus dalam Di tempat yang merupakan simbolisasi
Sakramen Mahakudus. Agar tidak terjadi Taman Getsemani umat melakukan astuti,
situasi seperti itu dimunculkanlah suatu yaitu pujian kepada Sakramen Mahakudus.
kegiatan prosesi. Awalnya, prosesi diadakan Di Taman Getsemani itulah Tuhan Yesus
untuk menepis keraguan umat beriman atas membuktikan kesetiaan dan cintanya kepada
kehadiran Tuhan Yesus Kristus dalam umat manusia dengan menyatakan kesediaan
Sakramen Mahakudus. Maka saat itu sering untuk menderita dan wafat di kayu salib
diadakan perarakan Sakramen Mahakudus untuk menebus dosa-dosa manusia.5
ke luar gereja, melintasi jalan-jalan kota Mengingat begitu pentingnya arti dan
yang diikuti oleh seluruh umat gereja. tujuan prosesi maka hingga kini prosesi ini
Kegiatan ini terus menerus dilakukan dan menjadi tradisi, setiap tahun mengalami
menjadi tradisi, yang kemudian diikuti oleh perkembangan. Berdasarkan observasi umat
para umat Kristiani dari bangsa-bangsa lain pengikut prosesi, awalnya prosesi hanya
termasuk umat Kristiani yang ada di dilakukan secara sederhana dengan diikuti
Indonesia. oleh para umat di lingkungan setempat.
Di Gereja Ganjuran, kegiatan prosesi Namun dalam perkembangannya, terlebih
dilakukan sejak gereja ini berdiri tahun 1924. setelah ditemukan Tirta Perwitasari dekat
Kegiatan prosesi dilakukan dengan arak- Candi Ganjuran, tradisi prosesi menjadi
arakan Sakramen Mahakudus oleh umat- sangat ramai diikuti oleh para umat peziarah
Nya dengan berjalan mengitari gereja dari pelbagai tempat, khususnya Jawa dan
kemudian kembali masuk ke gereja lagi Bali. Sehubungan dengan itu maka dalam
dengan upacara Misa Sakramen Maha tataran ini prosesi dimaknai sebagai simbol
Kudus di dalam gereja. Dalam perkem- peziarahan umat manusia yang menempuh
bangannya prosesi ini dilakukan dengan perjalanan panjang selama hidupnya, namun
arak-arakan Sakramen Mahakudus oleh harus selalu mengarah dan menuju pada
petugas dari gereja, menuju Candi Ganjuran Kristus Tuhan dan Raja mereka.
(masih dalam lingkup kawasan gereja), Dalam perayaan prosesi itu diharapkan
kemudian dilangsungkan Misa Sakramen agar umat yang mengikuti prosesi dapat
Mahakudus di depan candi tersebut. menimba dari sifat-sifat pribadi Tuhan Yesus
Perubahan ini terjadi karena pada saat itu Kristus, yang disertai dengan melakukan
umatnya sedikit, hanya masyarakat di penghormatan khususnya kepada Sakramen
lingkungan paroki setempat. Namun setelah Mahakudus. Pada kesempatan itu umat dari
banyak umat yang ikut dalam perayaan berbagai tempat dan dengan berbagai tujuan
prosesi ini, maka arak-arakan tidak diikuti permohonan dan berkat Tuhan datang untuk
oleh semua umat yang hadir dan kegiatan menghadap Kristus. Puncak acara umat
misa prosesi dipusatkan di halaman Candi menyambut kehadiran Tuhan pada Kirab
Ganjuran. Agung Sakramen Mahakudus dan penyam-
Tujuan prosesi di Gereja Ganjuran ini butan komuni suci.
agar kaum beriman semakin dikuatkan
imannya dan dengan penuh keyakinan mau Makna dan Simbol
mengakui dan menghormati Sakramen Sebelum melangkah pada uraian tentang
Mahakudus. Prosesi memiliki arti perarakan makna dan simbol yang ada pada tradisi
umat yang mengikuti Sakramen Mahakudus, prosesi, akan dibahas sekilas tentang me-
yang juga dapat dipahami sebagai sim- ngapa ada simbol-simbol. Tradisi prosesi
5
Panduan Prosesi, op.cit, hal. 70–71.
169
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
adalah salah satu strategi dalam melestarikan Secara fisik, gereja merupakan tempat
salah satu wujud budaya bangsa, yang dalam ibadah bagi umat Kristiani namun kalau
hal ini adalah terkait dengan sistem religi. dimaknai gereja ini memiliki kandungan
Dalam religi sistem simbol digunakan nilai sebagai simbol persatuan dan
manusia (lewat sistem pengetahuan) sebagai perlindungan bagi umat beriman. Di tempat
media untuk berkomunikasi dengan dunia- ini selalu diselenggarakan perayaan ekaristi
nya.6 Bahkan menurut Koentjaraningrat, Sakramen Mahakudus sebagai lambang
sistem religi dan upacara keagamaan (seperti kehadiran Tuhan ditengah-tengah umat-Nya.
dalam tradisi prosesi ini) sukar diubah Oleh karena itu, gereja inilah yang seharus-
apalagi dihilangkan karena terkandung nilai- nya menjadi tempat persinggahan pertama
nilai (ada di dalam simbol-simbol) yang di- bagi para peziarah yang ingin memohon
anggap berguna dalam hidupnya.7 perlindungan Tuhan.8
Atas dasar pengertian tadi menunjukkan
bahwa dalam suatu upacara keagamaan 2. Candi Ganjuran
seperti dalam upacara prosesi ini, banyak Candi Ganjuran letaknya masih dalam
simbol-simbol yang digunakan. Mulai dari satu komplek dengan gereja, berada di sudut
tempat yang digunakan untuk kegiatan timur laut Gereja Ganjuran. Dulu sebelum
upacara prosesi, peralatan yang digunakan, ditemukannya sumber air (Tirta Perwitasari)
serta proses/tahap-tahap upacara dalam candi ini tidak digunakan untuk Misa Agung
kegiatan prosesi tersebut, kesemuanya dalam perayaan prosesi ini, khusus sebagai
memiliki makna dan simbol Dengan demi- tempat persemayaman Hati Kudus Tuhan
kian upacara prosesi merupakan satu Yesus. Oleh umat, candi ini dimaknai se-
rangkaian yang utuh yang dapat dimaknai bagai simbol keabadian dan kebesaran
sebagai suatu kegiatan prosesi yang bersifat Tuhan. Bangunan yang terbuat seluruhnya
religius dan menjadi suatu tradisi. dari batu ini tidak lapuk oleh waktu dan
cuaca, melambangkan penyertaan Tuhan
1. Gereja Ganjuran kepada umat-Nya yang bersifat kekal abadi.
Gereja ini menjadi tempat awal dalam Juga melambangkan kesetiaan Tuhan yang
melakukan kegiatan prosesi. Sebelum tidak dibatasi oleh waktu dan situasi (cuaca)
dilakukan arak-arakan, terlebih dahulu umat apapun. Candi ini sebagai tempat sang raja
berkumpul di dalam gereja, kemudian baru (hati kudus) bersemayam yang memiliki
berjalan keliling gereja bersama Sakramen kebesaran yang abadi/kekal, ditahtakan di
Mahakudus. Namun sekarang, mengingat dalam candi untuk dipuja dan dimintai
jumlah umat sangat banyak maka di dalam pertolongan seluruh umat-Nya. Dalam
gereja hanya digunakan untuk berkumpul kaitannya dengan perayaan prosesi, kini
para petugas (pastor, misdinar, para diakon, candi ini menjadi tempat untuk melakukan
dan pengurus lainnya) arak-arakan saja kegiatan Misa Prosesi yang diawali dengan
beserta segala perlengkapannya. Umat mengarak arca Kristus Raja dari gereja,
berada di luar gereja, di samping kiri kanan diarak ke candi, dan langsung disemayam-
jalan yang mau dilewati arak-arakan kan di dalam candi. Sebagai penghormatan
Sakramen Mahakudus. dan pemujaan kepada-Nya, dilakukan misa
6
Irwan Abdullah. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan Pada Upacara
Garebeg. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2002), hal. 2.
7
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. (Jakarta: PT. Gramedia, 1980), hal. 12 –
13.
8
Panduan Prosesi, op.cit., hal. 66 – 67.
170
Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)
yang dihadiri oleh seluruh umat yang datang secara medis air ini memiliki banyak
ke tempat tersebut.9 kelebihan daripada air pada umumnya.
Tirta Perwitasari ini menjadi salah satu
3. Arca Kristus Raja rangkaian dari kegiatan prosesi. Air
Arca Kristus Raja adalah arca Tuhan dianggap suci sehingga memiliki khasiat
Yesus Kristus yang diarak dari dalam gereja tersendiri sebagai berkah Tuhan digunakan
menuju ke candi. Dalam arak-arakan ini untuk dipercikkan kepada seluruh umat yang
dihadiri oleh seluruh umat Kristiani. Umat mengikuti Sakramen Mahakudus pada saat
menghantar arca tersebut dengan kidung- berkat penutup misa. Air juga menjadi aneka
kidung pujian menuju candi untuk dise- berkat nyata yang dianugerahkan Tuhan
mayamkan. Dalam acara arak-arakan arca kepada umat-Nya dalam kehidupan sehari-
Tuhan Yesus Kristus ini dimaknai sebagai hari. Banyak para peziarah datang ke tempat
simbol keagungan dan belas kasih yang tak itu dan mengambil air untuk kepentingan
terhingga, dan melambangkan pengakuan kesehatan/medis, dan ternyata banyak yang
umat beriman pada Sang Penguasa Tunggal, berhasil. Dari sinilah menunjukkan anugerah
yaitu Tuhan Yesus Kristus. Yesus sebagai Tuhan yang penuh belas kasih diberikan
raja yang berkuasa dan belas kasih-Nya yang kepada umat-Nya yang membutuhkan.11
tak terhingga tampak dalam Hati Kudus-Nya
yang diserahkan kepada umat manusia 5. Misa Prosesi
dengan dibuktikan melalui penderitaan dan Dalam tradisi prosesi, puncak dari
wafat di kayu salib untuk menebus dosa-dosa seluruh acara adalah Misa prosesi. Disebut
manusia.10 Misa Prosesi karena pada perayaan misa
Dalam kehidupan umat beriman, arca yang disebut akbar ini selalu didahului
dimaknai sebagai suatu sarana/jalan untuk dengan arak-arakan Sakramen Mahakudus.
menuju ke surga/ke kemuliaan dengan rela Misa Prosesi ini dimaknai sebagai simbol
berkorban dan melakukan tindakan secara penyerahan umat kepada kuasa Hati Kudus
nyata penuh belas kasih seperti yang Tuhan Yesus. Dalam perayaan akbar ini dila-
diberikan oleh Hati Kudus Tuhan Yesus. kukan penghormatan kepada Hati Kudus
Tuhan Yesus yang ditandai dengan berbagai
4. Tirta Perwitasari upacara kebesaran. Pada kesempatan ini para
Air suci yang disebut Tirta Perwitasari umat yang mengikuti misa memper-
yang ditemukan dari dasar Candi Ganjuran, sembahan sebagian hasil karya mereka yang
memiliki simbol sebagai berkat kehidupan diungkapkan dalam aneka simbol, yaitu: roti-
yang dianugerahkan kepada segenap umat anggur, hasil bumi, makanan tradisional,
beriman. Air adalah sumber kehidupan bagi gunungan, aneka hiasan, uang, dan buah-
setiap makluk hidup sehingga dengan adanya buahan. Persembahan ini dimaknai sebagai
sumber air tersebut menunjukkan bahwa sebagian berkat Tuhan yang terwujud di
Tuhan telah menganugerahkan dengan dalam buah karya manusia yang dihaturkan
memberi kehidupan (lewat air tersebut) kembali kepada pencipta-Nya. Sang pencipta
kepada umat-Nya. Kandungan nilai yang (Tuhan) berkenan menerima persembahan
dimaknai air ini bukan sekedar untuk hidup, itu, hadir mengunjungi umat-Nya dalam
tetapi hidup untuk mewartakan belas kasih kirab Agung Sakramen Mahakudus, dan
Hati Kudus-Nya. Itulah sebabnya air yang bersatu untuk menyertai umatnya dalam
dianugerahkan tidak sembarang air tetapi komuni suci. Selanjutnya Sang Pencipta
9
Ibid., hal. 67.
10
Ibid., hal. 38.
11
Ibid., hal. 68.
171
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
12
Ibid., hal. 69.
13
Ibid., hal. 72.
14
Ibid., hal. 72.
15
Kasidi Hadiprayitno. “Ketahanan Budaya Dari Aspek Filosof Budaya Jawa”, dalam Makalah Lokakarya
Penyususnan Indikator Ketahanan Budaya. Tanggal 13 Desember 2005, hal. 12.
172
Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)
(pemimpin upacara), para diakon, penari, bahwa setiap perbuatan kita yang tidak
penabuh gamelan dan petugas lainnya, selaras dengan ajaran Kristus akan menjadi
mengenakan pakaian tradisional/adat Jawa. paku, pukul, dan mahkota duri yang baru.
Hal ini dimaknai sebagai simbol penerimaan Setiap dosa yang kita lakukan berarti paku
suatu bangsa (bangsa Jawa) dengan adat atau duri baru yang kita tancapkan kepada
Jawa, tradisi Jawa, dan seluruh budaya serta Yesus Kristus. Sebaliknya, setiap amal kasih
alam pikirnya. Pakaian adat (Jawa) yang yang kita lakukan dapat dipahami sebagai
merupakan tampilan luar merupakan cermin upaya membebaskan Yesus Kristus dari
hati, alam pikir, dan budaya yang mereka paku-paku dan duri-duri yang menancap
miliki. pada kaki tangan, dan kepala-Nya.18
Diharapkan dengan mengenakan
pakaian adat ini suatu masyarakat mau 10. Umbul- Umbul (Vandel)
menerima kehadiran Sang Maharaja dengan Dalam kaitannya dengan perayaan
sepenuh hati, dan dengan segala penghor- prosesi ini, umbul-umbul digunakan sebagai
matan yang mungkin dapat dilakukan. lambang persekutuan Umat Hati Kudus
Dengan demikian, akhirnya seluruh tata Tuhan Yesus yang bersedia menghadap dan
hidup (adat dan budaya) masyarakat itu menyambut kehadiran Sang Maharaja
diserahkan sepenuhnya kepada Sang Agung yaitu Yesus Kristus dengan Hati-Nya
Maharaja yang disambut kehadiran-Nya.16 Yang Mahakudus. Oleh karena itu, pada saat
pembukaan (acara prosesi ) dimulai umbul-
9. Paku, Pukul dan Mahkota Duri umbul ini diarak, sebagai lambang kesediaan
Pada saat Kirab Agung Sakramen umat yang mau menyambut dengan dipim-
Mahakudus dilengkapi dengan seperangkat pin oleh imam (pemimpin upacara) yang
alat-alat yang menempel pada diri Tuhan akan menghantar umat untuk sampai atau
Yesus Kristus waktu disalibkan. Seperangkat bertemu dengan Sang Maharaja Yesus
alat-alat ini adalah paku, pukul, dan mahkota Kristus.19
duri. Ini semua adalah simbol-simbol penya- Pada Kirab Agung Sakramen Maha-
liban Tuhan Yesus Kristus. Tujuan alat-alat kudus, umbul-umbul kembali diarak dan
tersebut digunakan dalam perlengkapan dijajar sepanjang jalan yang akan dilewati
perayaan ini adalah untuk mengingatkan Sakramen Mahkudus, sebagai simbol pe-
kembali seluruh umat yang hadir betapa nyambutan seluruh umat kepada Sang
cinta agung Tuhan Yesus Kristus dengan Maharaja.
Hati Kudus-Nya sungguh suci dan mulia.
Cinta yang agung itu telah mengatasi 11. Gunungan dan Hasil Bumi
ketakutan akan rasa sakit yang ditimbulkan Di dalam adat Jawa, seperti dalam upa-
mahkota duri, paku, dan tombak di kayu cara garebeg selalu ada gunungan.
salib. Cinta agung itu telah membuahkan Gunungan diasosiasikan sebagai suatu
kesediaan untuk mengorbankan diri dan tempat yang tinggi letaknya, sesuatu yang
menyerahkan hidup-Nya di dunia ini kepada suci, tempat Tuhan bersemayam sehingga
umat manusia.17 harus dihormati.20 Hal ini tidak jauh berbeda
Peralatan tersebut juga dimaknai se- dengan gunungan yang ada pada perayaan
bagai tanda pengingat bagi seluruh umat prosesi, yang dianalogikan sebagai simbol
16
Panduan Prosesi, op.cit., hal. 74.
17
Ibid., hal. 75.
18
Ibid., hal. 75.
19
Ibid., hal. 75.
20
Irwan Abdullah, op.cit., hal. 66.
173
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
21
Panduan Prosesi 2004 di Gereja Ganjuran, hal. 76.
22
Ibid., hal 78.
174
Makna Simbolik Tradisi Prosesi Di Gereja Ganjuran (Emiliana Sadilah)
rim doa dan bau harum dari dupa. Dalam Menurut sejarah, tradisi prosesi ada
kepercayaan umat Kristiani, pembakaran sejak jaman dulu tepatnya sejak dibangun
dupa ini mengingatkan pada cerita per- gereja pada tahun 1924. Keberadaannya
sembahan Habel yang diterima oleh Tuhan meniru tradisi yang ada di Eropa, namun
yang tampak pada asap putih yang mem- dalam aktualisasinya mengkombinasikan
bubung ke atas/ke surga. Sementara bau budaya Eropa dengan Jawa. Hal ini dapat
harum dianalogikan sebagai suatu peman- dilihat dari semua rangkaian upacara yang
dangan yang indah yang melambangkan ke- menggunakan perlengkapan dan peralatan
hadiran Tuhan yang membahagiakan, me- secara tradisional seperti layaknya yang
nyegarkan, menyembuhkan, dan memuaskan diperbuat oleh orang Jawa.
jiwa.23 Kalau dilihat sejak persiapan hingga
Pada intinya dilakukan pembakaran jalannya perayaan arak-arakan sampai
dupa dengan anglo sebagai tempatnya, selesai upacara, dilakukan secara hikmat
dengan harapan agar doa dan persembahan penuh dengan harapan atas hadirnya Sang
umat yang diunjukkan sungguh harum me- Maharaja Tuhan Yesus Kristus. Umat yang
wangi, naik ke hadirat Tuhan Hyang Maha datang dari berbagai daerah (khusus Jawa
Kuasa dan diterima di hadapan Tuhan dan Bali) dan dari berbagai suku bangsa, rela
dengan senang hati. menanti kehadiran Sang Maharaja sebagai
Tuhan penyelamat manusia hingga perayaan
14. Songsong /Payung itu selesai.
Dalam tradisi Jawa, payung mengan- Jalannya arak-arakan dimulai dari
dung makna ganda yaitu sebagai peneduh dalam gereja dan berakhir di depan Candi
dan sebagai pengayom. Logikanya payung Ganjuran. Di candi ini acara inti dari pe-
sebagai peneduh dipergunakan untuk me- rayaan prosesi ini dilakukan yaitu Misa
lindungi sang raja yang diarak supaya tidak Prosesi. Sebelum sampai pada Misa Prosesi
kena panas dan hujan. Sebagai pengayom, didahului dengan arak-arakan Sakramen
payung sebagai simbol yang memiliki peran Mahakudus yang dilengkapi dengan ber-
atau fungsi dari pihak yang mengenakannya bagai rangkaian lainnya termasuk gunungan
yaitu selaku pengayom, pelindung, penguasa dan ubarampenya.
yang memberi keteduhan.24 Peralatan dan perlengkapan yang di-
Dalam konteks liturgi inkulturatif di gunakan untuk meluhurkan nama Tuhan
Gereja Ganjuran pada perayaan prosesi, cukup banyak jenis dan jumlahnya dan itu
payung dimaknai sebagai alat untuk memu- semua memiliki makna dan simbol-simbol
liakan atau mengakui kebesaran Sang Maha- yang berkaitan dengan hubungan manusia
raja Yesus Kristus yang bertahta dengan Hati baik secara horisontal maupun vertikal.
Kudus-Nya. Para umat yang hadir mengha- Mengingat tradisi prosesi ini memiliki man-
dap dan menyembah sebagai tanda hormat faat bagi pendukungnya maka sampai se-
kepada Sang Maharaja, saat payung itu karang masih dilestarikan, meskipun dalam
diarak lewat dihadapan para umat. tahun ke tahun mengalami perkembangan.
Kini tradisi prosesi ini tidak hanya menjadi
Penutup milik umat di wilayah Gereja Ganjuran saja,
Berdasarkan uraian tentang ‘Tradisi namun telah menjadi milik bangsa kita
Prosesi Di Gereja Ganjuran’, dapat ditarik khususnya yang tinggal di Jawa dan Bali.
sebuah kesimpulan sebagai berikut:
23
Ibid., hal. 79
24
Ibid.
175
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Daftar Pustaka
Abdullah , Irwan, 2002. Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan
Pada Upacara Garebeg. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Hadiprayitno, Kasidi. “Ketahanan Budaya Dari Aspek Filosofi Budaya Jawa”, dalam
Makalah Lokakarya Penyususnan Indikator Ketahanan Budaya. Tanggal 13
Desember 2005 di Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1980. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT.
Gramedia.
Panitia Prosesi, 2004. Panduan Prosesi 2004 di Gereja Ganjuran, Sumbermulyo,
Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta.
Yuwono Sri Suwito, 2005. “Indikator Ketahanan Budaya dari Aspek Sosial Budaya”,
dalam Makalah Lokakarya Penyusunan Indikator Ketahanan Budaya. Tanggal
13 Desember 2005 di Yogyakarta.
Data Primer, 2004. Pengamatan Langsung dan Partisipasi di Lapangan sebagai umat.
176
Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam (Siti Munawaroh)
Abstrak
1
Rifyal Ka’bah. “Tradisi dan Perayaan”, dalam Republika. Sabtu 19 November 1994, hal. 6.
177
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
yakni hari perkawinan, hari kelahiran dan untuk berdakwah melalui seni, dan Kitab
acara-acara penting yang berkaitan dengan Barzanji sebagai sumbernya. Oleh karena
siklus kehidupan, selain diadakan makan itu, seluruh anggota kesenian ini juga ber-
bersama-sama juga diramaikan pula dengan agama Islam. Bagi masyarakat atau umat
berbagai kesenian khususnya yang bertema- yang menganut agama Islam membaca
kan Islami. Menurut Kuntowijoyo, di Daerah barzanji atau Kitab Barzanji adalah baik dan
Istimewa Yogyakarta banyak kesenian yang malahan mendapatkan pahala, karena isi
bertemakan Islam seperti kesenian Badui, yang terkandung dalam kitab tersebut
Selawatan Mondreng, Kuntulan, Rebana, mengisahkan perjalanan, kehidupan dan
Rodat, Qasidah atau Samroh, dan kesenian perilaku atau keteladanan Nabi Muhammad
pembacaan Kitab Barzanji atau selawatan. S.A.W. melalui kesenian yakni nyanyian
Walaupun kesenian-kesenian yang bernafas- dengan syair Islami yang biasa disebut
kan Islam tersebut sekarang sudah menga- dengan selawatan. Bagi umat Islam,
lami penyusutan.2 pembacaan Barzanji yang ditulis dengan
Satu dari sekian kesenian yang bertema- bahasa Arab ini pada umumnya ditradisikan
kan Islami dan hingga sekarang masih dalam hubungannya dengan peristiwa
dilestarikan juga dijadikan suatu kebiasaan kelahiran anak yang baru berumur tujuh hari,
atau tradisi bagi umat Islam di Daerah selapan atau 35 hari, yang dilaksanakan
Istimewa Yogyakarta khususnya di Bantul bersamaan pula dengan acara aqiqah
adalah pembacaan Barzanji atau istilah lokal (kekahan) dengan penyembelihan kambing.
berjanjen. Setiap desa bahkan dusun me- Kuntowijoyo, dalam Endah Susilantini
miliki perkumpulan atau organisasi kesenian menjelaskan bahwa bagi sebagian masyara-
Barzanji ini, seperti di Dusun Bolon, kat Jawa yang tinggal di desa atau di daerah
Kelurahan Palbapang, Kabupaten Bantul. Di pantai, tentunya yang beragama Islam dalam
daerah tersebut ada dua perkumpulan memperingati hari selapanan bayi kadang-
kesenian Barzanji yaitu satu kelompok laki- kadang mementaskan tradisi selawatan yang
laki yang dipimpin oleh Bapak Abdullah bersumber pada Kitab Barzanji. Lebih lanjut
yang dibantu oleh Bapak Zainudin seorang mereka mengatakan lagu-lagu yang disajikan
Guru Madrasah Tsanawiyah Wonokromo dalam pementasan, disesuaikan dengan
dan kelompok satunya adalah perempuan kepentingan dalam pertunjukan misalnya
yang dipimpin oleh Ibu Dhakir, pensiunan khitanan, perkawinan, dan hari besar Islam.
Departemen Agama Bantul yang dibantu Ibu Syairnya merupakan puji-pujian kepada
Nurkhasanah seorang Guru Agama Islam. Tuhan atau Nabi. Sementara untuk mempe-
Kelompok kesenian Barzanji perempuan ini ringati kelahiran bayi (bayen), syairnya
pernah menjadi juara sebanyak tiga kali adalah berisi harapan-harapan supaya kelak
tingkat Kabupaten Bantul. Terakhir dalam anak berguna bagi agama, nusa dan bangsa.3
perlombaan pembacaan Barzanji pada tahun Kesenian Barzanji ini sangat dinamis dalam
2002 di Balai Muslimin Bantul, kelompok arti syair selalu disesuaikan dengan perkem-
ini menjadi juara tiga. bangan jaman, namun unsur aslinya masih
tetap utuh yakni dari Kitab Barzanji.
Pembahasan Kelestarian kepercayaan tradisi tersebut
Barzanji adalah satu dari sekian buku bagi umat Islam di Jawa dan khususnya di
yang bernafaskan Islam yang tujuannya Bolon Palbapang Bantul, mempunyai kan-
2
Kuntowijoyo, dkk. Tema Islam Dalam Pertunjukan Rakyat Jawa: Kajian Aspek Sosial, Keagamaan,
dan Kesenian. (Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Depdikbud,
1986/1987), hal. 12-13.
3
Endah Susilantini. Serat Dzikir Maulud: Kajian Aspek Keagamaan dan Tradisi Masyarakat. Naskah
belum diterbitkan. (Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 2006), hal. 6.
178
Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam (Siti Munawaroh)
4
Ibid., hal. 40.
5
Kuntowijoyo, dkk., op.cit., hal. 30.
179
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Nabi utusan Tuhan.6 Kemudian oleh pendu- Ya robbi sholli ‘alaa Muhammad,
kung tradisi dalam posisi srokal ini si bayi Ya robbi sholli ‘alaaihi wa sallim.
yang sedang dilakukan hajatan digendong (Ya Robbi sholawat atas Muhammad,
menuju orang yang dituakan untuk pemo- Ya Robbi sholawat atasnya dan sela-
tongan rambut sekaligus memberi doa. matlah)
Selanjutnya bayi di ajak keliling atau meng-
hampiri semua yang hadir juga untuk Kemudian pemimpin melanjutkan ba-
memberikan doa sambil meniup sebanyak caan solawat barzanji pada bait berikutnya
tiga kali di kepala si bayi. Pemotongan dua bait-dua bait sampai ke delapan belas
rambut dengan maksud mensucikan atau bait yang setiap dua bait para jama’ahnya
membersihkan. bersama-sama menjawab: Ya robbi sholli
Dalam hal perlengkapan para pemain ‘alaa Muhammad, Ya robbi sholli ‘alaaihi
seperti kostum atau make up pada umumnya wa sallim. Adapun bait pertama yang dibaca
tidak seperti kesenian yang bersifat Islami oleh pemimpin atau yang mendapat giliran
lainnya. Hal ini karena para pemain hanya membaca bacaannya adalah sebagai berikut:
memakai pakaian biasa. Hal terpenting Fii hubbi sayyi dinaa Muhammadin,
adalah pakaian sopan dan rapi, bila tampil nuurul libadril hudaa mutam mamun
dalam perlombaan atau pentas, seperti yang (Cintaku hanya paduka Muhammad,
dilakukan oleh anggota kesenian Barzanji cahaya petunjuk bagi purnama)
di Dukuh Bolon, tampil dengan mengenakan
seragam.7 Qolbii yahinnu ilaa Muhammadin,
Maazaala miw wuj dihii mutay yamun
Jalan Pementasan Kesenian Pembacaan (hatiku rindu kepada Muhammad,
Barzanji selalu………………………)
Pertama-tama mengucapkan Assala- Setelah pemimpin selesai menyanyikan
mu’alaikum dan membaca Surat Al-fatikhah, syair solawat dalam kitab barzanji sebanyak
yaitu surat pembuka dalam kitab suci 18 bait kemudian pemimpin kadang-kadang
Alquran yang dianggap sebagai induk dari menyanyikan lagu-lagu yang berisikan
kitab suci bagi umat Islam, oleh pimpinan dakwah seperti dibawah ini:8
perkumpulan kesenian dan dilanjutkan
sekaligus sebagai pambowo. Kemudian di- Nasabun tah sibul ‘idaa bihulaahu,
ikuti bacaan solawat Nabi yang berbunyi Qolla dat haa nujuu mahaa jauza-‘u
Sholu’ala Nabi Muhammad yang selanjut- (Miskin ya orang miskin, miskin belajar
nya dijawab oleh anggota jamaahnya dengan Quran, sungguh-sungguh orang Islam
bacaan Allahumma sholi’alaih. Selanjutnya Dari Allah Tuhan Pangeran)
pemimpin dan juga diikuti semua jamaah Habbadhaa ‘iqdusuu da diw
yang hadir bersama-sama menyanyikan dan wafakhorin, anta fiihil yatii
membacakan lagu-lagu syair solawat yang matul’ash maa-‘u.
berbunyi seperti berikut:
(Ingat-ingat malam dan siang, badanmu
Allahumma sholli ‘alamuhammad, itu seperti wayang, jangan sekali tinggal
Yaa robbi sholli ‘alaaihi wa sallim sembahyang, nyawamu itu akanlah
(Ya Allah sholawat atas Muhammad, Ya hilang).
Robbi sholawat atasnya dan selamatlah)
6
Endah Susilantini, op. cit., hal. 117.
7
Wawancara dengan Bu Dhakir, tanggal 5 April 2007.
8
Maktabu Rohlan An-nasar. Majmu’atal Mawalid. (Terjemahan Indonesia, tt), hal. 76.
180
Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam (Siti Munawaroh)
9
Ibid., hal. 26-27.
181
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
berjumlah 39 bait dinyanyikan semua, saat acara atau tradisi aqiqah atau kekahan
namun adakalanya tidak atau menyesuaikan dan atau juga ditampilkan dalam acara
karena waktu pementasan adalah malam hari selapanan (bayen) atau 35 hari usia bayi.
dan dengan posisi berdiri, sehingga mudah Bagi keluarga, kelahiran anak adalah sesuatu
lelah. yang sangat membahagiakan, apalagi anak
Selesai membacakan atau menyanyikan tersebut merupakan dambaan yang mulia
lagu As-srokal atau srokal, adegan selanjut- bagi kedua orang tuanya. Anak adalah
nya membaca Kitab Barzannji tetapi tidak amanah, atau anak adalah titipan Tuhan
dilagukan dan dengan posisi duduk kembali. itulah ungkapan sebagian besar masyarakat.
Kemudian selesai pembacaan tersebut ber- Dengan demikian, kelahiran anak adalah
akhirlah pembacaan bagi kelompok kesenian sepenuhnya menjadi tanggungjawab orang
Barzanji, yang kemudian diakhiri dengan tua untuk membesarkan dan mendapatkan
pembacaan do’a yang biasanya juga di- pendidikan. Satu dari sekian pendidikan dan
ambilkan dari kitab Al-Barzanji juga dan tanggungjawabnya sebagai orang tua serta
dibawakan oleh pemimpin atau sesepuh salah satu dari pengabdian mereka pada
kelompok kesenian. Tuhannya adalah mengadakan kekahan yaitu
menyembelih kambing 2 (dua) ekor bila
Penutup anak laki-laki dan 1 (satu) ekor kambing
Barzanji adalah satu dari sekian buku apabila anak yang dilahirkan perempuan.
yang bernafaskan Islami yang dijadikan Untuk memeriahkan acara tersebut
sebagai sumber dalam tradisi pembacaan sebagian besar masyarakat yang berada di
barzanji atau berjanjen bagi umat Islam. Isi daerah pedesaan mengundang kelompok
dari buku Kitab Barzanji ini merupakan puji- kesenian atau pembacaan Kitab Barzanji
pujian kepada Nabi dan juga berisi kisah- yang berisi puji-pujian untuk menyongsong
kisah sekitar Nabi, namun unsur yang kelahiran Nabi. Oleh karena itu, maka
terpenting dalam buku ini adalah syair-syair kesenian tersebut dipentaskan. Pementasan
yang memuji kepribadian dan akhlakul ini tidak lain bertujuan untuk menghormati
karimah atau budi utama Nabi Muhammad bayi supaya mendapatkan berkah dan
S.A.W. Jadi mengagungkan nama Allah dan rahmat-Nya. Mengapa tradisi ini banyak
Nabi yang diwujudkan dalam bentuk seni, dilakukan di daerah pedesaan? Hal ini
sebagai seni tradisional yang dilakukan disebabkan karena di daerah pedesaan masih
sesuai dengan salah satu wujud dari peng- menunjukkan sifat gotong-royong yang
abdian mereka kepada panutannya. tinggi, walaupun ekonomi mereka sudah
Kesenian barzanji sesungguhnya membaik, seperti yang ada pada masyarakat
merupakan suatu kesenian tanpa musik dan di Pedukuhan Bolon Palbapang Bantul.
terdiri dari vokal saja. Namun, dalam per- Tradisi Barzanji malahan tidak hanya untuk
kembangannya sekarang memakai musik menyemarakkan kelahiran anak atau dalam
yaitu terbang dan kadang keyboard. Karena acara kekahan saja, tetapi juga dalam acara
memakai alat musik terbang, maka kesenian pernikahan, tradisi tujuh bulan (tingkeban),
barzanji ini dimasukkan dalam seni dan khitanan (peristiwa lingkaran hidup).
terbangan atau selawatan. Unsur terbang Malahan sekarang Barzanji dipentaskan
sangat menonjol sebagai instrumen musik dalam acara pada hari-hari besar Islam dan
Barzanji ini dan ternyata kesenian ini juga hari besar nasional. Di Kabupaten Bantul
sudah dikenal sejak masuknya Islam di pernah diadakan suatu perlombaan atau
Indonesia kemudian dijadikan sebagai ciri festival Barzanji. Ini semua tidak lain se-
khas bagi seni musik Islam. bagai media dakwah sekaligus meng-
Pada umumnya, pembacaan kitab agungkan nama Allah dan Nabi Muhammad
Barzanji atau kesenian ini ditampilkan pada SAW, yang diwujudkan dalam bentuk seni.
182
Tradisi Pembacaan Barzanji Bagi Umat Islam (Siti Munawaroh)
Daftar Pustaka
An-nasar, Maktabu Rohlan, tt. Majmu’atal Mawalid. (Terjemahan Indonesia).
Endah Susilantini, 2006. Serat Dhikir Maulud: Kajian Aspek Keagamaan dan Tradisi
Masyarakat. (Naskah belum diterbitkan). Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional.
Kuntowijoyo, dkk., 1986. Tema Islam Dalam Pertunjukan Rakyat Jawa: Kajian Aspek
Sosial, Keagamaan, Dan Kesenian. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Depdikbud.
Rifyal Ka’bah. “Tradisi dan Perayaan”, dalam Republika. Sabtu 19 Nopember 1994.
183
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Abstrak
Masa lalu (masa kolonial, pendudukan Jepang, revolusi maupun masa kemerdekaan)
semuanya meninggalkan jejak di kota-kota (terutama kota-kota besar) di Indonesia.
Jejak-jejak peninggalan masa lalu seringkali menjadi simbol penguasa. Oleh karena itu
penguasa baru sering berusaha membuat simbol baru dan menghapus simbol penguasa
sebelumnya. Simbol baru yang dibuat, adalah dalam rangka menanamkan identitas baru
dalam budaya dan masyarakat serta menghadirkannya dalam wajah kota. Sebuah simbol
kota, baik itu arsitektur, ruang politik, atau desain kota mengandung pesan-pesan politis
dan membentuk terbangunnya konstruk identitas sosial, identitas bangsa dan negara.
Kata kunci: Simbol kota - Perubahan - Yogyakarta.
1
Soedjatmoko. Etika Pembebasan, Pilihan Karangan Tentang: Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu
Pengetahuan. (Jakarta: LP3ES, 1984).
2
Freek Colombijn. “Sejarah Kota Padang dalam Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang” Majalah MSI.
(Jakarta: MSI dan Gramedia Pustaka Utama, 1996), hal. 107.
3
Heddy Shri Ahimsa-Putra. “Tanda, Simbol, Budaya, dan Ilmu Budaya”, Makalah dipresentasikan dalam
Ceramah Kebudayaan di Fakultas Sastra, UGM, Tgl. 13 Juni 2002, hal. 4.
184
Perubahan dan Pergeseran Simbol di Kota Yogyakarta 1945-1949 (Dwi Ratna Nurhajarini)
menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, dan banyak orang asing yang tinggal di
lainnya dan juga bisa dilihat sebagai simbol- Yogyakarta. Selain orang Cina, orang-orang
simbol dekolonisasi. Tulisan ini memakai Belanda dan orang Barat lainnya, banyak
sumber yang berasal dari foto-foto sejaman, yang menetap di Yogyakarta. Mereka adalah
sumber tertulis terutama harian Kedaulatan para pegawai perkebunan, pegawai peme-
Rakyat, dan juga sumber lisan. rintah Belanda, para pengusaha, dan lainnya.
Orang-orang Eropa semula bertempat
Perkembangan Kota Yogyakarta tinggal di sekitar benteng, kemudian
Yogyakarta secara historis terbentuk berkembang ke arah Kota Baru, Bintaran,
melalui Perjanjian Gianti. Pangeran dan juga Sagan. Sedangkan orang-orang
Mangkubumi yang kemudian bergelar Sul- Cina yang tadinya berada di Ketandan
tan Hamengku Buwana I membangun kemudian meluas ke arah Kranggan. Untuk
istananya dengan model membuka hutan memenuhi berbagai fasilitas bagi para warga
atau babad alas. Dimulai tahap pemilihan Eropa yang tinggal di Yogya, pemerintah
lokasi, pendirian bangunan, konstruksi tata Hindia Belanda membangun beberapa
ruang, hingga pernak-pernik ragam hiasnya fasilitas seperti gereja, sekolah, rumah sakit,
penuh dengan simbolisme kebudayaan Jawa. tempat hiburan, dan juga kantor-kantor.
Sultan selain membangun kraton beserta Selain dari pihak pemerintah, pihak swasta
alun-alunnya, juga membuat benteng yang juga membentuk wajah Yogyakarta dengan
mengitari keraton. Beberapa bangunan yang corak arsitektur indisch. Sehingga di
berkaitan dengan eksistensi keraton Yogya- Yogyakarta yang merupakan pusat ke-
karta sebagai pusat pemerintahan dan politik kuasaan tradisional yang berpusat di keraton
kemudian dibangun oleh penerusnya. juga muncul warna kolonial yang tampil
Para penduduk yang menjadi warga dalam arsitektur kota, lengkap dengan segala
keraton dan kemudian menjadi warga kota citra yang menempel padanya.
diberi tempat di sekitar keraton. Lama ke- Pembangunan kota yang cukup pesat
lamaan permukiman yang berada di sekitar pada masa kolonial seakan terhenti tatkala
keraton kemudian meluas, mengikuti arah Jepang mengambilalih kekuasaan atas
utara selatan. Tempat-tempat pemukiman itu Yogyakarta. Masa pemerintahannya yang
lazim disebut dengan istilah kampung dan singkat tidak meninggalkan jejak-jejak fisik
namanya diberikan sesuai dengan tugas dan berupa arsitektur kota. Sedangkan masa
pekerjaan dari penduduk yang menempati- kemerdekaan sampai dengan beberapa tahun
nya. sesudahnya, membawa berbagai perubahan
Seiring dengan keberadaan keraton akan simbol-simbol yang semula melekat
Ngayogyakarta, Kompeni juga mulai mem- pada beberapa bangunan kota. Hilangnya
bangun beberapa bangunan sesuai dengan warga Eropa dan Jepang dari Yogyakarta dan
kepentingannya. Benteng, gereja dan rumah merdekanya bangsa ini, membawa semangat
residen dibangun tidak jauh dari alun-alun antikolonial pada penduduk pribumi. Pada
utara, dan tepat berada di sisi timur dan barat masa kemerdekaan itu banyak pejabat,
dari sumbu filosofis keraton – tugu pal.4 tokoh-tokoh nasional dari Jakarta dan Jawa
Bangunan-bangunan lain mulai bermun- Barat, hijrah ke Yogyakarta. Banyak pula
culan di sekitar benteng, sesuai dengan pasukan yang masuk ke kota ini. Sejak itu
kebutuhan pihak Kompeni yang kemudian pula Kota Yogyakarta menjadi kota
dilanjutkan dengan pihak Pemerintah Hindia perjuangan dan revolusi. Malioboro menjadi
Belanda. Pada awal abad XX semakin
4
Sumbu filosofis itu berada dalam satu garis lurus dari laut selatan – panggung Krapyak – kraton – tugu
– Gunung Merapi.
185
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
pusat kota yang legendaris dan menjadi kebijakan yang waktu itu diambil dalam
ekologi simbolik bagi Kota Yogyakarta.5 suasana bersemangat untuk menghapuskan
masa lalu kolonial sampai ke kenangannya.
Dari Simbol Kolonial ke Indonesia: Pe- Salah satu reaksi pertama adalah kembalinya
rubahan Nama dan Ruang di Yogya- toponim asli. Jepang telah menunjukkan
karta jalannya dengan mengganti Batavia menjadi
Yogyakarta pada periode kolonial Jakarta, juga penyebutan Bogor untuk
menampilkan dua dominasi kekuasaan- mengganti Buitenzorg, nama Irian untuk
budaya, yakni tradisional-kraton dan menyebut Nieuw Guinea. Pasca kemer-
kolonial. Setelah kemerdekaan nuansa itu dekaan telah memberikan perubahan nuansa
berubah. Proses dekolonisasi nampak me- di kota-kota di Indonesia. Di Yogyakarta,
warnai Yogyakarta, terlebih setelah menjadi kota yang tadinya sebagai pusat peme-
Ibukota Negara. Perubahan yang terjadi rintahan tradisional, kota Indisch, kemudian
adalah dalam hal penggunaan ruang, hingga berganti wajah menjadi ibukota negara,
realitas-realitas sosial, terutama yang sehingga banyak ruang-ruang kota yang
terpusat di sekitar Malioboro, sebagai pusat berganti wajah pula. Pengambilalihan ruang-
pemerintahan, ekonomi, dan juga budaya. ruang kolonial oleh pihak Indonesia
Poster-poster antikolonial, perubahan nama merupakan satu hal yang mewarnainya.
dan perebutan penggunaan ruang menjadi Masa lalu (masa kolonial, pendudukan
bagian yang mewarnai kota ini. Jepang, revolusi maupun masa kemer-
Ruang merupakan bagian dari simbol dekaan) semuanya meninggalkan jejak di
yang diperebutkan untuk kepentingan kota-kota (terutama kota-kota besar) di In-
legitimasi politik. Penguasaan atas ruang- donesia. Jejak-jejak peninggalan masa lalu
ruang tertentu tidak jarang menjadi simbol seringkali menjadi simbol penguasa. Oleh
kemenangan politik. Oleh karena itu, karena itu penguasa baru sering berusaha
perebutan atas ruang-ruang di ibukota membuat simbol baru dan menghapus
Republik Indonesia tidak jarang terjadi simbol penguasa sebelumnya. Simbol baru
sebagai sebuah perebutan kekuasaan. yang dibuat, adalah dalam rangka menanam-
Perebutan pusat kota menjadi contoh adanya kan identitas baru dalam budaya dan
perebutan ruang. Pendudukan tentara Indo- masyarakat, serta menghadirkannya dalam
nesia yang sebelumnya melakukan perang wajah kota. Sebuah simbol kota, baik itu
gerilya atas pusat kota selama enam jam arsitektur, ruang politik, atau desain kota
menunjukkan kepada dunia tentang eksis- mengandung pesan-pesan politis dan
tensi bangsa ini. Mengapa harus kota yang membentuk terbangunnya konstruk identitas
dikuasai, dan bukan ruang lainnya? Hal itu sosial, identitas bangsa dan negara. Jadi
menunjukkan bahwa ruang inilah yang simbol bisa tercipta dengan sendirinya atau
memiliki simbol politis, dan bukan ruang- sengaja dibangun untuk sebuah kepentingan.
ruang lainnya. Kota adalah produk ideologi yang mem-
Segera setelah kemerdekaan, pe- bentuk ideologi.6 Namun sebaliknya ideologi
nguasaan atas ruang-ruang kolonial seperti adalah produk kota yang membentuk kota.
menjadi euforia kemenangan. Rasa Jadi sengaja atau tidak sebuah citra ter-
permusuhan beberapa nasionalis terhadap bangun dari simbol-simbol yang muncul.
masa lalu kolonial terlihat dalam beberapa
5
Djoko Suryo. “Penduduk Kota dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990", dalam Freek Colombijn
dkk., Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota Di Indonesia. (Yogyakarta: Ombak, 2005), hal. 38.
6
Abidin Kusno. “Studi Perkotaan dala Perspektif Postcolonial”, Paper I dalam Workshop: Street Im-
ages: Decolonization and Changing Symbolism of Indonesia Urban Culture, 1930– 1960s, di Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 31 Agustus 2004.
186
Perubahan dan Pergeseran Simbol di Kota Yogyakarta 1945-1949 (Dwi Ratna Nurhajarini)
7
Leela Gandhi. Teori Postkolonia, Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. (Yogyakarta: Qalam, 2001),
hal. 5-6.
8
Mooi Jogjakarta, 1931.
187
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
tiwa itu ternyata terdapat pergeseran dari lain. Sampai sekarang bangunan itu menjadi
sesuatu yang bernuansa rileks, ke arah yang salah satu dari beberapa istana presiden yang
serius dan ini merepresentasikan suasana dimiliki Indonesia.
revolusi, terutama revolusi fisik. Hotel itu Keangkuhan Gedung Agung pada masa
juga pernah menjadi markas sementara Urip kolonial berubah menjadi tempat meng-
Sumoharjo, sebelum mendapat tempat yang ekspresikan kebebasan. Gedung yang semula
baru (sekarang sebagai museum Angkatan tidak terjamah itu menghadirkan realitas
Darat). Setelah pasukan Badan Keamanan yang berbeda ketika para pemuda dan
Rakyat (BKR) diganti menjadi Tentara mahasiswa pada bulan Juni 1947 melakukan
Keamanan Rakyat (TKR) pada tanggal 5 demonstrasi, mereka menolak Komisi
Oktober 1945, pemerintah yang berkedu- Jendral Belanda.10 Keangkuhan gedung ini
dukan di Jakarta memanggil Urip Sumo- juga terpatahkan dengan kehadiran
harjo, seorang pensiunan Mayor KNIL, Fatmawati yang begitu ramah kepada
untuk menduduki jabatan Kepala Staf wartawan yang sedang gelisah menunggu
Umum dan mengorganisir TKR. Urip hasil rapat penyususnan kabinet. Fatmawati,
Sumoharjo memilih Yogyakarta sebagai saat itu sedang bermain korfbal bersama adik
markasnya dan segera meninggalkan Jakarta. Nyonya Hatta bersama para pegawai istana,
Untuk sementara Urip Sumoharjo bermarkas dan tatkala Ibu Fatmawati melihat para
di kamar nomor 23 di Hotel Merdeka.9 wartawan kemudian mengajak mereka untuk
Masih dalam konteks perubahan nama, ikut bermain.11 Ruang di salah satu sudut
di ujung selatan Jalan Malioboro terdapat Jalan Malioboro ini pun tidak tabu menjadi
bangunan yang terkenal dengan nama ruang seni dengan dilangsungkannya
Gedung Agung atau Istana Kepresidenan. pertunjukan wayang kulit.12 Meskipun tamu
Nama itu merupakan nama baru karena nama yang diundang dari kalangan tertentu, namun
yang disandang pada masa sebelumnya alunan gamelan jelas meruntuhkan simbol
adalah gedung Gouvernemen (gedung kolonial pada gedung ini.
gubernuran). Pada masa kolonial gedung itu Masih dalam kawasan Gedung Agung,
dikenal juga dengan sebutan gedung residen. sebuah bangunan yang terletak di sebelah
Pada waktu Jepang menduduki Yogyakarta, selatannya, dan berada pada bagian paling
gedung itu berfungsi sebagai Zimumukyoku ujung selatan Jalan Malioboro, terdapat
Tyookan dan sebagai tempat tinggal Koochi. bangunan Societeit de Vereniging. Pada
Gedung itu pembangunannya hampir awalnya Societeit merupakan tempat hiburan
bersamaan dengan pembangunan kraton bagi kalangan Eropa dan juga kalangan elite
Yogyakarta. Pada masa kolonial gedung pribumi. Warga Eropa khususnya orang-
tersebut merupakan simbol keangkuhan orang Belanda sering melewatkan waktu
penguasa asing, namun kemudian menjadi luangnya di gedung itu. Pesta dansa, per-
simbol identitas Indonesia ketika beberapa mainan bola bilyar, atau sekedar duduk
tahun Presiden Sukarno melakukan aktivitas sambil menikmati makanan dan minuman
kenegaraan di tempat itu. Aktivitas yang dengan diiringi alunan musik menjadi
dilakukan dari memimpin upacara bendera pemandangan yang selalu ada di tempat
dalam rangka Hari Kemerdekaan sampai tersebut. Tempat itu menjadi simbol mo-
menerima kunjungan para pembesar negara dernitas bagi warga Eropa. Tempat itu juga
9
TB. Simatupang. Laporan Dari Banaran, Kisah Pengalaman Seorang Prajurit Selama Perang
Kemerdekaan. (Jakarta: Sinar Harapan,1980), hal. 177.
10
“Demonstrasi Pemoeda”, Kedaulatan Rakjat, 16 – 6- 1947.
11
“Tenteram dalam Kesiboekan”, Kedaulatan Rakjat, 5 -7- 1947.
12
Kedaulatan Rakjat, 16 – 12- 1947
188
Perubahan dan Pergeseran Simbol di Kota Yogyakarta 1945-1949 (Dwi Ratna Nurhajarini)
menjadi ajang pamer mode.13 Simbol status kebebasan, dan kekuasaan pribumi. Dengan
ekonomi dan modernitas dengan begitu lekat begitu ruang yang terbangun adalah juga
pada bangunan tersebut. pribumi. Walaupun simbol kekuasaan tetap
Gedung itu pada masa Jepang oleh Sul- melekat juga di gedung itu, bahkan sampai
tan Hamengku Buwana IX diberi nama Balai sekarang, dan menjadi salah satu dari enam
Mataram. Nama yang sangat jelas acuannya, istana presiden yang dimiliki Indonesia.
yakni kebesaran kekuasaan pribumi,
Kerajaan Mataram, dan itu berarti mengacu Penutup
pada tradisi, yang melahirkan dinasti Dari uraian yang telah ada pada bagian
Kasultanan Yogyakarta. Pada masa kemer- depan, maka ada beberapa kesimpulan yang
dekaan gedung tersebut menjadi tempat dapat diambil. Di Yogyakarta pada periode
berlangsungnya Kongres Pemuda Indonesia 1945-1949 terjadi perubahan dan pergeseran
pada tanggal 10-11 November 1945. Nafas simbol. Simbol-simbol kolonial diambil dan
persatuan, kebebasan, hak bersuara dari para digantikan dengan simbol Indonesia. Ruang-
pemuda menjadi simbol baru dari gedung ruang kolonial, kemudian menjadi ruang
tersebut. Ketika Kantor Berita Antara, yakni pribumi. Periode itu kecenderungan yang
kantor berita nasional yang dimiliki ada adalah mengalih-alih ruang yang telah
Republik Indonesia berkantor di gedung itu, ada sebelumnya, dan tidak membangun
maka simbol-simbol kolonial yang tadinya sebuah bangunan simbolik baru. Hal itu
lekat digedung itu juga mengalami peng- karena secara politik, dan ekonomi, Indone-
Indonesiaan menjadi ruang informasi. sia masih dalam situasi yang rawan, sehingga
Gedung Agung dan juga Balai Mataram, belum mampu membangun bangunan baru,
pada masa agresi militer Belanda yang ke-2 yang kemudian dilakukan adalah sebuah
kembali menjadi milik kolonial. Namun pengalihan fungsi dari beberapa ruang yang
tatkala Presiden Sukarno kembali dari tadinya milik kolonial. Perubahan fungsi
pengasingan dan berkantor lagi di gedung pada ruang-ruang Kota Yogyakarta, akhirnya
itu, maka citra yang terbangun adalah simbol memunculkan identitas yang baru.
Daftar Pustaka
Abidin Kusno. “Studi Perkotaan dalam Perspektif Postcolonial” Paper I dalam Work-
shop: Street Images: Decolonization and Changing Symbolism of Indonesia Ur-
ban Culture, 1930 – 1960s, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 31 Agustus
2004.
Colombijn, Freek, 1996. “Sejarah Kota Padang dalam Abad ke-20 dan Penggunaan
Ruang” Majalah MSI. Jakarta: MSI dan Gramedia Pustaka Utama.
Djoko Suryo, 2005. “Penduduk Kota dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”,
dalam Freek Colombijn, dkk., Kota Lama Kota Baru Sejarah Kota-Kota Di In-
donesia. Yogyakarta: Ombak.
Heddy Shri Ahimsa-Putra. “Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya”, Makalah
dipresentasikan dalam Ceramah Kebudayaan di Fakultas Sastra, UGM, Tgl. 13
Juni 2002.
Kedaulatan Rakjat, 16-6-1947.
13
Wawancara dengan Bapak Djoko Soekiman di Yogyakarta, tahun 2002.
189
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
190
Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus (Suwarno)
Abstrak
Pada hakekatnya pendirian bangunan rumah tidak hanya melibatkan aspek ekonomi
saja, tetapi tersirat juga struktur sosial dan praktek ritus religius yang berkaitan dengan
dunia lain. Oleh karena itu sistem mendirikan rumah tidak begitu saja terjadi tanpa
menghiraukan nilai-nilai psikologis dan spiritual. Dalam kehidupan orang Jawa ada
suatu paham, bahwa rumah tempat tinggal akan memberikan kebahagiaan lahir batin
bagi pemiliknya atau bagi penghuninya. Oleh karena itu dalam menempati suatu
bangunan rumah, pada umumnya pemilik rumah berusaha untuk mendapatkan rasa
senang, aman dan nyaman. Untuk mendapatkan kesemuanya itu pemilik rumah biasanya
berusaha memberi keindahan pada bangunan rumah tempat tinggalnya dengan memasang
hiasan baik yang bersifat konstruksional maupun yang tidak. Pada rumah tradisional
Kudus, hiasan itu bersifat konstruksional, yaitu diwujudkan dalam bentuk genteng
wuwung yang dibuat dari tanah liat. Hiasan semacam itu oleh penduduk setempat disebut
hiasan wayangan. Hiasan wayangan pada atap rumah tradisional Kudus di samping
berfungsi praktis dan estetis, ternyata juga mempunyai makna simbolis.
Kata kunci: Simbol - Rumah tradisional.
191
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
1
Nurhadi dkk. “Konsepsi dan Dinamika Perubahan Arsitektur Tradisional Yogyakarta”, Makalah pada
Sarasehan Arsitektur Tradisional Yogyakarta. Yogyakarta, 21 Pebruari 1991, hal. 3.
2
H.J. Wibowo dkk. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. (Yogyakarta: Depdikbud, 1986/
1987), hal. 82.
3
Wuwung merupakan istilah lokal (Jawa) pengertiannya hampir sama dengan genteng, tetapi dipasang di
atas molo pada pertemuan kedua ujung atap bagian atas.
192
Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus (Suwarno)
dan bentuk gelung wayang.4 Ragam hias gara, pergantian setting cerita, episode dan
tersebut dapat dikatakan paling dominan saat tancep kayon ketika pertunjukan usai.
penggunaannya serta mempunyai wujud Bahkan karena ketertarikan orang akan
seragam. adegan gara-gara, maka tidak jarang ada
Wuwung berbentuk hiasan wayangan yang menyebut gunungan ini dengan
tersebut diletakkan di atas wuwungan rumah sebutan gara-gara.
(molo), untuk menutup bagian atas yang Dalam cerita pewayangan baik itu yang
merupakan pertemuan dua bidang atap. Oleh bersumber pada isi kitab Ramayana maupun
karena itu wuwung-wuwung tersebut diguna- Mahabarata, maka banyak tokoh dalam
kan hanya pada atap rumah tradisional cerita itu yang digambarkan memakai
berbentuk kampung, limasan, dan joglo. gelung, di samping kuluk dan makutho
Adapun cara pemasangannya adalah sebagai (mahkota). Sekarang yang menjadi per-
berikut: Sebuah wuwung berbentuk soalan adalah bentuk hiasan gelung wayang
gunungan diletakkan tepat di tengah-tengah pada atap rumah tradisional Kudus itu wujud
di atas wuwungan rumah. Selanjutnya ke gelung dari tokoh siapa. Setelah mengamati
arah samping kanan gunungan atau kayon, dan membandingkannya dengan tokoh-
diletakkan secara berderet wuwung-wuwung tokoh dalam dunia pewayangan baik yang
berbentuk gelung wayang, dengan meng- bersumber pada cerita Ramayana maupun
hadap ke kanan. Sebaliknya ke arah kiri Mahabarata maka penulis menginterpretasi-
dipasang wuwung berbentuk gelung wayang kan bahwa hiasan gelung wayang pada atap
menghadap ke kiri, sehingga antara wuwung rumah tradisional Kudus sebagai gelung
berbentuk hiasan gelung wayang di sebelah wayang tokoh Bima yang telah mengalami
kanan gunungan dan wuwung berbentuk stiliran.
hiasan gelung wayang di sebelah kiri Asumsi mengenai hiasan gelung pada
gunungan tampak saling bertolak belakang. atap rumah tradisional Kudus sebagai gelung
Penataan keletakan semacam itulah dari tokoh Bima dapat didukung dengan
kemungkinan yang menyebabkan penduduk keterangan penduduk setempat dan beberapa
setempat menyebutnya sebagai hiasan narasumber di daerah Kudus. Pada umum-
wayangan, karena susunan wuwung yang nya mereka itu mengenal tokoh-tokoh dalam
demikian itu kalau diperhatikan identik pewayangan dengan baik dan satu hal yang
dengan susunan wayang yang dijejer,5 dalam patut diperhatikan, di antara mereka
kelir sebelum pertunjukan yang sebenarnya kebanyakan menganggap bahwa tokoh Bima
dimulai. sebagai tokoh idola dan legendaris.
Pengertian gunungan dalam dunia Kebiasaan sebagian masyarakat meng-
pewayangan sudah jelas yaitu salah satu gambarkan tokoh Bima, telah memperkuat
wayang yang bentuknya menyerupai gunung asumsi di atas. Kebiasaan itu sebenarnya ber-
dengan di dalamnya terdapat lukisan dunia langsung sejak masa klasik. Penggambaran
flora dan fauna.6 Bentuk semacam itu dalam tokoh Bima pada sebuah relief di situs
dunia pewayangan di Yogyakarta sering Gunung Penanggungan merupakan bukti
digunakan dalam pementasan, misalnya adanya kebiasaan tersebut. Dalam relief itu
pertunjukan atau awal pada saat jejer di awal Bima digambarkan masuk ke dalam lautan
cerita suatu negara, saat akan adegan gara- dengan tanda-tanda berkumis panjang, mata
4
Interpretasi ini didukung oleh beberapa narasumber, seperti Bapak Marsudi dari Dinas Kebudayaan
Propinsi Jawa Tengah, dll.
5
Jejer adalah istilah lokal (Jawa) pengertiannya: 1. Diletakkan atau ditancapkan pada gedebok (batang
pisang) secara berderet. 2. Suatu adegan atau (episode) cerita tertentu dalam pertunjukan wayang, baik wayang
kulit, wayang golek maupun wayang orang.
6
Pengamatan terhadap bentuk gunungan wayang kulit di Yogyakarta dan Surakarta.
193
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
bulat, gelung yang khas, kalung, kuku berhasil ditemukan selama ini digambarkan
pancanaka, dan bertubuh besar.7 dalam tiga bentuk yaitu: arca batu, relief
Selain digambarkan dalam bentuk re- pada candi, dan digambarkan dalam cerita
lief, tokoh Bima juga digambarkan dalam wayang atau karya sastra.
bentuk arca. Bima dalam bentuk arca Dalam bentuk arca batu, Bima digam-
tersebut ditemukan di kompleks candi Cetha, barkan dengan tubuh yang seram dan
situs Penampihan di lereng Gunung Wilis, memakai upawita ular. Menurut Stutterheim
dan Pesanggrahan Mangkunegaran penggambaran bentuk Bima yang demikian
Tawangmangu. Salah satu tokoh Bima dalam identik dengan Bima Bhairawa salah satu
wujud arca digambarkan berdiri di atas aspek dari Dewa Ciwa dalam agama Ciwa.
sebuah lapik, pada kepala terdapat gelung, Sedang penggambaran tokoh Bima dalam
muka berkumis, kedua tangan di samping bentuk relief terdapat di kompleks Candi
badan dengan salah satunya memegang ular Sukuh pada teras ke tiga sisi utara.
yang melilit di tubuhnya.8 Di daerah bekas Dalam cerita pewayangan, Bima ter-
Karesidenan Banyumas ada cerita rakyat nyata juga digambarkan sebagai salah satu
yang menuturkan bahwa tokoh Bima ini tokoh ideal bagi masyarakat Jawa. Dice-
yang membuat Sungai Serayu, sedangkan ritakan Bima adalah anak ke dua dari lima
Kali Klarang yang lebih kecil merupakan bersaudara Pandawa. Waktu lahir tokoh ini
hasil karya Resi Drona. dalam keadaan bungkus dan tidak dapat
dibuka oleh siapapun, sehingga bungkus itu
Pembahasan dibuang ke tengah hutan Gandamayit. Di
Berangkat dari hasil identifikasi bentuk tengah hutan, seekor gajah yang diturunkan
hiasan di atas maka dalam pembahasan dari khayangan bernama Gajah Sena berhasil
selanjutnya, penulis mendasarkan pada membuka bungkus dan lahirlah Bima.
pandangan hidup sebagian masyarakat Jawa Selanjutnya disebutkan bahwa tokoh Bima
terhadap tokoh Bima. atau Werkudara digambarkan bertubuh
Dalam kebudayaan Jawa tokoh Bima kekar, mata melotot, dan ke dua tangannya
dikenal sejak masa akhir pemerintahan mempunyai kuku pancanaka. Diceritakan
kerajaan Majapahit, yakni sekitar abad XV pula bahwa saudara Pandawa itu berbudi
Masehi. Hal itu dibuktikan dengan arca luhur, cinta kebenaran dan setia kepada
Bima yang ditemukan di Pesanggrahan keutamaan. Di lingkungan keluarga dan ne-
Mangkunegaran,Tawangmangu. Berdasar- gerinya, Bima merupakan benteng perta-
kan inskripsi yang terdapat pada bagian hanan, sebab di samping kekuatan tenaga
belakang arca tersebut W.F. Stutterheim dan kecerdasannya berpikir, Bima juga
menyebutkan sebagai Bima Gana Rama mempunyai beberapa ilmu kesaktian antara
Ratu yang berarti angka tahun 1365 Caka lain aji bandung bandawasa, wungkal bener,
atau 1443 Masehi.9 blabak pengantolan yang kesemuanya itu
Pada masa selanjutnya tokoh Bima tetap dapat membentengi keselamatan hidupnya
dikenal dan mengalami perkembangan di dunia fana. Namun demikian suatu ketika
dengan di dalamnya terdapat perubahan datanglah rasa kecewa yang mengganggu
konsep sesuai dengan kepercayaan masya- sang Bima. Pangkal kekecewaan itu ialah
rakat pendukungnya. Tokoh Bima yang karena ia belum memiliki Tirtapawitradi,
7
Sukarto K. Atmodjo. “Tokoh Bhima Dalam Arkeologi Klasik”, Makalah tanggapan terhadap ceramah
Sumarti Suprayitno. (Yogyakarta: Lembaga Javanologi Yayasan Panunggalan, 1986), hal.7.
8
Gunadi. “Sekilas tentang Tokoh Bima”, dalam Berkala Arkeologi VI. (Yogyakarta: Balai Arkeologi,
1985), hal. 37-38.
9
Ibid.
194
Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus (Suwarno)
yaitu air yang dapat mensucikan diri atau bangkan empat nafsu yang dimiliki oleh
ilmu kesempurnaan hidup. Rasa kecewa itu manusia.
tiba-tiba menjadi suatu cita-cita yang teguh, Bayu Kanitra yang dilambangkan
dan dengan diam-diam maka pergilah sang dengan seekor gajah dalam lambang nafsu
Bima mencari seorang guru yang dapat aluamah, yaitu nafsu makan dan minum.
menunjukkan di mana letak Tirtapawitradi. Bayu Anras yang dilambangkan dengan
Akhirnya Bima mendapatkan seorang raksasa adalah lambang nafsu amarah. Bayu
guru yakni Resi Drona. Dia berkenan Kinara yang dilambangkan dengan kera
memberi wejangan petunjuk jalan kepada adalah lambang nafsu supiah atau keinginan
sang Bima dengan saran-saran yang harus yang serba baik. Ke empat adalah Bayu
diindahkan. Berkat ketaatan sang Bima atas Langgeng yang dilambangkan dengan Dewa
wejangan Resi Drona, tanpa menghitung adalah lambang nafsu mutmainah yaitu
kesukaran dan pengorbanan, akhirnya iapun tingkah laku yang suci.
dapat bertemu dengan guru sejati. Guru Demikianlah gambaran ke empat
sejati inilah yang dimaksud dengan Tirta- saudara tunggal, yaitu lambang dari ke empat
pawitradi. Di dalam pewayangan guru sejati nafsu yang selalu mengikuti jalan hidup dan
ini dikenal dengan nama Dewa Ruci atau bersatu dengan diri manusia. Di atas telah
Sang Hyang Wenang. disinggung juga bahwa Tirtapawitradi ter-
Pengorbanan sang Bima selama men- letak di dasar laut selatan. Ungkapan ini juga
cari Tirtapawitradi ini antara lain harus merupakan ungkapan filosofis, dasar laut itu
membongkar Gunung Reksamuka yang adalah perumpamaan dari dasar hati sanubari
dijaga oleh dua raksasa, godaan yang lain, manusia. Di sinilah sang Bima dapat ber-
dihadangnya sang Bima di tengah perjalanan temu dengan Dewa Ruci sang Guru sejati
oleh ke empat saudara tunggalnya, yaitu atau sering disebut Sang Hyang Wenang,
Bayu Kinara, Bayu Kanitra, Bayu Anras dan kemudian sujudlah sang Bima kepada Dewa
Bayu Langgeng, agar mengurungkan niat- Ruci.
nya ke Gunung Reksamuka maupun ke Pemujaan Bima atau sering disebut
empat makhluk saudara tunggal sang Bima dengan Bima cultus ini muncul kurang lebih
di atas merupakan suatu ungkapan filosofi awal abad XV M. Masa-masa ini adalah
yang sangat tinggi. masa mundurnya kerajaan Hindu di Jawa
Di atas telah dikatakan bahwa dalam (Jawa Timur) yaitu Majapahit dan mulai ber-
pengembaraan pertama sang Bima harus kembangnya pengaruh Islam di Pulau Jawa.
membongkar Gunung Reksamuka. Makna Kebudayaan Islam sebetulnya jauh sebelum
dari ungkapan ini menurut Ki Siswo Harsoyo abad XV M telah datang di Indonesia atau
bahwa kata Reksamuka berasal dari kata Jawa. Hal ini dapat dilihat dari temuan
Reksa dan Muka. Reksa berarti menjaga dan arkeologi Islam seperti makam Fatimah binti
Muka berarti bagian depan yang tampak atau Maimun yang berangka tahun 1082 M.
sifat lahiriah.10 Dalam hal ini sang Bima Di dalam kesusasteraan dan cerita pe-
harus dapat mengatasi atau menjaga sifat- wayangan, Bima digambarkan sebagai tokoh
sifat lahiriah yang dimiliki selama ia masih yang telah mencapai kesempurnaan, karena
hidup di dunia. Ungkapan ke dua, yakni hanya dialah yang berhasil menemukan
dalam perjalanan menuju ke laut selatan Tirtapawitradi yaitu air kesucian. Ilmu
untuk mencari Tirtapawitradi, Bima diha- kesempurnaan hidup semacam ini di dalam
dang lagi oleh ke empat saudara kembarnya. kesusasteraan jaman Islam dapat dilihat pada
Makna dari ungkapan di atas ialah melam- Suluk Malang Sumirang, yang berisi tentang
10
Siswoharsoyo. Tafsir Kitab Dewaruci. (Yogyakarta: Pt. Jaker, 1966), hal. 18-22.
195
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
pengagungan orang yang telah mencapai tentang beberapa hal sebagai berikut: Ke-
kesempurnaan hidup, orang yang telah lepas biasaan (tradisi) membuat hiasan pada atap
dari ikatan-ikatan syariah dan berhasil rumah tradisional Kudus, merupakan salah
bersatu dengan Tuhan. satu bentuk kesinambungan budaya dari
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan masa klasik. Kesinambungan budaya itu
bahwa pemujaan kepada tokoh Bima seperti bukan saja diwujudkan dalam bentuk
terlihat pada arca-arca Bima yang telah bangunan fisik, tetapi juga dalam hal konsep
disebutkan di muka adalah pemujaan kepada yang melatarbelakanginya. Pendirian rumah
tokoh yang telah mencapai kesempurnaan. yang dalam bab terdahulu disebutkan tidak
Pertemuan antara sang Bima dengan sang hanya melibatkan aspek tekno ekonomis,
Dewa Ruci yang telah disebutkan di atas tetapi juga pratek ritus religius, pada pem-
sebetulnya merupakan lambang warangka bangunan rumah tradisional Kudus tempak-
manjing curiga, yang berarti bersatunya nya masih juga mentradisi.
Bima dengan Dzat Tunggal (Tuhan). Di Di daerah Kudus, hiasan wayangan
sinilah muncul konsepsi monotheisme pada paling dominan diterapkan pada atap rumah
masa itu. Jadi pemujaan kepada tokoh Bima tradisional yang digunakan sebagai tempat
adalah pemujaan kepada Dzat Tunggal yang tinggal. Hiasan yang diidentifikasikan
digambarkan dengan Dewa Ruci dalam pe- sebagai gelung tokoh wayang Bima yang
wayangan atau pemujaan kepada Tuhan distilir itu titi mangsa kemunculannya di-
Yang Maha Esa. Oleh karena itu dalam pe- perkirakan sejak masa Islam awal. Hal itu
wayangan dikenal adanya Sang Hyang didasarkan pada bentuk stiliran yang
Tunggal (= Dewa Pujaan Yang Satu). merupakan ciri khas kesenian pada masa
Dalam perkembangan selanjutnya peng- Islam awal. Penggunaan ragam hias
gambaran tokoh Bima dan atributnya pada wayangan pada bangunan rumah tradisional
sebagian masyarakat Jawa tampaknya masih Kudus ternyata bukan semata-mata untuk
tetap berkesinambungan walaupun sedikit kepentingan praktis dan estetis saja, tetapi
banyak mengalami perubahan. Pemasangan juga sebagai simbolik. Ragam hias gelung
hiasan wayangan yang diidentifikasikan wayang dapat diartikan sebagai karya seni
sebagai gelung wayang Bima pada atap yang berhubungan dengan pandangan
rumah tradisional Kudus kemungkinan sufisme, hal ini didasarkan pada pandangan
merupakan bentuk kesinambungan tersebut. kebudayaan Jawa tentang tokoh Bima yang
Kalau identifikasi di atas dapat diterima sering dianggap sebagai tokoh mistik. Dalam
maka selanjutnya dapat diasumsikan bahwa pandangan sufisme, simbol memainkan
pemasangan wuwung berbentuk hiasan peranan yang sangat penting sebab melalui
wayangan pada rumah-rumah tradisional simbol inilah kaum sufi dapat terus-menerus
Kudus mengandung arti simbolis yang ingat kepada ajaran mereka. Berdasarkan hal
berhubungan dengan ilmu kesempurnaan tersebut dapat diasumsikan bahwa pada
atau ilmu Manunggaling Kawula Gusti. mulanya pendirian bangunan rumah-rumah
tradisional Kudus adalah penganut ajaran
Penutup tasawuf. Asumsi itu kiranya dapat didukung
Dari pembahasan mengenai hiasan berdasarkan karya sastra yang dihasilkan
wayangan pada atap rumah tradisional di pada masa Islam awal yang banyak ditemu-
daerah Kudus tersebut dapat diketahui kan di daerah pantai utara Jawa.
Daftar Pustaka
Gunadi, 1985. “Sekilas Tentang Tokoh Bhima”, dalam Berkala Arkeologi VI. Yogya-
karta: Balai Arkeologi.
196
Makna Simbolis Hiasan Wayangan Pada Atap Rumah Tradisional Kudus (Suwarno)
197
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Abstrak
198
Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural (Christanto P Rahardjo)
1
Dr. Harry Yuswadi, M.A. Melawan Demi Kesejahteraan, Perlawanan Petani Jeruk Terhadap Kebijakan
Pembangunan Pertanian. (Jember: Penerbit Kompyawisda, 2005), hal. 101.
2
Bahasa Jawa Dialek Jember biasanya digunakan oleh etnis Madura di kota dan pinggiran kota ketika
mereka berkomunikasi dalam ranah sosial dengan etnis Jawa, tetapi ketika berkomunikasi dengan sesama
etnis Madura mereka tetap menggunakan Bahasa Madura. Bahasa lisan yang mereka gunakan memang berbeda
jauh dengan Bahasa Jawa standar. Pemilihan bahasa tersebut didasari beberapa faktor, antara lain (1)
beridentifikasi dengan mitra wacana, dalam hal ini etnis Jawa dan (2) menyatakan sifat positif terhadap Bahasa
Jawa. Berikut contoh bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari antara etnis Jawa (EJ) dan Madura
(EM): (EJ) Kate nang endi, Mas? (EM) Gak onok, iki ku-mlaku. Jawaban ‘Gak onok, iki ku-mlaku’ merupakan
usaha menggunakan Bahasa Jawa yang dipengaruhi Bahasa Madura. Lebih jauh tentang hal ini lihat Bambang
Wibisono dan Akhmad Sofyan. “Latar Belakang Psikologis Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Multilingual
(Studi Kasus Pemakaian Bahasa oleh Masyarakat Etnik Madura di Jember)”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu
Humaniora. Vol. II/No. 1 Januari 2001, Fakultas Sastra Universitas Jember, hal. 1-13.
199
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Using, sedangkan para pelakunya merupa- Isteri saya orang Jawa. Dari perkawinan
kan campuran antara warga etnis Madura, tersebut, saya dikaruniai 2 anak pe-
Jawa, dan sebagian kecil etnis Using. rempuan. Nah, 2 anak saya itu yang bisa
Sejumlah definisi dan contoh-contoh di disebut sebagai orang Pendhalungan.
atas sepintas memang sudah mewakili Beberapa informan di Situbondo juga
definisi Pendhalungan dalam perspektif menyampaikan hal serupa tentang
perpaduan budaya. Namun citra yang makna Pendhalungan3.
dimunculkan dari definisi semacam ini Namun pendapat tersebut menurut
adalah adanya proses sub-ordinasi terhadap Kusnadi cenderung mempermudah pema-
budaya Madura oleh budaya Jawa, meskipun haman identitas tentang identitas budaya
kondisi tersebut tampak sebagai sebuah Pendhalungan di tataran masyarakat awam.
proses alamiah. Dengan kata lain budaya Lebih jauh ia menjelaskan bahwa budaya
Jawa berposisi sebagai ordinat, sedangkan Pendhalungan merupakan hasil dari suatu
budaya Madura sebagai subordinat yang proses sosial panjang dan dialog intensif di
berusaha untuk beradaptasi dan kemudian antara bermacam-macam kebudayaan
‘menjadi Jawa’ secara kultural. Apakah ini sejalan dengan masyarakat pendukungnya4.
yang dinamakan Pendhalungan ketika orang Pengertian terakhir yang diberikan oleh
Madura dalam sosialisasi dan adaptasi Kusnadi rupanya sejalan dengan makna kata
dengan masyarakat Jawa, secara evolutif ‘Pendhalungan’ yang diberikan oleh
menjadi ‘Jawa Pendhalungan’? Mungkin Prawiroatmodjo (1985) dalam Bausastra
sebagian pakar berpikir demikian dan itu Jawa-Indonesia II. Menurutnya, secara
tidak bisa disalahkan karena fakta tersebut etimologis Pendhalungan berasal dari dasar
benar-benar terjadi dan sudah menjadi Bahasa Jawa dhalung yang berarti “periuk
bagian dari dinamika masyarakat di Jember, besar”. Dalam konsep simbolik, “periuk
Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, dan besar” bisa didefinisikan sebagai tempat ber-
Lumajang (terutama di wilayah pusat kota temunya bermacam masyarakat yang ber-
dan pinggiran kota). beda etnis dan kebudayaan kemudian saling
Kusnadi dengan lebih menekankan sisi berinteraksi dalam ruang dan waktu sehingga
genetik menjelaskan pengertian lain tentang melahirkan varian baru kebudayaan yang
Pendhalungan dari hasil wawancaranya kemudian disebut Pendhalungan.
dengan salah satu informan di Jember Definisi tersebut akan menjadi pijakan
sebagai berikut: utama dalam membahas Pendhalungan
……Pak Mangun (51), penduduk Tegal dalam tulisan ini. Adapun dalam konteks
Boto, Jember. Ia dilahirkan di historis maupun sosio-kultural interaksi dan
Panaongan, Sumenep Utara, Madura. komunikasi beragam etnislah tidak hanya
Ketika bekerja di Jember, ia menikah Jawa dan Madura yang telah menciptakan
dengan seorang perempuan Tegal Boto kondisi kultural masyarakat Pendhalungan.
yang disebut sebagai orang Jawa. Pada Pendekatan multikultural juga dapat menjadi
umumnya, orang Jawa yang menjadi alat bantu dalam menganalisis perkem-
penduduk asli Tegal Boto adalah orang bangan masyarakat Pendhalungan dewasa
Using. Ketika penulis bertanya tentang ini.
siapa-siapa yang bisa disebut sebagai Dengan menggunakan pendekatan ini
orang Pendhalungan, Pak Mangun diharapkan akan menghasilkan kajian yang
berkata, “Saya ini kan orang Madura. lebih komprehensif tentang bagaimana
3
Lebih jauh tentang hal ini lihat Kusnadi. “Masyarakat ‘Tapal Kuda’, Konstruksi Kebudayaan dan
Kekerasan Politik”, dalam Jurnal Ilmu-ilmu Humaniora. Vol. II/No. 2/2001, Fakultas Sastra Universitas
Jember, hal. 3-4.
4
Ibid.
200
Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural (Christanto P Rahardjo)
kondisi, peran, kontestasi, dan beragam ke- Pendhalungan merupakan proses interaksi
budayaan dan masyarakat pendukungnya. dan komunikasi di antara beragam etnis
yang berakar dari peran sosial dan atraksi
Pendhalungan: Hibridasi dan Orkes- kultural masing-masing yang kemudian
trasi Multikultural Dalam Sebuah menghasilkan budaya hibrid. Hibridasi
“Periuk Besar” dalam konteks ini tidak hanya membicarakan
Membicarakan Pendhalungan dalam proses perpaduan antara bermacam budaya
konteks yang lebih luas, tentu tidak bisa yang menghasilkan budaya baru. Hibridasi
menegasikan keberadaan etnis lain, selain yang terjadi di wilayah Pendhalungan
Jawa dan Madura. Tionghoa, Arab dan merupakan hibridasi struktural dan hibri-
Using. Kendati dianggap sebagai minoritas, dasi kultural.
mereka (etnis) juga ikut berpartisipasi dalam
proses sosial yang terjadi di masyarakat. a. Hibridasi ala Pendhalungan
Jelas hal itu tidak berlangsung dalam waktu Pieterse (dalam Barker) menjelaskan
yang singkat. bahwa hibridasi struktural merupakan proses
Di Jember misalnya, sejak migrasi era perpaduan yang menghasilkan pilihan
kolonial sebagai bentuk mobilisasi massa organisasional bagi masyarakat. Sedangkan
oleh pihak kolonial (dalam hal ini Belanda) hibridasi kultural membedakan berbagai
telah menghasilkan struktur masyarakat respons budaya yang merentang dari asimi-
multietnis5. Dalam kurun waktu yang cukup lasi, bentuk-bentuk pemisahan, sampai
lama tersebut, sebuah proses budaya dalam dengan hibrida yang mendestabilkan dan
masyarakat secara kontinyu berlangsung mengaburkan sekat-sekat budaya sehingga
dalam nuansa damai. Mereka saling ber- terjadi persilangan serta munculnya “komu-
interaksi dan beradaptasi untuk saling nitas terbayang” meskipun tidak selamanya
melengkapi berdasarkan peran masing- sekat masing-masing budaya terhapus (2004:
masing. Etnis Tionghoa dan Arab, misalnya, 208).
berperan sebagai pedagang. Etnis Madura Artinya, dalam masyarakat Pendha-
lebih banyak berperan sebagai pekerja kebun lungan yang multietnik telah terjadi
dan petani serta sebagian kecil berperan persilangan peran sosial terutama dalam
dalam dunia pendidikan pesantren sebagai pilihan organisasi sebagai akibat dari saling
kyai dan ustadz. Sementara etnis Jawa dan berinteraksinya budaya mereka.
Using mengambil peran sebagai petani, Saat ini, misalnya, sudah banyak warga
pendidik (formal), dan aparat birokrasi. etnik Madura yang memilih untuk menjadi
Meskipun saat ini peran tersebut sudah ada pegawai pemerintah maupun pendidik for-
yang berubah, tetapi secara umum bisa mal sehingga bukan lagi menjadi dominasi
dikatakan tetap. etnis Jawa. Sedangkan hibridasi kultural
Pola interaksi dan adaptasi antarbudaya yang terjadi pada masyarakat Pendhalungan
sebagai konsekuensi proses komunikasi merupakan percampuran bermacam bahasa
antaretnis, tidak bisa dipungkiri, telah dan tradisi multi-etnik yang membentuk
melahirkan sebuah varian budaya baru ‘budaya baru’ meskipun tidak selamanya
bernuansa hibrid yang kemudian disebut baru.
Pendhalungan. Memang sebagai dua etnis Budaya baru tersebut berbentuk, misal-
mayoritas, Pendhalungan kemudian lebih nya, Bahasa Jawa Dialek Jember, yang
bernuansa perpaduan Jawa dan Madura. digunakan komunitas Madura dan Jawa yang
Tetapi kalau mau bicara dalam konteks yang bertempat tinggal di kota dan pinggiran kota.
luas, maka bisa dimunculkan tesis baru. tiga etnis tersebut juga melakukan proses
5
Bahkan menurut Kusnadi, pada masa kolonial kebudayaan Jawa dan Madura di wilayah Tapal Kuda
juga berinteraksi kebudayaan Eropa, India, Melayu, Bugis, Mandar, dan Bali. Ibid.
201
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
interaksi dengan warga Jawa dan Madura. latar historis penciptaan, Singo Ulung bisa
Etnis Tionghoa, terutama dalam transaksi dikatakan hampir mirip dengan Can-
dagang, banyak berinteraksi dengan meng- Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilan
gunakan Bahasa Madura maupun Bahasa kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih
Jawa bercampur logat Tionghoa yang cukup terlihat bagus karena sudah mendapatkan
kental. Begitu pula dengan etnis Arab. Di sentuhan dari koreografer profesional.
kota-kota kecamatan, seperti Ambulu Sedangkan Wayang Kerte, terbuat dari
Jember, kita bisa menjumpai perkampungan kayu pipih (seperti wayang krucil) namun
Arab di mana warganya banyak yang ber- karakter dan ceritanya diambil dari ke-
komunikasi dengan Bahasa Jawa bercampur hidupan sehari-hari masyarakat.
logat Bahasa Arab.
Sedangkan dalam tradisi kesenian, di b. Orkestra Multikultural Masyarakat
samping penterjemahan konsep kesenian Multi-etnik
Jawa ke dalam Bahasa Madura, juga terjadi Selain membicarakan Pendhalungan
keterlibatan lintas-etnis dalam kesenian sebagai proses perpaduan, sebenarnya kita
Tionghoa dan Arab, tetapi tanpa mengubah juga bisa membicarakan Pendhalungan
format pertunjukan maupun bahasanya. dalam konteks masyarakat multikultural.
Dalam kesenian Barongsai dan Liang Mengapa demikian? Karena di samping
Liong Jember, misalnya, banyak anggota ditemukannya data tentang perpaduan yang
baik penari maupun pemusiknya yang menghasilkan sebuah budaya baru, di wila-
berasal dari etnis Madura maupun Jawa. yah kebudayaan ini juga bisa dilihat adanya
Begitupula yang terjadi dengan penggarapan budaya masing-masing etnis yang tetap
kesenian Gambus (Arab), Kendang Kempul dipertahankan dalam sebuah proses sosial
dan Janger (Using) yang juga melibatkan yang menempati ruang dan waktu yang
etnik Madura dan Jawa. Di sini tampak jelas, sama. Meskipun dalam kehidupan sehari-
meskipun telah terjadi hibridasi, namun di hari mereka berinteraksi, tetapi mereka tetap
Pendhalungan tetap belum menghasilkan kukuh dalam menjalankan aktivitas budaya
“sesuatu yang sepenuhnya baru”. Dengan sesuai dengan identitas masing-masing demi
kata lain ada kesadaran dan kemauan per- terjaganya jati diri, meminjam istilah Barker
sonal untuk berpartisipasi ke dalam (2004: 209), sebagai absolutisme etnis. Hal
kelompok kesenian etnis lain baik karena itu membuktikan tesis yang dilontarkan
motivasi ekonomi ataupun kesadaran budaya Pietersen bahwa meskipun terjadi proses
dan tidak berarti mereka kehilangan jati diri hibridasi ketika berada dalam ranah interaksi
budaya etnis asal mereka. sosial, tetapi identitas etnis tidak terhapus
Di samping hibridasi yang berorientasi begitu saja dalam tataran kognitif dan praktis
pada keterlibatan personal, ada juga hibri- kehidupan mereka.
dasi yang menghasilkan bentuk kesenian Di Jember, misalnya, kondisi tersebut
baru, semisal kesenian Can-Macanan Kaduk tampak ketika kita melihat aktivitas budaya
dan Musik Patrol (Jember), Singo Ulung dan di wilayah Jember selatan dan Jember utara.
Wayang Kerte (Bondowoso). Sebagai produk segregasi etnis ala kolonial,
Can-Macanan Kaduk merupakan ke- masyarakat etnis Jawa yang menempati
senian yang diduga berasal dari tradisi wilayah selatan Jember (seperti Ambulu,
pekerja kebun ketika mereka harus menjaga Wuluhan, Balung, Puger, Gumukmas, Ken-
kebun dari serangan hewan liar ataupun cong, Jombang, Umbulsari, dan Semboro)
pencuri. Kesenian ini kalau dilihat dari sampai saat ini masih mempraktikkan
estetika pertunjukannya bisa dikatakan produk budaya Jawa baik dalam hal bahasa,
memadukan konsep kesenian Barongsai kesenian, maupun adat-istiadat lainnya.
Tionghoa dan Barongan Using serta Masyarakat Jawa di Ambulu dan Wuluhan,
instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda misalnya, sampai saat ini masih melestarikan
202
Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural (Christanto P Rahardjo)
kesenian Reog yang berasal dari nenek Gambus sebagai pemenuh kebutuhan
moyangnya di Ponorogo. Di samping itu, estetiknya.
hampir semua masyarakat di selatan juga Fakta-fakta di atas merupakan sisi lain
menggemari Wayang Kulit, Jaranan, dan Pendhalungan. Sebuah komunitas budaya
Campursari. Sedangkan untuk urusan yang selama ini hanya dianggap bercirikan
pendidikan mereka tetap berorientasi pada perpaduan budaya Jawa dan Madura, ter-
pendidikan formal, meskipun di sana juga nyata menyimpan “sebuah orkestrasi multi-
terdapat pondok pesantren. kultural” yang berjalan dengan harmonis dan
Di wilayah utara, masyarakat tetap dinamis. Meskipun seringkali dikatakan
bertahan pada orientasi budaya Madura. menghasilkan produk budaya hibrid yang
Bahasa Madura merupakan bahasa sehari- dinamakan Pendhalungan ternyata mereka
hari masyarakat di Kecamatan Arjasa, tetap menikmati kesejarahan dalam bentuk
Jelbug, Sukowono, Kalisat, Sumberjambe, pemerintahan identitas kultural etnis masing-
Ledokombo, Mayang, dan sebagian masing. Mereka yang selama ini melang-
Pakusari. Di samping ludruk ala Madura, sungkan kehidupan dalam sebuah “periuk
masyarakat di sana gemar melihat pertun- besar” di Jember, Bondowoso, Situbondo,
jukan Hadrah sebagai kesenian pesantren Probolinggo, dan Lumajang ini berhasil
yang menjadi orientasi pendidikan etnis mengembangkan satu bentuk masyarakat
Madura. Pengajian juga menjadi acara multikultural yang sangat toleran dalam
favorit karena di samping mendapatkan menghargai perbedaan.
wejangan-wejangan tentang Islam, mereka Orkestra multikultural dalam sebuah
juga bisa bertemu dengan para Lorah “periuk besar” bernama Pendhalungan ini
(sebutan untuk kyai) ataupun Gus (anak merupakan sisi positif dari sebuah kebe-
kyai) yang dianggap bisa mendatangkan ragaman yang semestinya terus dikem-
berkah bagi kehidupan warga. bangkan dalam kehidupan masyarakat.
Sedangkan di wilayah tengah kota dan Komunitas Pendhalungan dengan segala
pinggiran kota di samping berdagang, etnis kekurangannya telah memberikan contoh
Tionghoa sebagai berkah reformasi politik tentang bagaimana membangun kesadaran
nasional juga mulai mengembangkan bersama dalam masyarakat multikultural.
kesenian Barongsai dan Liang liong sebagai Parsudi Suparlan mengatakan:
kesenian khas mereka. Pada peringatan Dalam model multikulturalisme ini,
Imlek, kesenian ini dipertontonkan me- sebuah masyarakat (termasuk juga
nyusuri jalan-jalan protokol kota Jember. masyarakat bangsa seperti Indonesia)
Meskipun generasi mudanya sudah banyak dilihat sebagai mempunyai sebuah
yang menggunakan Bahasa Indonesia dan kebudayaan yang berlaku umum dalam
Bahasa Jawa dengan aksen Tionghoa, masyarakat tersebut yang coraknya
Bahasa Mandarin sudah mulai diperkenal- seperti sebuah mosaik. Di dalam mo-
kan lagi. Dalam hal pendidikan sebagian saik tercakup semua kebudayaan dari
besar warga etnis Tionghoa tetap menye- masyarakat-masyarakat yang lebih kecil
kolahkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang membentuk terwujudnya masya-
yang dikelola gereja, seperti SD, SMP, dan rakat yang lebih besar, yang mempunyai
SMA Santo Yusuf, SMA Setya Cadika, dan kebudayaan yang seperti sebuah mosaik
lain-lain. Sementara etnis Arab tetap kukuh tersebut6.
mempertahankan identitasnya dengan tetap
melestarikan pernikahan sesama etnis. Menyitir pendapat di atas, bisa dikata-
Mereka juga masih mempertahankan Musik kan bahwa komunitas pendukung di wilayah
6
Parsudi Suparlan. “Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural”, Makalah dalam Simposium
Internasional Bali ke-3. Denpasar, 16-21 Juli 2002.
203
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
kebudayaan Pendhalungan ternyata tidak macam instrumen musik dalam irama har-
hanya membuat mozaik budaya, tetapi lebih monis, Pendhalungan bisa dikatakan sebagai
dari itu, mereka telah menghasilkan orkestra ‘sebuah proses yang akan terus menjadi’ di
multikultural yang indah di tengah suburnya tengah-tengah keragamannya. Artinya apa-
lahan pertanian dan perkebunan serta denyut apa yang saat ini bisa dikaji dan dipahami
nadi bisnis modern dan pendidikan yang dari wilayah kebudayaan ini adalah sesuatu
mulai menggeliat. Masyarakat Pendha- yang belum mapan (established) dan akan
lungan berhasil menggugurkan analisis yang terus menjadi sesuai dengan gerak dinamis
dilontarkan Muhaemin el-Mahdy yang kebudayaan etnis-etnis pendukungnya.
mengatakan bahwa: Berangkat dari kenyataan tersebut, ada
Sedikitnya selama tiga dasawarsa, ke- beberapa kemungkinan yang bisa lontarkan.
bijakan yang sentralistis dan penga- Pertama, bisa jadi, pada suatu ketika perpa-
walan yang ketat terhadap isu perbedaan duan kebudayaan masing-masing etnis di
telah menghilangkan kemampuan wilayah ini akan menghasilkan sebuah
masyarakat untuk memikirkan, mem- budaya yang ‘benar-benar baru’ sehingga
bicarakan dan memecahkan persoalan orang-orang di luar komunitas ini tidak lagi
yang muncul dari perbedaan secara akan mengatakan Jawa Pendhalungan,
terbuka, rasional dan damai. Kekerasan Madura Pendhalungan, Tionghoa Pendha-
antarkelompok yang meledak secara lungan, ataupun Arab Pendhalungan, tetapi
sporadis di akhir tahun 1990-an di ber- benar-benar mengatakan Kamu Pendha-
bagai kawasan di Indonesia menun- lungan. Kedua, Pendhalungan akan tetap
jukkan betapa rentannya rasa keber- seperti sekarang ini, ada hibridasi dan ada
samaan yang dibangun dalam Negara- juga atraksi kultural dari masing-masing
Bangsa, betapa kentalnya prasangka etnisnya dengan suasana yang semakin
antara kelompok dan betapa rendahnya dinamis karena datangnya etnis-etnis lain
saling pengertian antar kelompok.7 dari seluruh bagian Indonesia, baik karena
alasan pendidikan ataupun pekerjaan. Se-
Ternyata selama puluhan bahkan ra- muanya bisa saja terjadi dan semuanya akan
tusan tahun masyarakat Pendhalungan berdampak positif selagi komunitas pendu-
berhasil menciptakan mekanisme interaksi kung menyadarinya. Yang tidak baik adalah
sosial yang mampu menjaga keharmonisan ketika periuk besar ini hancur karena sengaja
dalam kontestasi budaya masing-masing dipecah oleh mereka yang mengatasnama-
etnis. kan kebenaran demi kepentingan politik,
agama, ekonomi, ataupun perut.
Simpulan
Seperti halnya sebuah orkestrasi yang
mengusung perpaduan dari permainan ber-
Daftar Pustaka
Barker, Chris, 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. (Terjemahan Indonesia oleh
Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana..
El-Mahady, Muhaemin. “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, dalam http:/
/artikel.us/muhaemin6-04.html, diakses pada 15 Pebruari 2006, 11.30 WIB.
7
Muhaemin el-Ma’hady dalam artikelnya “Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural”, diakses
dari http://artikel.us/muhaemin6-04.html.
204
Pendhalungan: Sebuah “Periuk Besar” Masyarakat Multikultural (Christanto P Rahardjo)
205
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Abstrak
206
Bi Bibi Tumbas Timun, Permainan Tradisional Yang Sarat Makna (Suyami)
1
Tim Penyusun Kamus PPPB. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Yogyakarta: Balai Pustaka, 1995), hal.
614.
207
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
2
Ibid., hal. 1069.
3
Ki Hadisukatno. “Permainan Kanak-Kanak Sebagai Alat Pendidikan”, dalam Buku Peringatan Taman
Siswa 30 Tahun 1922 - 1952. (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1970).
208
Bi Bibi Tumbas Timun, Permainan Tradisional Yang Sarat Makna (Suyami)
membuat wayang dari janur atau akan melatih anak dalam hal seni suara
rumput-rumputan. dan seni irama.
2. Permainan untuk mencoba kekuatan Permainan Tradisional Bi Bibi Tumbas
dan kecakapan, misalnya: tarik menarik, Timun
bergulat, berguling-guling, kejar- Permainan tradisional Bi Bibi Tumbas
kejaran, gobag sodor, gobag bunder, Timun sangat cocok untuk anak usia dini.
bengkat, benthik uncal, jethungan, Menurut hasil penelitian para ahli, anak usia
genukan, obrok, dan lain sebagainya. dini (0 – 8 tahun) merupakan masa emas
Permainan tersebut secara tidak disadari (golden age), di mana pertumbuhan dan
oleh anak telah melatih kekuatan dan perkembangan sel-sel otak dan berbagai
kecakapan jasmani. aspek pada anak mencapai 80 %. Selain itu,
3. Permainan untuk melatih panca indra, pada usia dini anak sedang mengalami masa
misalnya: gatheng, dhakon, macanan, perkembangan, baik fisik maupun psikis,
sumbar-suru, sumbar-manuk, sumbar- sehingga anak mudah terpengaruh oleh
dulit, kubuk, adu kecik, adu kemiri, main lingkungan dan peka untuk menerima
kelereng, jirak, bengkat, pathon, rangsangan, guna mengembangkan imajinasi
dhekepan, menggambar di tanah, main dan kreativitas. Oleh karena itu, pada masa
petak umpet, main bayang-bayangan, ini perlu usaha untuk menstimulasi agar anak
serang-serongan, dan lain sebagainya. dapat berkembang secara optimal. Banyak
Permainan tersebut secara tidak disadari upaya dapat dilakukan untuk menstimulasi
si anak ternyata termasuk latihan tumbuh kembang anak, yang salah satunya
kecakapan meraba dengan tangan, adalah dengan permainan tradisional.
menghitung bilangan, memperkirakan Anak usia dini adalah masa di mana
jarak, menajamkan alat penglihatan dan anak mulai belajar bersosialisasi untuk
pendengaran, dan melatih keterampilan mengenal lingkungan yang sekaligus
tangan. merupakan masa awal pembentukan mental
4. Permainan dengan latihan bahasa, anak, maka agar pada anak tertanam jiwa
misalnya: permainan anak dengan sosial, permainan yang cocok adalah per-
percakapan/cerita, permainan dengan mainan yang mengutamakan kebersamaan.
teka-teki dan tebak-tebakan, dan lain Bahwa anak pada usia dini tenaga fisiknya
sebagainya. Dalam permainan ini belum begitu kuat, maka jenis permainan
biasanya anak tidak hanya terbatas pada yang cocok adalah permainan yang tidak
cerita-cerita atau teka-teki yang sudah terlalu menuntut kekuatan fisik.
lazim, melainkan mereka akan berusaha 1. Cara Bermain
mengemukakan cerita atau teka-teki Seorang anak (A) duduk bersila. Beberapa
buatannya sendiri, agar tidak mudah anak yang lain berdiri berjajar bergandengan
ditebak atau diketahui oleh teman- tangan di depan A sambil bernyanyi dan
temannya. Di situ akan tumbuh keca- berjalan maju-mundur. Setelah nyanyian
kapan berbahasa dan meningkatkan selesai, anak-anak tersebut berhenti lalu
kecerdasan anak. duduk di depan A, lalu terjadi dialog.
5. Permainan dengan lagu dan irama, A : Sampeyan sinten
misalnya: jamuran, cublak-cublak (kamu siapa)
suweng, bibi tumbas timun, ancak- Anak-anak : Kengkenane mBok Tanureja
ancak alis, manuk-manuk dipanah, (suruhan Bu Tanureja)
tokung-tokung, blarak-blarak sempal, A : Ajeng napa
dhemplo, dan lain sebagainya. Per- (mau apa)
mainan tersebut secara tidak langsung Anak-anak : Ajeng tumbas timun
(mau beli mentimun)
209
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
210
Bi Bibi Tumbas Timun, Permainan Tradisional Yang Sarat Makna (Suyami)
wahana untuk menanamkan nilai-nilai buka ilmu yang semula tertutup agar
tertentu kepada anak. Begitu pula halnya dibuka/dijelaskan’. Hal itu sebagaimana
dengan permainan anak Bi Bibi Tumbas kita ketahui bahwa kata ‘membelah’
Timun.4 dapat dimaknai ‘membuka untuk
Makna simbolik dalam permainan melihat isi dalamnya’.
tradisional Bi Bibi Tumbas Timun dapat Permainan tradisional Bi Bibi Tumbas
digali dari makna tembangnya bahwa: Timun mengandung makna simbolik, bahwa
- Kata bibi adalah sebagai sebutan kepada orang muda (generasi muda) hendaklah
seseorang yang lebih tua. membiasakan diri untuk bergaul dan
- Kata tumbas (membeli) merupakan berkumpul dengan kaum tua (generasi tua),
ungkapan sebagai usaha untuk men- untuk menimba ilmu dan meneladani
dapatkan sesuatu. jejaknya. Hal itu karena orang tua sudah
- Kata timun merupakan kata simbolis mengetahui banyak hal tentang hidup, dan
(jarwa dhosok) dari kata tinemumu bahkan sudah melaluinya dengan selamat.
(pendapatmu/pengetahuanmu). Terutama orang tua yang sukses dan
- Kata Dhedhekane mengandung maksud berkualitas.
‘yang diincar/diinginkan’. Ukuran orang tua yang sukses dan
- Kata Mbok Bibi Tanureja maksudnya berkualitas, bukan hanya tua berdasarkan
‘orang tua yang sudah sukses dalam usia, maupun sukses dalam urusan duniawi
hidupnya’ (tanu = terhormat, reja = atau materi, melainkan orang yang sempurna
makmur/sejahtera). Yang dimaksud dalam pengetahuan maupun pemikirannya.
‘hidup sukses’ di sini bukan berarti Hal itu dapat tercermin dalam tutur katanya
sukses dalam hal materi atau kedunia- yang berkualitas (bermanfaat) dan perilaku-
wian, melainkan orang yang sudah nya yang halus dan tulus lahir batin.
sempurna dalam segi kerokhaniannya.
- Kata murmêg murwa merupakan Penutup
kependekan dari kata umure wus tumeg Kebudayaan adalah hasil refleksi dari
(usianya/hidupnya sudah puas) dan kata budi dan daya manusia, yang merupakan
umure wus dawa (usianya sudah ungkapan dari cipta, rasa, dan karsa. Begitu
panjang/memiliki banyak pengalaman pula dengan berbagai tradisi dalam kehi-
hidup). dupan manusia, termasuk berbagai jenis
- Kata untune kena diprada (giginya bisa permainan anak. Berdasarkan uraian di atas,
diprada/diwarnai emas) mengandung dapat diketahui bahwa suatu jenis permainan
maksud bahwa apapun yang keluar dari anak bukan hanya berfungsi sebagai sarana
lisannya mengandung keindahan/ untuk mendapatkan kesenangan bagi anak,
kebaikan. akan tetapi, juga berfungsi sebagai sarana
- Kata lambene kena digrenda (bibirnya untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan
bisa dihaluskan) mengandung maksud yang sangat bermanfaat dalam pengem-
bahwa apapun yang terucap dari bangan jiwa dan kepribadian.
bibirnya selalu halus, tidak pernah Pada masa sekarang, permainan
berkata kasar. tradisional sudah nyaris hilang dari
- Kata Bi Bibi tumbas timun sigar mawon peredaran. Dunia anak sudah jarang sekali
(Bibi membeli mentimun separuh saja), berkutat dengan permainan tradisional.
kata sigar berarti ‘membelah’. Hal ini Sorak sorai dan suasana ceria dari dunia
dimaksudkan sebagai ungkapan ‘mem- permainan anak sudah tak terdengar lagi
4
K.P.A. Kusumadiningrat. Serat Rarywa Saraya. (Surakarta: Widya Pustaka, 1913).
211
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
gemanya. Kita tahu, bahwa permainan kekayaan budaya bangsa yang sungguh adi
tradisional banyak terkandung nilai-nilai luhung agar tidak hilang tertelan jaman.
positif yang sangat berguna bagi anak. Oleh Semoga.
karena itu, kita perlu menggali kembali
Daftar Pustaka
Hadisukatno, Ki, 1970. “Permainan Kanak-kanak Sebagai Alat Pendidikan”, dalam
Buku Peringatan Taman Siswa 30 Tahun 1922 – 1952. Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman siswa.
Kusumadiningrat, K.P.A., 1913. Serat Rarywa Saraya. Surakarta: Widya Pustaka.
Tim Penyusun Kamus PPPB, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
212
Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya (Hisbaron Muryantoro)
Abstrak
Prof. Koesnadi adalah sosok intelektual yang sangat peduli terhadap kebudayaannya
sendiri. Meski kepakarannya di bidang hukum lingkungan, tetapi ia secara terus menerus
mensosialisasikan keberadaan kebudayaan Indonesia pada umumnya dan seni tradisi
khususnya seperti Pencak Silat dan obat-obatan tradisional. Bahkan mengenai pencak
silat dan obat-obatan tradisional dikajinya secara ilmiah lewat lembaga-lembaga
penelitian yang ada di UGM. Benda-benda budaya yang berada di luar negeri telah
dapat dikembalikan ke tanah air. Berkat usahanya ketika ia menjadi Atase Kebudayaan
di Negeri Belanda
Sebelum Prof. Koesnadi meninggal dunia, ia berpesan bahwa sudah saatnya para
ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk memperhatikan keberadaan kebudayaan Indonesia,
khususnya seni pertunjukan tradisional. Ia memperkenalkan wayang kulit pada generasi
muda, khususnya para mahasiswa. Dalam bidang olahraga seperti pencak silat dan
pengkajian tentang obat-obatan tradisional. Sudah barang tentu gerak langkah dan
aktivitas Prof. Koesnadi perlu diteladani.
Kata kunci: Koesnadi - Budayawan.
1
Wawancara dengan Prof. Koesnadi Hardjasoemantri di rumahnya pada tanggal 17 Agustus 1997.
2
Koesnadi Hardjasoemantri. “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM. 15 April 1985, hal. 30.
213
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
pencak silat. Selain itu ia juga diperkenalkan kepada bangsa Indonesia sesuai dengan
oleh ayahnya dengan kesenian Sunda kebutuhannya. 5 Pada tahun 1907 atas
khususnya seni tari. Menurutnya ia belajar perintah Gubernur Jenderal Van Heutz di-
tari Sunda sebelum masuk sekolah dan diajar dirikanlah Sekolah Desa untuk memberantas
oleh guru tari kondang asal Cirebon.3 Pada buta huruf, di samping mencari tenaga kerja
waktu itu ia menarikan tari Gatotkaca dan yang sedikit terdidik dan murah. Pendidikan
tari topeng. Baginya kesenian itu sangat dalam arti sebenarnya tidak diberikan
memberi kesan sampai sekarang dan semasa kecuali membaca, menulis dan menghitung
kuliah ia pernah ditunjuk menjadi Ketua yang berlangsung selama tiga tahun. Adapun
Badan Kerjasama Mahasiswa se Indonesia. yang menjadi murid di Sekolah Desa hanya
Dengan penunjukan itu menjadi bukti bahwa anak-anak desa, sedangkan anak-anak
ia memiliki landasan kuat dalam priyayi atau bangsawan tidak mau masuk
berkesenian. Selain itu ia juga berupaya Sekolah Desa karena dipandang mutu
mengembangkan pencak silat sampai ke pendidikannya rendah. Pada tahun yang
Eropa dan pernah pula ditunjuk menjadi sama, berdiri Sekolah Eerste Inlandsche
anggota Dewan Pembina IPSI Pusat. School (Sekolah Bumi Putera Kelas Satu)
Pada tahun 1957 Koesnadi mengakhiri yang diberi pelajaran bahasa Belanda, sejak
masa lajangnya dengan mempersunting kelas tiga hingga kelas lima dan kemudian
Toeti Rahajoe yang merupakan teman masa belajar dijadikan enam tahun dengan
semasa kuliah di Fakultas Hukum Univer- pengantar bahasa Belanda untuk kelas enam.
sitas Gadjah Mada. Dari perkawinannya ia Pada tahun 1911 masa belajar di Eerste
dikaruniai dua orang anak yang diberi nama Inlandsche School berubah menjadi tujuh
Ika Koesnadi dan Ira Koesnadi. Namun di tahun dan sejak tahun 1914 sekolah ini
tengah masa pengabdiannya kepada bangsa diubah menjadi Holland Inlandsche School
dan negaranya ia harus kehilangan istri (HIS) dan merupakan bagian pengajaran
tercintanya, sudah barang tentu kepedihan rendah barat.6
itu sangat membekas dalam hatinya. Sebagai Di samping HIS masih terdapat pendi-
seorang yang berpikir rasional dan dikan Eropa lainnya yaitu Europeesche
mempunyai berbagai jabatan, maka ia tidak School (ELS) yang diperuntukkan khusus
ingin terus larut dalam kesedihan. Atas saran orang-orang Eropa dan orang-orang yang
rekan serta anak-anaknya akhirnya ia me- kedudukannya disamakan dengan orang-
nikahi Nina Sutarinah sebagai pendamping orang Eropa. Berdasarkan ketentuan peme-
hidupnya yang pernah bekerja di KBRI rintah (Statblad 1914 No. 359) ada empat
Belanda. Menjelang 1000 hari wafat istri dasar penilaian yang memungkinkan anak-
pertamanya ia mengatakan kepada Nina anak mereka bersekolah di HIS yaitu
Sutarinah, “ …saya dibantulah membesar- keturunan, jabatan, kekayaan, dan pendi-
kan anak-anaknya begitu…” 4. Akhirnya dikan. Oleh sebab itu seseorang yang me-
keluarga itupun bahagia hingga sekarang. miliki keturunan bangsawan tradisional
mempunyai hak untuk memasuki HIS.
Pendidikan Demikian pula seseorang yang mempunyai
Pada awal abad XX tugas pokok Peme- jabatan dalam pemerintahan seperti wedana,
rintah Hindia Belanda di lapangan pendi- demang dan asisten demang. Di samping
dikan adalah memberi pengajaran rendah pendidikan Barat yang pernah diterima si
3
Wawancara dengan Prof. Koesnadi di rumahnya tanggal 17 Agustus 1997.
4
Wawancara dengan Ibu Koesnadi di rumahnya tanggal 29 September 1997.
5
Sartono Kartodirdjo, dkk. Sejarah Nasional V. (Jakarta : Balai Pustaka, 1977), hal. 146.
6
Wawancara dengan Prof. Koesnadi tanggal 17 Agustus 1997.
214
Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya (Hisbaron Muryantoro)
orang tua paling sedikit Meer Uitgebreid 1947. Akhirnya ia melanjutkan ke perguruan
Lager Onderwijs (MULO) atau yang tinggi dan menyelesaikan studinya di
setingkat dan berpenghasilan rata-rata 100 Fakultas Hukum tahun 1964.11
gulden sebulan, mempunyai hak untuk Di sela-sela kesibukannya menjadi
memasukkan anaknya ke HIS.7 pegawai ia sempat mendapat tugas belajar
Dengan adanya peraturan seperti itu ke luar negeri dan menggondol gelar Master
memungkinkan Koesnadi yang ayahnya of Law yang diraihnya pada tahun 1981.12
bekerja sebagai Asisten Wedana di salah satu Pada tahun itu juga ia berhasil menggondol
wilayah Kabupaten Bandung dapat gelar Doktor dari Universitas Leiden Neder-
mengenyam pendidikan di HIS. Ia dimasuk- land. Setelah itu ia dikukuhkan menjadi guru
kan ayahnya ke HIS yang digunakan untuk besar di almamaternya sendiri Fakultas
latihan para calon guru atau Kweek School. Hukum Universitas Gadjah Mada. Beliau
Sedang HIS nya dinamakan Tweede HIS mengucapkan pidato pengukuhannya di
(HIS Banjarsari) yang di kalangan priyayi muka Rapat Senat terbuka pada tanggal 15
Priangan sekolah ini sangat digemari, April 1985 yang berjudul “Aspek Hukum
sehingga dapat disebut sebagai Sekolah Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan
Menak sebab hampir sebagian besar anak- Lingkungan Hidup”. Di bidang Ilmu Hukum
anak priyayi masuk sekolah itu.8 Lingkungan inilah Koesnadi mengukir
Koesnadi lulus dari HIS Banjarsari pada prestasi intelektualnya di dunia pendidikan
tahun 1940.9 Namun sebelum lulus dari HIS tinggi Indonesia.
Banjarsari ia sempat sekolah di Jakarta
ketika ayahnya mendapat tugas di sana. Pelestari dan Pecinta Budaya
Mula-mula ia dimasukkan ke Sekolah Setelah menyelesaikan studinya di
Kristen. Setelah naik kelas III dipindahkan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
ke Sekolah Muhammadiyah. Kemudian naik ia mulai bekerja pada Departemen Pen-
kelas IV dimasukkan ke Sekolah Katholik. didikan dan Kebudayaan sebagai Kepala
Setelah menamatkan sekolah di HIS Biro Hubungan Departemen PTIP (1964-
kemudian ia melanjutkan studi di HBS, 1967). Kemudian karirnya semakin me-
tetapi baru duduk di kelas II sekolah itu nanjak dan sejumlah jabatan penting terus
dibubarkan, sebab sejak tanggal 8 Maret diembannya. Pada tahun 1974 ia diangkat
1942 terjadi peralihan kekuasaan ke tangan menjadi Atase Pendidikan dan Kebudayaan,
Bala Tentara Jepang. Hal ini menyebabkan KBRI Den Haag, Nederland. Selama men-
perubahan pada sendi-sendi kehidupan ma- jadi Atase itu ia telah menyumbangkan
syarakat termasuk sistem pendidikan yang tenaga dan pikirannya bagi bangsa dan
diterapkan. negara. Selain memperkenalkan budaya
Situasi ini mengubah pola pendidikan Indonesia di luar negeri, khususnya di negeri
Koesnadi, kemudian ia melanjutkan pen- Belanda ia telah dapat pula mengembalikan
didikan di SMP II Manggarai dan lulus pada benda-benda purbakala ke Indonesia. Di
tahun 1944.10 Setamat SMP ia kemudian antaranya pengembalian koleksi fosil yang
meneruskan ke SMT dan lulus pada tahun berasal dari Timor dan Flores. Serah terima
7
Ibid.
8
Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.
9
Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.
10
Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.
11
Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.
12
Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.
215
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
benda cagar budaya itu dilakukan pada bentuk Pusat Penelitian Obat Tradi-
tanggal 24 Maret 1976.13 Selain itu telah sional UGM disingkat PPOT UGM,
disepakati pula adanya penyerahan timbal sebagai pusat yang berstatus non
balik microfilm antara Lembaga Arsip struktural di bawah koordinasi Lembaga
Nasional Republik Indonesia dan Algemeen Penelitian UGM. PPOT-UGM mem-
Rijksarchief yang dilakukan pada tanggal 25 punyai tugas melaksanakan pengkajian
Maret 1976 di KBRI Den Haag. Pihak dan penelitian semua aspek obat
Indonesia menyerahkan 20 reels microfilm tradisional termasuk pengobatan tradi-
mengenai Doopboeken dari berbagai gereja sional.16
dalam periode 1623-1864 yang terdapat b. Membangun Wanagama yang terletak di
dalam “Batavia Burggerlijke Stands Kabupaten Gunung Kidul dengan luas
Registers”. Sedangkan pihak Belanda + 600 Ha sebagai hutan pendidikan
menyerahkan microfilm melalui kedutaan- lingkungan sekaligus hutan konservasi
nya di Jakarta berupa microfilm mengenai yang lebat, sehingga ikut berperan
“Memories Van Overgave” dan “Politiche dalam upaya penyelamatan lingkungan
Verslagen” dari permulaan abad XX se- hidup yang digalakkan oleh negara-
banyak 94 reels. Sedang pihak Indonesia negara di dunia.
menyerahkan microfilm mengenai c. Laboratorium Pencak Silat
“Daghregisters Gekonden in’t Kasteel Dalam seminar yang diadakan oleh PB
Batavia” dari tahun 1640-1807 sebanyak 63 Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI)
reels.14 pada tanggal 25 November 1986 telah
Selama menjabat sebagai Atase pula dibicarakan peranan perguruan
Kebudayaan Prof. Koesnadi telah dapat tinggi di dalam mengembangkan pencak
mengusahakan pengembalian benda-benda silat. Laboratorium tersebut bertujuan:
budaya ke Indonesia dalam tujuh gelom- - menganalisis gerakan-gerakan
bang. Di antaranya patung Prajnaparamita pencak silat secara ilmiah.
(Ken Dedes), lukisan Raden Saleh dan - mendokumentasikan seluruh
Penangkapan Pangeran Diponegoro.15 Selain gerakan pencak silat yang ada di
itu juga memperkenalkan budaya Indonesia Indonesia.
yang berupa kesenian daerah pencak silat - menyusun pembakuan gerakan
hingga ke Eropa. pencak silat.
Upaya lain yang dilakukan Prof. - menyusun pembakuan nomenklatur
Koesnadi sebagai pecinta dan pelestari pencak silat.
budaya di antaranya: - menyusun buku tentang pendidikan
a. Menumbuhkan Pusat Penelitian Obat dan pertandingan pencak silat.
Tradisional yang dilengkapi dengan - melaksanakan tugas-tugas lain yang
peralatan canggih di laboratorium dipandang perlu.
beserta perangkat lunak yang memadai Pada tanggal 24 Januari 1989 telah
berupa kemampuan akademik tenaga ditandatangani perjanjian kerjasama
peneliti/pengajar. Sesuai dengan SK antara IPSI dan UGM tentang Labo-
Rektor No. UGM/ 191/7356/UM/01/37 ratorium Pencak Silat yang disaksikan
tertanggal 1 Desember 1987 telah di- Menpora Akbar Tanjung dan KONI
13
Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Wawancara dengan Prof Koesnadi di rumahnya tanggal 15 Januari 1998.
216
Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya (Hisbaron Muryantoro)
Pusat. Pendirian gedung Laboratorium lewat beberapa makalahnya antara lain yang
Pencak Silat UGM-IPSI dilaksanakan berjudul “Wawasan Keanekaragaman
pada tanggal 2 Februari 1990.17 Lingkungan Budaya Memperkokoh Jati Diri
d. Memelihara serta melestarikan Panca- Bangsa” yang disampaikan dalam ceramah
sila sebagai ideologi dan dasar negara pada Pembinaan/Penyuluhan Kebudayaan
yang digali dari akar budaya bangsa Daerah. Inti persoalan ceramah yang
Indonesia. Menurut Prof. Koesnadi, disampaikan Prof. Koesnadi yaitu meng-
Pancasila dalam pelaksanaannya perlu ingatkan kepada para peserta pembinaan
untuk terus menerus dikaji ulang dan khususnya dan masyarakat pada umumnya
bukan untuk dikeramatkan. Hal ini untuk tetap memperkokoh jati diri bangsa
berarti bahwa perlu adanya revolusi Indonesia. Menurut Prof. Koesnadi bahwa
paradigma yaitu merubah pola berpikir budaya itu bersifat dinamis sehingga pe-
dan sistem yang sekarang diterapkan. ngaruh dan perubahan suatu budaya tidak
e. Memperjuangkan hasil karya batik di bisa dihindari lagi. Namun yang terpenting
forum internasional untuk mendapatkan dalam perubahan-perubahan itu hendaknya
hak paten dan diakui secara inter- nilai-nilai luhur bangsa yang menampakkan
nasional bahwa batik merupakan hasil jati diri bangsa harus tetap dipertahankan.
karya bangsa Indonesia. Jati diri bangsa tersebut telah tercermin
Selain itu ia juga memperkenalkan dalam Pancasila yang merupakan pandangan
kesenian tradisional kepada para mahasiswa hidup dan filsafat bangsa Indonesia.
UGM. Di antaranya berupa pergelaran Ceramah lain yang juga tidak kalah menarik
wayang kulit semalam suntuk yang berjudul “Peranan Hukum Dalam Peles-
keseluruhannya dilaksanakan oleh para tarian Budaya”, yang diselenggarakan pada
mahasiswa sendiri.18 Melalui aktivitas itu bulan Juli 1997 oleh Lembaga Javanologi
diharapkan dapat menumbuhkan rasa Yayasan Panunggalan Yogyakarta. Pokok-
mencintai di kalangan generasi muda pokok ceramahnya itu berisi tentang
khususnya bagi para mahasiswa. Undang-undang No. 4 tahun 1982 yang
Selain sebagai sosok seorang pakar berisi ketentuan-ketentuan Pokok Penge-
hukum lingkungan, ia juga menjadi sosok lolaan Lingkungan Hidup dan penjabaran-
manusia Indonesia yang sangat mencintai nya yang diundangkan pada tanggal 11
kebudayaan sendiri dengan tekad untuk terus Maret 1982.
berupaya dalam mensosialisasikannya di Di kalangan para koleganya, salah satu
tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab di antaranya Dr. Maria SW. Soemardjono,
itu, tidaklah mengherankan jika ia dipercaya SH, MCL, MPA yang pada waktu itu
untuk duduk sebagai Dewan Penasehat menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum
Perkumpulan Kesenian “Irama Citra” se- UGM mengatakan bahwa :
buah kelompok kesenian yang mengkader, “Pak Koesnadi yang saya kenal adalah
melatih, mengkursus dan memberi pelajaran pribadi yang sangat mengesankan. Saya
kesenian tradisional khususnya mendidik sering menyamakan Pak Koesnadi
tari-tari tradisional Jawa kepada generasi sebagai Semar. Dalam arti beliau itu
muda.19 untuk seorang kecil atau mahasiswanya
Sedangkan sumbangan pemikirannya beliau itu membimbing sifatnya, tetapi
dalam bidang kebudayaan banyak tertuang pada saat tertentu beliau itu sebagai
17
Wawancara dengan Prof Koesnadi di rumahnya tanggal 15 Januari 1998.
18
Prof. Koesnadi Hardjasoemantri. Memorandum Akhir Jabatan Rektor Masa Bhakti Tahun 1986-1990.
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990), hal. 23.
19
Wawancara dengan Supadiman tanggal 20 Maret 2007.
217
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Semar juga bisa bergaul dengan atasan bagi saya kalau ada sesuatu ya ditegur,
atau dengan orang-orang yang sedang tetapi saya selalu mengemukakan saran-
berada di puncak kekuasaan. Pada saat saran saya. Dengan demikian memang
diperlukan beliau juga dapat memberi- bentuk badan saya mendekati Semar
kan nasehat-nasehatnya secara bijak- begitulah, tetapi yang lebih bermakna
sana. Jadi Pak Koes adalah pribadi yang lagi rupa-rupanya mereka anggap saya
menyeluruh yang dapat bergaul baik sebagai seorang yang dapat memberikan
dengan kalangan muda, kalangan tua apa namanya itu, entah pengayoman,
yang berpangkat maupun orang-orang saran-saran yang rupa-rupanya ini
kecil dan kepeduliannya pada ling- merupakan suatu kehormatan bagi diri
kungan memang sangat istimewa”.20 saya….”.21
Mengenai julukannya sebagai tokoh Rupanya julukan itu bagi Prof.
Semar Prof. Koesnadi mengatakan bahwa : Koesnadi sangat membanggakan. Seba-
“…saya pertama kali dianggap sebagai gaimana diakui bahwa memang bentuk
Semar adalah pada waktu ada di negeri badannya mendekati Semar pendek dan
Belanda. Pada waktu itu saya masih tambun. Sedang dalam dunia pewayangan
ingat ada perpisahan dengan para Guru Semar merupakan simbol dewa ngejawantah
Besar Belanda. Teman-teman guru besar yang artinya keagungan yang diwujudkan
di Universitas Leiden atau universitas dalam kesederhanaan. Selain itu Semar juga
lain, dan mereka mengatakan bahwa merupakan simbol pamomong, penuntun ke
Semar diberikan kepada saya karena jalan kebaikan dan kebenaran yang hakiki
mereka menganggap saya ini yang dan universal milik siapapun, dan julukan
mengayomi mereka dan menegur itu memang sangatlah tepat. Kiprah Prof.
mereka. Dan menurut mereka di pewa- Koesnadi dalam dunia kebudayaan sudah
yangan yang berfungsi seperti itu adalah tidak diragukan lagi.
Semar katanya. Jadi saya merasa sangat
terhormat karena teman-teman itu Penutup
mengerti benar mengenai keadaan Sebagai penutup untuk mengakhiri
pewayangan khususnya yang ahli tulisan ini, maka dapatlah dikatakan bahwa
Indonesia. Tetapi kemudian dibisikkan Prof. Koesnadi sebagai seorang pelestari
kepada saya tolong nanti wayang itu budaya, kiprahnya dalam dunia kebudayaan
dikembalikan, karena mereka pinjam antara lain memperkenalkan kebudayaan
dari museum katanya. Jadi dengan Indonesia keluar negeri seperti pencak silat
sendirinya saya mengembalikan itu, dan pertunjukan tradisional. Selain itu
tetapi sesuatu yang bagi saya sangat kebudayaan bangsa Indonesia juga diperke-
penting maknanya. Kemudian pada nalkan pada generasi muda seperti pertun-
waktu saya selesai sebagai Guru Besar jukan wayang kulit. Bahkan dunia kampus
tetap. Pada waktu saya selesai menyam- juga diharapkan dapat mengkaji produk-
paikan pidato akhir jabatan, Ibu Maria produk kebudayaan Indonesia secara ilmiah
Soemardjono yaitu Dekan Fakultas seperti adanya Laboratorium Pencak Silat,
Hukum UGM juga menyerahkan pada penelitian dan pengkajian mengenai obat-
saya wayang Semar itu. Beliau obat tradisional. Dengan demikian, maka hal
mengatakan bahwa mereka tahu saya ini menunjukkan bahwa Prof. Koesnadi
sering menegur para pejabat tinggi dan benar-benar mencintai budayanya sendiri.
sebagainya dan memang sebenarnya
20
Wawancara TVRI dengan Prof. Adnan tanggal 24 Mei 1997.
21
Ibid
218
Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., M.L.: Pelestari Budaya (Hisbaron Muryantoro)
Dalam suatu kesempatan ketika di- Namun sayang kini Prof. Koesnadi telah
wawancarai oleh TVRI seusai Seminar pergi untuk selama-lamanya. Meskipun
Kebudayaan di UGM, ia mengatakan bahwa: demikian aktivitasnya dalam dunia kebu-
“ Sudah saatnya sekarang ini para pakar dayaan dapat diteladani khususnya bagi
dari berbagai disiplin ilmu untuk secara generasi muda.
terus-menerus menyumbangkan pemi-
kirannya demi tumbuh dan berkem-
bangnya kesenian tradisional…”.
Daftar Pustaka
Koesnadi Hardjasoemantri. “Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan
Lingkungan Hidup”, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Hukum
UGM. 15 April 1985.
Koesnadi Hardjasoemantri, 1990. Memorandum Akhir Jabatan Rektor Masa Bhakti
Tahun 1986-1990. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sartono Kartodirdjo, dkk., 1977. Sejarah Nasional V. Jakarta: Balai Pustaka.
Dokumen-dokumen pribadi Prof. Koesnadi.
219
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
BIODATA PENULIS
ISYANTI, lahir di Yogyakarta tahun 1955, Sarjana Geografi UGM tahun 1982. Sejak tahun
1982 hingga sekarang berstatus sebagai PNS di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta. Sebagai peneliti sering melakukan penelitian yang berkaitan dengan bidang
keilmuannya dan aktif pula mengikuti berbagai seminar kebudayaan. Beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan dan dipublikasikan antara lain: Kehidupan Sosial Budaya
pada Masyarakat Padat Penduduk di Desa Pucungrejo Kecamatan Muntilan Kab. Dati II
Magelang Jawa Tengah; Samiran Salah Satu Desa Menarik di Jalur SOSEBO Kabupaten
Boyolali; Perkawinan Antar Etnik Jawa dan Minang; Toponimi Bekas Kasunanan Surakarta
di Jawa Tengah; Peranan Media Massa Lokal Bagi Pengembangan Kebudayaan Daerah;
Kesadaran Budaya Tentang Ruang Pada masyarakat Di DIY (Suatu Studi Mengenai Proses
Adaptasi); Dampak Masuknya Media Komunikasi Terhadap Kehidupan Masyarakat
Pedesaan DIY; Sistem Pengetahuan Kerajinan Tradisional Tenun Gedog Tuban Propinsi
Jawa Timur; Tata Krama Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Sleman DIY.
SUMINTARSIH, memperoleh gelar Sarjana Antropologi, dari UGM tahun 1983, dan
Magister Humaniora Antropologi UGM pada tahun 1998. Pernah bekerja sebagai peneliti
di Pusat Penelitian Kependudukan (PPK) UGM pada tahun 1974 – 1982. Sejak tahun 1983
menjadi PNS di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, hingga sekarang.
Hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional antara lain: Strategi Adaptasi Penduduk Rawapening; Perajin Batik Wukirsari,
Imogiri; Wanita Perajin Tenun Gedog, Tuban; Eksistensi Perajin Tenun Kulon Progo;
Sumbang Menyumbang di Lingkungan Masyarakat Perajin Akik Pacitan; Sistem
Pengetahuan Aktifitas Nelayan Bonang; Strategi Adaptasi Masyarakat di Daerah Rawan
Penggenangan di Daerah Demak; Aspirasi di Lingkungan Generasi Muda Pedesaan. Selain
itu beberapa hasil penelitian yang telah diterbitkan oleh penerbit profesional antara lain:
Khasanah Budaya Lokal (Adicita, 2000) dan Ekonomi Moral, Rasional dan Politik Dalam
Industri Kecil di Jawa: Esai-Esai Antropologi Ekonomi (Keppel Press, 2003).
ISNI HERAWATI, lahir di Sleman 7 Agustus 1955, Sarjana Antropologi UGM tahun 1982.
Sejak tahun 1983 sampai sekarang bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Sebagai peneliti, seringkali mengikuti kegiatan seminar,
penelitian dan diskusi. Sebagai Peneliti Madya ia banyak melakukan penelitian: Sistem
220
Biodata Penulis
TITI MUMFANGATI, lahir di Kulonprogo, 13 April 1965, Sarjana Sastra Jurusan Sastra
Nusantara, UGM, lulus tahun 1990. Bekerja sebagai staf peneliti Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional Yogyakarta sejak tahun 1992. Sebagai peneliti aktif melakukan penelitian
yang berkaitan dengan kebudayaan. Beberaapa hasil penelitian mandiri yang telah diterbitkan
dalam Patra-Widya antara lain: Serat Purwakasurti: Kedudukan dan Fungsinya dalam
rangka Transformasi Nilai Didaktik di Kalangan Sastra Jawa; Unsur Tapa Dalam Serat
Suryaraja: Suatu Kajian Aspek Filsafat Kejawen; Kajian Nilai Budaya Dalam Serat
Jayengbaya; Pengaruh Mitos Ki Mentotruno (Mentakuwoso) Bagi Masyarakat
Pendukungnya; Kajian Nilai Budaya Tentang Upacara Grebeg Ngenep. Hasil penelitian
tim yang sudah diterbitkan antara lain : Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa dalam Serat
Suryaraja (1997); Serat Tajusalatin: Suatu Kajian Filsafat dan Budaya (1997/1998); Tradisi
Kehidupan Sastra di Kasultanan Yogyakarta; Geguritan Tradisional Dalam Sastra Jawa
(2002); Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora Jawa Tengah
(2004).
ENDAH SUSILANTINI, lahir di Yogyakarta 25 Juni 1953. Sarjana Sastra Nusantara (Jawa)
dari Fakultas Sastra – UGM (1984). Sejak tahun 1983 bekerja sebagai peneliti di Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, terutama menekuni naskah kuna. Sebagai
Peneliti Madya, ia aktif di berbagai kegiatan ilmiah seperti penelitian, seminar dan diskusi
sastra. Beberapa karya ilmiah yang telah dihasilkan antara lain: Refleksi Nilai-Nilai Budaya
Jawa Dalam Serat Suryaraja (1996/1997); Kajian Tasawuf Dalam Serat Jaka Salewah
(1998); Wirid Hidayatjati Suatu Kajian Filosofis (2002); Kajian Nilai Budaya Dalam Serat
Joharmukin (2003); Kajian Aspek Dikdatis Filosofis Dalam Suluk Sujinah (2004); Serat
Kadis Mikraj Kanjeng Nabi Muhammad Kartanneya Dengan Peringatan Isra’Miraj Kraton
Kasultanan Yogyakarta (2005); Serat Dzikir Maulud: Kajian Aspek Keagamaan dan Tradisi
Masyarakat (2006).
EMILIANA SADILAH, Sarjana Geografi dari Fakultas Geografi UGM (1978). Sejak tahun
1989 mengabdi di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Sebagai Peneliti
seringkali mengikuti seminar, penelitian serta diskusi. Sebagai Peneliti Madya, ia banyak
melakukan penelitian terutama tentang geografi manusia antara lain: Pengembangan Sumber
Daya Manusia, Studi Tentang Strategi Masyarakat di Desa Palbapang Bantul (1994/95);
Migrasi Sirkuler Sebagai Bentuk Strategi Adaptasi Lingkungan, Studi Kasus Migran Asal
Gunung Kidul di Kodya Yogyakarta (1995); Hubungan Antar Etnik, Studi Kasus Mahasiswa
di Desa Caturtunggal Sleman (1996); Konsep Ruang Pada Masyarakat Pendatang di DIY
(1998); Masyarakat Petani Garam di Kalianget, Sumenep (!999); Konsep Tata Ruang Rumah
Tinggal Masyarakat Padat Penduduk di Magelang, Jateng (2000); Adaptasi Petani di
Daerah Rawan Ekologi di Kecamatan Sayung, Demak (2001); Pemberdayaan Alam di
221
Jantra Vol. II, No. 3, Juni 2007 ISSN 1907 - 9605
Kampung Nelayan Kecamatan Bonang, Demak (2002); Profil Pekerja Wanita Buruh
Pelinting Rokok di Kudus (2003); Kinerja Program Pemerintah Desa di Era Otoda, DIY
(2004); Partisipasi Masyarakat di Daerah Perbatasan di Pacitan (2005).
SITI MUNAWAROH, lahir di Bantul 26 April 1961. Sarjana Geografi Manusia, UGM tahun
1991. Sejak tahun 1992 berstatus sebagai PNS, di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta. Sebagai peneliti sering melakukan penelitian yang berkaitan dengan bidang
keilmuannya. Aktif mengikuti berbagai seminar kebudayaan. Beberapa hasil penelitian yang
telah dipublikasikan antara lain: Kehidupan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pembuat
Gula Jawa di Desa Karangtengah Imogiri (1993/1004); Pergeseran Tatanan Tradisional
Sebagai Akibat Modernisasi di Desa Palbapang Bantul (1994/1995); Pengaruh Program
IDT Terhadap Kehidupan Rumah Tangga di Desa Girirejo, Imogiri (1996/1997); Manifestasi
Gotongroyong Pada Masyarakat Tengger (2000); Masyarakat Using di Banyuwangi Studi
Tentang Kehidupan Sosial Budaya (2001); Masyarakat Cina: Studi Tentang Interaksi Sosial
Budaya di Surabaya (2002).
DWI RATNA NURHAJARINI, lahir di Yogyakarta 1966, Sarjana Sejarah UGM, memperoleh
gelar Magister Humaniora Ilmu Sejarah UGM tahun 2003. Sebagai Staf Peneliti di Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, aktif melakukan penelitian kesejarahan
serta duduk sebagai sekretaris I di dalam organisasi profesi kesejarahan Masyarakat
Sejarahwan Indonesia (MSI) cabang Yogyakarta tahun 2006 – 2010. Hasil karya yang telah
diterbitkan antara lain: ORI, Peranannya Dalam Perjuangan Bangsa (1946 – 1950); Sanering
Uang Tahun 1950: Studi Kasus “Gunting Syafrudin” Akibatnya Dalam Bidang Sosial
Ekonomi di Indonesia (1997/1998); Peranan Masyarakat Sumbertirto Pada Masa
Perjuangan Kemerdekaan 1948 – 1949 (1998/1999); Pertanian dan Ekonomi Petani: Studi
Ekonomi Pedesaan di Yogyakarta 1920 -1935 (1999/2000); Dinamika Industri Batik
Pekalongan 1930 -1970 (2001); Diversifikasi Pakaian Perempuan: Studi Tentang Perubahan
Sosial di Yogyakarta 1940 – 1950 (2002); Batik Belanda: Wanita Indo Belanda dan Bisnis
“Malam” di Pekalongan 1900 – 1942 (2003); Petani Versus Perkebunan Pada Masa
Reorganisasi Agraria: Studi Kasus di Klaten (2004)
SUWARNO, lahir di Bantul 22 Juni 1956, Sarjana Arkeologi UGM, lulus tahun 1992.
Sejak tahun 1986 hingga sekarang menjadi PNS di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Yogyakarta. Sebagai seorang peneliti, banyak melakukan penelitian di bidang keilmuannya,
baik secara mandiri maupun dengan tim. Selain itu juga sering mengikuti seminar dan
diskusi yang berkaitan dengan kebudayaan. Beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan
antara lain yaitu: Beberapa Bangunan Bersejarah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Masjid
Makam Mantingan di Jepara; Tradisi Seni Ukir Jepara; Sonder Sebagai Pertapaan Ratu
222
Biodata Penulis
SUYAMI, lahir di Magelang 1 Januari 1965. Lulusan Jurusan Sastra Jawa UNS Surakarta
(1988). Magister Humaniora UGM (1999). Sejak tahun 1990 hingga kini aktif melakukan
penelitian kebudayaan, terutama mengkaji naskah kuna. Sebagai Peneliti Madya, aktif
menulis dan mengisi artikel pada berbagai jurnal dan terbitan ilmiah, serta aktif sebagai
pemrasaran dalam berbagai pertemuan ilmiah. Sejak tahun 1990 mengabdi sebagai PNS di
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. Hasil-hasil penelitian yang telah
diterbitkan antara lain: Serat Cariyos Dewi Sri Dalam Perbandingan (Keppel-Press-2000);
Tinjauan Historis Serat Babad Kediri (Direktorat Jarahnitra, Jakarta); Kajian Mitos Dalam
Kitab Tantu Panggelaran; Makna Filosof Dalam Aksara Jawa; Mistik Islam Dalam Kitab
Kanjeng Kyai Suryorojo (YKII Yogyakarta); Mistik Islam Dalam Primbon (YKII
Yogyakarta); Pembinaan Budi Pekerti Melalui Permainan Anak Tradisional, dalam Jurnal
TONIL (ISI Yogyakarta).
223