Makalah Undang Undang
Makalah Undang Undang
Setiap undang-undang yang tertulis, seperti halnya Undang-undang Pidana memerlukan suatu
penafsiran. Perlunya suatu penafsiran se- macam itu, dewasa ini tidak dapat disangkal lagi oleh
siapa pun juga. Kiranya tidak seorang pun dapat menyangkal kebenaran, bahwa suatu penafsiran
yang baik dan tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat dalam undang-undang itu, akan
membuat undang-undang yang bersangkutan diterapkan secara baik dan dapat memberikan
kepuasan bagi para pihak yang tersangkut di dalamnya, dan sebaliknya suatu penafsiran yang
buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat di dalam undang-undang itu, akan
membuat undang-undang yang bersangkutan diterapkan secara buruk dan tidak tepat, apabila
penafsiran semacam itu dilakukan secara terus-menerus, pada akhirnya akan membuat orang
Perlu kiranya disadari bahwa suatu penafsiran yang baik dan tepat atas rumusan-rumusan yang
terdapat di dalam suatu undang-undang pidana erat hubungannya dengan usaha manusia untuk
memberikan pengharga- an yang setinggi-tingginya kepada hak-hak asasi manusia, justru karena
suatu penafsiran yang buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat di dalam
Undang-undang Pidana tersebut akan membuat hak hak atas kebebasan pribadi dan atas
pemilikan harta milik itu tanpa suatu dasar hukum dapat menjadi dirampas atau dibatasi secara
sewenang- wenang. Untuk keperluan tersebut para penegak hukum, khususnya para hakim perlu
di dalam undang-undang yang bersangkutan Dahulu kala orang berpendapat, bahwa para hakim
itu adalah tidak lain daripada corong-corong mekanik dari undang-undang belaka, yakni me-
lalui corong-corong tersebut undang-undang itu berbicara. Bahkan seorang ilmuwan seperti
Montesquieu sendiri pemah mengata- kan, bahwa para hakim itu sebenarnya hanyalah
merupakan makhluk- makhluk yang tidak berjiwa, mereka itu pada hakikatnya hanya merupa
kan pesawat-pesawat otomat yang tugasnya tidak lain daripada me- reprodusir undang-undang
belaka Secara lepat Profesor van HATTUM telah menyangkal kebenaran pendapat tersebut,
dengan mengatakan bahwa di dalam hukum pidana. pendapat Montesquieu semacam itu dewasa
ini telah ditinggalkan. Profesor van HAMEL juga dengan tegas telah menyangkal kebenaran
pendapat semacam itu dengan mengatakan bahwa pendapat seperti itu telah ketinggalan zaman
dan mungkin tepat untuk dikemukakan pada akhir abad ke-XVII atau pada awal abad ke-XIX.
Khususnya di bidang hukum pidana, adalah menjadi kewajiban hakim untuk menerapkan
ketentuan-ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam undang-undang itu dengan setepat-
tepatnya, dan untuk maksud tersebut, menjadi kewajiban mereka pula untuk menafsirkan
ketentuan- ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya, yakni tentang apa yang sebenarnya
perbuatan menafsirkan undang-undang itu sendiri selalu untuk menentukan arti yang sebenarnya
dari wilsbesluit atau dari putusan kehendak pembentuk undang-undang, yaitu seperti yang
Pada dasarnya untuk menafsirkan suatu Undang-undang Pidana, berlaku- lah ketentuan-
ketentuan yang sama seperti halnya ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi setiap penafsiran
undang-undang pidana, selain daripada jenis-jenis metode penafsiran yang biasa diberiakukan
untuk menafsirkan tain-lain bagian hukum pada umumnya, kecuali metode-metode periafsiran
secara anaiogis dan secara ekstensil yang hingga kini belum terdapat suatu kesamaan pendapat
Timbul kini pertanyaan, yaitu tentang bagaimana kita seharusnya menafsirkan Undang-undang
Pidana yang berlaku di negara kita. Profesor SIMONS mengatakan antara lain bahwa Het
hoofdbeginsel moet zijn, dat de wet uit zich zelf moet worden verklaard" yang artinya"Pada
dasarnya undang-undang itu haruslah ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri". Apakah
ini berarti bahwa kita harus berpegang teguh pada pendirian seolah-olah yang tertulis di dalam
undang-undang itu adalah tidak lain daripada apa yang dikehendaki oleh undang-undang, hingga
apabila suatu rumusan undang-undang itu ternyata tidak jelas atau kurang jelas, maka kita tidak
boleh menggunakan upaya yang lain, misainya dengan berusaha menyelidiki maksud yang
Profesor SIMONS antara lain "Wel kan het opsporen van den wil van den wetgever, voor zoover
die uitdrukking heeft gevonden in de woorden der wet, mede- werken tot het vaststellen van de
strekking der wetsbepalingen, doch de meening, dat de wet niet anders zou zijn den die in haren
tekst uitgedrukte wil, is te beperkt en daarom niet juist. Alles wat uit den tekst der wet volgt
membantu menentukan arti yang sebenarnya dari ketentuan-ketentuan pidana. Anggapan seolah-
olah undang-undang itu adalah tidak lain daripada apa yang tertulis di dalam rumusan-
rumusannya adalah terlalu sempit dan tidak tepat. Apa yang tertulis di dalam rumusan undang-
undang itu tetap berlaku, juga seandai- nya pembentuk undang-undang telah tidak pernah
undang- undang itu pada dasarnya harus ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri, telah
dianuti oleh HOGE RAAD di dalam arrest-arrestnya masing- masing tanggal 12 November
1900, W. 7525 dan tanggal 21 Januari 1929, N.J. 1929 halaman 709, W. 11963 yang antara lain
telah mengata- kan: "penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan secara tegas
itu tidaklah boleh menyimpang dari maksud yang sebenar- nya dari pembentuk undang-
undang"6 Profesor SIMONS juga telah mengajarkan: "Indien de woorden der wet het toelaten,
zij, met het oog op veranderde omstandigheden, mag worden toegepast buiten de oorspronkelijke
bedoeling van den wetgever". yang artinya: "apabila undang-undang itu sendiri mengizinkannya,
diberlakukan secara menyimpang dari maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang"
Ajaran Profesor SIMONS juga telah diikuti oleh HOGE RAAD, yakni seperti yang dapat kita
jumpai di dalam arrest-nya tanggal 21 Juni 1943, 1943 nomor 559 yang telah mengatakan antara
lain: "Suatu pengertian atau suatu perkataan di dalam undang-undang itu, dengan
berkembangnya zaman. kadang-kadang berubah artinya atau berubah dari maksud yang
sebenarnya, sehingga terdapatlah perbuatan- perbuatan yang semula tidak termasuk ke dalam
suatu ketentuan pidana, kemudian menjadi termasuk ke dalam pengertiannya. Dalam hal
semacam itu hakim dapat memutuskannya dengan memperhatikan kesadaran yang hidup di
dalam masyarakat tentang pantas atau tidaknya perbuatan-perbuatan tersebut dipandang sebagai
di atas, yang pada hakikatnya merupakan suatu penafsiran secara strikt atau secara tepat menurut
bunyinya undang-undang, yang juga sering disebut sebagai strictieve interpretatie atau
berpendapat bahwa untuk menafsirkan Undang-undang Pidana itu, orang perlu memperhatikan
interpretatie, yakni penafsiran sesuai dengan maksud (doel), tuluan (strekking) atau arti (zin) dari
suátu ketentuan undang-undang dan akhimya apa yang disebut authentieke interpretatie Tentang
wetshistorische interpretatie itu berkatalah Profesor SIMONS antara lain "De geschiedenis der
wet kan hulpmiddel zijn om den wil des wetgevers te leeren kennen, maar mag er niet toe leiden
eene bedoeling, die niet onder de woorden der wet kan worden gebracht, toch als wet te doen
gelden" ini dapat menjadi alat bantu untuk mencoba mengetahui maksud pembentuk undang-
undang, akan tetapi penggunaan metode tersebut tidaklah boleh menjurus pada perbuatan untuk
memberlakukan sebagai undang-undang, yaitu suatu maksud yang sudah jelas tidak dimasukkan
ke dalam apa yang sebenarnya dimaksud- yang artinya: "Sejarah undan kan oleh undang-
undang" Timbul kini suatu pertanyaan yaitu apabila dengan suatu metode penafsir- an menurut
sejarah pembentukan undang-undang itu, hakim dapat me- ngetahui bahwa di dalam suatu
rumusan undang-undang ternyata ter- dapat suatu kekeliruan menulis atau suatu kesalahan di
dalam merumus- kan suatu ketentuan pidana, apakah dalam hal semacam itu ia dapat
memperbaiki sesuai dengan jabatannya?. Tentang kesalahan redaksi atau tentang kesalahan
dalam merumuskan suatu ketentuan pidana dalam undang-undang itu berkatalah Profesor
SIMONS: "Eene redactiefout, waardoor de wetgever zich anders heeft uitgedrukt dan hij
"Suatu kesalahan dalam merumuskan sualu ketenuan yang artinya pidana yang temyata berbeda
dengan maksud yang sebenanya dan pembentuk undang-undang itu hanyalah dapat diperbaiki
oleh pembentuk undang-undang itu sendiri Mengenai penafsiran secara teleologis itu berkatalah
Profesor SIMONS antara lain "In de laatste jaren trekt de z.g. teleologische uitlegging sterke
aan- dacht Dit is de uitlegging overeenkomstig het doel, de strekking den zin, der wetsbepaling.
Ook bij deze uitleggingsmethode is men natuurlijk aan den tekst gebonden" yang artinya:
"Dalam tahun-tahun terakhir ini apa yang disebut penafsiran secara teleologis itu banyak
menarik perhatian orang Penafsiran ini adalah suatu penafsiran sesuai dengan tujuan, maksud
atau sesual dengan arti suatu ketentuan undang-undang. Di dalam menggunakan metode
penafsiran ini sudah barang tentu orang juga terikat pada bunyl- nya undang-undang Mengenai
penafsiran Kitab Undang-undang Pidana kita itu. Profesor SIMONS berpendapat bahwa adalah
penting bagi kita untuk mem- perhatikan peraturan-peraturan yang terdapat di dalam Titel ke-IX
dari Buku ke-I KUHP yang menjelaskan tentang arti beberapa perkataan yang terdapat di dalam
disebut penafsiran secara otentik. Dalam pada itu periu dicatat bahwa penjelasan-penjelasan
seperti yang telah diatur di dalam Titel ke-IX Buku ke-l KUHP itu mempunyai dua sitat
Sebagian dari penjelasan-penjelasan tersebut secara murni bersifat mem- berikan penjelasan atas
beberapa perkataan yang oleh pembentuk undang-undang telah dipergunakan di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan sebagian lagi bersifat memperluas arti beberapa perkataan
yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana hingga ke luar dari arti yang
sebenarnya menurut tata bahasa. Penjelasan-penjelasan yang secara murni bersifat memberikan
penjelas- an dapat dijumpai antara lain dalam Pasal-pasal 87, 88, 88bis, 92bis, 93, 94, 97 dan 101
bis, sedang penjelasan-penjelasan yang bersifat mem- 13) SIMONS, ibid Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia 44
seperti dimaksud di atas dapat dijumpa antara lain dalam Pasai-pasal 86, 89, 90, 92, 96, 99 dan
100 KUHP Penjeiasan-penjelasan yang terdapat dalam Titel ke-IX Buku ke-i KUHP itu, berbeda
dengan penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam Titel ke-i sampai dengan Titel ke-VIUI Buku
ke-l KUHP hanya berlaku bagi Kitab Undang-undang Hukum Pidana saja. Sedang penjelasan-
penjelasan yang terdapat dalam Titel ke-l sampai dengan Titel ke-VIll Buku ke-l KUHP sesuai
dengan ketentuan Pasal 103 KUHP juga beriaku bagi semua per- buatan yang oleh lain-lain
peraturan perundang-undangan telah dinyata- Kan sebagai tindak pidana, kecuali apabila dengan
suatu undang-undang Satu peraturan pemerintah atau suatu ordonansi telah dinyatakan se-
baliknya. Menurut Profesor POMPE, untuk menafsirkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
pada dasarnya tidak terdapat suatu peraturan yang bersifat khusus. Akan tetapi di dalamnya
memang terdapat suatu titel yang tersendiri, yakni Titel ke-IX Buku ke-l KUHP di dalam titel
tersebut telah dijelaskan, tentang arti beberap perkataan yang terdapat dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana. Dengan menunjuk arrest HOGE RAAD tanggal 12 November 1900, W.
7525 dan dengan menghubungkan arrest tersebut dengan ketentuan- ketentuan Pasal-pasal 885,
886, 1342 dan 1343 B.W. berkatalah Profesor POMPE antara lain "Voor de strafwet, evenals
voor andere wetten, kan men gebruik maken van de regels, dat, indien de tekst der wet duidelijk
is, men daarvan niet door uitlegging mag afwijken, en dat indien de tekst voor onderscheidene
uitlegging vatbaar is, men veeleer moet nagaan welke de bedoeling des wetgevers geweest is,
den zich aan de letterlijke zijn van de tekst te binden". yang artinya undang lainnya, orang dapat
berpegang pada peraturan-peraturan, yakni apabila kata-kata di dalam undang-undang itu sendiri
sudahlah jelas, maka orang tidak boleh membuat suatu penafsiran hingga menyimpang dari arti
yang sebenarnya, dan apabila kata-kata tersebut dapat ditafsirkan secara berbeda-beda, maka
lebih baik jika orang berusaha mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh pembentuk
undang-undang dengan kata-kata tersebut daripada terikat secara harafiah pada yang tertulis di
Handboek, halaman 54. 14) LAMINTANG-SAMOSIR, Hukum Pidana Indonesia, halaman 1 15)
bahwa untuk memberlakukan Undang undang Pldana itu sebenarnya hakim mempunyai suatu
kebebasan yang besar, ofeh karena pada akhirnya hakimlah yang harus menilai apakan suatu
perkataan atau suatu kalimat yang terdapat di dalam undang- undang itu sudah jelas atau belum.
Apabila hakim berpendapat bahwa suatu perkataan atau suatu kalimat yang terdapat dalam
undang-undang tidak jelas, maka ia mempunyai suatu kebebasan untuk berusaha menge tahul
arti yang sebenarnya dari perkataan atau kalimat tersebut, baik sesuai dengan maksud pembentuk
undang-undang maupun sesuai dengan maksud undang-undang itu sendiri. Menurut Profesor
POMPE, cara-cara tersebut di atas telah dipergunakan oleh HOGE RAAD untuk menafsirkan
ketentuan pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 408 KUHP, yang dapat dijumpai dalam
arrest-nya tanggal 21 November 1892, W. 6282, di mana HOGE RAAD telah me- masukkan
"bangunan telepon" ke dalam pengertian "bangunan telegrap" dengan alasan bahwa telepon itu
sebenarnya merupakan suatu "klank- telegraaf" atau suatu telegrap yang dapat berbunyi.
Berkenaan dengan alasan yang telah dikemukakan oleh HOGE RAAD di atas, secara sinis
Profesor POMPE mengatakan bahwa apabila telepon itu dapat dianggap sebagai suatu
"klanktelegraaf" atau suatu telegrap yang dapat berbunyi, maka telegrap itu sendiri seharusnya
juga dapat dianggap sebagai suatu "schrifttelefoon" atau suatu telepon yang dapat menulis. Cara
yang sama telah dipergunakan pula oleh HOGE RAAD untuk membuat suatu penafsiran atas
ketentuan pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 362 KUHP, yang oleh HOGE RAAD
di dalam arrest-nya tanggal 23 Mei 1921, N.J. 1921 halaman 564, W. 10724 yang juga dikenal
sebagai "electriciteits-arrest" itu telah memasukkan arus listrik atau tenaga listrik ke dalam
pengertian "benda", yang menurut pendapat Profesor POMPE, penafsiran semacam itu
sesungguhnya sama sekali tidak berbeda dengan penafsiran secara analogis. Profesor POMPE
mengatakan, bahwa tidaklah dapat disangkal lagi ke- benarannya bahwa di dalam
memberlakukan Undang-undang Pidana itu, penilaian hakim tentang dapat atau tidaknya
seseorang itu dihukum, mempunyai suatu pengaruh yang sangat besar. LAMINTANG-
SAMOSIR, Hukum Pidana Indonesia, halaman 150. 17) Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia
46
z.q. teleologische uitlegging, d w.z. uitlegging overeen- komstig het doel, de strekking der
wettelijke bepaling, kan in werkelijkheid makkelijk tot het analogie-argument leiden" yang
artinya Terutama apa yang disebut penafsiran secara leleologisch itu, yakni penafsiran sesuai
dengan tujuan atau maksud dari suatu peraturan perundang-undangan, di dalam kenyataannya
dengan mudah dapat menjurus pada suatu penafsiran secara analogis Sebagai suatu contoh dari
suatu penafsiran secara teleologis yang di dalam kenyataannya telah menjurus pada suatu
penafsiran secara analogis itu, oleh Profesor POMPE telah disebutkan yaitu misalnya penafsiran
oieh HOGE RAAD dalam arrest-nya tanggal 23 Januari 1928, N.J. 1928 halaman 263, W.
1180719 yang berbunyi antara lain 493 KUHP itu tidak menentukan suatu cara tertentu bagi
perbuatan "mengikuti dengan cara yang mengganggu" Sesuai dengan apa yang telah disebutkan
dalam surat tuduhan, "tetap berkendaraan di depan orang lain" merupakan pula perbuatan
"mengikuti orang lain dengan cara yang mengganggu". "Pasal Walaupun Profesor POMPE tidak
menyatakannya secara tegas, akan tetapi dari pendapat-pendapatnya di atas kita dapat
mengetahui, bahwa menurut pendapat beliau, jenis-jenis metode penafsiran yang dapat diper-
gunakan orang untuk menafsirkan suatu Undang-undang Pidana adalah antara lain metode-
metode penafsiran secara otentik atau authentieke interpretatie, secara terbatas menurut bunyi
rumusan undang-undang atau strictieve interpretatie, sesuai dengan maksud undang-undang atau
teleologische interpretatie dan metode penafsiran menurut sejarah pem- bentukan suatu undang-
undang atau wetshistorische interpretatie. Profesor van HATTUM menjelaskan, bahwa dahulu
kala yaitu ketika orang telah mulai sadar bahwa hukum pidana itu tidak dapat diterapkan tanpa
dilakukannya sesuatu penafsiran, untuk jangka waktu yang lama, orang masih tetap bertahan
pada pendapat bahwa Undang-undang Pidana itu pada dasarnya adalah bersifat strictissimae
interpretationis atau bersifat harus ditafsirkan secara terbatas menurut bunyi undang-undang itu
sendiri. POMPE, Handboek, halaman 55 18) LAMINTANG-SAMOSIR,op cit, halaman 206 19)
POMPE, Handboek, halaman 54-55. 20) van HATTUM, Hand-en Leerboek I, halaman 65. 21)
[06.48, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Dewasa ini apa yang disebut
strictieve interpretatie itu telah diartikan sebagai suatu penafsiran secara terbatas menurut bunyi
undang-undang sendiri, dalam arti seperti yang lelah dikatakan oleh Profesor SIMONS bahwa
"pada dasarnya undang-undang itu haruslah ditafsirkan menurul undang-undang itu sendiri atau
seperti yang talah diputuskan alah HOGE RAAD dalam arrest-arrest-nya tanggal 12 November
1900, W 7525 dan tanggal 21 Januari 1929, N.J. 1929 halaman 709, W. 11963 bahwa
"penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan secara tegas itu tidaklah boleh
menyimpang dari maksud yang sebenar nya dari pembentuk undang-undang", maka dahulu kala
walaupun strictieve interpretatie itu juga telah diartikan sebagai suatu metode penafsiran secara
terbatas menurut bunyi undang-undang, akan tetapi dengan alasan yang lain, yaitu untuk
mencegah agar seseorang jangan sampai dijatuhi hukuman karena telah melakukan suatu
perbuatan yang sebenarnya tidak dinyatakan sebagai suatu tindak pidana menurut suatu undang-
undang. Oleh karena itulah kebanyakan penulis berpendapat bahwa mengguna kan strictieve
interpretatie untuk menafsirkan suatu Undang-undang Pidana itu sudahlah menjadi kewajiban
hakim, mereka itu selalu men- dasarkan pendapat mereka pada ketentuan-ketentuan pidana
seperti yang terdapat misalnya dalam Pasal 4 dari CODE PENAL ataupun dalam Pasal 1 ayat 1
dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana.4 Tentang kelemahan pendapat semacam itu,
berkatalah Profesor van HATTUM antara lain: Het goed recht van deze opvatting kan stellig
worden betwist. Een algemene regel van wetsuitleg, welke in het bijzonder voor de
strafwetgeving zou gelden, is in de tekst van art. 1 Sr. niet te lezen. Houdt men zich aan de
M.v.T. den behelst deze bepaling zelfs niet meer dan ook reeds in art. 3 en art. 4 A.B. is te
vinden en moet het voorschrift slechts dienen als inleiding voor de in het tweede lid gemaakte
uitzondering"5 yang artinya: "Kebenaran hukum dari pendapat tersebut sudahlah jelas dapat
khusus akan diberlakukan bagi perundang- undangan pidana, tidaklah dapat dijumpai di dalam
rumusan dari ketentu- an pidana menurut Pasal 1 ayat 1 KUHP. Apabila kini orang ingin ber-
paling pada penjelasan yang terdapat dalam Memori Penjelasan, maka 22) SIMONS, Leerboek I,
halaman 97 23) LAMINTANG-SAMOSIR, Hukum Pidana Indonesia, halaman 1 van
HATTUM, ibid 24) van HATTUM, Hand-en Leerboek i, halaman 66 25) Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia 48
[06.49, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana orang tidak akan menjumpai hal-hal
yang lain kecuali hal-hal sepert yang telah diatur di dalam Pasal-pasal 15 dan 2 Algemene
Bepaing van Wetgeving voor Indonesie atau di dalam Pasal-pasal 15 dan 2. Ketentuan Umum
tentang Perundang-undangan untuk Indonesia, sehingge ketentu an pidana sepert yang diatur
dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut haruslah dianggap sebagat suatu pendahuluan dari
kekecualian seperti yang telah dibuat di dalam ayat kedua Oleh karena Protesor van HATTUM
telah menyebut-nyebut hal-hal yang diatur dalam Pasal-pasal 3 dan 4 A.B. yang berlaku di
Negeri Belanda, yang sama pula isinya dengan hal-hal yang diatur dalam Pasal-pasal 15 dan 2
A.B. yang berlaku di Indonesia maka marilah kita mencoba untuk mengetahui tentang apa yang
sebenarnya yang telah diatur di dalam Pasal-pasal 15 dan 2 A.B tersebut Pasal 15 A.B
personen vastgesteld. geeft gewconte geen regt, den alleen wanneer de wet daarop verwijst" yang
artinya: "Kecuali dari kekecualian-kekecualian yang telah ditentukan bagi warga negara
Indonesia dan lain-lain orang yang disamakan dengan warga negara Indonesia, maka kebiasaan
itu tidak berlaku sebagai suatu undang-undang. kecuali apabila undang-undang telah mengatakan
demikian" Pasal 2 A B. mengatakan "De wet verbindt alleen voor het toekomende en heeft geene
terug- werkende kracht" yang artinya : "Undang-undang itu hanya mengikat bagi peristiwa-
peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut dibentuk dan tidak mempunyai kekuatan
hukum untuk diberlakukan secara surut Kelak akan anda ketahui bahwa pendapat Profesor van
HATTUM di atas itu tidak sepenuhnya benar, oleh karena para penulis pada umumnya
berpendapat bahwa di dalam ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1
KUHP itu pada dasarnya terdapat tiga buah asas yang mengatakan: bahwa hukum pidana yang
berlaku di negara kita itu merupakan hukum yang tertulis; 1. 26) ENGELBRECHT, De
Wetboeken, terbitan tahun 1960, halaman 375. 27) ENGELBRECHT op cit, halaman 374 Dasar-
[06.49, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana bahwa hukum pidana yang berlaku
di negara kita itu tidak dapat diberlakukan secara surut dan 2 ka bahwa adaiah terlarang untuk
interpretatie sebagaimana yang telah dibicarakan di atas itu, Profesor van HATTUM berpendapat
bahwa untuk menafsirkan suatu Undang-undang Piaana itu, orang dapat menggunakan macam
atau penafsiran menurut tata bahasa, logische interpretatie atau penafsiran sesuai dengan
pengertiannya yang wajar systematische interpretatie atau dengan metode secara logis,
penafsiran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam masyarakat dan teleologische
interpretatie atau penafsiran sesuai dengan tujuan, maksud atau sesuai dengan arti suatu
peraturan perundang- undangan. Profesor van HATTUM berpendapat bahwa de wil atau
kehendak dari pembentuk undang-undang itu merupakan suatu unsur yang sangat penting untuk
menafsirkan suatu undang-undang. Tentang hal tersebut berkatalah Profesor van HATTUM
antara lain: "Voorop blijft staan dat de wet is de in haar tekst uitgedrukte wil des wetgevers (H.R.
12 November 1900, W. 7525, A.9). Hiermede is erkend, dat de wil bij elke wetsuitle n de
wetgever een uiterst belangrijke factor is yang artinya: "Yang terpenting adalah bahwa undang-
undang itu sendiri sebenarnya adalah kehendak pembentuk undang-undang seperti yang telah
dinyatakan dalam rumusan undang-undang yang bersangkutan (H.R. 12 November 1900, W.
7525, A.9). Dengan demikian HOGE RAAD telah mengakui bahwa kehendak pembentuk
undang-undang itu sebenar- nya merupakan faktor yang terpenting dalam setiap penafsiran
undang- undang" Dengan demikian maka metode penafsiran menurut sejarah pembentukan suatu
undang-undang atau wetshistorische interpretatie itu, menurut pendapat Profesor van HATTUM
merupakan "een zeer aanvaardbaar van HATTUM, Hand-en Leerboek I, halaman 67 28) van
[06.50, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana hulpmiddel voor de rechter die niet
beseft dat niet zijn maar des wetgevers wil behoort te praevaleren30 Atau merupakan "suatu alat
bantu yang sangat penting bagi hakim, yang menyadari bahwa yang harus diutama- kan itu
sebenamya adalah kehendak pembentuk undang-undang dan bukan kehendak dirinya sendiri
Tentang bagaimana caranya orang harus menggunakan suatu penafsiran menurut sejarah
pembentukan suatu undang-undang itu, kiranya sangat penting untuk diperhatikan yaitu
peringatan dari Profesor van HATTUM yang mengatakan antara lain: Natuurlijk zal het evenzeer
voorkomen dat de bedoeling van de wetgever niet meer met zekerheid kan worden opgespoord.
Stukken totstandkoming mo0eten voorzichtig worden gehanteerd want inderdaad "komt een
berope op de bedoeling ook gewoonlijk neer op de interpretatie van woorden, en dan nog wel
van woorden die niet in de wet zelf staan, doch geschreven of gesproken zijn or de vaststelling
van de wet yang artinya: "Sangatlah besar kemungkinannya untuk dapat terjadi, bahwa maksud
pembentuk undang-undang itu tidak lagi dapat diikuti se- cara pasti. Tulisan-tulisan yang ada
oleh Karena upaya penafsiran yang semula bertujuan untuk mengetahui maksud pembentuk
tetapi perkataan-perkataan tersebut telah dijumpai orang sebagai perkata- an-perkataan yang
tertulis ataupun sebagai perkata an-perkataan yang pernah diucapkan orang sebelum suatu
undang-undang itu terbentuk". Dikatakannya lebih lanjut oleh Profesor van HATTUM, bahwa
perkataan- perkataan yang terdapat dalam suatu undang-undang itu seringkali tidak cukup jelas,
hingga setiap kali orang merasa perlu mengetahui maksud atau artinya, yaitu dengan cara
pidana selebihnya atau dengan cara menyelidiki sejarah pertumbuhan suatu lembaga yang
terdapat dalam hukum pidana. Li dalam praktek ataupun di dalam doktrin, seringkali kita
menjumpai alasan tentang pentingnya suatu penafsiran, yaitu antara lain untuk 30) van
HATTUM, op cit, halaman 67-68. 31) van HATTUM, op cit, halaman 68. Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia 51
[06.51, 30/10/2019] Oo: Panatsiran Undang-undang Pidana mengisi leemnten, Jacunes atas
tu dapat terjadi suatu leemte, suatu lacune atau suatu kekosongant m Profesor van HATTUM
berpendapat bahwa secara prinsipal orang dapar berpegang pada suatu kenyataan yakni bahwa
Undang undang Pidana itu sebenarnya tidak mengenal apa yang disebut iacunes atau kekosongan
kekosongan. me ba su Se Tentang hal tersebut berkatalah Profesor van HATTUM antara lain :
"Het civiele recht kent principieel wei lacunes, want daar moet het recht worden vastgesteld of
gevonden in elk twistgeding waarin partjen elkanders recht betwisten. Regelt de wet het geval
niet dan moet toch de rechter "rechtdoen in het strafrecht is er van rechtdoen" in deze zijn geen
sprake. De strafrechter heeft slechts na te gaan of de strafwet het geval regeit, d.w.zstral bedreigt.
Doet de wet dit niet dan kan geen straf worden opgelegd" Un ad sti M un un un yang artinya:
"Hukum perdata itu pada dasarnya memang mengenal apa yang disebut kekosongan, oleh karena
di sana apa yang menjadi hukum itu masih harus dicari dan ditentukan dalam setiap
persengketaan, di mana masing-masing pihak yang bersengketa itu telah mempermasalah- kan
haknya masing-masing. Apabila undang-undang ternyata telah tidak mengatur masalahnya, maka
hakim harus menentukan hukumnya. Dalam hukum pidana tidak dikenal penentuan hukum
semacam itu. Hakim pidana hanyalah harus menyelidiki yaitu apakah undang-undang telah
dengan suatu hukuman. Apabila undang-undang ternyata telah tidak berbuat demikian, maka
hakim tidak dapat menjatuh- kan suatu hukurnan bagi pelaku tersebut" Te Menurut Profesor van
HAMEL, adalah menjadi kewajiban hakim untuk memberlakukan ketentuan ketentuan pidana
sebagai yang diatur dalam kitab undang-undang, di dalam undang-undang ataupun di dalam
peratur an perundangan lainnya, dan menjadi kewajibannya pula untuk menafsir kan perkataan-
perkataan yang terdapat di dalamnya. Tentang metode-metode penafsiran mana yang kiranya
dapat diperguna- kan orang untuk menafsirkan hukum pidana atau Kitab Undang-undang Pidana
itu berkatalah Profesor van HAMEL antara lain 32) van HATTUM, Hend-en Leerboek i,
halaman 69 33) van HAMEL, Inleiding, halaman 128 Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 52
[06.51, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Er is geen enkele reden om voor het
strafrecht of voor een wet- andere deelen van het recht en voor ander rechtsbronnen" boek eene
andere methode van wetsuitlegging te volgen den voor yang artinya Tidak ada suatu alasan pun
metode- metode penafsiran undang-undang yang biasa diberlakukan orang untuk bagian-bagian
lain dari hukum ataupun mendasarkan hal tersebut pada sumber-sumber hukum yang lain
Sebagai suatu kekecualian, maka untuk menafsirkan hukum pidana atau Undang-undang Hukum
Pidana itu, Profesor van HAMEL menganjurkan agar orang menggunakan suatu strictissima
interpretatio atau suatu strictieve interpretatie Menurut Profesor van HAMEL, tujuan suatu
penafsiran adalah selalu untuk memastikan arti keputusan kehendak atau wilsbesluit pembentuk
undang-undang seperti yang telah dinyatakannya dalam suatu rumusan undang-undang lentang
hal tersebut berkatalah Profesor van HAMEL antara lain: Het doel is altijd, het vaststellen der
beteekenis (vim ac potastem) van het in de tekst der wet uitgedrukte wilsbesluit des wetgevers
omtrent hetgeen strafrecht zal zijn". yang artinya:Tujuannya adalah selalu untuk memastikan arti
(vim ac potastem) dari keputusan kehendak pembentuk undang-undang seperti yang telah
dinyatakannya dalam rumusan undang-undang, yaitu tentang apa seharusnya menjadi hukum
pidananya" Akan tetapi ini tidak berarti bahwa para hakim itu harus memastikan, yaitu tentang
sesuatu yang sebenarnya telah diharapkan atau tentang sesuatu yang sebenarnya telah
dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. Jika demikian halnya, kemudian apakah yang
harus dicari oleh para hakim untuk memastikan arti keputusan kehendak pembentuk undang-
undang seperti yang dimaksudkan di atas itu? Menurut Profesor van HAMEL, yang harus dicari
oleh para hakim itu adalah "apa yang telah diputuskan" dan "apa yang telah diucapkan sebagai
keputusan" oleh pembentuk undang-undang. van HAMEL, Inleiding, halaman 129. 34) 35) van
[06.52, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Tentang hal tersebut berkatalah
Profesor van HAMEL antara lain "Gezocht moet ten siotte slechts wat bij besloot en als besluit
uitsprak3 yang artinya: "Pada akhirnya yang harus dicari itu hanyalah apa yang fa putuskan dan
apa yang telah ia ucapkan sebagai keputusan Untuk mengetahui tentang sesuatu yang telah
diputuskan atau tentang sesuatu yang diucapkan sebagai keputusan oleh pembentuk undang-
undang seperti dimaksud di atas itu, Profesor van HAMEL telah me- nyebutkan adanya empat
buah metode penafsiran yang dapat diperguna 37 kan oleh para hakim yang harus dipergunakan
secara bersama-sama. Metode-metode penafsiran tersebut adalah metode penafsiran menurut tata
bahasa atau grammatische interpretatie, metode penafsiran secara logis atau logische
interpretatie, metode penafsiran secara sistematis atau systematische interpretatie dan metode
penafsiran menurut sejarah atau historische interpretatie Profesor van HAMEL mengakui, bahwa
menimbul- kan suatu kekhawatiran pada mereka yang menghendaki agar Undang- undang
Pidana itu ditafsirkan secara terbatas menurut tulisan yang ter- dapat di dalamnya, mereka
dilakukan secara ter- batas menurut tulisan yang terdapat di dalamnya itu dapat menjurus pada
suatu restrictieve interpretatie, yakni kebalikan dari suatu strictieve inter- pretatie seperti yang
pernah dibicarakan di atas, atau dapat menjurus pada suatu extensieve interpretatie atau suatu
metode penafsiran undang-undang yang bersifat memperluas apa yang sebenarnya di-
keenam yang oleh Profesor van HAMEL disebutkan sebagai salah satu metode penafsiran
undang- undang yang dapat digunakan oleh hakim untuk menafsirkan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana yang berlaku di negara kita adalah yang disebut authentieke interpretatie, yakni
penafsiran yang dibuat oleh pembentuk undang-undang sendiri mengenai beberapa perkataan
yang dipergunakannya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana van HAMEL, ibid 36)
van HAMEL, ibid 37) 38) van HAMEL, Inleiding, halaman 129. Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia
[06.52, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidaria Seperti dikatakan di atas, dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita, penafsiran semacam itu dapat kita jumpai dalam Titel
ke-IX buku ke- KUHP Menurut Profesor van HAMEL, penggunaan metode penafsiran undang-
undang secara otentik itu jarang dianjurkan orang untuk dipergunakan, akan tetapi metode
Profesor van HAMEL antara lain : "Authentieke interpretatie, wets uitlegging door den wetgever
technische- arldische beteekenis heeft, die tegenover de gewone taal- dige beteekenis eene
beperking bedoelt, of naast haar at eene uitbreiding anneer de wetgever tusschen tweerlei
bepaalde rechts- Kundige beteekenis eene keuze doet yang artinya :"Penafsiran secara otentik,
yakní penafsiran yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu sendiri, ternyata jarang
dianjurkan untuk dipergur.akan, walaupun penafsiran tersebut sebenamya perlu, yaitu apabila
suatu perkataan dalam undang-undang itu mempunya suatu pengertian teknik-yuridis. yang
bersifat mempersempit pengertiannya yang biasa menurut tata bahasa, ataupun bersifat
memperluas pengertiannya di samping pengertiannya yang biasa menurut tata bahasa; 2 apabila
pembentuk undang-undang telah bermaksud untuk me- nunjukkan suatu pengertian tertentu
SURINGA40, untuk menafsirkan peraturan-per- aturan dalam hukum pidana tidaklah terdapat
suatu ketentuan yang sifat- nya tertentu. Mereka berpendapat bahwa untuk menafsirkan
peraturan- peraturan dalam hukum pidana semacam itu HOGE RAAD menghendaki agar pada
dasarnya orang mengikuti asas-asas yang oleh pembentuk undang-undang telah diletakkan dalam
rumusan-rumusan dari Pasal- pasal 885, 886, 1342 dan 1343 B.W., yakni asas-asas yang berlaku
untuk membuat suatu penafsiran terhadap perkataan-perkataan yang terdapat van HAMEL, op cit
halaman 130 39) HAZEWINKEL-SURINGA, Inleiding, halaman 278 40) Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia 55
interpretatie, Doktor LEMAIRE berpen- dapat bahwa metode penalsiran tereebut sobenamya
bukan merupakan Suatu materi di dalam ajaran penafsiran undang-undang, oleh karena ia tebih
merupakan suatu "legisiatieve techniek atau sualu "teknik pem bentukan undang-undang"
danipada suatu metode penatsiran, yaitu untuk menyederhanakan pembuatan rumusan rumusan
di dalam undang- undang, eleh karena suatu perkataan yang mempunyai arti yang tertentu
SECARA ANALOGIS Salah satu metode penatsiran undang-undang yang hingga kini masih
menjadi permasalahan, yaitu apakah mengenai metode penafsiran ter sebut boleh dipergunakan
dalam hukum pidana atau tidak, adalah metode penafsiran undang-undang secara analogis atau
apa yang disebut analogische interpretatie ataupun analogische wetstoepassing atau argumentum
per analogiam Sebagaimana yang pernah saya katakan di atas, kebanyakan penulis berpendapat
bahwa penggunaan metode penafsiran secara analogis itu adalah terlarang atau bertentangan
dengan ketentuan pidana yaitu seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Apa
sebabnya kini penggunaan suatu metode penafsiran undang-undang secara analogis itu dianggap
terlarang untuk dipergunakan di dalam hukum pidana? Seperti yang telah kita ketahui, bahwa
alasan yang terutama tentang sebabnya metode penafsiran undang-undang secara analogis itu
dilarang untuk dipergunakan di dalam hukum pidana, adalah agar ketidakpastian hukum bagi
masyarakat itu jangan sampai menjadi terlalu besar Pada umumnya orang menghendaki, agar
perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang bagai- mana lagi yang merupakan perbuatan-
perbuatan atau perilaku-perilaku yang tidak terlarang oleh undang-undang. Para pengajar di
perguruan-perguruan tinggi di Indonesia biasanya meng- ajarkan bahwa beberapa orang penulis
[06.54, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Profesor POMPE, Profesor van
BEMMELEN dan lain sebagainya itu, pada umumnya tidak dapat menyetujui penggunaan
metode penafsiran undang-undang secara analogis di dalam hukum pidana Hal tersebut
disebabkan karena biasanya orang telah merasa puas apabila untuk menguatkan ajarannya itu,
mereka telah berhasil menemu- kan suatu kalimat yang menunjukkan bahwa seorang penulis
tidak dapat pidana, tanpa membaca lebih lanjut tentang pendapatnya mengenai lain- menyetujui
hubungannya dengan penafsiran secara analogis tersebut Sebagai contoh dapat dikemukakan di
sini pendapat Profesor van HAITUM mengenai boleh-tidaknya penafsiran secara analogis
diperguna- kan dalam hukum pidana. Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain Naar
mijn mening is in het strafrecht analogische toepassing van de wet, voorzover daardo wordt
gegeven, verboden" aan een delictsomschrijving uitbreiding yang artinya: "Menurut pendapat
saya penerapan undang-undang'secara analogis itu terlarang di dalam hukum pidana, apabila
karena penerapan semacam itu dapat memperluas suatu rumusan delik" Apakah dengan
mengemukakan pendapatnya seperti dimaksud di atas itu berarti bahwa Profesor van HATTUM
secara mutlak tidak menghendaki dipergunakannya penafsiran secara analogis di dalam hukum
pidana? Dari uraiannya di bawah ini, kita dapat mengetahui bahwa Profesor van HATTUM
justru dapat membenarkan dipergunakannya penafsiran secara analogis di dalam hukum pidana,
walaupun secara terbatas. Menurut Profesor van HATTUM, tujuan Pasal 1 KUHP itu adalah
untuk mencegah hakim mencari-cari sebuah norma ataupun membuat suatu norma sendiri, untuk
kemudian menjatuhkan suatu hukuman terhadap orang yang telah melanggar norma tersebut,
padahal pembentuk undang undang sendiri tidak pernah merumuskan norma itu dalam suatu
SURINGA, suatu analogi itu sebenarnya telah dibuat oleh orang, berdasarkan anggapan bahwa
pembentuk undang- undang itu tidak mengatur suatu masalah tertentu, yang seandainya ia
mengetahui atau dapat menduga bahwa masalah tersebut pada suatu waktu tertentu pasti atau
mungkin dapat timbul, maka pastilah pembentuk undang-undang menyatakan masalah tersebut
sebagai suatu masalah yang terlarang dan telah mengancamnya dengan suatu hukuman. Sedang
suatu interpretatie atau suatu penafsiran sebenarnya merupakan suatu pemikiran yang telah
dibuat orang, berdasarkan anggapan bahwa pem- bentuk undang-undang telah mengatur masalah
tersebut di atas, sunggun pun hal tersebut tidak dapat diketahui dari perkataan-perkataan yang
terdapat di dalam suatu ketentuan pidana tertentu, tanpa orang narus melakukan suatu usaha
bahwa orang hanya akan dapat membuat suatu pem isahan antara analogi dengan penafsiran
apabila orang dapat menunjukkan dengan pasti tentang S apa yang sebenarnya dimaksud dengan
dimaksud oleh pembentuk undang-undang dengan membuat sesuatu ketentuan pidana tertentu,
dan apakah pembentuk undang-undang itu telah mengetahui atau telah menduga bahwa suatu
masalah itu akan dapat timbul di kemudian hari. C. Berkenaan dengan hal-hal di atas itu,
berkatalah HAZEWINKEL- SURINGA antara lain: "Dat nu is onmogelijk .. De vraag is niet of
analogie toelaatbaar is; ongewild en ongeweten zal zij aangewend worden" a ti yang artinya:
"Hal tersebut adalah tidak mungkin. ... Dikehendaki atau tidak, disadari atau tidak, penafsiran
secara analogis itu tetap akan diper- gunakan orang di dalam hukum pidana". la Bagaimana kini
dengan pendapat penulis-penulis yang lainnya seperti Profesor van HAMEL, Profesor SIMONS,
Profesor van BEMMELEN dan lain-lain mengenai penggunaan metode penafsiran secara
[06.56, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana "De regel nullum delictum enz.
verbiedt haar, voorzooveel zij leiden zou, niet aalleen tot uitbreiding van de rij der wettelijk
aangewezen delicten, maar tot strafbaarstelling, tot zwaardere of to lichtere straf baarstelling van
welke haneling ook, buiten de wer e6 Dari perkataan Profesor van HAMEL yang telah
mengatakan antara lain: yang artinya "Peraturan nullum delictum itu melarang dipergunakannya
analogi dalam hukum pidana, sejauh ia dapat menjurus pada penambah- an jumlah tindak-tindak
pidana seperti yang telah ditentukan secara tegas menurut undang-undang, membuat suatu
perbuatan yang oleh undang- undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai perbuatan yang
terlarang menjadi suatu perbuatan yang terlarang ataupun dapat menjurus pada lebih
maka kita dapat mengetahui bahwa Profesor van HAMEL juga dapat menyetujui penggunaan
analogi dalam hukum pidana Secara bersyarat, yaitu asalkan penggunaan analogi itu: tidak
menyebabkan terbentuknya delik-delik baru selain daripada yang telah ditentukan secara tegas di
dalam undang-undang; jangan sampai membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan
sebagai perbuatan yang terlarang menurut undang- undang, kemudian menjadi suatu perbuatan
yang terlarang; dan a. b. jangan sampai hukuman-hukuman yang telah diancamkan ter- hadap
berbagai delik di dalam undang-undang itu menjadi diper- berat atau diperingan. C. Sedang
Profesor SIMONS dan Profesor van BEMMELEN tetap her- anggapan bahwa metode penafsiran
undang-undang secará analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam hukum pidana Mengenai ke
nungkinan tentang dapatnya metode penafsiran undang- undang necara analogis itu
dipergunakan dalam hukum pidana, berkata- lal Profesor SIMONS antara lain: "Hei beginsel van
art. 1 Swb. verbiedt bij het strafrecht elke ana- logische toepassing welke een niet uitdrukkelijk
strafbaar gesteid feit strafbaar zou maken" yang artinya: "Asas yang terkandung dalam Pasal 1
KUHP itu melarang setiap penerapan hukum secara analogis dalam hukum pidana, ole karena
penerapan hukum seperti itu dapat membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan
secara tegas sebagai suatu perbuatan yang van HAMEL, Inleiding, halaman 130. 86) SIMONS,
[06.57, 30/10/2019] Oo: yang artinya: "Pandangan rakyat yang sehat itu di dalam segala hal
dapat disamakan dengan asas-asas dasar yang ditentukan r program Penalsiran Undang-undang
Pidana partai Apabila di negara Jerman semasa pemerintahan ADOLF HITLER seseorang dapat
dihukum apabila perbuatannya oleh penguasa dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang
patut dihukum sesuai dengan yang mereka sebut "pandangan rakyat yang sehat", yarig dalam
kenyataannya merupakan pandangan dari partai vang berkuasa, maka di Soviet Rusia, seseorang
dapat dihukum apabila perbuatannya itu olen penguasa di sana dapat dipandang sebagai suatu
perbuatan yang "dapat membahayakan bagi masyarakat1, yang dalam kenyataannya, sifatnya
yang berbahaya bagi masyarakat tersebut juga ditentukan oleh penilaian penguasa sebagai alat
partai komunis yang berkuasa di sana, walaupun mereka yang dianggap sebagai dapat dihukum
itu tidak melakukan suatu pelanggaran terhadap suatu larangan atau suatu keharusan yang
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di negaranya masing-masing.
Apa sebabnya di negara-negara yang mempunyai suatu bentuk pemerin- tahan yang bersifat
otoriter itu terdapat suatu kecenderungan untuk meng- izinkan dipergunakannya analogi dalam
Pidana di negara-negara yang mempunyai bentuk pemerintahan yang bersifat otoriter itu adalah:
"zogenaamd om de rechter souverein te laten beslissen wat recht behoort te zijn, maar in wezen
wanneer iets gebeurt wat de regering niet welgevallig is". yang artinya : "Seolah-olahuntuk
memberikan suatu kebebasan bagi hakim untuk menentukan apa yang sebenarnya harus
diberlakukan se- bagai hukum, akan tetapi dalam kenyataannya untuk memberikan kesem- patan
kepada polisi, para pegawai penuntut dan kepada pemerintah untuk dapat bertindak secara
sewenang-wenang, yakni apabila telah terjadi sesuatu dan kejadian tersebut tidak disukai
92)
[07.00, 30/10/2019] Oo: Penafeiran Undang undang Pidena Di antara negara-negara Barat yang
mengizinkan diperguniakannya ans logi di dalam Undang-undang Hukum Pidana mereka adalah
Dermark walaupun negara tersebut tidak dapat disebiut sebagai negara yang mem punyai bentuk
pemerintahan yang bersifat totaliter. Hal tersebut depat kita ketahui dari bunyi Pasal 1 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Denmark Sungguh pun demikian, para penulis di Derimark telah
menyatakan bahwa penggunaan analogi dalam Undang-undang Hukum Pidana mereka-itu tetap
dilakukan secara sangat terbatas KNUD WAABEN, seorang gurubesar dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana di Kopenhagen, mengatakan: "the maxim, "nulla poena sine lege is laid down as a
fundamental principle in Danish law"93 Asas nulla poena sine lege itu di Swis tetap
dipertahankan dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swis. Di sana orang