Anda di halaman 1dari 26

Penafsiran Undang-undang Pidana PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA BAB II

PENTINGNYA PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG 1. PIDANA

Setiap undang-undang yang tertulis, seperti halnya Undang-undang Pidana memerlukan suatu

penafsiran. Perlunya suatu penafsiran se- macam itu, dewasa ini tidak dapat disangkal lagi oleh

siapa pun juga. Kiranya tidak seorang pun dapat menyangkal kebenaran, bahwa suatu penafsiran

yang baik dan tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat dalam undang-undang itu, akan

membuat undang-undang yang bersangkutan diterapkan secara baik dan dapat memberikan

kepuasan bagi para pihak yang tersangkut di dalamnya, dan sebaliknya suatu penafsiran yang

buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat di dalam undang-undang itu, akan

membuat undang-undang yang bersangkutan diterapkan secara buruk dan tidak tepat, apabila

penafsiran semacam itu dilakukan secara terus-menerus, pada akhirnya akan membuat orang

menjadi kehilangan kepercayaan terhadap undang-undang itu sendiri

Perlu kiranya disadari bahwa suatu penafsiran yang baik dan tepat atas rumusan-rumusan yang

terdapat di dalam suatu undang-undang pidana erat hubungannya dengan usaha manusia untuk

memberikan pengharga- an yang setinggi-tingginya kepada hak-hak asasi manusia, justru karena

suatu penafsiran yang buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat di dalam

Undang-undang Pidana tersebut akan membuat hak hak atas kebebasan pribadi dan atas

pemilikan harta milik itu tanpa suatu dasar hukum dapat menjadi dirampas atau dibatasi secara

sewenang- wenang. Untuk keperluan tersebut para penegak hukum, khususnya para hakim perlu

memiliki suatu pengetahuan yang cukup tentang cara-cara


menafsirkan undang-undang dengan sebaik-baiknya dan dengan cara cara yang dapat dibenarkan

di dalam undang-undang yang bersangkutan Dahulu kala orang berpendapat, bahwa para hakim

itu adalah tidak lain daripada corong-corong mekanik dari undang-undang belaka, yakni me-

lalui corong-corong tersebut undang-undang itu berbicara. Bahkan seorang ilmuwan seperti

Montesquieu sendiri pemah mengata- kan, bahwa para hakim itu sebenarnya hanyalah

merupakan makhluk- makhluk yang tidak berjiwa, mereka itu pada hakikatnya hanya merupa

kan pesawat-pesawat otomat yang tugasnya tidak lain daripada me- reprodusir undang-undang

belaka Secara lepat Profesor van HATTUM telah menyangkal kebenaran pendapat tersebut,

dengan mengatakan bahwa di dalam hukum pidana. pendapat Montesquieu semacam itu dewasa

ini telah ditinggalkan. Profesor van HAMEL juga dengan tegas telah menyangkal kebenaran

pendapat semacam itu dengan mengatakan bahwa pendapat seperti itu telah ketinggalan zaman

dan mungkin tepat untuk dikemukakan pada akhir abad ke-XVII atau pada awal abad ke-XIX.

Khususnya di bidang hukum pidana, adalah menjadi kewajiban hakim untuk menerapkan

ketentuan-ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam undang-undang itu dengan setepat-

tepatnya, dan untuk maksud tersebut, menjadi kewajiban mereka pula untuk menafsirkan

ketentuan- ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya, yakni tentang apa yang sebenarnya

dimaksud dengan rumusan-rumusan mengenai ketentuan- ketentuan pidana tersebut Tujuan

perbuatan menafsirkan undang-undang itu sendiri selalu untuk menentukan arti yang sebenarnya

dari wilsbesluit atau dari putusan kehendak pembentuk undang-undang, yaitu seperti yang

tertulis di dalam rumusan-rumusan dari ketentuan-ketentuan pidana di dalam undang- undang.

Pada dasarnya untuk menafsirkan suatu Undang-undang Pidana, berlaku- lah ketentuan-

ketentuan yang sama seperti halnya ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi setiap penafsiran

undang-undang pada umumnya.


Tidak terdapat suntu alasan pun untuk memberiakukan metode yang tain di dalam menatsirkan

undang-undang pidana, selain daripada jenis-jenis metode penafsiran yang biasa diberiakukan

untuk menafsirkan tain-lain bagian hukum pada umumnya, kecuali metode-metode periafsiran

secara anaiogis dan secara ekstensil yang hingga kini belum terdapat suatu kesamaan pendapat

tentang boleh atau tidaknya dipergunakan untuk menafsirkan Undang-undang Pidana.

CARA-CARA MENAFSIRKAN UNDANG-UNDANG DAN METODE-METODE

PENAFSIRAN UNDANG- 2. UNDANG PIDANA

Timbul kini pertanyaan, yaitu tentang bagaimana kita seharusnya menafsirkan Undang-undang

Pidana yang berlaku di negara kita. Profesor SIMONS mengatakan antara lain bahwa Het

hoofdbeginsel moet zijn, dat de wet uit zich zelf moet worden verklaard" yang artinya"Pada

dasarnya undang-undang itu haruslah ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri". Apakah

ini berarti bahwa kita harus berpegang teguh pada pendirian seolah-olah yang tertulis di dalam

undang-undang itu adalah tidak lain daripada apa yang dikehendaki oleh undang-undang, hingga

apabila suatu rumusan undang-undang itu ternyata tidak jelas atau kurang jelas, maka kita tidak

boleh menggunakan upaya yang lain, misainya dengan berusaha menyelidiki maksud yang

sebenarnya dari pembentuk undang- undang dengan perkataan-perkataan yang telah

dituliskannya di dalam rumusan undang-undang tersebut? Tentang hal tersebut berkatalah

Profesor SIMONS antara lain "Wel kan het opsporen van den wil van den wetgever, voor zoover

die uitdrukking heeft gevonden in de woorden der wet, mede- werken tot het vaststellen van de

strekking der wetsbepalingen, doch de meening, dat de wet niet anders zou zijn den die in haren

tekst uitgedrukte wil, is te beperkt en daarom niet juist. Alles wat uit den tekst der wet volgt

geldt, al mocht de wetgever zich dit niet hebben voorgesteld"


yang artinya "Sejauh suatu perkataan itu terdapat di dalam rumusan undang-undang, maka

penyelidikan terhadap maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang dapat

membantu menentukan arti yang sebenarnya dari ketentuan-ketentuan pidana. Anggapan seolah-

olah undang-undang itu adalah tidak lain daripada apa yang tertulis di dalam rumusan-

rumusannya adalah terlalu sempit dan tidak tepat. Apa yang tertulis di dalam rumusan undang-

undang itu tetap berlaku, juga seandai- nya pembentuk undang-undang telah tidak pernah

membayangkan sebelumnya". Pendapat Profesor SIMONS yang mengatakan bahwa suatu

undang- undang itu pada dasarnya harus ditafsirkan menurut undang-undang itu sendiri, telah

dianuti oleh HOGE RAAD di dalam arrest-arrestnya masing- masing tanggal 12 November

1900, W. 7525 dan tanggal 21 Januari 1929, N.J. 1929 halaman 709, W. 11963 yang antara lain

telah mengata- kan: "penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan secara tegas

itu tidaklah boleh menyimpang dari maksud yang sebenar- nya dari pembentuk undang-

undang"6 Profesor SIMONS juga telah mengajarkan: "Indien de woorden der wet het toelaten,

zij, met het oog op veranderde omstandigheden, mag worden toegepast buiten de oorspronkelijke

bedoeling van den wetgever". yang artinya: "apabila undang-undang itu sendiri mengizinkannya,

maka dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang berubah, undang-undang itu dapat

diberlakukan secara menyimpang dari maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang"

Ajaran Profesor SIMONS juga telah diikuti oleh HOGE RAAD, yakni seperti yang dapat kita

jumpai di dalam arrest-nya tanggal 21 Juni 1943, 1943 nomor 559 yang telah mengatakan antara

lain: "Suatu pengertian atau suatu perkataan di dalam undang-undang itu, dengan

berkembangnya zaman. kadang-kadang berubah artinya atau berubah dari maksud yang

sebenarnya, sehingga terdapatlah perbuatan- perbuatan yang semula tidak termasuk ke dalam

suatu ketentuan pidana, kemudian menjadi termasuk ke dalam pengertiannya. Dalam hal
semacam itu hakim dapat memutuskannya dengan memperhatikan kesadaran yang hidup di

dalam masyarakat tentang pantas atau tidaknya perbuatan-perbuatan tersebut dipandang sebagai

perbuatan-perbuatan yang terlarang". Di samping metode penatsiran seporti yang dimaksudkan

di atas, yang pada hakikatnya merupakan suatu penafsiran secara strikt atau secara tepat menurut

bunyinya undang-undang, yang juga sering disebut sebagai strictieve interpretatie atau

strictissima interpretatio ataupun sebagai strictissimae interpretatio, Protesor SIMONS

berpendapat bahwa untuk menafsirkan Undang-undang Pidana itu, orang perlu memperhatikan

pentingnya penggunaan metode-metode penafsiran menurut 'sejarah pembentukan undang-

undang atau wetshistorische interpretatie, penafsir- an secara teleologis atau teleologische

interpretatie, yakni penafsiran sesuai dengan maksud (doel), tuluan (strekking) atau arti (zin) dari

suátu ketentuan undang-undang dan akhimya apa yang disebut authentieke interpretatie Tentang

wetshistorische interpretatie itu berkatalah Profesor SIMONS antara lain "De geschiedenis der

wet kan hulpmiddel zijn om den wil des wetgevers te leeren kennen, maar mag er niet toe leiden

eene bedoeling, die niet onder de woorden der wet kan worden gebracht, toch als wet te doen

gelden" ini dapat menjadi alat bantu untuk mencoba mengetahui maksud pembentuk undang-

undang, akan tetapi penggunaan metode tersebut tidaklah boleh menjurus pada perbuatan untuk

memberlakukan sebagai undang-undang, yaitu suatu maksud yang sudah jelas tidak dimasukkan

ke dalam apa yang sebenarnya dimaksud- yang artinya: "Sejarah undan kan oleh undang-

undang" Timbul kini suatu pertanyaan yaitu apabila dengan suatu metode penafsir- an menurut

sejarah pembentukan undang-undang itu, hakim dapat me- ngetahui bahwa di dalam suatu

rumusan undang-undang ternyata ter- dapat suatu kekeliruan menulis atau suatu kesalahan di

dalam merumus- kan suatu ketentuan pidana, apakah dalam hal semacam itu ia dapat

memperbaiki sesuai dengan jabatannya?. Tentang kesalahan redaksi atau tentang kesalahan
dalam merumuskan suatu ketentuan pidana dalam undang-undang itu berkatalah Profesor

SIMONS: "Eene redactiefout, waardoor de wetgever zich anders heeft uitgedrukt dan hij

bedoelde, kan slechts door den wetgever worden verbeterd"

"Suatu kesalahan dalam merumuskan sualu ketenuan yang artinya pidana yang temyata berbeda

dengan maksud yang sebenanya dan pembentuk undang-undang itu hanyalah dapat diperbaiki

oleh pembentuk undang-undang itu sendiri Mengenai penafsiran secara teleologis itu berkatalah

Profesor SIMONS antara lain "In de laatste jaren trekt de z.g. teleologische uitlegging sterke

aan- dacht Dit is de uitlegging overeenkomstig het doel, de strekking den zin, der wetsbepaling.

Ook bij deze uitleggingsmethode is men natuurlijk aan den tekst gebonden" yang artinya:

"Dalam tahun-tahun terakhir ini apa yang disebut penafsiran secara teleologis itu banyak

menarik perhatian orang Penafsiran ini adalah suatu penafsiran sesuai dengan tujuan, maksud

atau sesual dengan arti suatu ketentuan undang-undang. Di dalam menggunakan metode

penafsiran ini sudah barang tentu orang juga terikat pada bunyl- nya undang-undang Mengenai

penafsiran Kitab Undang-undang Pidana kita itu. Profesor SIMONS berpendapat bahwa adalah

penting bagi kita untuk mem- perhatikan peraturan-peraturan yang terdapat di dalam Titel ke-IX

dari Buku ke-I KUHP yang menjelaskan tentang arti beberapa perkataan yang terdapat di dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Penafsiran suatu undang-undang sesuai dengan

penjelasan-penjelasan atau peraturan-peraturan yang terdapat di dalam undang-undang itu sendiri

disebut penafsiran secara otentik. Dalam pada itu periu dicatat bahwa penjelasan-penjelasan

seperti yang telah diatur di dalam Titel ke-IX Buku ke-l KUHP itu mempunyai dua sitat

Sebagian dari penjelasan-penjelasan tersebut secara murni bersifat mem- berikan penjelasan atas

beberapa perkataan yang oleh pembentuk undang-undang telah dipergunakan di dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana dan sebagian lagi bersifat memperluas arti beberapa perkataan
yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana hingga ke luar dari arti yang

sebenarnya menurut tata bahasa. Penjelasan-penjelasan yang secara murni bersifat memberikan

penjelas- an dapat dijumpai antara lain dalam Pasal-pasal 87, 88, 88bis, 92bis, 93, 94, 97 dan 101

bis, sedang penjelasan-penjelasan yang bersifat mem- 13) SIMONS, ibid Dasar-dasar Hukum

Pidana Indonesia 44

[06.46, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana perluas arti perkataan-perkataan

seperti dimaksud di atas dapat dijumpa antara lain dalam Pasai-pasal 86, 89, 90, 92, 96, 99 dan

100 KUHP Penjeiasan-penjelasan yang terdapat dalam Titel ke-IX Buku ke-i KUHP itu, berbeda

dengan penjelasan-penjelasan yang terdapat dalam Titel ke-i sampai dengan Titel ke-VIUI Buku

ke-l KUHP hanya berlaku bagi Kitab Undang-undang Hukum Pidana saja. Sedang penjelasan-

penjelasan yang terdapat dalam Titel ke-l sampai dengan Titel ke-VIll Buku ke-l KUHP sesuai

dengan ketentuan Pasal 103 KUHP juga beriaku bagi semua per- buatan yang oleh lain-lain

peraturan perundang-undangan telah dinyata- Kan sebagai tindak pidana, kecuali apabila dengan

suatu undang-undang Satu peraturan pemerintah atau suatu ordonansi telah dinyatakan se-

baliknya. Menurut Profesor POMPE, untuk menafsirkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

pada dasarnya tidak terdapat suatu peraturan yang bersifat khusus. Akan tetapi di dalamnya

memang terdapat suatu titel yang tersendiri, yakni Titel ke-IX Buku ke-l KUHP di dalam titel

tersebut telah dijelaskan, tentang arti beberap perkataan yang terdapat dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana. Dengan menunjuk arrest HOGE RAAD tanggal 12 November 1900, W.

7525 dan dengan menghubungkan arrest tersebut dengan ketentuan- ketentuan Pasal-pasal 885,

886, 1342 dan 1343 B.W. berkatalah Profesor POMPE antara lain "Voor de strafwet, evenals

voor andere wetten, kan men gebruik maken van de regels, dat, indien de tekst der wet duidelijk

is, men daarvan niet door uitlegging mag afwijken, en dat indien de tekst voor onderscheidene
uitlegging vatbaar is, men veeleer moet nagaan welke de bedoeling des wetgevers geweest is,

den zich aan de letterlijke zijn van de tekst te binden". yang artinya undang lainnya, orang dapat

berpegang pada peraturan-peraturan, yakni apabila kata-kata di dalam undang-undang itu sendiri

sudahlah jelas, maka orang tidak boleh membuat suatu penafsiran hingga menyimpang dari arti

yang sebenarnya, dan apabila kata-kata tersebut dapat ditafsirkan secara berbeda-beda, maka

lebih baik jika orang berusaha mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh pembentuk

undang-undang dengan kata-kata tersebut daripada terikat secara harafiah pada yang tertulis di

dalam undang-undang". "Bagi Undang-undang Pidana, seperti hainya undang- POMPE,

Handboek, halaman 54. 14) LAMINTANG-SAMOSIR, Hukum Pidana Indonesia, halaman 1 15)

POMPE, op cit, halaman 54-55 16) Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 45

[06.46, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Profesor POMPE berpendapat

bahwa untuk memberlakukan Undang undang Pldana itu sebenarnya hakim mempunyai suatu

kebebasan yang besar, ofeh karena pada akhirnya hakimlah yang harus menilai apakan suatu

perkataan atau suatu kalimat yang terdapat di dalam undang- undang itu sudah jelas atau belum.

Apabila hakim berpendapat bahwa suatu perkataan atau suatu kalimat yang terdapat dalam

undang-undang tidak jelas, maka ia mempunyai suatu kebebasan untuk berusaha menge tahul

arti yang sebenarnya dari perkataan atau kalimat tersebut, baik sesuai dengan maksud pembentuk

undang-undang maupun sesuai dengan maksud undang-undang itu sendiri. Menurut Profesor

POMPE, cara-cara tersebut di atas telah dipergunakan oleh HOGE RAAD untuk menafsirkan

ketentuan pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 408 KUHP, yang dapat dijumpai dalam

arrest-nya tanggal 21 November 1892, W. 6282, di mana HOGE RAAD telah me- masukkan

"bangunan telepon" ke dalam pengertian "bangunan telegrap" dengan alasan bahwa telepon itu

sebenarnya merupakan suatu "klank- telegraaf" atau suatu telegrap yang dapat berbunyi.
Berkenaan dengan alasan yang telah dikemukakan oleh HOGE RAAD di atas, secara sinis

Profesor POMPE mengatakan bahwa apabila telepon itu dapat dianggap sebagai suatu

"klanktelegraaf" atau suatu telegrap yang dapat berbunyi, maka telegrap itu sendiri seharusnya

juga dapat dianggap sebagai suatu "schrifttelefoon" atau suatu telepon yang dapat menulis. Cara

yang sama telah dipergunakan pula oleh HOGE RAAD untuk membuat suatu penafsiran atas

ketentuan pidana seperti yang telah diatur di dalam Pasal 362 KUHP, yang oleh HOGE RAAD

di dalam arrest-nya tanggal 23 Mei 1921, N.J. 1921 halaman 564, W. 10724 yang juga dikenal

sebagai "electriciteits-arrest" itu telah memasukkan arus listrik atau tenaga listrik ke dalam

pengertian "benda", yang menurut pendapat Profesor POMPE, penafsiran semacam itu

sesungguhnya sama sekali tidak berbeda dengan penafsiran secara analogis. Profesor POMPE

mengatakan, bahwa tidaklah dapat disangkal lagi ke- benarannya bahwa di dalam

memberlakukan Undang-undang Pidana itu, penilaian hakim tentang dapat atau tidaknya

seseorang itu dihukum, mempunyai suatu pengaruh yang sangat besar. LAMINTANG-

SAMOSIR, Hukum Pidana Indonesia, halaman 150. 17) Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia

46

[06.47, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Beilau mengingatkan : "Vooral de

z.q. teleologische uitlegging, d w.z. uitlegging overeen- komstig het doel, de strekking der

wettelijke bepaling, kan in werkelijkheid makkelijk tot het analogie-argument leiden" yang

artinya Terutama apa yang disebut penafsiran secara leleologisch itu, yakni penafsiran sesuai

dengan tujuan atau maksud dari suatu peraturan perundang-undangan, di dalam kenyataannya

dengan mudah dapat menjurus pada suatu penafsiran secara analogis Sebagai suatu contoh dari

suatu penafsiran secara teleologis yang di dalam kenyataannya telah menjurus pada suatu

penafsiran secara analogis itu, oleh Profesor POMPE telah disebutkan yaitu misalnya penafsiran
oieh HOGE RAAD dalam arrest-nya tanggal 23 Januari 1928, N.J. 1928 halaman 263, W.

1180719 yang berbunyi antara lain 493 KUHP itu tidak menentukan suatu cara tertentu bagi

perbuatan "mengikuti dengan cara yang mengganggu" Sesuai dengan apa yang telah disebutkan

dalam surat tuduhan, "tetap berkendaraan di depan orang lain" merupakan pula perbuatan

"mengikuti orang lain dengan cara yang mengganggu". "Pasal Walaupun Profesor POMPE tidak

menyatakannya secara tegas, akan tetapi dari pendapat-pendapatnya di atas kita dapat

mengetahui, bahwa menurut pendapat beliau, jenis-jenis metode penafsiran yang dapat diper-

gunakan orang untuk menafsirkan suatu Undang-undang Pidana adalah antara lain metode-

metode penafsiran secara otentik atau authentieke interpretatie, secara terbatas menurut bunyi

rumusan undang-undang atau strictieve interpretatie, sesuai dengan maksud undang-undang atau

teleologische interpretatie dan metode penafsiran menurut sejarah pem- bentukan suatu undang-

undang atau wetshistorische interpretatie. Profesor van HATTUM menjelaskan, bahwa dahulu

kala yaitu ketika orang telah mulai sadar bahwa hukum pidana itu tidak dapat diterapkan tanpa

dilakukannya sesuatu penafsiran, untuk jangka waktu yang lama, orang masih tetap bertahan

pada pendapat bahwa Undang-undang Pidana itu pada dasarnya adalah bersifat strictissimae

interpretationis atau bersifat harus ditafsirkan secara terbatas menurut bunyi undang-undang itu

sendiri. POMPE, Handboek, halaman 55 18) LAMINTANG-SAMOSIR,op cit, halaman 206 19)

POMPE, Handboek, halaman 54-55. 20) van HATTUM, Hand-en Leerboek I, halaman 65. 21)

Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 47

[06.48, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Dewasa ini apa yang disebut

strictieve interpretatie itu telah diartikan sebagai suatu penafsiran secara terbatas menurut bunyi

undang-undang sendiri, dalam arti seperti yang lelah dikatakan oleh Profesor SIMONS bahwa

"pada dasarnya undang-undang itu haruslah ditafsirkan menurul undang-undang itu sendiri atau
seperti yang talah diputuskan alah HOGE RAAD dalam arrest-arrest-nya tanggal 12 November

1900, W 7525 dan tanggal 21 Januari 1929, N.J. 1929 halaman 709, W. 11963 bahwa

"penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan secara tegas itu tidaklah boleh

menyimpang dari maksud yang sebenar nya dari pembentuk undang-undang", maka dahulu kala

walaupun strictieve interpretatie itu juga telah diartikan sebagai suatu metode penafsiran secara

terbatas menurut bunyi undang-undang, akan tetapi dengan alasan yang lain, yaitu untuk

mencegah agar seseorang jangan sampai dijatuhi hukuman karena telah melakukan suatu

perbuatan yang sebenarnya tidak dinyatakan sebagai suatu tindak pidana menurut suatu undang-

undang. Oleh karena itulah kebanyakan penulis berpendapat bahwa mengguna kan strictieve

interpretatie untuk menafsirkan suatu Undang-undang Pidana itu sudahlah menjadi kewajiban

hakim, mereka itu selalu men- dasarkan pendapat mereka pada ketentuan-ketentuan pidana

seperti yang terdapat misalnya dalam Pasal 4 dari CODE PENAL ataupun dalam Pasal 1 ayat 1

dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana.4 Tentang kelemahan pendapat semacam itu,

berkatalah Profesor van HATTUM antara lain: Het goed recht van deze opvatting kan stellig

worden betwist. Een algemene regel van wetsuitleg, welke in het bijzonder voor de

strafwetgeving zou gelden, is in de tekst van art. 1 Sr. niet te lezen. Houdt men zich aan de

M.v.T. den behelst deze bepaling zelfs niet meer dan ook reeds in art. 3 en art. 4 A.B. is te

vinden en moet het voorschrift slechts dienen als inleiding voor de in het tweede lid gemaakte

uitzondering"5 yang artinya: "Kebenaran hukum dari pendapat tersebut sudahlah jelas dapat

dipermasalahkan. Suatu peraturan umum mengenai penafsiran undang-undang yang secara

khusus akan diberlakukan bagi perundang- undangan pidana, tidaklah dapat dijumpai di dalam

rumusan dari ketentu- an pidana menurut Pasal 1 ayat 1 KUHP. Apabila kini orang ingin ber-

paling pada penjelasan yang terdapat dalam Memori Penjelasan, maka 22) SIMONS, Leerboek I,
halaman 97 23) LAMINTANG-SAMOSIR, Hukum Pidana Indonesia, halaman 1 van

HATTUM, ibid 24) van HATTUM, Hand-en Leerboek i, halaman 66 25) Dasar-dasar Hukum

Pidana Indonesia 48

[06.49, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana orang tidak akan menjumpai hal-hal

yang lain kecuali hal-hal sepert yang telah diatur di dalam Pasal-pasal 15 dan 2 Algemene

Bepaing van Wetgeving voor Indonesie atau di dalam Pasal-pasal 15 dan 2. Ketentuan Umum

tentang Perundang-undangan untuk Indonesia, sehingge ketentu an pidana sepert yang diatur

dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut haruslah dianggap sebagat suatu pendahuluan dari

kekecualian seperti yang telah dibuat di dalam ayat kedua Oleh karena Protesor van HATTUM

telah menyebut-nyebut hal-hal yang diatur dalam Pasal-pasal 3 dan 4 A.B. yang berlaku di

Negeri Belanda, yang sama pula isinya dengan hal-hal yang diatur dalam Pasal-pasal 15 dan 2

A.B. yang berlaku di Indonesia maka marilah kita mencoba untuk mengetahui tentang apa yang

sebenarnya yang telah diatur di dalam Pasal-pasal 15 dan 2 A.B tersebut Pasal 15 A.B

mengatakan Behoudens de uitzonderingen omtrent de Indonesiers en daarmee gelijkgestelde

personen vastgesteld. geeft gewconte geen regt, den alleen wanneer de wet daarop verwijst" yang

artinya: "Kecuali dari kekecualian-kekecualian yang telah ditentukan bagi warga negara

Indonesia dan lain-lain orang yang disamakan dengan warga negara Indonesia, maka kebiasaan

itu tidak berlaku sebagai suatu undang-undang. kecuali apabila undang-undang telah mengatakan

demikian" Pasal 2 A B. mengatakan "De wet verbindt alleen voor het toekomende en heeft geene

terug- werkende kracht" yang artinya : "Undang-undang itu hanya mengikat bagi peristiwa-

peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut dibentuk dan tidak mempunyai kekuatan

hukum untuk diberlakukan secara surut Kelak akan anda ketahui bahwa pendapat Profesor van

HATTUM di atas itu tidak sepenuhnya benar, oleh karena para penulis pada umumnya
berpendapat bahwa di dalam ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1

KUHP itu pada dasarnya terdapat tiga buah asas yang mengatakan: bahwa hukum pidana yang

berlaku di negara kita itu merupakan hukum yang tertulis; 1. 26) ENGELBRECHT, De

Wetboeken, terbitan tahun 1960, halaman 375. 27) ENGELBRECHT op cit, halaman 374 Dasar-

dasar Hukum Pidana Indonesia 49

[06.49, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana bahwa hukum pidana yang berlaku

di negara kita itu tidak dapat diberlakukan secara surut dan 2 ka bahwa adaiah terlarang untuk

menggunakan penafsiran secara analogis di dalam hukum pidana 3. bu Di samping strictieve

interpretatie sebagaimana yang telah dibicarakan di atas itu, Profesor van HATTUM berpendapat

bahwa untuk menafsirkan suatu Undang-undang Piaana itu, orang dapat menggunakan macam

macam metode penafsiran. yeitu metode-metode penafsiran seperti grammaticale interpretatie

atau penafsiran menurut tata bahasa, logische interpretatie atau penafsiran sesuai dengan

pengertiannya yang wajar systematische interpretatie atau dengan metode secara logis,

historische interpretatie atau penafsiran menurut sejarah, sociologische interpretatie atau

penafsiran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam masyarakat dan teleologische

interpretatie atau penafsiran sesuai dengan tujuan, maksud atau sesuai dengan arti suatu

peraturan perundang- undangan. Profesor van HATTUM berpendapat bahwa de wil atau

kehendak dari pembentuk undang-undang itu merupakan suatu unsur yang sangat penting untuk

menafsirkan suatu undang-undang. Tentang hal tersebut berkatalah Profesor van HATTUM

antara lain: "Voorop blijft staan dat de wet is de in haar tekst uitgedrukte wil des wetgevers (H.R.

12 November 1900, W. 7525, A.9). Hiermede is erkend, dat de wil bij elke wetsuitle n de

wetgever een uiterst belangrijke factor is yang artinya: "Yang terpenting adalah bahwa undang-

undang itu sendiri sebenarnya adalah kehendak pembentuk undang-undang seperti yang telah
dinyatakan dalam rumusan undang-undang yang bersangkutan (H.R. 12 November 1900, W.

7525, A.9). Dengan demikian HOGE RAAD telah mengakui bahwa kehendak pembentuk

undang-undang itu sebenar- nya merupakan faktor yang terpenting dalam setiap penafsiran

undang- undang" Dengan demikian maka metode penafsiran menurut sejarah pembentukan suatu

undang-undang atau wetshistorische interpretatie itu, menurut pendapat Profesor van HATTUM

merupakan "een zeer aanvaardbaar van HATTUM, Hand-en Leerboek I, halaman 67 28) van

HATTUM, ibid. 29) Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 50

[06.50, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana hulpmiddel voor de rechter die niet

beseft dat niet zijn maar des wetgevers wil behoort te praevaleren30 Atau merupakan "suatu alat

bantu yang sangat penting bagi hakim, yang menyadari bahwa yang harus diutama- kan itu

sebenamya adalah kehendak pembentuk undang-undang dan bukan kehendak dirinya sendiri

Tentang bagaimana caranya orang harus menggunakan suatu penafsiran menurut sejarah

pembentukan suatu undang-undang itu, kiranya sangat penting untuk diperhatikan yaitu

peringatan dari Profesor van HATTUM yang mengatakan antara lain: Natuurlijk zal het evenzeer

voorkomen dat de bedoeling van de wetgever niet meer met zekerheid kan worden opgespoord.

Stukken totstandkoming mo0eten voorzichtig worden gehanteerd want inderdaad "komt een

berope op de bedoeling ook gewoonlijk neer op de interpretatie van woorden, en dan nog wel

van woorden die niet in de wet zelf staan, doch geschreven of gesproken zijn or de vaststelling

van de wet yang artinya: "Sangatlah besar kemungkinannya untuk dapat terjadi, bahwa maksud

pembentuk undang-undang itu tidak lagi dapat diikuti se- cara pasti. Tulisan-tulisan yang ada

hubungannya dengan pembentukan suatu undang-undang haruslah dipergunakan secara hati-hati,

oleh Karena upaya penafsiran yang semula bertujuan untuk mengetahui maksud pembentuk

undang-undang itu, biasanya kemudian menjurus pada penafsiran perkataan-perkataan. bahkan


juga dari perkataan- perkataan yang sebenarnya tidak terdapat di dalam undang-undang, akan

tetapi perkataan-perkataan tersebut telah dijumpai orang sebagai perkata- an-perkataan yang

tertulis ataupun sebagai perkata an-perkataan yang pernah diucapkan orang sebelum suatu

undang-undang itu terbentuk". Dikatakannya lebih lanjut oleh Profesor van HATTUM, bahwa

perkataan- perkataan yang terdapat dalam suatu undang-undang itu seringkali tidak cukup jelas,

hingga setiap kali orang merasa perlu mengetahui maksud atau artinya, yaitu dengan cara

menyelidiki maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang, dengan cara

menghubung-hubungkan se- cara sistematis suatu peraturan tertentu dengan peraturan-peraturan

pidana selebihnya atau dengan cara menyelidiki sejarah pertumbuhan suatu lembaga yang

terdapat dalam hukum pidana. Li dalam praktek ataupun di dalam doktrin, seringkali kita

menjumpai alasan tentang pentingnya suatu penafsiran, yaitu antara lain untuk 30) van

HATTUM, op cit, halaman 67-68. 31) van HATTUM, op cit, halaman 68. Dasar-dasar Hukum

Pidana Indonesia 51

[06.51, 30/10/2019] Oo: Panatsiran Undang-undang Pidana mengisi leemnten, Jacunes atas

kekosongan-kekosongan daiam undarng undang Benarkah bahwa daiam Undang-undang Pidana

tu dapat terjadi suatu leemte, suatu lacune atau suatu kekosongant m Profesor van HATTUM

berpendapat bahwa secara prinsipal orang dapar berpegang pada suatu kenyataan yakni bahwa

Undang undang Pidana itu sebenarnya tidak mengenal apa yang disebut iacunes atau kekosongan

kekosongan. me ba su Se Tentang hal tersebut berkatalah Profesor van HATTUM antara lain :

"Het civiele recht kent principieel wei lacunes, want daar moet het recht worden vastgesteld of

gevonden in elk twistgeding waarin partjen elkanders recht betwisten. Regelt de wet het geval

niet dan moet toch de rechter "rechtdoen in het strafrecht is er van rechtdoen" in deze zijn geen

sprake. De strafrechter heeft slechts na te gaan of de strafwet het geval regeit, d.w.zstral bedreigt.
Doet de wet dit niet dan kan geen straf worden opgelegd" Un ad sti M un un un yang artinya:

"Hukum perdata itu pada dasarnya memang mengenal apa yang disebut kekosongan, oleh karena

di sana apa yang menjadi hukum itu masih harus dicari dan ditentukan dalam setiap

persengketaan, di mana masing-masing pihak yang bersengketa itu telah mempermasalah- kan

haknya masing-masing. Apabila undang-undang ternyata telah tidak mengatur masalahnya, maka

hakim harus menentukan hukumnya. Dalam hukum pidana tidak dikenal penentuan hukum

semacam itu. Hakim pidana hanyalah harus menyelidiki yaitu apakah undang-undang telah

mengatur masalahnya, dalam pengertian apakah undang-undang telah mengancam si pelaku

dengan suatu hukuman. Apabila undang-undang ternyata telah tidak berbuat demikian, maka

hakim tidak dapat menjatuh- kan suatu hukurnan bagi pelaku tersebut" Te Menurut Profesor van

HAMEL, adalah menjadi kewajiban hakim untuk memberlakukan ketentuan ketentuan pidana

sebagai yang diatur dalam kitab undang-undang, di dalam undang-undang ataupun di dalam

peratur an perundangan lainnya, dan menjadi kewajibannya pula untuk menafsir kan perkataan-

perkataan yang terdapat di dalamnya. Tentang metode-metode penafsiran mana yang kiranya

dapat diperguna- kan orang untuk menafsirkan hukum pidana atau Kitab Undang-undang Pidana

itu berkatalah Profesor van HAMEL antara lain 32) van HATTUM, Hend-en Leerboek i,

halaman 69 33) van HAMEL, Inleiding, halaman 128 Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 52

[06.51, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Er is geen enkele reden om voor het

strafrecht of voor een wet- andere deelen van het recht en voor ander rechtsbronnen" boek eene

andere methode van wetsuitlegging te volgen den voor yang artinya Tidak ada suatu alasan pun

untuk menggunakan lain-lain metode penafsiran undang-undang kecuali dari menggunakan

metode- metode penafsiran undang-undang yang biasa diberlakukan orang untuk bagian-bagian

lain dari hukum ataupun mendasarkan hal tersebut pada sumber-sumber hukum yang lain
Sebagai suatu kekecualian, maka untuk menafsirkan hukum pidana atau Undang-undang Hukum

Pidana itu, Profesor van HAMEL menganjurkan agar orang menggunakan suatu strictissima

interpretatio atau suatu strictieve interpretatie Menurut Profesor van HAMEL, tujuan suatu

penafsiran adalah selalu untuk memastikan arti keputusan kehendak atau wilsbesluit pembentuk

undang-undang seperti yang telah dinyatakannya dalam suatu rumusan undang-undang lentang

hal tersebut berkatalah Profesor van HAMEL antara lain: Het doel is altijd, het vaststellen der

beteekenis (vim ac potastem) van het in de tekst der wet uitgedrukte wilsbesluit des wetgevers

omtrent hetgeen strafrecht zal zijn". yang artinya:Tujuannya adalah selalu untuk memastikan arti

(vim ac potastem) dari keputusan kehendak pembentuk undang-undang seperti yang telah

dinyatakannya dalam rumusan undang-undang, yaitu tentang apa seharusnya menjadi hukum

pidananya" Akan tetapi ini tidak berarti bahwa para hakim itu harus memastikan, yaitu tentang

sesuatu yang sebenarnya telah diharapkan atau tentang sesuatu yang sebenarnya telah

dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. Jika demikian halnya, kemudian apakah yang

harus dicari oleh para hakim untuk memastikan arti keputusan kehendak pembentuk undang-

undang seperti yang dimaksudkan di atas itu? Menurut Profesor van HAMEL, yang harus dicari

oleh para hakim itu adalah "apa yang telah diputuskan" dan "apa yang telah diucapkan sebagai

keputusan" oleh pembentuk undang-undang. van HAMEL, Inleiding, halaman 129. 34) 35) van

HAMEL, ibid Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 53

[06.52, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Tentang hal tersebut berkatalah

Profesor van HAMEL antara lain "Gezocht moet ten siotte slechts wat bij besloot en als besluit

uitsprak3 yang artinya: "Pada akhirnya yang harus dicari itu hanyalah apa yang fa putuskan dan

apa yang telah ia ucapkan sebagai keputusan Untuk mengetahui tentang sesuatu yang telah

diputuskan atau tentang sesuatu yang diucapkan sebagai keputusan oleh pembentuk undang-
undang seperti dimaksud di atas itu, Profesor van HAMEL telah me- nyebutkan adanya empat

buah metode penafsiran yang dapat diperguna 37 kan oleh para hakim yang harus dipergunakan

secara bersama-sama. Metode-metode penafsiran tersebut adalah metode penafsiran menurut tata

bahasa atau grammatische interpretatie, metode penafsiran secara logis atau logische

interpretatie, metode penafsiran secara sistematis atau systematische interpretatie dan metode

penafsiran menurut sejarah atau historische interpretatie Profesor van HAMEL mengakui, bahwa

penggunaan metode-metode penafsiran undang-undang seperti dimaksud di atas pastilah

menimbul- kan suatu kekhawatiran pada mereka yang menghendaki agar Undang- undang

Pidana itu ditafsirkan secara terbatas menurut tulisan yang ter- dapat di dalamnya, mereka

berpendapat bahwa penggunaan metode- metode penafsiran undang-undang kecuali yang

dilakukan secara ter- batas menurut tulisan yang terdapat di dalamnya itu dapat menjurus pada

suatu restrictieve interpretatie, yakni kebalikan dari suatu strictieve inter- pretatie seperti yang

pernah dibicarakan di atas, atau dapat menjurus pada suatu extensieve interpretatie atau suatu

metode penafsiran undang-undang yang bersifat memperluas apa yang sebenarnya di-

maksudkan di dalam suatu ketentuan undang-undang. Metode penafsiran undang-undang yang

keenam yang oleh Profesor van HAMEL disebutkan sebagai salah satu metode penafsiran

undang- undang yang dapat digunakan oleh hakim untuk menafsirkan Kitab Undang-undang

Hukum Pidana yang berlaku di negara kita adalah yang disebut authentieke interpretatie, yakni

penafsiran yang dibuat oleh pembentuk undang-undang sendiri mengenai beberapa perkataan

yang dipergunakannya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana van HAMEL, ibid 36)

van HAMEL, ibid 37) 38) van HAMEL, Inleiding, halaman 129. Dasar-dasar Hukum Pidana

Indonesia
[06.52, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidaria Seperti dikatakan di atas, dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita, penafsiran semacam itu dapat kita jumpai dalam Titel

ke-IX buku ke- KUHP Menurut Profesor van HAMEL, penggunaan metode penafsiran undang-

undang secara otentik itu jarang dianjurkan orang untuk dipergunakan, akan tetapi metode

penafsiran undang-undang tersebut sebenarnya a penting. Tentang hal tersebut berkatalah

Profesor van HAMEL antara lain : "Authentieke interpretatie, wets uitlegging door den wetgever

zelven, is zelden geraden, maar noodzakelijk 10 nee in de wet eenige uitdrukkingeene

technische- arldische beteekenis heeft, die tegenover de gewone taal- dige beteekenis eene

beperking bedoelt, of naast haar at eene uitbreiding anneer de wetgever tusschen tweerlei

bepaalde rechts- Kundige beteekenis eene keuze doet yang artinya :"Penafsiran secara otentik,

yakní penafsiran yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu sendiri, ternyata jarang

dianjurkan untuk dipergur.akan, walaupun penafsiran tersebut sebenamya perlu, yaitu apabila

suatu perkataan dalam undang-undang itu mempunya suatu pengertian teknik-yuridis. yang

bersifat mempersempit pengertiannya yang biasa menurut tata bahasa, ataupun bersifat

memperluas pengertiannya di samping pengertiannya yang biasa menurut tata bahasa; 2 apabila

pembentuk undang-undang telah bermaksud untuk me- nunjukkan suatu pengertian tertentu

antara dua pengertian menurut ilmu pengetahuan hukum". Menurut HAZEWINKEL-

SURINGA40, untuk menafsirkan peraturan-per- aturan dalam hukum pidana tidaklah terdapat

suatu ketentuan yang sifat- nya tertentu. Mereka berpendapat bahwa untuk menafsirkan

peraturan- peraturan dalam hukum pidana semacam itu HOGE RAAD menghendaki agar pada

dasarnya orang mengikuti asas-asas yang oleh pembentuk undang-undang telah diletakkan dalam

rumusan-rumusan dari Pasal- pasal 885, 886, 1342 dan 1343 B.W., yakni asas-asas yang berlaku

untuk membuat suatu penafsiran terhadap perkataan-perkataan yang terdapat van HAMEL, op cit
halaman 130 39) HAZEWINKEL-SURINGA, Inleiding, halaman 278 40) Dasar-dasar Hukum

Pidana Indonesia 55

[06.53, 30/10/2019] Oo: 56-73

[06.54, 30/10/2019] Oo: Penafairan Undang-undang Pidana Adapun mengenai authentieke

interpretatie, Doktor LEMAIRE berpen- dapat bahwa metode penalsiran tereebut sobenamya

bukan merupakan Suatu materi di dalam ajaran penafsiran undang-undang, oleh karena ia tebih

merupakan suatu "legisiatieve techniek atau sualu "teknik pem bentukan undang-undang"

danipada suatu metode penatsiran, yaitu untuk menyederhanakan pembuatan rumusan rumusan

di dalam undang- undang, eleh karena suatu perkataan yang mempunyai arti yang tertentu

seringkali juga terdapat di dalam berbagai rumusan undang-undang 3. METODE PENAFSIRAN

SECARA ANALOGIS Salah satu metode penatsiran undang-undang yang hingga kini masih

menjadi permasalahan, yaitu apakah mengenai metode penafsiran ter sebut boleh dipergunakan

dalam hukum pidana atau tidak, adalah metode penafsiran undang-undang secara analogis atau

apa yang disebut analogische interpretatie ataupun analogische wetstoepassing atau argumentum

per analogiam Sebagaimana yang pernah saya katakan di atas, kebanyakan penulis berpendapat

bahwa penggunaan metode penafsiran secara analogis itu adalah terlarang atau bertentangan

dengan ketentuan pidana yaitu seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP Apa

sebabnya kini penggunaan suatu metode penafsiran undang-undang secara analogis itu dianggap

terlarang untuk dipergunakan di dalam hukum pidana? Seperti yang telah kita ketahui, bahwa

alasan yang terutama tentang sebabnya metode penafsiran undang-undang secara analogis itu

dilarang untuk dipergunakan di dalam hukum pidana, adalah agar ketidakpastian hukum bagi

masyarakat itu jangan sampai menjadi terlalu besar Pada umumnya orang menghendaki, agar

dari perundang-undangan itu orang dapat mengetahui perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku


yang bagaimana merupakan perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang terlarang, dan

perbuatan-perbuatan atau perilaku-perilaku yang bagai- mana lagi yang merupakan perbuatan-

perbuatan atau perilaku-perilaku yang tidak terlarang oleh undang-undang. Para pengajar di

perguruan-perguruan tinggi di Indonesia biasanya meng- ajarkan bahwa beberapa orang penulis

Belanda yang terkenal sepert LEMAIRE, op cit, halaman 89 77)

[06.54, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Profesor POMPE, Profesor van

HATTUM, HAZEWINKEL-SURINGA Profesor SIMONS, Profesor van HAMEL, Profesor van

BEMMELEN dan lain sebagainya itu, pada umumnya tidak dapat menyetujui penggunaan

metode penafsiran undang-undang secara analogis di dalam hukum pidana Hal tersebut

disebabkan karena biasanya orang telah merasa puas apabila untuk menguatkan ajarannya itu,

mereka telah berhasil menemu- kan suatu kalimat yang menunjukkan bahwa seorang penulis

tidak dapat pidana, tanpa membaca lebih lanjut tentang pendapatnya mengenai lain- menyetujui

dipergunakannya analogische interpretatie di dalam hukum fain permasalahan yang ada

hubungannya dengan penafsiran secara analogis tersebut Sebagai contoh dapat dikemukakan di

sini pendapat Profesor van HAITUM mengenai boleh-tidaknya penafsiran secara analogis

diperguna- kan dalam hukum pidana. Tentang hal tersebut berkatalah beliau antara lain Naar

mijn mening is in het strafrecht analogische toepassing van de wet, voorzover daardo wordt

gegeven, verboden" aan een delictsomschrijving uitbreiding yang artinya: "Menurut pendapat

saya penerapan undang-undang'secara analogis itu terlarang di dalam hukum pidana, apabila

karena penerapan semacam itu dapat memperluas suatu rumusan delik" Apakah dengan

mengemukakan pendapatnya seperti dimaksud di atas itu berarti bahwa Profesor van HATTUM

secara mutlak tidak menghendaki dipergunakannya penafsiran secara analogis di dalam hukum

pidana? Dari uraiannya di bawah ini, kita dapat mengetahui bahwa Profesor van HATTUM
justru dapat membenarkan dipergunakannya penafsiran secara analogis di dalam hukum pidana,

walaupun secara terbatas. Menurut Profesor van HATTUM, tujuan Pasal 1 KUHP itu adalah

untuk mencegah hakim mencari-cari sebuah norma ataupun membuat suatu norma sendiri, untuk

kemudian menjatuhkan suatu hukuman terhadap orang yang telah melanggar norma tersebut,

padahal pembentuk undang undang sendiri tidak pernah merumuskan norma itu dalam suatu

peratur- an perundang-undangan. 781 van HATTUM, Hand-en Leerboek i, halaman 75.

[06.55, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana Da Menurut HAZEWINKEL-

SURINGA, suatu analogi itu sebenarnya telah dibuat oleh orang, berdasarkan anggapan bahwa

pembentuk undang- undang itu tidak mengatur suatu masalah tertentu, yang seandainya ia

mengetahui atau dapat menduga bahwa masalah tersebut pada suatu waktu tertentu pasti atau

mungkin dapat timbul, maka pastilah pembentuk undang-undang menyatakan masalah tersebut

sebagai suatu masalah yang terlarang dan telah mengancamnya dengan suatu hukuman. Sedang

suatu interpretatie atau suatu penafsiran sebenarnya merupakan suatu pemikiran yang telah

dibuat orang, berdasarkan anggapan bahwa pem- bentuk undang-undang telah mengatur masalah

tersebut di atas, sunggun pun hal tersebut tidak dapat diketahui dari perkataan-perkataan yang

terdapat di dalam suatu ketentuan pidana tertentu, tanpa orang narus melakukan suatu usaha

untuk mengetahuinya. ya ar ar m u m le Dikatakan lebih lanjut oleh HAZEWINKEL-SURINGA,

bahwa orang hanya akan dapat membuat suatu pem isahan antara analogi dengan penafsiran

apabila orang dapat menunjukkan dengan pasti tentang S apa yang sebenarnya dimaksud dengan

perkataan-perkataan yang terdapat di dalam rumusan undang-undang; a apa yang sebenarnya

dimaksud oleh pembentuk undang-undang dengan membuat sesuatu ketentuan pidana tertentu,

dan apakah pembentuk undang-undang itu telah mengetahui atau telah menduga bahwa suatu

masalah itu akan dapat timbul di kemudian hari. C. Berkenaan dengan hal-hal di atas itu,
berkatalah HAZEWINKEL- SURINGA antara lain: "Dat nu is onmogelijk .. De vraag is niet of

analogie toelaatbaar is; ongewild en ongeweten zal zij aangewend worden" a ti yang artinya:

"Hal tersebut adalah tidak mungkin. ... Dikehendaki atau tidak, disadari atau tidak, penafsiran

secara analogis itu tetap akan diper- gunakan orang di dalam hukum pidana". la Bagaimana kini

dengan pendapat penulis-penulis yang lainnya seperti Profesor van HAMEL, Profesor SIMONS,

Profesor van BEMMELEN dan lain-lain mengenai penggunaan metode penafsiran secara

analogis di dalam hukum pidana. HAZEWINKEL-SURINGA, Inleiding, halaman 278. 85)

Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia 80 E

[06.56, 30/10/2019] Oo: Penafsiran Undang-undang Pidana "De regel nullum delictum enz.

verbiedt haar, voorzooveel zij leiden zou, niet aalleen tot uitbreiding van de rij der wettelijk

aangewezen delicten, maar tot strafbaarstelling, tot zwaardere of to lichtere straf baarstelling van

welke haneling ook, buiten de wer e6 Dari perkataan Profesor van HAMEL yang telah

mengatakan antara lain: yang artinya "Peraturan nullum delictum itu melarang dipergunakannya

analogi dalam hukum pidana, sejauh ia dapat menjurus pada penambah- an jumlah tindak-tindak

pidana seperti yang telah ditentukan secara tegas menurut undang-undang, membuat suatu

perbuatan yang oleh undang- undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai perbuatan yang

terlarang menjadi suatu perbuatan yang terlarang ataupun dapat menjurus pada lebih

diperberatnya suatu hukuman atau diperingannya hukuman tersebut di luar undang-undang",

maka kita dapat mengetahui bahwa Profesor van HAMEL juga dapat menyetujui penggunaan

analogi dalam hukum pidana Secara bersyarat, yaitu asalkan penggunaan analogi itu: tidak

menyebabkan terbentuknya delik-delik baru selain daripada yang telah ditentukan secara tegas di

dalam undang-undang; jangan sampai membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan

sebagai perbuatan yang terlarang menurut undang- undang, kemudian menjadi suatu perbuatan
yang terlarang; dan a. b. jangan sampai hukuman-hukuman yang telah diancamkan ter- hadap

berbagai delik di dalam undang-undang itu menjadi diper- berat atau diperingan. C. Sedang

Profesor SIMONS dan Profesor van BEMMELEN tetap her- anggapan bahwa metode penafsiran

undang-undang secará analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam hukum pidana Mengenai ke

nungkinan tentang dapatnya metode penafsiran undang- undang necara analogis itu

dipergunakan dalam hukum pidana, berkata- lal Profesor SIMONS antara lain: "Hei beginsel van

art. 1 Swb. verbiedt bij het strafrecht elke ana- logische toepassing welke een niet uitdrukkelijk

strafbaar gesteid feit strafbaar zou maken" yang artinya: "Asas yang terkandung dalam Pasal 1

KUHP itu melarang setiap penerapan hukum secara analogis dalam hukum pidana, ole karena

penerapan hukum seperti itu dapat membuat suatu perbuatan yang semula tidak dinyatakan

secara tegas sebagai suatu perbuatan yang van HAMEL, Inleiding, halaman 130. 86) SIMONS,

Leerboek I, halaman 98. 87) Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia

[06.57, 30/10/2019] Oo: yang artinya: "Pandangan rakyat yang sehat itu di dalam segala hal

dapat disamakan dengan asas-asas dasar yang ditentukan r program Penalsiran Undang-undang

Pidana partai Apabila di negara Jerman semasa pemerintahan ADOLF HITLER seseorang dapat

dihukum apabila perbuatannya oleh penguasa dapat dipandang sebagai suatu perbuatan yang

patut dihukum sesuai dengan yang mereka sebut "pandangan rakyat yang sehat", yarig dalam

kenyataannya merupakan pandangan dari partai vang berkuasa, maka di Soviet Rusia, seseorang

dapat dihukum apabila perbuatannya itu olen penguasa di sana dapat dipandang sebagai suatu

perbuatan yang "dapat membahayakan bagi masyarakat1, yang dalam kenyataannya, sifatnya

yang berbahaya bagi masyarakat tersebut juga ditentukan oleh penilaian penguasa sebagai alat

partai komunis yang berkuasa di sana, walaupun mereka yang dianggap sebagai dapat dihukum

itu tidak melakukan suatu pelanggaran terhadap suatu larangan atau suatu keharusan yang
terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku di negaranya masing-masing.

Apa sebabnya di negara-negara yang mempunyai suatu bentuk pemerin- tahan yang bersifat

otoriter itu terdapat suatu kecenderungan untuk meng- izinkan dipergunakannya analogi dalam

Undang-undang Hukum Pidana mereka? Menurut Profesor van BEMMELEN, adanya

kecenderungan untuk meng- izinkan dipergunakannya analogi dalam Undang-undang Hukum

Pidana di negara-negara yang mempunyai bentuk pemerintahan yang bersifat otoriter itu adalah:

"zogenaamd om de rechter souverein te laten beslissen wat recht behoort te zijn, maar in wezen

om politie, vervolginsautoriteiten en de regering gelegenbeid te geven arbitrair in te grijpen,

wanneer iets gebeurt wat de regering niet welgevallig is". yang artinya : "Seolah-olahuntuk

memberikan suatu kebebasan bagi hakim untuk menentukan apa yang sebenarnya harus

diberlakukan se- bagai hukum, akan tetapi dalam kenyataannya untuk memberikan kesem- patan

kepada polisi, para pegawai penuntut dan kepada pemerintah untuk dapat bertindak secara

sewenang-wenang, yakni apabila telah terjadi sesuatu dan kejadian tersebut tidak disukai

pemerintah". 91) HAZEWINKEL-SURINGA, Inleiding, halaman 279 van BEMMELEN On St

92)

[07.00, 30/10/2019] Oo: Penafeiran Undang undang Pidena Di antara negara-negara Barat yang

mengizinkan diperguniakannya ans logi di dalam Undang-undang Hukum Pidana mereka adalah

Dermark walaupun negara tersebut tidak dapat disebiut sebagai negara yang mem punyai bentuk

pemerintahan yang bersifat totaliter. Hal tersebut depat kita ketahui dari bunyi Pasal 1 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Denmark Sungguh pun demikian, para penulis di Derimark telah

menyatakan bahwa penggunaan analogi dalam Undang-undang Hukum Pidana mereka-itu tetap

dilakukan secara sangat terbatas KNUD WAABEN, seorang gurubesar dalam ilmu pengetahuan

hukum pidana di Kopenhagen, mengatakan: "the maxim, "nulla poena sine lege is laid down as a
fundamental principle in Danish law"93 Asas nulla poena sine lege itu di Swis tetap

dipertahankan dalam Pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swis. Di sana orang

berpendapat bahwa penafsiran secara analogis terhadap ketentuan-ketentuan pidana dalam

Undang-undang Pidana Swis itu adalah terlarang. 94 93) van Ru40i

Anda mungkin juga menyukai