Anda di halaman 1dari 7

Penafsiran dari pasal 1 ayat 1 KUHP

A. Rumusan Pasal 1 ayat 1

Pasal 1 ayat 1 KUHP itu menurut rumusannya dalam Bahasa Belanda berbunyi “Geen
feit strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling”,yang artinya:”Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali
berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu
daripada perbuatannya itu sendiri”.

Penyebutan secara lengkap dari rumusan-rumusan ketentuan-ketentuan pidana dalam


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Bahasa Belanda dianggap sangat
penting, yaitu agar semua dapat mengetahui rumusan-rumusan ketentuan-ketentuan
pidana termaksud diatas dalam bentuknya yang asli dan mengetahui terjemahan yang
dibaca benar atau keliru.

Tanpa disadari kesalahan yang tidak berarti di dalam menerjemahkan ketentuan-


ketentuan pidana dalam KUHP itu dapat menimbulkan kekeliruan bagi yang belum
benar-benar menguasai ilmu pengetahuan hukum pidana dan dapat menimbulkan
kesalahan yang fatal dalam penerapannya.

Sebagai contoh misalnya terjemahan rumusan ketentuan pidana pasal 1 ayat 1 KUHP
ke dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan Mr. E.M.L. ENGELBRECHT yang
berbunyi “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan
aturan pidana dalam undang-undang, yang terdahulu dan perbuatan itu”.

Bagi orang awam rumusan pidana menurut Mr. R.M.L. ENGELBRECHT dapat
ditafsirkan seolah seolah yang dapat dihukum itu hanyalah perbuatan-perbuatan yang
telah diatur di dalam peraturan pidana,dan hanya apabila peraturan pidana tersebut
terdapat di dalam suatu undang-undang, di mana perkataan “di dalam undang-
undang” itu sendiri dapat memberikan kesan seolah-olah yang dimaksud dengan
“wet” hanyalah wet atau undang-undang dalam arti formal saja, yang menurut UUD
kita, kewenangan untuk membentuknya berada di tangan presiden dengan persetujuan
DPR.Padahal yang dimaksud di situ sebenarnya adalah undang-undang dalam arti
material, hingga termasuk pula ke dalam pengertiannya yaitu semua peraturan
perundang-undangan yang telah dibentuk olah para pembentukundang-undang yang
lebih rendah, seperti misalnya peraturan-peraturan daerah tingkat I ataupun peraturan-
peratuan daerah tingkat II.
B. Arti Ketentuan Pidana menurut Undang-Undang

Pada rumusan ketentuan pidana dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP : “Geen feit is strafbaar
dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”.yang artinya
“Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan
pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya
itu sendiri”.

Rumusan ketentuan pidana dalam pasal 1 ayat 1 KUHP dalam bentuknya yang asli
dalam Bahasa Belanda di atas itu sebenarnya adalah salah, oleh karena seperti yang
didapat dari pembicaraa-pembicaraan selanjutnya, bahwa yang “strafbaar” atau “yang
dapat dihukum” itu bukanlah”feit”nya atau “perbuatannya”, melainkan orang yang
telah melakukan perbuatan tersebut atau pelakunya.

Kebanyakan penerjamah KUHP di tanah air telah menerjahkan perkataan “wettelijke


strafbepaling” dengan perkataan “peraturan pidana di dalam undang-undang” atau
“aturan pidana dalam undang-undang”, yang seperti telah dikatakan dikatakan diatas
bahwa terjemahan-terjemahan semacam itu kurang tepat.Perkataan “bepaling”
menurut terjemahan yang benar dikatakan adalah “ketentuan” dan “ketentuan”
tersebut sudah barang tentu dapat diatur dalam pasal-pasal KUHP.Oleh karena itulah
maka orang juga sering mengatakan misalnya: “Menurut ketentuan pidana mengenai
pencurian seperti yang telah diatur di dalam Pasal 362 KUHP”.Dengan demikian,
maka perkataan “strafbepaling” dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP itu sebaiknya
diterjemahkan dengan perkataan “ketentuan pidana”.

Kesalahan terbesar yang pernah dilakukan oleh para penerjemah ialah penerjemahan
perkataan “wettelijke” dalam perkatan “wettelijke bepaling” dengan perkataan aturan
ataupun peraturan di dalam undang-undang .Padahal perkataan “wettelijke” itu
sebenernya merupakan suatu “bijvoegelijk naamwoord”, suatu “bijwoord” atau suatu
kata keterangan mengenai keadaan.

Menurut Dr. C.B. van HAERINGEN, perkataan “wettelijk” itu berarti


“overeenkomstig de wet” atau sesuai dengan undang-undang atau menurut undang-
undang.Dan suatu ketentuan yang telah dibentuk sesuai dengan undang-undang atau
menurut undang-undang dalam Bahasa Belanda disebut wettelijke bepaling.Hingga
perkataan “wettelijke strafbepaling” di dalam rumusan ketentuan pidana Pasal 1 ayat
1 KUHP itu sebaiknya kita terjemahkan dengan perkataan “ketentuan pidana menurut
undang-undang”.

Penerjemahan perkataan “wettelijke strafbepaling” dengan perkataan “aturan atau


peraturan di dalam undang-undang”dapat menimbulkan kesan bahwa ketentuan
pidana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP itu hanyalah ketentuan-ketentuan
pidana yang telah dicantumkan dalam undang-undang saja, di mana perkataan
“undang-undang” itu sendiri hanya dipergunakan orang untuk menyebutkan undang-
undang dalam arti formal saja, padahal yang dimaksud dengan kata “wet” dalam Pasal
1 ayat 1 KUHP itu sebenernya adalah undang-undang dalam arti material yang
dibentuk oleh para pembentuk undang-undang yang lebih rendah yang telah mendapat
kewenangan berdasarkan suatu undang-undang dalam arti formal.

Tentang hal tersebut berkatalah Profesor van HATTUM antara lain: “Dalam pada itu
pengertian “wettelijk” dalam pasal ini tidak boleh diartikan secara sempit, demikian
pula perkataan “Undang-undang Pidana” seperti dapat kita jumpai di bagian atas dari
bab pertama Buk uke-1 KUHP.Yang dimaksud dengan Undang-Undang pidana itu
bukan hanya kitab undang-undang saja,melainkan juga keseluruhan peraturan-
peraturan hukum pidana Belanda, baik yang bersifat umum ataupun yang bersifat
khusus, baik yang dijumpai di dalam perundangan-undangan yang telah dibukukan
ataupun yang dijumpai di dalam perundang-undangan yang tidak dibukukan.

Menurut Profesor POMPE: “kitab undang-undang kita berbicara mengenai ketentuan


menurut undang-undang.Dengan demikian, maka pertama-tama ia menunjuk pada
undang-undang sendiri, yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR.Yang
dimaksud dengan undang-undang itu selanjutnya adalah juga peraturan-peraturan dari
penguasa rendahan, asalkan peraturan-peraturan tersebut dibentuk berdasarkan suatu
undang-undang”.

Profesor SIMONS mengatakan : “Undang-undang Pidana itu adalah keseluruhan


peraturan undang-undang yang menentukan dan mengatur pertanggungjawaban
menurut hukum pidana.Undang-undang Pidana dalam arti yang luas semacam itu,
seperti yang antara lain telah dipergunakan dalam Bab pertama Buku ke-1 dari Kitab
Undang-undang itu sendiri berikut semua keputusan-keputusan dan peraturan-
peraturan yang di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan pidana”.

Menurut Profesor van HAMEL : “Hukum pidana kerajaan Belanda yang tertulis itu
termuat di dalam “ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang” (Pasal 1),
yakni ketentuan-ketentuan pidana yang telah diberikan oleh undang-undang kerajaan
Belanda, atau yang berasal dari suatu kekuasaan lainnya yang berwenang untuk
mengeluarkannya, yang kewenangannya untuk membentuk ketentuan-ketentuan
pidana itu telah diberikan oleh UUD atau suatu undang-undang”.

Dikatakan lebih lanjut oleh Profesor van BEMMELEN, bahwa ketentuan -ketentuan
pidana yang berasal dari para pembentuk undang-undang rendahan itu harus dibuat
berdasarkan suatu ketentuan dalam undang-undang, dan undang-undang itu sendiri
harus menyatakan bahwa hukuman-hukuman yang dapat dijatuhkan kepada para
pelanggarnya itu akan diatur lebih lanjut”.
C. Asas-Asas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP
Ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP itu
mengandung tiga buah asas yang sangat penting, yaitu:
1. bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum
yang tertulis,
2. bahwa Undang-undang Pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat
diberlakukan surut dan
3. bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam
menafsirkan Undang-undang Pidana.

Setelah membicarakan masalah usaha-usaha manusia abad ke-XVIII untuk


memperoleh suatu kepastian hukum, berkatalah Profesor van HAMEL antara lain:
“Demikian itu kemudian lahirlah adagium “nullum delictum, nulla poena sine lege
praevia penali”, yang kemudian telah mendapat suatu pengakuan secara tegas dalam
berbagai perundang-undangan.Hukum di Negeri Belanda menganut ketentuan
tersebut secara tegas dalam Pasal 1 KUHP, yang dianggap berlaku untuk seluruh
hukum pidana.Dengan demikian orang mengakui bahwa hanya hukum yang tertulis
sajalah yang dapat menentukan yaitu apakah suatu norma hukum itu telah dikatikan
deengan suatu ancaman hukuman menurut hukum pidana atau tidak, tentang isi
ancaman hukuman yang telah diancamkan dan tentang syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk memberlakukan ancaman hukuman tersebut”.

Menurut Profesor NOYON-LANGEMEIJER: “Ayat pertama dari Pasal 1 KUHP itu


menekankan pada asas, bahwa tidak ada suatu perbuatan pun yang terlarang atau
diharuskan kecuali hal tersebut telah dinyatakan secara tegas dalam suatu ketentuan
undang-undang, hingga hukum yang sifatnya tidak tertulis itu haruslah
dikesampingkan, dan tidak ada satu hukuman pun yang dapat dijatuhkan terhadap
orang yang telah melanggar suatu larangan atau suatu keharusan, kecuali jika
hukuman itu telah diancamkan dalam suatu ketentuan undang-undang yang telah ada
terlebih dahulu daripada pelanggarannya itu sendiri”.

Profesor SIMONS mengatakan: “di negara kita hukum pidana itu merupakan suatu
hukum yang tertulis dan dimuat dalam undang-undang pidana seperti yang
dimaksudkan di atas”.

Profesor POMPE mengatakan : “Ayat pertama Pasal 1 KUHP itu memuat dua
peraturan.Peraturan yang pertama mengatakan, bahwa apa yang disebut tindak pidana
itu haruslah dirumuskan dalam suatu ketentuan pidana menurut undang-undang.Yang
kedua adalah bahwa ketentuan pidana tersebut haruslah telah ada terlebih dahulu
daripada perbuatannya itu sendiri.Pada mulanya kebiasaan itu juga termasuk ke dalam
pengertian ketentuan menurut undang-undang seperti yang diartikan orang dewasa
ini.Baru sejak terjadinya revolusi Prancis, perkataan ketentuan menurut undang-
undang memperoleh pengertian seperti yang diartikan oleh orang dewasa ini, yakni
dengan mengecualikan kebiasaan (atau hukum yang tidak tertulis)”.

Pada asas kedua yang mennyatakan,bahwa Undang-undang Pidana yang berlaku di


negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut,maka hal tersebut sebenarnya
merupakan sesuatu yang wajar.Oleh karena Undang-undang Pidana yang berlaku di
negara kita, baik sebagai undang-undang Pidana dalam arti formal maupun dalam arti
material,tetap merupakan suatu undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah perundang-undangan seperti itu, dapat


kita jumpai dalam Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie yang telah
diundangkan dalam Staatsblad tahun 1847 nomor 23 pada tanggal 30 April 1847,
yang dalam kepustakaan Belanda biasanya disebut dengan singkatan A.B. saja.

Algemen Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie itu artinya ketentuan-ketentuan


umum tentang Perundang-undangan untuk Indonesia.Pasal 2 dari A.B.menentukan
bahwa “De wet verbindt alleen voor het toekomende en heft gene terugwekende
kracht”.Yang artinya “Undang-undang itu hanyalah berkenaan dengan hal-hal yang
akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku secara surut.

Dari ketentuan dalam Pasal 2 A.B. di atas jelaslah kiranya bagi kita bahwa suatu
Undang-undang Pidana itu hanya dapat diberlakukan terhadap sesorang yang telah
melakukan suatu perbuatan yang terlarang oleh Undang-undang Pidana tersebut
setelah Undang-undang Pidana yang bersangkutan dinyatakan mulai diberlakukan.

Asas kedua dianggap perlu untuk dinyatakan secara tegas, padahal tidak dapat
diberlakukannya secara surut suatu Undang-undang Pidana itu telah diatur secara
tegas dalam Pasal 2 A.B.

Tentang hal tersebut berkatalah Profesor NOYON-LANGEMEIJER :


“Dicantumkannya asas tentang tidak dapat diberlakukannya secara surut suatu
undang-undang itu sebenrnya adalah kurang perlu oleh karena hal tersebut telah
tercantum dalam Pasal 4 dari undang-undang yang mengatur masalah perundang-
undangaan kerajaan, akan tetapi asasa tersebut telah dipandang perlu untuk
dicantumkan, mengingat bahwa ayat kedua dari Pasal 1 KUHP terdapat suatu
pengecualian yang memungkinkan seseorang diadili menurut Undang-undang Pidana
yang lain, daripada undang-undang Pidana yang berlaku, pada waktu orang tersebut
melakukan perbuatannya, di mana kemungkinan semcam itu telah diakui secara
umum sebagai dapat dibenarkan untuk dilakukan dalam hukum pidana”
Profesor SIMONS mengatakan : “bahawa Undang-undang Pidana itu hanya dapat
diberlakukan terhadap suatu perbuatan yang telah dilakukan setelah Undang-undang
Pidana tersebut mulai diberlakukan, dan bahwa ia telah dimaksudkan untuk
diberlakukan terhadap hal-hal yang terjadi di waktu kemudian”.

Proofesor van HATTUM antara lain : “Di sana kita dapat membaca bahwa tidak
seorang pun yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan suatu ketentuan pidana yang
telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya.Ini berarti bahwa ketentuan-
ketentuan pidana itu tidak dapat berlaku surut.Pasal 1 ayat 1 KUHP itu sekali lagi
telah menegaskan secara khusus bahwa ketentuan dalam Pasal 2 A.B. yang berlaku
bagi lain-lain bidang hukum itu juga berlaku bagi hukum pidana.Sedemikian jauh
ketentuan tersebut tampaknya memang kurang berarti, akan tetapi orang menilai
bahwa ketentuan tersebut adalah berguna, yaitu sebagai pendahuluan untuk
membicarakan pengecualian seperti yang terdapat dalam ayat 2 berikutnya”.

Pada asas ketiga yang menyatakan bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh
dipergunakan di dalam menafsirkan Undang-undang Pidana.Dilarangnya penggunaan
penafsiran secara analogis dalam hukum pidana itu adalah dengan maksud agar suatu
perbuatan yang semula bukan merupakan perbuatan yang terlarang menurut undang-
undang itu jangan sampai kemudian secara analogis dipandang suatu perbuatan yang
terlarang, hingga pelakuna menjadi dapat dihukum karena telah melakukan suatu
perbuatan yang sebenarnya tidak pernah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang
terlarang menurut undang-undang.

Menurut van HAMEL: “Peraturan tentang nullum delictum dan selanjutnya melarang
penggunaan penafsiran secara analogis, oleh karena penafsiran semacam itu bukan
hanya dapat memperluas banyaknya delik-delik yang telah ditentukan oleh undang-
undang, melainkan juga dapat menjurus pada lebih diperberatnya atau lebih
diperingannya hukuman yang dapat dijatuhkan bagi perbuatan yang mana pun yang
dilakukan tidak berdasarkan undang-undang”.

Profesor SIMONS mengatakan antara lain : “Asas yang terkandung dalam Pasal 1
KUHP itu melarang setiap penerapan hukunm secara analogis dalam hukum pidana,
oleh karena penerapan hukum semacam itu dapat membuat suatu perbuatan yang
semula tidak dinyatakan secara tegas sebagai suatu tindak pidana kemudian menjadi
suatu tindak pidana”.

Profesor POMPE mengatakan : “Orang berpendapat bahwa ketentuan ini


mengandung arti yang kedua yakni adalah terlarang untuk membuat perbuatan-
perbuatan yang tidak dinyatakan secara tegas sebagai perbuatan-perbuatan yang
terlarang menjadi tindak-tindak pidana dengan menggunakan analogi”.
Beliau berpendapat bahwa penggunaan analogi itu hanya dapat dibenarkan, yakni
apabila memang benar bahwa dalam undang-undang itu terdapat suatu kekosongan
atau suatu leemte.

Penafsiran secara analogis itu oleh para penulis pada umumnya dipandang dapat
dipergunakan dalam semua bidang hukum, kecuali dalam bidang hukum perpajakan
dan hukum pidana.Menurut pendapat mereka, larangan untuk menggunakan
penafsiran secara analogis dalam hukum pidana itu dimaksud untuk mencegah
timbulnya suatu keadaan, di mana adanya suatu ketidakpastian hukum bagi
masyarakat itu menjadi diperbesar.Masyarakat perlu mendapat kepastian hukum
tertulis dalam undang-undang yaitu tentang perbuatan yang mana adalah merupakan
perbuatan yang terlarang dan perbuatan yang mana lagi adalah merupakan perbuatan
yang tidak terlarang.

Menurut Profesor van BEMMELEN ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP itu juga merupakan suatu jaminan bagi masyarakat untuk
mencegah dilakukannya tindakan-tindakan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
oleh kepolisian.Apa yang telah dikatakan Profesor van BEMMELEN meamang benar,
yaitu untuk mencegah agar usaha penuntutan oleh penuntut umum atas diri tersangka
di depan pengadilan menjadi tidak sia-sia, oleh karena tersangka kemudian telah
dibebaskan oleh hakim karena ternyata orang tersebut tidak terbukti melakukan suatu
tindak pidana.

Anda mungkin juga menyukai