Tafsir UU
Tafsir UU
Setiap Undang-Undang yang tertulis, seperti halnya Undang-Undang Pidana memerlukan suatu
penafsiran. Perlunya suatu penafsiran semacam itu, dewasa ini tidak dapat disangkal lagi oleh
siapapun juga.
Kiranya tidak seorang pun dapat menyangkal kebenaran, bahwa suatu penafsiran yang baik dan
tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat dalam undang undang itu akan membuat undang-
undang yang bersangkutan diterapkan secara baik dan dapat memberikan kepuasan bagi para
pihak yang tersangkut didalamnya dan sebaliknya suatu penafsiran yang buruk dan tidak tepat
atas rumusan-rumusan yang terdapat didalam undang-undang itu, akan membuat undang-
undang yang bersangkutan diterapkan secara buruk dan tidak tepat, apabila penafsiran semacam
itu dilakukan secara terus menerus pada akhirnya akan membuat orang menjadi kehilangan
Perlu disadari bahwa suatu penafsiran yang baik dan tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat
didalam suatu undang-undang pidana erat hubungannnya dengan usaha manusia untuk
memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada hak-hak asasi manusia, justru karena
suatu penafsiran yang buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat didalam
undang-undang pidana tersebut akan membuat hak-hak atas kebebasan pribadi dan atas
pemilikan harta milik itu tanpa suatu dasar hukum dapat menjadi dirampas atau dibatasi secara
sewenang-wenang.
Khususnya dibidang hukum pidana, adalah menjadi kewajiban hakim untuk menerapkan
ketentuan-ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam undang-undang itu dengan setepat-
1
tepatnya, dan untuk maksud tersebut, menjadi kewajiban mereka pula untuk menafsirkan
Tujuan perbuatan menafsirkan undang-undang itu sendiri selalu untuk menentukan arti yang
sebenarnya dari wilsbesluit atau dari putusan kehendak pembentuk undang-undang, yaitu seperti
undang.
Pada dasarnya untuk menafsirkan suatu undang-undang pidana berlaku lah ketentuan ketentuan
yang sama seperti halnya ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi setiap penafsiran undang-
Tidak terdapat suatu alasan pun untuk memberlakukan metode yang lain didalam menafsirkan
undang-undang pidana, selain daripada jenis jenis metode penafsiran yang biasa diberlakukan
untuk menafsirkan lain-lain bagian hukum pada umumnya, kecuali metode-metode penafsiran
secara analogis dan secara ekstensif yang hingga kini belum terdapat suatu kesamaan pendapat
tentang boleh atau tidaknya dipergunakan untuk menafsirkan undang undang pidana.
UNDANG-UNDANG PIDANA
Pendapat Profesor SIMONS yang mengatakan bahwa suatu undang-undang itu pada dasarnya
harus ditafsirkan menurut undang0undang itu sendiri, telah dianut oleh HOGE RAAD didalam
arrest-arrest nya maisng-masing tanggal 12 November 1900, W. 7525 dan tanggal 21 Januari
1929, N.J halaman 709, W 11963 yang antara lain telah mengatakan : “penafsiran terhadap
2
ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan secara tegas itu tidaklah boleh menyimpang dari
Sebagian dari penjelasan-penjelassan tersebut secara murni bersifat memberikan penjelasan atas
beberapa perkataan yang oleh pembentuk undang-undang telah dipergunakan didalam kitab
undang-undang hukum pidana hungga keluar dari arti yang sebenarnya menurut tata bahasa.
Pemjelasan-penjelasan yang secara murni bersifat memberikan penjelasan dapat dijumpai antara
lain dalam pasal-pasal 87, 88, 88bis, 92bis, 93, 94, 97 dan 101bis, sedang penjelasan-penjelasan
yang bersifat memperluas arti perkataan-perkataan seperti dimaksud diatas dapat dijumpai
antara lain dalam Pasal pasal 86, 89, 90, 92, 96, 99 dan 100 KUHP.
Berkenaan dengan alasan yang telah dikemukakan oleh HOGE RAAD diatas, secara sinis Profesor
POMPE mengatakan bahwa apabila telepon itu dapat dianggap sebagai suatu “klanktelegraaf”
atau suatu telegrap yang dapat berbunyi, maka telegrap itu sendiri seharusnya juga dapat diangap
Profesor van HATTUM menjelaskan, bahwa dahulu kala yaitu ketika orang telah mulai sadar
bahwa hukum pidana itu tidak dapat diterapkan tanpa dilakukannya sesuatu penafsiran untuk
jangka waktu yang lama, orang masih tetap bertahan pada pendapat bahwa undang-undang
pidana itu pada dasarnya adalah bersifat strictissimae interpretations atau bersifat harus
Kelak akan anda ketahui bahwa pendapat Proffesor van HATTUM di atas itu tidak sepenuhnya
benar, oleh karena para penulis pada umunya berpendapat bahwa didalam ketentuan pidana
seperti yang telah diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP itu pada dasarnay terdapat tiga buah asas
yang mengatakan :
1. bahwa hukum pidana yang berlaku dinegara kita itu merupakan hukum yang tertulis
3
2. bahwa hukum pidana yang berlaku dinegara kita itu tidak dapat diberlakukan secara surut
dan
3. bahwa adalah terlarang untuk menggunakan penafsiran secara analogis didalam hukum
pidana.
Profesor van HATTUM berpendapat bahwa de will atau kehendak dari pembentuk
undang0undang itu merupakan suatu unsur yang sangat penting untuk menafsirkan suatu
undang-undang.
atau wetshistorische interpretatie itu, menurut pendapat Profesoe van HATTUM merupakan “een
zeer aanvaardbaarhulpmiddel voor de rechter die niet beseft dat niet zijn maar des wetgevers will
behoort te praevaleren.” Atau merupakan “suatu alat bantu yang sangat penting bagi hukum, yang
menyadari bahwa yang harus diutamakan itu sebenarnya adalah kehendak pembentuk undang-
Profesor van HATTUM berpendapat bahwa secara prinsipal orang dapat berpegang pada suatu
kenyataan yakni bahwa undang-undang pidana itu sebenarnya tidak mengenal apa yang disebut
Menurut pProfesor van HAMEL adalah menjadi kewajiban hakim untuk memberlakukan
ketentuan-ketentuan pidana sebagai yang diatur dalam kitab undang-undang ataupun didalam
Menurut profesor van HAMEL tujuan suatu penafsiran adalah selalu untuk memastikan arti
4
Menurut profesor van HAMEL yang harus dicari oleh para hakim itu adalah apa yang telah
diputuskan dan apa yang telah diucapkan sebagai keputusan oleh pembentuk undang-undang.
Metode penafsiran undang-undang yang keenam yang oleh Profesor van HAMEL disebutkan
sebgaai salah satu metode penafsiran undang0undang yang dapat digunakan oleh hakim untuk
menafsirkan kitab-kitab hukum pidana yang berlaku di negara kita adalah yang disebut
authentieke interpretatie yakni penafsiran yang dibuat oleh pembentuk undang-undang sendiri
mengenai beberapa perkataan yang dipergunakannya dalam kitab undang-undang hukum pidana.
Seperti dikatakan diatas dalam kitab undnag-undang hukum pidana kita, penafsiran semacam itu
Menurut profesor HAMEL penggunaan metode penafsiran undang-undang secara otentik jarang
dianjurkan orang untuk dipergunakan, akan tetapi metode penafsiran undang-undang tersebut
sebenarnya penting.
tidaklah terdapat suatu ketentuan yang sifatnya tertentu. Mereka berpendapat bahwa untuk
menafsirkan peraturan-peraturan dalam hukum pidana semacam itu HOGE RAAD mengehendaki
agar pada dasarnya orang mengikuti asas-asas yang oleh pembentuk undang-undang telah
diletakkkan dalam rumusan-rumusan dari pasal pasal 885, 886, 1342, dan 1343 BW yakni asas
asas yang berlaku untuk membuat suatu penafsiran terhadap perkataan-perkataan yang terdapat
dalam suatu perikatan atau suatu surat wasiat serta asas yang mengatakan bahwa apabila
perkataan-perkataan yang terdapat dalam undang-undang itu sudah cukup jelas, maka orang
tidak boleh memberikan arti secara menyimpang dari arti yang sebenarnya.
itu pada dasarnya hakim dapat mengguankan empat macam metode penafsiran undang-undang
5
yaitu metode penafsiran menurut atata bahasa atau grammaticale interpretatie, metode
Menurut profesor BEMMELEN untuk menafsirkan suatu undang-undang pidana hakim juga dapat
menggunakan apa yang disebut anticiperende interpretatite yakni suatu metode penafsiran
undang-undang yang untuk memperoleh penjelasan mengenai suatu perkataan atau suatu
ketentuan undang-undang yang dipandang kurang jelas itu hakim melihat pada rencana-rencana
Salah satu metode penafsiran undang-undang yang hingga kini masih menjadi permasalahan,
yaitu apakah mengenai metode penafsiran tersebut boleh dipergunkan dalam hukum pidana atau
tidak, adalah metode penafsiran undang undang secara analogis atau apa yang disebut
Sebagaimana yang pernah saya katakan diatas, kebanyakan penulis berpendapat bahwa
penggunaan metode penafsiran secara analogis itu adalah terlarang atau bertentangan dengan
ketentuan pidana yaitu seperti yang telah diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa alasan yang terutama tentang sebabnya metode penafsiran
undang-undang secara analogis itu dilarang untuk dipergunakan didalam hukum pidana,adalah
agar ketidak pastian hukum bagi masyarakar itu jangan sampai menjadi terlalu besar.
Pada umumnya orang menghendaki, agar dari perundang-undangan itu orang dapat mengetahui
6
perilaku-perilaku yang bagaimana lagi yang merupakan perbuatan-perbuatan atau perilaku-
Dari uraiannya dibawah ini, kita dapat mngetahui bahwa profesor van HATTUM justru dapat
secara terbatas.