Anda di halaman 1dari 7

BAB III

PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA

1. PENTINGNYA PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA

Setiap Undang-Undang yang tertulis, seperti halnya Undang-Undang Pidana memerlukan suatu

penafsiran. Perlunya suatu penafsiran semacam itu, dewasa ini tidak dapat disangkal lagi oleh

siapapun juga.

Kiranya tidak seorang pun dapat menyangkal kebenaran, bahwa suatu penafsiran yang baik dan

tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat dalam undang undang itu akan membuat undang-

undang yang bersangkutan diterapkan secara baik dan dapat memberikan kepuasan bagi para

pihak yang tersangkut didalamnya dan sebaliknya suatu penafsiran yang buruk dan tidak tepat

atas rumusan-rumusan yang terdapat didalam undang-undang itu, akan membuat undang-

undang yang bersangkutan diterapkan secara buruk dan tidak tepat, apabila penafsiran semacam

itu dilakukan secara terus menerus pada akhirnya akan membuat orang menjadi kehilangan

kepercayaan terhadap undang undang itu sendiri.

Perlu disadari bahwa suatu penafsiran yang baik dan tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat

didalam suatu undang-undang pidana erat hubungannnya dengan usaha manusia untuk

memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada hak-hak asasi manusia, justru karena

suatu penafsiran yang buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat didalam

undang-undang pidana tersebut akan membuat hak-hak atas kebebasan pribadi dan atas

pemilikan harta milik itu tanpa suatu dasar hukum dapat menjadi dirampas atau dibatasi secara

sewenang-wenang.

Khususnya dibidang hukum pidana, adalah menjadi kewajiban hakim untuk menerapkan

ketentuan-ketentuan pidana yang telah dirumuskan dalam undang-undang itu dengan setepat-
1
tepatnya, dan untuk maksud tersebut, menjadi kewajiban mereka pula untuk menafsirkan

ketentuan-ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya, yakni tentang apa yang sebenarnya

dimaksud dengan rumusan-rumusan mengenai ketentuan-ketentuan pidana tersebut.

Tujuan perbuatan menafsirkan undang-undang itu sendiri selalu untuk menentukan arti yang

sebenarnya dari wilsbesluit atau dari putusan kehendak pembentuk undang-undang, yaitu seperti

yang tertulis didalam rumusan-rumusan dari ketentuan-ketentuan pidana didalam undang-

undang.

Pada dasarnya untuk menafsirkan suatu undang-undang pidana berlaku lah ketentuan ketentuan

yang sama seperti halnya ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi setiap penafsiran undang-

undang pada umumnya.

Tidak terdapat suatu alasan pun untuk memberlakukan metode yang lain didalam menafsirkan

undang-undang pidana, selain daripada jenis jenis metode penafsiran yang biasa diberlakukan

untuk menafsirkan lain-lain bagian hukum pada umumnya, kecuali metode-metode penafsiran

secara analogis dan secara ekstensif yang hingga kini belum terdapat suatu kesamaan pendapat

tentang boleh atau tidaknya dipergunakan untuk menafsirkan undang undang pidana.

2. CARA-CARA MENAFSIRKAN UNDANG-UNDANG DAN METODE-METODE PENAFSIRAN

UNDANG-UNDANG PIDANA

Pendapat Profesor SIMONS yang mengatakan bahwa suatu undang-undang itu pada dasarnya

harus ditafsirkan menurut undang0undang itu sendiri, telah dianut oleh HOGE RAAD didalam

arrest-arrest nya maisng-masing tanggal 12 November 1900, W. 7525 dan tanggal 21 Januari

1929, N.J halaman 709, W 11963 yang antara lain telah mengatakan : “penafsiran terhadap

2
ketentuan-ketentuan yang telah dinyatakan secara tegas itu tidaklah boleh menyimpang dari

maksud yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang.”

Sebagian dari penjelasan-penjelassan tersebut secara murni bersifat memberikan penjelasan atas

beberapa perkataan yang oleh pembentuk undang-undang telah dipergunakan didalam kitab

undang-undang hukum pidana hungga keluar dari arti yang sebenarnya menurut tata bahasa.

Pemjelasan-penjelasan yang secara murni bersifat memberikan penjelasan dapat dijumpai antara

lain dalam pasal-pasal 87, 88, 88bis, 92bis, 93, 94, 97 dan 101bis, sedang penjelasan-penjelasan

yang bersifat memperluas arti perkataan-perkataan seperti dimaksud diatas dapat dijumpai

antara lain dalam Pasal pasal 86, 89, 90, 92, 96, 99 dan 100 KUHP.

Berkenaan dengan alasan yang telah dikemukakan oleh HOGE RAAD diatas, secara sinis Profesor

POMPE mengatakan bahwa apabila telepon itu dapat dianggap sebagai suatu “klanktelegraaf”

atau suatu telegrap yang dapat berbunyi, maka telegrap itu sendiri seharusnya juga dapat diangap

sebagai suatu telepon yang dapat menulis.

Profesor van HATTUM menjelaskan, bahwa dahulu kala yaitu ketika orang telah mulai sadar

bahwa hukum pidana itu tidak dapat diterapkan tanpa dilakukannya sesuatu penafsiran untuk

jangka waktu yang lama, orang masih tetap bertahan pada pendapat bahwa undang-undang

pidana itu pada dasarnya adalah bersifat strictissimae interpretations atau bersifat harus

ditafsirkan secara terbatas menurut bunyi undang-undang itu sendiri

Kelak akan anda ketahui bahwa pendapat Proffesor van HATTUM di atas itu tidak sepenuhnya

benar, oleh karena para penulis pada umunya berpendapat bahwa didalam ketentuan pidana

seperti yang telah diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP itu pada dasarnay terdapat tiga buah asas

yang mengatakan :

1. bahwa hukum pidana yang berlaku dinegara kita itu merupakan hukum yang tertulis
3
2. bahwa hukum pidana yang berlaku dinegara kita itu tidak dapat diberlakukan secara surut

dan
3. bahwa adalah terlarang untuk menggunakan penafsiran secara analogis didalam hukum

pidana.

Profesor van HATTUM berpendapat bahwa de will atau kehendak dari pembentuk

undang0undang itu merupakan suatu unsur yang sangat penting untuk menafsirkan suatu

undang-undang.

Dengan demikian maka metode penafsiran menurut sejarahpembentukan suatu undang-undang

atau wetshistorische interpretatie itu, menurut pendapat Profesoe van HATTUM merupakan “een

zeer aanvaardbaarhulpmiddel voor de rechter die niet beseft dat niet zijn maar des wetgevers will

behoort te praevaleren.” Atau merupakan “suatu alat bantu yang sangat penting bagi hukum, yang

menyadari bahwa yang harus diutamakan itu sebenarnya adalah kehendak pembentuk undang-

undang dan bukan kehendak dirinya sendiri.”

Profesor van HATTUM berpendapat bahwa secara prinsipal orang dapat berpegang pada suatu

kenyataan yakni bahwa undang-undang pidana itu sebenarnya tidak mengenal apa yang disebut

lacunes atau kekosongan-kekosongan.

Menurut pProfesor van HAMEL adalah menjadi kewajiban hakim untuk memberlakukan

ketentuan-ketentuan pidana sebagai yang diatur dalam kitab undang-undang ataupun didalam

peraturan-peraturan perundangan lainnya dan menjadi kewajibannya pula untuk menafsirkan

perkataan-perkataan yang terdapat didalamnya.

Menurut profesor van HAMEL tujuan suatu penafsiran adalah selalu untuk memastikan arti

keputusan kehendak atau wilsbesluit pembentuk undang-undang seperti yang telah

dinyatakannya dalam suatu rumusan undang-undang.

4
Menurut profesor van HAMEL yang harus dicari oleh para hakim itu adalah apa yang telah

diputuskan dan apa yang telah diucapkan sebagai keputusan oleh pembentuk undang-undang.

Metode penafsiran undang-undang yang keenam yang oleh Profesor van HAMEL disebutkan

sebgaai salah satu metode penafsiran undang0undang yang dapat digunakan oleh hakim untuk

menafsirkan kitab-kitab hukum pidana yang berlaku di negara kita adalah yang disebut

authentieke interpretatie yakni penafsiran yang dibuat oleh pembentuk undang-undang sendiri

mengenai beberapa perkataan yang dipergunakannya dalam kitab undang-undang hukum pidana.

Seperti dikatakan diatas dalam kitab undnag-undang hukum pidana kita, penafsiran semacam itu

dapat kita jumpai dalam Titel ke IX buku ke I KUHP.

Menurut profesor HAMEL penggunaan metode penafsiran undang-undang secara otentik jarang

dianjurkan orang untuk dipergunakan, akan tetapi metode penafsiran undang-undang tersebut

sebenarnya penting.

Menurut HAZEWINKEL-SURINGA untuk menafsirkan peraturan-peraturan dalam hukum pidana

tidaklah terdapat suatu ketentuan yang sifatnya tertentu. Mereka berpendapat bahwa untuk

menafsirkan peraturan-peraturan dalam hukum pidana semacam itu HOGE RAAD mengehendaki

agar pada dasarnya orang mengikuti asas-asas yang oleh pembentuk undang-undang telah

diletakkkan dalam rumusan-rumusan dari pasal pasal 885, 886, 1342, dan 1343 BW yakni asas

asas yang berlaku untuk membuat suatu penafsiran terhadap perkataan-perkataan yang terdapat

dalam suatu perikatan atau suatu surat wasiat serta asas yang mengatakan bahwa apabila

perkataan-perkataan yang terdapat dalam undang-undang itu sudah cukup jelas, maka orang

tidak boleh memberikan arti secara menyimpang dari arti yang sebenarnya.

Menurut HAZEIWNKEL-SURINGA untuk menafsirkan peraturan-peraturan dalam hukum pidana

itu pada dasarnya hakim dapat mengguankan empat macam metode penafsiran undang-undang

5
yaitu metode penafsiran menurut atata bahasa atau grammaticale interpretatie, metode

penafsiran secara sistematis, metode penafsiran menrutu sejarah pembentukan undang-undang

dan metode penafsiran secara teleologis.

Menurut profesor BEMMELEN untuk menafsirkan suatu undang-undang pidana hakim juga dapat

menggunakan apa yang disebut anticiperende interpretatite yakni suatu metode penafsiran

undang-undang yang untuk memperoleh penjelasan mengenai suatu perkataan atau suatu

ketentuan undang-undang yang dipandang kurang jelas itu hakim melihat pada rencana-rencana

undang-undang mengenai ketentuan pembentukan undang-undang yang sedang dipersiapkan

untuk dibicarakan dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan Rakyat.

3. METODE PENAFSIRAN SECARA ANALOGIS

Salah satu metode penafsiran undang-undang yang hingga kini masih menjadi permasalahan,

yaitu apakah mengenai metode penafsiran tersebut boleh dipergunkan dalam hukum pidana atau

tidak, adalah metode penafsiran undang undang secara analogis atau apa yang disebut

analogische interpretatie ataupun analogische wetstoepassing atau argumentum per analogiam.

Sebagaimana yang pernah saya katakan diatas, kebanyakan penulis berpendapat bahwa

penggunaan metode penafsiran secara analogis itu adalah terlarang atau bertentangan dengan

ketentuan pidana yaitu seperti yang telah diatur dalam pasal 1 ayat 1 KUHP.

Seperti yang telah kita ketahui, bahwa alasan yang terutama tentang sebabnya metode penafsiran

undang-undang secara analogis itu dilarang untuk dipergunakan didalam hukum pidana,adalah

agar ketidak pastian hukum bagi masyarakar itu jangan sampai menjadi terlalu besar.

Pada umumnya orang menghendaki, agar dari perundang-undangan itu orang dapat mengetahui

perbuatan perbuatan atau perilaku-perilaku yang terlarang, dan perbuatan-perbuatan atau

6
perilaku-perilaku yang bagaimana lagi yang merupakan perbuatan-perbuatan atau perilaku-

perilaku yang tidak terlarang oleh undang-undang.

Dari uraiannya dibawah ini, kita dapat mngetahui bahwa profesor van HATTUM justru dapat

membenarkan dipergunakannya penafsiran secara analogis didalam hukum pidana, walaupun

secara terbatas.

Anda mungkin juga menyukai