Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Air adalah salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan lagi dalam kehidupan
sehari-hari. Air digunakan dalam banyak hal, baik dalam kegiatan sehari-hari,
industri, peternakan maupun pertanian. Air merupakan zat yang mampu mengalir
dengan molekul-molekulnya yang bergerak dan mampu berbentuk seperti wadah
penampangnya.
Air merupakan pokok bagi kehidupan dan secara keseluruhan
mendominasi komposisi kimia dari semua organisme. Terdapatnya dimana-mana
dalam biota sebagai tumbuhan metabolisme biokimia dan mempunyai sifat kimia
serta fisika yang unik. Perairan umum merupakan bagian permukaan bumi yang
secara permanen berkala digenangi air, baik air tawar, payau, atau laut yang
dihitung dari garis pasang surut terendah ke arah daratan dan badan air tersebut
terbentuk secara alami maupun buatan.
Pada kegiatan pertanian, air merupakan hal yang sangat penting. Terutama
pemenuhan kebutuhan pada lahan persawahan yang merupakan tempat
penanaman padi yang akan menjadi kebutuhan primer umat manusia. Air yang
biasa digunakan pada lahan pertanian biasanya dialiri melalui irigasi. Namun,
pada musim kemarau air pada irigasi yang tersedia biasanya mengalami
penurunan volume dan debit.
Debit adalah sejumlah zat cair yang mengalir pada tiap satuan waktu
sepanjang bagian dari alirannya. Debit dipengaruhi oleh viskositas atau
kekentalan suatu fluida, lintasan alir suatu fluida, volume, tinggi air, penghambat
(misalnya: sampah pada irigasi atau sungai) dan lain sebagainya. Pada praktikum
ini dilakukan pengukuran debit dengan menggunakan pelampung dan bendung
untuk mengetauhui debit air pada irigasi pertanian.
Debit air adalah jumlah air yang mengalir dalam suatu penampang
tertentu (sungai/saluran/mata air). Pemilihan lokasi pengukuran debit air : di
bawah bendungan pada bagian sungai yang relatif lurus; jauh dari pertemuan

1
cabang sungai; tidak ada tumbuhan air; aliran tidak turbelen; aliran tidak
melimpah melewati tebing sungai. Pengukuran debit air sangat dipengaruhi oleh
kecepatan arus air. Kecepatan arus yang berkaitan dengan pengukuran debit air
ditentukan oleh kecepatan gradien permukaan, tingkat kekasaran, kedalaman, dan
lebar perairan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang diangkat pada laporan ini yaitu bagaimana
mengetahui debit air sungai pada bagian bawah bendung pada Bendung Tengoro,
Desa Songgorejo, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi?

1.3 Tujuan
Tujuan dilaksanakannnya praktikum ini adalah untuk mengetahui debit air
sungai pada bagian bawah bendung pada Bendung Tengoro, Desa Songgorejo,
Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi.

1.4 Manfaat
Penulisan laporan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kalangan
akademik (teoritis) untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
pengukuran debit air sungai pada bagian bawah bendung pada Bendung Tengoro,
desa Songgorejo, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi.

2
BAB 2
DASAR TEORI

2.1 Morfologi Sungai


Morfologi sungai adalah ilmu yang mempelajari tentang geometri (bentuk
dan ukuran), jenis, sifat, dan perilaku sungai dengan segala aspek dan
perubahannya dalam dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, morfologi
sungai ini akan menyangkut juga sifat dinamik sungai dan lingkungannya yang
saling terkait.
Dalam menentukan morfologi suatu sungai diperlukan data-data geometri
sungai tersebut seperti lebar sungai, kedalaman sungai, penampang sungai,
kemiringan dasar sungai ,dan koordinat lokasi sungai.
2.1.1. Tipe Morfologi Sungai Menurut Rosgen
Menurut Rosgen, (1996) ada sembilan tipe morfologi sungai sperti pada
Gambar 2.1. Berikut.

Gambar 2.1 Tipe Bentuk Morfologi (Rosgen, 1996)

a. Tipe Sungai Kecil “Aa+” Memiliki kemiringan yang sangat curam


(>10%), saluran berparit yang baik, memiliki rasio lebar/kedalam
(W/D Ratio) yang rendah dan sepenuhnya dibatasi oleh saluran kecil.
Bentuk dasar pada umumnya merupakan cekungan luncur air terjun.
Tipe sungai kecil “Aa+” banyak dijumpai pada dataran dengan

3
timbunan agregat, zona pengendapan seperti aliran sungai bersalju,
bentuk lahan yang secara struktural dipengaruhi oleh patahan, dan
zona pengendapan yang berbatasan dengan tanah residu. Arus sungai
umumnya beraliran air deras atau air terjun. Tipe sungai kecil “Aa+”
disebut sebagai sistem suplai sedimen berenergi tinggi disebabkan
lereng saluran yang curam dan potongan melintang saluran yang
sempit dan dalam.
b. Tipe Sungai Kecil”A” Tipe sungai kecil “A” hampir sama dengan tipe
sungai kecil “Aa+” yang telah dilepaskan dalam pengertian bentuk
lahan dan karakteristik saluran. Yang membedakan antara sungai kecil
“Aa+” dengan “A” adalah bahwa lereng saluran berkisar antara 4%
sampai 10% dan arus sungai kecil umunya merupakan sebuah
cekungan dengan air kantung (scour pool).
c. Tipe Sungai Kecil “B” Tipe sungai kecil “B” umumnya pada tanah
dengan kemiringan curam dan sedikit miring, dengan bentukan lahan
utama sebagai kolam belerang yang sempit. Banyak sungai kecil tipe
“B” adalah sungai hasil pengaruh perkembangan dari zona structural,
patahan, sambungan, simpanan koluvialalluvial, dan bagian lereng
lembah yang terkontrol secara struktural menjadi lembah sempit yang
membatasi pengembangan dataran banjir. Tipe sungai “B” mempunyai
saluran berparit, rasio lebar/kedalaman (W/D Ratio) (>2), sinusitis
saluran rendah dan didominasi oleh aliran deras. Morfologi bentuk
dasar yang dipengaruhi oleh runtuhan dan pembatasan lokal,, umunya
menghasilkan air kantung (scour pool) dan aliran deras, sarta tingkat
erosi pinggir sungai yang relatif rendah.
d. Tipe Sungai Kecil ‘C” Tipe sungai kecil “C” terpadat pada lembah
yang relatif sempit sampai lembah lebar yang berasal dari endapan
alluvial. Saluran tipe “C” memiliki dataran banjir yang berkembang
dengan baik, kemiringan saluran >2% dan morfologi bentuk dasar
yang mengidentifikasi konfigurasi cekunagn. Potongan dan bentuk dari
tipe sungai “C” dipengaruhi oleh rasio lebar/kedalaman yang
umumnya > 12 dan sinuosity > 1,4. Bentuk morfologi utama dari tipe

4
sungai kecil “C” adalah saluran dengan relief rendah, kemiringan
rendah, sinuosity sedang, saluran berparit rendah, rasio lebar
perkedalaman tinggi, serta dataran banjir yang berkembang dengan
baik.
e. Tipe Sungai Kecil “D” Tipe sungai kecil “D” mempunyai konfigurasi
yang unik sebagai sistem saluran yang menunjukan pola berjalin,
dengan rasio lebar perkedalaman sungai yang sangat tinggi (>40), dan
lereng saluran umumnya sama dengan lereng lembah. Tingkat erosi
pinggir sungai tinggi dan rasio lebar aliran sangat rendah dengan suplai
sedimen tidak terbatas. Bentuk saluran merupakan tipe pulau yang
tidak bervegetasi. Pola saluran berjalin dapat berkembang pada
material yang sangat kasar dan terletak pada lembah dengan lereng
yang cukup curam , sampai lembah dengan gradien rendah, rata, dan
sangat bebas yang berisi material yang lebih halus.
f. Tipe Sungai Kecil “DA” Tipe sungai “DA” atau beranastomosis adalah
suatu sistem saluran berjalin dengan gradien sungai sangat rendah dan
lebar aliran dari tiap saluran bervariasi. Tipe sungai kecil “DA”
merupakan suatu sistem sungai yang stabil dan memiliki banyak
saluran dan rasio lebar perkedalaman serta sinuosity bervariasi dari
sangat rendah sampai sangat tinggi.
g. Tipe Sungai Kecil “E” Tipe sungai kecil “E” merupakan
perkembangan dari tipe sungai kecil “F”, yaitu mulai saluran yang
lebar, berparit dan berkelok, mengikuti perkembangan dataran banjir
dan pemulihan vegetasi dari bekas saluran sungai “F”. Tipe sungai
kecil “E” agak berparit, yang menunjukan rasio lebar perkedalaman
saluran yang sangat tinggi dan menghasilkan nilai rasio lebar aliran
tertinggi dari semua tipe sungai. Tipe sungai kecil “E” adalah
cekungan konsisten yang menghasilkan jumlah cekungan tertinggi dari
setiap unit jarak saluran. Sistem sungai kecil tipe ”E” umumnya terjadi
pada lembah alluvial yang mempunyai elevasi yang rendah.
h. Tipe Sungai Kecil ”F” Tipe sungai kecil “F” adalah saluran berkelok
yang berparit klasik, mempunyai elevasi yang relatif rendah yang

5
berisi batuan yang sangat lapuk atau material yang mudah terkena
erosi. Karakteristik sungai kecil “F” adalah mempunyai rasio lebar
perkedalaman saluran yang sangat tinggi dan berbentuk dasar sebagai
cekungan sederhana.
i. Tipe Sungai Kecil “G” Tipe sungai kecil “G” adalah saluran
bertingkat, berparit, sempit dan dalam dengan sinuosity tinggi sampai
sederhana. Kemiringan saluran umumnya > 0,002 meskipun saluran
dapat mempunyai lereng yang lebih landai dimana sebagai saluran
yang di potong ke bawah. Tipe sungai “G” memiliki laju erosi tepi
yang sanggat tinggi, suplai sedimen yang tinggi, lereng saluran yang
sederhana sampai curam, rasio lebar perkedalaman saluran yang
rendah, suplai sedimen yang tinggi, beban dasar yang tinggi dan laju
sedimen terlarut yang sangat tinggi.

2.1.2. Langkah-langkah Menentukan Morfologi Sungai


Dalam menentukan morfologi suatu sungai ada beberapa skema/langkah-
langkah yang harus dilakukan, berikut adalah skema atau langkah-langkah dalam
menentukan morfologi sungai menurut teori Dave Rosgen :

Gambar 2.2 Skema Alur Penggambaran Morfologi (Rosgen,1996)

6
Sebelum menentukan morfologi sungai, ada beberapa hal yang harus
diketahui seperti karakteristik sungai tersebut dan data yang diperlukan dalam
menentukan morfologi suatu sungai adalah lebar aliran (Wbkf), kedalaman aliran
(dbkf), lebar aliran banjir (Wfpa), kedalaman maksimal aliran (dmbkf), sinuosity
(belokan sungai), slope (kemiringan aliran), dan material dasar sungai (d50).
a. Entrenchment Ratio
Entrenchment Ratio adalah rasio hubungan antara lebar aliran banjir
(Wfpa) terhadap lebar aliran sungai (Wbkf). Untuk studi akan digunakan alat
meteran untuk melakukan pengukuran lebar sungai seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Cara Pengukuran Entrenchment Ratio (Rosgen,1966)

Cara perhitungan dalam menentukan Entrenchment Ratio adalah sebagai


berikut:
Lebar aliran banjiran (Wfpa)
Entrenchment Ratio = 𝐿𝑒𝑏𝑎𝑟 𝐴𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑆𝑢𝑛𝑔𝑎𝑖 (𝑊𝑏𝑘𝑓)

Dengan :
Wbkf = Lebar aliran sungai (bankfull surface width)
Wfpa = Lebar aliran banjir (flood-prone area width)
Ada tiga macam Entrenchment Ratio pada sungai (dapat dilihat pada
Gambar 2.4), yaitu:
a) Aliran berparit besar = 1 - 1,4 (mewakili tipe sungai A, F, dan G)
b) Aliran berparit tengah = 1,4 - 2,2 (mewakili tipe sungai B)
c) Aliran berparit = >2,2 (mewakili tipe C, D, dan E)

7
Gambar 2.4 Entrenchment Ratio mewakili tipe sungai (Rosgen,1996)

b. Width Dept Ratio (W/D Ratio)


Width/Depth Ratio adalah rasio hubungan antara lebar sungai (Wbkf)
terhadap kedalaman sungai (Dbkf ). Cara perhitungan yang digunakan dalam
menentukan Width/Depth Ratio adalah sebagai berikut:
Lebar aliran sungai (Wbkf)
Width/Depth Ratio = Kedalaman Aliran Sungai (Dbkf)

Dengan :
Dbkf = Kedalaman sungai (bankfull mean depth)
Wbkf = Lebar aliran sungai (bankfull surface width)
Ada 4 kriteria Width/Depth Ratio sungai, yaitu:
1. Untuk tipe sungai A, E, dan G mewakili W/D ratio lebih kecil dari 12
2. Untuk tipe sungai B, C, dan F mewakili W/D ratio lebih besar dari 12
3. Untuk tipe sungai DA mewakili W/D rati lebih kecil dari 40
4. Untuk tipe sungai D mewakili W/D ratio lebih besar dari 40

Gambar 2.5 Width/Depth Ratio mewakili tipe sungai (Rosgen,1996)

8
c. Kemiringan Sungai (Slope)
Kemiringan alur sungai merupakan faktor utama dalam menentukan tipe
jenis sungai. Setelah tipe sungai diketahui maka dapat ditentukan morfologi suatu
sungai dan hubungannya terhadap sedimentasi, fungsi hidrolik, dan fungsi
ekologi. Pada sudut pandang morfologi klasik, bentuk alur sungai dibagi menjadi
3 bentuk yaitu :
1. Sungai berbentuk lurus yang ada pada umumnya dimiliki sungai
bertipe A.
2. Sungai berbentuk bercabang yang umumnya dimiliki sungai bertipe D
dan DA
3. Sungai berbentuk meander/berkelok yang umumnya dimiliki sungai
beritpe B, C, E, F, G.
Kemiringan alur sungai menurut Rosgen (1996), bentuk sungai secara
memanjang dapat dibedakan menjadi 7 tipe A, B, C, D, E, F, G. Tipe tersebut
terbentuk akibat pengaruh kemiringan memanjang dan penyusun dasar sungai.
Berdasarkan kemiringan dominannya, sungai dapat dibagi menjadi 7, yaitu :
1. Sungai dengan kemiringan dominan diatas 10%, umunya dimiliki oleh
sungai bertipe A+
2. Sungai dengan kemiringan dominan antara 4% sampai 10%, umumnya
dimiliki oleh sungai bertipe A
3. Sungai dengan kemiringan dominan antara 2% sampai 4% umumnya
dimiliki oleh sungai bertipe B dan G. - Sungai dengan kemiringan
dominan lebih kecil dari 4%, umunya dimiliki oleh sungai bertipe D
4. Sungai dengan kemiringan dominan lebih kecil dari 2%, umumnya
dimiliki oleh sungai bertipe C, E, dan F
5. Sungai dengan kemiringan dominan lebih kecil dari 0,5% umumnya
dimiliki oleh sungai bertipe DA
6. Agar lebih mudah dan mempunyai nilai akurat yang tinggi dalam
penelitian, maka peneliti mengambil data kemiringan sungai (slope)
menggunakan selang ukur.

9
Gambar 2.6 Pengukuran Kemiringan Dasar Sungai (Rosgen, 1996)

Berikut adalah rumus untuk menghitung kemiringan sungai (slope) :


∆ℎ
Slope = 𝑥 100 %
𝐿

Dengan :
∆h = Elevasi Titik A – Elevasi Titik B
L = Jarak dari titik A ke titik B

d. Material Dasar Sungai “D50”


Pengamatan dan pengambilan sampel dasar sungai dilakukan untuk
mengetahui ukuran dan jenis sedimen yang membentuk sungai. Untuk mengetahui
ukuran butiran pasir dan kerikil maka dilakukanlah uji distribusi butiran. Jenis
partikel penyusun material dasar sungai yaitu:
1. Patahan, jika berukuran lebih besar dari 2048 milimeter
2. Batu besar, jika berukuran antara 256 - 2048 milimeter
3. Batu, jika berukuran antara 64 – 256 milimeter
4. Kerikil, jika berukuran antara 2 – 64 milimeter
5. Pasir, jika berukuran antara 0,062 – 2 milimeter
6. Lempung lumpur, jika berukuran lebih kecil dari 0,062 milimeter

10
Gambar 2.7 Material Penyusun Dasar Sungai (Rosgen, 1996)

Untuk menentukan material dasar sungai, maka ukuran partikel yang


diambil adalah ukuran partikel yang dominan. Ukuran partikel yang dominan
merupakan jumlah terbesar dari ukuran partikel yang diamati, selain itu dapat juga
ditentukan dengan D-50. D-50 merupakan 50% dari populasi sampel yang
dikumpulkan lalu diamati sehingga mewakili diameter partikel di lokasi
pengamatan.

2.2. Hidrometri
Hidrometri adalah cabang ilmu (kegiatan) pengukuran air atau
pengumpulan data dasar bagi analisis hidrologi. Dalam pengertian sehari-hari
diartikan sebagai kegiatan untuk mengumpulkan data mengenai sungai, baik yang
menyangkut tentang ketinggian muka air maupun debit sungai serta sedimentasi
atau unsur aliran lain. (Harto, 1993 dalam Indreswari Nur Kumalawati, 2012)
Berdasarkan penjelasan tersebut maka ruang lingkup hidrometri pada penelitian
ini meliputi:

11
2.2.1. Kecepatan Aliran
Kecepatan aliran sungai merupakan komponen aliran yang sangat penting.
Hal ini disebabkan oleh pengukuran debit sungai secara langsung disuatu
penampang sungai tidak dapat dilakukan (paling tidak dengan cara konvensional).
Kecepatan aliran di ukur dalam dimensi satuan panjang setiap satuan waktu,
umumnya dinyatakan dalam m/detik. Pengukuran kecepatan menggunakan
pelampung. Pelampung digunakan sebagai alat pengukur kecepatan permukaan
aliran sungai, yang alirannya relatif dangkal. Pengukuran dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut:
a. Sebuah titik (tiang, pohon, atau tanda lainnya) ditetapkan di salah satu sisi
sungai, dan satu sisi disebrang sungai, sehingga kalua ditarik garis (semu)
antara dua titik maka garis akan tegak lurus arah aliran sungai
b. Ditetapkan jarak (L) tertentu, missal 5m, 20m, 30m, 50m (tergantung
kebutuhan dan keadaan), dari garis yang ditarik pada butir satu diatas.
Makin tinggi kecepatan aliran sebaiknnya makin besar jarak tersebut
c. Dari titik yang ditetapkan terakhir ini, dapat ditetapkan garis kedua yang
juga tegak lurus dengan arah aliran, seperti yang dilakukan penetapan garis
yang pertama
d. Dapat dengan memanfaatkan benda-benda yang dapat terapung (apabila
pelampung khusus tidak tersedia)
e. Pelampung tersebut dilemparkan beberapa meter di sebelah hulu garis
pertama, dan gerakannya diikuti. Apabila pelampung tersebut melewati
garis yang pertama (di sebelah hulu) maka tombol stopwatch ditekan, dan
pelampung terus diikuti sampai melewati garis ke dua (di sebelah hilir)
maka tombol stopwatch ditekan kembali. Dengan demikian waktu (T)
yang diperlukan oleh aliran untuk menghanyutkan pelampung dapat
diketahui.
Cara menghitung kecepatan aliran sungai:
𝐿
V= 𝑇

Dengan:
V = Kecepatan rata-rata (m/detik)
L = Jarak (m)

10
T = Waktu (detik)
Kecepatan yang diperoleh adalah kecepatan permukaan sungai, bukan
kecepatan rata-rata penampang sungai. Untuk memperoleh kecepatan rata-rata
penampang sungai, nilai tersebut harus dikalikan dengan faktor koreksi C, besar C
ini berkisar antara 0,85-0,95. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa
pengukuran dengan cara ini tidak boleh dilakukan hanya satu kali, karena
distribusi kecepatan aliran permukaan tidak merata. Oleh sebab itu dianjurkan
paling tidak dilakukan tiga kali yaitu dibagian sepertiga kiri, tengah, dan sepertiga
kanan sungai. Setelah hasil diperoleh maka hasil dirata-ratakan.

2.2.2. Debit
Menurut Asdak (1995), debit adalah laju aliran air (dalam bentuk volume
air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Debit
sungai adalah volume air yang mengalir melalui suatu penampang lintang pada
suatu titik tertentu per satuan waktu, pada umumnya dinyatakan m3/detik. Debit
sungai diperoleh setelah mengukur kecepatan air dengan alat pengukur atau
pelampung untuk mengetahui data kecepatan aliran sungai dan kemudian
mengalirkannya dengan luas melintang (luas potongan lintang sungai) pada lokasi
pengukuran kecepatan tersebut. Debit merupakan satuan besaran air yang keluar
dari Daerah Aliran Sungai (DAS).
Menurut Asdak (2002), debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk
volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai persatuan waktu.
Dalam system SI besarnya debit dinyatakan dalam sattuan meter kubik. Debit
aliran juga dapat dinyatakan dalam persamaan Q = A x V, dimana A adalah luas
penampang (m2) dan V adalah kecepatan aliran (m/ detik). Dalam system SI
besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik ( m3/dt). Sedangkan
dalam laporan-laporan teknis, debit aliran biasanya ditunjukan dalam bentuk
hidrograf aliran. Hidrograf aliran adalah suatu perilaku debit sebagai respon
adanya perubahan karakteristik biogeofisik yang berlangsung dalam suatu DAS
oleh adanya kegiatan pengelolaan DAS dan/ atau adanya perubahan (fluktuasi
musiman atau tahunan) iklim local.

11
Teknik pengukuran debit aliran langsung di lapangan pada dasarnya dapat
dilakukan melalui empat katagori ( Gordon et al., 1992):
1. Pengukuran volume air sungai.
2. Pengukuran debit dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan
luas penampang melintang sungai.
3. Pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia ( pewarna) yang
dialirkan dalam aliran sungai (substance tracing method).
4. Pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukuran debit
seperti weir ( aliran air lambat) atau flume ( aliran cepat).
Menurut Langrage (1788), dalam Rahayu (2009) menyatakan gerak fluida
adalah dengan mengikuti gerak tiap partikel didalam fluida. Hal ini sulit, karena
kita harus menyatakan koordinat X, Y, Z dari partikel fluida dalam menyatakan
ini sebagai fungsi waktu. Cara yang digunakan adalah dengan penerapan
kinematika partikel gerak atau aliranfluida.
Leonard Euler (1755), dalam Rahayu (2009) menyatakan bahwa rapat
massa dan kecepatan pada tiap titik dalam ruang berubah dengan waktu. Fluida
sebagai medan rapat massa dan medan vektor kecepatan. Jika kecepatan (v) dari
tiap partikel fluida pada satu titik tertentu adalah tetap, dikatakan bahwa aliran
tersebut bersifat lunak. Pada suatu titik tertentu tiap partikel fluida akan
mempunyai kecepatan (v) yang sama, baik besar maupun arahnya. Pada titik lain
suatu partikel mungkin sekali mempunyai kecepatan yang berbeda, akan tetapi
tiap partikel lain pada waktu sampai titik terakhir mempunyai kecepatan sama
seperti partikel aliran seperti ini terjadi pada air yang pelan. Dalam aliran tidak
lunak kecepatan (v) merupakan fungsi waktu.
Debit sungai dapat dihitung dengan cara mengukur luas penampang basah
dan kecepatan alirannya. Apabila kecepatan alirannya diukur dengan pelampung,
cara menghitung debit sungai yaitu:

2.2.3. Pengukuran Kedalaman Air Atau Tinggi Muka Air

Cara memperoleh data tinggi muka air di stasiun hidrometri, dapat


digunakan papan duga biasa (manual staff gauge) yang setiap saat dapat dibaca
dengan mudah dan teliti. Berikut ini jenis papan duga yang digunakan yaitu papan

12
duga tunggal. Papan duga ini digunakan apabila penampang sungai relatif baik
dan mudah diamati baik pada keadaan muka air rendah maupun pada saat muka
air tinggi.

2.2.4. Pengukuran Penampang Sungai


Pengukuran penampang dilakukan untuk menentukan debit aliran sungai,
karena penampang sungai tidak beraturan maka digunakan pendekatan matematis
untuk menentukan luas penampang basah aliran dengan membagi keseluruhan
penampang aliran menjadi beberapa bagian segmen berbentuk segitiga dan
trapesium, sehingga dapat diketahui luas pada masing-masing bagian segmen
tersebut. Berikut gambaran pengukuran penampang sungai dengan membagi lebar
pias menjadi beberapa bagian.

Gambar 2.8 Penampang Aliran Sungai (Rosgen, 1996)

2.3. Karakteristik Sungai

Sungai adalah salah satu sumber air yang esensial terhadap kehidupan.
Sungai memiliki fungsi sebagai sumber air baku, irigasi, pengendali banjir dan
saluran makro perkotaan. Namun yang terjadi sekarang adalah penurunan fungsi
sungai karena sungai menjadi tempat sampah besar, tidak menjadi beranda depan
tetapi halaman belakang. Ini yang menjadi akar permasalahan. Oleh karena itu
sempadan sungai bukan hanya perlu tetapi wajib ditata dan dilindungi. (Dra. Lina
Marlia, CES, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen PU, 2009)
Menurut Robbet J. Kodoatie dan Sugianto dalam bukunya berjudul Banjir,
menyebutkan bahwa sungai dapat dikelompokkan menjadi tiga daerah yang
menunjukkan sifat dan karaktersitik dari sistem sungai yang berbeda, yaitu :
a. Pada daerah hulu (pegunungan); di daerah pegunungan sungai-sungai
memiliki kemiringan yang terjal (steep slope). Kemiringan terjal ini dan
13
curah hujan yang tinggi akan menimbulkan stream power (kuat arus) besar
sehingga debit aliran sungai sungai di daerah ini menjadi cukup besar.
Periode waktu debit aliran umumnya berlangsung cepat. Pada bagian hulu
ditandai dengan adanya erosi di Daerah Pengairan Sungai (DPS) maupun
erosi akibat penggerusan dasar sungai dan longsoran tebing. Proses
sedimentasi tebing sungai disebut degradasi. Material dasar sungai dapat
berbentukboulder/batu besar, krakal, krikil dan pasir. Bentuk sungai di
daerah ini adalah braider(selempit/kepang). Alur bagian atas hulu
merupakan rangkaian jeram-jeram aliran yang deras. Penampang lintang
sungai umumnya berbentuk V.
b. Pada daerah transisi batas pegunungan bagian sampai ke daerah pantai,
kemiringan dasar sungai umumnya berkurang dari 2% karena kemiringan
memanjang dasar sungai berangsur-angsur menjadi landai (mild). Pada
daerah ini seiring dengan berkurangnya debit aliran walaupun erosi masih
terjadi namun proses sedimentasi meningkat yang menyebabkan endapan
sedimen mulai timbul, akibat pengendapan ini berpengaruh terhadap
mengecilnya kapasitas sungai (pengurangan tampang lintang sungai).
Proses degradasi (penggerusan) dan agradasi (penumpukan sedimen)
terjadi akibatnya banjir dapat terjadi dalam waktu yang relatif lama
dibandingkan dengan daerah hulu. Material dasarnya relative lebih halus
dibandingkan pada daerah pegunungan. Penampang melintang sungai
umumnya berangsur-angsur berubah dari huruf V ke huruf U.
c. Pada daerah hilir. sungai mulai batas transisi, daerah pantai, dan berakhir
di laut (mulut sungai/ estuary). Kemiringan di daerah hilir dari landai
menjadi sangat landai bahkan ada bagian-bagian sungai, terutama yang
mendekati laut kemiringan dasar sungai hampir mendekati 0 (nol).
Umumnya bentuk sungai menunjukkan pola yang berbentuk meander
sehingga akan menghambat aliran banjir. Proses agradasi (penumpukan
sedimen) lebih dominan terjadi. Material dasar sungai lebih halus
dibandingkan di daerah transisi atau daerah hulu. Apabila terjadi banjir,
periodenya lebih lama dibandingkan daerah transisi maupun daerah hulu.

14
Karateristik dan Jenis Sungai di Indonesia berdasarkan sumber air sungai,
dibedakan menjadi tiga macam :
a. Sungai Hujan, adalah sungai yang airnya berasal dari air hujan atau
sumber mata air. Contohnya adalah sungai-sungai yang ada di Pulau Jawa
dan Nusa Tenggara.
b. Sungai Campuran, adalah sungai yang airnya berasal dari pencarian es
(gletser) dari hujan, dan sumber mata air. Contoh sungai jenis ini adalah
Sungai Digul dan Sungai Mamberano di Pulau Papua (Irian Jaya).

Karateristik dan Jenis Sungai di Indonesia, berdasarkan debit airnya


(volume airnya), sungai dibedakan menjadi :

a. Sungai Permanen, adalah sungai yang debit airnya sepanjang tahun


relative tetap. Contoh Sungai Kapuas, Kahayan, Barito dan Mahakam Di
Kalimantan. Sungai Musi, Batanghari dan Indragiri di Sumatera
b. Sungai Periodik, adalah sungai yang pada musin hujan airnya banyak
sedangkan pada musim kemarau airnya kecil. Contoh sungai ini banyak
dipulau Jawa seperti Bengawan Solo, sungai Opak, Sungai Progo, Sungai
Code, dan Sungai Brantas.
c. Sungai Episodik, adalah Sungai yang pada musim kemarau airnya kering
dan pada musim hujan airnya banyak. Contoh : Sungai kalada dipulau
Sumba.
d. Sungai Ephemeral, adalah sungai yang ada airnya hanya pada saat musim
hujan, pada musim hujan airnya belum tentu banyak.

Indonesia memiliki banyak pulau, maka secara umum sungai di Indonesia


masih alami serta cenderung panjang akibat dari berbelok-beloknya aliran sungai
tersebut akibat beda ketinggian, topografi ataupun hal lainnya dan banyak yang
bermuara langsung ke lautan. Pola aliran sungai di Indonesia terdapat bermacam-
macam misalnya pola aliran granular, dentritik, trelis, merder dan lainnya.
Granular misalnya ini merupakan pola-pola aliran di daerah perbukitan, pararel
merupakan pola aliran pada bukit yang mempunyai sistem Kars (batu kapur).
Untuk merder merupakan pola alirannya yang biasanya banyak terdapat pada
sistem dataran aluvial (endapan). Aliran merder banyak ditemui di Indonesia,

15
yaitu aliran yang mengalir sepanjang tahun dan dapat ditemui di sungai-sungai
yang lebar seperti Batanghari di ambi, Kapuas, Sungai Kampar dan lain-lain.
(Kompas, Minggu, 06 Juli 2003)
Pengembangan sungai di Indonesia masih minimal untuk dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Apabila dibandingkan dengan
pengembangan irigasi, lingkup pengembangan sungai masih tertinggal jauh.
Pekerjaan yang dilakukan hanyalah terbatas pada sungai-sungai prioritas. Hal itu
dapat dilihat bahwa dari 6.000 lebih sungai dengan panjang lebih dari 40
kilometer, hanya 39 sungai saja yang masuk kategori prioritas dan ditangani
sebagian-sebagian di hulu, tengah, dan hilir. Masih banyak sungai yang bersifat
natural, sehingga dalam hal kenaturalan sungai Indonesia lebih banyak
mempunyai khazanah dibandingkan dengan negara manapun. (Kompas, Minggu,
06 Juli 2003).

2.4. Metode-Metode Dalam Pengukuran Debit

Pengukuran debit dapat dilakukan secara langsung dan secara tidak


langsung. Pengukuran debit secara langsung adalah pengukuran yang dilakukan
dengan menggunakan peralatan berupa alat pengukur arus (current meter),
pelampung, zat warna, dll. Debit hasil pengukuran dapat dihitung segera setelah
pengukuran selesai dilakukan.
Pengukuran debit secara tidak langsung adalah pengukuran debit yang
dilakukan dengan menggunakan rumus hidrolika misal rumus Manning atau
Chezy. Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur parameter hidraulis sungai
yaitu luas penampang melintang sungai, keliling basah, dan kemiringan garis
energi. Garis energi diperoleh dari bekas banjir yang teramati di tebing sungai.
Untuk pos duga air yang sudah dilengkapi dengan pelskal khusus garis energi
dapat dibaca dari pelskal khusus tersebut.
Pengambilan sampel sedimen terlarut dilakukan setelah pengukuran debit
selesai. Penentuan bagian penampang sungai tempat pengambilan sampel dapat
digunakan dengan metode Equal Discharge Increment (EDI) dan Equal Width
Increment (EWI). Metode Equal Discharge Increment dilakukan dengan cara
membagi debit pengukuran menjadi bagian yang sama sejumlah sampel yang

16
akan diambil. Metode Equal Width Increment dilakukan dengan cara membagi
lebar penampang sungai menjadi beberapa bagian yang sama tergantung dari
jumlah sampel yang akan diambil. Vertikal pengambilan sampel terletak pada
tengah – tengah dari bagian penampang tempat pengambilan sampel. Cara
pengambilan sampel dapat dilakukan dengan metode point sample dan depth
integrated. Lamanya waktu pengambilan ditentukan berdasarkan kecepatan aliran
dan diameter nozzle yang digunakan. Grafik hubungan antara lamanya
pengambilan sampel, waktu pengambilan dan diameter nozzle dapat dilihat pada
lampiran 4 volume sampel berkisar antara 300 sampai dengan 500 ml. Pada
umumnya pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 botol.

2.4.1. Pengukuran Debit Secara Langsung


1. Dengan Menggunakan Current Meter
Pengukuran debit dengan menggunakan current meter (alat ukur arus)
dilakukan dengan cara merawas, dari jembatan, dengan menggunakan perahu,
dengan menggunakan winch cable way dan dengan menggunakan cable car.
Apabila pengukuran dilakukan dengan kabel penggantung dan posisi kabel
penduga tidak tegak lurus terhadap muka air, maka kedalaman air harus dikoreksi
dengan besarnya sudut penyimpangan.

Gambar 2.9 Pengukuran Debit dengan Current Meter (Raharja, 2011)

17
Pengukuran dengan merawas dilakukan apabila kedalaman air tidak lebih
dari 1,2 m dan kecepatan air lebih kecil dari 1 m/detik, apabila kedalaman dan
kecepatan arus air lebih dari kriteria tersebut maka pengukuran dapat dilakukan
dengan menggunakan alat bantu pengukuran yang lain. Tahapan pengukuran
dengan menggunakan current meter adalah sebagai berikut:
1. Siapkan peralatan yang akan digunakan untuk pengukuran yaitu:
a) 1 (satu) set alat ukur arus atau current meter lengkap
b) 2 (dua) buah alat penduga kedalaman (stang/stick) panjang masing-
masing 1 m
c) Kartu Pengukuran
d) Alat Tulis
e) Alat pengambilan sample air
f) Botol tempat sample air
g) Peralatan penunjang lainnya seperti topi, sepatu lapangan dll.
2. Bentangkan kabel pada lokasi yang memenuhi persyaratan dan posisi
tegak lurus dengan arah arus air dan tidak melendut
3. Tentukan titik pengukuran dengan jarak antar vertikal ± 1/20 dari lebar
sungai dan jarak minimum = 0.50 m
4. Berikan tanda pada masing-masing titik
5. Baca ketinggian muka air pada pelskal
6. Tulis semua informasi/keterangan yang ada pada kartu pengukuran seperti
nama sungai dan tempat, tanggal pengukuran, nama petugas dan lain-lain.
7. Catat jumlah putaran baling – baling selama interval waktu yang telah
ditentukan (40 – 70 detik), apabila arus air lambat waktu yang digunakan
lebih lama (misal 70 detik), apabila arus air cepat waktu yang digunakan
lebih pendek (misal 40 detik)
8. Hitung kecepatan arus dari jumlah putaran yang didapat dengan
menggunakan rumus baling – balingtergantung dari alat bantu yang
digunakan (tongkat penduga dan berat bandul)
9. Hitung kecepatan (v) rata-rata pada setiap vertikal dengan rumus :
a) Apabila pengukuran dilakukan pada 1 titik (0.5 atau 0.6 d) contoh
(vertikal 2) maka v rata – rata = v pada titik tersebut

18
b) Apabila pengukuran dilakukan pada 2 titik (0.2 dan 0.8 d) contoh
(vertikal 3) maka v rata – rata = (v0.2 + v0.8) / 2
c) Apabila pengukuran dilakukan pada 3 titik (0.2 – 0.8 d dan 0.6 d)
contoh (vertikal 4) maka v rata – rata = [{(v0.2 + v0.8) / 2} + (v0.5
atau v0.6 )] / 2
10. Hitung luas sub/bagian penampang melintang
11. Hitung debit pada setiap sub/bagian penampang melintang
12. Ulangi kegiatan pada butir 10 sampai dengan butir 12 untuk seluruh sub
bagian penampang
13. Hitung debit total (Q total)
Debit total dihitung dengan cara menjumlahkan debit dari seluruh debit
pada sub/ bagian penampang
Q (total) = q1 + q2 + q3 + … + qn

14. Hitung luas seluruh penampang melintang (A)

Luas seluruh penampang melintang dihitung dengan cara menjumlahkan


seluruh luas pada sub/bagian penampang dengan :
A = a1 + a2 + a3 + … + an
15. Hitung kecepatan rata-rata seluruh penampang melintang (V)
Kecepatan rata-rata seluruh penampang melintang = debit total / luas
seluruh penampang melintang atau V = Q total / A
a. Catat waktu dan tinggi muka air pada pelskal segera setelah pengukuran
selesai pada kartu pengukuran.
b. Catat hasil perhitungan butir 14 sampai dengan 16 pada kartu pengukuran
Pengukuran debit dengan menggunakan current meter dapat dilakukan
dengan beberapa metode diantaranya:
a. Merawas
Pengukuran debit dengan cara merawas adalah petugas pengukur langsung
masuk ke dalam badan air. Petugas pengukur minimal terdiri dari 2 orang, 1 orang
petugasmengoperasikan peralatan dan 1 orang petugas mencatat data pengukuran.
Dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dilakukan pada lokasi sebatas pengukur mampu merawas
2. Posisi berdiri pengukur harus berada di hilir alat ukur arus dan tidak
19
boleh menyebabkan berubahnya garis aliran pada jalur vertikal yang
diukur
3. Letakkan tongkat penduga tegak lurus pada jarak antara 2,5 – 7,5 cm
di hilir kabel baja yang telah dibentangkan
4. Hindari berdiri dalam air apabila akan mengakibatkan penyempitan
penampang melintang
5. Apabila posisi current meter (arah aliran) tidak tegak lurus terhadap
penampang melintang sungai, maka besarnya sudut penyimpangan
perlu dicatat untuk menghitung koreksi kecepatan di vertikalnya.

Gambar 2.10 Metode Merawas (Raharja, 2011)

b. Perahu
Pengukuran debit menggunakan perahu adalah petugas pengukur
menggunakan sarana perahu sebagai alat bantu pengukuran. Petugas pengukur
minimal terdiri dari 3 orang, 1 orang petugas memegang dan menggeser perahu, 1
orang petugasmengoperasikan peralatan dan 1 orang petugas mencatat data
pengukuran. Petugas pelaksanaan pengukuran dengan menggunakan perahu perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a) Dilakukan apabila tidak memungkinkan pengukuran dengan cara
merawas
b) Alat ukur arus dilengkapi dengan alat penggulung kabel (sounding
reel) dan pemberat yang disesuaikan dengan kondisi aliran (kedalaman
dan kecepatan)
c) Posisi alat ukur harus berada di depan perahu

20
d) Kabel yang digunakan untuk mengukur lebar sungai (tagline) harus
terpisah dari kabel yang digunakan untuk menggantungkan perahu
e) Apabila lebar sungai lebih dari 100 m, atau sungai digunakan untuk
transportasi air maka kabel penggantung perahu tidak dapat digunakan.
Pengaturan posisi perahu diatur dengan menggunakan sextant meter
agar lintasan pengukuran tetap berada pada satu jalur sehingga lebar
sungai sesuai dengan lebar sungai sesungguhnya. Metode ini disebut
metode sudut (angular method). Selain metode ini dapat juga
digunakan metode perahu bergerak.

Gambar 2.11 Metode Perahu (Raharja, 2011)

c. Sisi Jembatan
Pengukuran debit dari sisi jembatan adalah pengukuran dilakukan dari sisi
jembatan bagian hilir aliran dan sebaiknya jembatan yang digunakan tidak
terdapat pilar. Peralatan yang digunakan adalah bridge crane, sounding reel,
tagline, dan 1 set current meter + pemberat yang beratnya tergantung dari
kecepatan aliran. Petugas pengukur minimal terdiri dari 3 orang, 2 orang
petugasmengoperasikan bridge crane dan peralatan pengukur dan 1 orang petugas
mencatat data pengukuran.
Pengukuran dari sisi jembatan dilakukan apabila pada lokasi pos terdapat
fasilitas jembatan, dengan kondisi kedalaman air lebih dari 2 m dan kecepatan
airnya cukup deras sehingga tidak memungkinkan dilakukan pengukuran
denganmenggunakan perahu.

21
Gambar 2.12 Metode Jembatan (Raharja, 2011)

d. Cable Car (Kereta Gantung)


Cable car adalah alat bantu pengukuran berupa kereta gantung yang
digantungkan pada kabel utama yang juga berfungsi sebagai alat ukur lebar
sungai, dilengkapi dengan tempat duduk petugas pengukur dan dudukan sounding
reel. Peralatan yang digunakan adalah current meter lengkap dengan ekor panjang
dan pemberat yang disesuaikan dengan kondisi kecepatan dan kedalaman aliran.
Petugas pengukur terdiri dari 2 orang, 1 orang petugasmengoperasikan peralatan
dan 1 orang petugas mencatat data pengukuran.

Gambar 2.13 Metode Kereta Gantung (Raharja, 2011)

e. Winch Cable Way


Pengukuran debit dengan menggunakan winch cable way dilakukan dari
pinggir sungai dengan menggunakan peralatan winch cable way. Petugas
pengukur minimal terdiri dari 2 orang, 1 orang petugasmengoperasikan peralatan

22
dan 1 orang petugas mencatat data pengukuran. Lokasi penempatan winch cable
way harus memenuhi persyaratan teknis seperti halnya tempat pengukuran dengan
metode lainnya. Persyaratan tersebut antara lain pada bagian alur sungai yang
lurus, aliran laminar dan merata, dan lain-lain.
Peralatan winch cable way yang terdiri dari :
a) Kabel pengukur lebar sungai
b) Kabel pengukur kedalaman air juga berfungsi sebagai kabel
penghantar listrik untuk menghitung jumlah putaran dan juga berfungsi
sebagai penggantung current meter + pemberat yang disesuaikan
dengan kondisi aliran (kedalaman dan kecepatan)
c) Kabel utama (main cable) yang berfungsi sebagai penggantung semua
peralatan yang digunakan. Kabel utama diikatkan pada dua buah tiang
yang dipasang pada kedua tebing sungai, dan salah satu tiangnya
digunakan untuk menempatkan pengerek (winch)
d) Pengerek (winch) yang berfungsi untuk menggulung kabel pengukur
lebar sungai dan kabel pengukur kedalaman air. Winch dapat terdiri
dari 2 (double drum winch) atau hanya terdiri dari 1 winch (single
drum winch)

Gambar 2.14 Metode Winch cable (Raharja, 2011)

f. Dengan Menggunakan Pelampung

Pengukuran debit menggunakan alat pelampung pada prinsipnya sama


dengan metode konvensional, hanya saja kecepatan aliran diukur dengan
menggunakan pelampung. Metode pengukuran debit dengan menggunakan

23
pelampung biasa digunakan pada saat banjir dimana pengukuran dengan cara
konvensional tidak mungkin dilaksanakan karena faktor peralatan dan
keselamatan tim pengukur.
1. Lokasi Pengukuran
Pengukuran debit dengan pelampung perlu memperhatikan syarat-syarat
lokasi sebagai berikut :
a) Syarat lokasi pengukuran seperti pada metode konvensional
b) Kondisi aliran sedang banjir dan tidak melimpah
c) Geometri alur dan badan sungai stabil
d) Jarak antara penampang hulu dan hilir minimal 3 kali lebar sungai
pada kondisi banjir

2. Peralatan Pengukuran
a) alat pengukur jarak
b) alat pelampung
c) alat pengukur waktu (stopwatch)
d) alat penyipat ruang (theodolith)
3. Pengukuran Penampang Melintang
Pengukuran penampang basah dapat dilakukan pada saat sungai tidak
sedang banjir yaitu sesudah atau sebelum banjir. Pengukuran paling sedikit 2
penampang melintang yaitu di hulu dan di hilir yang merupakan titik awal dan
titik akhir lintasan penampang. Luas penampang basah sungai didapat dengan cara
merata-rata luas kedua penampang basah yang telah diukur. Tahapan pengukuran
dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a) Persiapan
1. Pilih lokasi pengukuran
2. Siapkan pelampung
3. Siapkan peralatan untuk mengukur jarak antara dua penampang
4. Siapkan peralatan untuk menentukan posisi lintasan pelampung
5. Siapkan peralatan untuk memberi aba-aba
6. Siapkan alat pencatat waktu
7. Siapkan alat tulis

24
b) Pelaksanaan Pengukuran
1. Lakukan pembacaaan tinggi muka air pada pos duga air di awal
pengukuran
2. Letakan alat penyipat ruang di tengah-tengah antara penampang
hulu & hilir
3. Ukur jarak antara penampang hulu dan penampang hilir
4. Lepaskan pelampung kira-kira 10 meter di hulu penampang hulu

5. Ukur sudut azimuth posisi pelampung pada saat pelampung


melalui penampang hulu dan penampang hilir. Pada saat itu juga
catat waktunya
6. Ulangi pekerjaan (d) dan (e) sampai pelampung terakhir
7. Catat tinggi muka air pada akhir pengukuran

c) Perhitungan Debit
1. Gambar penampang basah di hulu dan hilir
2. Hitung panjang tiap lintasan pelampung
3. Hitung kecepatan aliran permukaan tiap pelampung, untuk
mendapatkan kecepatan aliran sebenarnya maka kecepatan aliran
permukaan tiap pelampung harus dikalikan dengan koreksi yang
besarnya berkisar antara 0.7 dan 0.8 tergantung dari panjang
pelampung dan proses lintasan pelampung
4. Gambar grafik kecepatan aliran
5. Tentukan bagian penampang basah
6. Tentukan nilai kecepatan aliran pada setiap batas bagian
penampang
7. Hitung kecepatan rata-rata pada setiap bagian penampang basah
8. Hitung luas bagian penampang basah
9. Hitung debit untuk setiap bagian penampang basah
10. Hitung debit total
11. Hitung tinggi muka air rata-rata

25
Gambar 2.15 Metode Pelampung (Raharja, 2011)

g. Dengan Menggunakan Larutan


Debit aliran dapat diukur dengan menggunakan larutan zat kimia. Metode
larutan ini baik digunakan pada lokasi pengukuran yang alur sungainya dangkal,
aliran relatif turbulens dan kecepatan aliran cukup tinggi. Larutan zat kimia yang
biasa digunakan adalah sodium chlorida (NaCl) atau yang biasa kita kenal dengan
garam dapur.

Gambar 2.16 Metode Larutan (Raharja, 2011)

Tahapan Pengukuran
1. Tentukan lokasi pengukuran
2. Ukur penampang basah di hulu dan di hilir dengan jarak antara dua
penampang tersebut L
3. Tuangkan larutan zat kimia secara terus menerus di hulu dari penampang
basah hulu

26
4. Ukur konsentrasi di penampang hulu dan penampang hilir hingga
puncak konsentrasi sampai normal dengan alat electric conductivity
5. Hitung waktu antara puncak konsentrasi di penampang hulu dan
penampang hilir (T)
6. Pada metode ini larutan zat kimia dapat pula diganti dengan
menggunakan zat warna. Perjalanan zat warna dari penampang hulu ke
penampang hilir dapat diamati secara manual.

h. Dengan Menggunakan ADCP (Acoustic Doppler Current Profiler)

ADCP adalah alat pengukur arus dimana kecepatan arus air dapat
terpantau dalam 3 dimensi pada suatu penampang melintang sungai dengan
menggunakan efek dari doppler pada gelombang supersonic. Alat ini dipasang
di perahu dan akan mengukur air di sungai secara cepat bila perahu melalui
suatu penampang sungai.

Gambar 2.17 Metode ADCP (Raharja, 2011)

Cara bekerjanya peralatan ADCP adalah air sungai yang mengandung


larutan sedimen, tanaman, kayu, dll. merupakan media untuk memantulkan
gelombang supersonic didalam air secara tegak lurus dalam 2 arah yang
dikirim oleh peralatan ADCP. Dengan menghitung data sistim transmisi,
distribusi kecepatan arus 3 dimensi pada tampang aliran dapat diketahui. Profil
kecepatan arus digunakan untuk mengintegrasikan arah aliran vertikal dan
susunan keepatan arus terhadap tampang horizontal sungai dan digunakan
untuk menghitung debit aliran.

27
Keuntungan dan kerugian menggunakan peralaran ADCP ini :
1. Pengukuran kecepatan dapat dilakukan secara cepat
2. Distribusi kecepatan arus secara 3 dimensi dapat teramati
3. Kondisi kecepatan aliran, dan debit dapat langsung diketahui
4. Pada kondisi dimana banyak kayu besar yang terbawa dapat
menghantam alat ADCP
5. Pengukuran sulit untuk dilakukan pada malam hari dan sungai yang
berkelok-kelok
6. Komunikasi antara perahu radio kontrol dan kontrol transmisi radio
maksimum berjarak 1000 meter.

i. Dengan Menggunakan Bangunan Hidraulik

Debit aliran dihitung dengan menggunakan rumus hidrolika dimana


koefisiennya dapat ditentukan dari hasil kalibrasi di laboratorium dengan
model tes atau dapat dilakukan pengukuran debit dengan current meter pada
berbagai elevasi muka air untuk mencari koefisiennya.

Gambar 2.18 Pengukuran Debit Menggunakan Bangunan Hidraulik (Raharja,


2011)

28
2.4.2. Pengukuran Debit Secara Tidak Langsung
1. Metode Kemiringan Luas (Slope Are Method)
Metode ini meliputi perhitungan debit banjir pada saluran terbuka atau
sungai dengan menggunakan karakteristik penampang yang representatif,
kemiringan muka air, dan koefisien kekasaran. Metode Kemiringan Luas
digunakan untuk menentukan debit secara tidak langsung dari suatu ruas saluran,
biasanya setelah banjir terjadi dengan menggunakan tanda bekas banjir dan
karakteristik fisik penampang melintang ruas saluran tersebut.
Survei lapangan dilakukan untuk menentukan jarak antara dan elevasi
tanda bekas banjir dan menetapkan penampang sungai.Data itu selanjutnya
digunakan menghitung beda tinggi muka air diantara dua penampang melintang
yang berdekatan dan untuk menetapkan sifat-sifat tertentu dari penampang
tersebut. Informasi tersebut digunakan bersama dengan nilai n Manning untuk
menghitung debit.
2. Metode Darcy-Weisbach
Metode ini meliputi perhitungan debit banjir pada saluran terbuka atau
sungai yang dasarnya berbatu-batu dengan menggunakan karakteristik penampang
yang representatif, kemiringan muka air, dan koefisien resistensi Darcy-Weisbach.
Metode Darcy-Weisbach digunakan untuk menentukan debit banjir cara tidak
langsung dari suatu ruas sungai, biasanya setelah banjir terjadi dengan
menggunakan tanda bekas banjir dan karakteristik fisik penampang melintang
ruas sungai tersebut. Persamaan Darcy-Weisbach yang digunakan untuk
menghitung debit (Q).

2.4.3. Persyaratan Lokasi Pengukuran Debit

Persyaratan lokasi pengukuran debit dengan mempertimbangkan factor-


faktor, sebagai berikut:

1. Berada tepat atau di sekitar lokasi pos duga air, dimana tidak ada
perubahan bentuk penampang atau debit yang menyolok
2. Alur sungai harus lurus sepanjang minimal 3 kali lebar sungai pada
29
saat banjir/muka air tertinggi
3. Distribusi aliran merata dan tidak ada aliran yang memutar
4. Aliran tidak terganggu sampah maupun tanaman air dan tidak
terganggu oleh adanya bangunan air lainnya (misalkan pilar jembatan),
tidak terpengaruh peninggian muka air, pasang surut dan aliran lahar
5. Penampang melintang pengukuran diupayakan tegak lurus terhadap
alur sungai
6. Kedalaman pengukuran minimal 3 sampai dengan 5 kali diameter
baling – baling alat ukur arus yang digunakan
7. Apabila dilakukan di lokasi bending, harus dilakukan di sebelah hilir
atau hulu bending pada lokasi yang tidak ada pengaruh pengempangan
(arus balik)

Berikut adalah gambar penempatan stasiun pengamat pada berbagai


macam aliran sungai :

Gambar 2.19 Penempatan Stasiun Pengamat (Raharja, 2018)

30
BAB 3
HASIL SURVEI DAN PEMBAHASAN

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum Pengukuran Debit Air dilaksanakan pada hari Senin tanggal 12
November 2018 pukul 09.00 WIB - selesai. Praktikum ini dilakukan pada
Bendung Tengoro, Desa Songgorejo, Kecamatan Songgon, Kabupaten
Banyuwangi.

Gambar 3.1 Lokasi Proyek (Google Maps, 2018)

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum pengukuran sebagai


berikut:
1) Stopwatch, digunakan untuk mengukur waktu tempuh yang diperlukan
pelampung dalam menempuh jarak dari titik pengamatan 1 ke titik
pengamatan 2.

31
Gambar 3.2 Stopwatch (Dokumentasi Praktikum, 2018)

2) Rol meter, digunakan untuk mengukur jarak antar titik pengamatan, lebar
dan kedalaman sungai.

Gambar 3.3 Rol Meter (Dokumentasi Praktikum, 2018)

3) Pelampung (bola pimpong), sebagai tanda untuk aliran air pada sungai

Gambar 3.4 Pimpong (Dokumentasi Praktikum, 2018)

4) Tali raffia, digunakan untuk tanda titik pengamatan

32
Gambar 3.5 Tali Rafia (Dokumentasi Praktikum, 2018)

5) Pasak, digunakan untuk tempat mengikat tali raffia sebagai tanda


pengamatan.

Gambar 3.6 Pasak (Dokumentasi Praktikum, 2018)

3.3. Metode Pengukuran

Pada praktikum pengukuran debit air dilakukan dengan cara pengukuran


debit menggunakan pelampung. Pelampung yang digunakan berupa bola pimpong
yang diisi dengan pasir hingga batas setengah bola pimpong agar ketika bola
dijatuhkan dalam air bola dapat mengapung.

3.3.1. Pengukuran Debit Air dengan Pelampung


Pengukuran debit dengan pelampung dilakukan dengan cara manual yaitu
dengan mengamati arah aliran sungai yang membawa pelampung dan kemudian
mencatat kecepatan aliran air dan mengukur lebar penampang sungai pada tiap
pias serta mengku kedalaman dengan membagi beberapa titik. Berikut merupakan
skema kerja pengukuran debit air dengan pelampung.

33
Mulai

Persiapan Alat dan Bahan

Survey Lokasi

Mengukur kecepatan aliran air dengan Mengukur penampang saluran setiap


menggunakan pelampung pias telah dibagi menjadi beberapa titik

Menghitung debit air pada sungai

Pembahasan

Selesai

Gambar 3.7 Skema Kerja Pengukuran Debit pada Upstream Bendung Tenggoro
(Hasil Pengolahan, 2018)

3.4. Prinsip Kerja


a. Kecepatan aliran (V) ditetapkan berdasarkan kecepatan pelampung (U).
b. Luas penampang (A) ditetapkan berdasarkan pengukuran lebar saluran
(L) dan kedalaman saluran (D).
c. Debit sungai (Q) = A x V atau A = A x k dimana k adalah konstanta.
Q=AxkxU
Dengan :
Q = debit (m3/det)
U = kecepatan pelampung (m/det)
A = luas penampang basah sungai (m2)
k = koefisien pelampung

34
Gambar 3.8 Ilustrasi Metode Kerja dengan Pelampung
(Modul Praktikum Pengukuran Debit, 2018)

35
Gambar 3.9 Ilustrasi Pengukuran Kedalaman Muka Air
(Modul Praktikum Pengukuran Debit, 2018)

36
Gambar 3.10 Ilustrasi Perhitungan Debit dengan Metode Pelampung
(Modul Praktikum Pengukuran Debit, 2018)

37
3.5 Hasil Pengamatan
3.5.1 Pengukuran Debit Air dengan Pelampung
a. Pencatatan Kecepatan Pelampung
Pengukuran kecepatan aliran pada Upstream Bendung Takir dilakukan
dengan langkah kerja sebagai berikut :
1. Mengukur panjang sungai yang akan menjadi lintasan sepanjang 50
meter. Beri jarak untuk menjatuhkan pelampung sebelum memasuki titik
pengamatan yang pertama.

Gambar 3.11 Pengukuran Panjang Lintasan Pengukuran Kecepatan


Aliran (Dokumentasi, 2018)
2. Jatuhkan pelampung pada titik pengamatan 1 dan waktu mulai
dihitung.

Gambar 3.12 Bola dijatuhkan sebelum titik pengamatan 1 pengukuran


kecepatan aliran (Dokumentasi, 2018)
3. Hentikan pencatat waktu ketika pelampung telah sampai pada titik
pengamatan 2

4. Catat waktu yang ditempuh pelampung tersebut


5. Lakukan pencobaan hingga 5 kali dengan langkah kerja yang sama
6. Hitung rata-rata waktu yang diperlukan pelampung selama
percobaan tersebut
38
7. Hitung kecepatan aliran sungai dengan membagi panjang lintasan
pelampung dengan waktu tempuh rata-rata

Berdasarkan langkah pengukuran yang telah dilakukan didapatkan data


sebagai berikut :
Di ketahui :
Panjang Pias Saluran : 50 m
Tabel 3.1 Hasil Pengukuran Waktu Tempuh Pelampung
Percobaan Waktu (detik)
I 39,90
II 45,62
III 44,26
IV 43,26
V 44,92
Rata-Rata 43,592
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2018

Kecepatan Rata-Rata, V = Panjang Pias Saluran


t
50
V= 43,592

V= 1,147 𝑚⁄𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘
Dapat diketahui dari hasil perhitungan kecepatan rata-rata dari hasil
praktikum pada Bendung Tenggoro, Desa Songgorejo, Kecamatan Songgon,
Kabupaten Banyuwangi adalah 1,147 𝑚⁄𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘

3.4.2 Pengukuran Penampang Saluran


Pengukuran penampang saluran pada upstream Bendung Tengoro
dilakukan dengan langkah kerja sebagai berikut :
1. Mengukur lebar sungai tiap pias kemudian membaginya menjadi beberapa titik
dengan :

39
Gambar 3.13 Denah Bendung Tengoro (Hasil Desain, 2018)

Pada laporan praktikum pengukuran debit sungai pada Bendung Tengoro


ini menghitung debit sungai pada bagian bangunan bawah bendung sepanjang 50
meter dengan pemasangan 2 pias setiap 25 meter.

Gambar 3.14 Denah Upstream Bendung (Hasil Desain, 2018)

Ukuran lebar air pada potongan A-A yaitu 6 m, pada potongan B-B 9 m
dan pada potongan C-C 7,5 m.

40
a) Pias A-A dibagi menjadi 5 bagian yang panjang masing-masing
200 cm

Gambar 3.15 Potongan Melintang A-A Upstream Bendung (Hasil Desain, 2018)

b) Pias B-B dibagi menjadi 6 bagian yang panjang masing-masing


150 cm

Gambar 3.16 Potongan Melintang B-B Upstream Bendung (Hasil Desain, 2018)

c) Pias C-C dibagi menjadi 5 bagian yang panjang masing-masing


125 cm

Gambar 3.17 Potongan Melintang C-C Upstream Bendung (Hasil Desain,


2018)

2. Memberi tanda menggunakan tali rafia pada tiap bagian yang telah
ditentukan
3. Mengukur kedalaman titik pembagian pada masing-masing pias dan
mencatat hasil kedalaman pada lembar kerja

41
Tabel 3. 2 Pencatatan Elevasi Dasar Sungai Dari Muka Air Sungai

Lebar h rata-rata Luas (m²)


Cross Section No h (m)
(m) (m) (L.h)

1 0,05
2 0,25
A-A 6 3 0,15 0,156 0,936
4 0,3
5 0,03
1 0,15
2 0,6
B-B 9 3 0,35 0,26 2,34
4 0,3
5 0,2
6 0,08
1 0,08
2 0,37
C-C 7,5 3 0,35 0,27 2,025
4 0,4
5 0,35
6 0,15
Sumber : Hasil Pengolahan, 2018

Dari data pencatatan elevasi dasar sungai dari muka air sungai diatas dapat
diketahui bahwa Cross Section A-A dengan lebar 6 m dan ketinggian rata-rata
0,156 m, diperoleh Luas 0,936 m². Cross Section B-B dengan lebar 9 m dan
ketinggian rata-rata 0,26 m, diperoleh Luas 2,34 m². Cross Section C-C dengan
lebar 7,5 m dan ketinggian rata-rata 0,27 m, diperoleh Luas 2,025 m².

Tabel 3.3 Tinggi Air Rata-Rata dan Luas Rata-Rata


Cross Section H rata-rata (m) Luas (m²)

A-A 0,156 0,936

B-B 0,26 2,34

C-C 0,27 2,025


Rata-rata 0,229 1,767
Sumber : Hasil Pengolahan, 2018

42
Dari data tinggi air rata-rata dan luas rata-rata diatas dapat diketahui
bahwa Hasil Ketinggian Rata-rata pada bangunan bawah bendung adalah 0,229 m
dan Luas Rata-rata pada bangunan bawah bendung adalah 1,767 m².

Koefisien Pelampung :
𝑝𝑒𝑙𝑎𝑚𝑝𝑢𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎𝑚 (𝑚)
𝛼 = 𝑘𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑎𝑖𝑟 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 (𝑚)
0,02 𝑚
= 0,229 𝑚

= 0,087
Jadi nilai α yaitu sebesar 0,087.

k = 1 − 0,116 ((√(1  α )  0,1)

= 1 − 0,116 ((√(1  0,087)  0,1)


= 0,905
Dari perbandingan pelampung yang terendam dengan kedalaman air rata-
rata dapat diperoleh α sebesar 0,087. Sehingga koefisien pelampung (K) yaitu
sebesar 0,905.

Q =AxVxk
= 1,767 m2 x 1,147 m/det x 0,905
= 1,834 m3/det
Dari hasil praktikum pengukuran debit aliran sungai Tenggoro pada
bagian bangunan bawah bendung yaitu 1,834 m3/det

Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan dengan nilai kecepatan aliran
sebesar 1,147 m/detik dan luas penampang rata-rata sebesar 1,767 m² dapat
diketahui bahwa debit air pada upstream Bendung Tenggoro adalah sebesar
1,834 m³/detik.

43
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum lapang pengukuran debit pada Bendung Takir


yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dengan kecepatan aliran sebesar
1,14 m/detik, kedalaman rata-rata sebesar 0,229 meter dengan masing-masing
pias berukuran 6 meter, 9 meter dan 7,5 meter sehingga luas penampang rata-rata
sebesar 1,767 m² maka didapatkan hasil debit sungai sebesar 1,834 m³/detik.

4.2 Saran
Pada praktikum ini dimohon untuk lebih teliti dalam melakukan
pengukuran dimensi sungai, dan waktu yang dibutuhkan bola pimpong dari pias
satu ke pias tiga.

44
DAFTAR PUSTAKA

Erwanto, Zulis. 2015. Modul Hidrolika. Banyuwangi : Politeknik Negeri


Banyuwangi
Sihotang,C.1989. Limnologi I. Fakultas Perikanan dan Ilmu KelautanUniversitas
Riau. Pekanbaru. 33 hal. (tidak diterbitkan).
Wardoyo, S. T. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan. Trainning Analisa Dampak lingkungan PDLH-UNDP-
PUSDI-PSL dan IPB Bogor 40 hal (tidak diterbitkan).

45

Anda mungkin juga menyukai