HUBUNGAN INTERNASIONAL
Januari - Juni Tahun 9 No. 1
Daftar Isi
DAFTAR ISI i
SUSUNAN REDAKSI ii
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada
Perang Russia-Georgia 2008
Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara
Tahun 2013
Alfionita Rizky P. et al ........................................ 49-66
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Rohingya Radicalization
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Aus-
tralia
Diterbitkan Oleh
Cakra Studi Global Strategis Jurnal Hubungan Internasional (JHI)
(CSGS) adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan
Departemen Hubungan oleh Cakra Studi Global Strategis
Internasional (CSGS), pusat studi yang mengkaji
Universitas Airlangga isu-isu hubungan internasional dan
bernaung dibawah Departemen
Pemimpin Redaksi Hubungan Internasional, Universitas
Citra Hennida Airlangga.
ABSTRACT
This article discusses the influence of the media and public opinion in policy
formation of the Russian military operation in the Russian-Georgian war in
2008. Policy of Russian military operations was formed through a public joint
agreement in Moscow a few days before the military operation executed in South
Ossetia. Through this level of analysis (LoA) media and public opinion the
author will analyze the Russian policy in the case of the Russian-Georgian war
in 2008 in the region of South Ossetia. Focusing on the analysis of media and
public opinion writer viewed from two perspectives, namely top down and bottom
up. Media has the role of being the voice of the people to the government so that
public opinion can be taken into consideration in the formation of foreign policy
Keywords: Russian military policy, media, public opinion, top down, bottom up
Artikel ini membahas mengenai pengaruh media dan opini publik dalam
pembentukan kebijakan operasi militer Rusia pada Perang Rusia-Georgia di tahun
2008. Kebijakan operasi militer Rusia terbentuk melalui kesepakatan bersama publik
di Moskow beberapa hari sebelum melakukan operasi militer untuk perdamaian di
Ossetia Selatan. Melalui level analisis (LoA) media dan opini publik penulis akan
menganalisis kebijakan Rusia dalam kasus Perang Rusia-Georgia pada tahun 2008
di wilayah Ossetia Selatan. Berfokus pada perangkat analisis media dan opini
publik penulis melihat dari dua sudut pandang yaitu top down dan bottom up.
Media berperan menjadi penyalur aspirasi masyarakat pada pemerintah sehingga
mampu menjadi bahan pertimbangan dalam pembentukan kebijakan luar negeri.
Kata-Kata Kunci: Kebijakan militer Rusia, media, opini publik, top down, bottom up
Selain itu, faktor sejarah juga dapat dijadikan acuan bagi Rusia
yang merupakan penerus Uni Soviet, penantang Amerika Serikat
pada era Cold War. Tetapi Georgia juga merespon secara militer
dengan meminta bantuan kepada NATO dan Uni Eropa. Hal ini
semakin memperkeruh keadaan sehingga terjadilah perang lima
hari di Tskhinval, ibukota Ossetia Selatan. Beberapa pihak melihat
apa yang sudah dilakukan oleh Rusia sendiri merupakan tindakan
yang melanggar kedaulatan negara Georgia sebagai negara yang
berdaulat. Ditambah lagi, wilayah Ossetia selatan yang ada di
Georgia memiliki faktor kedekatan historis dengan wilayah Ossetia
Utara yang ada di Rusia, sehingga terdapat pula etnis Rusia yang
diperlakukan dengan cara yang berbeda dari warga Georgia pada
umumnya. Hal ini tidak lepas dari adanya rivalitas dan konflik
antara kedua negara sejak tahun 1992 hingga 1993 serta kasus
persengketaan yang melibatkan kedua negara hingga terjadi perang
di tahun 2008.
Dalam hal ini, para elit Rusia, mempengaruhi opini publik secara
umum dengan menghadirkan solusi yang langsung diberikan
kepada masyakarat bahwa keputusan penyerangan tersebut
bertujuan untuk mereduksi diskriminasi etnis. Kemudian menolong
para korban, memfasilitasinya, serta menjaga para korban dari
area konflik, baik dari kekhawatiran kehilangan harta maupun
nyawa (Nichol 2009). Kedua, legitimasi Rusia terhadap Ossetia
dan Abkhazia dan juga dukungan terhadap keduanya menjadikan
opini publik terhadap keputusan para elit didukung oleh banyak
masyarakat (The Guardian 2008).
Gambar 1.1
Selain itu, terdapat pula sudut pandang dari media yang berbeda.
Kali ini penulis menghadirkan Aljazeera, dalam pemberitaanya
Aljazeera menganggap bahwa perang yang terjadi di Georgia adalah
kesalahan Georgia itu sendiri. Mikheil Saakashvili, Presiden Georgia
dianggap sebagai orang nomor satu yang patut bertanggung jawab
atas kejahatan kriminal yang terjadi di Georgia (Aljazeera 2008).
Pada waktu itu pula, media ini memberikan pernyataan akan sikap
yang salah dari Georgia. Kemudian, media menjadi ranah perang
tersendiri dari Perang Rusia-Georgia di tahun 2008. Keputusan
operasi militer yang dilakukan oleh Rusia merupakan kebijakan
yang mutlak dan didukung oleh masyarakat Rusia. Sedangkan
publik Georgia sedang dalam keadaan tidak stabil lantaran kondisi
internal yang tidak tentu dihadapkan oleh situasi genting akan
perang itu sendiri. Georgia seakan menanggung akibat dari apa yang
telah mereka perbuat terhadap wilayah mereka itu sendiri. Media
ini juga mencatat, bahwa Presiden Georgia, menyebut bahwa secara
militer, politik dan diplomasi tanggal 7 Agustus merupakan waktu
berperang melawan Rusia. Hal ini mendapat respon dari media yang
menyatakan bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Georgia terhadap
Rusia yang pada dasarnya ingin membantu Ossetia Selatan malah
menjadi bumerang tersendiri bagi Georgia (Aljazeera 2008).
Media memiliki publik sebagai sarana objek dan subjek dari suatu
isu yang akan dibahas. Yang perlu dicatat disini adalah media dan
opini publik tidak selamanya memberikan sumbangsih besar dalam
sebuah permusuhan kebijakan. Akan tetapi hanya memberikan
kontribusi dari sudut yang berbeda. Sama halnya dengan
penggunaan level analisis media dan opini publik. Dalam melihat
suatu fenomena, LoA ini hanya menjelaskan suatu kasus dan
mengontrol bagaimana kasus dilihat dari sudut pandang tertentu,
tidak sampai menentukan bagaimana kebijakan ditentukan oleh
decision maker (Dugis 2014).
Simpulan
Daftar Pustaka
Larson, Jared, & Juliette Tolay, 2007. Public Opinion and Media on
the War in Iraq: A Check on the Executive? . Northeastern
Political Science Association. Session Public Opinion & the
Rhetorical Arts of Leadership.
_________, 2008. Public Opinion and Media, dalam The New Foreign
Policy: Power Seeking in a Globalized Era. (2nd ed.). United
States of America : Rowman & Littlefield Publishers, Inc., pp.
111 – 28.
The Moscow Times, 2008. Moscow Claims Media War Win. [daring].
dalam http://web.archive.org/web/20120523210654/
http://www.themoscowtimes.com/news/article/moscow-
claims-media-war-win/372391.html [diakses 11 Januari
2015].
Nadia Farabi
ABSTRACT
Simpulan
Daftar Pustaka
Ashoka Changemakers, t.t. Domes For The World (DFTW) Constructs
Durable Housing and Complete Community Systems For The
World’s Needy [daring] dalam www.changemakers.com/
sustainableurbanhousing/entries/domes-for-the-world-
dftw-constructs-durable-housing [diakses pada 25 Juni 2015].
BAPPENAS, Pemerintahan Provinsi dan Daerah D.I. Yogyakarta,
Pemerintahan Provinsi dan Daerah Jawa Tengah, dan Mitra
Internasional, 2006. Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian:
Bencana Alam di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Domes for the World, 2007. Final Report: Nglepen Baru Yogyakarta
[daring] dalam www.dftw.org/indonesia/final-report-new-
ngelepen-yogyakarta-indonesia [diakses pada 18 Mei 2015].
Domes for the World, 2015. Donations [daring] dalam www.dftw.
org/donors [diakses pada 18 Mei 2015].
Domes for the World, 2015. About Us Domes For The World [daring]
dalam www.dftw.org/about-us [diakses pada 18 Mei 2015].
Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2006. Program Rehabilitasi Gempa
DI. Yogyakarta & Jawa Tengah [daring] dalam ciptakarya.pu.go.
id/dok/gempa/main.htm [diakses pada 13 Juni 2015].
Handayani, T, 2011. Model Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Di
Yogyakarta Dan Klaten.
Harvey, P, 2009. Towards Good Humanitarian Government: The Role
of the Affected State in Disaster Response. London: Overseas
Development Institute.
Hehir, A, 2010. Humanitarian Intervention: An Introduction. New
York: Palgrave Macmillan.
Ikaputra, I, 2008. People Response to Localize the Imported Culture,
Study Case: the Dome House in the Rural Culture Post Javanese
Earthquake 2006 [daring] dalam www.iitk.ac.in/nicee/wcee/
article/14_10-0019.PDF [diakses pada 29 Mei 2015].
MercyCorps, 2007. Guide to Cash-for-Work Programming.
Minear, L dan H Smith, 2007. Humanitarian Diplomacy: Practitioners
and Their Craft. New York: United Nations University Press.
ABSTRACT
The effectiveness of foreign aid from one party to another until today still raises
a lot of debate. Departing from the concept of foreign aid aimed at promoting
economic development and prosperity of developing countries, both in the long
term and short term, many studies analyzing the distribution of foreign aid to
the effectiveness and efficiency in order to achieve the intended objectives. One
foreign aid given at the time of the country experienced a natural disaster, and
it is experienced by Aceh in 2004 in the event of an earthquake and tsunami. In
connection with this, the author in this paper will analyze the effectiveness of
foreign aid that has been given to the development of Aceh after the 2004 tsunami,
in the timeframe of 2004 to 2010.
Keefektifan bantuan luar negeri dari satu pihak ke pihak lain hingga saat ini
masih memunculkan banyak perdebatan. Berangkat dari konsep bantuan luar
negeri yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan negara – negara berkembang, baik dalam jangka panjang maupun
jangka pendek, banyak kajian – kajian yang menganalisa distribusi bantuan luar
negeri terhadap efektivitas dan efisiensi guna mencapai tujuan yang dimaksud
tersebut. Salah satu pemberian bantuan luar negeri diberikan kepada Aceh di
tahun 2004 dalam peristiwa gempa bumi dan tsunami. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, dalam tulisan ini penulis akan menganalisa keefektifan bantuan
luar negeri yang telah diberikan tersebut terhadap pembangunan Aceh setelah
Tsunami tahun 2004, dalam rentang waktu dari tahun 2004 hingga 2010.
Bantuan resmi mengacu pada arus bantuan dari donor resmi yang
berasal dari negara-negara maju ke negara-negara dan wilayah
berkembang; keakuratan informasi yang tersedia terkait dengan
bantuan yang dibutuhkan, yang berarti bahwa dengan adanya
penyaluran informasi yang akurat, bantuan yang diberikan
dapat lebih tepat sasaran; kecepatan persebaran dan penyerapan
bantuan luar negeri yang diberikan; diversivitas sumber dana
bantuan, dengan semakin bervariasinya sumber dana bantuan
akan mengurangi ketergantungan terhadap satu sumber dana
sekaligus memungkinkan pergerakan dana bantuan yang lebih
fleksibel di lapisan masyarakat yang berbeda; dan yang terakhir
adalah koordinasi pihak donor dan pemerintah, adanya koordinasi
dan kerjasama yang baik akan menentukan terserapnya dan
pembangunan yang tepat sasaran (Masyrafah dan Jock 2008).
Selain itu, bantuan yang dikirim oleh beberapa negara juga tidak
sesuai dengan harapan masyarakat. Bantuan makanan berupa roti
dan kacang merah, serta bantuan untuk anak – anak dalam bentuk
mainan dan boneka dinilai tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat Aceh pada saat itu. Christoplos berargumen bahwa
hal ini dikarenakan keterbatasan informasi tentang Aceh, sehingga
banyak bantuan yang dinilai tidak tepat sasaran (Christoplos 2006).
Jika ditilik dari indikator keefektifan bantuan luar negeri dari Bank
Dunia, Indonesia telah menunjukkan keefektifannya dalam aspek
koordinasi dan diversifikasi bantuan. Adanya fakta bahwa 83
persen bantuan Aceh telah terserap dan dialokasikan untuk proyek
- proyek spesifik dari tahun 2005, serta pembentukaan koordinasi
di Aceh melalui BRR, MDF dan UNODC dalam hal rekonstruksi
Aceh merupakan bentuk keefektifan penggunaan dana bantuan
luar negeri.
Kondisi lainnya terlihat dari PDB Aceh sepuluh tahun setelah bencana
tsunami. Angka Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2010 masih Rp
38,01 triliun, lebih kecil daripada PDB di tahun sebelum tsunami,
2003, yang mencapai Rp 44,68 triliun, menunjukkan ekonomi Aceh
belum sepenuhnya pulih. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh
data dari Pemkab Aceh Besar, yang merekam perkembangan nilai
PDRB Aceh dalam lima tahun terakhir secara berturut-turut, sebesar
36.29 triliun rupiah (2005), 36.85 triliun rupiah (2006), 35.98 triliun
rupiah (2007), 34.09 triliun rupiah (2008) dan 32.18 triliun rupiah
(2009) (Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar 2012). Kuntoro
Mangkusubroto sebagai pimpinan BRR yang memimpin proyek
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh setelah Tsunami membenarkan
dampak negatif tersebut. Mangkusubroto melihat bahwa hingga
akhir tahun 2010, belum ada investasi besar di Aceh yang masuk.
Hal ini sekaligus menjadi backlash terhadap teori Big Push. Bantuan
luar negeri yang dikirim ke Aceh sebagai dorongan ekonomi
kenyataannya hanya berlaku untuk melepaskan masyarakat dari
poverty trap jangka pendek, dan dalam realitas jangka panjang
pembangunan ekonomi di Aceh masih tersendat. PDB yang lebih
rendah dari Aceh sebelum tsunami membuktikan kurang efektifnya
pengelolaan bantuan luar negeri di Aceh, sehingga muncul isu – isu
baru dalam pembangunan ekonomi Aceh setelah Tsunami. Farah
Abuzeid (2009) juga menunjukkan bahwa bantuan tidak langsung
merugikan pemerintahan dengan menginduksi peningkatan
ukuran sektor pemerintah, yang pada gilirannya meningkatkan
peluang untuk korupsi. Bantuan memang meningkatkan konsumsi
pemerintah, namun kebanyakan tidak tepat sasaran bagi mereka
yang membutuhkan karena uang yang terbuang pada White
Elephant project, pengadaan fiktif, dan pengeluaran lainnya yang
memberikan kesempatan untuk korupsi, tetapi tidak menghasilkan
dampak untuk mendorong pertumbuhan.
Simpulan
Daftar Pusaka
Abuzeid, F. 2009. Foreign Aid and the “Big Push” Theory. Stanford
Journal of International Relations. XI (1), 19.
BRR and Partners. 2005. Rebuilding a Better Aceh and Nias; Stocktaking
of the Reconstruction Effort, Jakarta/Banda Aceh.
BRR and Partners. 2006. Aceh and Nias – Two Years after the Tsunami,
Progress Report, Jakarta/Banda Aceh.
Dollar and Levine. 2005. The Forgotten States; Aid Volumes & Volatility
in Difficult Partnership Countries, Organisation for Economic Co-
operation and Development. New York: Bantam
Sogge, D. 2002. Give and Take: What’s the Matter with Foreign Aid?.
New York: Zed Books
Yesaya Anggia
Alfionita Rizky P.
Putu Eka Yanti W.
Retno Anggraeni
ABSTRACT
This paper aims to explain the asymmetric relations between China and North
Korea in nuclear issue in 2013. North Korea had been conducting the third nuclear
test in Pyongyang, North Korea in 2013 and it generated protests from many
countries. After the third nuclear test, the trade relationship from China to North
Korea slowed down. But in 2014, their trade relationship raised up and reached
stability as usual. This condition draws that even though Chinese and North Korea
relations is asymmetric, but that relations do not disturb the strategic industry and
nuclear issue in North Korea. Their relationship remains normal and the issue of
ending their bilateral relations is not true. The asymmetric relations is the reason
why their relations is occurred as usual.
Keywords : 2013’s North Korea nuclear test, asymmetric relations, North Korea,
China, trade relationship.
Tulisan ini membahas hubungan asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu
Nuklir Korea Utara Tahun 2013. Korea Utara telah melakukan uji coba nuklir
ketiga di Pyongyang, Korea Utara tahun 2013 dan tindakannya ini menimbulkan
protes dari beberapa negara. Setelah dilakukan uji coba nuklir tersebut, hubungan
perdagangan Tiongkok ke Korea Utara sempat menurun. Akan tetapi, di tahun 2014
mulai terjadi hubungan perdagangan yang stabil dan normal antara Tiongkok dan
Korea Utara. Kondisi ini menggambarkan bahwa meskipun hubungan Tiongkok
dan Korea Utara bersifat asimetris, namun hubungan tersebut tidak mengganggu
industri strategis dan isu nuklir di Korea Utara. Hubungan keduanya berjalan
normal dan isu pemutusan hubungan tidak terjadi. Adanya hubungan asimetris
ini yang menjadi alasan hubungan keduanya tetap berjalan.
Kata-Kata Kunci: Uji coba nuklir Korea Utara 2013, hubungan asimetris, Korea
Utara, Tiongkok, hubungan perdagangan.
Sementara itu, Korea Utara kembali melakukan uji coba yang ketiga
di tahun 2013. Sebelumnya, Korea Utara sendiri telah melakukan uji
coba sebanyak dua kali di tahun 2006 dan 2009. Uji coba nuklir ketiga
Korea Utara ini mengundang beragam asumsi dari media massa dan
publik yang menyatakan bahwa Tiongkok tengah berencana untuk
menghentikan hubungan perdagangannya dengan Korea Utara.
Uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara pada 12 Desember 2013
merupakan sebuah shock yang cukup memukul dunia internasional.
Tidak hanya dari kawasan, dari dunia internasional yang lebih luas,
tindakan nuklir Korea Utara mengundang berbagai kritik keras dan
peringatan. Ancaman embargo dan isolasi yang diberlakukan pada
Korea Utara akan semakin mendalam bila Korea Utara tidak benar-
benar secara penuh menghentikan uji coba nuklirnya. Melalui six
party talks sendiri hal-hal terkait ancaman dan negosiasi akan Korea
Utara telah dibicarakan. Namun demikian, terjadi sedikit kesusahan
pada masa-masa awal pembicaraan tersebut dimulai karena Korea
Utara benar-benar tidak memiliki keinginan untuk menghentikan uji
coba nuklirnya dan terus meningkatkan kemampuan highly-enriched
uranium serta kemampuan nuklir jarak jauh (Thielmann & Fellow
2013, 3-4). Meski pembicaraan ini menemui titik terang pada tahun
2005 saat Korea Utara bersedia untuk menghentikan program nuklir
dan peningkatan senjata nuklir mereka, namun pada kenyataannya,
Korea Utara masih meningkatkan kekuatan nuklir mereka dan pada
tahun 2012 mereka melakukan uji coba nuklir ketiga.
Hal ini juga disusul dengan program negara mereka yang bertujuan
untuk memperbesar kemampuan nuklir dan meningkatkan
aktivitas serta rencana program pengembangan nuklir mereka di
tahun yang sama (Nikitin 2013, 1-3). Uji coba nuklir yang dilakukan
oleh Korea Utara mengundang rasa cemas pada Korea Selatan.
Provokasi ataupun tidak, meski tidak dilakukan secara sengaja,
uji coba tersebut memaksa Amerika Serikat dan Korea Selatan
untuk menempatkan pertahanan rudal di daerah perbatasan untuk
melakukan nuclear deterrence. Thielman dan Fellow (2013, 1-2)
mengungkapkan bahwa Korea Utara terlalu sering mengabaikan
peraturan yang diberikan, seperti Resolusi 1718 yang diberlakukan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Korea Utara untuk
meninggalkan seluruh program nuklir mereka pada tahun 2006.
Meski komitmen yang diberikan oleh Korea Utara pada tahun
2007 mengatakan bahwa mereka bersedia untuk menghentikan
dan memberikan informasi mengenai kekuatan nuklir mereka,
namun pada kenyataannya, mereka tidak meninggalkan program
tersebut dan justru melakukan uji coba nuklir pada tahun 2012
yang dikhawatirkan memiliki kekuatan daya ledak lebih besar
dibandingkan uji coba yang sebelumnya.
Protes yang selalu ditujukan pada Korea Utara ini di satu sisi
membuat posisi Tiongkok menjadi dilematis. Tiongkok di satu sisi
tengah menggalang kepercayaan internasional (Holland 2012, 7).
Uji coba nuklir Korea Utara jika diabaikan akan semakin membuat
Tiongkok tidak dipercaya di mata internasional. Namun di sisi
lain, Tiongkok juga harus menjaga hubungan bilateralnya dengan
menyelamatkan Korea Utara dari ancaman pemberian sanksi atas
uji coba nuklirnya.
Akibat dari uji coba nuklir tahun 2013 yang dilakukan oleh Korea
Utara, Tiongkok mulai mengurangi pasokan minyak yang diekspor
ke Korea Utara. Menurut situs berita Korea KBS News (2014), tercatat
volume perdagangan pada tahun 2014 antara kedua negara tersebut
mulai berkurang sebesar 2,83% dibandingkan tahun 2013 saat uji
coba nuklir dilakukan. Hal ini dilakukan oleh Tiongkok sebagai
bentuk tekanan bagi Korea Utara yang terus mengancam uji coba
nuklir. Penurunan tersebut juga mengindikasikan pada publik
bahwa hubungan perdagangan antara Korea Utara dan Tiongkok
mulai terjalin kurang baik.
Tahun 2015 ini Tiongkok membuka jalur kereta cepat menuju Korea
Utara. Pembangunan jalur ini telah berjalan sejak 2010, tiga tahun
sebelum Korea Utara melakukan uji coba nuklirnya yang ketiga.
Hal ini dilakukan Tiongkok untuk dapat meningkatkan hubungan
perdagangan dan ekonominya dengan Korea Utara meskipun
Tiongkok menentang program nuklir yang dilakukan oleh Korea
Utara (Deutsche Welle 2014). Adanya jalur kereta ini membuat
perjalanan yang ditempuh dari Shenyang ke Dandong, Korea
Utara menjadi lebih cepat, karena seperti yang telah diketahui,
Dandong merupakan kawasan zona ekonomi Korea Utara.
Meskipun perdagangan sempat turun akibat adanya uji coba nuklir
namun masalah ekpor batu bara tetap berjalan di tahun 2013, hal
ini membuktikan bahwa hubungan keduanya masih baik (Snyder
2014). Meningkatnya permintaan energi yang ada di Tiongkok
telah menjadi peluang ekonomi bagi Korea Utara untuk melakukan
ekspor.
Bagi Korea Utara, Tiongkok tetap menjadi partner dan aliansi utama
yang dimiliki. Dengan adanya tingkat dependensi yang tinggi
pada Tiongkok, membuat Korea Utara tidak akan mau melepas
hubungannya dengan Tiongkok. Perjanjian Sino-North Korean
Mutual Aid and Cooperation Friendship Treaty pada tahun 1961,
nyatanya telah diperpanjang pada tahun 2001 dan berlaku hingga
tahun 2021. Perjanjian tersebut menjanjikan bantuan militer bagi
Korea Utara oleh Tiongkok. Selain itu terkait dengan kepentingan
ekonomi Korea Utara terhadap Tiongkok, yang mana tercatat bahwa
Tiongkok merupakan partner dagang terbesar Korea Utara dengan
57% impor dan 42% ekspor dengan Tiongkok (Volodzko 2015). Selain
itu Korea Utara juga mendapatkan sebagian besar supply minyak
dan gas dari Tiongkok. Bantuan luar negeri dan investasi terhadap
Korea Utara juga paling banyak mengalir dari Tiongkok. Sehingga
kecil kemungkinan bahwa Korea Utara akan menjauhi Tiongkok,
meskipun Tiongkok dalam beberapa hal khususnya dalam masalah
nuklir, tidak mendukung Korea Utara. Tiongkok dalam berbagai hal
memiliki bargaining power yang lebih tinggi dari Korea Utara, hal ini
kemudian menimbulkan adanya hubungan asimetris antara Korea
Utara dan Tiongkok. Hubungan asimetris inilah yang membuat
Korea Utara dan Tiongkok akan tetap memiliki kedekatan, terlepas
dari program nuklir Korea Utara.
Simpulan
Daftar Pustaka
Deutsche Welle, 2014. 2015 Cina Buka Jalur Kereta Cepat ke Korut
[daring]. dalam : http://www.dw.de/2015-cina-buka-jalur-
kereta-cepat-ke-korut/a-17338198 [diakses 16 Mei 2015]
Ho Lee, Yeon, & Kang, Jeong Shim, 2011. “The Changjitu Project
and China-North Korea Economic Cooperation: Beijing’s and
Pyongyang’s Intentions”. South Korea: BISA Annual Conference
April 2011, Session 1.8.
Kim, Samuel S., 2003. “China and North Korea in a Changing World”,
Uneasy Allies : Fifty Years of China-North Korea Relations, Asia
Program Special Report No. 115.
Sanger, David E., & Choe Sang-Hun, 2013. North Korea Confirms
It Conducted 3rd Nuclear Test [daring]. dalam : http://www.
nytimes.com/2013/02/12/world/asia/north-korea-nuclear-
test.html [diakses 17 Mei 2015].
Thielmann, Greg. & Senior Fellow, 2013. “Sorting Out the Nuclear
and Missile Threats From North Korea”, Threat Assessment
Brief: Analysis on Effective Policy Responses to Weapons-Related
Security Threats, pp. 1-9.
Xu, Beina, & Jayshree Bajoria, 2014. The China-North Korea Relationship
[daring]. dalam : http://www.cfr.org/china/china-north-
korea-relationship/p11097 [diakses 17 Mei 2015]
Yonhap News, 2015. China Sold No Crude Oil to North Korea in 2014
[daring]. dalam : http://english.yonhapnews.co.kr/full/2
015/01/29/29/1200000000AEN20150129003300315F.html
[diakses 8 Juni 2015]
ABSTRACT
Sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling menderita di dunia, etnis
Rohingya mengalami perlakuan diskriminasi dari pemerintah Myanmar dan juga
mengalami konflik kekerasan dengan penduduk Rakhine yang beragama Buddha.
Negara-negara ASEAN menerima arus pengungsi Rohingya yang konstan
sebagai tantangan utama yang harus dihadapi, tapi ancaman tersembunyi juga
muncul dimana Rohingya dapat teradikalisasi oleh kelompok ekstremis Islam
dan juga memengaruhi kelompok-kelompok radikal di berbagai negara ASEAN
untuk bertindak. Berdasarkan permasalahan tersebut, artikel ini bertujuan untuk
mencari tahu sumber masalah yang menjadi dasar konflik Rohingya dengan
menggunakan teori Protracted Social Conflict oleh Edward Azar, kemudian
menjelaskan kemungkinan terjadinya radikalisasi dan dampaknya terhadap
keamanan regional, kemudian pada akhirnya diharapkan ASEAN mendapatkan
solusi untuk digunakan khususnya disaat akhir 2015 dimana ASEAN harus
mengimplementasikan tiga pilar yang menjadi dasar dari ASEAN Community.
As one of the most persecuted minority group in the world, the Rohingyas faced
discriminatory acts from the government of Myanmar and experienced violent
clashes with Rakhine Buddhists. Constant flows of Rohingyas refugees to ASEAN
countries are the challenge that must be faced now, but underlying threats of
radicalization also appears as Rohingyas are influenced by Islamic extremism
and at the same time influencing radical groups throughout ASEAN countries
to act. This article aims to explore the root causes of Rohingyas conflict with the
Protracted Social Conflict theory by Edward Azar, explains possible radicalization
and its impact to regional security, while coming up with solutions that ASEAN
could utilize especially nearing the end of 2015 where ASEAN must implement all
its three pillars for the ASEAN Community.
The communal content consider the identity group as the most useful
unit of analysis. The identity group is defined through their race,
religion, culture, ethnics and other related aspects. Furthermore,
the relations between the identity group and the state involved
are observed because it created social fragmentations where most
case a dominant ethnic group that ruled in the form of government
discriminate minority groups.
Such is the case of Rohingyas where first we can identify two main
actors of Rohingyas and Rakhine Buddhists.
The two ethnic groups that reside in Rakhine state have been in a
long dispute about their history and identity. The Rohingyas claim
they are descendant of migrating Muslims from Arabs long since
the 7th century and they have vocally refused to be considered
Bengali descendants. They also claim that Arakan was once a
Muslim kingdom thus they have legitimate status as a citizen
of Myanmar by birth-right. On the other hand, the Rakhines are
considered by Myanmar government as one of the ethnic majority.
They share similar Buddhist culture with ethnics of Bamar, which
the government once enforced it to be the only ethnic group that
is allowed in the country in 1962 (Roberts 2010). The Rakhines
considered themselves as proud Buddhist protectors that stopped
Islam’s expansion to South Asia. Combined with current political
tension, the Rakhines furthermore embraced the role as protectors
from fearof Bangladesh’s territorial advancement to Rakhine state
with Islamization and Rohingyas.
The second factor explains that basic human needs are non-
negotiable and conflicts that arise from deprivations of such will
be violent. Basic needs are identifed as security, developmental,
political access, and identity needs that can be related to what the
Rohingyas are experiencing in Myanmar. The government is denying
the existence of Rohingyas as part of their ethinicity where in 1982,
they established the Burmese Citizenship Act that classified people
inhabiting the country. Rohingyas are not included in the ethnic
list and they are also unable to prove their liniage and historical
presence in Myanmar due to their disputed history with Rakhines as
mentioned before.The only identification that Rohingya people have
right now is temporary “white cards” that the government gave in
the 1990s to the muslim population.
This leads to the third factor, where Azar mentioned that government
and states play an important role in the satisfaction or frustration
of its identity group’s needs (Ramsbotham 2011). As mentioned
previously Myanmar’s government have issued a discriminatory
policy that denounced Rohingyas identity and severely restricts
their access to basic human needs. Correspondingly, Azar argued
developing countries with colonial rule legacy tends to have a PSC
due to rigid political authority and weak participatory capacity by
its people. The relations between Rohingyas and the government
have long been in a fragile state since British colonial rules where
Islamic-descendants from neighboring Bengal was allowed to enter
Myanmar because it was under the same administration. The event
fuelled resentment by Buddhist counterparts in the country that
erupted when Japanese forces invaded and fought against Muslim
locals backed by British authority in World War II. The resentment
continued under the leadership of General Ne Win in 1978 where
he dissolved Rohingya political organizations and conducted the
Dragon King Operation. A massive attempt to crackdown Rohingyas
under the guise of documenting citizens and to suppress the Muslim
insurgency in the country that resulted in 200.000 people fleeing
to Bangladesh. Even until now the government backed NaSaKa
organization that is comprised of military, police, immigration,
continue to enforce discriminatory acts against the Rohingyas
(Human Rights Watch 2000).
Rather than addressing the issue of refugess flows with quick and
short-terms solutions, ASEAN members should unite together to
disccuss Rohingyas crisis comprehensively. Especially nearing the
end of 2015 where ASEAN must commit to the ASEAN Community
goals they have made. By addressing this issue itself ASEAN
can prove its commitment in two of its pillar, the Socio-cultural
and Political-security blueprints. One of the primary goals in the
socio-cultural pillar is “Human Development” where the focus of
advancing and priotizing education is included. In it one of the
actions that ASEAN want to undertake is to “Achieve universal access
to primary education across ASEAN by 2015 through advocating for equal
opportunity in education regardless of social class, geography ethnicity,
background or physical disabilities (ASCC Blueprint 2009).
The solution for this issue must focus on how to form an identity for
Rohingyas that can be tolerated with their fellow Buddhist citizens
and also be recognized officially by the government as well. The
International Crisis Group (ICG) proposed Rohingyas to change the
term of identification and come up with an alternate identity marker
that can be proposed to the government, but ICG and Rohingyas
leaders are pessimistic if the proposal will be accepted.Even if
the Rohingyas were granted naturalized citizenship under the
Burmese Citizenship Act, they fear the government might revoke
their citizenship at anytime. ASEAN can play a part in building
awareness and a sense of one identity, that is the identity of ASEAN
(International Crisis Group 2014).
The AICHR, since its birth in 2009 had not made any significant
contribution for the Rohingyas issue. Due to the non-interference
policy that ASEAN mandates, providing solutions to the third PSC
factor of governmental roles will be difficult. To directly pressure
Myanmar’s role in the Rohingyas issue will require ASEAN to
re-define the non-interference policy that ASEAN members use
to avoid human rights issue in their country. On 2014, Myanmar
was elected as the Chairman of ASEAN and stated the Rohingya
issue was a “...domestic Myanmar affair and that Myanmar was fully
capable of handling the situation by itself” (The New York Times
2015). Other ASEAN members then responded the statement by
respecting Myanmar’s decision to handle the issue with the UN and
other human rights organization and will stand ready to play a role
whenever Myanmar’s needed ASEAN to do so (ASEAN Secretariat
2015).
So far the AICHR have not touched the issue of Rohingya and instead
focused on environmental rights issue by conducting seminars in
Myanmar.Instead of confidence-building measures between AICHR
and Myanmar that takes unnecessary time, AICHR should become
the main IGO in coordinating efforts of providing education and
employment opportunities to Rohingyas in the Rakhine state.
Conclusion
Utilizing both the AICHR and AHA Centre, ASEAN can also uphold
its political-security community values of promotion and protecting
human rights. If ASEAN could treat this issue using the ASEAN
way, it will not only mitigate regional security risks but will be
ablecreating a positive image for the organization as well.
Bibliography
Human Rights Watch (HRW), 2013. All You Can Do is Pray. [online].
in : https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/
burma0413webwcover_0.pdf [accessed 11 October 2015]
The New York Times, 2015. Myanmar to Bar Rohingya From Fleeing,
but Won’t Address Their Plight [online]. in : http://www.
nytimes.com/2015/06/13/world/asia/myanmar-to-bar-
rohingya-from-fleeing-but-wont-address-their-plight.html?_
r=0 [accessed 30th October 2015]
ABSTRACT
The European Union does not have the capability and authority in bringing stability
and peace in Europe alone. Instead, the European Union relying on NATO as a
security regionalism that formed before the European Union was formed. NATO
and the European Union have agreed on a deal that called ESDP. Both of these
regional organizations agree to make Europe realize that advanced both in terms
of economic and social (welfare) and the stability and peace. Commitment to
complement each other will not be found in other areas in other parts of the world
as well. However, the author refers to the question: why EU still need the presence
of NATO as the security institution in the Europe? The argument of this paper is,
EU never had security aspect at their institution framework when the threats still
remains in this contemporary world.
(Nato.int, 2015).
(Erdmann, 2013)
Dari data yang disajikan di atas, maka tak dapat dipungkiri bahwa
Uni Eropa masih membutuhkan NATO sebagai komponen utama
pertahanan dan keamanan regionalnya. Belum lagi ancaman lain
seperti Rusia yang memang sejak awal tidak ada ketertarikan untuk
bersinggungan langsung dengan Uni Eropa dan NATO kecuali pada
kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya seperti perdagangan
gas alam melalui perusahaan milik negara Rusia Gazprom yang
distribusinya ke seluruh Eropa. Namun di bidang militer, hal
inilah yang terus dibangun kewaspadaannya pada negara-negara
Eropa mengingat bukan berarti pasca Perang Dingin Rusia dapat
dikatakan tunduk sepenuhnya pada tatanan yang dibangun di
Eropa. Rusia, masih berjalan di atas sebuah idealisme negaranya
yang menekankan pada era keemasan Rusia di masa Tzar. Di era
yang diperintah oleh Presiden Vladimir Putin saat ini Rusia pun
berkembang menjadi negara yang seakan-akan kembali meraih
posisi hegemoni dan berencana melakukan strategi balancing
terhadap Amerika Serikat, meneruskan Boris Yeltsin pada periode
sebelumnya. Peran-peran yang dimainkan Yeltsin adalah membuat
Rusia sebagai negara yang lebih demokratis yakni negara yang
dapat dikatakan bebas, terbuka, dan damai. Terbuka pada aspirasi
dan ide rakyat. Dengan konstitusi baru yang ramah terhadap hak
asasi manusia (Putin, 2007).
OSCE berawal dari fase détente dari awal 1970-an, ketika Konferensi
Keamanan dan Kerja sama di Eropa (CSCE) diciptakan untuk
melayani sebagai forum multilateral untuk dialog dan negosiasi
antara Timur dan Barat (OSCE, t.t). Pertemuan selama dua tahun
di Helsinki dan Jenewa, CSCE mencapai kesepakatan dari Helsinki
Final Act, yang ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 1975.
Dokumen ini berisi sejumlah komitmen kunci pada isu-isu hak
Politik-militer, ekonomi dan lingkungan dan manusia yang menjadi
pusat ‘proses Helsinki’. Kemudian didirikan sepuluh prinsip-
prinsip dasar yang mengatur perilaku berserikat terhadap negara-
negara anggota, serta terhadap satu sama lain (OSCE, t.t).
Jika tidak ada kesinambungan yang baik di dalam ESDP, maka yang
akan terjadi adalah ancaman keamanan baru terkit para migran.
Pelanggaran hukum lebih lanjut meningkat, tingkat ketegangan
sosial jauh lebih kuat, peningkatan besar dalam biaya pelayanan
sosial dan perumahan rakyat meningkat, dan tidak memberikan
kontribusi apa-apa yang bernilai terhadap bangsa-bangsa dari Uni
Eropa. Para migran juga akan merusak status quo dalam keamanan
Uni Eropa sebagai ratusan ribu pendatang dicampur dengan
sejumlah lumayan ISIS dan al-Qaeda penyelenggara, perekrut,
pejuang, dan penyerang bunuh diri yang akan membuat pekerjaan
keamanan dan intelijen Uni Eropa bahkan lebih riskan lagi (Scheuer,
2015).
Simpulan
Daftar Pustaka
Dunne, Tim & Schimdt, Brian C. 2005. “Realism”, dalam John Baylis
and Steve Smith The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations (Third Edition). New
York: Oxford University Press. Hal. 162-181
Wicaksana, I Gede Wahyu. 2015. MBP Rusia, Eropa Timur, dan Asia
Tengah SOH321 : Understanding Russia II : Russia’s Foreign
Policy. Universitas Airlangga, FISIP Universitas Airlangga
pada 10 April.
Taruna Rastra Sakti
ABSTRACT
100 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 101
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia
102 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 103
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia
104 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 105
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia
106 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 107
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia
108 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Simpulan
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 109
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia
110 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 111
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia
Daftar Pustaka
News Letter Edisi III, 2008. “Lombok Treaty”, dalam News Letter
Media dan Reformasi Sektor Keamanan Edisi III/06/2008.
Jakarta: Institute for Defense, Security and Peace Studies
(IDSPS).
112 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 113
114 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
ABSTRACT
Amazon is the largest tropical forest in the world where most of its area is in
Brazil. However, Amazon has deforestated lately due to the rise of soy demand. In
order to overcome Amazon deforestation, Greenpeace is working with many actors
including private companies. Soy Moratorium is the most effective mechanism for
mitigation. Research aims to analyze Greenpeace influence in soy moratorium in
Brazil in order to minimize Amazon’s deforestation. By using ecocentrism view,
research finds that structural change and mechanism are needed so as to fix the
environment. Research does two stages hypothesis testing. First is by using NGO
diplomacy to analyze Greenpeace’s role. Second is by using the level of NGO
influence to find how far Greenpeace influences soy moratorium.
Amazon merupakan hutan hujan tropis terbesar di dunia, dan sebagian besar
wilayahnya berada di teritorial negara Brazil. Amazon banyak mengalami
deforestasi. Laju deforestasi semakin besar ketika angka permintaan kedelai terus
meningkat. Menghadapi hal tersebut, Greenpeace mengandeng perusahaan
multinasional untuk memberikan komitmennya dalam menjaga kelestarian
Amazon. Moratorium Kedelai merupakan salah satu mekanisme yang banyak
disebut sebagai mekanisme yang efektif dan dapat menjadi contoh upaya mitigasi
terhadap deforestasi Amazon. Penelitian ini menganalisis pengaruh Greenpeace
dalam komitmen Moratorium Kedelai di Brazil dalam upaya penurunan angka
deforestasi hutan Amazon. Pandangan yang digunakan dalam penelitian adalah
pandangan ekosentrisme, yang meyakini adanya kebutuhan perubahan struktur
dan mekanisme untuk memperbaiki lingkungan. Penulis melakukan pengujian
hipotesis dalam dua tahap. Tahap pertama menggunakan teori Diplomasi NGO
untuk menganalisis peran Greenpeace. Tahap kedua menganalisis tingkat pengaruh
dari Greenpeace untuk mengetahui tinggi rendahnya pengaruh Greenpeace dalam
Moratorium Kedelai.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 115
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
116 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 117
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
118 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 119
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
120 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 121
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
122 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 123
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Bukti Pengaruh
Indikator NGO?
…karena
Pengaruh Perilaku aktor-aktor
disebabkan
lain… (Iya/ Tidak)
komunikasi NGO
I s s u e • Perusahaan dan • Greenpeace
Framing masyarakat menyadari menerbitkan
bahwa kegiatan laporan
rantai perdagangan investigasi
kedelai tidak aman deforestasi
bagi biodiversitas Amazon yang
Amazon dengan berjudul Eating
adanya laporan dari Up Amazon dan
Greenpeace melaksanakan Iya
kampanya
• Perusahaan menyadari menggunakan
rantai proyek kostum ayam.
perdagangan ternyata
bersumber dari
penanaman kedelai
hasil deforestasi.
124 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 125
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
126 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 127
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
128 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Bukti Pengaruh
Indikator NGO?
…karena
Pengaruh Perilaku aktor-
disebabkan
aktor lain… (Iya/ Tidak)
komunikasi NGO
• Diawali dengan • Greenpeace
terpojoknya posisi memojokkan
McDonald’s sebaga perusahaan
salah satu perusahaan produsen makanan
produsen makanan. melalui laporan
yang menjelaskan
• Agenda yang dibahas keterlibatan
mengenai (1) Akhir produsen makanan
dari kerusakan dengan deforestasi
hutan; (2) adanya Amazon.
Agenda rantai perdagangan
Iya
Setting kedelai yang jelas dan
mekanisme yang tidak
menyalahi hukum;
(3) Mendukung
solusi dengan cara
mengembangkan
model suplai pangan
yang bertanggung
jawab.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 129
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
130 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Bukti Pengaruh
Indikator NGO?
…karena
Pengaruh Perilaku aktor-
disebabkan
aktor lain… (Iya/ Tidak)
komunikasi NGO
• Kesepakatan • Setelah kesepakatan
berhasil membentuk Moratorium
komitmen bersama Kedelai tercapai,
dalam membentuk Greenpeace
sistem monitoring mengusung sebuah
dan pencegahan. sistem Kerja
Final Kelompok Kedelai.
Agreement/ • Moratorium
Iya
Procedural Kedelai hanya dapat
Issues disepakati selama
dua tahun, tidak
lima tahun seperti
target Greenpeace
pada awalnya.
• Kesepakatan
• Kesepakatan • Apa yang telah
tersebut dilakukan
Final merefleksikan NGO untuk
Agreement/ kepentingan mempromosikan
Iya
Substantive Greenpeace, yaitu isu-isu substantif
Issues untuk menekan tersebut?
angka deforestasi di
Amazon.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 131
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
Simpulan
Pertama, dalam perannya sebagai kompetitor pemerintah,
Greenpeace memiliki daya saing dengan pemerintah dalam
hal intelektual, namun perlu dipertegas bahwa peran ini bukan
merupakan tujuan ataupun bagian dari strategi Greenpeace.
Peran Greenpeace sebagai kompetitor pemerintah muncul karena
kondisi yang secara tidak langsung menjelaskan posisi Greenpeace.
Kemampuan Greenpeace dalam meneliti dan mengajukan solusi
lebih cepat daripada pemerintah, sehingga kondisi ini menjadikan
Greenpeace sebagai pemegang peran kompetitor pemerintah.
Kedua, Greenpeace berperan sebagai mobilisator opini publik
merupakan peran yang umum ditemukan dalam setiap NGO,
karena setiap melakukan kampanye maka tujuan yang ditergetkan
oleh NGO adalah dukungan dari masyarakat. Mobilisasi opini
publik yang dijalankan oleh Greenpeace bersifat bottom-up, di
mana target pertama Greenpeace merupakan konsumen, kemudian
beranjak pada perusahaan retailers makanan atau produk jadi
(yang berhubungan langsung dari konsumen), lalu menarget
perusahaan pengolahan kedelai hingga kemudian perusahaan
multinasional Cargill sebagai perusahaan terbesar. Ketiga, peran
Greenpeace sebagai pengawas dan penilai, yaitu ketika Greenpeace
berdasarkan objektifnya dengan sukarela memastikan bahwa
Moratorium Kedelai berjalan sesuai dengan mekanisme, yaitu
dengan melakukan penerjunan langsung di lapangan. Kepatuhan
pemerintah merupakan efek sekunder yang dapat muncul apabila
mekanisme Moratorium Kedelai telah berhasil membawa hasil
sesuai yang ditargetkan.
Dalam analisis tingkat pengaruh yang dimiliki Greenpeace,
Greenpeace memiliki pengaruh dalam Moratorium Kedelai di Brazil.
Dengan menggunakan teori tingkat pengaruh dari Betsill, terbukti
terjadi perubahan kondisi dalam setiap indikator pembentukan
isu dan agenda, indikator proses negosiasi, dan indikator hasil.
Adanya perubahan perilaku aktor lain akibat aktivitas Greenpeace,
menandakan bahwa Greenpeace berpengaruh.
Oleh karenanya untuk dapat menganalisis tingkat pengaruh dari
Greenpeace, maka penulis perlu untuk memetakan peran yang
dijalankan dan meneliti strategi yang dilakukan oleh Greenpeace
agar dapat melihat pengaruh Greenpeace melalui perbandingan.
132 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Daftar Pustaka:
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 133
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon
134 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 135
136 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Cintya Aryadevi S.
ABSTRACT
One of the United States policies regarding war on drugs in Southern America
is Plan Kolombia. Plan Kolombia is a foreign aid that given by United States to
Kolombia with aim to decreased cocaine production in Kolombia. Unfortunately,
Plan Kolombia failed to meet its target. Article explains the reason why Plan
Kolombia has failed to fulfill its aim. To make it easy to understanding, article is
divided into four sections: the problem of foreign aid, the problem about organized
crime, the weakness of Kolombian law enforcement that emerge narcotics problems;
and violent approaches on its programs. Article argues that the United Staes had
misdiagnosed on designing strategy and on implementations. Plan Kolombia was
designed with violent approaches rather than law and security approaches.
Salah satu kebijakan war on drugs Amerika Serikat di wilayah Amerika Latin
adalah Plan Kolombia. Plan Kolombia merupakan bantuan luar negeri Amerika
Serikat kepada Kolombia dengan tujuan mereduksi produksi narkoba jenis kokain
di Kolombia. Sayangnya, program Plan Kolombia gagal dalam mencapai tujuannya
tersebut. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui sebab-sebab kegagalan Plan
Columbia. Untuk mempermudah penjelasan, penulis akan membahasnya ke
dalam empat pembahasan; bantuan luar negeri sebagai konsep, faktor kegagalan
bantuan luar negeri, organisasi kriminal transnasional. Argumen yang dibangun
adalah kegagalan Plan Columbia disebabkan oleh misdiagnosa dalam strategi
dan pengimplementasiannya. Sehingga alih-alih menggunakan pendekatan-
pendekatan hukum dan keamanan, Plan Kolombia justru di desain menjadi sarat
akan pendekatan perang.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 137
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
Kolombia dan narkoba menjadi dua hal yang melekat satu sama lain.
Bukan hal yang berlebihan karena memang Kolombia merupakan
negara dengan perdagangan narkoba jenis kokain yang sangat
marak dan terbesar di dunia (McCarthy, 2011). Permasalahan kokain
di Kolombia ini telah menjadi isu utama sejak tahun 1980-an ketika
penggunaan kokain sedang menjadi tren di kalangan pekerja seni
hingga politisi Amerika Serikat, terutama Hollywood. Merebaknya
penggunaan kokain inilah yang menyebabkan pemerintah
Amerika Serikat mulai melarang penggunaan dan peredaran obat-
obatan terlarang bagi konsumsi masyarakat umum. Sebelumnya,
pemerintah Amerika Serikat melegalkan penggunaan obat-
obatan terlarang jenis apapun untuk dikonsumsi masyarakatnya
(McCarthy, 2011). Bersamaan dengan pelarangan obat-obatan
terlarang inilah yang kemudian membuat harga narkoba menjadi
melambung tinggi. Hal ini dilakukan karena halangan yang ditemui
oleh para bandar narkoba seperti penyuapan ke para penegak
hukum dan pembunuhan. Hal inilah yang membuat perdagangan
narkoba menjadi sarat akan kekerasan. Pembunuhan, penculikan,
dan pembantaian merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam
aktivitas perdagangan narkoba.
138 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 139
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
140 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Terkait dengan hal ini, hipotesis awal yang dapat penulis himpun
berdasarkan pemikiran-pemikiran dari pada penstudi ini adalah
Plan Kolombia mengalami kegagalan sebagai akibat dari adanya
miskalkulasi strategi, karena Amerika Serikat hanya mementingkan
kepentingannya saja yakni war on drugs sehingga Amerika Serikat
mengubah seluruh strategi, tujuan, dan implementasi program Plan
Kolombia. Bersamaan dengan hal tersebut diimbangi dengan situasi
dan kondisi Kolombia yang menjadi permasalahan laten sehingga
kesulitan untuk beradaptasi dan mengimbangi program-program
milik Amerika Serikat.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 141
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
142 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 143
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
144 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 145
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
146 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Simpulan
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 147
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
148 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Daftar Pustaka:
Buss, Terry F., and Adam Gardner. “Why Foreign Aid in Haiti
Failed.” Academy International Affairs Working Paper Series
(National Academy of Public Administration), 2006.
Dollar, David, and William Easterly. “The Search for the Key: Aid,
Investment, and Policies in Africa.” Development Research
Group World Bank, 1997.
Fajardo, Luis Eduardo. “From the Alliance For Progress to the Plan
Kolombia: a Retrospective Look at U.S Aid to Kolombia.”
Crisis States Programme Working Paper (LSE), no. 28 (2003).
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 149
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia
150 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 151
152 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
ABSTRACT
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 153
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
154 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 155
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
156 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 157
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
158 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 159
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Dengan meratifikasi BITs, kerja sama investasi antara Turki dan Israel
mulai diimplementasikan, antara lain dengan penanaman investasi
yang dilakukan Israel di Turki sejak tahun 2000-an. Sementara itu,
selama tahun 2009-2014 tercatat nilai investasi Israel di Turki cukup
tinggi, sehingga menempatkan Israel di posisi ke-6 sebagai investor
tertinggi bagi Turki dibandingkan negara-negara di seluruh Asia,
yakni setelah Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Jepang, Kuwait, dan
Korea Selatan, atau di posisi ke-4 tertinggi dibandingkan negara-
negara di kawasan Timur Tengah (TurkStat 2015e). Investasi Israel
di Turki ditanamkan di berbagai sektor industri, antara lain sektor
energi, perbankan, dan manufaktur. Terlebih Israel juga memiliki
arti penting terkait aliran modal asing ke perusahaan-perusahaan
yang beroperasi di Turki. Berdasarkan data dari Kementerian
Ekonomi Turki (2015), hingga tahun 2014 tercatat lebih dari 39.100
perusahaan dengan modal asing beroperasi di Turki, yang mana
322 perusahaan di antaranya memperoleh aliran modal asing dari
Israel. Mayoritas perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan
grosir dan sektor manufaktur strategis yang berperan penting bagi
pertumbuhan ekonomi Turki, seperti manufaktur kimia, peralatan
mesin, dan pertambangan (Central Bank of Turkey 2015).
160 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Kerja sama pariwisata antara Turki dan Israel telah ada sejak tahun
1992 (Bozdaglioglu 2003) dan terus berlanjut hingga di era Erdogan.
Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri Turki (t.t.), Israel
menjadi satu dari 66 negara yang diberi kebebasan visa kunjungan
selama 90 hari oleh Pemerintah Turki. Pendapatan pariwisata
Turki dari wisatawan Israel selama tahun 2009 hingga 2014 pun
tinggi. TurkStat (2015d) mencatat bahwa pada tahun 2014 jumlah
wisatawan Israel meningkat drastis sejak penurunan yang terjadi
pada tahun 2010, sehingga pendapatan yang diperoleh Turki dari
wisatawan Israel di tahun 2014 pun meningkat sekitar empat kali
lipat dari pendapatan tahun 2011, yakni dengan angka lebih dari
250 juta dolar AS.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 161
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
162 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 163
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
164 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 165
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
166 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Simpulan
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 167
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
Daftar Pustaka
Blum, Douglas W., t.t. “Beyond Blood and Belief: Culture and
Foreign Policy Conduct”, dalam Shaffer, Brenda (ed.), 2006.
The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge:
The MIT Press. Ch.3.
168 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Ehin, Piret dan Berg, Eiki, 2009. Identity and Foreign Policy: Baltic-
Russian Relation and European Integration. Cornwall: MPG
Books Ltd.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 169
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)
170 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra
Desember 2015].
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 171
172 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
PARA PENULIS
176 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
dalam essay, cantumkan nama pengarang dan tahun dalam
kurung, dan letakkan di akhir kalimat.
.... (Kaldor 2006).
• Apabila lebih dari satu pengarang dalam essay dan referen-
si berasal dari lebih dari satu pengarang, cantumkan nama
pengarang secara berurutan dengan memasukkan tahun
dalam kurung.
Martin (2006) dan Johnson (2008) memiliki pandangan
sama. Keduanya menganggap….
• Apabila mengutip pendapat lebih dari satu orang secara ti-
dak langsung dalam essay, cantumkan nama pengarang dan
tahun terbit secara berurutan dengan dipisahkan tanda titik
koma, masukkan dalam kurung.
.... (Martin 2006; Johnson 2008).
• Apabila mengutip sebuah pendapat yang disampaikan leb-
ih dari satu pengarang, cantumkan nama pengarang secara
berurutan dan diikuti tahun terbit yang dimasukkan dalam
kurung.
Falola dan Genova (2005) menyatakan....
.... (Falola dan Genova 2005).
• Apabila mengutip sebuah pendapat lebih dari dua penga-
rang, cantumkan hanya pengarang pertama dan diikuti ”et
al.”.
Eizenstat et al. (2005) berargumen bahwa….
…. (Eizenstat et al. 2005).
• Apabila nama pengarangnya tidak diketahui, cantumkan
judul artikel dan tahun terbit. Judul artikel diapit tanda ku-
tip.
Dalam artikel “Weak States and Global Threats: Fact or
Fiction” (2006), dinyatakan bahwa….
• Apabila tahun terbit tidak diketahui, cantumkan “t.t.” yang
berarti “tanpa tahun”.
Sieuw (t.t.) menuliskan….
…. (Sieuw t.t.).
• Apabila mencantumkan nomor halaman
Acharya (2004, 58) mengatakan….
…. (Acharya 2004, 58).
• Apabila mengutip pendapat dari satu pengarang dan diter-
bitkan pada tahun yang berbeda, cantumkan nama penga-
rang disertai tahun ketika dipublikasikan pertama kali.
Laquer (1987 & 1999) mengajukan tesis bahwa ….
…. (Laquer, 1987 & 1999).
• Apabila seorang pengarang mengajukan sejumlah pendapat
pada tahun yang sama, bedakan dengan mencantumkan
huruf kecil setelah tahun publikasi.
Penelitian awal Martin (2006a) menemukan bahwa…
tetapi penelitian berikutnya oleh Martin (2006b) tampak
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 177
bahwa….
• Apabila mengutip pendapat seseorang (sumber pertama)
yang tercantum dalam artikel yang ditulis oleh orang yang
lain (sumber kedua), sumber pertama dituliskan terlebih da-
hulu.
…. (Sageman 2004 dalam Dempsey 2006).
Dalam penelitiannya, Sageman (2004 dalam Dempsey
2006) menemukan bukti bahwa….
Sageman (2004), seperti dikutip oleh Dempsey (2006), me-
nyarankan….
8. Metode penulisan daftar pustaka menggunakan ketentuan seb-
agai berikut:
• Daftar pustaka harus sudah dituliskan sesuai dengan urutan
abjad family name (nama belakang).
• Buku dengan satu pengarang
Mubah, A. Safril, 2007. Menguak Ulah Neokons: Menyingkap
Agenda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
• Buku dengan dua pengarang
Falola, Toyin, dan Ann Genova, 2005. The Politics of the
Global Oil Industry: An Introduction. London: Praeger.
• Buku dengan lebih dari dua pengarang
Grace, Bruno, et al., 1988. A History of the World. Princeton,
NJ: Princeton University Press.
• Buku hasil editan
Rotberg, Robert I. (ed.), 2003. State Failure and State Weak-
ness in a Time of Terror. Washington D.C.: Brookings In-
stitution Press.
Thomas, Caroline, dan Peter Wilkin (eds.), 1999. Globaliza-
tion, Human Security and the African Experience. Boulder,
Colo: Lynne Rienner
Baylis, John et al. (eds.), 2007. Strategy in the Contemporary
World. Oxford: Oxford University Press.
• Artikel dalam buku
Parsa, Misagh, 2003. “Will Democratization and Global-
ization Make Revolutions Obsolete?”, dalam Foran,
John (ed.), 2003. The Future of Revolutions: Rethinking
Radical Change in the Age of Globalization. London: Zed
Book.
• E-book
Fishman, Robert., 2005. The Rise and Fall of Suburbia. [e-
book]. Chester: Castle Press. dalam libweb.anglia.ac.uk
/ E-books [diakses 24 Juli 2006].
Employment Law and Practice. 2005. [CD-ROM]. London:
Gee. dalam libweb.anglia.ac.uk/ E-books [diakses 1
Agustus 2007].
• Apabila ada satu pengarang dengan dua buku yang dikutip
178 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Martin, Gus, 2006a. Understanding Terrorism. California:
Sage Publications.
_____, 2006b. “Globalization and International Terror-
ism”, dalam Ritzer, George, (ed). 2006. The Blackwell
Companion to Globalization. Malden, MA: Blackwell.
• Artikel dalam jurnal
Wardhani, Baiq, 2007. “Diplomasi dan Intervensi: Keter-
libatan Pihak Ketiga dalam Konflik Etnis Pemisahan
Diri”, Global & Strategis, 1 (1): 1-11.
• Artikel dalam media massa
Susilo, I. Basis, 2008. “Antara Hillary dan Obama”, Kom-
pas, 31 Januari, hlm 6.
• Artikel Online
International Monetary Fund, 2007a. World Economic Out-
look [online]. dalam http://www.imf.org/external/
Pubs/FT/WEO/2007/01/index. htm [diakses 20 Feb-
ruari 2008].
• Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara, 2002. Jakarta: DPR RI.
• Publikasi resmi lembaga pemerintah
Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2008.
Jakarta: Departemen Pertahanan RI.
• Laporan tahunan
United Nations Development Program (UNDP), 1994.
Human Development Report 1994.
• DVD/VCD
The Habibie Center, 2004. Publikasi 5 Tahun, 1999-2004.
[VCD]. Jakarta: The Habibie Center.
• Video (Film)
Pilger, John. 2001. The New Ruler of the World. [video]. Ja-
karta: Indy Cinema.
• Skripsi/Tesis/Disertasi
Wahyudi, Fendy Eko, 2008. Pengaruh Kausalitas Tingkat
Fertilitas Total (TFR) Penduduk terhadap Tingkat De-
mokrasi: Tinjauan Demokrasi Gelombang Ke-4 (1991-
2000). Skripsi Sarjana. Surabaya: Departemen Hubun-
gan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga.
9. Penulis harus menyertakan curriculum vitae (CV) yang berisi
nama lengkap, tempat & tanggal lahir, alamat lembaga atau
alamat pribadi untuk berkorespondensi (nama jalan, kota, kode
pos, email, telepon, dan faksimili), pengalaman kerja, riwayat
pendidikan, dan judul skripsi/tesis/disertasi.
10. Tulisan dikirim via email ke jhi.unair@gmail.com Tulisan yang
dikirim ke redaksi harus sudah sesuai dengan pedoman penu-
lisan jurnal ini.
Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 179
11. Redaksi berhak mengedit artikel tanpa mengubah substansi dan
pokok pikiran penulisnya. Redaksi juga tidak akan mengemba-
likan artikel yang tidak layak muat.
180 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016