Anda di halaman 1dari 186

JURNAL

HUBUNGAN INTERNASIONAL
Januari - Juni Tahun 9 No. 1

Daftar Isi
DAFTAR ISI i
SUSUNAN REDAKSI ii
Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan Operasi Militer Rusia pada
Perang Russia-Georgia 2008

Muhammad Ahalla Tsauro ........................................ 1-14

Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Gov-


ernmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

Nadia Farabi ........................................ 15-30

Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004-2010 setelah Tsunami


Samudra Hindia tahun 2004

Reza Akbar Felayati ........................................ 31-48

Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu Nuklir Korea Utara
Tahun 2013
Alfionita Rizky P. et al ........................................ 49-66
ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Rohingya Radicalization

Naufal Armia Arifin ........................................ 67-80

Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan: Peranan NATO di Era


Kontemporer

Probo Darono Yakti ........................................ 81-98

Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok antara Indonesia dan Aus-
tralia

Taruna Rastra Sakti ........................................ 99-114

Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Kartika Yustika Mandala Putri ........................................ 115-136

Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia

Cintya Aryadevi S. ........................................ 137-152

Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam Kebijakan Luar Negeri


Turki terhadap Israel (2009-2014)

Andraina Ary Fericandra ........................................153-172

PARA PENULIS 173-174


PEDOMAN PENULISAN 176-180

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 i


Jurnal Hubungan Internasional

Diterbitkan Oleh
Cakra Studi Global Strategis Jurnal Hubungan Internasional (JHI)
(CSGS) adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan
Departemen Hubungan oleh Cakra Studi Global Strategis
Internasional (CSGS), pusat studi yang mengkaji
Universitas Airlangga isu-isu hubungan internasional dan
bernaung dibawah Departemen
Pemimpin Redaksi Hubungan Internasional, Universitas
Citra Hennida Airlangga.

JHI diterbitkan dua kali setahun setiap


Sekretaris Redaksi
Januari dan Juli. JHI mengundang
Moch Arief Setiawan
diskusi, tinjauan, dan analisis
kontemporer terhadap empat tema
Redaksi Pelaksana
utama yaitu perdamaian dan
Alfionita Rizky Perdana
keamanan internasional; ekonomi dan
Anggresti Firlianita
politik internasional; organisasi dan
Gusti Ayu Meisa Kurnia D. S.
bisnis internasional; serta globalisasi
Karlina Wahyu Kristiani
dan strategi.
Maghfira Chairani
Tema besar perdamaian dan keamanan
Tata Letak dan Desain internasional mengkaji permasalahan
Mayka Risyayatul Asnawiyah terkait problematika persoalan
Widya Septiyaningrum perang, diplomasi, pengelolaan
perdamaian, dan penyelesaian konflik
Sirkulasi kontemporer. Tema besar ekonomi
Atika Wardah dan politik internasional mengkaji
Putri Aini Zahra permasalahan terkait persoalan
ekonomi politik internasional,
Alamat Redaksi pengelolaan pembangunan
Gedung B FISIP Unair internasional, persoalan filantropi
Jl. Dharmawangsa Dalam dan bantuan luar negeri. Tema besar
Surabaya 60286 organisasi dan bisnis internasional
Jawa Timur - Indonesia mengkaji permasalahan terkait tata
Telp. +62 31 61016125 kelola korporasi global dan tata kelola
Faks. +62 31 5012442 organisasi kemasyarakatan lintas
nasional. Tema terakhir, globalisasi
Email dan strategis, mengkaji permasalahan
jhi.unair@gmail.com terkait globalisasi dan problematika
kompleknya secara politik, ekonomi,
Website maupun kultural; serta kemungkinan-
www.journal.unair.ac.id/ kemungkinan konsekuensinya bagi
medphp?med=131 tata kelola pemerintahan, organisasi,
dan korporasi di berbagai tingkat.

ii Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Muhammad Ahalla Tsauro

Pengaruh Media dan Opini Publik dalam


Kebijakan Operasi Militer Rusia pada Perang
Russia-Georgia 2008

Muhammad Ahalla Tsauro

ABSTRACT

This article discusses the influence of the media and public opinion in policy
formation of the Russian military operation in the Russian-Georgian war in
2008. Policy of Russian military operations was formed through a public joint
agreement in Moscow a few days before the military operation executed in South
Ossetia. Through this level of analysis (LoA) media and public opinion the
author will analyze the Russian policy in the case of the Russian-Georgian war
in 2008 in the region of South Ossetia. Focusing on the analysis of media and
public opinion writer viewed from two perspectives, namely top down and bottom
up. Media has the role of being the voice of the people to the government so that
public opinion can be taken into consideration in the formation of foreign policy

Keywords: Russian military policy, media, public opinion, top down, bottom up

Artikel ini membahas mengenai pengaruh media dan opini publik dalam
pembentukan kebijakan operasi militer Rusia pada Perang Rusia-Georgia di tahun
2008. Kebijakan operasi militer Rusia terbentuk melalui kesepakatan bersama publik
di Moskow beberapa hari sebelum melakukan operasi militer untuk perdamaian di
Ossetia Selatan. Melalui level analisis (LoA) media dan opini publik penulis akan
menganalisis kebijakan Rusia dalam kasus Perang Rusia-Georgia pada tahun 2008
di wilayah Ossetia Selatan. Berfokus pada perangkat analisis media dan opini
publik penulis melihat dari dua sudut pandang yaitu top down dan bottom up.
Media berperan menjadi penyalur aspirasi masyarakat pada pemerintah sehingga
mampu menjadi bahan pertimbangan dalam pembentukan kebijakan luar negeri.

Kata-Kata Kunci: Kebijakan militer Rusia, media, opini publik, top down, bottom up

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 1


Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan
Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008

Perang Rusia-Georgia atau Perang Ossetia Selatan merupakan


perang yang diawali oleh operasi militer dari Rusia terhadap
Georgia akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Georgia.
Pelanggaran HAM tersebut berupa gerakan separatis Ossetia
Selatan yang diskriminatif terhadap etnis Rusia pada daerah yang
beribukota di Tskhinval. Daerah tersebut juga diakui secara formal
oleh Rusia bersama dengan wilayah Abkhazia, wilayah yang juga
berada di daerah perbatasan dengan Rusia. Ossetia Selatan sendiri
mendeklarasikan kemerdekaan pada 1991 dan hanya diakui oleh
Rusia pada tahun 2008. Sejak mendeklarasikan kemerdekaan pada
1991, Georgia sama sekali tidak menghiraukan keinginan dari
Ossetia Selatan. Puncaknya pada 8 Agustus 2008 terjadi perang
antara Georgia dan kelompok separatis Ossetia Selatan. Menurut
Charles King (2010) perang terjadi begitu cepat, masyarakat sipil
yang tinggal di daerah konflik tersebut bahkan tidak percaya akan
terjadi perang yang melibatkan ribuan tentara Georgia dan Rusia
serta menelan korban jiwa sebanyak ratusan ribu jiwa. Tindakan ini
dilakukan oleh Rusia atas nama operasi militer untuk perdamaian
dan keamanan. Sebagai negara besar di kawasan Eropa Timur
sudah sepatutnya Rusia yang menjadi staiblisator di wilayah yang
dekat dengan Kaukasia tersebut.

Selain itu, faktor sejarah juga dapat dijadikan acuan bagi Rusia
yang merupakan penerus Uni Soviet, penantang Amerika Serikat
pada era Cold War. Tetapi Georgia juga merespon secara militer
dengan meminta bantuan kepada NATO dan Uni Eropa. Hal ini
semakin memperkeruh keadaan sehingga terjadilah perang lima
hari di Tskhinval, ibukota Ossetia Selatan. Beberapa pihak melihat
apa yang sudah dilakukan oleh Rusia sendiri merupakan tindakan
yang melanggar kedaulatan negara Georgia sebagai negara yang
berdaulat. Ditambah lagi, wilayah Ossetia selatan yang ada di
Georgia memiliki faktor kedekatan historis dengan wilayah Ossetia
Utara yang ada di Rusia, sehingga terdapat pula etnis Rusia yang
diperlakukan dengan cara yang berbeda dari warga Georgia pada
umumnya. Hal ini tidak lepas dari adanya rivalitas dan konflik
antara kedua negara sejak tahun 1992 hingga 1993 serta kasus
persengketaan yang melibatkan kedua negara hingga terjadi perang
di tahun 2008.

2 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Muhammad Ahalla Tsauro

Pertanyaan yang muncul kemudian berkaitan dengan dasar


dari kebijakan politik luar negeri Rusia dalam melakukan
operasi militer terhadap Georgia di wilayah Ossetia Selatan. Dari
sini kemudian penulis berfokus pada kebijakan Rusia, terkait
penyerangan yang dilakukan terhadap Georgia. Kebijakan operasi
militer Rusia terbentuk melalui kesepakatan bersama publik
di Moskow beberapa hari sebelum melakukan operasi militer
untuk perdamaian di Ossetia Selatan. Makadari itu penulis akan
menganalisis kasus Perang Rusia-Georgia pada tahun 2008 melalui
level analisis (LoA) media dan opini publik terkait dengan kebijakan
Rusia melakukan operasi militer di wilayah Ossetia Selatan.

Media dan opini publik di era perkembangan teknologi dan


informasi memiliki peran tersendiri dalam percaturan politik
baik nasional maupun internasional. Menurut Laura Neack (2008)
media massa merupakan salah satu alat yang memiliki peranan
penting dalam pembentukan opini-opini publik terutama terkait
kebijakan-kebijakan yang akan atau telah dibentuk oleh pemerintah
di dalam suatu negara. Dewasa ini, peranan media massa semakin
didukung oleh kemajuan teknologi sehingga setiap individu dapat
dengan mudah menerima pemberitaan baik berupa cetak maupun
elektronik. Dalam tulisan ini, LoA melibatkan hubungan yang bisa
dibilang rumit, lantaran mencakup pemerintah, kaum elit, media,
dan publik (Neack 2008).

Peringkat Analisis Media dan Opini Publik

Laura Neack (2008) dalam artikelnya yang berjudul The New Foreign


Policy: Power Seeking in a Globalized Era, mengemukakan bahwa
terdapat dua pendekatan terkait hubungan opini publik dengan
penerapan kebijakan publik yaitu bottom-up approach dan top-down
approach. Bottom-up approach memandang hubungan tercipta melalui
model perumusan kebijakan pluralis. Kebijakan luar negeri berasal
dari kebutuhan rakyat sehingga opini publiklah yang menciptakan
kebijakan luar negeri. Sementara itu top-down approach merupakan
pandangan yang didasari oleh asas Conventional Wisdom. Dalam
hal ini kaum elit yang mengerti kebutuhan masyarakat sehingga
setelah melalui konsensus kebijakan luar negeri barulah terlahir
opini publik.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 3


Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan
Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008

Gabriel Almond (dalam Neack 2008) pada tahun 1950 menyatakan


bahwa warga negara Amerika Serikat tidak memiliki karakter acuh
terhadap kebijakan luar negerinya dan memiliki pandangan yang
koheren serta terstruktur dalam menyikapinya. Lebih jauh lagi Ulf
Bjereld dan Ann Marie Ekengren (dalam Neack 2008) melihat adanya
keterkaitan logis antara sekumpulan kepercayaan yang tertanam
dalam masyarakat dengan penerapan kebijakan luar negeri. Neack
(2008) juga mengklasifikasikan opini publik dari masyarakat dalam
tiga kategori. Pertama, poorly informed yaitu masyarakat yang tidak
tertarik mengenai kebijakan luar negeri. Kedua, informed well about
world affair, yaitu masyarakat yang memiliki ketertarikan terhadap
isu-isu seputar kebijakan luar negeri. Ketiga, adalah masyarakat
yang tidak hanya tertarik terhadap kebijakan luar negeri saja tetapi
juga memiliki peran dengan memberikan opininya terhadap suatu
kebijakan, biasanya kategori ini terdiri dari elitis dan kelompok
epistemik.

Pada dasarnya terdapat tiga saluran utama yang dapat mewadahi


opini publik dalam perannya untuk mempengaruhi perumusan
kebijakan publik yaitu melalui kongres, media, dan kelompok–
kelompok kepentingan. Melalui kongres pengaruh opini publik
terjadi sebagai hasil dari interaksi antara konstituen politik dengan
anggota kongres. Opini publik yang direfleksikan melalui media
dapat memunculkan urgensi terhadap suatu isu agar dibahas dan
kemudian dilakukan untuk mengontrol pengambilan keputusan.
Sementara itu pengaruh kelompok kepentingan bergantung tidak
hanya pada komposisi keanggotaannya tetapi juga berdasarkan
struktur organisasi, jangkauan institusional, dan para pesaing mereka
(Larson & Tolay 2007). Namun ketika dalam proses pengambilan
kebijakan luar negeri, pihak eksekutif masih memegang peranan
utama dalam pengambilan keputusan terutama terkait dengan
keputusan untuk perang.

Kemampuan media untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri


terutama bergantung pada kemampuan mereka untuk menghasilkan
sumber–sumber independen dari pemerintah atau presiden untuk
dirilis ke publik. Jika media mampu mengumpulkan informasi,
maka media dapat berperan dalam membentuk pandangan kritis
serta alternatif kebijakan yang dapat memobilisasi opini publik
bahkan menciptakan tekanan kepada presiden.

4 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Muhammad Ahalla Tsauro

Namun hal ini sulit dilakukan mengingat keterbatasan akses


informasi yang dimiliki oleh media. Media tidak memiliki
perwakilan ataupun agen yang dapat meliput kejadian di setiap
negara. Lebih jauh media tidak memiliki akses terhadap informasi
rahasia, sedangkan pemerintah memiliki jaringan informasi melalui
badan intelijen negara (Western 2005).

Sentralitas eksekutif dalam pembuatan kebijakan luar negeri


merupakan indikasi dari lemahnya pengaruh opini publik terhadap
proses pengambilan kebijakan luar negeri. Kelompok kepentingan
memiliki pengaruh yang lebih lemah jika dibandingkan dengan
kekuatan kongres untuk melakukan lobi dan mempengaruhi
keputusan presiden. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan
oleh Wahyu Wicaksana (2014), bahwa media massa dan opini
publik hanya dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah apabila
pemerintah yang berkuasa memiliki legitimasi yang lemah.
Lemahnya legitimasi terlihat dari kekuasaan pemerintah bukanlah
satu-satunya kekuasaan tunggal yang mempengaruhi proses
pengambilan keputusan. Tetapi sebaliknya, media massa dan opini
publik tidak akan memiliki pengaruh besar terhadap pengambilan
keputusan apabila pemerintah memiliki legitimasi yang tinggi.
Pentingnya dukungan opini publik terkait dengan kebijakan
luar negeri dapat dipahami sebagai alat untuk membentuk atau
memanipulasi opini publik, daripada untuk bertindak sesuai
dengan opini publik (Western 2005). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa opini publik dalam hal ini hanya dijadikan
sebagai instrumen legitimasi dan pembenaran bagi langkah yang
diambil oleh pemerintah. Pemerintah berusaha untuk memobilisasi
opini publik untuk mengikuti arah kebijakan pemerintah, bukan
sebaliknya.

Analisis Kebijakan Operasi Militer Rusia

Kasus Operasi Militer Rusia pada kasus Perang Georgia 2008,


setidaknya menghasilkan tiga hasil bagi Rusia; pengusiran etnis
Georgia dari Ossetia Selatan dan Kodori, pengakuan kedaulatan
Ossetia Selatan dan Abkhazia oleh Rusia, dan beroperasinya
Pangkalan militer Rusia di Ossetia Selatan dan Abkhazia.
Menurut Sabrina Tavernise dan Matt Siegel (2008) dalam Perang
Rusia-Georgia terdapat bukti yang kuat akan kasus ethnic
cleansing di kota-kota yang merupakan area konflik keduanya.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 5


Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan
Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008

Oleh masyarakat sekitar, kekerasan yang dilakukan para tentara


Georgia tersebut, dilaporkan oleh warga dan juga kelompok
pejuang hak asasi manusia bahwa mereka benar-benar melihat
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh tentara Georgia. Mulai dari
pencurian, penggeledahan, pembakaran rumah, dan pembunuhan.
Salah satu motivasi utamanya adalah sentimen etnis negara.
Daerah yang paling banyak menelan korban diantaranya adalah
Eredvi, Ditsi, Tirdznisi, dan Kuraleti. Sementara itu keputusan dari
Rusia untuk mengakui Ossetia Selatan dan Abkhazia tidak lain
karena desakan publik yang disuarakan hingga kaum elit. Hal ini
berkorelasi dengan statement Presiden Rusia, Dmitry Medvedev
yang diputuskan dalam pidatonya:

A decision needs to be taken based on the situation on the


ground. Considering the freely expressed will of the Ossetian
and Abkhaz peoples and being guided by the provisions of
the UN Charter, the 1970 Declaration on the Principles of
International Law Governing Friendly Relations Between
States, the CSCE Helsinki Final Act of 1975 and other
fundamental international instruments, I signed Decrees on
the recognition by the Russian Federation of South Ossetia’s
and Abkhazia’s independence.

Sementara itu, sikap Rusia yang telah menduduki Ossetia Selatan


dan Abkhazia, sebagai keputusan bahwa keduanya benar-benar
independen diputuskan di Jenewa pada bulan Oktober 2008.
Keputusan ini, didukung oleh Nicolas Sarkozy selaku Presiden Uni
Eropa untuk mengeluarkan kedua wilayah tersebut dari Georgia.
Menurut surat kabar Rusia Kommersant, Moskow akan langsung
turun dan aktif dalam membangun relasi diplomatik terhadap
Abkhazia dan Ossetia Selatan (The Guardian 2008).

Setelah melihat hasil dari Perang Georgia 2008, penulis memberikan


pandangan top down dan bottom up mengenai kebijakan operasi
militer Rusia ke Georgia. Dalam kacamata top bottom yang
memandang opini elit lebih dominan dari pada opini publik
(Neack 2008), dapat dilihat dari proses pengambilan kebijakan yang
sifatnya mengutamakan opini publik dari masyarakat dengan kelas
elit, dalam hal ini pemerintah. Terdapat dua aspek penting yang
mempengaruhi cara pandang top bottom terhadap suatu kebijakan,
pertama, keputusan pemerintah memerangi ethnic cleansing.

6 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Muhammad Ahalla Tsauro

Dalam hal ini, para elit Rusia, mempengaruhi opini publik secara
umum dengan menghadirkan solusi yang langsung diberikan
kepada masyakarat bahwa keputusan penyerangan tersebut
bertujuan untuk mereduksi diskriminasi etnis. Kemudian menolong
para korban, memfasilitasinya, serta menjaga para korban dari
area konflik, baik dari kekhawatiran kehilangan harta maupun
nyawa (Nichol 2009). Kedua, legitimasi Rusia terhadap Ossetia
dan Abkhazia dan juga dukungan terhadap keduanya menjadikan
opini publik terhadap keputusan para elit didukung oleh banyak
masyarakat (The Guardian 2008).

Sementara itu, apabila dilihat dari pandangan bottom up yang lebih


menekankan pada opini publik terhadap kebijakan pemerintah,
maka terdapat sebuah polling yang membuat opini publik semakin
kuat dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. Charles King (2008)
dalam artikelnya berjudul The Five-Day War memberikan hasil
penelitian dari Moscow-based Levada Center yang menyebutkan
bahwa 80 persen responden dari masyarakat Rusia mendukung
operasi militer di Georgia. Tingginya dukungan masyarakat Rusia
didasari oleh campur tangan Amerika Serikat terhadap Georgia
yang memiliki kepentingan tertentu sebagaimana Georgia meminta
bantuan NATO dalam Perang Georgia. Hal tersebut diperkuat
dengan argumentasi yang menyebutkan bahwa Abkhazia dan
Ossetia Selatan berpihak pada Rusia (King 2008). Levada Center
juga menekankan pada keinginan masyarakat dalam memberikan
respon terhadap suatu kasus. Masyarakat pada umumnya tidak
memahami secara jelas bagaimana suatu kasus terungkap, tetapi
apa yang mereka butuhkan atau apa yang tidak masyarakat Rusia
butuhkan dan akan diputuskan pada waktu pula sesuai dengan
peaceful solution melalui logika berfikir yang berbeda-beda.

Surat kabar Washington Post memberikan gambaran melalui polling


terhadap tiga wilayah penting di Georgia (Abkhazia, South Ossetia
and Transdnistria) tentang keruntuhan Uni Soviet yang dianggap
oleh masyoritas ketiga wilayah tersebut kurang tepat. Abkhazia, 65%
memilih bahwa keruntuhan Uni Soviet merupakan langkah yang
salah. Sedangkan Ossetia Selatan 75% dan Transdnistria 78%. Opini
publik masyarakat Rusia bukanlah faktor utama yang menetukan
kebijakan Rusia di Wilayah Kaukasus, oleh karenanya perang dan
konflik antara Rusia dengan negara tetangga yang bersengketa
menjadi opsi yang digemari oleh pemerintah Rusia.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 7


Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan
Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008

Akan tetapi dari jumlah masyarakat Rusia yang ada, secara


mayoritas, semua penduduk yang tinggal dan menetap di Rusia
mendukung dan setuju dengan kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Rusia. Masyarakat Georgia yang ada di Ossetia
berasumsi bahwa dengan keikutsertaan mereka dengan Rusia, maka
mereka dapat mendapatkan kehidupan yang layak sebagaimana
masyarakat Rusia rasakan. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadi
faktor utama masyarkat di Ossetia maupun di Abkhazia keluar
dari keterikatan dengan Georgia yaitu masalah kesejahteraan dan
kemiskinan. Kedua hal ini menjadi sumber konflik, perlawanan,
dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang ada.

Gambar 1.1

(The Wasington Post 2014)

Sementara itu, terdapat pula media-media di Rusia yang


mendorong dan mendukung kebijakan Rusia dalam operasi militer
di Georgia, salah satunya The Moscow Times. Dalam surat kabar
yang bermarkas di Moskow tersebut disebutkan bahwa operasi
militer yang dilakukan Rusia merupakan usaha yang tepat untuk
tidak memperpanjang perang yang terjadi. Salah satu kutipan
menyebutkan bahwa Rusia meminta Georgia untuk mengungkap
kebenaran yang terjadi pada serangan 7 Agustus di ibukota Ossetia
Selatan, yakni Tskhinvali. Dibalik serangan Georgia tersebut,
dikutip pula Valdimir Putin, Dmitry Peskov menyatakan bahwa ada
anti-Rusia yang masih muncul akan tetapi bias. Untuk itu, serangan
terhadap Georgia merupakan salah satu cara untuk bertahan bagi
Rusia (The Moscow Times 2008). Ditambah lagi, media ini juga
mendorong Rusia selama perang berlangsung, dengan memberikan
klaim akan kemenangan Rusia di Perang Georgia. Dengan kata lain,
The Moscow Times menjadi salah satu contoh media yang mampu
memberikan andil dalam kebijakan luar negeri suatu negara.

8 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Muhammad Ahalla Tsauro

Selain itu, terdapat pula sudut pandang dari media yang berbeda.
Kali ini penulis menghadirkan Aljazeera, dalam pemberitaanya
Aljazeera menganggap bahwa perang yang terjadi di Georgia adalah
kesalahan Georgia itu sendiri. Mikheil Saakashvili, Presiden Georgia
dianggap sebagai orang nomor satu yang patut bertanggung jawab
atas kejahatan kriminal yang terjadi di Georgia (Aljazeera 2008).
Pada waktu itu pula, media ini memberikan pernyataan akan sikap
yang salah dari Georgia. Kemudian, media menjadi ranah perang
tersendiri dari Perang Rusia-Georgia di tahun 2008. Keputusan
operasi militer yang dilakukan oleh Rusia merupakan kebijakan
yang mutlak dan didukung oleh masyarakat Rusia. Sedangkan
publik Georgia sedang dalam keadaan tidak stabil lantaran kondisi
internal yang tidak tentu dihadapkan oleh situasi genting akan
perang itu sendiri. Georgia seakan menanggung akibat dari apa yang
telah mereka perbuat terhadap wilayah mereka itu sendiri. Media
ini juga mencatat, bahwa Presiden Georgia, menyebut bahwa secara
militer, politik dan diplomasi tanggal 7 Agustus merupakan waktu
berperang melawan Rusia. Hal ini mendapat respon dari media yang
menyatakan bahwa sikap yang ditunjukkan oleh Georgia terhadap
Rusia yang pada dasarnya ingin membantu Ossetia Selatan malah
menjadi bumerang tersendiri bagi Georgia (Aljazeera 2008).

Operasi militer yang dilakukan oleh Rusia pada dasarnya


merupakan suatu bentuk peace enforcement terhadap kasus kekerasan
di Ossetia Selatan. Namun, publik Georgia khususnya para tentara
Georgia malah menyiapkan serangan untuk menghancurkan
pasukan perdamaian Rusia yang melakukan operasi militer.
Operasi militer tersebut berkaitan dengan cyberwar antara Georgia
dan Rusia yang sama-sama melakukan perang melaui cyber yang
mampu membentuk opini publik sesuai keinginan masing-masing.
Perkembangan teknologi menyebabkan cyberwar yang melibatkan
media sebagai alat dalam proses mempengaruhi satu sama lain.
Dari sini pula, media mampu menjadi ujung tombak dimulainya
suatu perang. Media selama ini mampu menjadi agenda setting suatu
kasus yang terjadi, bahkan tidak jarang pergeseran dan perubahan
cara pandang dapat diatur oleh media. Apalagi suatu kemenangan
instan yang ingin diraih juga dapat dilakukan melalui spending of
media. Opini publik dan media merupakan pilar demokrasi yang
mengedepankan nilai-nilai kebebasan berpendapat.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 9


Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan
Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008

Media memiliki publik sebagai sarana objek dan subjek dari suatu
isu yang akan dibahas. Yang perlu dicatat disini adalah media dan
opini publik tidak selamanya memberikan sumbangsih besar dalam
sebuah permusuhan kebijakan. Akan tetapi hanya memberikan
kontribusi dari sudut yang berbeda. Sama halnya dengan
penggunaan level analisis media dan opini publik. Dalam melihat
suatu fenomena, LoA ini hanya menjelaskan suatu kasus dan
mengontrol bagaimana kasus dilihat dari sudut pandang tertentu,
tidak sampai menentukan bagaimana kebijakan ditentukan oleh
decision maker (Dugis 2014).

Simpulan

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat dilihat bahwa


penggunaan peringkat analisis dalam memahami suatu kasus
sangatlah penting. Dengan menggunakan satu peringkat analisis
dapat membuat analisa menjadi lebih fokus dan dan komprehensif,
begitu pula pada kasus Perang Rusia dan Georgia di tahun 2008.
Dalam hal ini, peringkat analisis ini menjelaskan bagaimana
memfokuskan analisa kebijakan Rusia untuk melakukan operasi
militer terhadap Georgia. Fokus yang dihadapkan adalah melihat
bagaimana kebijakan yang sedemikian rupa dibuat dan diputuskan.
Kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dilakukan oleh
Georgia terhadap Ossetia selatan menjadi bukti tersendiri yang
menjadikan penyerangan Rusia diwujudkan. Selain itu, peran
media-media yang ada di Rusia juga menjadi acuan tersendiri.
Dukungan masyarakat terhadap keputusan pemerintah juga
sangat berkontribusi bagi perumusan kebijakan. Hal ini tidak lain
karenaopini publik yang dihadirkan menjadi sebuah syarat sebuah
legitimasi yang menjadi faktor penting dalam dunia politik, terlebih
dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam melihat situasi ini penulis memfokuskan pada dua hal


perangkat analisis media dan opini publik yaitu melihat top down
dan bottom up. Dari kedua sudut pandang ini, penulis melihat dari
bagaimana tiga aspek penting dari opini publik yakni, masyarakat
biasa, masyarakat yang peduli, dan para elit melihat kasus ini
dengan jelas. Ethnic cleansing dan kasus legitimasi Rusia terhadap
pengakuan kedaulatan dua wilayah di Georgia seakan menekankan
bahwa opini para elit mempengaruhi opini masyarakat secara umum.

10 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Muhammad Ahalla Tsauro

Begitu juga sebaliknya dalam pandangan bottom up, yang bergerak


adalah media yang berusaha mengumpulkan opini melalui berbagai
varian seperti jajak pendapat atau kekuatan media cetak. Koran
paling berpengaruh di Rusia sehingga memunculkan suatu gagasan
dan juga keputusan grassroot yang mampu diangkat ke arah yang
lebih tinggi Di sini media berperan menjadi penyalur aspirasi
masyarakat sehingga pemerintah dapat menjadikan opini publik
sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan kebijakan.

Perangkat analisis merupakan suatu hal yang diperlukan oleh


seorang penstudi untuk melihat suatu fenomena dari satu sudut
yang jelas. Dalam menjelaskan kasus kebijakan operasi militer Rusia
ke Georgia, perangkat analisis ini mampu memberikan penjelasan
bagaimana proses kebijakan luar negeri suatu negara dilihat dari
perangkat analisis media dan opini publik. Perangkat ini dalam
analisisnya melibatkan masyarakat, atensi publik, dan juga para elit.
Dalam hal ini terjadi tarik ulur antara siapa yang mempengaruhi,
dapat dipengaruhi, atau tidak dapat dipengaruhi. Perangkat
analisis ini tentu saja dapat menjelaskan kasus dari sudut tertentu,
yang mampu konsisten terhadap posisi dalam menjelaskan kasus.
Akan tetapi dalam penjelasannya, opini publik dapat di setting
oleh media, tergantung seberapa besar power yang dimiliki media
tersebut untuk mempengaruhi opini orang lain. Perangkat analisis
ini juga mampu melihat seberapa jauh pengaruh suatu isu yang
diangkat terhadap perkembangan pengetahuan masyarakat.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 11


Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan
Operasi Militer Rusia pada Perang Russia-Georgia 2008

Daftar Pustaka

Aljazeera, 2008. Media War Flares Over South Ossetia.


[daring]. dalam http://www.aljazeera.com/foc
us/2008/11/20081122163930714458.html [diakses 12 Januari
2015].

Charles King, 2010. The Five-Day War.

Dugis, Vinsensio, 2014. Public Opinion in Foreign Policy, dalam


Kuliah Perbandingan Politik Luar Negeri, 6 November
2014. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Departemen
Hubungan Internasional. Surabaya: Universitas Airlangga.

Larson, Jared, & Juliette Tolay, 2007. Public Opinion and Media on
the War in Iraq: A Check on the Executive? . Northeastern
Political Science Association. Session Public Opinion & the
Rhetorical Arts of Leadership.

Medvedev, Dimitry, 2008. Statement on Major Issues.


[daring]. dalam http://archive.kremlin.ru/eng/
speeches/2008/08/26/1543_type82912_205752.shtml
[diakses 11 Januari 2015].

Neack, Laura, 2008. Chapter 7: Public and Media, dalam The New


Foreign Policy: Power Seeking in a Globalized Era. Plymouth:
Rowman & Littlefield Publishers.

_________, 2008. Public Opinion and Media, dalam The New Foreign
Policy: Power Seeking in a Globalized Era. (2nd ed.). United
States of America : Rowman & Littlefield Publishers, Inc., pp.
111 – 28.

Tavernise, Sabrina, & Matt Siegel, 2008. Looting and ‘Ethnic


Cleansing’ in South Ossetia as Soldiers Look On. [daring].
dalam http://www.theage.com.au/world/looting-and-
ethnic-cleansing-in-south-ossetia-as-soldiers-look-on-
20080815-3wf7.html [diakses 11 Januari 2015].

The Guardian, 2008. Russian Troops to Stay in Abkhazia and South


Ossetia. [daring]. dalam http://www.theguardian.com/
world/2008/sep/09/georgia.russia [diakses 11 Januari
2015].

12 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Muhammad Ahalla Tsauro

The Moscow Times, 2008. Moscow Claims Media War Win. [daring].
dalam http://web.archive.org/web/20120523210654/
http://www.themoscowtimes.com/news/article/moscow-
claims-media-war-win/372391.html [diakses 11 Januari
2015].

The Washington Post, 2014. How People in South Ossetia, Abkhazia,


and Transnistria Feel About Annexation by Russia. [daring].
dalam http://www.washingtonpost.com/blogs/monkey-
cage/wp/2014/03/20/how-people-in-south-ossetia-
abkhazia-and-transnistria-feel-about-annexation-by-russia/
[diakses 11 Januari 2015].

Western, Jon, 2005. Selling Intervention and War: The Presidency,


the Media, and the American Public. Baltimore: The Johns
Hopkins University Press.

Wicaksana, Gede Wahyu, 2014. Public Opinion in Foreign Policy,


dalam Kuliah Perbandingan Politik Luar Negeri, 6 November
2014. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Departemen
Hubungan Internasional. Surabaya: Universitas Airlangga.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 13


14 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Nadia Farabi

Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa


Bantuan INGO (International Non-Governmental
Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru,
Yogyakarta

Nadia Farabi

ABSTRACT

Yogyakarta earthquake in 2006 caused losses in various aspects, especially housing.


This prompted the entry of humanitarian assistance, both from within and outside
Indonesia. Domes For The World (DFTW) is a non-governmental organization
from United States that provide assistance to the victims of Yogyakarta earthquake.
In 2006, DFTW offer assistance in the form of earthquake resistant houses, shaped
like dome. This study aims to determine the entry process of DFTW aid, until
finally managed to get permission to build dome houses in Nglepen Baru. The
result showed that the construction of dome houses in Nglepen Baru is with the
permission of Regent of Sleman, as well as based on the agreement between the
citizens.

Keywords: humanitarian aid, DFTW, dome houses, humanitarian diplomacy,


negotiation

Gempa Yogyakarta tahun 2006 silam menyebabkan kerugian dalam berbagai


aspek, utamanya aspek perumahan. Hal ini menyebabkan masuknya bantuan
kemanusiaan baik dari dalam maupun luar Indonesia tidak dapat dihindari. Domes
for The World (DFTW) adalah organisasi non-pemerintah dari Amerika Serikat
yang menawarkan bantuan terhadap korban gempa Yogyakarta. Di tahun 2006,
DFTW menawarkan bantuan dalam hal perumahan berbentuk layaknya dome.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proses masuknya bantuan DFTW,
sampai mendapatkan perijinan dan berhasil membangun rumah dome di Nglepen
Baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi rumah dome didasari
persetujuan antara Kabupaten Sleman dan masyarakat.

Kata-kata Kunci: bantuan kemanusiaan, DFTW, rumah dome, diplomasi


kemanusiaan, negosiasi

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 15


Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International
Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

Bencana Yogyakarta Tahun 2006 dan Dampaknya terhadap


Aspek Perumahan

Letak Provinsi DI Yogyakarta yang berada di antara dua lempeng


aktif, yakni Indo-Australia dan Eurasia, mengakibatkannya sering
mengalami gempa berkekuatan kecil maupun besar. Berdasarkan
catatan United States Geological Survey’s (USGS) Earthquake
Hazards Program, pusat gempa berada pada 7,97o LS dan 110,458o BT,
dengan kedalaman 10 km, dan momen magnitudo 6,3 (earthquake.
usgs.gov, 2006) sehingga tergolong sebagai gempa kuat. Berbeda
dengan USGS, data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) menunjukkan bahwa pusat gempa berada pada 8,00 o LS
dan 110,31o BT, atau 37,2 km selatan Yogyakarta, dengan kedalaman
33 km, dan 5,9 skala Richter (BMKG, 2006). Dengan data tersebut,
maka gempa Yogyakarta tahun 2006 tergolong sebagai gempa
berkekuatan sedang.

Tulisan ini mengkaji proses masuknya bantuan DFTW dengan


terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama membahas dampak
gempa Yogyakarta tahun 2006 terhadap aspek perumahan.
Memahami dampak gempa menjadi penting karena bertujuan untuk
mengantarkan pada bagian kedua yang secara rinci membahas
tentang bantuan kemanusiaan berupa rumah dome dari DFTW.
Selain berisi prinsip-prinsip kemanusiaan DFTW, bagian kedua juga
menjelaskan proses diplomasi kemanusiaan yang dilakukan oleh
DFTW, sehingga berhasil membangun rumah dome untuk warga
Nglepen Baru di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Terakhir, adalah
kesimpulan dari tulisan ini.

Berdasarkan hasil laporan BAPPENAS dan Tim pada tahun 2006,


jumlah total kerusakan dan kerugian akibat gempa Yogyakarta
tahun 2006 diperkirakan mencapai Rp 29,1 triliun. Kerusakan dan
kerugian di sektor perumahan di Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa
Tengah mencapai Rp 15,3 triliun. Hal tersebut menunjukkan jumlah
tersebut lebih dari setengah jumlah total kerusakan dan kerugian.
Dengan kata lain, sektor perumahan mengalami kerusakan dan
kerugian terparah dibandingkan sektor lain yang terkena dampak.
Sedikitnya 157.000 rumah hancur dan 202.000 lainnya rusak di
Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah akibat gempa.
Perkiraan kerusakan unit perumahan di Provinsi DI Yogyakarta
dapat dilihat pada tabel berikut:

16 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Nadia Farabi

Tabel 1 Perkiraan Kerusakan Fisik (Unit Perumahan)

Kota/Kabupaten Hancur Total Rusak


Bantul 46.753 33.137
Sleman 14.801 34.231
Yogyakarta 4.831 17.967
Kulon Progo 6.793 3.591
Gunung Kidul 15.071 9.417
Total 88.249 98.342

Sumber: diolah dari Perkiraan Tim Penilai Gabungan dalam


Laporan Bersama BAPPENAS, Pemerintahan Provinsi dan Daerah
DI Yogyakarta, Pemerintahan Provinsi dan Daerah Jawa Tengah,
dan Mitra Internasional, 2006

Mengacu pada data di atas, banyaknya rumah yang hancur dan


rusak menyebabkan lebih dari satu juta orang kehilangan tempat
tinggal. Mayoritas penduduk yang tinggal di daerah yang terkena
dampak gempa adalah penduduk yang dapat dikategorikan miskin
(BAPPENAS & Tim, 2006). Seperti halnya kabupaten miskin lainnya
di Indonesia, kawasan-kawasan tersebut bergantung pada Dana
Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat. Dengan pendapatan
tersebut, penduduk sulit untuk bisa memiliki rumah yang tahan
gempa. Sebagian penduduk hanya mampu membangun rumah
dengan material kayu, sementara sebagian lainnya memiliki rumah
dengan material batu bata namun tanpa rangka beton bertulang.
Tumpukan bata yang lemah menyebabkan bangunan mudah runtuh
ketika terjadi gempa; membuktikan bahwa penduduk tidak mampu
membantu dirinya sendiri dalam merespon gempa.

Gambar 1 Hunian di Desa Sengir Hancur Akibat Gempa

Sumber: Elnashai dkk, 2006

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 17


Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International
Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

Bantuan Domes For The World (DFTW): Negosiasi Diplomasi


Kemanusiaan Bagi Korban Gempa Yogyakarta 2006

Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta tahun 2006 membangkitkan


keinginan banyak negara untuk menjadi donor. Program
rekonstruksi rumah-rumah penduduk yang hancur menjadi salah
satu bagian yang krusial. Departemen Pekerjaan Umum mencatat
jumlah rumah yang rusak di kawasan Provinsi DI Yogyakarta ada
370.776 rumah (ciptakarya.pu.go.id, 2006). Selain membutuhkan
dana yang besar, para stakeholders harus mempertimbangkan
struktur dan bahan bangunan agar tahan gempa. Pada waktu
itu, DFTW datang dengan tawaran bantuan rumah tahan gempa
berbentuk setengah lingkaran.

Bantuan kemanusiaan harus diberikan berdasarkan pada


prinsip-prinsip kemanusiaan. Menurut United Nations Office for
Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA), prinsip-prinsip
kemanusiaan tersebut adalah humanity (kemanusiaan), neutrality
(netralitas), impartiality (ketidakberpihakan), dan independence
(kemandirian). Prinsip kemanusiaan, netralitas, imparsialitas,
dan kemandirian ini menjadi fondasi yang mengatur gerak aktor
kemanusiaan dalam memberikan bantuan kepada korban bencana,
baik bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia,
seperti perang. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, seluruh
bantuan kemanusiaan tidak boleh membeda-bedakan kebangsaan,
agama, jenis kelamin, etnis, ataupun afiliasi politik. Keseluruhan
prinsip menjadi elemen penting yang memengaruhi proses
koordinasi bantuan kemanusiaan (Walzer, 2011).

Prinsip-prinsip bantuan kemanusiaan di atas secara resmi ditetapkan


oleh Perserikatan Bangsa-bangsa melalui dua resolusi Majelis
Umum. Tiga prinsip yang pertama, yakni kemanusiaan, netralitas,
dan ketidakberpihakan, tercantum dalam Resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 46/182 yang diadopsi tahun
1991. Tahun 2004, melalui Resolusi Majelis Umum Nomor 58/114,
prinsip kemandirian ditambahkan (Walzer, 2011). Kedua resolusi
disusun sebagai respon atas berbagai bencana yang terjadi.

18 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Nadia Farabi

Dibutuhkan prinsip-prinsip kerja kemanusiaan agar bantuan


yang diberikan adalah bantuan yang berkualitas, dapat
dipertanggungjawabkan, serta memberikan sistem perlindungan
yang baik bagi masyarakat yang didampingi maupun bagi pekerja
kemanusiaan selama melaksanakan proses pendampingan. Karena,
bagaimana pun baiknya niat bantuan kemanusiaan, apabila tidak
memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan, maka memiliki
risiko yang justru dapat mengakibatkan dampak atau bencana
lanjutan (second disaster) bagi masyarakat setempat, dan ancaman
keselamatan bagi para pekerja kemanusiaan.

Prinsip-prinsip di atas dapat diamati di DFTW. DFTW adalah


sebuah organisasi non-profit yang bertujuan membantu masyarakat
yang membutuhkan bantuan berupa pelatihan, peralatan, dan
metode pembangunan tempat tinggal, baik di perkotaan mapun
di pedesaan, dengan konsep bangunan Monolithic EcoShells dan
Monolithic Domes (dftw.org, 2007), seperti gambar berikut:

Gambar 2 Skema Rumah Dome

Sumber: monolithic.org, 2015

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 19


Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International
Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

DFTW merupakan salah satu anggota perkumpulan World


Association of Non-governmental Organizations (WANGO).
WANGO adalah organisasi internasional yang mewadahi
berkumpulnya seluruh NGO di dunia (wango.org, 2015). DFTW
sebagai organisasi non-profit mengumpulkan donasi dari berbagai
pihak, termasuk individu. Donatur dapat memberikan kepada
DFTW donasi senilai minimal 10 dolar dan maksimal 3.000 dolar
(shop.dftw.org, 2015). Selain dari individu, sumbangan juga berasal
dari pendonor tetap seperti Emaar Properties, Ekker Design Build,
Semnani Foundation, Friends of the United Nations, Village of Hope,
dan Profiles of Caring (dftw.org, 2007). Sumbangan yang masuk dari
lembaga-lembaga independen dan individu ini menghindarkan
DFTW dari kepentingan lain selain misi kemanusiaan.

Bantuan diberikan untuk membantu korban bencana alam, tanpa


membedakan bangsa, ras, agama, dan kelas. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Ir. Ikaputra, salah satu dosen Jurusan Arsitektur
Universitas Gadjah Mada yang terlibat dalam rekonstruksi dan
rehabilitasi korban bencana gempa Yogyakarta 2006, DFTW hanya
mengajukan satu syarat, yakni agar dibantu mencari sekelompok
warga yang paling membutuhkan bantuan.

DFTW menyadari bahwa organisasi ini akan membawa kebudayaan


baru melalui bangunan berbentuk dome. Satu kelompok dipilih
agar relokasi lebih efektif dan efisien, dan dapat menjadi desa
percontohan. Berangkat dari empat prinsip bantuan kemanusiaan,
DFTW menawarkan bantuan berupa pembangunan rumah dome
bagi masyarakat yang membutuhkan.

Suatu aksi kemanusiaan harus diawali dengan diplomasi yang


berkaitan dengan upaya memengaruhi para pengambil kebijakan
agar memberi izin kepada para aktor kemanusiaan menjalankan
misi kemanusiaan. Oleh sebab itu, hal pertama yang diperhatikan
oleh aktor kemanusiaan adalah mengidentifikasi siapa pengambil
kebijakan yang relevan. Sebagai contoh, apabila pemberi bantuan
fokus pada infrastruktur dan hendak memberikan bantuan berupa
tempat tinggal, maka terlebih dahulu harus mencari aktor yang
menangani rekonstruksi dan rehabilitasi di wilayah yang hendak
dibantu tersebut. Setelah diketahui, maka yang perlu dilakukan
adalah memahami proses pengambilan kebijakannya.

20 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Nadia Farabi

Diplomasi meliputi persuasi, negosiasi, dan kompromi untuk


mencapai tujuan (Minear & Smith, 2007). Diplomasi kemanusiaan
merupakan upaya memengaruhi para pengambil kebijakan
untuk bertindak, demi kepentingan masyarakat rentan, dengan
menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan yang telah disepakati
bersama. Aktor kemanusiaan yang berhasil melakukan diplomasi
kemanusiaan dengan baik, ke depannya lebih sering dijadikan
pertimbangan oleh para pembuat keputusan ketika berkaitan
dengan penanganan kelompok rentan. Aktor kemanusiaan tersebut
memiliki akses yang lebih besar lagi untuk memengaruhi para
pengambil kebijakan. Karena, keputusan untuk terlibat dalam
diplomasi kemanusiaan bukan merupakan pilihan, tetapi lebih
kepada bentuk tanggung jawab. Rasa tanggung jawab aktor-aktor
non-negara dalam membantu negara menangani kelompok rentan
yang terkena bencana selalu dibutuhkan, mengingat negara tidak
dapat bekerja sendiri dalam memenuhi hak-hak warga negaranya.

Penanganan bencana di Provinsi DI Yogyakarta memanfaatkan


social capital. Seluruh aktor terkait dilibatkan, mulai dari pemerintah,
LSM lokal dan internasional, donor, akademisi, dan masyarakat.
Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta merupakan salah
satu universitas yang paling banyak dilibatkan pemerintah daerah
dalam menangani bencana, karena perguruan tinggi seperti UGM
dinilai tidak memiliki motif apapun kecuali membantu. UGM pada
waktu itu secara khusus membentuk Posko UGM Yogyakarta
Peduli Bencana DIY dan Jawa Tengah yang terdiri dari berbagai
perwakilan fakultas di dalamnya. (Domes for The World, 2007).

DFTW datang ke Posko UGM dengan menawarkan skema model


rumah yang ingin dibangun. Bersama dengan WANGO, DFTW
pada awalnya menghubungi Wakil Rektor UGM. Tawaran DFTW
dan WANGO kemudian diarahkan ke Posko Fakultas Teknik,
karena yang menguasai aspek infrastruktur setelah gempa ada di
Posko Fakultas Teknik, yakni Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D. dan Ir.
Ikaputra, M.Eng., Ph.D. Posko Fakultas Teknik antara lain terdiri
dari Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Jurusan Teknik
Geodesi, Jurusan Teknik Geologi, serta Jurusan Teknik Sipil dan
Lingkungan, dan bertanggung jawab terhadap geo-hazards mapping
dan building damage assessment.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 21


Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International
Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

Ketika itu, DFTW bukan satu-satunya organisasi yang menawarkan


bantuan berupa tempat tinggal bagi para korban bencana gempa
Yogyakarta tahun 2006. Namun, sejak awal berdiri, Posko Fakultas
Teknik UGM (JJAR) ini berkomitmen bahwa rumah yang akan
dibangun harus tahan gempa dan fungsional. Sehingga, desain
rumah dome yang ditawarkan oleh DFTW lebih unggul dari tawaran-
tawaran lain. JJAR terdiri dari akademisi arsitektur dan sipil. Dari
segi desain, fungsi, maupun metode-metode yang akan digunakan
pada tahap pembangunan, rumah dome menarik perhatian JJAR
(Domes for The World, 2007).

Awalnya, banyak pihak masih ragu dengan desain yang ditawarkan,


karena rumah berbentuk setengah lingkaran di Indonesia hanya
dapat ditemukan di Irian Jaya, atau yang dikenal dengan rumah
Honai. Rumah dan pemiliknya memiliki keterikatan yang dalam,
seperti ungkapan “a house is not always a home”. Siapa pun bisa
memiliki rumah dome, tetapi tidak semuanya bisa merasakannya
sebagai tempat tinggal. Dengan kultur rumah berbentuk persegi
maupun persegi panjang, tentu tidak mudah bagi masyarakat untuk
menerima langsung desain rumah dome.

Selain berkaitan dengan kultur, keraguan juga ditinjau dari segi


kecocokan struktur bangunan dengan iklim di Indonesia. Menanggapi
dua permasalahan tersebut, DFTW (diwakili oleh arsitekturnya) dan
JJAR melakukan improvisasi desain, sehingga lebih bisa diterima
masyarakat, dari segi kultur. DFTW juga menyatakan bahwa warga
yang nantinya menerima bantuan diperbolehkan untuk melakukan
improvisasi di masa depan (Domes for The World, 2007).

JJAR juga mempertanyakan tentang dana dan sumber daya manusia


(SDM): apakah secara finansial terjangkau dan memungkinkan
adanya transfer pengetahuan. Untuk persoalan dana, DFTW
menerima hibah sebesar 1 juta dolar dari Emaar Properties
(changemakers.com, 2015). Pemerintah dan masyarakat penerima
bantuan tidak perlu mengeluarkan dana untuk pembangunan
rumah dome. DFTW yang membangun perumahan dome dengan
menggandeng Monolithic Inc. lebih lanjut memastikan bahwa
terdapat transfer pengetahuan selama pembangunan rumah dome.

Konsep rumah dome sudah lama ada, karena Monolithic Inc.


sudah membangun bangunan berbentuk dome sejak tahun 1970an.

22 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Nadia Farabi

Tetapi, tidak semua orang menguasai teknik pembangunan rumah


tahan bencana ini, termasuk masyarakat Indonesia. Transfer
pengetahuan dilakukan antara lain dengan melibatkan masyarakat
lokal dalam proses pembangunan seperti misalnya, pengadaan
bahan bangunan dan pelaksanaan pembangunan (Handayani, 2011:
37). Pendekatan yang dilakukan DFTW bersifat semi-partisipasi.

Setelah pertimbangan hal-hal di atas, tim JJAR mulai menghubungi


pemerintah daerah, untuk realisasi, setelah sebelumnya menentukan
wilayah mana yang hendak direlokasi. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, DFTW meminta satu kelompok warga saja untuk
direlokasi. Tim JJAR dalam hal ini memilih warga dari Desa Sengir.
Akibat gempa, banyak rumah warga di Desa Sengir yang hancur
dan tidak dapat digunakan lagi. Ir. Ikaputra menjelaskan bahwa
Desa Sengir juga ditetapkan sebagai daerah yang tidak layak dihuni
karena rawan bencana. Oleh karena itu, JJAR diwakili Ir. Ikaputra
menghubungi Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan
Kabupaten Sleman, serta Bupati Kabupaten Sleman, Ibnu Subiyanto.
Audiensi dengan Bupati Ibnu Subiyanto dilakukan dengan tujuan
untuk memperoleh izin dan menemukan lahan untuk pembangunan
perumahan dome (Domes for The World, 2007).

Pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan bantuan yang


masuk ke wilayahnya. Peran dan kewajiban negara dalam kaitannya
dengan bantuan kemanusian sedikitnya dapat dilihat dalam empat
hal: negara memiliki kewenangan untuk mendeklarasikan adanya
krisis dan mengundang bantuan kemanusiaan berskala internasional;
negara menyediakan pendampingan dan memberikan perlindungan
dengan kemampuannya sendiri; negara bertanggung jawab dalam
mengawasi dan mengkoordinasi bantuan atau pendampingan
asing; serta negara memiliki kewenangan menyusun regulasi
ataupun kerangka hukum terkait bantuan kemanusiaan yang
masuk ke wilayahnya (Harvey, 2009). Jika dilihat dari empat poin
tersebut, maka dapat dimaknai bahwa pemerintah memiliki otoritas
untuk mengatur bantuan yang turun ke lapangan. Pengaturan
tersebut bertujuan agar bantuan yang masuk memberikan manfaat
yang optimal bagi mereka yang dilanda bencana, dan tidak justru
menimbulkan bencana baru.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 23


Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International
Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

Saat ini, Indonesia sudah memiliki Undang-undang Nomor 24 Tahun


2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peran Serta
Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-pemerintah dalam
Penanggulangan Bencana. Sebelum kebijakan-kebijakan tersebut
ada, penanganan bencana dilaksanakan berdasarkan keputusan-
keputusan presiden. Sewaktu gempa Yogyakarta terjadi pada tahun
2006, pedoman yang digunakan adalah Keputusan Presiden Nomor
9 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi untuk Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pascabencana Gempa Bumi Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Berawal dari keputusan presiden
tersebut, disusun kebijakan-kebijakan lain, sampai di tingkat daerah.
Berbagai keputusan pemerintah, dan surat pernyataan resmi terkait
bencana alam dan gempa bumi, mendorong masuknya berbagai
bantuan kemanusiaan. Mengacu pada Keputusan Presiden Nomor
9 Tahun 2006, Tim Koordinasi dapat mengundang atau meminta
bantuan, dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah
setempat. Seluruh bantuan yang masuk, terutama dari asing, harus
di bawah pengawasan pemerintah (BAPPENAS, 2006).

Rekonstruksi dan rehabilitasi memang telah menjadi prioritas


pemerintah, termasuk Bupati Ibnu Subiyanto. Banyaknya kerusakan
dan kerugiaan yang dialami akibat gempa membuat jutaan orang
terpaksa kehilangan tempat tinggal tetapnya.Ketika DFTW datang
dengan tawaran bantuan, hal ini tidak dapat dipungkiri merupakan
berkah, karena pemerintah juga tidak perlu mengeluarkan dana
sama sekali. Di sisi lain, rumah dome tahan gempa; sesuai dengan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2006
tentang Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Rumah Pasca
Gempa Bumi di Wilayah Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa
Tengah, yang menegaskan bahwa rehabilitasi dan rekonstruksi
harus memperhatikan aspek tahan gempa (ciptakarya.pu.go.id,
2006). Sehingga, di masa yang akan datang, kerusakan rumah dan
bangunan akibat gempa bumi dapat diminimalisir. Lebih lanjut,
rekonstruksi dan rehabilitasi harus memprioritaskan warga miskin.

Setelah mendapat dukungan dari pemerintah daerah, DFTW beserta


tim JJAR dan perwakilan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman
segera berkunjung ke Desa Sengir dan bertemu lurah setempat.
Bentuk dome yang merupakan hal baru bagi masyarakat Indonesia
kembali menjadi poin yang dipertanyakan.

24 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Nadia Farabi

Tanpa ada paksaan, Lurah Desa Sengir menyarankan untuk


diadakan pertemuan dengan warga terlebih dahulu. Pertemuan
ini dihadiri oleh DFTW, perwakilan JJAR, perwakilan pemerintah
daerah, dan warga Desa Sengir yang akan diberi bantuan. DFTW
mengadakan presentasi di hadapan tim UGM, Pemerintah Daerah
Kabupaten Sleman, dan warga yang akan menjadi target bantuan.
Terjadi beberapa perdebatan sebelum akhirnya warga setuju untuk
menerima bantuan dari DFTW.

Aktor kemanusiaan memang harus memiliki kemampuan untuk


memengaruhi, melalui diplomasi. Aktivitas aktor kemanusiaan
tidak dapat dilepaskan dari negosiasi, meski tidak semua aktor
menyadari hal tersebut (Regnier, 2011). Negosiasi berjalan lancar
apabila aktor kemanusiaan dapat meyakinkan keunggulan
bantuannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memahami fokus
keilmuan dan keahliannya. Aktor kemanusiaan lebih mudah
memengaruhi para pengambil kebijakan dan aktor-aktor lain yang
menjadi sasaran apabila fokus pada bidang tertentu, dan menguasai
bidang tersebut. Diplomasi kemanusiaan harus dilakukan dengan
menghormati budaya lokal, dan tidak harus dengan pertemuan
antar aktor yang terlibat. Sebaliknya, diplomasi kemanusiaan dapat
dilakukan melalui aksi seperti pelatihan, penelitian, atau pun melalui
transfer ilmu, seperti yang diajukan oleh DFTW dengan transfer
ilmu mengenai struktur bangunan yang dibuat oleh Monolithic Inc
demi menanggulangi bencana.

Presentasi DFTW mengundang beberapa pertanyaan. Pertama,


berkaitan dengan kecocokan struktur bangunan dengan iklim
Yogyakarta yang tropis. Dalam hal ini, DFTW memberikan contoh
bahwa Monolithic, Inc. pernah mendirikan bangunan serupa di
Hawai, yang juga beriklim tropis, dan tidak ada masalah. DFTW
menjelaskan bahwa bangunan dome memiliki struktur bangunan
yang sangat baik, dan bisa dibangun di segala iklim. Bahan-bahan
yang digunakan dalam pembangunan rumah dome membuat
bangunan ini bisa berdiri di daerah panas atau pun dingin. Lebih
lanjut, pembangunan rumah dome dilakukan dengan menggunakan
teknologi yang unik (Domes for The World, 2007).

Kedua, aspek ekonomi. Muncul ketakutan pembangunan rumah


dome akan membutuhkan biaya yang besar.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 25


Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International
Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

Tetapi, pembangunan rumah dome berdiameter 7 meter, atau


sebanding dengan 35 m2, diperkirakan hanya membutuhkan
sekitar 800 dolar, dan seluruh biaya ditanggung oleh DFTW.
Selain memanfaatkan hibah dari Emaar Properties, DFTW sebagai
organisasi non-profit juga mengumpulkan donasi dari berbagai
pihak, termasuk individu. Proses pembangunan juga tidak
membutuhkan waktu yang lama, sehingga warga dapat segera
direlokasi (Domes for The World, 2007).

Ketiga, ketakutan akan terjadinya ketergantungan penerima


bantuan terhadap DFTW, mengingat pembangunan rumah
dome membutuhkan teknologi yang unik. DFTW juga berhasil
meyakinkan JJAR bahwa warga yang menerima bantuan tidak akan
bergantung pada DFTW. Pada proses pembangunan rumah dome,
DFTW berjanji akan berbagi pengetahun dengan warga penerima
bantuan, serta meninggalkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan,
sehingga tidak ada yang bergantung pada DFTW. Pemeliharaan
rumah dome juga mudah, tidak perlu perawatan khusus (Domes for
The World, 2007).

Terakhir, terkait budaya. Pertanyaan seperti ini sudah sering


diterima oleh DFTW, terutama di negara yang nilai-nilai budayanya
masih kental. Konstruksi bangunan setengah lingkaran berbentuk
dome pada kenyataannya sudah terbukti mampu melindungi
penghuninya dari gempa, angin kencang, atau kebakaran.

Namun, keunggulan-keunggulan masih sering ditentang hanya


karena bentuknya yang secara budaya tidak sejalan dengan wilayah
tersebut. Sementara, kebudayaan baru yang banyak ditentang ini
tahan terhadap bencana. Paparan DFTW mengenai keunggulan
bantuannya mulai menarik perhatian masyarakat. Di masa yang
akan datang, warga penerima bantuan juga diperbolehkan untuk
melakukan improvisasi terhadap rumah dome, dengan dana
pribadi masing-masing penghuni rumah (Domes for The World,
2007). Meski sejak awal telah memiliki desain sendiri, DFTW
bersedia mendesain kembali rumah dome agar secara budaya dapat
diterima. Dari bentuk luar, bangunan harus tetap berbentuk dome,
atau setengah lingkaran. Tanpa mengubah grand design, DFTW
mengajukan desain seperti berikut:

26 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Nadia Farabi

Gambar 3 Improvisasi Rumah Dome oleh DFTW

Sumber: dokumentasi Pengelola Desa Wisata Rumah Dome

Desain tersebut diajukan berdasarkan pengamatan DFTW terhadap


lingkungan sekitar. Tetapi, karena permasalahan utama rumah
dome bukan berkaitan dengan bentuknya yang setengah lingkaran,
maka desain itu tidak dilanjutkan. Permasalahan utama ada pada
letak dapur dan ruang tamu berdekatan, seperti budaya barat. Di
Indonesia, ruang tamu adalah tempat untuk menghormati tamu,
sehingga harus diletakkan di depan, dan dipisahkan dengan
ruangan-ruangan lain yang bersifat pribadi. Lebih lanjut, dapur
identik dengan hal kotor, sehingga seringkali terletak di bagian
belakang rumah. Oleh sebab itu, DFTW membentuk desain baru
yang sesuai dengan kebudayaan lokal, dibantu JJAR (Domes for The
World, 2007).

Mengenai rekonstruksi dome ini, penduduk lokal juga banyak


dilibatkan, terutama dalam proses pembangunan rumah dome.
Fenomena seperti ini dikenal dengan istilah cash-for-work (CfW)
yang dapat dimaknai sebagai aktivitas warga untuk mendapat uang
tunai dari hasil bekerja dalam rekonstruksi bantuan kemanusiaan
(Mercy Corps, 2007). CfW adalah istilah yang dirancang oleh aktor
kemanusiaan untuk memberi korban bencana pendapatan, sekaligus
melibatkan mereka dalam membangun kembali infrastruktur
mereka yang hancur akibat bencana.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 27


Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International
Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

Lebih lanjut, berdasarkan hasil wawancara dengan Sulasmono,


pengelola Desa Wisata Rumah Dome Nglepen Baru, proses
pembangunan tidak pernah lepas dari pengawasan pemerintah
daerah. Pada proses ini, DFTW juga melakukan transfer ilmu ke
warga setempat. Pembangunan rumah dome membutuhkan waktu
enam bulan, dengan melibatkan 370 pekerja lokal (dftw.org, 2007).
Pada bulan April 2007, 80 unit bangunan dome diresmikan dilengkapi
dengan ruang tamu, dua kamar, dan dapur. MCK disediakan
di luar rumah dome dan digunakan secara bersama-sama. Setiap
MCK terdiri dari enam kamar mandi, yang dapat dimanfaatkan
12 keluarga. Saat ini, Nglepen Baru menjadi salah satu desa wisata
di Provinsi DI Yogyakarta, yang setiap harinya selalu kedatangan
pengunjung.

Simpulan

Tawaran bantuan DFTW berupa perumahan dome datang di saat


Provinsi DI Yogyakarta membutuhkan bangunan tahan gempa
untuk korban gempa Yogyakarta tahun 2006. Bantuan internasional
seperti yang ditawarkan DFTW adalah bentuk solidaritas
internasional, dan bangunan rumah dome adalah contoh imported
culture yang merupakan bagian dari solidaritas internasional dalam
konteks bencana. Keterbatasan kapabilitas negara merespon bencana
menjadikan tawaran bantuan DFTW harus dipertimbangkan.
Diplomasi kemanusiaan dilakukan DFTW dengan tujuan untuk
membuka jalan bagi masuknya bantuan, tanpa unsur pemaksaan.
Berbagai improvisasi desain dilakukan, agar secara budaya dapat
lebih diterima masyarakat, tanpa mengubah grand design rumah
dome. Kompromi adalah inti dari negosiasi. Di satu sisi, DFTW ingin
membawa kebudayaan baru yang dapat melindungi penghuninya
dari bencana, di sisi lain, warga Desa Sengir harus segera direlokasi.
Pada akhirnya, pemerintah daerah, warga, dan aktor-aktor lokal lain
yang terlibat bersedia menerima budaya baru yang dibawa DFTW,
karena bangunan seperti itu yang dapat membantu mengurangi
risiko bencana di masa yang akan datang. Sementara itu, DFTW
dengan bantuan JJAR bersedia mendesain ulang bagian dalam
rumah dome agar sesuai dengan budaya Indonesia.

28 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Nadia Farabi

Daftar Pustaka
Ashoka Changemakers, t.t. Domes For The World (DFTW) Constructs
Durable Housing and Complete Community Systems For The
World’s Needy [daring] dalam www.changemakers.com/
sustainableurbanhousing/entries/domes-for-the-world-
dftw-constructs-durable-housing [diakses pada 25 Juni 2015].
BAPPENAS, Pemerintahan Provinsi dan Daerah D.I. Yogyakarta,
Pemerintahan Provinsi dan Daerah Jawa Tengah, dan Mitra
Internasional, 2006. Penilaian Awal Kerusakan dan Kerugian:
Bencana Alam di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Domes for the World, 2007. Final Report: Nglepen Baru Yogyakarta
[daring] dalam www.dftw.org/indonesia/final-report-new-
ngelepen-yogyakarta-indonesia [diakses pada 18 Mei 2015].
Domes for the World, 2015. Donations [daring] dalam www.dftw.
org/donors [diakses pada 18 Mei 2015].
Domes for the World, 2015. About Us Domes For The World [daring]
dalam www.dftw.org/about-us [diakses pada 18 Mei 2015].
Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2006. Program Rehabilitasi Gempa
DI. Yogyakarta & Jawa Tengah [daring] dalam ciptakarya.pu.go.
id/dok/gempa/main.htm [diakses pada 13 Juni 2015].
Handayani, T, 2011. Model Rekonstruksi Rumah Pasca Gempa Di
Yogyakarta Dan Klaten.
Harvey, P, 2009. Towards Good Humanitarian Government: The Role
of the Affected State in Disaster Response. London: Overseas
Development Institute.
Hehir, A, 2010. Humanitarian Intervention: An Introduction. New
York: Palgrave Macmillan.
Ikaputra, I, 2008. People Response to Localize the Imported Culture,
Study Case: the Dome House in the Rural Culture Post Javanese
Earthquake 2006 [daring] dalam www.iitk.ac.in/nicee/wcee/
article/14_10-0019.PDF [diakses pada 29 Mei 2015].
MercyCorps, 2007. Guide to Cash-for-Work Programming.
Minear, L dan H Smith, 2007. Humanitarian Diplomacy: Practitioners
and Their Craft. New York: United Nations University Press.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 29


Kajian Humaniter Rumah Tahan Gempa Bantuan INGO (International
Non-Governmental Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta

Monolithic, t.t. The Monolithic Dome. [daring] dalam www.


monolithic.org/domes [diakses pada 4 Agustus 2015].
Saraswati, T, 2007. “Kontroversi Rumah Dome di Nglepen,
Prambanan, D.I. Yogyakarta”, Dimensi Teknik Arsitektur, Vol.
35, No. 2, Desember 2007: 136-142.
United States Geological Survey, 2006. Magnitude 6.3 – Java,
Indonesia [daring] dalam earthquake.usgs.gov/earthquakes/
eqinthenews/2006/usneb6/ [diakses pada 3 Juni 2015].
Walzer, M, 2011. “On Humanitarianism: Is Helping Others Charity,
or Duty, or Both?”, Foreign Affairs, Vol. 90, No. 4 (Juli/Agustus
2011): 69-80.

30 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh


selama 2004-2010 setelah Tsunami Samudra
Hindia tahun 2004

Reza Akbar Felayati

ABSTRACT

The effectiveness of foreign aid from one party to another until today still raises
a lot of debate. Departing from the concept of foreign aid aimed at promoting
economic development and prosperity of developing countries, both in the long
term and short term, many studies analyzing the distribution of foreign aid to
the effectiveness and efficiency in order to achieve the intended objectives. One
foreign aid given at the time of the country experienced a natural disaster, and
it is experienced by Aceh in 2004 in the event of an earthquake and tsunami. In
connection with this, the author in this paper will analyze the effectiveness of
foreign aid that has been given to the development of Aceh after the 2004 tsunami,
in the timeframe of 2004 to 2010.

Keywords: foreign aid, Aceh, effectiveness, development

Keefektifan bantuan luar negeri dari satu pihak ke pihak lain hingga saat ini
masih memunculkan banyak perdebatan. Berangkat dari konsep bantuan luar
negeri yang bertujuan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan negara – negara berkembang, baik dalam jangka panjang maupun
jangka pendek, banyak kajian – kajian yang menganalisa distribusi bantuan luar
negeri terhadap efektivitas dan efisiensi guna mencapai tujuan yang dimaksud
tersebut. Salah satu pemberian bantuan luar negeri diberikan kepada Aceh di
tahun 2004 dalam peristiwa gempa bumi dan tsunami. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, dalam tulisan ini penulis akan menganalisa keefektifan bantuan
luar negeri yang telah diberikan tersebut terhadap pembangunan Aceh setelah
Tsunami tahun 2004, dalam rentang waktu dari tahun 2004 hingga 2010.

Kata-Kata Kunci: bantuan luar negeri, Aceh, efektivitas, pembangunan

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 31


Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010
setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Bantuan luar negeri atau foreign aid memiliki beberapa definisi


yang berbeda, David Sogge (2002) mendefinisikannya sebagai
bentuk pengiriman komoditas, bantuan teknis, serta arus keuangan
dari satu pihak ke pihak lain, baik dari pemerintah suatu negara
ataupun dari institusi lain. Tujuan dari bantuan luar negeri adalah
promosi pembangunan ekonomi terhadap satu negara dalam
rangka menciptakan kesejahteraan, dan dapat berupa hibah
ataupun pinjaman dalam bentuk teknologi, uang, tenaga manusia,
makanan dan ide. Promosi pembangunan ekonomi dalam hal ini
dapat dilakukan dalam jangka panjang ataupun jangka pendek,
yang mana bantuan untuk pembangunan jangka pendek banyak
dilakukan oleh suatu negara terhadap negara yang mengalami
bencana alam ataupun perang. Sedangkan Carol Lancaster (2007)
mendefinisikan bantuan luar negeri sebagai transfer sukarela sumber
dari satu negara ke negara lain, dan dapat melayani satu atau lebih
fungsi, seperti sebagai bentuk hubungan diplomatik, aliansi militer,
memperluas pengaruh budaya negara pendonor, menyediakan
infrastruktur yang dibutuhkan oleh donor untuk ekstraksi sumber
daya dari negara penerima, atau untuk mendapatkan jenis lain akses
komersial. Bantuan dapat diberikan oleh individu, organisasi swasta,
atau pemerintah. Komite Bantuan Pembangunan dari Organisasi
untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau The Development
Assistance Committee of the Organisation for Economic Co-operation
and Development mendefinisikan bantuan sebagai arus ke negara-
negara berkembang dan lembaga multilateral yang disediakan oleh
lembaga resmi, termasuk pemerintah negara bagian dan lokal, atau
oleh lembaga eksekutif mereka, setiap transaksi yang memenuhi
persyaratan berupa: a) bertujuan promosi pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan negara b) dalam bentuk bantuan lunak dan
mengandung hibah unsur minimal 25% (Development Assistance
Committe 2011).

Perdebatan dalam Efektivitas Bantuan Luar Negeri

Meskipun sejumlah besar penelitian bantuan asing dilakukan selama


beberapa dekade terakhir, tidak ada konsensus mengenai apakah
bantuan pembangunan benar-benar mendorong pertumbuhan di
negara-negara penerima. Interaksi kompleks kekuatan politik, dan
ekonomi di negara-negara penerima bantuan mengaburkan analisa
dampak dari bantuan tersebut, dan membuat pemahaman mengenai
efektivitas proyek bantuan luar negeri terpecah.

32 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Beberapa studi menunjukkan bahwa bantuan berdampak pada


pertumbuhan yang tepat, sementara yang lain memberikan bukti
kuat bahwa itu adalah sia-sia, bahkan merugikan pertumbuhan
politik dan ekonomi negara-negara penerima. Roger C. Riddell
(2008) berpendapat bahwa bantuan luar negeri seringkali tidak
efektif karena beberapa faktor; yang pertama adalah inefiensi
birokrasi negara penerima. Bantuan luar negeri yang masuk ke
dalam negara penerima yang memiliki kualitas birokrasi dan
politik yang tidak efisien dan buruk dianggap tidak efektif karena
rentan akan korupsi dan penyelewengan dana, sehingga bantuan
yang sampai di lapangan tidak akan mencukupi bagi mereka yang
membutuhkan. Yang kedua adalah persoalan ketidakcukupan data
di lapangan yang seringkali membuat bantuan yang dikirim tidak
sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yang ketiga
terkait dengan masalah internal negara tersebut, hal tersebut seperti
yang dikatakan Bauer (1972), bahwa pembangunan ekonomi tidak
lepas dari faktor kultural, sosial, politik, dan personal; sehingga
bantuan luar negeri tidak bisa menjadi satu – satunya sumber
pendanaan pembangunan negara.

Bantuan luar negeri juga dianggap efektif sebagai alat untuk


mengatasi kesenjangan antara negara maju dan berkembang.
Berdasarkan asumsi bahwa negara menjadi miskin karena tidak
memiliki modal yang diperlukan untuk menghasilkan pendapatan,
banyak yang melihat bahwa bantuan dapat membantu negara
berkembang dengan menutup kesenjangan membuat mereka
terjebak dalam poverty trap. Teori Big Push menggambarkan bantuan
sebagai katalis yang diperlukan untuk investasi agar masuk dan
mendorong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pandangan
bantuan yang mungkin paling terkenal dikemas oleh ekonom
Jeffrey Sachs, yang melihat bahwa pengelolaan terhadap bantuan
besar-besaran dan reformasi luas yang bertujuan untuk mengatasi
permasalahan ekonomi dengan cepat dan secara bersamaan
merupakan solusi untuk mencapai kesejahteraan. Sachs (dalam
Riddell 2008) melihat bahwa bantuan luar negeri secara intensif
kepada negara miskin serta negara yang mengalami bencana alam
dapat mengakhiri kemiskinan ekstrim untuk dunia pada tahun 2025.

Berangkat dari perdebatan tersebut, maka beberapa institusi


dan organisasi mulai membentuk dan mendesain aid effectiveness
indicator atau indikator efektivitas bantuan luar negeri.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 33


Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010
setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Indikator – indikator tersebut dijadikan acuan dalam melihat


apakah bantuan yang telah diberikan tepat sasaran atau tidak dalam
mencapai tujuannya, yang mana adalah pembangunan jangka
pendek dan jangka panjang. Berkaitan dengan hal tersebut, penulis
menggunakan indikator efektivitas bantuan luar negeri dari Bank
Dunia yang terdiri dari: persentase penyerapan dan pengalokasian
bantuan resmi negara kepada yang membutuhkan (Bank Dunia
2008).

Bantuan resmi mengacu pada arus bantuan dari donor resmi yang
berasal dari negara-negara maju ke negara-negara dan wilayah
berkembang; keakuratan informasi yang tersedia terkait dengan
bantuan yang dibutuhkan, yang berarti bahwa dengan adanya
penyaluran informasi yang akurat, bantuan yang diberikan
dapat lebih tepat sasaran; kecepatan persebaran dan penyerapan
bantuan luar negeri yang diberikan; diversivitas sumber dana
bantuan, dengan semakin bervariasinya sumber dana bantuan
akan mengurangi ketergantungan terhadap satu sumber dana
sekaligus memungkinkan pergerakan dana bantuan yang lebih
fleksibel di lapisan masyarakat yang berbeda; dan yang terakhir
adalah koordinasi pihak donor dan pemerintah, adanya koordinasi
dan kerjasama yang baik akan menentukan terserapnya dan
pembangunan yang tepat sasaran (Masyrafah dan Jock 2008).

Digunakannya indikator keefektifan dari Bank Dunia tersebut tidak


lepas dari fakta bahwa Bank Dunia adalah salah satu organisasi
terbesar yang mengatur proyek restrukturisasi Aceh setelah
Tsunami tahun 2004 dengan pemerintah Indonesia, melalui Aceh
Economic Development Financing Facility Project yang merupakan
proyek untuk mempromosikan pemulihan ekonomi pasca-tsunami
dan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang yang adil
dan berkelanjutan di Aceh yang sejalan kebijakan pembangunan
ekonomi Pemerintah Aceh.

Bantuan Luar Negeri dalam Gempa Bumi dan


Tsunami Aceh 2004

Salah satu bencana yang menjaring banyak bantuan luar negeri


dari berbagai negara di belahan dunia adalah bencana tsunami
yang terjadi di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 silam.

34 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Korban meninggal yang dipastikan oleh UNOCHA (United Nations


Office for the Coordination of Humanitarian Affairs) mencapai 130.736
jiwa dan lebih dari 500 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal.
Total perkiraan kerusakan dan kerugian dari bencana ini bagi
Indonesia sendiri mencapai USD 4,45 miliar atau sekitar Rp 41,4
triliun. Dunia internasional menjanjikan bantuan untuk rekonstruksi
dan pembangunan sebesar US $ 7,2 miliar. Pada akhir 2007, proyek
dan program senilai US $ 6,4 miliar telah dialokasikan oleh 463
organisasi atau 65 persen dari yang total bantuan seluruhnya
(Masyrafah dan Jock 2008). Ekonomi lokal hancur dan banyak
masalah lanjutan yang terjadi, seperti kelangkaan air bersih, serta
timbulnya banyak penyakit seperti tifus, TBC, demam berdarah,
dan infeksi kulit (Jayasuriya dan McCawley 2010). Bantuan luar
negeri pun mengalir dari berbagai negara menuju Indonesia.

Australia menjanjikan US$819,9 juta, Jerman memberikan US$660


juta, Jepang US$500 juta, Kanada US$343 juta, Norwegia dan Belanda
masing-masing US$183 juta, Amerika Serikat mengirim US$350 juta,
dan Bank Dunia memberikan US$250 juta. Italia juga menjanjikan
US$95 juta, kemudian dinaikkan menjadi US$113 juta; $42 juta di
antaranya disumbangkan oleh penduduk Italia menggunakan
sistem SMS, sedangkan World Food Programme (WFP) memberi
bantuan makanan kepada 9000 warga di Aceh dalam satu bulan
(Jayasuriya dan McCawley 2010). Dukungan awal untuk rehabilitasi
mata pencaharian direalisasikan dalam bentuk aset, seperti
perahu kecil dan jaring pancing, serta uang tunai untuk bekerja.

Kebutuhan pemukiman darurat direalisasikan melalui penyediaan


tenda dan barak, serta memulai pembangunan perumahan
permanen (Masyrafah dan Jock 2008). Merujuk pada tabel 1.1 dari
Bank Dunia tahun 2007, sebesar US$6,4 milyar atau sekitar 83 persen
dari total komitmen sudah dialokasikan untuk proyek-proyek
tertentu dan program. sisa komitmen dana US$1,3 miliar belum
dialokasikan oleh para donor dan LSM; Jika melihat tabel tersebut,
dapat dilihat bagaimana dana bantuan yang telah diberikan
oleh luar negeri telah menutupi jumlah minimum yang harus
dipenuhi untuk rekonstruksi Aceh, yang berjumlah US$6.2 milyar.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 35


Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010
setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Tabel 1.1: Alokasi dana rekonstruksi Aceh setelah Tsunami

Sumber: Bank Dunia (2007, dalam Masyrafah, H & Jock MJA


McKeon, 2007)

Efektivitas Bantuan Luar Negeri dalam Rekonstruksi Aceh

Permasalahan pertama dalam efektivitas bantuan luar negeri Aceh


terletak pada penyerapan dana bantuan luar negeri yang dianggap
tidak efektif. Joe Leitman, manajer dana internasional Bank Dunia
menyatakan bahwa bantuan luar negeri yang dikirimkan kepada
Indonesia oleh beberapa negara hanya terserap seperdelapan dari
jumlah total yang diperkirakan mencapai US$ 12.8 triliun (Fengler
dan Ihsan 2006). Kendala dalam penyerapan dana juga terjadi
pada dana bantuan Jerman yang dikirimkan ke Indonesia. Pejabat
kementrian Georg Witschel menyatakan bahwa birokrasi yang buruk
dan masalah korupsi membuat dana bantuan dari Jerman banyak
mengalami penyusutan dalam proses penyerapannya (Fengler dan
Ihsan 2006). Penyerapan yang bermasalah tersebut juga tidak lepas
dari kurangnya informasi terhadap bantuan yang dibutuhkan oleh
masyarakat Aceh. Georg Witschel juga mengkritik bahwa banyak
proyek bantuan yang mengabaikan pengetahuan dan pengalaman
masyarakat lokal. Akibatnya, banyak proyek itu yang salah konsep.
Hal itu juga tidak lepas dari beberapa dana sumbangan yang oleh
donornya ditujukan khusus untuk isu-isu tertentu, seperti anak-
anak, sekolah, dan rumah yatim; yang mana ternyata tidak diterima
dengan baik oleh masyarakat korban. Akibatnya, banyak proyek
tidak sesuai dengan kebutuhan penduduk lokal (Phillips dan
Budhiman. 2005).

36 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Selain itu, bantuan yang dikirim oleh beberapa negara juga tidak
sesuai dengan harapan masyarakat. Bantuan makanan berupa roti
dan kacang merah, serta bantuan untuk anak – anak dalam bentuk
mainan dan boneka dinilai tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan
oleh masyarakat Aceh pada saat itu. Christoplos berargumen bahwa
hal ini dikarenakan keterbatasan informasi tentang Aceh, sehingga
banyak bantuan yang dinilai tidak tepat sasaran (Christoplos 2006).

Christoplos (2006) juga melihat badan-badan bantuan yang bergerak


lambat dan gagal untuk memenuhi komitmen, serta gagal untuk
memastikan tingkat kualitas yang tinggi dan pembangunan jangka
panjang. Pembangunan yang lambat membuat sebagian besar
korban masih tinggal di tenda-tenda lebih dari satu tahun setelah
bencana. Namun dalam hal diversifikasi bantuan, Aceh memiliki
banyak sumber dana bantuan yang membuat dana bantuan
terhindar dari isu volatilitas dana. Pasokan bantuan yang dijanjikan
lebih stabil di negara-negara teridentifi kasi sebagai memiliki
lembaga-lembaga politik yang lemah dan kebijakan makroekonomi
historis miskin (Dollar dan Levine 2005). Ketika ada sejumlah besar
donor, seperti di Aceh, volatilitas bantuan cenderung lebih rendah.
Sementara upaya diversifikasi rekonstruksi di Aceh sendiri berjalan
dengan lancar dan dapat dilihat dalam tabel 2, yang mana dalam
jangka waktu tiga tahun setelah tsunami, 83 persen atau sekitar US$
6,4 miliar bantuan telah dialokasikan untuk proyek-proyek tertentu.

Tabel 2: Penyebaran dan alokasi dana dari berbagai sumber dana


bantuan

Sumber: Masyrafah, H & Jock MJA McKeon, 2007

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 37


Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010
setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Dari data tersebut dapat dilihat bagaimana diversifikasi dana


bantuan di Aceh berdampak positif, dan lebih baik dari penyerapan
dana bantuan di negara lain dalam bencana serupa. Menurut
Jayasuriya dan McCawley, Sri Lanka dalam rentang waktu yang
sama baru menerima US$ 17 miliar dari total US$1 triliunyang
dikirim (Jayasuriya dan McCawley (2010). Hal ini tidak lepas dari
peran pemerintah Indonesia yang lebih sigap dalam hal pengaturan
diversifikasi dana bantuan luar negeri.

Koordinasi dalam rekonstruksi Aceh setelah tsunami mendapat


perhatian dari beberapa kalangan, karena dianggap tidak efektif,
lantaran jumlah lembaga atau NGO yang beroperasi di Aceh.
Dengan sekitar 120 lembaga pelaksana program 266 rekonstruksi
perumahan, ada banyak mekanisme yang berbeda, metode dan
pendekatan. Banyak lembaga pelaksana yang memiliki dana namun
tidak memiliki pengalaman, dan diperparah dengan institusi
lokal yang disfungsional serta masalah tenaga kerja dan bahan
yang seringkali mengalami kekurangan dan berkualitas rendah.
Tantangannya lainnya adalah akses ke beberapa daerah yang sulit
dan mahal (Dercon 2008). Koordinasi menjadi penting karena bagi
negara penerima, pemerintahan merupakan pusat sistem koordinasi
yang kuat dengan gambaran lengkap dari proses pengiriman
bantuan. Mengingat skala rekonstruksi Aceh, koordinasi sangat
penting.

Berbagai mekanisme koordinasi didirikan masing-masing dengan


tujuan yang berbeda dan keberhasilan (Cassen, Robert, dan
asosiasi 1993). Sementara telah ada kemajuan luar biasa dalam
mengkoordinasikan dan melaksanakan lebih dari 2.000 proyek di
semua sektor hanya dalam waktu tiga tahun, ada beberapa bukti
dari buruknya koordinasi menyebabkan kesenjangan, duplikasi,
ketidakefisienan, dan akhirnya hubungan yang lemah antara
kebutuhan dan program pemulihan (BRR dan Internasional Partners
2006). Di lapangan juga terdapat indikasi adanya persaingan antara
lembaga, yang menyebabkan keengganan untuk berbagi rencana
dan studi (BRR dan Internasional Partners 2006). Di Aceh, tiga
badan utama menyediakan kerangka koordinasi yang luas untuk
program rekonstruksi tahun 2004.

38 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Pertama, Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) menjadi badan


pusat untuk kegiatan pemerintah. Kedua, Multi Donor Fund (MDF)
telah dibuat untuk memungkinkan donor bilateral dan multilateral
untuk mengkoordinasikan dana. MDF juga bertindak sebagai forum
untuk mempertemukan lembaga pendanaan untuk memungkinkan
dialog terbuka. Ketiga, PBB menciptakan United Nations Office of the
Recovery Coordinator (UNODC) terutama untuk mengkoordinasikan
badan-badan PBB dan menyediakan access point untuk BRR dan
PBB (Bakornas 2005). NGO di sisi lain mengumpulkan dana
mereka sendiri, sehingga tidak ada mekanisme yang jelas untuk
mengkoordinasikan kegiatan NGO–NGO tersebut. Selain itu
pemerintah Indonesia juga terbantu oleh proyek revitalisasi
ekonomi dan restrukturisasi setelah Tsunami Aceh melalui proyek
Aceh Economic Development Financing Facility atau EDFF.

Komponen pertama dari proyek ini mendukung kegiatan-kegiatan


khusus yang dirancang untuk mempromosikan pemulihan
ekonomi dan pembangunan melalui mendukung sub-proyek yang
mempengaruhi pembangunan ekonomi di Aceh dengan memberikan
kontribusi untuk membangun kembali lingkungan bisnis yang
lebih kompetitif dan mendukung. EDFF mendukung sub-proyek
yang berdasarkan visi pembangunan ekonomi eksplisit dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD,
dalam bidang peningkatan lingkungan bisnis; dukungan sektor
swasta; dan infrastruktur publik. Komponen kedua dari proyek ini
akan mendanai pengelolaan proyek dan pembangunan kapasitas
termasuk konsultasi internasional untuk membantu Pemerintah
Aceh dalam pembentukan dan pengelolaan Unit Manajemen Proyek
atau UMP dan Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal atau
KPDT dalam pelaksanaan proyek di tingkat pemerintah pusat.

Jika ditilik dari indikator keefektifan bantuan luar negeri dari Bank
Dunia, Indonesia telah menunjukkan keefektifannya dalam aspek
koordinasi dan diversifikasi bantuan. Adanya fakta bahwa 83
persen bantuan Aceh telah terserap dan dialokasikan untuk proyek
- proyek spesifik dari tahun 2005, serta pembentukaan koordinasi
di Aceh melalui BRR, MDF dan UNODC dalam hal rekonstruksi
Aceh merupakan bentuk keefektifan penggunaan dana bantuan
luar negeri.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 39


Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010
setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Namun di sisi lain, tidak terpenuhinya indikator lainnya seperti


penyerapan dana yang tidak maksimal akibat birokrasi dan
instabilitas domestik serta ketidakakuratan informasi di lapangan
membuat keefektifan bantuan luar negeri tersebut juga ikut
berkurang. Adanya permasalahan seperti kurangnya kerjasama
antara NGO akibat informasi yang kurang dan bantuan yang
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal merupakan bukti
kurangnya informasi dari pihak pemerintah terkait kondisi di
lapangan. Masalah sosial seperti korupsi dan birokrasi juga menjadi
isu tersendiri, dan seperti yang dijelaskan sebelumnya, adanya
kasus bantuan luar negeri yang hanya terserap seperdelapan
dari jumlah total yang diperkirakan mencapai US$ 12.8 triliun
menjadi bukti bahwa perlu ada pembenahan terkait peningkatan
efektivitas bantuan luar negeri untuk kedepannya. Berangkat dari
fakta tersebut, maka yang dapat dilihat adalah dari beberapa poin
indikator keefektifan bantuan luar negeri, bantuan luar negeri
di Aceh telah menunjukkan keefektifannya. Namun, masih ada
poin – poin keefektifan yang masih gagal dicapai karena situasi di
lapangan yang tidak memungkinkan, seperti dalam poin persebaran
informasi terkait bantuan yang dibutuhkan masyarakat.

Kondisi Aceh setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Pembangunan dan rekonstruksi yang dikebut oleh banyak pihak


setelah tsunami tahun 2004 telah membawa banyak perubahan di
Aceh. Pembangunan infrastruktur baru digenjot dan didanai oleh
bantuan luar negeri dan menghasilkan dampak yang signifikan
bagi Aceh. Menurut data BRR, sudah berhasil dibangun lebih dari
140.000 rumah, 1.759 sekolah, 363 jembatan dengan dana bantuan
luar negeri tersebut (Saturi 2014). Sarwo Edhi Wibowo melihat
ketika masa rehabilitasi-rekonstruksi tahun 2005-2008, ratusan ruko
dan gedung dibangun, dan berhasil membangkitkan geliat ekonomi
Aceh. Namun tidak berarti bahwa tidak ada dampak negatif
dari pembangunan–pembangunan tersebut. Sarwo Edhi melihat
pembangunan yang dilakukan menjadi excess built atau melebihi
kebutuhan, dan terbukti dari banyaknya ruko yang kosong,
puluhan hotel yang dibangun dan hanya digunakan untuk acara
pemerintahan. Begitu pula yang terjadi dengan rumah – rumah yang
dibangun oleh NGO dan BRR di masa rekonstruksi dan rehabilitasi,
banyak yang kosong dan tidak ditempati (Saturi 2014).

40 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Kondisi lainnya terlihat dari PDB Aceh sepuluh tahun setelah bencana
tsunami. Angka Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2010 masih Rp
38,01 triliun, lebih kecil daripada PDB di tahun sebelum tsunami,
2003, yang mencapai Rp 44,68 triliun, menunjukkan ekonomi Aceh
belum sepenuhnya pulih. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh
data dari Pemkab Aceh Besar, yang merekam perkembangan nilai
PDRB Aceh dalam lima tahun terakhir secara berturut-turut, sebesar
36.29 triliun rupiah (2005), 36.85 triliun rupiah (2006), 35.98 triliun
rupiah (2007), 34.09 triliun rupiah (2008) dan 32.18 triliun rupiah
(2009) (Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar 2012). Kuntoro
Mangkusubroto sebagai pimpinan BRR yang memimpin proyek
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh setelah Tsunami membenarkan
dampak negatif tersebut. Mangkusubroto melihat bahwa hingga
akhir tahun 2010, belum ada investasi besar di Aceh yang masuk.

Di sisi lain, terjadi ketidaksinambungan antara rekonstruksi masa


tsunami dengan pembangunan di Aceh. Mangkusubroto melihat
bahwa selama lima tahun setelah tsunami, warga Aceh termanjakan
dengan bantuan luar negeri yang diberikan (Savitri 2014). Kondisi
inipun berlaku di level pemerintah, yang nyatanya tidak berfungsi
sebagai fasilitator. Media asing asal Inggris, The Independent juga
menyoroti isu yang sama terkait keefektifan bantuan luar negeri,
yang mana hingga tahun 2010, pembangunan Aceh dinilai masih tak
merata, terlepas dari dana bantuan miliaran dolar yang dikeluarkan
Inggris untuk rehabilitasi Aceh. The Independent menilai Banda Aceh
menjadi daerah yang dianggap lambat dalam membangun kembali
usai tragedi tsunami. Direktur United Nations Development
Programme Indonesia, Beate Trankmann, mengatakan Banda Aceh
menjadi daerah yang hampir tak ada bedanya dengan peristiwa
tsunami saat itu (Priliawito 2014).

Merujuk pada data–data dan informasi terkait kondisi Aceh setelah


Tsunami tahun 2004, dapat dilihat bagaimana bantuan luar negeri
yang digelontorkan memberi dampak yang signifikan, namun
hanya pada tahap awal rekonstruksi. Ketiadaan pengelolaan
yang baik terhadap bantuan–bantuan serta proyek rekonstruksi
dan rehabillitasi dalam jangka panjang malah menimbulkan
dampak negatif di Aceh. Isu – isu seperti instabilitas ekonomi dan
ketidaksinambungan proyek rehabilitasi dan realitas di lapangan
menjadi bukti kurang efektifnya bantuan luar negeri untuk
pembangunan jangka panjang di Aceh.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 41


Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010
setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Hal ini sekaligus menjadi backlash terhadap teori Big Push. Bantuan
luar negeri yang dikirim ke Aceh sebagai dorongan ekonomi
kenyataannya hanya berlaku untuk melepaskan masyarakat dari
poverty trap jangka pendek, dan dalam realitas jangka panjang
pembangunan ekonomi di Aceh masih tersendat. PDB yang lebih
rendah dari Aceh sebelum tsunami membuktikan kurang efektifnya
pengelolaan bantuan luar negeri di Aceh, sehingga muncul isu – isu
baru dalam pembangunan ekonomi Aceh setelah Tsunami. Farah
Abuzeid (2009) juga menunjukkan bahwa bantuan tidak langsung
merugikan pemerintahan dengan menginduksi peningkatan
ukuran sektor pemerintah, yang pada gilirannya meningkatkan
peluang untuk korupsi. Bantuan memang meningkatkan konsumsi
pemerintah, namun kebanyakan tidak tepat sasaran bagi mereka
yang membutuhkan karena uang yang terbuang pada White
Elephant project, pengadaan fiktif, dan pengeluaran lainnya yang
memberikan kesempatan untuk korupsi, tetapi tidak menghasilkan
dampak untuk mendorong pertumbuhan.

Perbandingan dengan Sri Lanka dalam Rekonstruksi dan


Bantuan Luar Negeri

Dalam melihat efektivitas bantuan luar negeri, perbandingan


penanganan bantuan di negara lain dapat juga menjadi acuan.
Sri Lanka merupakan negara yang juga terkena dampak Tsunami
Samudra Hindia tahun 2004 dan diperkirakan sekitar 35.000 orang
tewas atau hilang, 15.000 luka-luka dan 500.000 mengungsi. Dalam
penanganan bantuan luar negeri, Sri Lanka mendapati pengalaman
yang berbeda. Adanya instabilitas internal berupa konflik sipil,
ditambah dengan skala bencana yang besar membuat pemerintah Sri
Lanka kewalahan. Jika merujuk pada indikator keefektifan bantuan
luar negeri, Sri Lanka memiliki banyak kekurangan daripada
penangangan dana bantuan di Indonesia. Tahun 2005, bantuan
yang dikirim dari ibukota Sri Lanka Colombo ke beberapa wilayah
di Sri Lanka ternyata tidak memiliki petunjuk distribusi sama sekali
(United Nations and the Government of Sri Lanka 2005). Selain
itu, pemerintah Sri Lanka tidak aktif mengelola upaya bantuan,
dan membuat personel dan sumber daya mengalami ketimpangan
distribusi. Di sisi lain, ada beberapa kesamaan antara Sri Lanka
dan Indonesia dalam hal bantuan luar negeri yang didistribusikan
melalui NGO.

42 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Salah satu kelemahan dari bantuan NGO dan organisasi kemanusiaan


yang berbeda adalah menciptakan persaingan yang tinggi antar NGO
dan menghambat efektivitas bantuan, karena saling mengklaim
bertanggung jawab atas proyek – proyek rehabilitasi (Fernando dan
Hilhorst 2006). Isu lain yang diangkat oleh banyaknya responden
adalah prevalensi NGO kecil dengan sedikit pengalaman. Selain
menciptakan kompetisi, NGO tersebut tidak memiliki pengalaman
yang diperlukan untuk menangani besarnya bencana. Dalam
kaitannya dengan koordinasi, Sri Lanka tidak memiliki sistem
distribusi dan organisasi yang terpusat pada pemerintah Sri Lanka.
Kurangnya kapasitas struktural pada bagian dari pemerintah untuk
secara efektif mendistribusikan bantuan, sehingga sistem distribusi
untuk masuknya bantuan kemanusiaan terbukti tidak tepat sasaran.
Selain itu, dari kecepatan waktu penyerapan bantuan yang masuk,
Sri Lanka tidak lebih efektif dari Aceh karena dalam jangka waktu
lima tahun, bantuan yang yang telah dialokasikan ke Sri Lanka
hanya terserap 60 persen (Fernando dan Hilhorst 2006).

Jika membandingkan antara Sri Lanka dan Indonesia, ada beberapa


isu terkait keefektifan bantuan luar negeri yang serupa. Salah satu
yang patut digarisbawahi adalah kerjasama antar NGO di wilayah
bencana. Adanya kompetisi antar NGO, baik di Indonesia maupun
Sri Lanka, tidak lepas dari sistem bantuan luar negeri yang dikirim
dari negara – negara lain. Menurut Jock Stirrat (2006), banyak negara
– negara dan perusahaan yang mengirimkan bantuan melalui NGO
internasional dalam jumlah yang besar, bahkan mencapai jutaan
dolar. Hasilnya adalah NGO tidak lagi sekedar terlibat dalam
kegiatan penyaluran bantuan sejumlah besar uang dan sumber
daya lainnya, tetapi juga menghadapi sejumlah besar stakeholder
yang memiliki rasa ‘kepemilikan’ dalam bantuan tersebut dan harus
dapat memasukkan kepentingan stakeholder dalam bantuan tersebut.
Pada saat yang sama ada juga tekanan terhadap NGO yang masuk
untuk menemukan ‘mitra lokal’ dengan siapa dan melalui siapa
mereka bisa bekerja. Banyak NGO besar menyadari bahwa mereka
tidak memiliki kemampuan atau kapasitas untuk memulai kegiatan
di Sri Lanka dan menyadari perlunya bekerjasama dengan pihak
lokal yang memiliki keterampilan dan pengalaman yang diperlukan
(Stirrat 2006).

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 43


Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010
setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Di sisi lain, Indonesia juga terlihat lebih efektif dalam penyebaran


bantuan lur negerinya jika dilihat dari indikator kecepatan persebaran
dan penyerapan dana bantuan luar negeri. Seperti yang telah ditulis
sebelumnya, Fernando dan Hillhorst mencatat bahwa dalam jangka
waktu lima tahun, bantuan luar negeri di Sri Lanka baru terserap
60 persen dari seluruh bantuan yang dikirim. Sedangkan di Aceh,
dalam jangka waktu tiga tahun, atau di tahun 2007, telah terserap 83
persen dari total seluruh bantuan. Melihat dari fakta tersebut, dapat
dilihat bahwa dari perbandingan penyerapan dana di dua negara
yang berbeda dalam satu bencana yang sama, Indonesia dapat
dikatakan lebih efektif dalam menyerap dan mengalokasikan dana
bantuan luar negeri.

Simpulan

Berdasarkan penjelasan – penjelasan diatas, maka dapat dirumuskan


bahwa terdapat dua hasil terkait keefektifan bantuan luar negeri
dalam tsunami Aceh dari tahun 2004 hingga 2007. Di satu sisi, masih
banyak masalah yang terjadi dalam persebaran bantuan tersebut,
yang seringkali membuat bantuan menjadi tidak tepat sasaran.
Permasalahan seperti birokrasi, korupsi dan kurangnya informasi
membuat bantuan luar negeri tidak efektif dalam mencapai
tujuannya, yaitu mempromosikan pembangunan kepada masyarkaat
korban bencana tsunami Aceh. Namun di sisi lain, Aceh memiliki
kelebihan di bidang diversifikasi dana bantuan serta koordinasi
antara pemerintah dan pihak swasta dalam hal persebaran bantuan
luar negeri tersebut. Hal tersebut dibuktikan dengan pembentukan
BRR serta adanya sistem koordinasi tiga badan utama (pemerintah,
PBB dan NGO) dalam penyebaran bantuan luar negeri. Hal tersebut
juga menjadi poin plus dalam keefektifan bantuan luar negeri jika
dibandingkan dengan Sri Lanka yang juga mengalami tsunami
yang sama di tahun 2004. Sri Lanka memiliki banyak kekurangan
dalam hal persebaran bantuan akibat instabilitas domestik serta
keterbatasan kapanilitas pemerintah Sri Lanka, yang berdampak
pada ketimpangan penyerapan dana bantuan di masyarakat.

Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam beberapa aspek bantuan luar


negeri yang dikirim ke Aceh terbilang efektif, seperti adanya fakta
bahwa 83 persen bantuan Aceh telah dialokasikan untuk proyek-
proyek spesifik dari tahun 2005.

44 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Pengiriman bantuan seperti yang dijanjikan didukung oleh


manajemen pemerintah melalui stabiltas ekonomi makro,
mekanisme pendanaan yang dikelola dengan baik, dan bukti yang
jelas bahwa korban bencana mendapatkan manfaat dari bantuan.
Namun di sisi lain, keefektifan bantuan luar negeri di Aceh dapat
lebih ditingkatkan melalui pembuatan sistem informasi yang
komprehensif dalam kaitannya dengan pemberian bantuan luar
negeri. Selain itu, stabilitas pemerintah pusat juga menjadi faktor
penting karena pemerintah memegang peran vital dalam kapabilitas
persebaran bantuan luar negeri. Kebijakan yang sehat dan
manajemen ekonomi yang baik juga merupakan faktor penting dalam
pembangunan jangka panjang daripada bantuan luar negeri untuk
negara-negara berkembang. Catatan menunjukkan, tanpa lembaga
yang baik, bantuan mungkin memiliki dampak merugikan pada
kualitas pemerintahan di negara penerima berkembang. Dengan
tidak adanya lembaga-lembaga ini kuat, upaya bantuan harus
didedikasikan untuk meningkatkan kualitas tata kelola sebelum
mereka dapat secara efektif ditujukan untuk upaya pembangunan
ekonomi. Mengingat belum adanya metode pendistribusian yang
efektif, aktor global harus setidaknya mengambil segala upaya
untuk tidak membuat kondisi negara – negara berkembang lebih
buruk. Jika bantuan asing ternyata lebih merugikan daripada
menguntungkan, maka perlu ada restrukturisasi dalam prosedur
bantuan luar negeri, sehingga kebijakan dan insentif dapat lebih
baik terkoordinir untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 45


Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004 – 2010
setelah Tsunami Samudra Hindia tahun 2004

Daftar Pusaka

Abuzeid, F. 2009. Foreign Aid and the “Big Push” Theory. Stanford
Journal of International Relations. XI (1), 19.

Bauer, P. T. 2007. Dissent on Development. Boston: Harvard


University Press.

Bakornas. 2005. Aceh Tsunami Report, Bakornas: Indonesia.

Bank Dunia, 2008. Kajian Kemiskinan di Aceh 2008. Sekretariat Bank


Dunia.

BRR and Partners. 2005. Rebuilding a Better Aceh and Nias; Stocktaking
of the Reconstruction Effort, Jakarta/Banda Aceh.

BRR and Partners. 2006. Aceh and Nias – Two Years after the Tsunami,
Progress Report, Jakarta/Banda Aceh.

Cassen, Robert and Associates. 1993. Does Aid Work?,Oxford: Oxford


University Press.

Dercon, B. 2008. Post-Disaster Housing Reconstruction in Asia; A Brief


Review of Recent Experiences, UNHABITAT.

Development Assistance Committee, 2011. The DAC in Dates [daring].


dalam: http://www.oecd.org/dataoecd/3/38/1896808.pdf
[diakses 20 Juni 2015].

Dollar and Levine. 2005. The Forgotten States; Aid Volumes & Volatility
in Difficult Partnership Countries, Organisation for Economic Co-
operation and Development. New York: Bantam

Fengler, W. and Ihsan, A. 2006. Hopes High for Acehnese to Emerge


from Poverty, The Jakarta Post, Indonesia.

Fernando, Udan and Dorothea Hilhorst. 2006 Everyday Practices of


Humanitarian Aid: Tsunami Response in Sri Lanka.” Development
in Practice. 16(3/4).

Jayasuriya, S. 2005. The Asian Tsunami: Aid and Reconstruction after a


Disaster. Cheltenham UK and Northampton MA USA: Edward
Elgar.

Lancaster, C 2007.  Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic


Politics. Chicago: University of Chicago Press.

46 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Reza Akbar Felayati

Masyrafah, H dan Jock MJA McKeon 2008. Post-Tsunami and Aid


Effectiveness in Aceh. Wolfesohn Center for Development

Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar. 2012. Kondisi Ekonomi.


Available: http://www.acehbesarkab.go.id/page/Profil-
Aceh-Besar/ids/13. Last accessed 20 Juni 2015.

Phillips dan Budhiman. 2005. An Assessment of The Impact of the


26th Dec 2004 Earthquake and Tsunami on Aquaculture in the
Provinces of Aceh and North Sumatera, UN Food and Agriculture
Organization, Indonesia

Priliawito, E. 2014. Setelah Tsunami 2004, Pembangunan di Aceh


Masih Lambat. Available: http://dunia.news.viva.co.id/
news/read/570705-setelah-tsunami-2004--pembangunan-di-
aceh-masih-lambat. Last accessed 20 Juni 2015.

Riddell, Roger C. 2008. Does Foreign Aid Work?. Oxford: Oxford


University Press

Savitri, N. 2014. Satu Dekade Tsunami, Pembangunan Ekonomi


di Aceh Masih Lambat. [daring]. dalam: http://www.
radioaustralia.net.au/indonesian/2014-12-12/satu-
dekade-tsunami-pembangunan-ekonomi-di-aceh-masih-
lambat/1398407. [diakses 20 Juni 2015.]

Sogge, D. 2002. Give and Take: What’s the Matter with Foreign Aid?.
New York: Zed Books

Stirrat, J. 2006. Competitive humanitarianism: Relief and the tsunami in


Sri Lanka. Anthropology Today. 22 (5), 13.

United Nations and the Government of Sri Lanka, 2005. National


Post-Tsunami Lessons Learned and Best Practices Workshop Report.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 47


48 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara


dalam Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Yesaya Anggia
Alfionita Rizky P.
Putu Eka Yanti W.
Retno Anggraeni

ABSTRACT

This paper aims to explain the asymmetric relations between China and North
Korea in nuclear issue in 2013. North Korea had been conducting the third nuclear
test in Pyongyang, North Korea in 2013 and it generated protests from many
countries. After the third nuclear test, the trade relationship from China to North
Korea slowed down. But in 2014, their trade relationship raised up and reached
stability as usual. This condition draws that even though Chinese and North Korea
relations is asymmetric, but that relations do not disturb the strategic industry and
nuclear issue in North Korea. Their relationship remains normal and the issue of
ending their bilateral relations is not true. The asymmetric relations is the reason
why their relations is occurred as usual.

Keywords : 2013’s North Korea nuclear test, asymmetric relations, North Korea,
China, trade relationship.

Tulisan ini membahas hubungan asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu
Nuklir Korea Utara Tahun 2013. Korea Utara telah melakukan uji coba nuklir
ketiga di Pyongyang, Korea Utara tahun 2013 dan tindakannya ini menimbulkan
protes dari beberapa negara. Setelah dilakukan uji coba nuklir tersebut, hubungan
perdagangan Tiongkok ke Korea Utara sempat menurun. Akan tetapi, di tahun 2014
mulai terjadi hubungan perdagangan yang stabil dan normal antara Tiongkok dan
Korea Utara. Kondisi ini menggambarkan bahwa meskipun hubungan Tiongkok
dan Korea Utara bersifat asimetris, namun hubungan tersebut tidak mengganggu
industri strategis dan isu nuklir di Korea Utara. Hubungan keduanya berjalan
normal dan isu pemutusan hubungan tidak terjadi. Adanya hubungan asimetris
ini yang menjadi alasan hubungan keduanya tetap berjalan.

Kata-Kata Kunci: Uji coba nuklir Korea Utara 2013, hubungan asimetris, Korea
Utara, Tiongkok, hubungan perdagangan.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 49


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Tiongkok dan Korea Utara dikenal sebagai sekutu dekat. Hubungan


bilateral keduanya terbilang dekat meskipun sebenarnya jika
dilihat kembali posisi Korea Utara tidak terlalu menguntungkan
bagi Tiongkok. Akan tetapi, hingga saat ini, hubungan bilateralnya
tetap dipertahankan. Tiongkok selama ini telah banyak membantu
Korea Utara. Memberi bantuan pangan pada masyarakat di Korea
Utara, menjaga stabilitas rezim di sana, hingga menjadi negara
yang melindungi Korea Utara dari pemberian sanksi atas uji coba
nuklirnya. Ada dua motif utama Tiongkok melakukan tindakan-
tindakan tersebut, termasuk dengan tetap mempertahankan
hubungan bilateralnya.

Pertama, mencegah terjadinya instabilitas di Korea Utara (Xu &


Bajoria 2014). Jika terjadi instabilitas domestik terjadi di Korea
Utara, maka Tiongkok yang akan menanggung beban dari adanya
potensi migrasi pengungsi dari Korea Utara ke Tiongkok. Padahal,
jumlah penduduk di Tiongkok sendiri sudah begitu besar sehingga
tidak memungkinkan lagi untuk menampung pengungsi. Kedua,
untuk mencegah terjadinya instabilitas, tindakan Tiongkok yang
tetap mempertahankan hubungan bilateralnya dengan Korea Utara
dilandasi atas motif mencegah bersatunya Korea Utara dan Korea
Selatan. Bersatunya Korea Utara dan Korea Selatan tidak diinginkan
oleh Tiongkok salah satunya disebabkan karena di Korea Utara ada
perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang berinvestasi di Korea
Utara (Thompson 2011, 5). Jika terjadi penyatuan, maka investasi
perusahaan-perusahaan ini akan terganggu dan ikut mengganggu
pemerintah Tiongkok pula. Selain itu, jika Korea Utara dan Korea
Selatan bersatu, maka Tiongkok tidak akan lagi memiliki buffer state
terhadap Amerika Serikat (AS) yang pangkalan militernya ada di
kawasan Asia Timur (Xu & Bajoria 2014).

Sementara itu, Korea Utara kembali melakukan uji coba yang ketiga
di tahun 2013. Sebelumnya, Korea Utara sendiri telah melakukan uji
coba sebanyak dua kali di tahun 2006 dan 2009. Uji coba nuklir ketiga
Korea Utara ini mengundang beragam asumsi dari media massa dan
publik yang menyatakan bahwa Tiongkok tengah berencana untuk
menghentikan hubungan perdagangannya dengan Korea Utara.

50 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Salah satunya adalah pernyataan mantan jenderal di elit militer


Tiongkok dalam The Global Times yang menyatakan bahwa Korea
Utara telah banyak berhutang budi pada Tiongkok dan sudah
seharusnya Tiongkok mempertimbangkan kembali hubungan
perdagangannya dengan Korea Utara (Perlez 2014). Pernyataan
ini kemudian menggiring asumsi publik bahwa Tiongkok akan
mengakhiri hubungan perdagangannya dengan Korea Utara dan
bertujuan untuk menertibkan sekutunya ini.

Asumsi yang beredar di kalangan masyarakat jika Tiongkok akan


mengakhiri hubungan bilateralnya dengan Korea Utara sebagai
akibat uji coba nuklir tersebut benar terjadi ketika di tahun 2014
tercatat ekspor minyak Tiongkok ke Korea Utara sebesar 0% (Yonhap
News 2015). Tidak hanya itu, pasokan komoditas ekspor bahan-bahan
kimia dari Tiongkok ke Korea Utara juga mulai dibatasi. Akan tetapi,
ada fakta lain yang menunjukkan terjadinya peningkatan kembali
hubungan perdagangan Tiongkok dan Korea Utara seperti dalam
perdagangan batu bara (Yonhap News 2014). Kondisi ini berjalan
hingga tahun 2014 dan paruh waktu 2015. Ini lantas membenarkan
keyakinan bahwa Tiongkok tidak akan pernah memutus hubungan
perdagangannya dengan Korea Utara. Ini membuktikan bahwa
hubungan asimetris tidak lantas menghentikan suatu negara
untuk mengembangkan industri strategisnya, dalam hal ini adalah
industri nuklir. Seperti yang dikatakan dalam Teori Asimetris
bahwa ada dua negara yang berbeda kekuatannya. Negara A
merupakan negara kuat dari segi ekonomi, politik, militer, dan ada
negara B yang kekuatannya berada di bawah negara A. Meskipun
posisi keduanya tidak simetris atau seimbang, namun keduanya
masih bisa bekerjasama. Hubungan dengan negara B bagi negara
A meskipun tidak menguntungkan, namun tetap dipertahankan
karena motif-motif tertentu. Sementara bagi negara B, hubungan
dengan negara A merupakan hal yang menguntungkan dan akan
terus dipertahankan.

Uji Coba Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara pada 12 Desember 2013
merupakan sebuah shock yang cukup memukul dunia internasional.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 51


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Hal mengejutkan tersebut terjadi sesudah terjadi negosiasi-negosiasi


yang melibatkan negara-negara lain seperti Tiongkok, Jepang, dan
Korea Selatan dalam menanggapi isu nuklir Korea Utara. Mediasi
six party talks yang melibatkan Amerika Serikat, Korea Selatan,
Korea Utara, Rusia, Tiongkok, dan Jepang diadakan pada tahun
2003 yang mencoba untuk mengurangi potensi ancaman nuklir
Korea Utara. Roehrig (2013, 1-2) berpendapat bahwa Korea Utara
memiliki rencana untuk meningkatkan kekuatan nuklir yang
mampu mencapai Amerika Serikat dan bahkan mungkin memiliki
maksud untuk memulai perang dengan Amerika Serikat. Tentu
saja ancaman-ancaman terkait nuklir Korea Utara menimbulkan
kekhawatiran, khususnya di regional Asia Timur.

Tidak hanya dari kawasan, dari dunia internasional yang lebih luas,
tindakan nuklir Korea Utara mengundang berbagai kritik keras dan
peringatan. Ancaman embargo dan isolasi yang diberlakukan pada
Korea Utara akan semakin mendalam bila Korea Utara tidak benar-
benar secara penuh menghentikan uji coba nuklirnya. Melalui six
party talks sendiri hal-hal terkait ancaman dan negosiasi akan Korea
Utara telah dibicarakan. Namun demikian, terjadi sedikit kesusahan
pada masa-masa awal pembicaraan tersebut dimulai karena Korea
Utara benar-benar tidak memiliki keinginan untuk menghentikan uji
coba nuklirnya dan terus meningkatkan kemampuan highly-enriched
uranium serta kemampuan nuklir jarak jauh (Thielmann & Fellow
2013, 3-4). Meski pembicaraan ini menemui titik terang pada tahun
2005 saat Korea Utara bersedia untuk menghentikan program nuklir
dan peningkatan senjata nuklir mereka, namun pada kenyataannya,
Korea Utara masih meningkatkan kekuatan nuklir mereka dan pada
tahun 2012 mereka melakukan uji coba nuklir ketiga.

Terdapat berbagai spekulasi yang melihat bahwa tindakan uji coba


nuklir Korea Utara merupakan tindakan memprovokasi Amerika
Serikat dan khususnya Korea Selatan. Hal ini juga didasari pada
sentimen-sentimen yang datang dari Korea Utara mengenai anti-
Amerika. Tindakan peningkatan uji coba nuklir akan terus diadakan
mengikuti pernyataan dari Korea Utara pada Januari 2013 yang
mengatakan bahwa Korea Utara tidak akan melakukan denuklirisasi
dan pemberhentian program nuklir bila negara-negara lain yang
memiliki kekuatan nuklir tidak melakukan hal serupa.

52 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Hal ini juga disusul dengan program negara mereka yang bertujuan
untuk memperbesar kemampuan nuklir dan meningkatkan
aktivitas serta rencana program pengembangan nuklir mereka di
tahun yang sama (Nikitin 2013, 1-3). Uji coba nuklir yang dilakukan
oleh Korea Utara mengundang rasa cemas pada Korea Selatan.
Provokasi ataupun tidak, meski tidak dilakukan secara sengaja,
uji coba tersebut memaksa Amerika Serikat dan Korea Selatan
untuk menempatkan pertahanan rudal di daerah perbatasan untuk
melakukan nuclear deterrence. Thielman dan Fellow (2013, 1-2)
mengungkapkan bahwa Korea Utara terlalu sering mengabaikan
peraturan yang diberikan, seperti Resolusi 1718 yang diberlakukan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Korea Utara untuk
meninggalkan seluruh program nuklir mereka pada tahun 2006.
Meski komitmen yang diberikan oleh Korea Utara pada tahun
2007 mengatakan bahwa mereka bersedia untuk menghentikan
dan memberikan informasi mengenai kekuatan nuklir mereka,
namun pada kenyataannya, mereka tidak meninggalkan program
tersebut dan justru melakukan uji coba nuklir pada tahun 2012
yang dikhawatirkan memiliki kekuatan daya ledak lebih besar
dibandingkan uji coba yang sebelumnya.

Dalam melakukan uji coba nuklirnya, Korea Utara tentu memiliki


motivasi tersendiri. Nikitin (2013, 17-8) mengatakan bahwa
motivasi utama Korea Utara adalah menciptakan rudal jarak
jauh yang tentu saja akan memenuhi tujuan utama Korea Utara
sebelumnya, membuat rudal untuk mencapai Amerika Serikat
dan memenuhi konstitusi negaranya. Motivasi kedua adalah
sebagai respon negatif Korea Utara atas tindakan Amerika Serikat
yang memasukkan Korea Utara ke dalam terrorism list. Motivasi
ketiga adalah sebagai leverage atau alat diplomasi dalam berbagai
negosiasi. Nuklir dianggap sebagai charming point dari Korea Utara
dan bisa digunakan untuk memperkuat posisi Korea Utara di dunia
internasional. Melalui motivasi-motivasi tersebut, dapat ditarik
bahwa Korea Utara benar-benar memiliki rencana dan niatan untuk
meningkatkan kemampuan senjata nuklir mereka ke tingkat yang
lebih tinggi. Tidak hanya itu, tindakan agresif dari Korea Utara
juga mengundang ancaman bahwa Korea Utara akan mengadakan
perang dengan Amerika Serikat dan bila hal itu terjadi, akan terjadi
ketidakstabilan dengan negara-negara yang menjalin hubungan
dengan kedua pihak.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 53


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Teori Hubungan Asimetris


Hubungan bilateral antara Tiongkok dan Korea Utara dapat
dijelaskan salah satunya lewat Teori Hubungan Asimetris. Teori
Hubungan Asimeteris menjelaskan bahwa di dalam hubungan
internasional selalu terdapat hubungan bilateral yang asimetris.
Hubungan bilateral yang asimetris ini menggambarkan ada sebuah
negara yang lebih kuat dari segi kekuatan ekonomi, militer, politik,
teritori, dan sebagainya, sementara di pihak lain ada negara yang
tergolong lemah (Womack 2004, 359). Hubungan bilateral keduanya
meskipun asimetris, namun tidak sampai akan menyebabkan
instabilitas dalam sistem internasional. Ini disebabkan oleh salah
satunya adalah hubungan kedua negara tersebut satu sama lain
memiliki persepsi yang mampu membuat kondisi tetap stabil.
Pertama, bagi negara yang kuat, dengan kekuatan nasional yang
dimilikinya, hubungan bilateral dengan negara kedua yang lebih
lemah dengannya pada dasarnya tidak memiliki keuntungan apapun
(Womack 2004, 360). Akan tetapi, negara pertama (negara kuat) ini
menyadari bahwa hubungan dengan negara kedua (yang lebih
lemah) dipertahankan atas dasar alasan-alasan tertentu (Womack
2004, 360). Alasan-alasan tertentu ini salah satunya adalah menjaga
stabilitas domestik negara tersebut maupun sekitarnya. Negara
kuat lebih mampu dalam mengontrol perilaku negara yang lebih
lemah. Kemampuan mengontrol ini perlu untuk dipertahankan
agar negara yang lebih lemah tidak bertindak di luar batas norma-
norma yang ada.

Kedua, bagi negara yang lemah, hubungan bilateral dengan negara


yang kuat tentunya menguntungkan dan penting (Womack 2004,
360). Negara yang lemah cenderung akan memanfaatkan dan
mempertahankan hubungan bilateralnya karena ada insetif maupun
bantuan yang diberikan dari negara kuat ke negara lemah. Hal-hal
semacam ini diperlukan untuk survival negara lemah tersebut. Jika
suatu waktu negara lemah bertindak menyimpang dari norma-
norma internasional, seringkali negara kuat akan “masuk” dan
mengontrol negara lemah. Dengan mekanisme semacam ini, negara
lemah dan instabilitas yang mungkin terjadi akibat tindakannya ini
dapat dicegah oleh negara yang lebih kuat.

54 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Meski hubungan keduanya bisa menjadi damai, namun pada


waktu-waktu tertentu, hubungan keduanya dapat menimbulkan
mispersepsi (Womack 2004, 362). Mispersepsi yang timbul dapat
disebabkan karena adanya tindakan dari salah satu negara yang
dianggap tidak sejalan dengan apa yang diekspektasikan. Untuk
menangani mispersepsi ini, setidaknya dapat dilakukan dua cara
yaitu minimalisasi isu tinggi dan mengontrol eskalasi mispersepsi.
Cara pertama yaitu minimalisasi isu tinggi dilakukan dengan
misalnya membuat retorika yang menekankan pada kesamaan
kepentingan, sementara pada cara kedua yaitu kontrol terhadap
eskalasi mispersepsi akan dilakukan melalui cara membuat komisi
ahli untuk memanajemen area masalah yang spesifik (Womack 2004,
362). Pada cara kedua ini seringkali dilakukan manajemen masalah
melalui pelibatan negara lemah dalam pembangunan domestik
seperti mengirim bantuan yang diperlukan oleh masyarakat
maupun eksistensinya dalam hubungan internasional missal ikut
dalam forum-forum internasional dan sebagainya. Dengan cara-
cara seperti ini, maka mispersepsi dapat direda.

Hubungan Bilateral Tiongkok dan Korea Utara

Korea Utara dan Tiongkok memiliki hubungan yang tidak hanya


berfokus pada keamanan tetapi juga perekonomian. Korea Utara
mendapat banyak bantuan dari Tiongkok dalam hal perekonomian,
terutama pada masalah perdagangan. Tidak hanya itu, Korea Utara
juga mendapatkan bantuan seperti minyak dalam jumlah besar
dan makanan tiap tahunnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa Korea
Utara bertahan hidup dengan bantuan-bantuan yang diberikan oleh
Tiongkok. Meskipun Korea Utara merupakan negara kecil yang
tidak banyak menguntungkan bagi Tiongkok, namun hubungan
bilateral dengan negara ini tetap dipertahankan. Bahkan meskipun
Korea Utara telah melakukan tindakan melanggar norma-norma
internasional terkait nuklir, namun Tiongkok tidak pernah memutus
hubungan bilateralnya ini. Tiongkok juga tidak jarang melobi AS
agar sanksi yang diberikan kepada Korut dapat dilonggarkan.
Terkait uji coba nuklir, Korea Utara setidaknya telah melakukan uji
coba nuklir sebanyak 3 kali. Pada tahun 2006 dan 2009, negara ini
sempat melakukan uji coba nuklir dan menuai protes dari Amerika
Serikat (AS) (BBC 2013).

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 55


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Protes yang selalu ditujukan pada Korea Utara ini di satu sisi
membuat posisi Tiongkok menjadi dilematis. Tiongkok di satu sisi
tengah menggalang kepercayaan internasional (Holland 2012, 7).
Uji coba nuklir Korea Utara jika diabaikan akan semakin membuat
Tiongkok tidak dipercaya di mata internasional. Namun di sisi
lain, Tiongkok juga harus menjaga hubungan bilateralnya dengan
menyelamatkan Korea Utara dari ancaman pemberian sanksi atas
uji coba nuklirnya.

Korea Utara kembali melakukan uji coba nuklirnya di tanggal 12


Februari 2013. Uji coba nuklir Korea Utara ini terdeteksi dari adanya
aktivitas seismik yang kemudian mengundang kecurigaan negara-
negara di dunia (BBC 2013). Ini kemudian menjadi kontroversi karena
pada uji coba ini Pyongyang dicurigai tengah mengembangkan
peralat baru berbasis nuklir yang alatnya berukuran kecil namun
menimbulkan efek yang besar (BBC 2013). Uji coba nuklir Korea
Utara ini berikutnya dibahas dalam sidang Dewan Keamanan (DK)
PBB agar Korea Utara dijatuhi sanksi atas upayanya tersebut. Salah
satunya adalah dengan memberi hukuman dengan memerintahkan
penghentian pasokan bantuan dan perdagangan minyak serta
kebutuhan lainnya dari Tiongkok ke Korea Utara (Sanger & Sang-
Hun 2013).

Menanggapi uji coba nuklir Korea Utara di tahun 2013, seorang


mantan elit militer di Tiongkok yakni Jenderal Wang Hongguang
dalam tulisannya di The Global Times menyatakan bahwa Korea
Utara sudah terlalu banyak tergantung pada Tiongkok dan telah
membuat berantakan Tiongkok (Perlez 2014). Dari data yang ada,
Korea Utara di dalam neraca perdagangannya sepannjang 1990
hingga 2002 tercatat lebih besar angka defisitnya dengan impor dari
Tiongkok sebesar $6,1 juta sementara untuk ekspor ke Tiongkok
hanya sebesar $1,7 juta (Kim 2003, 13). Ini menunjukkan bahwa Korea
Utara sebenarnya tidak terlalu menguntungkan bagi Tiongkok.
Sementara itu, Presiden Tiongkok Xi Jinping tidak jauh berbeda
dari pendahulunya yakni Hu Jintao yang menentang uji coba nuklir
Korea Utara (Lorenz 2013). Tiongkok menyatakan bahwa mereka
mematuhi kesepakatan internasional terkait nuklir.

56 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Akan tetapi, yang menjadi masalah kemudian adalah dilema


yang harus dihadapi oleh Tiongkok jika skenario reduksi atau
pemutusan hubungan perdagangan dengan Korea Utara benar
dilakukan. Jika skenario pemutusan hubungan bilateral dengan
Korea Utara dilakukan, Tiongkok khawatir akan terjadi instabilitas
di Semenanjung Korea. Kondisi semacam ini tidak diinginkan
oleh Tiongkok karena penyebab utamanya adalah keengganan
Tiongkok menanggung kejatuhan Korea Utara dan migrasi
pengungsi Korea Utara ke Tiongkok. Sehingga dengan perhitungan
yang dilakukannya, Tiongkok kemudian lebih memilih untuk
mempertahankan hubungan bilateralnya dengan Korea Utara.

Sementara itu, Korea Utara sendiri terlepas dari motivasinya


melakukan uji coba nuklir sebenarnya tidak berpikir untuk
kemudian bertindak menentang Tiongkok. Korea Utara melihat
kondisi domestiknya yang tidak terlalu baik. Negara ini menyadari
bahwa sebagai sebuah negara yang masih tergolong kecil, hubungan
dengan Tiongkok adalah sebuah hal yang strategis dan penting.
Selain sebagai negara yang mendonasikan banyak bantuan pada
domestiknya, Tiongkok juga menjadi negara yang mengusahakan
agar rezim di Korea Utara tetap terus berjalan. Dengan keadaan
seperti ini, bagi Korea Utara, hubungan asimetris dengan Tiongkok
tidak akan menghentikan industri nuklirnya. Karena konsiderasi
pemerintah Tiongkok yang berusaha untuk terus mempertahankan
hubungannya dengan Korea Utara.

Fluktuasi Hubungan Perdagangan Tiongkok dan Korea Utara


Sesudah Uji Coba Nuklir 2013

Akibat dari uji coba nuklir tahun 2013 yang dilakukan oleh Korea
Utara, Tiongkok mulai mengurangi pasokan minyak yang diekspor
ke Korea Utara. Menurut situs berita Korea KBS News (2014), tercatat
volume perdagangan pada tahun 2014 antara kedua negara tersebut
mulai berkurang sebesar 2,83% dibandingkan tahun 2013 saat uji
coba nuklir dilakukan. Hal ini dilakukan oleh Tiongkok sebagai
bentuk tekanan bagi Korea Utara yang terus mengancam uji coba
nuklir. Penurunan tersebut juga mengindikasikan pada publik
bahwa hubungan perdagangan antara Korea Utara dan Tiongkok
mulai terjalin kurang baik.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 57


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Penurunan juga terjadi pada ekspor minyak yang dilakukan oleh


Tiongkok. Menurut data yang diberikan kantor bea cukai Tiongkok
kepada surat kabar Korea Selatan, The Hankyoreh, tahun 2014
Tiongkok tidak mengekspor minyak sama sekali ke Korea Utara
(Algama 2014).

Tiongkok menekan adanya ekspor bahan material dan teknologi yang


sekiranya dapat digunakan oleh Korea Utara untuk mengembangkan
nuklirnya dan mencegah adanya uji coba nuklir di masa depan.
Pada September tahun 2013, Tiongkok mulai menerapkan larangan
terhadap kegiatan ekspor ke Korea Utara (BBC 2013) Hal yang
dilakukan oleh Tiongkok tersebut juga merupakan tindakan yang
berdasarkan sanksi yang diberikan oleh PBB kepada Korea Utara.
Langkah untuk membatasi perdagangan dengan Korea Utara ini
dilakukan di bawah resolusi baru yang dikeluarkan oleh DK PBB.
Meskipun Tiongkok berpikiran untuk menjauh, namun tidak untuk
memutuskan hubungan antara keduanya. Selama ini, perdagangan
lintas Tiongkok-Korea Utara melewati wilayah Dandong. Kawasan
tersebut berdekatan dengan salah satu zona ekonomi khusus Korea
Utara di Pulau Hwanggumpyong. Setelah adanya uji coba nuklir
tersebut, Tiongkok lebih memperketat pengiriman apa pun yang
berasal dari Korea Utara maupun yang dikirim ke Korea Utara
(Warta Ekonomi 2013).

Tahun 2015 ini Tiongkok membuka jalur kereta cepat menuju Korea
Utara. Pembangunan jalur ini telah berjalan sejak 2010, tiga tahun
sebelum Korea Utara melakukan uji coba nuklirnya yang ketiga.
Hal ini dilakukan Tiongkok untuk dapat meningkatkan hubungan
perdagangan dan ekonominya dengan Korea Utara meskipun
Tiongkok menentang program nuklir yang dilakukan oleh Korea
Utara (Deutsche Welle 2014). Adanya jalur kereta ini membuat
perjalanan yang ditempuh dari Shenyang ke Dandong, Korea
Utara menjadi lebih cepat, karena seperti yang telah diketahui,
Dandong merupakan kawasan zona ekonomi Korea Utara.
Meskipun perdagangan sempat turun akibat adanya uji coba nuklir
namun masalah ekpor batu bara tetap berjalan di tahun 2013, hal
ini membuktikan bahwa hubungan keduanya masih baik (Snyder
2014). Meningkatnya permintaan energi yang ada di Tiongkok
telah menjadi peluang ekonomi bagi Korea Utara untuk melakukan
ekspor.

58 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Krisis energi yang dialami oleh Tiongkok mengharuskannya untuk


melakukan impor energi dari negara lain. Korea Utara sebagai
negara yang memiliki pasokan batu bara akhirnya memanfaatkan
sumber dayanya tersebut untuk memperbaiki hubungannya
dengan Tiongkok sesudah uji nuklir. Hal ini menjadi bukti bahwa
hubungan perdangan Tiongkok dan Korea Utara tidak benar-benar
putus akibat uji nuklir.

Kelanjutan Hubungan Perdagangan Tiongkok dan Korea Utara


Sesudah Uji Coba Nuklir 2013

Hubungan perdagangan antara Korea Utara dan Tiongkok masih


terus berlanjut hingga saat ini, meskipun sempat terjadi pasang
surut akibat adanya percobaan nuklir Korea Utara. Beberapa
faktor menjadi penyebab tindakan Tiongkok untuk terus menjaga
hubungannya dengan Korea Utara. Adanya faktor geopolitikal dan
geoekonomi yang membuat keduanya tidak dapat melepaskan
hubungan baik yang telah lama dibina. Hal ini membuat Tiongkok
tidak lantas dapat memutuskan hubungannya dengan Korea Utara.
Perenggangan hubungan keduanya memang sempat terjadi, namun
hal tersebut tidak secara signifikan mempengaruhi hubungan
kerjasama ekonomi keduanya.

Melihat dari sisi Tiongkok, terdapat beberapa faktor yang


melatarbelakangi tindakan Tiongkok untuk merenggangkan
hubungannya dengan Korea Utara setelah percobaan nuklir Korea
Utara tahun 2013. Pertama, Tiongkok menganggap bahwa percobaan
nuklir Korea Utara dapat mengancam kepentingan keamanan
di wilayah sekitar Tiongkok (Jong-Ho 2015, 2). Ekspansi dagang
Tiongkok yang menyebar ke seluruh wilayah dunia, membutuhkan
area distrubusi yang aman. Untuk itulah keamanan dan stabilitas
kawasan sekitar Tiongkok perlu dijaga. Percobaan nuklir Korea
Utara dapat memunculkan kecemasan dan kekhawatiran terkait
isu keamanan di sekitar wilayah Asia Timur dan akan berdampak
negatif terhadap jalur perdagangan Tiongkok.

Kedua, dilatarbelakangi atas transfromasi identitas Tiongkok


sebagai Great Power (Jong-Ho 2015, 3). Dalam upayanya menjadi
negara Great Power, presiden Xi Jinping telah mengumumkan
konsep Chinese Dream, yang digunakan pula untuk mendorong

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 59


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

aktivitas kebijakan luar negerinya dan sebagai korespondensi


terhadap statusnya sebagai Great Power di dunia internasional.
Dalam Chinese Dream, terdapat empat kunci utama yaitu Friendship,
Sincerity, Reciprocity, and Inclusiveness. Untuk itulah kebangkitan
Tiongkok dalam menjadi salah satu Great Powers adalah dengan cara
mengemban tanggung jawab dan tugas internasional pada level
global. Isu nuklir Korea Utara merupakan salah satu isu sensitif
keamanan pada tingkatan internasional. Untuk itulah Tiongkok
tidak dapat mendukung tindakan Korea Utara yang mengancam
stabilitas keamanan internasional. Jika Tiongkok tidak mengecam
aksi nuklir Korea Utara, maka kepercayaan dunia internasional
terhadap Tiongkok akan melemah dan akan memperburuk citra
Tiongkok.

Meski demikian, melihat fakta peningkatan kembali hubungan


perdagangan keduanya, hubungan kerjasama perdagangan Korea
Utara dengan Tiongkok tidak dapat diputus begitu saja. Terdapat
kepentingan-kepentingan Tiongkok terhadap Korea Utara yang
sangat vital. Tiongkok bahkan disebut tengah gencar mencari
keuntungan ekonomi dari Korea Utara. Upaya meningkatkan
keuntungan ekonomi ini terlihat dari digunakannya pelabuhan-
pelabuhan di Korea Utara sebagai basis transportasi logistik
Tiongkok. Changjitu Project yang berdasarkan pada tiga lokasi utama
di wilayah Timur Laut Tiongkok yaitu Changchun City, Jilin City,
dan area sungai Tumen, merupakan area strategis bagi perdagangan
Tiongkok. Wilayah Timur Laut Tiongkok merupakan wilayah
yang kaya akan raw materials seperti gas alam, crude oil, bahan
tambang, hasil laut, dan hasil kehutanan (Ho Lee dan Kang 2011, 6).
Untuk itulah Tiongkok perlu mendistribusikan sumberdaya alam
wilayah Timur Lautnya melalui koneksi pelabuhan Korea Utara.
Dengan menggunakan pelabuhan Korea Utara, maka waktu yang
diperlukan untuk mengirim barang dari Tiongkok ke Jepang dapat
ditempuh selama satu hari. Sedangkan waktu tempuh sebelumnya
dapat mencapai dua belas hari.

Tidak hanya untuk distribusi perdagangannya ke Jepang, namun


Tiongkok juga memiliki target untuk menghubungkan beberapa
negara di wilayah sekitarnya seperti Korea Selatan, Russia, Korea
Utara dan Mongolia.

60 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Dan jalur perdagangan jangka panjang, Tiongkok berkeinginan


untuk membuat jalur transportasi cross Sino-Mongolian land,
sekaligus mengkoneksikan Asia Timur, Eropa dan Amerika.

Tiongkok juga memiliki kepentingan politico-security terhadap Korea


Utara. Kepentingan utama Tiongkok dalam hal politico-security
adalah untuk mencegah runtuhnya rezim di Korea Utara. Tiongkok
mengkhawatirkan beberapa hal jikalau Korea Utara runtuh.
Kemungkinan buruk yang akan menimpa domestik Tiongkok,
jika Korea Utara runtuh adalah pertama, akan membahayakan
keamanan nasional Tiongkok. Kedua, selain membahayakan
keamanan nasional Tiongkok, pertumbuhan ekonomi Tiongkok
juga akan terganggu (Ho Lee dan Kang 2011, 13). Ketiga, akan
menimbulkan permasalahan ledakan penduduk yang ditimbulkan
dari pengungsi Korea Utara yang datang ke Tiongkok. Pada level
Internasional, runtuhnya Korea Utara akan membuat kominitas
internasional memiliki keraguan atas sistem sosialis, yang dianut
kedua negara. Melalui kesamaan pandangan atau ideologi yaitu
sistem sosialis, maka Tiongkok menginginkan Korea Utara untuk
dapat menjadi bagian dari komunitas internasional, dengan
merubah sikapnya seperti Tiongkok. Tiongkok menginginkan agar
Korea Utara dapat diterima di dunia internasional, namun masih
dengan wajah yang sama sebagai negara sosialis. Jika Korea Utara
runtuh, kemungkinan yang akan terjadi adalah bergesernya paham
sosialis menjadi demokratis.

Mengutip dari pernyataan David Volodzko (2015) bahwa Beijing


and Pyongyang are too important to each other to end their relationship
anytime soon. Dari pernyataan tersebut David, menganggap bahwa
meskipun Korea Utara khawatir terhadap sikap dan kebijakan luar
negeri Tiongkok seperti dalam mempromosikan The China Dream
sekaligus dalam hal memperbaiki hubungan Tiongkok dengan dunia
luar. Namun, hubungan Korea Utara dan Tiongkok tidak lantas
dapat berpisah. Rodger Baker (dalam Volodzko 2015) menyebutkan
bahwa hubungan Korea Utara dan Tiongkok pada dasarnya adalah
berdasarkan security calculation.

Korea Utara merupakan buffer yang sangat penting bagi Tiongkok


karana digunakan sebagai perisai Tiongkok dalam menghalau
pengaruh dari Barat.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 61


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Di lain sisi, agresifitas Korea Utara juga memicu ketidakstabilan


keamanan di wilayah Asia Timur yang memicu perilaku Tiongkok
yang seakan-akan menjauhi Korea Utara. Meskipun demikian,
keanggotaan Tiongkok dalam Six Party Talks masih memungkinkan
untuk menekan dan meredam keagresifitasan Korea Utara.

Bagi Korea Utara, Tiongkok tetap menjadi partner dan aliansi utama
yang dimiliki. Dengan adanya tingkat dependensi yang tinggi
pada Tiongkok, membuat Korea Utara tidak akan mau melepas
hubungannya dengan Tiongkok. Perjanjian Sino-North Korean
Mutual Aid and Cooperation Friendship Treaty pada tahun 1961,
nyatanya telah diperpanjang pada tahun 2001 dan berlaku hingga
tahun 2021. Perjanjian tersebut menjanjikan bantuan militer bagi
Korea Utara oleh Tiongkok. Selain itu terkait dengan kepentingan
ekonomi Korea Utara terhadap Tiongkok, yang mana tercatat bahwa
Tiongkok merupakan partner dagang terbesar Korea Utara dengan
57% impor dan 42% ekspor dengan Tiongkok (Volodzko 2015). Selain
itu Korea Utara juga mendapatkan sebagian besar supply minyak
dan gas dari Tiongkok. Bantuan luar negeri dan investasi terhadap
Korea Utara juga paling banyak mengalir dari Tiongkok. Sehingga
kecil kemungkinan bahwa Korea Utara akan menjauhi Tiongkok,
meskipun Tiongkok dalam beberapa hal khususnya dalam masalah
nuklir, tidak mendukung Korea Utara. Tiongkok dalam berbagai hal
memiliki bargaining power yang lebih tinggi dari Korea Utara, hal ini
kemudian menimbulkan adanya hubungan asimetris antara Korea
Utara dan Tiongkok. Hubungan asimetris inilah yang membuat
Korea Utara dan Tiongkok akan tetap memiliki kedekatan, terlepas
dari program nuklir Korea Utara.

Simpulan

Usai Korea Utara melangsungkan uji coba nuklir ketiga di tahun


2013, sejumlah media massa mulai berpandangan bahwa akan
terjadi penurunan hubungan perdagangan antara Tiongkok dan
Korea Utara. Ini terjadi setelah seorang mantan jenderal militer di
Tiongkok yakni Jenderal Wang Hongguang menyatakan bahwa
Tiongkok sudah terlalu baik pada Korea Utara dan sudah sepantasnya
Tiongkok mulai mengurangi hubungan perdagangannya dengan
Korea Utara.

62 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Pandangan ini sempat terjadi ketika jumlah ekspor Tiongkok ke


Korea Utara menurun bahkan di tahun 2014 sempat mencapai 0%
untuk ekspor minyak dari Tiongkok ke Korea Utara. Akan tetapi,
pada faktanya, hubungan perdagangan Tiongkok dan Korea Utara
kembali membaik dan stabil seperti biasa. Sikap Tiongkok yang
demikian disebabkan oleh kepentingan-kepentingannya dalam
menjaga hubungan bilateralnya dengan Korea Utara yaitu pertama
adalah kepentingan Tiongkok untuk mencegah instabilitas di
Korea Utara. Jika terjadi instabilitas di Korea Utara, maka Tiongkok
sendiri yang akan menerima risikonya dengan kedatangan migran
dari Korea Utara. Kedua, ada faktor untuk menjaga agar Korea
Utara tetap berada dalam status quo dengan Korea Selatan yang jika
ada reunifikasi keduanya, maka Tiongkok tidak akan lagi memiliki
buffer state terhadap AS. Dari sini, dapat dikatakan bahwa hubungan
Tiongkok dan Korea Utara meskipun asimetris namun akan tetap
terus dipertahankan. Sehingga, berkaitan dengan adanya uji coba
nuklir Korea Utara tahun 2013, hubungan yang asimetris tidak akan
mengganggu industri strategis yakni nuklir di Korea Utara.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 63


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Daftar Pustaka

BBC, 2013. Cina Larang Ekspor Teknologi Senjata ke Korea Utara


[daring]. dalam : http://www.bbc.co.uk/indonesia/
dunia/2013/09/130924_cina_korut_senjata_nuklir [diakses
16 Mei 2015]

_________, 2013. North Korea’s Nuclear Tests [daring]. dalam :


http:// www.bbc.com/news/world-asia-17823706 [diakses
17 Mei 2015].

Deutsche Welle, 2014. 2015 Cina Buka Jalur Kereta Cepat ke Korut
[daring]. dalam : http://www.dw.de/2015-cina-buka-jalur-
kereta-cepat-ke-korut/a-17338198 [diakses 16 Mei 2015]

Ho Lee, Yeon, & Kang, Jeong Shim, 2011. “The Changjitu Project
and China-North Korea Economic Cooperation: Beijing’s and
Pyongyang’s Intentions”. South Korea: BISA Annual Conference
April 2011, Session 1.8.

Holland, Christopher, 2012. “Chinese Attitudes to International Law


: China, the Security Council, Sovereignty, and Intervention”,
NYU Journal of International Law & Politics Online Forum, pp :
1-44.

Jong-Ho, Shin, 2015. Analysis of Recent DPRK-PRC Relations


and Prospects for 2015. Seoul: Korea Institute for National
Unification.

Kim, Samuel S., 2003. “China and North Korea in a Changing World”,
Uneasy Allies : Fifty Years of China-North Korea Relations, Asia
Program Special Report No. 115.

Korea KBS News, 2014. Jumlah Ekspor Minyak Mentah di Cina


terhadap Korea Utara tercatat ‘0’ [daring]. dalam : http://
world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_newsthema_detail.
htm?No=1001615 [diakses 16 Mei 2015]

Lorenz, Andreas, 2013. Nuclear Detonation : Test Shows North Korea


Prefers Bomb over Aid [daring]. dalam : http://www.spiegel.
de/international/world/nuclear-test-in-north-korea-solicits-
angry-responses-in-europe-and-us-a-882909.html [diakses 17
Mei 2015]
Nikitin, Mary B., 2013. “North Korea’s Nuclear Weapons: Technical
Issues”, Congressional Research Service CRS Report for Congress,
pp. 1-32.

64 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Yesaya Anggia, Alfionita Rizky P.,
Putu Eka Yanti W, Retno Anggraeni

Perlez, Jane, 2014. Chinese Annoyance with North Korea Bubbles


to the Surface [daring]. dalam : http://www.nytimes.
com/2014/12/21/world/asia/chinese-annoyance-with-
north-korea-bubbles-to-the-surface.html?_r=0 [diakses 17 Mei
2015]

Roehrig, Terence, 2013. “North Korea’s Nuclear Weapons: Future


Strategy and Doctrine”, Project on Managing the Atom, pp. 1-4.
Harvard Kennedy School: Berfer Center.

Sanger, David E., & Choe Sang-Hun, 2013. North Korea Confirms
It Conducted 3rd Nuclear Test [daring]. dalam : http://www.
nytimes.com/2013/02/12/world/asia/north-korea-nuclear-
test.html [diakses 17 Mei 2015].

Snyder, Scott, 2014. China-North Korea Trade in 2013 : Business as


Usual [daring]. dalam : http://www.forbes.com/sites/
scottasnyder/2014/03/27/44/ [diakses 11 Juni 2015].

Snyder, Scott, & See-Won Byun, 2015. “China-Korea Relations:Beijing


Ties Uneven with Seoul, Stalled with Pyongyang”, Comparative
Connection: A Triannual E-Journal on East Asian Bilateral Relation.

Thielmann, Greg. & Senior Fellow, 2013. “Sorting Out the Nuclear
and Missile Threats From North Korea”, Threat Assessment
Brief: Analysis on Effective Policy Responses to Weapons-Related
Security Threats, pp. 1-9.

Thompson, D., 2011 Silent Partners: Chinese Joint Ventures in North


Korea. USA: U.S.-Korea Institute.

Volodzko, David, 2015. No, China Isn’t Abandoning North Korea


[daring]. dalam: http://thediplomat.com/2015/03/no-china-
isnt-abandoning-north-korea/ [diakses pada 27 Oktober 2015]
Warta Ekonomi, 2014. China Segera Operasikan KA Cepat ke Korea Utara
[daring]. dalam : http://wartaekonomi.co.id/berita22260/
china-segera-operasikan-ka-cepat-ke-korea-utara.html
[diakses 16 Mei 2015]

Womack, Brantly, 2004. “Asymmetry Theory and China’s Concept


of Multipolarity”, Journal of Contemporary China, 13 (39) : 351-
366.

Xu, Beina, & Jayshree Bajoria, 2014. The China-North Korea Relationship
[daring]. dalam : http://www.cfr.org/china/china-north-
korea-relationship/p11097 [diakses 17 Mei 2015]

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 65


Hubungan Asimteris Tiongkok dan Korea Utara dalam
Isu Nuklir Korea Utara Tahun 2013

Yonhap News, 2015. China Sold No Crude Oil to North Korea in 2014
[daring]. dalam : http://english.yonhapnews.co.kr/full/2
015/01/29/29/1200000000AEN20150129003300315F.html
[diakses 8 Juni 2015]

_________, 2014. Trade between North Korea, China Hits Record


$6.45 bln in 2013 [daring]. dalam : http://english.yonhapnews.
co.kr/northkorea/2014/02/01/4/0401000000AEN20140201
000800315F.html [diakses 11 Juni 2015]

66 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Naufal Armia Arifin

ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of


Rohingya Radicalization

Naufal Armia Arifin

ABSTRACT

Sebagai salah satu kelompok minoritas yang paling menderita di dunia, etnis
Rohingya mengalami perlakuan diskriminasi dari pemerintah Myanmar dan juga
mengalami konflik kekerasan dengan penduduk Rakhine yang beragama Buddha.
Negara-negara ASEAN menerima arus pengungsi Rohingya yang konstan
sebagai tantangan utama yang harus dihadapi, tapi ancaman tersembunyi juga
muncul dimana Rohingya dapat teradikalisasi oleh kelompok ekstremis Islam
dan juga memengaruhi kelompok-kelompok radikal di berbagai negara ASEAN
untuk bertindak. Berdasarkan permasalahan tersebut, artikel ini bertujuan untuk
mencari tahu sumber masalah yang menjadi dasar konflik Rohingya dengan
menggunakan teori Protracted Social Conflict oleh Edward Azar, kemudian
menjelaskan kemungkinan terjadinya radikalisasi dan dampaknya terhadap
keamanan regional, kemudian pada akhirnya diharapkan ASEAN mendapatkan
solusi untuk digunakan khususnya disaat akhir 2015 dimana ASEAN harus
mengimplementasikan tiga pilar yang menjadi dasar dari ASEAN Community.

Kata-kata kunci: Rohingya, Myanmar, ASEAN, Pengungsi, Konflik


religius-sosial, fundamentalisme

As one of the most persecuted minority group in the world, the Rohingyas faced
discriminatory acts from the government of Myanmar and experienced violent
clashes with Rakhine Buddhists. Constant flows of Rohingyas refugees to ASEAN
countries are the challenge that must be faced now, but underlying threats of
radicalization also appears as Rohingyas are influenced by Islamic extremism
and at the same time influencing radical groups throughout ASEAN countries
to act. This article aims to explore the root causes of Rohingyas conflict with the
Protracted Social Conflict theory by Edward Azar, explains possible radicalization
and its impact to regional security, while coming up with solutions that ASEAN
could utilize especially nearing the end of 2015 where ASEAN must implement all
its three pillars for the ASEAN Community.

Keywords: Rohingya, Myanmar, ASEAN, Refugees, Socio-religious


conflicts, fundamentalism

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 67


ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization

The Crisis of Rohingya from the Perspective of


Edward Azar

Recognized as one of the most persecuted minority group by the


United Nations, the Rohingyas are part of the Muslim population in
the largely Buddhist inhabited Myanmar. Their history can be traced
back to the fifteenth century where they originated as Muslims
migrating to the Arakan Kingdom known in present day as Rakhine
state, a part of Myanmar. Muslims from Bangladesh also migrated to
Myanmar as both country was once a British colony. The Rohingyas
have a legitimate claim of history in Myanmar. But as we hear in
the news, Rohingyas have been persecuted by the Government and
Buddhist population back in the country, constant flow of refugees
spreading out from Rakhine state, and most recently violent clashes
that erupted between Rohingyas and Rakhine Buddhists. Where
relations between Rohingyas and Rakhine Buddhists have been
hostile since the ancient times of Arakan Kingdom and erupted into
visible discrimination after Myanmar’s Independence in 1948.

The international community have been trying to provide solutions


for the Rohingyas refugee crisis, while pressuring Myanmar to
address the issue. But beneath the evident, crisis also lurks underlying
threats of radicalization of Rohingyas that can impact regional
security. ASEAN as the main Southeast Asian organization should
provide a viable long term solution that tackles the root causes of the
refugee crisis and potential radicalization. The Rohingya crisis can
be seen as a socio-religious conflict that has many factors affecting
it. Therefore, Edward Azar’s Protracted Social Conflict theory
shall be used as the analytical tool. The theory emphasize four key
factors in investigating social conflicts; communal content, deprivation
of basic human needs, government and states role, dan international
linkage(Ramsbotham et al. 2011).

The communal content consider the identity group as the most useful
unit of analysis. The identity group is defined through their race,
religion, culture, ethnics and other related aspects. Furthermore,
the relations between the identity group and the state involved
are observed because it created social fragmentations where most
case a dominant ethnic group that ruled in the form of government
discriminate minority groups.

68 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Naufal Armia Arifin

Such is the case of Rohingyas where first we can identify two main
actors of Rohingyas and Rakhine Buddhists.

The two ethnic groups that reside in Rakhine state have been in a
long dispute about their history and identity. The Rohingyas claim
they are descendant of migrating Muslims from Arabs long since
the 7th century and they have vocally refused to be considered
Bengali descendants. They also claim that Arakan was once a
Muslim kingdom thus they have legitimate status as a citizen
of Myanmar by birth-right. On the other hand, the Rakhines are
considered by Myanmar government as one of the ethnic majority.
They share similar Buddhist culture with ethnics of Bamar, which
the government once enforced it to be the only ethnic group that
is allowed in the country in 1962 (Roberts 2010). The Rakhines
considered themselves as proud Buddhist protectors that stopped
Islam’s expansion to South Asia. Combined with current political
tension, the Rakhines furthermore embraced the role as protectors
from fearof Bangladesh’s territorial advancement to Rakhine state
with Islamization and Rohingyas.

The second factor explains that basic human needs are non-
negotiable and conflicts that arise from deprivations of such will
be violent. Basic needs are identifed as security, developmental,
political access, and identity needs that can be related to what the
Rohingyas are experiencing in Myanmar. The government is denying
the existence of Rohingyas as part of their ethinicity where in 1982,
they established the Burmese Citizenship Act that classified people
inhabiting the country. Rohingyas are not included in the ethnic
list and they are also unable to prove their liniage and historical
presence in Myanmar due to their disputed history with Rakhines as
mentioned before.The only identification that Rohingya people have
right now is temporary “white cards” that the government gave in
the 1990s to the muslim population.

By doing so, the government then proceed to restrict important


basic human needs to be given to Rohingyas, such as restrictions to
freedom of movements, freedom of religion, marriage, education,
employment and economic livelihood, land and property ownership,
and other basic facets of everyday life (Ramsbotham 2011).

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 69


ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization

This leads to the third factor, where Azar mentioned that government
and states play an important role in the satisfaction or frustration
of its identity group’s needs (Ramsbotham 2011). As mentioned
previously Myanmar’s government have issued a discriminatory
policy that denounced Rohingyas identity and severely restricts
their access to basic human needs. Correspondingly, Azar argued
developing countries with colonial rule legacy tends to have a PSC
due to rigid political authority and weak participatory capacity by
its people. The relations between Rohingyas and the government
have long been in a fragile state since British colonial rules where
Islamic-descendants from neighboring Bengal was allowed to enter
Myanmar because it was under the same administration. The event
fuelled resentment by Buddhist counterparts in the country that
erupted when Japanese forces invaded and fought against Muslim
locals backed by British authority in World War II. The resentment
continued under the leadership of General Ne Win in 1978 where
he dissolved Rohingya political organizations and conducted the
Dragon King Operation. A massive attempt to crackdown Rohingyas
under the guise of documenting citizens and to suppress the Muslim
insurgency in the country that resulted in 200.000 people fleeing
to Bangladesh. Even until now the government backed NaSaKa
organization that is comprised of military, police, immigration,
continue to enforce discriminatory acts against the Rohingyas
(Human Rights Watch 2000).

International linkage as the last factor is explained by Azar where


weak states are greatly affected by the political-economy relations
between each other (Ramsbotham 2011). In this case, in the form of
international institutions such as ASEAN also affects the way states
behave in addressing domestic or international issues.

If such external forces can affect social conflicts happening in


a country like the active role of ISIS in the conflict of Syria, then
ASEAN as the main international force that should be addressing
the conflict in Myanmar plays a passive role and made no visible
efforts in alleviating the plight of Rohingyas. These four factors are
the root causes that ASEAN should analyze and put effort further,
because the crisis is not only about treating flows of refugees but
underlying threats of radicalization that can affect regional security
as well.

70 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Naufal Armia Arifin

The Radicalization of Rohingyas and Its Impact to


Regional Security

In the modern context of terrorism, minority groups that are heavily


discriminated by their own government are taken advantages
by terrorist groups to join their cause. Although in the case of
Rohingyas, terrorist groups does not whole-heartedly support
Rohingyas struggle but to further their broader strategic goals (Singh
2013). Bilveer Singh explains in his book the causes of Rohingyas
radicalization with the following factors; poor living conditions where
as explained before Rohingyas are restricted to basic human needs
especially proper education. The Rohingyas are exposed to local
madrasa which have mushroomed in neighbouring Bangladesh in the
1990s, those madrasa have strong indications of Islamic extremism
and ties to radical groups from the Middle East.The next factor is effect
of Islamic Charities. Much like how Arab countries plant the seed of
radicalization through education, shady aid agencies also plays part
in providing monetary aids that are misused to arm militant groups.
For example the Rabitat-al-Alam-al-Islami NGO is said to be closely
linked to the Rohingya Solidarity Organization (RSO), the militant
organization that appeared in retaliation to the government’s act in
the 1980s (Human Rights Watch 2010).

Such radicalization process are evident in countries that is a popular


destination for Rohingyas refugees and the potential is already
recognized by the United Nations (UN).

The UNHCR (2013) reports that clashes between Rohingyas and


Rakhine Buddhist in 2012 have attracted attention of the Lashkar-
e-Toiba (LeT) fundamentalist group from Pakistan, with the help of
India’s Intelligence Service, the said group have plans on extending
their footprints in Bangladesh and Myanmar. Another terror group
from Pakistan, the Jama’at ul Mujahedeen Bangladesh (JMB) is
said to have interest in exploiting the crisis of Rohingyas and are
already allying with RSO. Many extremist groups in Bangladesh
have connection to Afghanistan’s Taliban, including JMB that have
created training camps for Rohingyas to join the jihad and their
military trainers are said to have Afghani origins (Singh 2013).
Where Rohingyas are trained to fight for their extremist cause in
Afghanistan or sent to fight for RSO.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 71


ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization

Subtler security impacts occurred in ASEAN countries that are the


main hosts for Rohingyas refugees such as Indonesia and Malaysia.
In Indonesia, groups that are considered fundamentalists such as the
Hizbut-Tahrir and Jemaat Anshorut Tauhid (JAT) have expressed
their cries of Jihad to help their fellow brethren following 2013’s
anti-Muslim rallies in Myanmar. The cries of Jihad manifested into
real dangers when Indonesia’s national security foiled a planned
bombing to the Myanmar Embassy in Jakarta. Closely following
the event, on 4th August 2015 two bombs exploded in the Ekayana
Buddhist temple in Jakarta when 300 worshippers where gathering
for a sermon, but only three people were injured.Found in the ruins
after was a note that stated ‘we respond to the screams of Rohingyas’
that is strong evident to link the bombing with Rohingyas issue.
Muslim radicals in Indonesia will use any possible issue as reason
to conduct such acts, this is because radical extremists group in
the country consider no such thing as nationality or status that
differentiates their fellow Muslim brethrens (Jakarta Globe 2015).

In Malaysia, an incident occured where frenzy attacks by Rohingyas


nationality left four people dead in April 2013. Although they
targeted Buddhist Myanmars, Malaysian nationalities are also
seriously injured even though they are not Buddhists.

Between those incidents, there are news of two Rohingyas leaders


visiting Indonesia to gain support for more fighters, guns, cashs,
and instructors. Analysts commented that Rohingyas radical group
leaders are re-strengthening regional links because of less support
they gained back home (The Wall Street Journal 2013).

In the short run, academicians agreed that the radicalization process


will not impact other countries or even Myanmar’s national security
compared to the Morro Islamic Liberation Front in Philippines.
But ASEAN should heed warnings from occuring incidents that
sparked by constant flow of Rohingyas refugees to countries such
as Indonesia and Malaysia. As ethnic-religious conflicts have rooted
problems that requires long-term solutions, ASEAN should not only
focus on coming up with solutions on how to deal with the growing
flows of refugees but attend the underlying threats of radicalization
and its impact to regional security as well. The next paragraph will
discuss what ASEAN should do by incorporting the four factors of
PSC and creating solutions based on those four factors.

72 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Naufal Armia Arifin

The ASEAN Community 2015 as the Solution

Rather than addressing the issue of refugess flows with quick and
short-terms solutions, ASEAN members should unite together to
disccuss Rohingyas crisis comprehensively. Especially nearing the
end of 2015 where ASEAN must commit to the ASEAN Community
goals they have made. By addressing this issue itself ASEAN
can prove its commitment in two of its pillar, the Socio-cultural
and Political-security blueprints. One of the primary goals in the
socio-cultural pillar is “Human Development” where the focus of
advancing and priotizing education is included. In it one of the
actions that ASEAN want to undertake is to “Achieve universal access
to primary education across ASEAN by 2015 through advocating for equal
opportunity in education regardless of social class, geography ethnicity,
background or physical disabilities (ASCC Blueprint 2009).

As mentioned before, Rohingyas are deprived of basic human needs


through restrictions from the government and its NaSaKa enforcers.
Most importantly, Rohingyas are deprived of basic education thus
they retorted to madrasa schools that promotes religious radicalism.
While attempts of pressuring Myanmar to be more concerned with
Rohingyas issue proves little success, ASEAN can concentrate its
effort for human development in Rakhine state through education
and employment.

It is not enough to provide aids in the form of food rations or


health assistances only, ASEAN must prioritize on giving equal
education to Rohingyas, where ASEAN-sponsored educational
institutions can mitigate the risk of radicalization and give hopes
to Rohingyas on employment opportunities in the future. Those
educational institutions can exist independently by fundings from
ASEAN or in a form of teaching development program for staffs
based on Rohingyas ethnicity. Thus it will give a sense of purpose
for Rohingyas under ASEAN while also giving them employment
opportunities. The education program does not need to include
higher educations but provide primary, secondary, and technical
skills as a start. By providing education, ASEAN can also include
history lessons and promote tolerance between ethnicity that will
help future generations of Rohingyas from becoming radicalized.
ASEAN can also play role in sponsoring secular charities that can
incorporate education and employment fundings (Singh 2013).

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 73


ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization

Second is addressing the communal hate between Rohingyas


and Rakhines that roots from dispute of history and identity. The
Buddhist community feel that they need to protect Rakhine state
that have a long history of Buddhism and fear of Islamization by
Bangladesh, while Rohingyas also feel they have a legitimate history
thus belonging as full citizens of Myanmar. The resentment have
been rooted since Myanmar’s independence and even gained support
from the government through the “Dragon King” operation and the
Burmese Citizenship Act. In a country where Buddhism is the major
religion and have support from its government, Rohingyas can be
considered on a losing side and in the long run will see extremism
as the way to voice their concerns.

The solution for this issue must focus on how to form an identity for
Rohingyas that can be tolerated with their fellow Buddhist citizens
and also be recognized officially by the government as well. The
International Crisis Group (ICG) proposed Rohingyas to change the
term of identification and come up with an alternate identity marker
that can be proposed to the government, but ICG and Rohingyas
leaders are pessimistic if the proposal will be accepted.Even if
the Rohingyas were granted naturalized citizenship under the
Burmese Citizenship Act, they fear the government might revoke
their citizenship at anytime. ASEAN can play a part in building
awareness and a sense of one identity, that is the identity of ASEAN
(International Crisis Group 2014).

The forming of ASEAN identity is important because it is stated


in the Socio-cultural Community blueprint that ASEAN will take
action to“encourage the deepening of understanding and tolerance among
the peoples of ASEAN through interfaith dialogue” (ASCC Blueprint
2009). The concrete actions that ASEAN can do is to facilitate as an
arena between both Rohingyas and Rakhine, in the forms of forum
between Rohingyas and Buddhist prominent leaders. ASEAN must
carefully mediate both sides to achieve cultural understanding
that despite historical differences Rohingyas and Rakhines can
live peacefully without resentment to each others. ASEAN’s role
can be paralel with effort of other international aids in appealing
Myanmar’s government to grant citizenship for Rohingyas.

74 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Naufal Armia Arifin

If ASEAN can mediate mutual understanding between Rohingyas


and Buddhist communities, then the government might be
persuaded more easily because Buddhist communities plays an
important role in affecting Myanmar’s government, just like how
Muslim communities plays an important role to the politics of
Indonesia and Malaysia.

ASEAN’s role in the fourth factor can be reversed from passive


to active contribution of positive effects to Rohingyas issue.
From ensuring education and promoting understanding between
Rohingyas and Buddhist Rakhines. One of the Security-Political
community blueprint goals is the promotion and protection of
human rights. Therefore ASEAN can utilize both of its organs that
focus on humanitarian issues; the ASEAN Coordinating Centre
for Humanitarian Assistance (AHA Centre) and the ASEAN
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) (Antara
News 2015).

The AICHR, since its birth in 2009 had not made any significant
contribution for the Rohingyas issue. Due to the non-interference
policy that ASEAN mandates, providing solutions to the third PSC
factor of governmental roles will be difficult. To directly pressure
Myanmar’s role in the Rohingyas issue will require ASEAN to
re-define the non-interference policy that ASEAN members use
to avoid human rights issue in their country. On 2014, Myanmar
was elected as the Chairman of ASEAN and stated the Rohingya
issue was a “...domestic Myanmar affair and that Myanmar was fully
capable of handling the situation by itself” (The New York Times
2015). Other ASEAN members then responded the statement by
respecting Myanmar’s decision to handle the issue with the UN and
other human rights organization and will stand ready to play a role
whenever Myanmar’s needed ASEAN to do so (ASEAN Secretariat
2015).

So far the AICHR have not touched the issue of Rohingya and instead
focused on environmental rights issue by conducting seminars in
Myanmar.Instead of confidence-building measures between AICHR
and Myanmar that takes unnecessary time, AICHR should become
the main IGO in coordinating efforts of providing education and
employment opportunities to Rohingyas in the Rakhine state.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 75


ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization

Furthermore, ASEAN should delegate to AICHR the role of facilitating


forums and interfaith dialogues between Rohingyas and Rakhines,
in the hopes of achieving mutual understanding between both sides
from the perspectives of human rights and promoting the ASEAN
identity as well (AICHR 2015). ASEAN should expand the scope of
disaster managements on responding to flows of refugees like the
Rohingyas crisis. Rather than each ASEAN countries coordinating
extra efforts like the Indonesia, Malaysia, and Thailand’s trilateral
meeting in 2015, only to result in Indonesia & Malaysia to provide
temporary shelters and Thailand to provide assistance in the sea
until further solutions can come up. By expanding the scope of
AHA Centre to deal with the Rohingyas crisis, ASEAN will have the
chance to bring positive image to the international community while
putting greater efforts to deal with the refugees flows.

Conclusion

ASEAN as the main international organization in Southeast Asia


should take a bigger role in responding to the Rohingyas refugee
crisis. Not just to provide temporary short solutions to handle the
constant flows of Rohingyas taking shelter in Indonesia, Malaysia,
and Thailand but to provide solutions to the underlying threats of
Rohingyas radicalization that can impact regional security in the
long run. Through Edward Azar’s Protracted Social Conflict Theory,
four factors are identified as the underlying cause of Rohingyas
refugee crisis. First is the communal content between Rohingyas
and Rakhine Buddhists, second is Rohingyas deprivation of basic
needs that creates the danger of radicalization by Islamic extremist
groups. third is Myanmar governmental role that supports Buddhist
violent act against Rohingyas while at the same time discriminates
Rohingyas through its Citizenship Act, and international linkage as
the fourth factor where so far ASEAN had been passive in treating
the issue and not effectively putting its internal organizations to
maximize efforts.

Nearing the end of 2015, ASEAN should uphold its promise in


implementing the Socio-Cultural and Political-Security Community
blueprints. By providing education needs and employment
opportunities to Rohingyas ASEAN can mitigate the risk of
radicalization while upholding the socio-cultural community
value in prioritizing education and create a mutual understanding.

76 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Naufal Armia Arifin

Utilizing both the AICHR and AHA Centre, ASEAN can also uphold
its political-security community values of promotion and protecting
human rights. If ASEAN could treat this issue using the ASEAN
way, it will not only mitigate regional security risks but will be
ablecreating a positive image for the organization as well.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 77


ASEAN’s Role in Mitigating the Risks of Ronhingya Radicalization

Bibliography

Antara News, 2015. Waiting for AICHR`s optimal performance


[online]. in : http://www.antaranews.com/en/
news/1281435057/waiting-for-aichrs-optimal-performance
[accessed 31th October 2015]

ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights


(AICHR), 2015. Archive for the ‘Myanmar’ Category [online]. in
: http://aichr.org/category/activities/myanmar/ [accessed
31th October 2015]

ASEAN Secretariat, 2015. ASEAN Chairman Statement on Myanmar


[online]. in : http://www.asean.org/news/item/asean-
chairman-statement-on-myanmar [accessed 31th October
2015]

Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), 2009. ASEAN


Socio-Cultural Community (ASCC) Blueprint. [online]. in :
http://www.asean.org/archive/5187-19.pdf [accessed 30th
October 2015]

Human Rights Watch (HRW), 2000. Burma / Bangladesh Burmese


Refugees in Bangladesh: Still no Solution. [online]. in :
https://www.hrw.org/reports/2000/burma/index.htm
[accessed 11 October 2015]

Human Rights Watch (HRW), 2013. All You Can Do is Pray. [online].
in : https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/
burma0413webwcover_0.pdf [accessed 11 October 2015]

International Crisis Group (ICG), 2014. Myanmar: the Politics of


Rakhine State. [online]. in : http://www.crisisgroup.org/~/
media/Files/asia/south-east-asia/burma-myanmar/261-
myanmar-the-politics-of-rakhine-state.pdf [accessed 30th
October 2015]

Jakarta Globe, 2015. Explosion at Indonesian Buddhist Temple Injures


Three: Police [online]. in : http://jakartaglobe.beritasatu.com/
news/explosion-at-indonesian-buddhist-temple-injures-one-
police/ [accessed 29th October 2015]

Ramsbotham, Oliver, et al., 2011. Contemporary Conflict Resolution.

78 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Naufal Armia Arifin

Cambridge, UK: Polity Press.

Roberts, Christopher, 2010. ASEAN’s Myanmar Crisis: Challenges


to the Pursuit of a Security Community. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies.

Singh Bilveer, 2013.Myanmar’s Rohingyas: Challenges Confronting a


Persecuted Minority and Implications for Natoinal and Regional
Security. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

The New York Times, 2015. Myanmar to Bar Rohingya From Fleeing,
but Won’t Address Their Plight [online]. in : http://www.
nytimes.com/2015/06/13/world/asia/myanmar-to-bar-
rohingya-from-fleeing-but-wont-address-their-plight.html?_
r=0 [accessed 30th October 2015]

The Wall Street Journal, 2013. Malaysia Fears Spillover From


Myanmar Violence After 4 Killed [online]. in : http://blogs.
wsj.com/indonesiarealtime/2013/06/06/malaysia-fears-
spillover-from-myanmar-violence-after-4-killed/ [accessed
29th October 2015]

United Nations High Commissioner on Refugees, 2013. Emerging


Threat [online]. in : http://www.unhcr.org/cgi-bin/texis/
vtx/refdaily?pass=52fc6fbd5&id=51f8a8895 [accessed 28th
October 2015]

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 79


80 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Probo Darono Yakti

Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi


Keamanan: Peranan NATO di Era Kontemporer

Probo Darono Yakti

ABSTRACT

The European Union does not have the capability and authority in bringing stability
and peace in Europe alone. Instead, the European Union relying on NATO as a
security regionalism that formed before the European Union was formed. NATO
and the European Union have agreed on a deal that called ESDP. Both of these
regional organizations agree to make Europe realize that advanced both in terms
of economic and social (welfare) and the stability and peace. Commitment to
complement each other will not be found in other areas in other parts of the world
as well. However, the author refers to the question: why EU still need the presence
of NATO as the security institution in the Europe? The argument of this paper is,
EU never had security aspect at their institution framework when the threats still
remains in this contemporary world.

Keywords: NATO, European Union, security and stability, peace, regionalism,


welfare

Uni Eropa tidak memiliki kapabilitas dan kewenangan dalam mewujudkan


stabilitas keamanan dan perdamaian di Eropa sendiri. Uni Eropa mengandalkan
NATO sebagai regionalisme keamanan yang terbentuk dahulu sebelum Uni Eropa
terbentuk. NATO dan Uni Eropa telah sepakat dalam perjanjian yang disebut
ESDP. Kedua organisasi regional ini saling bersepakat untuk mewujudkan Eropa
yang maju baik dalam aspek ekonomi dan sosial (kesejahteraan) dan stabilitas
keamanan dan perdamaian. Komitmen untuk saling melengkapi ini tidak dijumpai
pada kawasan lain. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa kemudian Uni
Eropa masih membutuhkan NATO sebagai institusi keamanan di kawasan Eropa?
Argumen yang dibangun adalah bahwa sebagai institusi regional, Uni Eropa masih
tidak memiliki aspek keamanan di dalam kerangka institusinya ketika ancaman
keamanan di era kontemporer masih ada.

Kata-Kata kunci: NATO, Uni Eropa, stabilitas keamanan, perdamaian,


regionalisme

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 81


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

Ketergantungan Uni Eropa terhadap NATO: Penjelasan


Neorealisme

North Atlantic Treaty Organization (NATO) merupakan sebuah


elemen keamanan esensial yang dimiliki oleh Eropa, berbentuk
pakta pertahanan yang dibentuk pada saat Era Perang Dingin
berlangsung. Setidaknya ada tiga tujuan utama dibentuknya pakta
pertahanan ini: menghalangi ekspansionisme Soviet, melarang
kebangkitan militerisme nasionalis di Eropa melalui kehadiran
Amerika Utara, dan mendorong integrasi politik Eropa (NATO, t.t).
Lebih lanjut, NATO dalam laman situsnya menjelaskan lebih detil
mengenai tujuan utamanya:

The Alliance is committed to protecting its members


through political and military means. It promotes
democratic values and is dedicated to the peaceful
resolution of disputes. If diplomatic efforts fail, it has
the military capability needed to undertake collective
defence and crisis-management operations alone or in
cooperation with partner countries and international
organizations.

(Nato.int, 2015).

Anggota traktat ini tidak hanya negara yang berada di regional


Eropa saja, melainkan juga negara di kawasan Amerika Utara
seperti Kanada dan juga Amerika Serikat, karena pada dasarnya
NATO mengusung Atlantik Utara, bukan Eropa secara eksklusif.
Pembentukannya pun tidak dapat dilepaskan dari sejarah dunia
yang memberatkan pada persaingan Amerika Serikat dan Uni
Soviet yang menjadi polar karena tergolong sebagai dua negara
yang dikatakan superpower pada era itu. NATO bertransformasi
menjadi sebuah alat untuk mencegah pengaruh Uni Soviet yang
menyebarkan paham komunisme ke seluruh penjuru Eropa
tak terkecuali. Dan karena sifatnya yang merupakan organisasi
keamanan, NATO berhak memiliki militer yang dibangun
bersama-sama antar anggotanya. Dalam setiap aksinya NATO
mengutamakan keamanan bersama anggotanya sehingga dalam
menjalankan aksinya peacekeeping merupakan agenda utama
NATO (Rockwood, 1995).

82 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Probo Darono Yakti

Negara-negara Blok Barat, khususnya Belgia, Belanda, Luksemburg,


Prancis dan Inggris memutuskan untuk menandatangani Traktat
Brussel pada tanggal 17 Maret 1948 yang bertujuan untuk mencegah
serangan komunis dengan membentuk organisasi pertahanan bagi
Negara-negara Eropa Barat. Negara-negara ini sepakat untuk
mendirikan organisasi militer yang digunakan untuk menangkal
kekuatan Jerman yang kemudian beralih menjadi menangkal
kekuatan Uni Soviet dengan membentuk Western Union Defense
Organization (WUDO). WUDO ini dibentuk pada September 1948 di
masa krisis Berlin dan pada tahun 1949 WUDO melakukan pelatihan
angkatan laut di Teluk Biscay yang mana di dalamnya terdapat 60
Kapal Perang milik Perancis, Inggris, dan Belanda. Sebagai Negara
hegemon, sangat penting peranan Amerika Serikat di dalam
pencegahan adanya potensi perang lanjutan mengingat masa-masa
itu berselang dua tahun setelah Perang Dunia II berakhir (NATO, t.t).
Maka negara-negara yang telah tergabung di dalam traktat Brussel
memutuskan untuk melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat
agar turut bergabung. Amerika Serikat akhirnya menandatangani
traktat tersebut pada 4 April 1949 dan dengan demikian telah resmi
bergabungnya Amerika Serikat beserta dengan lima Negara lainnya
ke dalam traktat yang merupakan traktat lanjutan dari traktat
Dunkrik ini; Kanada, Portugal, Italia, Norwegia, Denmark, serta
Islandia, dan dengan demikian WUDO resmi berakhir dan berganti
menjadi North Atlantic Treaty Organization atau NATO. Hingga
kini, anggota NATO telah mencapai jumlah 28 negara (NATO, t.t).

Gambar 1: Eropa terbelah menjadi Blok Barat (NATO) dan Blok


Timur (Pakta Warsawa)

Sumber: fs.huntingdon.edu, 2015

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 83


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

Sejarah berlanjut ketika NATO berhasil menangkal keberadaan


komunisme di negara-negara yang tergolong dalam Blok Barat.
Sisanya, Eropa Timur dalam kondisi yang sangat seimbang
dan setimbang dengan adanya Iron Curtain yakni istilah yang
digunakan dalam menyebut sekat ideologis di Eropa. Meski
hanya beranggotakan atas Bulgaria, Cekoslowakia, Jerman Timur,
Hongaria, Polandia, Romania, Uni Soviet, dan Albania, NATO
yang beranggotakan 15 negara seperti ditahan imbang dengan
keberadaan Uni Soviet yang terus melakukan hubungan erat
dengan aliansinya. Hingga akhirnya Uni Soviet runtuh pada 1991,
NATO langsung terlibat intervensi dalam perang sipil yang terjadi
di Yugoslavia. NATO mengirimkan pasukan perdamaiannya untuk
membela Slovenia dan Kroasia yang meminta referendum dan
merdeka menjadi negara yang independen. NATO juga menjadi
satu-satunya organisasi keamanan regional yang masih berdiri
setelah peristiwa tersebut. Organisasi ini kemudian pengembangan
atau perluasan saat beberapa negara eks komunis di Eropa Timur
bergabung dalam aliansi ini seperti Hungaria, Polandia dan Ceko
pada tahun 1997 dan menjadi anggota tetap NATO hingga saat ini.

Dalam era kontemporer ini, NATO kemudian melibatkan diri pada


konflik yang terjadi pada Kosovo, yang nantinya pecah dari negara
Yugoslavia. Krisis politik yang terjadi adalah dampak yang ada dari
konflik etnis. Selama isu-isu yang berkaitan dengan keamanan terjadi,
NATO memiliki hak yang legal untuk intervensi. NATO akhirnya
kembali masuk pada topik besar di Eropa mengenai keamanan
regional. Pada masa pemerintahan Presiden Amerika Serikat Bill
Clinton, NATO terus didorong untuk memperluas keanggotaannya.
Upaya itu berhasil dengan bergabungnya Republik Ceko, Hongaria
dan Polandia pada 1999. Sedangkan Bulgaria, Estonia, Latvia,
Lituania, Rumania, Slowakia, dan Slovenia pada 2004. Albania dan
Kroasia memasuki aliansi itu pada 2009 (Encyclopædia Britannica
Online, 2015). Begitu pula dengan kehadiran terorisme sebagai
isu yang dapat membuat keamanan antarnegara rentan ancaman.
Serangan 11 September di Gedung WTC mengubah paradigma
yang selama ini ada, bahwa aktor non-negara dapat mengancam
keselamatan aktor negara. Hal ini pada akhirnya menjadi salah
satu fokus dari NATO untuk bersama-sama negara di Eropa
meningkatkan kewaspadaan terhadap terorisme. Kehadiran NATO
di Libya menunjukkan bahwa NATO menunjukkan sikap tegasnya
terhadap terorisme.

84 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Probo Darono Yakti

Hal-hal yang disebutkan penulis di atas adalah alasan-alasan yang


ada mengapa NATO masih dibutuhkan di Eropa. Dan mengapa Uni
Eropa menggantungkan keselamatan negara-negara anggotanya
pada NATO adalah karena ada sebuah deklarasi kebijakan antara dua
organisasi regional ini. EU-NATO Declaration on European Security
and Defence Policy (ESDP) ditandatangani di Brussel, 16 Desember
2002. Dalam Eur-lex (2007) disebutkan bahwa ada tiga tujuan dalam
kemitraan Uni Eropa dengan NATO: (1) Uni Eropa akan memastikan
kemungkinan keterlibatan penuh dari para anggota non-Uni Eropa
Eropa NATO dalam ESDP; (2) NATO akan mendukung ESDP dan
memberikan Uni Eropa yakin akses ke kemampuan perencanaan
NATO; dan (3) kedua organisasi akan mengadopsi pengaturan
untuk memastikan pengembangan koheren, transparan dan saling
memperkuat persyaratan kemampuan bersama mereka. Hal ini
diperkuat dengan traktat perjanjian Berlin Plus. Perjanjian Berlin
Plus pada tanggal 17 Maret 2003 sepakat untuk meletakkan dasar-
dasar bagi kerja sama NATO - Uni Eropa di bidang manajemen krisis.
Yang mana memungkinkan aliansi untuk mendukung operasi Uni
Eropa yang dipimpin NATO di mana nantinya tidak semua negara
anggota berkomitmen (Eur-lex, 2007).

Hubungan antara NATO dengan Uni Eropa sejatinya bisa dilihat


melalui perspektif Neorealisme Neorealisme berpendapat bahwa
negara-negara yang cenderung ke arah konflik dan persaingan dan
sering gagal untuk bekerja sama bahkan ketika mereka memiliki
kepentingan bersama karena swadaya sistem membuat kerjasama
pihak sulit. Waltz (1979 dalam Jakobsen 2013) mengungkapkan
bahwa sejatinya perspektif ini merupakan turunan dari realisme
klasik sendiri. Yang menjadikan perbedaan adalah ketika realisme
klasik melihat bahwa aktor paling utama di dalam hubungan
internasional adalah negara, neorealisme tidak. Walaupun tidak
mengabaikan peran negara sebagai aktor, menurut neorealisme
sistem internasional tidak bisa diabaikan di dalam konstelasi
hubungan internasional. Aspek penting lainnya di dalam neorealisme
adalah keanggotaan negara di dalam organisasi internasional. Hal
ini dapat digambarkan kemudian di dalam konteks NATO, bahwa
keterlibatan negara-negara Eropa dan Amerika Utara di dalamnya
dalah hal yang tidak bisa dihindarkan, apalagi kemudian pusat
kekuatan masih berada di konteks militer dan keamanan yang
belum disediakan oleh Uni Eropa.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 85


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

Demikian pula apabila NATO ini disangkutpautkan dengan


Uni Eropa, maka di sana terlihat sebuah ikatan yang tidak dapat
dipisahkan dari kedua organisasi regional yang telah berdiri pada
masa setelah Perang Dunia II usai. Yang perlu dikurangi adalah
ketika negara menghadapi fenomena interdependensi, maka
seharusnya negara tidak benar-benar menaruh segala kepercayaan
pada organisasi regional, karena pada dasarnya hubungan
antarnegara yang merupakan sebuah fenomena anarki seperti
yang diasumsikan oleh mahzab realisme masih berlaku hingga era
kontemporer ini.

Hubungan Kuat NATO dengan Amerika Serikat dan


Ancaman Keamanan dari Rusia

Jika menggunakan kacamata level analisis sistem internasional,


penulis dapat melihat begitu banyak permasalahan yang terjadi
di Eropa sehingga mendorong Eropa masih bergantung pada
NATO sebagai sebuah organisasi yang menaungi negara-negara di
dalamnya. Di dalam struktur regional terdapat sebuah sistem yang
mendasari mengapa negara-negara yang berada di dalamnya dapat
bergabung dan terintegrasi secara penuh. Uni Eropa pun bukanlah
merupakan regionalisme yang didesain untuk mengakomodasi
kepentingan-kepentingan politik dan keamanan negara-negara
anggotanya. Berawal dari latar belakang sejarah, Uni Eropa berawal
dari organisasi regional European Coal and Steel Community.
Organisasi ini berawal dari beberapa negara yang memiliki inisiatif
yang sama dalam mewujudkan aturan-aturan dan saling bekerja
sama dalam kaitannya dengan hal-hal yang berhubungan dengan
baja dan batubara. Setelah mengalami perkembangan, ECSC
mengembangkan sayap yang dinamakan European Community,
yang sudah jelas arah tujuannya yakni mewujudkan kesejahteraan
ekonomi negara-negara anggotanya. Dari sejarah pun juga telah
dipelajari bahwa pembentukan NATO jauh lebih awal daripada
terbentuknya Uni Eropa yang baru kukuh berdiri pada tahun 2000-
an sebagai satu kesatuan utuh Economic Union. Hal inilah yang
tidak dapat dipungkiri, menjadi salah satu penyebab mengapa
kepentingan di Uni Eropa tidak dapat dicampur adukkan antara
keamanan dan ekonomi: siapa yang lebih dahulu berdiri.

86 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Probo Darono Yakti

Kendati demikian selanjutnya berdiri organisasi organisasi lain


yang menaungi bidang militer seperti Western European Union
(WEU), namun pada kenyataannya NATO mendominasi di antara
regionalisme keamanan yang lain. Hal ini tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh Amerika Serikat yang terus meberikan dukungan
secara moril maupun materiil terhadap NATO. Meski dalam sebuah
artikel yang dilansir Martin Erdmann (2013), menyebutkan bahwa:

From a purely military perspective, the United States


does not need its European allies. America is the only
remaining superpower in the world, with military
capabilities that are second to none. The United
States is not, and will not be, dependent on anyone
else’s military capacities. Allied military support, like
that provided in Afghanistan or the Balkans in the
1990s, may be considered helpful, but has never been
decisive. A superpower by definition has to be capable
of independent military action. This consideration does
not belittle European defense capabilities or fuel the
burden-sharing debate. It is a sheer fact of life. But there
are plenty of other benefits of NATO as well.

(Erdmann, 2013)

Lebih lanjut pula Erdmann (2013), juga menyebutkan bahwa ada


tiga fungsi utama Amerika Serikat beraliansi dengan NATO. Yang
pertama adalah kondisi yang ada pada masa Perang Dingin, yang
mengukuhkan ke-28 anggota NATO bukan hanya aliansi sementara
saja, namun aliansi yang dapat bertahan di dalam segala macam
situasi. Yang kedua adalah NATO bereperan penting dalam
mengukuhkan legitimasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Porsi yang besar terhadap NATO dapat memperkuat legitimasi
Amerika Serikat dalam melakukan serangkaian intervensi militer
pada negara-negara yang sedang dirundung konflik pada kawasan
manapun di dunia. Dan yang terakhir adalah NATO yang mana
negara-negaranya merupakan penyumbang besar Gross Domestic
Product (GDP) dunia yang mana apabila dikalkulasikan dapat
mencapai hampir lima puluh persen dari keseluruhan GDP dunia.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 87


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

Pada sisi lain, militer Amerika Serikat memiliki beberapa prosedur


yang berkesinambungan dengan NATO. Komitmen AS untuk NATO
mencakup pasukan penempatan di Eropa dan melakukan pasukan
tambahan yang ditempatkan di Amerika Serikat dan di tempat lain
untuk pertahanan NATO. Hal ini juga termasuk memberikan atau
mengatur logistik dukungan dari kekuatan-kekuatan ini, melakukan
pangsa normal dari beban menjaga keamanan semua anggota
NATO, dan menjaga setiap informasi yang lengkap (Report to The
Congress, 1977). Ini artinya militer Amerika Serikat juga menjadi
salah satu faktor yang membuat mengapa hingga saat ini Un Eropa
membutuhkan NATO.

Keterkaitan Amerika Serikat inilah yang membuat Uni Eropa


dalam dilema besar, yang mana secara ekonomi Uni Eropa mampu
menjadi ‘pesaing’ dari Amerika Serikat. Namun kekuatan militer
yang dimiliki NATO mayoritas masih didominasi oleh Amerika
Serikat, disertai dengan legitimasi negara adidaya dunia tersebut
dalam percaturan organisasi kemanan regional itu. Wall Street
Journal (2013) berdasarkan data dari NATO sendiri, menyebutkan
bahwa Amerika Serikat masih berada di tingkatan teratas pada
kepemilikan militer dan juga GDP yang digunakan untuk anggaran
pertahanannya. Seperti yang disebutkan pada grafik di bawah ini:

Grafik 1: Aset Militer yang dimiliki oleh negara-negara yang


tergabung dalam NATO

Sumber: Wall Street Journal, 2013

88 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Probo Darono Yakti

Dari data yang disajikan di atas, maka tak dapat dipungkiri bahwa
Uni Eropa masih membutuhkan NATO sebagai komponen utama
pertahanan dan keamanan regionalnya. Belum lagi ancaman lain
seperti Rusia yang memang sejak awal tidak ada ketertarikan untuk
bersinggungan langsung dengan Uni Eropa dan NATO kecuali pada
kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya seperti perdagangan
gas alam melalui perusahaan milik negara Rusia Gazprom yang
distribusinya ke seluruh Eropa. Namun di bidang militer, hal
inilah yang terus dibangun kewaspadaannya pada negara-negara
Eropa mengingat bukan berarti pasca Perang Dingin Rusia dapat
dikatakan tunduk sepenuhnya pada tatanan yang dibangun di
Eropa. Rusia, masih berjalan di atas sebuah idealisme negaranya
yang menekankan pada era keemasan Rusia di masa Tzar. Di era
yang diperintah oleh Presiden Vladimir Putin saat ini Rusia pun
berkembang menjadi negara yang seakan-akan kembali meraih
posisi hegemoni dan berencana melakukan strategi balancing
terhadap Amerika Serikat, meneruskan Boris Yeltsin pada periode
sebelumnya. Peran-peran yang dimainkan Yeltsin adalah membuat
Rusia sebagai negara yang lebih demokratis yakni negara yang
dapat dikatakan bebas, terbuka, dan damai. Terbuka pada aspirasi
dan ide rakyat. Dengan konstitusi baru yang ramah terhadap hak
asasi manusia (Putin, 2007).

Rusia juga memiliki pengaruh yang besar terhadap negara-negara


bekas pecahan negara Uni Soviet. Meskipun satu persatu dari negara-
negara Balkan, Visegrad, Baltik, dan Eropa Timur itu satu persatu
menyatakan diri untuk bergabung, peran Rusia dalam hal ini tetap
melakukan kebijakan menarik ulur posisi negara-negara di Uni
Eropa (Wicaksana, 2015). Dengan bergabung dalam konstelasi Uni
Eropa, negara-negara ini sudah mengerti sanksi yang ditimbulkan
oleh Rusia yang mana sesungguhnya negara-negara ini belum dapat
lepas seratus persen dari peran Rusia dalam kawasan. Meskipun Uni
Eropa memiliki kewenangan untuk melepaskan sanksi pada Rusia
atas tindakan agresifnya pada Ukraina di tahun 2014, Uni Eropa
memiliki tantangan keamanan serius tanpa dukungan dari NATO.
Di balik itu, Rusia sendiri ngalami kerugian besar karena didepak
sementara dari G7, penutupan sementara akses terhadap ekonomi
dan perbankan serta blokade dari NATO atas Krimea. Beberapa
perusahaan energi dan pertahanan pun dihentikan operasionalnya
pada wilayah Eropa dalam kaitannya dengan sanksi tersebut
(European Union Newsroom, 2014).

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 89


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

Sehingga analisis penulis berkutat pada peran Amerika Serikat yang


terlalu besar terhadap Uni Eropa yang belum dapat membentuk
regionalisme keamanannya sendiri dan tekanan besar Rusia sebagai
salah satu ancaman dalam regional yang dapat menghancurkan
sendi-sendi vital perekonomian dan kesejahteraan masyarakat
yang menjadi fokus utama pembangunan Uni Eropa di abad ke-
21. Banyak segi yang harus dibangun oleh Uni Eropa sebagai satu
kesatuan negara yang memiliki visi dalam mewujudkan keamanan,
kedamaian, dan kesejahteraan untuk membangun sebuah rancangan
besar untuk menitikberatkan keamanan di samping ekonomi yang
menjadi sebuah ciri khas regionalisme di benua Eropa yang berdiri
pada era kekinian.

Regionalisme Kemananan Potensial yang Lain: OSCE

Organization for Security and Cooperation in Europe (OSCE)


merupakan regionalisme keamanan lain yang dijumpai pada Eropa.
Uniknya, OSCE melibatkan semua negara-negara yang secara
geografis terletak pada Uni Eropa dan juga didalamnya melibatkan
negara yang terus diwaspadai negara-negara lain di Eropa: Federasi
Rusia, dan juga beberapa negara yang tergolong dalam kawasan
Asia Tengah. Kehadiran OSCE di Eropa sempat diperhitungkan
sebagai regionalisme yang netral dan tidak tertekan terhadap
tendensi manapun yang membuat OSCE seakan-akan berpihak
seperti yang terjadi pada interbvensi-intervensi yang dilakukan
NATO yang baru saja dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

OSCE merupakan pendekatan komprehensif untuk keamanan


yang mencakup politik-militer, ekonomi dan lingkungan, dan
aspek manusia (OSCE, t.t). Oleh karena itu membahas berbagai
masalah keamanan, termasuk pengawasan senjata, tindakan
keamanan pembangunan, hak asasi manusia, minoritas nasional,
demokratisasi, strategi kepolisian, kontra-terorisme dan kegiatan
ekonomi dan lingkungan. Ke-57 negara peserta menikmati status
yang sama, dan keputusan diambil dengan konsensus pada politik,
tapi tidak mengikat pada dasar hukum.

Lebih lanjut, organisasi ini terdiri atas 57 negara yakni Albania,


Amerika Serikat, Andora, Armenia, Austria, Azerbaijan, Belanda,
Belarusia, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Republik
Ceko, Denmark, Eslandia, Estonia, Finlandia, Georgia, Hongaria.

90 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Probo Darono Yakti

Lalu Inggris, Irlandia, Italia, Jerman, Kanada, Kazakhstan,


Kirgizstan, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lituania, Luksemburg,
Malta, Republik Masedonia, Moldova, Monako, Montenegro,
Mongolia, Norwegia, Prancis, Polandia, Portugal, Romania, Rusia,
San Marino, Serbia, Siprus, Slovenia, Slowakia, Spanyol, Swedia,
Swiss, Tajikistan, Turki, Turkmenistan, Ukraina, Uzbekistan, Kota
Vatikan,dan Yunani (OSCE, t.t).

OSCE berawal dari fase détente dari awal 1970-an, ketika Konferensi
Keamanan dan Kerja sama di Eropa (CSCE) diciptakan untuk
melayani sebagai forum multilateral untuk dialog dan negosiasi
antara Timur dan Barat (OSCE, t.t). Pertemuan selama dua tahun
di Helsinki dan Jenewa, CSCE mencapai kesepakatan dari Helsinki
Final Act, yang ditandatangani pada tanggal 1 Agustus 1975.
Dokumen ini berisi sejumlah komitmen kunci pada isu-isu hak
Politik-militer, ekonomi dan lingkungan dan manusia yang menjadi
pusat ‘proses Helsinki’. Kemudian didirikan sepuluh prinsip-
prinsip dasar yang mengatur perilaku berserikat terhadap negara-
negara anggota, serta terhadap satu sama lain (OSCE, t.t).

Sampai tahun 1990, CSCE berfungsi terutama sebagai serangkaian


pertemuan dan konferensi yang dibangun di atas dan memperpanjang
yang berpartisipasi ‘komitmen, sementara berkala meninjau
pelaksanaannya. Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin, Paris
Summit of November 1990 menetapkan CSCE pada program baru.
Dalam Piagam Paris untuk Eropa Baru, CSCE dipanggil untuk
memainkan perannya dalam mengelola perubahan bersejarah yang
terjadi di Eropa dan menjawab tantangan-tantangan baru dari
periode pasca-Perang Dingin, yang menyebabkan mengakuisisi
lembaga permanen dan kemampuan operasional (OSCE, t.t).
Sebagai bagian dari proses pelembagaan ini, nama diubah dari
CSCE untuk OSCE oleh keputusan Budapest KTT Kepala Negara
atau Pemerintah pada Desember 1994 (OSCE, t.t).

Dalam kelanjutannya, OSCE tidak jauh lebih baik daripada NATO


dan Uni Eropa. Karena memiliki fokus yang begitu spesifik. OSCE
pada akhirnya hanya menjadi forum diskusi informal yang tidak
memiliki kapabilitas untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan
kawasan di Eropa. Karena keanggotaannya yang sangat fleksibel
dan tidak terpusat pada lingkaran konsentrasi yakni Eropa sebagai
benua yang terletak pada poros dunia.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 91


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

OSCE juga pada akhirnya diprediksi akan bernasib sama dengan


WEU yang dinyatakan bubar pada tahun 2011 dan menyerahkan
segala atributnya pada Uni Eropa. Sekali lagi, hal ini membuktikan
eksistensi NATO yang memiliki peran kunci dalam perwujudan
perdamaian dan keamanan di Eropa. Uni Eropa juga masih belum
dapat memanfaatkan secara penuh OSCE karena OSCE hanya
diikuti oleh negara-negara anggota saja.

Mengkalkulasi Kemungkinan Uni Eropa Membangun


Keamanan Regional secara Independen

Dari pemaparan sebelumnya, dapat dilihat bagaimana peran


Amerika Serikat yang besar dalam menekan NATO melalui
intervensinya dalam traktat keamanan regional tersebut. Selain
itu, ancaman juga datang dari luar Eropa meski masih satu benua
dengan Eropa yaitu Rusia. Rusia dapat dikatakan menjadi alasan
mengapa NATO masih dibutuhkan dalam menopang Uni Eropa
yang ‘cacat kapabilitas’, dan tidak didesain untuk menghadapi
masalah-masalah keamanan dan perdamaian. Jika menilik kembali
intervensi-intervensi Amerika Serikat apa saja yang diperbuat
dalam NATO, maka didapatkan beberapa contoh terkini yang dapat
dijadikan acuan dalam melihat sikap Amerika Serikat terhadap
NATO. Misalnya seperti sikap Amerika Serikat pada krisis kemanan
di Libya yang memantik kerja sama NATO untuk turut andil dalam
skema penanganan konflik di daerah yang bahkan bukan termasuk
dalam Atlantik Utara. Bahkan tindakan yang dilakukan Amerika
Serikat dan NATO ini membuat citra mereka di samping akan
terpandang sebagai ‘pahlawan’ mereka juga didakwa bertanggung
jawab terhadap terjadinya sebuah genosida baru akibat penjatuhan
bom di Libya, dengan menimbulkan efek samping seperti pengungsi
yang sudah mencapai ‘puncak gunung es’ (Kelly, 2015).

Beberapa tahun sebelum itu Amerika Serikat juga melibatkan NATO


dalam pusaran konflik di Irak dan Afghanistan. Hal ini semakin
membuat ketidakjelasan NATO yang seharusnya lingkup kerjangya
difokuskan dalam penanganan keamanan di wilayah Atlantik Utara
saja. Perlakuan Amerika Serikat inilah yang menunjukkan bahwa
semakin terlibatnya Amerika Serikat dalam sebuah konflik akan
memperkeruh konflik itu sendiri.

92 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Probo Darono Yakti

Oleh karena itu, Uni Eropa memerlukan regionalisme keamanan


yang jauh lebih independen, sarat dengan kepentingan Uni Eropa
yang memiliki cita-cita mewujudkan kesejahteraan dan perdamaian
pada masyarakatnya. Sebuah komunike harus disusun berdasarkan
kesepakatan bersama ke-29 negara Uni Eropa yang diratifikasi dalam
memperluas wewenang Uni Eropa untuk membuat pemerintahan
supranasional yang tak hanya terfokus pada bidang ekonomi
saja, namun juga perlu untuk menyentuh bidang keamanan dan
pertahanan. Jika ditanyakan apa urgensinya, maka jawabannya
adalah faktor-faktor ancaman keamanan baru. Hal ini tidak bisa
sesuai dengan motif lama yang digunakan NATO. NATO hanya
berbicara mengenai militer pada permukaan yang bersifat hard saja.
Di sana tidak ada kesinambungan yang baik antara pencegahan
sosial dan pendekatan keamanan. Misalnya dalam kasus yang
baru saja terjadi, yakni masuknya jutaan imigran yang berasal
dari Suriah. Negara para pengungsi ini sudah tak aman lagi untuk
menjadi tempat mereka bernaung dan hidup dengan layak.

Jika tidak ada kesinambungan yang baik di dalam ESDP, maka yang
akan terjadi adalah ancaman keamanan baru terkit para migran.
Pelanggaran hukum lebih lanjut meningkat, tingkat ketegangan
sosial jauh lebih kuat, peningkatan besar dalam biaya pelayanan
sosial dan perumahan rakyat meningkat, dan tidak memberikan
kontribusi apa-apa yang bernilai terhadap bangsa-bangsa dari Uni
Eropa. Para migran juga akan merusak status quo dalam keamanan
Uni Eropa sebagai ratusan ribu pendatang dicampur dengan
sejumlah lumayan ISIS dan al-Qaeda penyelenggara, perekrut,
pejuang, dan penyerang bunuh diri yang akan membuat pekerjaan
keamanan dan intelijen Uni Eropa bahkan lebih riskan lagi (Scheuer,
2015).

Perjanjian-perjanjian tentang keamanan dengan NATO yang tak


sempurna (belum disempurnakan) juga membuat Uni Eropa
dalam posisi terdesak ketika tidak ada jalan selain mensinkronkan
kebijakan dengan NATO. Jika salah sedikit koordinasi, maka akan
mengacaukan tatanan ekonomi yang ada di Eropa. Hal semacam ini
yang dihindari oleh Uni Eropa, secara khusus organisasi regional ini
terpaut dengan NATO. Sehingga secara realistis kehadiran NATO
dalam Eropa tidak bisa dipisahkan dalam waktu dekat, namun ada
kiranya Uni Eropa dapat memasukkan kebijakan ini sebagai langkah
jangka panjang yang dapat ditempuh.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 93


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

Sehingga nantinya Uni Eropa tidak lagi menggantungkan


keamanannya pada organisasi regional yang lain, sebaliknya Uni
Eropa semakin kuat dengan dikukuhkannnya keamanan sebagai
isu strategis yang menjadi fokus utama pengembangan Uni Eropa
ke depan.

Simpulan

Penulis dapat menyimpulkan bahwa Uni Eropa dengan NATO


merupakan dua organisasi regional yang saling terikat dalam
kerja sama ESDP. Keduanya berperan besar dalam mekanisme
pembentukan regional Eropa yang menjamin kesejahteraan dalam
ekonomi dan stabilitas keamanan. Sejarah kedua regionalisme
yang berbeda dan tidak saling bersinggungan ini membuat kedua
organisasi ini berdiri sesuai dengan fokus masing-masing. Sedangkan
NATO, yang penulis tekankan kembali sebagai organisasi regional
yang menaungi negara-negara Atlantik Utara, telah melakukan
beragam tindakan intervensi sebagaimana yang dilakukannya
dalam Uni Eropa (bidang keamanan). Tentu saja kembali pada
fungsi NATO dalam melindungi negara-negara anggotanya, namun
penulis lebih menyetujui Eropa memiliki regionalisme keamanan
tersendiri yang tentu saja menjamin keberlangsungan stabilitas
keamanan regional yang lebih independen, dan memastikan tidak
ada negara yang memiliki kepentingan berlebih untuk melakukan
intervensi yang berlebihan pula.

Dalam kerangka ini penulis menggunakan pendekatan neorealisme.


Neorealisme membahas mengenai peran sebuah organisasi regional
dalam membahas collective security yang tidak dapat diwujudkan
dengan kerja sama antar negara dalam mekanisme sebuah rezim
internasional. Dalam hal ini berlaku aturan-aturan internasional
yang diterbitkan oleh lembaga yang memiliki supervisi dalam
mengawasi dan menjaga perdamaian internasional. Contohnya
tentu saja Dewan Keamanan PBB, NATO, SEATO, dll. Penggunaan
perspektif ini juga berdasarkan asumsi penulis bahwa organisasi-
organisasi internasional ini memiliki kemampuan yang lebih untuk
mengembangkan kerangka perdamaian internasional yang terus
mengikuti dinamika konstelasi politik dan keamanan yang ada.

94 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Probo Darono Yakti

Meski pada awalnya NATO didirikan untuk menangkal pengaruh


negara-negara anggota Pakta Warsawa dengan ideologi komunisnya
agar tidak menjalar ke negara-negara Eropa, namun fokus itu
saat ini mengalami pergeseran yang hebat. NATO ternyata dapat
disalahgunakan untuk alasan negara adidaya seperti Amerika
Serikat di era kontemporer ini untuk sama-sama berperang
melawan terorisme, meski tidak semua kepentingan Amerika
Serikat ini murni untuk melawan dampak yang ditimbulkan dari
kelompok teroris secara umum. Alasan-alasan Amerika Serikat
untuk menyerang negara di luar Eropa dapat diperkuat dengan
dukungan NATO terhadap kebijakan Amerika Serikat dalam
mengagresi negara lain. NATO di sini terlihat terus berpihak pada
negara yang haus akan power berlebih. Eropa dalam kebimbangan
besar akibat tidak memiliki organisasi regional yang secara tepat
menyelesaikan konflik dengan langkah yang tidak berat sebelah
dan terkesan memihak.

Opini penulis adalah di masa yang akan datang Uni Eropa


didesak agar terus memperluas cakupan regionalismenya menuju
ke bidang keamanan, sehingga dapat meniru regional-regional
lain yang memiliki kewenangan di tiga bidang sekaligus yakni
keamanan, ekonomi, dan sosial budaya. Sebut saja ASEAN yang ke
depannya akan membangun Masyarakat ASEAN dalam tiga pilar
sekaligus: diawali dengan ekonomi, dilanjutkan dengan politik dan
kemananan, dan diakhiri dengan pembangunasn sosial budaya
yang komprehensif.Tentu saja dengan ketiganya ASEAN akan
semakin terintegrasi dan mengambil langkah-langkah strategis
berikutnya untuk masa depan prospek kawasan yang semakin
menarik kawasan lain untuk meniru corak yang sama. Sekaligus
meningkatkan pergaulan di mata dunia internasional.

Jawaban penulis atas pertanyaan terkait dengan urgensi, maka


penulis mampu memberikan jawaban yaitu: Uni Eropa jauh
lebih terintegrasi dari ASEAN. Namun dengan meniru cara yang
dilakukan ASEAN yang memang sejarah pembentukannya diawali
dengan keamanan, Uni Eropa dapat berbuat lebih banyak dan
lepas dari kekangan NATO yang kerap kali melancarkan sikap
‘keterlaluan’ dan terlihat memihak pada negara-negara yang
memiliki tendensi besar terhadap anggota terkuat dalam tubuh
NATO sendiri, Amerika Serikat.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 95


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

Jika diterapkan lebih lanjut, tentu saja Eropa akan mengalami


integrasi luar biasa yang tidak dapat dikalahkan kawasan-kawasan
lain yang memiliki regionalisme tersendiri di belahan dunia yang
lain. Dan desakan itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal
seperti kehadiran Rusia sebagai ‘ancaman lama’ yang masih eksis
di dalam kawasan, juga pergeseran paradigma ekonomi yang
menganggap kawasan Samudera Pasifik jauh berprospek dan lebih
menguntungkan daripada kawasan Samudera Atlantik. Terutama
di abad-21 yang sedang gencarnya arus globalisasi dan liberalisasi
perdagangan di seluruh dunia. Tentu saja penciptaan keamanan dan
perdamaian memiliki dampak yang signifikan terhadap kemajuan
ekonomi sebuah kawasan.

96 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Probo Darono Yakti

Daftar Pustaka

Dunne, Tim & Schimdt, Brian C. 2005. “Realism”, dalam John Baylis
and Steve Smith The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Relations (Third Edition). New
York: Oxford University Press. Hal. 162-181

Encyclopædia Britannica Online, 2015. “North Atlantic Treaty


Organization (NATO)”. [daring]. dalam: http://www.
britannica.com/topic/North-Atlantic-Treaty-Organization
[diakses 12 Desember 2015].

Eur-lex. 2007. “Cooperation with NATO”. [daring]. dalam: http://eur-


lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=URISERV:l33243
[diakses 12 Desember 2015].

European Union Newsroom. 2014. “EU sanctions against Russia


over Ukraine crisis”, dalam: http://europa.eu/newsroom/
highlights/special-coverage/eu_sanctions/ index_en.htm
[diakses 12 Desember 2015].

Gunther, Hellmann, and Reinhard Wolf, 1993. “Neorealism,


Neoliberal Institutionalism, and the Future of NATO.”
Security Studies Vol.3. pp. 3-43.

Jakobsen, Jo. 2013. “Neorealism in International Realtions - Kenneth


Waltz” [daring]. dalam http://www.popularsocialscience.
com/2013/11/06/neorealism-in-international-relations-
kenneth-waltz/ [diakses pada 8 Oktober 2016]

Kelly, Kieran, 2015. “The Refugee Crisis and the Genocidal


Nature of US-NATO Interventions”, dalam Global Research,
September 07, 2015. [daring]. Tersedia dalam: http://www.
globalresearch.ca/the-refugee-crisis-and-the-genocidal-
nature-of-us-nato-interventions/5474296 [diakses pada 12
Desember 2015].

North Atlantic Treaty Organization (NATO), 2015. “A short history


of NATO”, dalam History Homepage. [daring]. dalam:
http://www.nato.int/history/nato-history.html [diakses 12
Desember 2015].

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 97


Kebutuhan Uni Eropa terhadap Institusi Keamanan:
Peranan NATO di Era Kontemporer

Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE). t.t.


“Participating States”. [daring]. dalam: http://www.osce.
org/states [diakses 24 September 2015].

Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE).


t.t. “Who we are”. [daring]. dalam: http://www.osce.org/
whatistheosce [diakses 24 September 2015].

Putin, Vladimir. 2007. Vladimir Putin’s Address on the


Occasion of Boris Yelstin’s Passing Kremlin, 23 April
2007. [daring]. dalam: http://president.kremlin.ru/eng/
speeches/2007/04/23/2207_type82912_125079.shtml [diakses
pada 12 Desember 2015].

Report to The Congress by The Comptroller General of The United


States. 1977. Relationships Between U.S. And NATO Military
Command Structures-Need For Closer Integration. [PDF].
dalam: http://www.gao.gov/assets/130/120115.pdf [diakses
12 Desember 2015].

Rockwood, Irving. 1995. “The Role of International Organization”.


Dubuque: Brown & Benchmark Publishers

Scheuer, Michael, 2015. U.S.-NATO military interventions caused


Europe’s migrant disaster. [online]. dalam: http://non-
intervention.com/1801/u-s-nato-military-interventions-
caused-europes-migrant-disaster/ [diakses pada 12 Desember
2015].

Wicaksana, I Gede Wahyu. 2015. MBP Rusia, Eropa Timur, dan Asia
Tengah SOH321 : Understanding Russia II : Russia’s Foreign
Policy. Universitas Airlangga, FISIP Universitas Airlangga
pada 10 April.

98 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016


Taruna Rastra Sakti

Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat


Lombok antara Indonesia dan Australia

Taruna Rastra Sakti

ABSTRACT

Lombok Treaty is a form of security cooperation that based on the concept of


cooperative security. Lombok Treaty was initiated by Indonesia and Australia in
2006 to address security issues faced by both countries. Back in the beginning of
its formation in 2006, until this study was conducted in 2015, the problems and
disputes in the field of security between Indonesia and Australia are still going
on. This article shows three causes of the agreement ineffectiveness: the differences
in interests, lack of trust and strategic asymmetry that affect the effectiveness of
Lombok Treaty. Those circumstances made cooperative security between Indonesia
dan Australia in Lombok Treaty become ineffective to accomplish their objective.

Keywords: cooperative security, Lombok Treaty, strategic asymmetri

Traktat Lombok merupakan salah satu bentuk kerjasama keamanan dengan


dasar-dasar kerjasama keamanan yang dijalin oleh Indonesia dan Australia pada
tahun 2006 dalam mengatasi masalah keamanan kedua negara. Namun, sejak
awal pembentukannya di tahun 2006 hingga penelitian ini dilakukan di tahun
2015, permasalahan dan perselisihan dalam bidang keamanan antara Indonesia
dengan Australia masih tetap terjadi. Tulisan ini menunjukkan tiga penyebab
kerjasama keamanan Traktat Lombok tidak berjalan efektif, yaitu adanya perbedaan
kepentingan, ada rasa saling tidak percaya antara kedua negara dan terdapat
strategi asimetri yang berpengaruh terhadap efektivitas Traktat Lombok. Hal-hal
tersebut yang menyebabkan kerjasama keamanan antara Indonesia dan Australia
dalam bentuk Traktat Lombok tidak efektif mencapai tujuan awalnya.

Kata-Kata Kunci: kerjasama keamanan, Traktat Lombok, strategi asimetri

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 99


Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia

Pada tanggal 13 November 2006 di Mataram, Lombok, pemerintah


Indonesia dan Australia menandatangani sebuah perjanjian
kerangka kerjasama keamanan yang dikenal dengan sebutan
Traktat Lombok. Kerjasama itu kemudian diratifikasi oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 2007. Namun,
perselisihan antara Indonesia dengan Australia dalam bidang
keamanan tetap saja terjadi. Kasus yang telah terjadi di antaranya
ialah peristiwa penyadapan alat komunikasi oleh lembaga intelijen
Australia terhadap presiden Republik Indonesia pada tahun
2009 yang lalu diketahui oleh publik pada tahun 2013. Selain itu,
terdapat kasus lain ketika pemerintahan Tony Abbot yang beberapa
kali menindak imigran gelap yang menuju ke Australia dengan
memanfaatkan wilayah kedaulatan Indonesia. Ini seperti yang
terjadi pada 15 Januari 2014 ketika sebuah perahu berwarna oranye
berisi 60 orang imigran berlabuh di Jawa Barat yang kemudian
diikuti oleh perahu kedua dengan penumpang sebanyak 34 orang
pada tanggal 5 Februari (Toohey, 2014). Oleh karena itu timbullah
pertanyaan mengenai efektivitas Traktat Lombok dalam mencegah
perselisihan keamanan antara Indonesia dengan Australia.

Setidaknya terdapat tiga variabel yang menyebabkan Traktat Lombok


antara Indonesia dan Australia tidak efektif. Pertama, terlihat bahwa
ada perbedaan kepentingan antara Indonesia dan Australia ketika
menyusun poin-poin yang disepakati dalam kerjasama keamanan
ini. Selain perbedaan kepentingan, penulis juga melihat ada rasa
saling tidak percaya antara kedua negara. Rasa saling tidak percaya
itu merupakan akibat dari adanya persepsi yang berbeda pada
masyarakat kedua negara. Variabel terakhir adalah adanya strategic
asymmetry dalam hubungan antara Indonesia dan Australia.
Penulis melihat ada kecenderungan Australia sebagai negara yang
lebih kuat secara teknologi dan persenjataan militer untuk tidak
berkomitmen penuh terhadap poin-poin kerjasama keamanan yang
telah disepakati oleh kedua negara. Dari hal-hal tersebut, maka
penulis dapat menyatakan bahwa kerjasama keamanan antara
Indonesia dan Australia dalam bentuk Traktat Lombok tidak efektif
dalam menghilangkan perselisihan dalam bidang keamanan.

Tulisan ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama menguraikan


kronologi dan dasar di balik pembentukan dan perumusan kerjasama
keamanan Traktat Lombok serta adanya perbedaan kepentingan
Indonesia dan Australia dalam Traktat Lombok.

100 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti

Bagian kedua berisikan tentang perbedaan persepsi yang terjadi


antara Indonesia dan Australia. Perbedaan persepsi ini merupakan
variabel kedua yang menyebabkan Traktat Lombok tidak efektif.
Bagian ketiga menunjukkan penyebab lain berupa strategic
asymmetry antara Indonesia dan Australia dalam Traktat Lombok.
Bagian terakhir adalah kesimpulan dari keseluruhan tulisan ini.

Kepentingan Indonesia dan Australia dalam Traktat Lombok

Sebelum dilakukan penandatanganan perjanjian keamanan antara


Indonesia dengan Australia pada tahun 2006, wacana pembicaraan
tentang perlunya kedua negara melakukan kerjasama keamanan
sudah terlihat sejak tahun 2003. Menteri Koordinasi Politik, Hukum,
dan Keamanan (Menkopolhukam) pada saat itu, Susilo Bambang
Yudhoyono berkunjung ke Australia setahun setelah peristiwa
Bom Bali I (Hakim, 2010). Susilo Bambang Yudhoyono pada
waktu itu menyatakan bahwa untuk dapat memberantas ancaman
keamanan baik yang bersifat tradisional maupun non-tradisional
maka kedua negara perlu meningkatkan kemampuannya. Pada
masa pemerintahannya selaku presiden Republik Indonesia,
kemudian digagas Joint Declaration on Comprehensive Partnership
between The Republic of Indonesia and Australia. Deklarasi ini
antara lain menyebutkan bahwa kedua negara sama-sama memiliki
komitmen untuk memperkuat kerjasama di bidang ekonomi dan
teknis, kerjasama keamanan, serta meningkatkan interaksi antar
masyarakat. Deklarasi ini juga menyebutkan pentingnya kerjasama
dalam menumpas terorisme yang menjadi perhatian bersama,
terutama paska terjadinya Bom Bali I tahun 2002. Untuk itu, kedua
negara sepakat untuk melakukan kerjasama dalam hal peningkatan
kapabilitas polisi, pertukaran informasi intelijen, serta kerjasama
imigrasi dan bea cukai. Selain itu, komitmen untuk melakukan
kerjasama di bidang maritim dan penjagaan keamanan laut juga
menjadi prioritas utama dalam merespon ancaman kejahatan
transnasional yang saat itu banyak melalui jalur laut (Hakim, 2010).

Terdapat jeda waktu selama kurang lebih tiga tahun dalam


melakukan berbagai pembicaraan dan perundingan antara kedua
negara sebelum kedua negara menghasilkan kesepakatan. Dua
perundingan secara formal mengenai naskah perjanjian yang ketika
itu akan disepakati dilakukan pada bulan Agustus 2006 di Jakarta
dan September 2006 di Canberra.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 101
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia

Setelah itu, dilangsungkan pertemuan tingkat menteri luar


negeri di New York di sela sidang Majelis Umum di PBB untuk
membahas dan menyepakati naskah final Agreement between The
Government of The Republic Indonesia and The Government of
Australia on the Framework for Security Cooperation. Perjanjian
keamanan antara Indonesia-Australia secara resmi ditandatangani
oleh menteri luar negeri masing-masing negara pada tanggal 13
November 2006 di Mataram, Lombok (Hakim, 2010). Mengingat
lokasi penandatanganan tersebut, maka perjanjian keamanan ini
juga dikenal dengan Traktat Lombok. Dilihat dari naskah perjanjian
ini, ada beberapa tujuan utama dari perjanjian ini. Pertama,
menciptakan suatu kerangka guna memperdalam dan memperluas
kerjasama, serta untuk meningkatkan kerjasama dan konsultasi
antara para pihak dalam bidang yang menjadi kepentingan dan
perhatian bersama mengenai permasalahan yang memengaruhi
keamanan bersama dan keamanan nasional masing-masing. Kedua,
membentuk suatu mekanisme konsultasi bilateral dengan tujuan
untuk memajukan dialog dan pertukaran intensif serta penerapan
kegiatan kerjasama dan sekaligus juga memperkuat hubungan
antar-lembaga sesuai dengan perjanjian ini.

Dalam pasal 2, ayat yang diangkat sebagai bagian krusial dari


perjanjian ini adalah ayat 2 yang berbunyi: “Saling menghormati
dan mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan bangsa
dan kemerdekaan politik setiap pihak, serta tidak campur tangan
urusan dalam negeri masing-masing” (News Letter Edisi III, 2008).
Berdasarkan pasal tersebut, dengan adanya perjanjian ini, Australia
tidak berhak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan
begitu juga sebaliknya. Pada satu pihak, poin ini menguntungkan
Indonesia karena dengan demikian ada pembatasan untuk Australia
dalam mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, sebagaimana
yang terjadi selama ini. Pengalaman Indonesia dalam kasus lepasnya
Timor Timur (Timor Leste) dan juga sikap Australia terhadap
Papua membuat pasal ini sangat penting bagi Indonesia. Seperti
diketahui, Indonesia memiliki potensi separatisme yang besar.
Dengan mereduksi peluang negara lain untuk intervensi, maka
Indonesia lebih mudah untuk menyelesaikan masalah separatisme
yang sedang dihadapi. Masalah separatisme ini bisa dikatakan
tidak berpeluang untuk terjadi di negara Australia. Dengan kondisi
yang demikian, maka Australia tidak memiliki kepentingan apapun
dengan adanya pasal ini dalam Traktat Lombok.

102 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti

Pasal 3 ayat 2 yang berbunyi: “Pemajuan pengembangan dan


pembangunan kapasitas lembaga-lembaga pertahanan dan angkatan
bersenjata kedua negara. Bentuk nyata dari kerjasama yang tertulis
dalam pasal ini termasuk dalam bentuk pendidikan dan pelatihan
militer, latihan, kunjungan dan pertukaran pendidikan, penerapan
metode ilmiah untuk mendukung pembangunan kapasitas dan
manajemen serta kegiatan terkait lain yang saling menguntungkan”
(News Letter Edisi III, 2008). Kerjasama dalam bentuk ini saling
menguntungkan jika kedua negara memiliki keunggulan kompetitif,
tetapi hanya menguntungkan salah satu pihak saja jika pihak lain
cenderung lebih kuat dibandingkan pihak lain. Australia secara
profesionalitas dan persenjataan dapat dikatakan lebih maju bila
dibandingkan dengan Indonesia, tetapi negara kangguru ini mau
menjalin kerjasama untuk meningkatkan profesionalitas Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Dari hal ini terlihat jelas bahwa Australia
turut membantu memperkuat pertahanan Indonesia. Salah satu
hal yang bisa menjadi keuntungan bagi Australia adalah bahwa
keamanan internal Indonesia juga berpengaruh terhadap keamanan
internalnya

Pasal 3 ayat 18 berbunyi: “Kerjasama, apabila diperlukan dan


diminta, dalam memfasilitasi koordinasi yang efektif dan cepat dalam
langkah-langkah tanggap darurat dan pemulihan bencana alam
atau keadaan darurat yang serupa. Pihak yang meminta bantuan
memiliki tanggung jawab utama dalam menentukan arah kebijakan
secara keseluruhan operasi tanggap darurat dan pemulihan kondisi
darurat” (News Letter Edisi III, 2008). Beberapa peristiwa telah
membuktikan bagaimana Indonesia mendapatkan banyak manfaat
dari bantuan yang diberikan oleh Australia. Bencana tsunami di
Aceh merupakan salah satu bukti nyata bagaimana militer Australia
memberikan kontribusi nyata bagi Indonesia.

Perjanjian keamanan Indonesia dengan Australia dalam Traktat


Lombok memuat beberapa prinsip. Pertama, prinsip pernyataan
atas kedaulatan, kesatuan, kemerdekaan, dan integritas wilayah
masing-masing. Kedua, pengakuan atas prinsip bertetangga yang
baik serta tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing.
Ketiga, pengakuan adanya tantangan global seperti terorisme
internasional, serta ancaman keamanan baik yang bersifat militer
maupun nirmiliter.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 103
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia

Berdasarkan beberapa prinsip diatas, maka Indonesia berkepentingan


terhadap Australia, khususnya dalam menjaga integritas NKRI.
Pernyataan diatas tercantum dalam artikel 2 ayat (2) dan ayat (3),
yang berbunyi:”Saling menghormati dan mendukung kedaulatan,
integritas teritorial, kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik
masing-masing; dan juga non- intervensi terhadap urusan dalam
negeri satu sama lain” dan ”Kedua belah pihak, sesuai dengan
hukum nasional dan kewajiban internasional yang berlaku, tidak
akan mendukung dan berpartisipasi dengan cara apapun dalam
kegiatan yang dilakukan baik oleh perorangan atau kelompok
tertentu yang bisa mengancam stabilitas, kedaulatan, atau integritas
politik pihak lainnya, termasuk menggunakan wilayah pihak
lainnya untuk melakukan separatisme” (News Letter Edisi III, 2008).

Kepentingan Australia dalam Traktat Lombok juga menjadi salah


satu latar belakang yang penting dalam melaksanakan penelitian ini.
Australia sebagai negara yang lebih maju dalam beberapa bidang
dapat dipastikan mempunyai sebuah kepentingan dalam perjanjian.
Kepentingan-kepentingan tersebut dapat dilihat dalam pemaknaan
beberapa pasal dalam Traktat Lombok itu sendiri. Pertama, pasal
3 ayat 5 berbunyi: “Kerjasama untuk membangun kapasitas para
penegak hukum untuk mencegah, menangani, dan menyelidiki
kejahatan transnasional” (News Letter Edisi III, 2008). Pasal ini
ditujukan untuk mendorong adanya kerjasama untuk menangani
masalah kejahatan transnasional yang mengancam kedua negara.
Akan tetapi, dapat terlihat bahwa kepentingan Australia dalam
pasal ini lebih dominan jika dibandingkan kepentingan Indonesia.
Seperti diketahui bahwa Australia menghadapi ancaman terhadap
penyelundupan manusia dari Indonesia dan Pasifik. Pasalnya,
pendatang gelap yang banyak berasal dari Timur Tengah dan
Asia Selatan ini masuk melalui kepulauan bagian barat, terutama
kepulauan Christmas yang berdekatan dengan kepulauan Indonesia.
Indonesia dijadikan tempat transit dan persinggahan alternatif bagi
para pendatang gelap yang bertujuan ke Australia (Hakim, 2010).

Kedua, pasal 3 ayat 12 berbunyi: “Kerjasama dan pertukaran


informasi dan intelijen dalam masalah keamanan antara lembaga
dan badan terkait dengan menaati peraturan nasional dan dalam
batasan tanggung jawab masing-masing.” (News Letter Edisi III,
2008).

104 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti

Kesepakatan kedua negara menjadikan pertukaran informasi dan


intelijen menjadi lebih mudah yang menjadi keuntungan besar untuk
Australia. Dengan adanya pertukaran informasi dan intelijen, maka
Australia dapat dengan mudah mengukur kekuatan pertahanan
Indonesia dan mengambil langkah yang tepat dalam menghadapi
Indonesia yang notabene dianggap sebagai kunci dari keamanan
kawasan Asia Tenggara.

Ketiga, pasal 3 ayat 18 yang telah disebutkan bahwa menguntungkan


bagi Indonesia dalam mendapatkan manfaat dan bantuan pada saat
terjadi situasi-situasi darurat. Namun, ayat ini ternyata juga bisa
dijadikan peluang bagi Australia untuk masuk ke urusan dalam
negeri Indonesia. Hal ini terutama karena Indonesia merupakan
daerah yang rawan konflik dan bencana. Dengan demikian,
masuknya pengaruh Australia di Indonesia menjadi semakin lebih
mudah.

Perbedaan Persepsi antara Indonesia dan Australia

Hambatan yang kedua adalah perbedaan persepsi antara pihak-


pihak yang melakukan kerjasama keamanan. Sebagaimana
yang terjadi pada saat Perang Dingin, banyak kawasan yang
mempersepsikan ancaman dari berbagai sumber. Sebagai contoh,
tindakan Korea Utara yang melakukan uji coba peluru kendali
dipersepsikan sebagai ancaman tidak hanya oleh Korea Selatan,
tetapi juga oleh Jepang dan juga Amerika Serikat. Demikian juga
sebaliknya, suatu negara merasa terancam oleh tindakan-tindakan
negara lain yang belum tentu dimaksudkan untuk mengancam.
Persepsi yang menganggap bahwa ancaman muncul dari banyak
sumber menghambat negara-negara untuk melakukan kerjasama
keamanan.

Dapat dilihat bahwa Indonesia dan Australia berbeda dalam


banyak hal (Evans dan Grant 1992). Perbedaan dalam bahasa;
budaya; agama; sejarah; populasi; demografi; serta sistem politik,
ekonomi, dan hukum. Umumnya negara yang bertetangga memiliki
banyak persamaan setidaknya dalam beberapa karakteristik, tetapi
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan Australia yang
negara kontinental memiliki perbedaan yang sangat banyak.
Kadang kala, perbedaan budaya sering dijadikan sebagai justifikasi
untuk masalah yang tidak bisa diselesaikan dalam hubungan luar
negeri (Zai’nuddin 1986).

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 105
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia

Richard Woolcott (2005) mengatakan bahwa perbedaan yang besar


dengan negara tetangga bukanlah alasan untuk rasa takut tetapi
sebagai tantangan dalam membangun jembatan kebudayaan.

Bagaimanapun juga, ada satu kesamaan aspek dalam persepsi


ancaman. Survei yang dilakukan terhadap opini masyarakat
Indonesia dan Australia menunjukkan bahwa setidaknya
setengah penduduk dari masing-masing negara memiliki persepsi
yang negatif terhadap negara yang lainnya. The Lowy Institute
mengadakan survei opini publik di Australia setidaknya satu tahun
sekali sejak tahun 2006 dengan menanyakan pandangan masyarakat
terhadap negara yang lain dari skala 0 (tidak suka) hingga 100
(suka). Hasilnya, Indonesia memiliki rating 50 menurut masyarakat
Australia. Pada tahun 2009, 54 persen masyarakat Australia tidak
mempercayai Indonesia untuk bersikap baik. Pada tahun 2006,
Australia mendapatkan rating 51 dari masyarakat Indonesia
yang di survey (Hanson, 2010). Dari angka tersebut dapat dilihat
bahwa kedua negara memiliki rasa saling tidak percaya antara satu
terhadap yang lainnya.

Persepsi berpengaruh besar terhadap keberhasilan sebuah


kerjasama, dalam bidang apapun dan tidak hanya berlaku dalam
bidang keamanan. Persepsi menentukan sikap dan tindakan yang
diambil terhadap pihak lain. Dalam konteks hubungan Indonesia
dengan Australia, persepsi yang tidak sama dan bahkan berbeda
menyulitkan keberhasilan kerjasama yang terjalin. Kerjasama
keamanan Traktat Lombok tidak dapat efektif dan berhasil mencapai
tujuannya jika Indonesia memiliki persepsi yang negatif terhadap
Australia dan juga sebaliknya. Bahkan Traktat Lombok juga tidak
efektif meskipun satu pihak memiliki persepsi yang positif, tetapi
pihak yang lain memiliki persepsi yang negatif terhadap terhadap
mitra kerjasamanya.

Strategic Asymmetry dalam Traktat Lombok

Hambatan yang ketiga adalah adanya strategic asymmetry. Strategic


asymmetry juga membuat kerjasama antar negara dalam bidang
keamanan semakin sulit terjadi karena membuat pilihan-pilihan
yang ditawarkan oleh negara-negara sulit untuk ditentukan.
Beberapa contoh dari strategic asymmetry yang terjadi adalah seperti
perbedaan secara demografi dan militer.

106 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti

Perbedaan pada tingkat pendidikan, penguasaan teknologi, dan juga


homogenitas maupun heterogenitas penduduk juga merupakan
faktor yang memengaruhi keberlangsungan kerjasama suatu negara
dengan negara lain (Singh, 2002).

Dimensi strategi asimetri dapat berbentuk positif dan negatif (Metz,


2001). Ketika Australia meggunakan keunggulan, kemampuan, dan
teknologinya untuk menegaskan keunggulannya atas Indonesia,
maka strategi asimetri antara Indonesia dan Australia berdimensi
positif. Akan tetapi, ketika Australia menggunakan keunggulannya
untuk memberikan ancaman dan untuk membuat Indonesia takut,
maka strategi asimetri memiliki dimensi yang negatif. Kerjasama
pelatihan militer Australia terhadap personil militer Indonesia
merupakan keunggulan yang berdimensi positif. Namun, apa yang
dilakukan Australia dalam beberapa hal seperti kebijakan turn-back
boat ke perairan dan melanggar batas wilayah Indonesia adalah
strategi asimetri yang berdimensi negatif. Selain dimensi positif-
negatif, strategi asimetri bisa juga memiliki dimensi lain seperti
meteril-psikologis (Metz, 2001).

Ada beberapa bentuk strategi asimetri yakni metode, teknologi,


keinginan, organisasi, dan waktu (Metz, 2001). Kesenjangan dalam
aspek metode berkaitan dengan perbedaan cara jika terjadi perang.
Aspek teknologi berkaitan dengan teknologi peralatan militer yang
digunakan untuk menghadapi musuh. Aspek ketiga yaitu keinginan
berkaitan dengan motif dan moral dalam berperang. Aspek
organisasi lebih mengacu kepada manajemen dan pengorganisasian
ketika berhadapan di medan perang. Sedangkan, aspek waktu
seringkali dikaitkan dengan aspek keinginan, tetapi aspek ini lebih
mengacu kepada keinginan pihak untuk berperang dalam jangka
waktu yang lama atau jangka waktu pendek.

Dari dimensi dan bentuk strategi asimetri yang disebutkan di atas,


penulis melihat strategi asimetri yang terjadi antara Indonesia dan
Australia memiliki kedua dimensi baik positif dan negatif. Dalam
bagian ini, peneliti lebih melihat pada dimensi materil daripada
psikologis. Hal ini karena dimensi materil lebih bisa diukur jika
dibandingkan dengan dimensi psikologis. Terdapat beberapa
dimensi materil dalam strategi asimetri. Pertama, kesenjangan
strategis dalam geografi.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 107
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia

Dalam konteks ini, Indonesia sebenarnya memiliki posisi yang


strategis jika dibandingkan dengan Australia. Letak geografis
Australia seolah-olah terisolasi oleh dunia sebelah utara dan sangat
banyak bergantung kepada sikap Indonesia jika ingin melakukan
hubungan dengan negara lain di sebelah utara. Letak Indonesia bisa
menjadi ‘benteng’ bagi Australia, atau justru menjadi musuh yang
terdekat baginya.

Kedua, dimensi kesenjangan dalam kepemilikan kekuatan militer


yang dimiliki oleh negara lain merupakan salah satu bentuk
hambatan dalam kerjasama (Moodie, 2000). Perbedaan yang
lebar dalam kekuatan militer adalah memang menjadi masalah,
tetapi bukan menjadi satu-satunya hambatan dalam membentuk
kerjasama. Terkadang, penguasaan suatu negara dalam teknologi
militer tertentu menjadi masalah dan dianggap berbahaya bagi
negara lain yang bekerjasama. Menghilangkan kesenjangan dalam
kepemilikan dan kemampuan militer adalah sesuatu yang sangat
sulit karena berkaitan dengan persepsi ancaman yang muncul.
Pada tataran strategis, Australia terbukti mampu melakukan
hal-hal yang dipraktikkan oleh negara-negara maju. Ketika
menerima permintaan bantuan dari pemerintah Timor Leste
pada tanggal 25 Mei 2006, hanya dalam waktu 24 jam Australia
mampu mengirimkan satuan militer dalam jumlah besar. Satuan
militer tersebut melibatkan berbagai jenis kapal perang sekaligus
yang semuanya tiba secara terjadwal. Hingga akhir tahun 2007
pun, Australia masih menempatkan kekuatan militernya di Irak,
Afghanistan, dan Kepulauan Solomon (Ali, 2006).

Di sisi lain, sampai tahun 2005, anggaran pertahanan Indonesia


hanya sebesar 0,68% dari produk domestik bruto (PDB), atau
sedikit diatas Laos (0,42%) yang tergolong negara paling
miskin di Asia Tenggara. Sebaliknya, anggota ASEAN yang
lain memiliki persentase anggaran pertahanan yang lebih tinggi
seperti Vietnam (6,35%), Brunei Darussalam (6,00%), Myanmar
(5,60%), Singapura (2,59%), Malaysia (2,16%), Thailand
(1,91%), Kamboja (1,36%), dan Filipina (1,09%) (Djalal, 2006).
Australia mengalokasikan 26,9 miliar dolar Amerika, sedangkan
Indonesia mengalokasikan anggaran pertahanannya sekitar 8.01
miliar dolar Amerika (Nation Master, 2014). Itu berarti Australia
memiliki anggaran pertahanan tiga kali lebih besar dari Indonesia.

108 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti

Untuk pesawat tempur, Australia memiliki 96 unit, sedangkan


Indonesia memiliki 69 unit. Australia secara kuantitas memiliki
keunggulan 39% dibandingkan dengan Indonesia. Australia
memiliki 6 kapal selam, sedangkan Indonesia hanya memiliki 2
kapal selam. Jumlah kapal frigate yang dimiliki oleh Australia juga
lebih banyak daripada Indonesia. Meskipun begitu, Indonesia
memiliki keunggulan kepemilikan jumlah kapal corvette dengan
jumlah 22 unit, sedangkan Australia tidak memiliki satupun kapal
corvette.

Ketiga, dimensi penguasaan wilayah juga menjadi poin


strategi asimetri tersendiri (Rezasyah, 2009). Sebagai negara
maritim, Indonesia belum bisa sepenuhnya berdaulat dalam
mempertahankan wilayah di darat, laut, dan udara. Padahal
perairan Indonesia memiliki setidaknya empat dari sembilan
chokepoints (perairan strategis yang sempit) yang ada di dunia
yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Ombai-
Wetar. Indonesia juga memiliki tiga Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI), yakni perairan yurisdiksi yang digunakan bagi
kepentingan navigasi internasional. Dengan posisi yang yang
sangat vital ini, perairan Indonesia merupakan penghubung
antara kawasan Timur Tengah yang kaya minyak dengan
kawasan Asia Timur yang merupakan pusat pertumbuhan
ekonomi.

Simpulan

Tratktat Lombok tidak berjalan efektif karena ada banyak faktor


yang menjadi hambatan. Faktor pertama yang menyebabkan
Traktat Lombok tidak efektif adalah karena adanya perbedaan
kepentingan antara Indonesia dengan Australia. Dari sepuluh
poin yang disepakati oleh kedua negara dalam Traktat Lombok,
tidak semua poin itu yang merupakan kepentingan tiap negara.
Indonesia memiliki kepentingan pada beberapa poin kesepakatan,
sedangkan Australia juga memiliki kepentingan tersendiri di
beberapa poin kesepakatan yang lainnya. Akibat dari perbedaan
kepentingan tersebut, maka fokus perhatian masing-masing negara
dalam mengimplementasikan perjanjian kerjasama keamanan
tersebut menjadi tidak maksimal. Oleh karena itu, tidak semua
poin-poin kesepakatan itu berjalan secara efektif karena perbedaan
kepentingan tersebut.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 109
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia

Faktor kedua yang juga menyebabkan Traktat Lombok tidak berjalan


efektif adalah karena adanya persepsi yang bertentangan antara
Indonesia dengan Australia. Suatu kerjasama berhasil jika pihak-
pihak yang terlibat dalam suatu kerjasama itu memiliki satu persepsi
yang sama. Dalam konteks hubungan Indonesia dengan Australia,
ada perbedaan persepsi yang terjadi antara keduanya. Bahkan dapat
dikatakan bahwa persepsi antar keduanya saling bertentangan.
Sebagian masyarakat dan elit Indonesia memiliki persepsi yang
positif terhadap Australia dan sebagian yang lain memiliki persepsi
yang negatif. Secara garis besar, jumlah masyarakat Indonesia
yang memiliki persepsi positif dan yang memiliki persepsi negatif
hampir memiliki angka yang sama. Sekitar separuh dari masyarakat
Indonesia yang memiliki persepsi positif terhadap Australia dan
separuh yang lain menganggap Australia negatif karena memiliki
tujuan yang tidak baik terhadap Indonesia.

Jika persepsi masyarakat Indonesia terhadap Australia antara


yang positif dan negatif memiliki perbandingan yang seimbang,
maka jumlah tersebut tidak berlaku di Australia. Sebagian besar
masyarakat Australia memiliki persepsi yang negatif terhadap
Indonesia, sedangkan sebagian kecil masyarakat Australia memiliki
persepsi yang positif terhadap Indonesia. Sebagian besar masyarakat
Australia menganggap bahwa Indonesia memiliki potensi besar
untuk menjadi ancaman keamanan nasional Australia. Dengan
adanya persepsi seperti itu, maka sebenarnya tidak ada rasa saling
percaya antara Indonesia dengan Australia. Walaupun sebenarnya
rasa saling percaya adalah salah satu hal fundamental dalam
membangun sebuah kerjasama. Dengan tidak adanya rasa saling
percaya antara Indonesia dengan Australia, maka hal tersebut turut
menjadi penyebab kerjasama keamanan Traktat Lombok tidak
berjalan efektif.

Penyebab ketiga yang membuat kerjasama keamanan Traktat


Lombok tidak berjalan efektif adalah karena adanya asimetri dalam
kekuatan strategis. Ada kesenjangan antara kekuatan strategis
Indonesia dengan kekuatan strategis Australia. Hasil penelitian
dengan mengumpulkan banyak data menunjukkan bahwa kekuatan
strategis Australia lebih unggul dan lebih kuat jika dibandingkan
kekuatan strategis yang dimiliki oleh Indonesia.

110 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti

Negara dengan kekuatan strategis yang lebih kuat akan cenderung


meremehkan komitmen kerjasama dengan negara lain yang lebih
rendah kekuatannya. Negara yang memiliki kekuatan strategis lebih
kuat akan cenderung lebih berani untuk melakukan pelanggaran
terhadap kesepakatan kerjasama daripada negara yang memiliki
kekuatan strategis yang lebih rendah. Dalam konteks ini, Australia
cenderung lebih berani untuk melakukan pelanggaran terhadap
komitmen kerjasama Traktat Lombok seperti dengan melakukan
penyadapan, pelanggaran terhadap batas wilayah, dan mengenai
masalah penanganan imigran tanpa dokumen. Dalam efektifitas
Traktat Lombok, kesenjangan kekuatan bukan menjadi penyebab
langsung, tetapi menjadi penyebab tidak langsung perjanjian
kerjasama Traktat Lombok tidak berjalan efektif.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 111
Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia

Daftar Pustaka

Ali, Alman Helvas, 2006. “Operation Astute di Timor Timur: Lesson


Learned Bagi Indonesia”, Quarter Deck, Juni, 6 (1).

Djalal, Hasyim, 2006. “ Maritime Security in South East Asia:


Addressing the Concerns”, Indodefence Conference 2006.
Maritime Security: Challenges and Prospects for Regional
Cooperation. Jakarta, 23-24 November.

Evans, Gareth, dan Bruce Grant, 1992. Australian Foreign Policy in


the World of the 1990s. Melbourne University Press.

Hakim, Fathoni, 2010. Perjanjian Kerjasama Kerangka Keamanan


Indonesia-Australia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia.

Hanson, Fergus, 2010. “Australia and Indonesia: Knowing Me,


Knowing You” [online]. dalam http://www.lowyinstitute.
org/files/pubfiles/ Hanson%2CAustraliaandIndonesia.pdf
[diakses pada 19 Maret 2016].

Metz, Steven, 2001. “Strategic Asymmetry”, Military Review, Juli-


Agustus.

Moodie, Michael, 2000. “Cooperative Security: Implications for


National Security and International Relations”, Cooperative
Monitoring Center Occasional Paper/14, SAND98-0505/14
Unlimited Release, Januari.

Nation Master, 2014. “Military Comparison: Indonesia and


Australia” [online]. dalam http://www.nationmaster.com/
country-info/compare/Australia/ Indonesia/Military#2014
[diakses pada 18 Maret 2016].

News Letter Edisi III, 2008. “Lombok Treaty”, dalam News Letter
Media dan Reformasi Sektor Keamanan Edisi III/06/2008.
Jakarta: Institute for Defense, Security and Peace Studies
(IDSPS).

Rezasyah, Teuku, 2009. Setahun Perjanjian Lombok: Sekedar


Kesepakatan atau Dokumen Strategis?, Bandung: Universitas
Padjadjaran.

112 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Taruna Rastra Sakti

Singh, Bilveer, 2002. Defence Relations between Australia and


Indonesia in the Post-Cold War Era. Praeger

Toohey, Paul, 2014. “Inside the Sovereign Borders Turn-back


Lifeboat” [online]. dalam http://www. news.com.au
[diakses tanggal 12 September 2015].

Woolcott, Richard AC, 2005, Indonesia Update 2005, in Different


societies, shared futures: Australia, Indonesia and the region.
John Monfries.

Zai’nuddin, Ailsa Thomson (ed.), 1986. Nearest Southern Neighbour:


some Indonesian views of Australia and Australians. Clayton:
Monash University Centre for Soutwest Asian Studies.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 113
114 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Diplomasi Greenpeace dalam Menekan


Deforestasi Amazon

Kartika Yustika Mandala Putri

ABSTRACT

Amazon is the largest tropical forest in the world where most of its area is in
Brazil. However, Amazon has deforestated lately due to the rise of soy demand. In
order to overcome Amazon deforestation, Greenpeace is working with many actors
including private companies. Soy Moratorium is the most effective mechanism for
mitigation. Research aims to analyze Greenpeace influence in soy moratorium in
Brazil in order to minimize Amazon’s deforestation. By using ecocentrism view,
research finds that structural change and mechanism are needed so as to fix the
environment. Research does two stages hypothesis testing. First is by using NGO
diplomacy to analyze Greenpeace’s role. Second is by using the level of NGO
influence to find how far Greenpeace influences soy moratorium.

Keywords: Greenpeace, soy moratorium, NGO diplomacy, Brazil

Amazon merupakan hutan hujan tropis terbesar di dunia, dan sebagian besar
wilayahnya berada di teritorial negara Brazil. Amazon banyak mengalami
deforestasi. Laju deforestasi semakin besar ketika angka permintaan kedelai terus
meningkat. Menghadapi hal tersebut, Greenpeace mengandeng perusahaan
multinasional untuk memberikan komitmennya dalam menjaga kelestarian
Amazon. Moratorium Kedelai merupakan salah satu mekanisme yang banyak
disebut sebagai mekanisme yang efektif dan dapat menjadi contoh upaya mitigasi
terhadap deforestasi Amazon. Penelitian ini menganalisis pengaruh Greenpeace
dalam komitmen Moratorium Kedelai di Brazil dalam upaya penurunan angka
deforestasi hutan Amazon. Pandangan yang digunakan dalam penelitian adalah
pandangan ekosentrisme, yang meyakini adanya kebutuhan perubahan struktur
dan mekanisme untuk memperbaiki lingkungan. Penulis melakukan pengujian
hipotesis dalam dua tahap. Tahap pertama menggunakan teori Diplomasi NGO
untuk menganalisis peran Greenpeace. Tahap kedua menganalisis tingkat pengaruh
dari Greenpeace untuk mengetahui tinggi rendahnya pengaruh Greenpeace dalam
Moratorium Kedelai.

Kata-Kata Kunci: Greenpeace, moratorium Kedelai, diplomasi NGO, Brazil

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 115
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Brazil merupakan salah satu dari tiga negara eksportir kedelai


terbesar di dunia termasuk Amerika Serikat dan Argentina, dan
ketiganya menguasai 80% produksi kedelai dunia (WWF, 2014).
Agrobisnis kedelai mulai melahirkan permasalahan di Brazil ketika
perkebunan kedelai dilakukan dengan mengambil area hutan
Amazon yang merupakan hutan hujan terbesar di dunia. Amazon
tidak hanya sebagai penadah hujan dan habitat bagi biodiversitas,
tetapi juga memproduksi 20% oksigen bumi (Corwin, 2007), sehingga
dapat dikatakan bahwa fungsi Amazon penting bagi bumi. Brazil
merupakan negara yang memiliki bagian hutan Amazon yang
terbesar dibandingkan dengan negara-negara Amerika Selatan
lainnya. Hal ini menyebabkan lahirnya tanggung jawab secara tidak
langsung oleh Brazil terhadap pelestarian paru-paru dunia. Hingga
tahun 2012, tercatat luas lahan digunakan sebagai ladang kedelai
seluas 24 juta hektar dan 2,1 juta hektar dari total tersebut mengambil
wilayah Amazon (Greenpeace, 2012). Pada periode tahun 2001 dan
2004, penelitian telah berhasil menguraikan adanya keterkaitan
antara pertanian yang melakukan deforestasi, peningkatan harga
kedelai, dan pembersihan hutan. Tingginya kesadaran mengenai
masalah lingkungan menuntut pelaksanaan konferensi dan
negosiasi lingkungan yang bertujuan untuk membahas solusi dari
isu tersebut.
Merespon permasalahan mengenai deforestasi, pada 24 Juni
2006, Moratorium Kedelai disepakati sebagai sebuah komitmen
sukarela yang ditandatangani oleh industri dan para anggota
eksportir Brazilian Vegetable Oil Industries Association (ABIOVE)
dan National Grain Exporters Association (ANEC). Tidak hanya
disetujui secara sukarela oleh sektor-sektor swasta, inisiatif ini juga
didukung oleh Pemerintah Brazil dan kelompok masyarakat sipil
(FAO, t.t). Semenjak disepakatinya Moratorium Kedelai, perusahaan
multinasional memberikan klaim bahwa rantai produksi dan suplai
mereka telah menjadi “hijau”, atau ramah lingkungan. Sebelum
moratorium disepakati, 30% dari perluasan kebun kedelai terjadi
melalui deforestasi, sementara setelah moratorium dilaksanakan,
hampir tidak ada pembukaan lahan baru (Butler, 2015).

116 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Grafik 1 Deforestasi dan Produksi Kedelai di Brazil (Butler, 2015)

Grafik di atas menjelaskan bahwa semenjak tahun 2006 hingga


tahun 2013 angka pembukaan lahan yang baru semakin menurun,
dan lahan yang sudah terbuka sebelumnya semakin dimaksimalkan
pemanfaatannya (Gibbs et. al., 2015). Moratorium Kedelai tidak
hanya memberikan dampak terhadap komitmen pemboikotan
dalam industri kedelai hasil deforestasi Amazon, tetapi juga sebagai
pondasi terhadap strategi pemberantasan deforestasi Amazon
lainnya. Hasil dari komitmen ini menjadi pondasi kebijakan dan
komitmen lainnya, dan salah satunya berkembang sebagai cetak
biru Perjanjian Peternakan yang menerapkan mekanisme komitmen
yang sama seperti Moratorium Kedelai (Butler, 2015). Menurunnya
deforestasi Amazon mendapatkan sanjungan dari Pemerintah
Brazil yang menyatakan bahwa perubahan drastis dari Moratorium
Kedelai berkat adanya inspeksi, denda terhadap penggundulan
hutan ilegal, dan juga berkat perusahaan multinasional yang
memiliki inisiatif self-governance (Fearnside, 2000).
Salah satu aktor yang menarik untuk diteliti dalam studi kasus
Moratorium Kedelai di Brazil adalah NGO lingkungan Greenpeace.
Greenpeace disebut sebagai aktor yang berhasil menyetir
perusahaan-perusahaan multinasional agar dapat menyepakati
komitmen moratorium.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 117
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Danglade (2015) menegaskan bahwa kunci dari Moratorium Kedelai


adalah memahami bahwa Greenpeace merupakan agen perubahan
yang sangat kuat dengan mempengaruhi konsumen umum dan
perusahaan yang kemudian menjadi efek sekunder. Peneliti lain
juga menjelaskan bahwa Greenpeace membangun atau membentuk
“sayap” bagi gerakan global, karena dengan adanya Greenpeace isu
deforestasi akibat kedelai menjadi terangkat (Wilkinson, 2010).
Meskipun NGO jelas dapat mempengaruhi perdebatan, hubungan
internasional masih kekurangan model yang dapat memperjelas
kondisi dan faktor-faktor yang memfasilitasi atau menghambat
pengaruh tersebut (Mitchell, 2004). Penelitian ini lebih lanjut
menjabarkan peran yang dijalankan dan pemetaan pergerakan
dari Greenpeace agar dapat memahami tujuan dan pengaruh dari
Greenpeace. Penelitian ini juga melibatkan kajian proses pengaruh
yang terjadi dengan menggunakan acuan peran dan pengaruh
Greenpeace.
Peran Greenpeace dalam Moratorium Kedelai di Brazil
Meskipun pada umumnya setiap NGO memiliki peran yang pasti
jika dilihat melalui visi dan misi dari organisasinya, namun perlu
diperhatikan bahwa dalam setiap studi kasus memiliki ciri-ciri yang
berbeda satu dengan lainnya. Oleh karenanya penulis menilai setiap
studi kasus berpengaruh terhadap peran yang dijalankan oleh
sebuah NGO. Dalam studi kasus Komitmen Moratorium Kedelai,
penulis menjabarkan mengenai tiga peran utama yang dimainkan
oleh Greenpeace, yaitu sebagai Kompetitor Pemerintah, Mobilisasi
Opini Masyarakat serta Pengawas dan Penilai.
Peran pertama Greenpeace adalah sebagai kompetitor intelektual
bagi pemerintah Brazil. Semangat Greenpeace untuk menyuarakan
permasalahan deforestasi di hutan Amazon bukan berarti
pemerintah Brazil tidak melakukan kebijakan terkait deforestasi.
Pada tahun 2004 diluncurkan sebuah kebijakan oleh Pemerintah
Brazil, yaitu Rencana Tindakan untuk Pencegahan dan Pengendalian
Penebangan Hutan di Legal Amazon (PPCDAm) (Assuncão et. al.,
2012). Kebijakan Pemerintah Brazil tersebut lebih berfokus pada
kekuatan yang berpusat dari negara, tanpa adanya kerjasama
dengan pihak-pihak lain yang bersangkutan terhadap permasalahan
deforestasi yang menimpa Amazon di Brazil.

118 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Berangkat dari permasalahan deforestasi dan adanya kekuatan


yang terkonsentrasi pada pemerintah domestik, peran Greenpeace
sebagai NGO mulai lahir. Greenpeace muncul dengan tujuan
menjadi pihak yang bersifat menyaingi kemampuan intelektual
pemerintah dengan pendekatan yang berbeda. Terdapat dua hal
yang dilakukan oleh Greenpeace yang kemudian dikategorikan
dalam peran kompetitor pemerintah, yaitu dalam analisis dan
respon yang diberikan terkait kasus deforestasi Amazon.
Greenpeace telah melakukan investigasi mengenai hutan Amazon
semenjak tahun 1998 dengan melakukan kerjasama dengan
beberapa komunitas lokal di Amazon. Kerjasama yang dimiliki oleh
Greenpeace juga didorong dengan adanya fasilitas dengan tujuan
untuk meningkatkan fasilitas dan efektivitas dari penelitian. Agar
dapat meningkatkan efektivitas dan hasil penelitian, Greenpeace
membagi anggotanya menjadi beberapa tim pemetaan satelit di
Amazon. Tim-tim tersebut dilengkapi dengan fasilitas on the ground
dan aerial surveillance agar dapat melakukan investigasi secara
terperinci (Greenpeace, 2006). Greenpeace menjelaskan mengenai
proses-proses pelacakan dan analisis yang melibatkan beberapa
aktor yang di antaranya adalah masyarakat-masyarakat yang ikut
mendapatkan dampak dari deforestasi, aktor-aktor politik dan
industri, data analisis dari Satelit Pemerintah Brazil, hingga data
mengenai ekspor-impor Brazil. Gabungan dari data-data tersebut
kemudian dicocokkan dengan kondisi yang terjadi di lapangan
sehingga dapat memiliki hasil penelitian yang lebih reliabel. Berbeda
dengan Greenpeace yang melakukan berbagai cara pelacakan di
lapangan, Pemerintah Brazil—dan pemerintah negara lain pada
umumnya—lebih cenderung mendapatkan informasi berdasarkan
laporan sebuah kasus tertentu (EMBRAPA. t.t).
Respon yang dikeluarkan oleh Greenpeace tidak berbentuk protes,
melainkan berbentuk laporan investigasi. Greenpeace melihat
urgensi pelestarian Amazon agar mendapatkan perhatian melalui
fakta-fakta bahwa Amazon sedang dalam keadaan yang berbahaya.
Hasil investigasi Greenpeace terhadap perdagangan kedelai hasil
deforestasi dikemas menjadi sebuah laporan terdiri 60 halaman
yang berjudul Eating Up Amazon. Greenpeace menjelaskan
mengapa diperlukan sebuah mekanisme tertentu untuk menangani
permasalahan perkebunan kedelai meskipun telah ada PPCDAm
sebagai kebijakan pemerintah.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 119
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Greenpeace menganggap bahwa komitmen Pemerintah Brazil untuk


melindungi 10% luas Amazon yang telah mengalami deforestasi
tidaklah cukup agar dapat menyelamatkan hutan Amazon
(Greenpeace, 2006).
Kedua, Greenpeace melakukan mobilisasi opini publik. Greenpeace
merupakan salah satu NGO yang aktif melakukan kampanye.
Melalui media rilisnya, Greenpeace menyampaikan untuk terus
memperjuangkan Zero Deforestation agar dapat mencegah
perubahan iklim katastropik (Buttler, 2010). Greenpeace merupakan
salah satu NGO yang cukup menarik dengan menunjukkan aksi
kampanyenya yang kemudian menjadi starting point pelaksanaan
Moratorium Kedelai (Pontes, 2013). Selain kampanye, Greenpeace
menghabiskan waktu lebih dari satu tahun untuk menyelidiki
rantai permintaan kedelai, mulai dari ladang di bagian Selatan
Amazon, hingga sampai pada daerah peternakan unggas di Inggris
dan Irlandia. Eating Up Amazon menjelaskan bahwa McDonald
dan sejumlah ritel makanan Eropa terlibat dalam perdagangan
kedelai hasil deforestasi (Greenpeace, 2006). Greenpeace juga
memanggil sejumlah perusahaan dengan daya beli yang besar
seperti Cargill, ADM, Bunge, Dreyfus dan Amaggi untuk ikut
datang dan bernegosiasi bersama mengenai ancaman terhadap
kelangsungan hutan hujan Amazon. Perusahaan-perusahaan
tersebut bertanggung jawab terhadap 90% sirkulasi perdagangan
kacang kedelai di Brazil. Pada awal kampanyenya, Greenpeace
mengajukan ide untuk membentuk kelompok kerja yang terdiri
dari para pedagang kedelai, produser, NGOs dan pemerintah untuk
membentuk sebuah aksi bersama. Advokasi Greenpeace dalam
rangka mobilisasi opini publik bersifat komprehensif karena tidak
hanya melibatkan dukungan dari masyarakat dan konsumen tetapi
juga dari produsen lokal. Mobilisasi opini publik yang dilakukan
oleh Greenpeace merupakan perpanjangan dari aksi protes NGO
lokal yang tidak dapat menyampaikan kepentingannya.
Peran Greenpeace yang ketiga adalah sebagai pengawas negosiasi
moratorium kedelai dan kepatuhan pemerintah dalam pelestarian
hutan Amazon. Hal-hal yang dilakukan adalah dengan mengawasi
luas hutan dan melibatkan masyarakat lokal yang digerakkan oleh
Greenpeace berdasarkan asas self-belonging. Sebelumnya telah
menjelaskan bahwa PPCDAm di Brazil lebih mengkonsentrasikan
pada kekuatan unsur-unsur dalam negara untuk melakukan
penegakan hukum.

120 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Ketika Moratorium Kedelai disepakati pada bulan Juli 2006,


Greenpeace juga melakukan pengawasan on the ground dan
melibatkan masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian hutan
Amazon. Greenpeace melengkapi teknologi yang dibutuhkan oleh
masyarakat untuk melakukan pengawasan daerah hutan Amazon.
Upaya Greenpeace ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan
bahwa Moratorium Kedelai memang benar dilaksanakan dan
terdapat kerjasama antar aktor yang saling mengawasi. Greenpeace
melakukan pelatihan kepada lima puluh penduduk dari total 28
kelompok masyarakat yang ada di daerah Santarem dan Balterra.
Lima puluh penduduk tersebut dilatih untuk menggunakan
peralatan global positioning systems (GPS) dan menginterpretasikan
gambar-gambar satelit (Greenpeace, 2009). Rasionalitas Greenpeace
dengan adanya keterlibatan penduduk lokal sangat sederhana,
yaitu anggota-anggota masyarakat tersebut lebih memahami
area tempat tinggal mereka, dan tentunya mereka lebih memiliki
keinginan untuk mempertahankan tanah dan hutan hujan tempat
mereka hidup.
Upaya Greenpeace untuk mengawasi Moratorium Kedelai
juga berfokus pada kepatuhan Pemerintah Brazil dalam proses
berikutnya. Komitmen Moratorium Kedelai yang telah disepakati
antara NGO dan perusahaan multinasional, tentunya juga
memerlukan dukungan dari pemerintah. Kebijakan yang selaras
antara pemerintah dan komitmen bersama meningkatkan efektivitas
dari Moratorium Kedelai itu sendiri. Dukungan dari Pemerintah
Brazil disahkan pada tahun 2008 yang ditandatangani oleh Carlos
Minc, selaku Menteri Lingkungan Brazil (Leão, 2009).
Pengaruh Greenpeace terhadap Pelaksanaan
Moratorium Kedelai Brazil
Berdasarkan pembuktian aktivitas NGO dalam tipologi pengaruh
yang diajukan oleh Betsill (2008), maka diperlukan adanya
perbandingan sikap atau perilaku dari aktor-aktor lain sebelum
dan sesudah NGO melakukan aktivitas, baik berupa kampanye,
layanan masyarakat, maupun bentuk komunikasi lainnya.
Sebelum melakukan penjabaran data, penulis memberikan
kronologi mengenai momen-momen terpenting lahirnya komitmen
Moratorium Kedelai.
Hal ini dilakukan oleh penulis dengan tujuan untuk mempermudah

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 121
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

pemahaman dalam studi kasus Moratorium Kedelai.


Tabel 1 Kronologi Moratorium Kedelai

6 April 2006 Penerbitan laporan Eating Up Amazon

Mei 2006 Penerbitan laporan We’re Trashin’ It

24 Juli 2006 Kesepakatan Moratorium Kedelai

Oktober 2006 Terbentuknya Kelompok Kerja Kedelai

Peran Pemerintah Brazil pada


2008
Moratorium Kedelai

Penelitian mengenai perkebunan kedelai sebagai faktor berpengaruh


bagi deforestasi Amazon telah muncul pada akhir abad ke-20,
yang berarti bahwa hipotesis mengenai budi daya kedelai sebagai
faktor pendorong terjadinya deforestasi Amazon telah berlangsung
sebelum penelitian Greenpeace mulai dijalankan. Nyatanya, telah
ada penelitian rantai perdagangan kedelai sebelum penelitian yang
dilakukan Greenpeace, namun hasil penelitian tersebut hanya
sebatas saran kebijakan dan tidak ada tindak lanjut kebijakan
maupun regulasi dan komitmen bersama.
Dalam laporan investigasinya pada 6 April 2006 yang berjudul
Eating Up the Amazon, Greenpeace menuding Cargil sebagai salah
satu perusahaan komoditas makanan dan agrikultur internasional
tersebut sebagai penyebab kerusakan Amazon. Pada awalnya
Greenpeace memberikan perhatian pada data ekspor kedelai dari
pelabuhan Santarém, Brazil, untuk Liverpool pada tahun 2005
yang mencapai angka 340.000 ton, tidak termasuk dari pelabuhan-
pelabuhan Brazil lainnya (Greenpeace, 2006). Greenpeace kemudian
melakukan penelusuran mengenai ekspor kedelai tersebut, hingga
kemudian mendapatkan hasil dokumentasi bahwa tidak hanya
Liverpool, tetapi juga Amsterdam sebagai dua kota pengimpor
kedelai terbesar. Kedelai ini sendiri digunakan sebagai pangan ternak
murah namun memiliki nutrisi yang mencukupi. Meningkatnya
aktivitas ekspor kedelai melalui Santarém melahirkan kesimpulan
dari Greenpeace bahwa kedatangan perusahaan Cargill di Santarém
dan petani-petani dari daerah sekitar berkaitan erat dengan produksi
kedelai dan deforestasi hutan Amazon.

122 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Eropa sangat bergantung pada impor kedelai demi kepentingan


produksi ternaknya, sehingga hal ini menjadikan Eropa sebagai
importer kedelai, baik kacang kedelai maupun ampas kedelai. Brazil
menggantikan peran Amerika Serikat sebagai pengekspor kedelai
terbesar di dunia pada tahun 2003, dan pada tahun 2004 Brazil telah
memenuhi 63% total impor negara-negara Uni Eropa (Hospes dan
Hadiprayitno, 2010).
Berdasarkan laporan Eating Up Amazon, terdapat tiga tahapan
dalam perdagangan kedelai mulai dari Brazil hingga ke Eropa
(Greenpeace, 2006). Tahap pertama, melibatkan tempat perkebunan
kedelai di Amazon hingga tahap ekspor. Di dalam tahap pertama
melibatkan poin utama, yaitu; (1) criminal soya production seperti
Membeca Farm, Võ Gercy Farm dan Lavras Farm; (2) trader /
crusher seperti Cargill; (3) Transhipment yang dimulai dari Porto
Velho hingga Santarem; (3) Export pelabuhan ekspor yang berperan
adalah Santarem dan Santos. Tahap kedua, melibatkan proses
dari pelabuhan hingga ke peternak. Impor terjadi di pelabuhan
Amsterdam dan Liverpool, kemudian melakukan distribusi internal
Eropa. Kemudian diterima kembali oleh Cargill dan kemudian
dijual kepada produsen pakan dan daging, seperti Sun Valley.
Tahap ketiga, melibatkan produsen makanan ke outlet makanan
dan supermarket.
Pada awalnya Moratorium Kedelai dilakukan melalui kampanye
publik oleh Greenpeace sehingga isu ini dapat terangkat. Kampanye
publik yang dilakukan oleh Greenpeace menargetkan perhatian
masyarakat Eropa, sebagai importir terbesar produk kedelai. Pada
6 April 2006, di hari yang sama pada penerbitan laporan Eating
Up the Amazon, beberapa kelompok orang berdandan dengan
menggunakan kostum ayam besar dan memasuki restoran cepat saji
McDonald di tujuh kota besar di Inggris (Eisenberg, 2013). Kostum-
kostum ayam tersebut merupakan sebuah aksi protes terhadap
produsen makanan, yang melambangkan ayam sebagai ternak
pengkonsumsi kedelai hasil deforestasi.

Berbeda dengan upaya negosiasi yang pernah diupayakan oleh


NGO lingkungan sebelumnya, Greenpeace lebih mendahulukan
pengumpulan informasi on the ground dan melakukan pendekatan
yang lebih konfrontasional. Greenpeace tidak langsung mengundang
para pihak yang terlibat untuk bertemu dalam negosiasi, melainkan
mencari kekuatan melalui bukti-bukti.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 123
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Greenpeace melakukan kampanye pada beberapa gerai McDonald


di kota London, Edinburgh, Leeds, Birmingham, Bristol dan
Southampton (BBC, 2006). Strategi Greenpeace menargetkan kota-
kota besar di Inggris terbukti mendapatkan perhatian, tidak hanya
memicu perhatian warga karena adanya kekhawatiran vandalisme,
tetapi juga mendapatkan perhatian media dengan adanya penertiban
dari kepolisian. Tidak hanya karena pusat produsen makanan ada
di Eropa, karena pasar terbesar dari produk kedelai ini sendiri ada
di Eropa, sehingga pelaksanaan aksi protes di Eropa menjadi sebuah
langkah yang strategis. Melalui aksi protesnya, para protestan
berkesempatan menyampaikan melalui BBC mengenai alasan aksi
mereka.
Tabel 3 Pengaruh Greenpeace pada Pembentukan Isu

Bukti Pengaruh
Indikator NGO?
…karena
Pengaruh Perilaku aktor-aktor
disebabkan
lain… (Iya/ Tidak)
komunikasi NGO
I s s u e • Perusahaan dan • Greenpeace
Framing masyarakat menyadari menerbitkan
bahwa kegiatan laporan
rantai perdagangan investigasi
kedelai tidak aman deforestasi
bagi biodiversitas Amazon yang
Amazon dengan berjudul Eating
adanya laporan dari Up Amazon dan
Greenpeace melaksanakan Iya
kampanya
• Perusahaan menyadari menggunakan
rantai proyek kostum ayam.
perdagangan ternyata
bersumber dari
penanaman kedelai
hasil deforestasi.

Melalui tabel di atas didapatkan bukti bahwa Greenpeace sebagai


NGO memiliki pengaruh dalam pembentukan isu dengan cara
memanggil dan mendesak para perusahaan multinasional seperti
perdagangan kedelai (supplier atau trader) dan juga perusahaan
industri makanan (retailer) untuk merespon terkait keterlibatan
perusahaan dengan terjadinya deforestasi di Amazon Brazil. Pada
awalnya aktor-aktor lain tidak memiliki aktivitas tertentu terkait
dengan lingkungan, dan tidak ada gerakan yang mengarah pada
pelestarian.

124 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Namun kemudian, setelah Greenpeace menerbitkan laporan


investigasi dan juga disertai adanya tekanan respon, para
perusahaan multinasional langsung bergerak untuk memastikan
kebenaran dari laporan yang disampaikan oleh Greenpeace. Setelah
kebenaran tersebut dipastikan oleh perusahaan, kemudian dapat
dilihat kesediaan perusahaan untuk berkumpul dalam satu meja
dan melakukan diskusi merupakan sebuah perubahan perilaku
aktor.
Menurut David Humphreys dalam artikelnya yang berjudul “NGO
Influence on International Policy on Forest Conservation and the
Trade in Forest Products” (Betsill, 2008), kepentingan NGO dalam
konservasi hutan ada di dalam dua perangkat nilai, yaitu nilai-
nilai lingkungan dan nilai-nilai HAM. Beberapa tuntutan yang
diajukan oleh NGO lingkungan pada umumnya adalah dengan
melakukan reformasi dan transformasi sistem yang berlaku, namun
tidak semua NGO melakukan hal yang sama dalam melakukan
pendekatan untuk dapat mencapai tujuannya. Beberapa NGO dapat
langsung menarget institusi-institusi melalui kampanyenya namun
tidak jarang juga melakukan pendekatan melalui internal. Oleh
karenanya, perbedaan-perbedaan yang muncul pada kampanye
NGO tidak dapat membentuk pola pengaruh dan model kebijakan
yang koheren. Terdapat dua hal yang perlu dibahas dalam proses
negosiasi, yaitu pembentukan agenda dan posisi dari aktor-aktor
kunci.
Pertama, pembentukan agenda yang diupayakan oleh Greenpeace
pada awalnya mengalami penolakan. Pada poin sebelumnya telah
dijelaskan bahwa Greenpeace menyusun strategi kampanye pada
perusahaan produsen makanan McDonald’s yang memiliki kontak
langsung dengan konsumen untuk meraih perhatian masyarakat
dan juga McDonald’s itu sendiri. Sementara Greenpeace memiliki
tujuan untuk menyatukan perusahaan-perusahaan supplier
anggota ABIOVE dan ANEC untuk berkumpul dan melakukan
diskusi. Greenpeace menarget Cargill sebagai perusahaan dengan
total perdagangan terbesar, yang dianggap sebagai kunci utama
terlaksananya negosiasi. Greenpeace tidak secara langsung
menekan Cargill, melainkan menargetkan McDonald’s lagi sebagai
titik utama diplomasi Greenpeace.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 125
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Oleh karenanya, selain menerbitkan Eating Up Amazon, Greenpeace


juga menerbitkan laporan yang berjudul We’re Trashing It; How
McDonald’s is Eating Up the Amazon (Greenpeace, 2006) yang
secara langsung menargetkan McDonald’s sebagai salah satu pelaku
deforestasi. Melalui We’re Trashing It; How McDonald’s is Eating
Up the Amazon, Greenpeace juga mengajukan beberapa tuntutan
yang seharusnya dicapai melalui kerjasama dengan perusahaan
produsen makanan di Eropa dan perusahaan perdagangan kedelai
yang berada di Brazil. Tuntutan yang diajukan Greenpeace tersebut
juga sekaligus menjadi agenda negosiasi yang diharapkan untuk
terwujud oleh Greenpeace.
Gambar 1 Agenda yang diajukan Greenpeace dalam
Eating Up Amazon

Merespon desakan yang diberikan oleh Greenpeace, para perusahaan


perdagangan kedelai menyetujui untuk bertemu dan membahas
kesepakatan terkait Moratorium Kedelai. Salah satu respon positif
yang didapatkan Greenpeace adalah penyampaian secara langsung
Karen Van Bergen, Wakil Presiden McDonald Eropa:

When we were first alerted to this issue by Greenpeace,


we immediately reached out to our suppliers, other
NGOs and other companies to resolve this issue
and take action. We are determined to do the right
thing together with our suppliers and the Brazilian
government, to protect the Amazon from further
destruction (Greenpeace, 2008).

126 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa McDonalds memberikan


respon dengan cara mencari tahu apakah rantai perdagangan
kedelai hasil deforestasi berkaitan dengan produknya. McDonalds
juga menyampaikan bahwa mereka melakukan koordinasi dengan
perusahaan penyedia untuk membahas kasus keterlibatan mereka
beserta pembahasan mengenai solusi atas permasalahan tersebut.
Respon yang disampaikan oleh McDonald’s bukanlah respon secara
langsung semenjak laporan Eating Up Amazon yang dikeluarkan
oleh Greenpeace. Respon yang disampaikan tersebut berkaitan
dengan laporan Greenpeace yang spesifik menjelaskan rantai
perdagangan kedelai yang digunakan oleh McDonald’s, yaitu
laporan We’re Trashing It; How McDonald’s is Eating Up the Amazon
yang memojokkan posisi McDonald’s sehingga McDonald’s perlu
untuk melakukan penelusuran dan investigasi lebih lanjut terkait
klaim terlibatnya McDonald’s dalam deforestasi.
Kedua, posisi dari aktor-aktor kunci mengalami perubahan
semenjak adanya aktivitas dari Greenpeace. Pada saat Greenpeace
mengeluarkan laporan Eating Up Amazon, kesepakatan untuk
berkumpul dan mendiskusikan hal tersebut tidak langsung
terwujud. Penolakan terhadap laporan tersebut terjadi seperti
juga yang terjadi pada RTRS di Belanda. Respon penolakan paling
terlihat pada perusahaan Cargill dengan mengeluarkan pernyataan
pres bahwa “Economic development is the long-term solution to
protecting both the Amazon’s peoples and the environment” (Hospes
dan Hadiprayitno, 2010). Cargill lebih memandang perusahaannya
sebagai pahlawan, atas nama HAM dan perkembangan ekonomi,
dibandingkan sebagai pihak antagonis yang mengancam kelestarian
lingkungan. Beberapa perusahaan lainnya juga mengajukan kritik
terhadap Greenpeace. Para MNC yang menolak laporan Greenpeace
memberikan klaim bahwa mereka bertanggung jawab atas
terjadinya deforestasi, tidak seperti penggambaran yang diutarakan
oleh Greenpeace melalui kampanyenya yang terkesan berlebihan
dan memiliki bias informasi (Hospes dan Hadiprayitno, 2010).
Greenpeace mengajak beberapa perusahaan produsen makanan
dan perusahaan ritel seperti McDonald, Elcorte Ingles, Waitrose,
Asdao, Ritter-sport dan Tegut untuk membentuk aliansi dengan
kesamaan pandangan mengenai permintaan responsible soy dari
para penyuplai.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 127
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Ketersediaan McDonald’s untuk bekerja sama dengan Greenpeace


menjadi sebuah katalisator lahirnya dukungan besar untuk
melakukan negosiasi mengenai Moratorium Kedelai (Goodwin,
2014). Aliansi yang dibentuk oleh Greenpeace bertujuan untuk
menekan ADM, Cargill, Bungee (USA), Dreyfus (French), Amaggi
(Brazilian) agar menyetujui moratorium, mengingat perusahaan
perdagangan kedelai tersebut memiliki posisi menolak laporan
Greenpeace. Strategi ini berhasil dan pada akhirnya bulan Juli
2006 Cargill, bahkan ABIOVE dan ANEC, juga ikut menyetujui
pelaksanaan komitmen bersama untuk melakukan moratorium
pada kedelai hasil deforestasi.
Moratorium Kedelai menunjukkan kinerjanya sebagai sebuah
komitmen sukarela, yaitu dengan terjadinya penurunan angka
deforestasi sebesar 40% pada sepuluh bulan terakhir (Leão, 2009). Pada
titik tersebut, Pemerintah Brazil menyadari pentingnya komitmen
antar aktor yang ada di dalam rantai produksi kedelai, mengingat
faktor penyebab deforestasi terbesar di Amazon berasal dari industri
dan perkebunan. Pemerintah Brazil kemudian terlibat dalam
komitmen Moratorium Kedelai pada tahun 2008 ketika Kementerian
Lingkungan Brazil (MMA) yang diwakili oleh Menteri Carlos Minc
secara resmi bergabung pada Kelompok Kerja Kedelai (Leão, 2009).
Selain itu, Pemerintah Brazil juga menggandeng Brazilian Institute
for Space Research (INPE) untuk ikut bergabung dalam melakukan
pengawasan melalui satelit dan mengidentifikasikan lokasi-lokasi
deforestasi pasca Moratorium Kedelai. Pada akhirnya, komitmen
Moratorium Kedelai mendapatkan dukungan penuh baik dari
kalangan industri, NGO dan Pemerintah Brazil, dibuktikan dengan
masuknya mereka sebagai anggota Kelompok Kerja Kedelai (Gibbs
et.al., 2015).

128 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Tabel 4 Pengaruh Greenpeace pada Proses Negosiasi


Moratorium Kedelai

Bukti Pengaruh
Indikator NGO?
…karena
Pengaruh Perilaku aktor-
disebabkan
aktor lain… (Iya/ Tidak)
komunikasi NGO
• Diawali dengan • Greenpeace
terpojoknya posisi memojokkan
McDonald’s sebaga perusahaan
salah satu perusahaan produsen makanan
produsen makanan. melalui laporan
yang menjelaskan
• Agenda yang dibahas keterlibatan
mengenai (1) Akhir produsen makanan
dari kerusakan dengan deforestasi
hutan; (2) adanya Amazon.
Agenda rantai perdagangan
Iya
Setting kedelai yang jelas dan
mekanisme yang tidak
menyalahi hukum;
(3) Mendukung
solusi dengan cara
mengembangkan
model suplai pangan
yang bertanggung
jawab.

• Pada awalnya • Greenpeace


perusahaan menolak meyakinkan bahwa
mengenai laporan tidak adanya
Greenpeace. Selain green image
itu, pemerintah mempengaruhi nilai
pada awalnya tidak saham perusahaan.
ikut terlibat pada
pembentukan • Greenpeace
Positions of moratorium melakukan
Iya
Key Actors desakan terhadap
• Perusahaan pemerintah melalui
kemudian menyetujui lobi.
terlaksananya
moratorium kedelai
dan Pemerintah Brazil
juga ikut bergabung
dalam pelaksanaan
pengawasan.

Laporan yang dikeluarkan oleh Greenpeace melalui Eating Up


Amazon menargetkan adanya moratorium selama lima tahun
dengan harapan dapat mengembalikan kondisi vegetasi alami, dan
agar dapat melihat pengaruh dari moratorium secara pasti.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 129
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Hasilnya, sebagian besar perusahaan menyetujui untuk ikut


berkomitmen dalam Moratorium Kedelai. Termasuk raksasa
makanan cepat saji McDonald’s menyampaikan kesediaannya untuk
bergabung dalam komitmen. Lahirnya komitmen kemudian juga
membawa dampak positif dengan berkurangnya angka deforestasi.
Selama tahun 2006 hingga 2012 terjadi tren penurunan angka
deforestasi yang awalnya 14. 285 km2 per tahun dan terus turun
hingga menjadi 4.571 km2 per tahun di tahun 2012 (Mongabay, t.t).
Kelompok Kerja Kedelai pada bulan Oktober 2006 berhasil
membangun kerjasama yang terdiri dari sektor perwakilan produsen
kedelai (ABIOVE, ANEC, ADM, Algar Agro, Amaggi, Baldo,
Bunge, Cargill, IMCOPA, Louis Dreyfus dan Óleos Menu) dan dari
sektor masyarakat sipil (Greenpeace, International Conservation,
IPAM, The Nature Conservancy dan WWF Brasil). Kelompok Kerja
Kedelai tidak hanya sebagai lembaga pengawasan berjalannya
operasional Moratorium Kedelai, tetapi juga merepresentasikan
hasil kesepakatan (Rudorff et. al., 2012). Kelompok Kerja Kedelai
memiliki tiga kelompok cabang utama, yaitu (1) Education,
information and Forest Code; (2) Institutional Relations; (3) Mapping
and Monitoring.
Setelah Kelompok Kerja Kedelai disepakati pada bulan Oktober
2006, maka mekanisme pengawasan lingkungan mulai terwujud.
Pengawasan tersebut dilakukan dari berbagai macam cara, baik
melalui darat maupun udara. Pada dua tahun pertama berjalannya
Kelompok Kerja Kedelai, ditemukan fakta bahwa tidak hanya
deforestasi yang menurun, tetapi juga proses regenerasi hutan
secara alami mulai terjadi karena area deforestasi tidak ditanami
oleh kedelai. Keberhasilan Moratorium Kedelai dalam mengurangi
angka deforestasi secara signifikan mendapatkan respon positif dari
Menteri Lingkungan Carlos Minc. Carlos Minc mengatakan bahwa
Moratorium Kedelai merupakan sebuah contoh yang baik untuk
diikuti karena adanya keberhasilan dialog antara sektor swasta
dan masyarakat sipil (UNFCCC, 2009). Pujian yang bermunculan
menanggapi keberhasilan Moratorium Kedelai menjadi bahan
pertimbangan setelahnya. Greenpeace dan NGO lainnya dapat
merasa lega dengan adanya kesepakatan perpanjangan komitmen
Moratorium Kedelai. Hingga tahun 2014, Moratorium Kedelai telah
diperpanjang sebanyak delapan kali.

130 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Melalui perbandingan antara keinginan Greenpeace dengan


dua hasil kesepakatan Moratorium Kedelai dan juga Kelompok
Kerja Kedelai, maka dapat dilakukan analisis bahwa Greenpeace
memiliki pengaruh terhadap hasil negosiasi. Rangkuman mengenai
kepentingan Greenpeace sebelum dan sesudah dilaksanakannya
Moratorium Kedelai dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 5 Pengaruh Greenpeace pada Hasil Moratorium Kedelai

Bukti Pengaruh
Indikator NGO?
…karena
Pengaruh Perilaku aktor-
disebabkan
aktor lain… (Iya/ Tidak)
komunikasi NGO
• Kesepakatan • Setelah kesepakatan
berhasil membentuk Moratorium
komitmen bersama Kedelai tercapai,
dalam membentuk Greenpeace
sistem monitoring mengusung sebuah
dan pencegahan. sistem Kerja
Final Kelompok Kedelai.
Agreement/ • Moratorium
Iya
Procedural Kedelai hanya dapat
Issues disepakati selama
dua tahun, tidak
lima tahun seperti
target Greenpeace
pada awalnya.

• Kesepakatan
• Kesepakatan • Apa yang telah
tersebut dilakukan
Final merefleksikan NGO untuk
Agreement/ kepentingan mempromosikan
Iya
Substantive Greenpeace, yaitu isu-isu substantif
Issues untuk menekan tersebut?
angka deforestasi di
Amazon.

Melalui tabel di atas dapat dilihat bahwa Greenpeace memiliki


pengaruh dalam membentuk hasil kebijakan, dikarenakan
hasil kebijakan mendekati pada kepentingan Greenpeace yang
menarget pada Zero Deforestation. Namun, dengan disepakatinya
perpanjangan komitmen, maka Moratorium Kedelai semakin
memiliki substantif yang sesuai dengan target-target Greenpeace.
Selain itu, Greenpeace berhasil membentuk sebuah mekanisme
baru, yaitu Kelompok Kerja Kedelai yang belum dapat mencapai
objektivitas Greenpeace.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 131
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Simpulan
Pertama, dalam perannya sebagai kompetitor pemerintah,
Greenpeace memiliki daya saing dengan pemerintah dalam
hal intelektual, namun perlu dipertegas bahwa peran ini bukan
merupakan tujuan ataupun bagian dari strategi Greenpeace.
Peran Greenpeace sebagai kompetitor pemerintah muncul karena
kondisi yang secara tidak langsung menjelaskan posisi Greenpeace.
Kemampuan Greenpeace dalam meneliti dan mengajukan solusi
lebih cepat daripada pemerintah, sehingga kondisi ini menjadikan
Greenpeace sebagai pemegang peran kompetitor pemerintah.
Kedua, Greenpeace berperan sebagai mobilisator opini publik
merupakan peran yang umum ditemukan dalam setiap NGO,
karena setiap melakukan kampanye maka tujuan yang ditergetkan
oleh NGO adalah dukungan dari masyarakat. Mobilisasi opini
publik yang dijalankan oleh Greenpeace bersifat bottom-up, di
mana target pertama Greenpeace merupakan konsumen, kemudian
beranjak pada perusahaan retailers makanan atau produk jadi
(yang berhubungan langsung dari konsumen), lalu menarget
perusahaan pengolahan kedelai hingga kemudian perusahaan
multinasional Cargill sebagai perusahaan terbesar. Ketiga, peran
Greenpeace sebagai pengawas dan penilai, yaitu ketika Greenpeace
berdasarkan objektifnya dengan sukarela memastikan bahwa
Moratorium Kedelai berjalan sesuai dengan mekanisme, yaitu
dengan melakukan penerjunan langsung di lapangan. Kepatuhan
pemerintah merupakan efek sekunder yang dapat muncul apabila
mekanisme Moratorium Kedelai telah berhasil membawa hasil
sesuai yang ditargetkan.
Dalam analisis tingkat pengaruh yang dimiliki Greenpeace,
Greenpeace memiliki pengaruh dalam Moratorium Kedelai di Brazil.
Dengan menggunakan teori tingkat pengaruh dari Betsill, terbukti
terjadi perubahan kondisi dalam setiap indikator pembentukan
isu dan agenda, indikator proses negosiasi, dan indikator hasil.
Adanya perubahan perilaku aktor lain akibat aktivitas Greenpeace,
menandakan bahwa Greenpeace berpengaruh.
Oleh karenanya untuk dapat menganalisis tingkat pengaruh dari
Greenpeace, maka penulis perlu untuk memetakan peran yang
dijalankan dan meneliti strategi yang dilakukan oleh Greenpeace
agar dapat melihat pengaruh Greenpeace melalui perbandingan.

132 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Daftar Pustaka:

Assunção, Juliano, et. al., 2012. “Menurunnya Penebangan Hutan


di Amazon Brasil: Harga atau Kebijakan?” Rio de Janeiro:
Climate Policy Initiative.
BBC, 2006. Arrest at Fast Food Store Demo. [daring] tersedia
dalam http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/england/
manchester/4882444.stm [diakses pada 8 April 2015].
Betsill, Michelle M. dan Corell, Elisabeth, 2008. NGO Diplomacy.
Massacussets: MIT Press.
Butler, Rhett A., 2010. How Greenpeace Changes Big Business.
[online daring] tersedia dalam http://news.mongabay.
com/2010/0722-greenpeace_skar_interview.html#sthash.
bCIEVIiY.dpbs [diakses pada 25 November 2014].
Butler, Rhett A., 2015. “Brazil’s Soy Moratorium Dramatically
Reduced Amazon Deforestation”. [daring] tersedia dalam
http://news.mongabay.com/2015/0123-brazil-deforestation-
soy-amazon-cerrado.html [diakses pada 10 Juni 2015].
Corwin, Jeff, 2007. “Hope, Despair for Amazon Rainforest’s
Future”. [online] tersedia dalam http://edition.cnn.com/
CNN/Programs/anderson.cooper.360/blog/2007/02/
hope-despair-for-amazon-rainforests.html [diakses pada 25
November 2014].
Danglade, Raphael, 2015. “Soy Moratorium Brazil”. raphael.
danglade@gmail.com (diakses pada tanggal I Mei 2015).
Eisenberg, Aileen, 2013. “Greenpeace Defends Amazon Rainforest
Against McDonald’s”. [daring] tersedia dalam nvdatabase.
swarthmore.edu/content/greenpeace-defends-amazon-
rainforest-against-mcdonalds-others-2006 [diakses pada 25
Maret 2015].
EMBRAPA, t.t. “About Us”. [daring] tersedia dalam https://www.
embrapa.br/en/quem-somos [diakses pada 11 Juni 2015].
FAO, t.t., Oilseeds, Oils & Meals Monthly Price and Policy Update,.
[daring] tersedia dalam http://www.fao.org/fileadmin/
templates/est/COMM_MARKETS_MONITORING/
Oilcrops/Documents/MPPU_Dec_12.pdf [diakses pada 26
November 2014].

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 133
Diplomasi Greenpeace dalam Menekan Deforestasi Amazon

Fearnside, Philip M., 2000. “Soybean Cultivation as a Threat to the


Environment in Brazil” dalam Environmental Conservation.
Foundation for Environmental Conservation, hlm. 23-38.
Gibbs, H.K. et. al., 2015. “Brazil’s Soy Moratorium; Supply Chain
Governance is Needed to Avoid Deforestation”. [daring]
tersedia dalam http://www.sciencemag.org/ (diakses pada
10 Februari 2015)
Goodwin, Stephanie, 2014. Forest Solutions. Toronto: Greenpeace
Canada, hlm. 14.
Greenpeace, 2006. Eating Up Amazon. Greenpeace Publications.
___, 2006b. We’re Trashin’ It; How McDonald’s is Eating Up
Amazon. [daring] tersedia dalam http://www.greenpeace.
org/international/Global/international/planet-2/
report/2006/4/amazon-soya-crime-file.pdf [diakses pada 31
Maret 2015].
___, 2006c. “Victory as Fast Food Giant Pledges to Help Protect the
Amazon”. [daring] tersedia dalam http://www.greenpeace.
org/international/en/news/features/McVictory-200706/
[diakses pada 17 Maret 2015].
Greenpeace, 2008. “Statement on Moratorium and Work of
the Amazon Working Group (GTS)”. [daring] tersedia
dalam http://www.greenpeace.org/international/en/
publications/reports/statement-on-moratorium-amazonwg/
[diakses pada 18 Maret 2015].
Greenpeace, 2009. “The Community Mapping in the Amazon”.
[daring] tersedia dalam http://www.greenpeace.org/usa/
en/media-center/reports/community-mapping-in-the-
amazo/ [diakses pada 13 Juni 2015].
Greenpeace, 2012. Soy Moratorium: Mapping and Monitoring
Soybean in the Amazon Biome – 5th year. [pdf] tersedia
dalam http://www.greenpeace.org/brasil/Global/
brasil/documentos/2012/Monitoring%20report_Soya%20
Moratorium%202012.pdf [diakses pada 24 November 2014].
Hospes, Otto dan Hadiprayitno, Irene, 2010. “Governing Food
Security”. Wageningen Academic Publishers.

134 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Kartika Yustika Mandala Putri

Leão, Lucia, 2009. “Soy Moratorium Reduces Plantings on New


Deforestations to less than 1%”. ASCOM, Ministry of
Environment.
Mitchell, Ronald B., 2004. “International Environmental Politics”.
Dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A Simmons
(ed.), 2004. Handbook of International Relations. London:
SAGE Publications.
Mongabay, t.t. Calculating Deforestation Figures for the Amazon
[daring] tersedia dalam http://rainforests.mongabay.com/
amazon/deforestation_calculations.html [diakses pada 25
November 2014].
Pontes, Nadia, 2013. Brazil to Take Soy Lead with Respect for
Rainforest. [daring] tersedia dalam http://www.dw.de/brazil-
to-take-soy-lead-with-respect-for-rainforest/a-16547231
[diakses pada 23 November 2014].
Rudorff, Bernardo F.T. et. al., 2012 “Remote Sending Images to Detect
Soy Plantations in the Amazon Biome—The Soy Moratorium
Initiative”. [pdf] tersedia dalam [www.mdpi.com/journal/
sustainability hlm. 1074-1088].
UNFCCC., 2009. “Soy Moratorium in the Brazilian Amazon Biome”.
Copenhagen.
Wilkinson, John., 2010. “From Fair Trade to Responsible Soy: Social
Movements and the Qualification of Agrofood Markets”
dalam Environment and Planning. Vol. 3 Rio de Janeiro: Rural
Federal University, hlm. 2012-2026.
WWF, 2014. Sustainable Agriculture: Overview. [daring] tersedia
dalam http://www.worldwildlife.org/industries/soy
[diakses pada 25 November 2014].

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 135
136 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.

Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika


Serikat di Kolombia

Cintya Aryadevi S.

ABSTRACT

One of the United States policies regarding war on drugs in Southern America
is Plan Kolombia. Plan Kolombia is a foreign aid that given by United States to
Kolombia with aim to decreased cocaine production in Kolombia. Unfortunately,
Plan Kolombia failed to meet its target. Article explains the reason why Plan
Kolombia has failed to fulfill its aim. To make it easy to understanding, article is
divided into four sections: the problem of foreign aid, the problem about organized
crime, the weakness of Kolombian law enforcement that emerge narcotics problems;
and violent approaches on its programs. Article argues that the United Staes had
misdiagnosed on designing strategy and on implementations. Plan Kolombia was
designed with violent approaches rather than law and security approaches.

Keywords: Plan Kolombia, War on Drugs, foreign aid

Salah satu kebijakan war on drugs Amerika Serikat di wilayah Amerika Latin
adalah Plan Kolombia. Plan Kolombia merupakan bantuan luar negeri Amerika
Serikat kepada Kolombia dengan tujuan mereduksi produksi narkoba jenis kokain
di Kolombia. Sayangnya, program Plan Kolombia gagal dalam mencapai tujuannya
tersebut. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui sebab-sebab kegagalan Plan
Columbia. Untuk mempermudah penjelasan, penulis akan membahasnya ke
dalam empat pembahasan; bantuan luar negeri sebagai konsep, faktor kegagalan
bantuan luar negeri, organisasi kriminal transnasional. Argumen yang dibangun
adalah kegagalan Plan Columbia disebabkan oleh misdiagnosa dalam strategi
dan pengimplementasiannya. Sehingga alih-alih menggunakan pendekatan-
pendekatan hukum dan keamanan, Plan Kolombia justru di desain menjadi sarat
akan pendekatan perang.

Kata-Kata Kunci: Plan Kolombia, War on Drugs, bantuan Luar Negeri

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 137
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia

Kolombia dan narkoba menjadi dua hal yang melekat satu sama lain.
Bukan hal yang berlebihan karena memang Kolombia merupakan
negara dengan perdagangan narkoba jenis kokain yang sangat
marak dan terbesar di dunia (McCarthy, 2011). Permasalahan kokain
di Kolombia ini telah menjadi isu utama sejak tahun 1980-an ketika
penggunaan kokain sedang menjadi tren di kalangan pekerja seni
hingga politisi Amerika Serikat, terutama Hollywood. Merebaknya
penggunaan kokain inilah yang menyebabkan pemerintah
Amerika Serikat mulai melarang penggunaan dan peredaran obat-
obatan terlarang bagi konsumsi masyarakat umum. Sebelumnya,
pemerintah Amerika Serikat melegalkan penggunaan obat-
obatan terlarang jenis apapun untuk dikonsumsi masyarakatnya
(McCarthy, 2011). Bersamaan dengan pelarangan obat-obatan
terlarang inilah yang kemudian membuat harga narkoba menjadi
melambung tinggi. Hal ini dilakukan karena halangan yang ditemui
oleh para bandar narkoba seperti penyuapan ke para penegak
hukum dan pembunuhan. Hal inilah yang membuat perdagangan
narkoba menjadi sarat akan kekerasan. Pembunuhan, penculikan,
dan pembantaian merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam
aktivitas perdagangan narkoba.

Meningkatnya harga narkoba jenis kokain menguntungkan bagi


Kolombia. Daun koka sebagai bahan baku kokain mudah ditemui,
terutama di wilayah Andes (McCarthy, 2011). Daun koka juga
kerap digunakan oleh masyarakat Andes sebagai bagian dari ritual-
ritual keagamaan. Melihat melimpahnya daun koka di wilayah
Andes, terutama Peru dan Bolivia yang merupakan negara tetangga
Kolombia, Pablo Escobar mulai menjadikan produksi kokain sebagai
bisnis yang menjanjikan (McCarthy, 2011). Lewat Escobar inilah
kemudian fenomena kartel narkoba bermunculan di Kolombia.
Semula hanya kartel Medellin yang dipimpin oleh Escobar yang
beraktivitas, kemudian bermunculan kartel-kartel sejenis seperti
Kartel Cali dan Kartel Notre de Valle (McCarthy, 2011).

Untuk melakukan setiap aksi kekerasan, kelompok-kelompok


kartel ini membayar kelompok-kelompok pemberontak seperti
FARC agar mau bekerjasama dengan kelompok kartel (McCarthy,
2011). Keberadaan kelompok pemberontak ini juga merupakan
permasalahan tersendiri bagi Kolombia.

138 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.

Menjamurnya kelompok-kelompok gerilya dan kelompok


paramiliter ini banyak menyebabkan jatuhnya korban jiwa akibat
pembunuhan hingga pembantaian yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok bersenjata ini. Perdamaian seperti tak pernah terjadi di
Kolombia. Peperangan yang terjadi antara kelompok kartel dengan
kelompok gerilya, kelompok gerilya dengan paramiliter, kelompok
gerilya dengan kelompok militer Kolombia. Melihat situasi ini
pada tahun 1998 Andres Pastrana, Presiden Kolombia kala itu,
memutuskan untuk membentuk rencana jangka enam tahun yang
disebutnya sebagai Marshal Plan para Kolombia – Marshal Plan
untuk Kolombia.

Ide utama Marshal Plan para Kolombia ini adalah untuk


merekonstruksi situasi dan kondisi Kolombia lewat pendekatan
sosial dan ekonomi untuk mendapatkan perdamaian di dalam
Kolombia (Meija, 2012). Salah satu sumber dana untuk mendanai
program tersebut didapatkan dari Amerika Serikat melalui kebijakan
war on drugs. Bantuan asing ini diubah oleh Presiden Bill Clinton
pada tahun 2000 menjadi Plan Kolombia (Meija, 2012). Perubahan
Marshal Plan para Kolombia menjadi Plan Kolombia ini dilakukan
karena strategi sebelumnya dianggap terlalu lunak. Amerika
Serikat lantas menggunakan pendekatan-pendekatan militer untuk
peningkatan keamanan Kolombia (Fajardo, 2008). Ternyata Plan
Kolombia tidak mampu mencapai tujuannya. Angka produksi
dan ladang koka di Kolombia tidak mengalami penurunan secara
signifikan, bahkan mengalami peningkatan hingga 15% (Meija,
2008). Ladang kokain pun kini meluas tidak hanya di Putumayo saja
tetapi hingga keluar Kolombia (Meija, 2008). Bukan hanya itu, alih-
alih mendapatkan perdamaian, kelompok paramiliter dan gerilya
pun semakin menjamur.

Argumen yang dibangun adalah kegagalan Plan Kolombia


disebabkan oleh ketidakmampuan kedua belah pihak. Pertama
pada pihak Kolombia selaku negara penerima. Di dalam Kolombia
adanya permasalahan dalam penegakan hukum merupakan kunci
pertama dari alasan mengapa Plan Kolombia mengalami kegagalan.
Adanya keterlibatan pemerintah dan pihak-pihak penegakan
hukum dalam aktivitas penyelundupan narkoba menyebabkan
lemahnya penegakan hukum di Kolombia. Kemudian, pada pihak
Amerika Serikat selaku negara pendonor.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 139
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia

Adanya misdiagnosa dalam strategi dan implementasi program


bantuan menjadi kunci kedua dari alasan kegagalan Plan Kolombia.

Masalah Kegagalan Bantuan Luar Negeri

Sejatinya, Plan Kolombia merupakan kebijakan milik Presiden


Pastrana untuk mengembalikan kondisi dan situasi di Kolombia,
namun di dalam tulisan ini penulis memandang Plan Kolombia
dalam sisi bantuan luar negeri yang diberikan oleh Amerika Serikat
kepada Kolombia sebagai strategi war on drugs.

Bantuan luar negeri ini merupakan salah satu instrumen kebijakan


yang telah digunakan dalam hubungan luar negeri selama berabad-
abad lamanya (Holsti, 1998). Hal ini dapat dilakukan oleh negara-
negara di dunia berupa pengiriman uang, barang atau nasihat teknis
dari sebuah donor kepada negara penerima. Di dalam pemberian
dan penerimaan program bantuan, tentu terdapat kepentingan
tertentu dari kedua belah pihak.

Plan Kolombia merupakan bantuan militer yang diberikan oleh


Amerika Serikat kepada Kolombia. Terkait dengan bantuan militer,
Holsti (1998) menyatakan bahwa bantuan jenis ini merupakan
bantuan yang tertua yang dilakukan. Bantuan militer ini dilakukan
dengan tujuan untuk menjaga keamanan donor dengan cara
memperkuat militer sekutu (negara donor) dengan pengendalian
secara tetap oleh negara donor (Holsti, 1998). Pengendalian secara
tetap disini maksudnya adalah adanya rasa ketergantungan dari
negara penerima kepada negara pendonor (Holsti, 1998).

Mayoritas penstudi menyatakan faktor kegagalan bantuan luar


negeri terletak pada kualitas pemerintahan negara pendonor. Dollar
dan Easterly (1997) misalnya menyatakan bahwa sebagai akibat
buruknya kebijakan yang ditetapkan negara penerima; buruknya
kualitas pelayanan publik, rezim perdagangan yang tertutup,
represi finansial, kesalahan manajemen ekonomi, serta kemampuan
pemerintah untuk mengklaim wilayah teritori dan yudisial.
Menambahkan hal tersebut Williamson (2006) menyatakan bahwa
adanya alokasi bantuan luar negeri yang menjadi sumber daya yang
didasarkan hanya kepentingan pemerintah saja.

140 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.

Berkaitan dengan apa yang dikatakan Williamson, Nielsen et al


(2010) menyatakan bahwa situasi dan kondisi dari negara penerima
yang membuat kesulitan untuk beradaptasi dengan program-
program yang diberikan dan mampu menyebabkan munculnya
konflik. Ditambahkan oleh Goldsmith ( 2001), lemahnya sistem
pemerintah negara penerima; karena adanya klientelisme, lemahnya
akuntabilitas dan kapabilitas dalam tata kelola di berbagai bidang
dan aspek, ketergantungan kepada bantuan asing berkontribusi
besar menyebabkan kegagalan.

Namun tak sedikit pula penstudi yang menyoroti faktor-faktor


kegagalan dari pihak negara donor. Buss dan Gardner (2006)
misalnya menyatakan bahwa adanya miskalkulasi program struktur
yang ada seperti; prioritas bantuan, strategi pemberian bantuan,
desain program, syarat-syarat yang diberikan, kompleksitas
administrasi bantuan, hingga pembangunan kapasitas. Hal ini
diakibatkan terlalu memprioritaskan kepentingan negara donor
saja tanpa mempedulikan situasi dan kondisi negara penerima
sehingga memicu kurangnya pemahaman karena hanya ingin
mengetahui apa yang menjadi kepentingannya saja. Nielsen (2010)
selain menyoroti negara penerima juga menyoroti negara pendonor
dengan menyatakan bahwa apabila bantuan yang diberikan
(terutama dalam bentuk pendanaan) dilakukan terlalu cepat dengan
jumlah bantuan yang cukup besar, tanpa persiapan yang lebih
matang sehingga negara penerima mengalami Aid Shock.

Terkait dengan hal ini, hipotesis awal yang dapat penulis himpun
berdasarkan pemikiran-pemikiran dari pada penstudi ini adalah
Plan Kolombia mengalami kegagalan sebagai akibat dari adanya
miskalkulasi strategi, karena Amerika Serikat hanya mementingkan
kepentingannya saja yakni war on drugs sehingga Amerika Serikat
mengubah seluruh strategi, tujuan, dan implementasi program Plan
Kolombia. Bersamaan dengan hal tersebut diimbangi dengan situasi
dan kondisi Kolombia yang menjadi permasalahan laten sehingga
kesulitan untuk beradaptasi dan mengimbangi program-program
milik Amerika Serikat.

Permasalahan Organisasi Kriminal

Argumentasi kedua menyatakan bahwa adanya permasalahan laten


yang dimiliki oleh Kolombia sebagai negara penerima bantuan.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 141
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia

Permasalahan utama yang dimiliki oleh Kolombia ini terkait


dengan adanya organisasi kriminal; kartel narkoba dan kelompok
pemberontak. Terkait dengan kemunculan organisasi kriminal
Ruggerio (dalam Armao, 2003) menjelaskannya lewat teori Defisit
Paradigma, bahwa semakin meluasnya tindakan kriminal disebabkan
oleh tradisi, absennya negara, patologi dan kurangnya pengawasan,
serta kemiskinan. Senada dengan hal tersebut Gambetta (dalam
Armao, 2003) menyatakan bahwa ketika pemerintah tidak mampu
menciptakan situasi politik yang stabil dan aman, organisasi kriminal
seperti mafia akan sangat mudah untuk merajalela di dalam sebuah
negara tersebut. Cloward dan Ohlin (dalam Allum dan Siebert,
2003) menambahkan bahwa tindakan kriminal merupakan akibat
dari keinginan individu untuk mendapatkan kesuksesan dalam
ekonomi.

Sukses tidaknya organisasi kriminal ini pun terletak pada


keterkaitan organisasi kriminal dengan pemerintah. Armao (2003)
menyatakan bahwa hal ini tergantung pada bagaimana organisasi
kriminal tersebut berhubungan dengan situasi serta sub sistem
(politik, yurisdiksi, dan ekonomi) yang mana interaksi yang
terjadi antara kriminal dengan negara ini disebut dengan grey
zone. Grey zone ini mampu dilakukan oleh kelompok kriminal
ketika pemerintah tidak memiliki stabilitas politik yang kuat dan
diimbangi dengan lemahnya penegakan hukum, maka organisasi
kriminal akan memanfaatkan celah tersebut untuk membuat negara
berada di dalam situasi mau tidak mau bekerja sama dengannya.
Dengan demikian pemerintah akan menggantungkan beberapa hal
(mayoritas ekonomi dan politik) kepada kelompok kriminal ini.
Seperti mayoritas negara Amerika Latin lainnya, negara Kolombia
memiliki ancaman yang bersifat hibrid dimana organisasi kriminal
beroperasi di bawah perlindungan negara. Aktivitas kartel narkoba
pada umumnya adalah perdagangan obat terlarang, pencucian
uang, penyelundupan senjata atau manusia (Douglas, 2012).

Permasalahan lain yang dimiliki Kolombia adalah permasalahan


pemberontakan. Memandang hal tersebut, Weinstein (2007)
membaginya ke dalam dua pendekatan sebagai pergerakan sosial
serta sebagai bentukan negara. Bila memandang pemberontak
dalam pandangan pergerakan sosial, kelompok ini terbentuk karena
adanya perubahan di dalam struktur sosial dan budaya yang ada di
dalam masyarakat.

142 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.

Sedangkan bila memandanganya sebagai bentukan negara,


kelompok pemberontak ini terbentuk karena lemahnya atau
runtuhnya otoritas pemerintah pusat terhadap masyarakatnya.
Kelemahan akuntabilitas pemerintah ini memaksa masyarakat untuk
membentuk kelompok guna mendapatkan kebutuhan dan tujuan-
tujuan yang tidak mampu diberikan oleh pemerintah (Weinsten,
2007). Kelompok-kelompok pemberontak ini akan melakukan
klaim kekuasaan atas suatu wilayah tertentu dan akan menjaganya
sekalipun dengan melakukan kekerasan tak hanya kepada
masyarakat sipil, tetapi juga kepada pemerintah yang dianggap
menghalangi dan membahayakan posisinya (Weinstein, 2007).
Dengan melakukan aksi militer kepada kelompok pemberontak
justru akan memperburuk keadaan karena pemberontak ini justru
akan semakin intens melakukan aksi-aksi kriminal. Ironisnya, militer
negara pun menggunakan cara yang sama untuk menanggulangi
penyebaran pemberontakan; memberikan ancaman kepada
masyarakat sipil agar tidak memiliki hubungan atau tidak dapat
memberikan dukungan dalam bentuk apapun kepada pemberontak
(Weinstein, 2007). Ketakutan yang dirasakan oleh masyarakat sipil
ini kemudian membuat masyarakat sipil mencari perlindungan ke
kelompok yang lainnya, dengan bergabung ke dalam kelompok
pemberontak misalnya. Sehingga akan meningkatkan jumlah
pemberontakan.Pemikiran para penstudi tentang permasalahan
organisasi kriminal ini kemudian membawa hipotesis awal dalam
tulisan ini, bahwa kegagalan bantuan luar negeri disebabkan oleh
adanya permasalahan penegakan hukum di Kolombia.

Lemahnya Penegakan Hukum di Kolombia sebagai Akar


Masalah Perdagangan Narkoba di Kolombia

Permasalahan yang paling krusial yang dimiliki oleh Kolombia


adalah permasalahan subordinasi penegakan hukum. Penggunaan
kekerasan untuk menyelesaikan masalah ini merupakan salah
satu indikasi dari permasalahan tersubordinasinya hukum.
Budaya kekerasan di dalam Kolombia ini telah tercetak sejak era
kolonialisme, dan salah satu sektor yang paling rentan penggunaan
kekerasannya adalah sektor politik. Kekerasan politik ini dipicu
oleh adanya perpecahan yang terjadi di Kolombia tidak hanya antar
wilayah, tetapi perpecahan itu sendiri juga terjadi di dalam tubuh
pemerintahan.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 143
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia

Kolombia mengalami situasi yang penuh akan kekerasan yang


terjadi antar pendukung fraksi politik yang berbeda, yakni antara
fraksi Partai Liberal (Partido Conservador Kolombiano - PCC /
Las Golgotas) dan Partai Konservatif (Partido Liberal Kolombiano
– PLC /Los Draconianos) (Watkins, t.t). Konflik yang kerap kali
terjadi antar kedua partai (baik anggota fraksi maupun pendukung)
ini memicu aksi anarkis seperti penculikan, pembunuhan, bahkan
hingga pembantaian seperti yang terjadi pada tragedi La Violencia
yang terjadi pada tahun 1948 hingga 1966 yang menewaskan kurang
lebih dua ratus ribu jiwa (Novellis, 2009).

Salah satu indikasi lemahnya penegakan hukum di Kolombia


adalah adanya kelompok paramiliter. Kelompok paramiliter
ini merupakan kelompok pertahanan diri (autodefensas) yang
dibentuk oleh pemerintah secara resmi sejak tahun 1960-an dan
1970-an. Pemerintah Kolombia membentuk paramiliter dengan
tujuan untuk membantu tentara Kolombia melawan pemberontakan
semasa perang sipil masih berkecamuk (Rabasa dan Chalk, 2001).
Semula pemerintah membentuk autodefensas ini sebagai cara
untuk melibatkan masyarakat di dalam melawan organisasi
kriminal dan pemberontakan tanpa membentuk masyarakat
tersebut menjadi militan, karena di dalamnya masyarakat dilarang
untuk menggunakan senjata-senjata berat seperti senapan, hanya
diperbolehkan memakai senjata sampingan yang ringan. Mengingat
posisi kelompok ini yang berfungsi sebagai intel bagi pasukan
tentara Kolombia dan tidak berada di garis depan.

Seperti layaknya kelompok gerilya yang mulai berubah haluan,


kelompok paramiliter pun mulai mengembangkan hubungan
dengan kelompok-kelompok kriminal, termasuk jaringan
penyelundupan narkoba (Rabasa & Chalk, 2001). Maka sejak saat
inilah baik kelompok gerilya maupun kelompok paramiliter menjadi
organisasi kriminal.

Selain kekerasan yang dilakukan oleh kelompok paramiliter, gerilya,


serta militer Kolombia, tentu saja kekerasan juga dilakukan oleh
kelompok-kelompok kartel narkoba. Aktivitas kartel narkoba yang
ilegal inilah yang membuat aksi kekerasan dan mempersenjatai diri
menjadi solusi terbaik bagi setiap permasalahan yang dihadapi oleh
kelompok kartel.

Pembunuhan aparat negara, pesaing-pesaingnya, hingga masyarakat

144 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.

sipil merupakan hal yang lumrah di lakukan oleh kartel narkoba.


Aparat hukum merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh
kartel narkoba. Dengan melakukan kekerasan dan mempersenjatai
diri dengan senjata-senjata termutakhir yang membuat aparat
hukum tidak berkutik merupakan cara untuk memuluskan industri
kokainnya tetap berjalan (Ousey dan Lee, 2002).

Aparat penegak hukum Kolombia, Kepolisian Kolombia, dan


kelompok kartel merupakan lawan sejak bertahun-tahun yang lalu.
Kedua belah pihak saling melakukan aksi balas dendam atas pihak
lawannya tersebut. Untuk menutupi aksi balas dendamnya, kepolisian
menutupi aksinya tersebut menjadi operasi pemberantasan kartel
narkoba. Namun operasi ini justru lebih terealisasi setelah terdapat
anggotanya yang tewas terbunuh oleh kartel, terutama apabila yang
menjadi korban adalah petinggi kepolisian Kolombia (De la Torre,
2008). Aksi balas dendam sangat kentara karena operasi ini sarat
akan kekerasan dan jauh dari aksi penegakan hukum. Penegakan
hukum di Kolombia bukanlah murni penegakan hukum, aktivitas
aparatnya cerminan dari aksi saling membalas dendam (Weinstein,
2007).Indikator lainnya yang menunjukkan lemahnya penegakkan
hukum di Kolombia adalah adanya korupsi dan klientelisme, dan
kenyataannya kedua hal ini sudah menjadi budaya di dalam dunia
perpolitikan Kolombia.

Selain memiliki hubungan kekerabatan atau keluarga, bagi para


“un hombre de respeto” (orang yang terhormat), seperti jenderal
atau pengusaha, dengan leluasa dapat terjun ke dalam dunia politik
sekalipun orang tersebut tidak memiliki pengetahuan tentang dunia
politik (Archer, 1990). Terkait dengan hal tersebut, hal ini menjadi
keuntungan bagi para anggota kartel mengingat kemudahan akses
untuk melebarkan bisnis. Sistem politik di Kolombia dijalankan
tak ubahnya dunia bisnis, saling tawar menawar komoditas yang
dianggapnya penting. Komoditas disini tentu saja jabatan dan suara.
Tak hanya di dalam perpolitikan, korupsi juga terjadi di dalam
tubuh penegakan hukum, kepolisian salah satunya. Terlibatnya
kepolisian ke dalam aktivitas organisasi kriminal ini dilakukan
lewat beberapa cara; (1) Melakukan penggeledahan dan perampasan
properti terhadap warga sipil secara ilegal, (2) mencuri uang atau/
dan narkoba dari pengedar narkoba, (3) menjual narkoba curian,
(4) melindungi operasi transaksi narkoba, (5) memberikan laporan
kriminal palsu.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 145
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia

Penggunaan Pendekatan Kekerasan dalam Plan Kolombia

Pada tahun 2000 Plan Kolombia menggantikan Marshall Plan


untuk Kolombia. Plan Kolombia menggabungkan beberapa hal
yang menjadi fokus Amerika Serikat tanpa harus meninggalkan
tujuan dasar dari pembentukan Plan Kolombia itu sendiri (Nagle,
2002). Amerika Serikat memberikan persyaratan seperti: mampu
menjamin stabilitas pemerintahan Kolombia, mampu menjamin
keberlangsungan perekonomian Kolombia, serta memastikan
bahwa program dipusatkan pada pemberantasan narkoba dan
peningkatan keamanan di Kolombia (Nagle, 2002). Namun
dalam implementasinya, Plan Kolombia dijalankan secara tidak
komprehensif, baik dari negara donor maupun negara penerima
bantuan. Program-program yang dijalankan di dalam Plan
Kolombia berjalan dengan timpang dan hanya berfokus pada
satu program tertentu. Fokus program pun berubah-ubah seiring
dengan terjadinya pergantian pemimpin negara. Walaupun tujuan,
strategi, dan sasaran operasi dari program Plan Kolombia ini telah
disepakati sebelumnya, namun dalam pengimplementasiannya
terjadi tumpang tindih dan perbedaan yang cukup signifikan.

Perubahan yang cukup signifikan ini terjadi sejak pasca tragedi


pengeboman gedung kembar WTC dan gedung Pentagon di
Amerika Serikat pada 11 September 2001. Sejak tragedi tersebut, Plan
Kolombia yang awalnya memiliki fokus pada war on drugs kemudian
berubah haluan menjadi war on terror dan meninggalkan tujuan
awal yang telah terbentuk sebelumnya (Nagle, 2002). Perubahan
ini terjadi tak terkecuali pada strategi pengimplementasiannya.
Amerika Serikat lebih banyak memberikan bantuan pada sektor
kemiliteran. Penggunaan pendekatan kekerasan ini semakin kental
sejak pergantian presiden Kolombia dari Pastrana kepada Uribe
pada tahun 2002, dan pada saat itu pula Plan Kolombia kembali
mengalami pergeseran. Di bawah pimpinan Uribe, Plan Kolombia
berubah haluan menjadi program war on terror karena tujuan utama
Plan Kolombia bukan lagi mereduksi jumlah produksi narkoba,
tetapi untuk mengatasi terorisme di Kolombia. Terorisme disini
tentu saja adalah kelompok pemberontak. Namun yang menjadi
sorotan disini adalah Uribe hanya memprioritaskan targetnya pada
FARC saja. Setelah dianalisa, ternyata hal ini merupakan sebentuk
aksi balas dendam yang dilakukan oleh Uribe atas pembunuhan
ayah dan beberapa anggota keluarganya yang dilakukan oleh FARC.

146 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.

Ketika strategi dan tujuan yang tidak konsisten, maka sasaran


operasi Plan Kolombia tentu akan menjadi tidak konsisten dan
saling tumpang tindih. Saling tumpang tindihnya penentuan
sasaran operasi dalam sebuah aspek program ini terjadi bila
berkaitan dengan pemberantasan narkoba dan pemberantasan
pemberontak, terutama dalam proposal milik Uribe (Gomez,
2000). Tumpang tindih ini terjadi disebabkan oleh terjalinnya
keterikatan hubungan antara kelompok pemberontak dengan
kelompok penyelundup narkoba. Kelompok penyelundup narkoba
membutuhkan kelompok pemberontak untuk melindungi asetnya
tersebut dan membantunya menyelundupkan narkoba ke negara
lain, serta untuk mengakhiri konflik antara kelompok penyelundup
dan pemberontak yang seringkali terjadi (Gomez, 2000). Begitu
pula bagi kelompok pemberontak yang membutuhkan kelompok
penyelundup narkoba untuk mendanai, memberikan pelatihan, dan
persenjataan bagi kelompok pemberontak (Gomez, 2000). Dengan
demikian Amerika Serikat menggunakan strategi militerisasi
untuk memberantas narkoba yang dilekatkan dengan melawan
pemberontakan.

Simpulan

Melihat apa yang telah diuraikan di atas, bantuan luar negeri


yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Kolombia dalam
Plan Kolombia ini mengalami kegagalan diakibatkan oleh dua
hal. Hal pertama, adanya permasalahan laten yang dimiliki oleh
negara penerima, yang dalam kasus Kolombia ini berarti adanya
permasalahan penegakan hukum di Kolombia yang disebabkan
oleh adanya subordinasi hukum atau lemahnya penegakan hukum.
Faktor kedua adalah adanya misdiagnosa strategi yang dialami
oleh Amerika Serikat selama pembentukan strategi program Plan
Kolombia. Misdiagnosa ini untuk menunjukkan situasi dimana
pembuat keputusan melakukan kesalahan dalam melakukan
kesalahan tindakan terhadap permasalahan-permasalahan yang
telah diketahui. Pada kasus misdiagnosa pembuat keputusan telah
memahami gejala-gejala atas permasalahan yang sedang dihadapi,
hanya saja dalam upaya penindak lanjutannya pembuat keputusan
melakukan kesalahan tindakan. Tumpang tindih penentuan
prioritas target sasaran operasi dari war on drugs menjadi war on
terror ini juga didasari dengan adanya saling keterkaitannya antara
kelompok penyelundup narkoba dengan kelompok pemberontak.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 147
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia

Kelompok pemberontak yang selalu menggunakan aksi kekerasan


inilah yang kemudian membuat pemerintah Amerika Serikat
menggunakan aksi-aksi kekerasan pula. Padahal hal itulah yang
mampu membuat aksi pemberontakan semakin marak.

148 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.

Daftar Pustaka:

Allum, Felia, and Renart Siebert. “Organized Crime: a Threat


to Democracy?” In Organized Crime and the Challenge
to Democracy., edited by Felia Allum and Renart Siebert.
Routledge: Taylor & Francis Group, 2003.

Archer, Ronald P. “The Transitions from Traditional to Broker


Clientelism in Kolombia: Political Stability and Social Unrest.”
Working Paper #140 (Kellog Institute), 1990.

Armao, Fabio. “Why is Organized Crime so Successful?” In


Organized Crime and the Challenge to Democracy, edited by
Fellia Allum and Renart Siebert. New York: Routledge, 2003.

Buss, Terry F., and Adam Gardner. “Why Foreign Aid in Haiti
Failed.” Academy International Affairs Working Paper Series
(National Academy of Public Administration), 2006.

De la Torre, Luis V. “Drug-Trafficking and Police Corruption: a


Comparison of Kolombia and Mexico.” (Naval Postgraduate
School) 2008.

Dollar, David, and William Easterly. “The Search for the Key: Aid,
Investment, and Policies in Africa.” Development Research
Group World Bank, 1997.

Fajardo, Luis Eduardo. “From the Alliance For Progress to the Plan
Kolombia: a Retrospective Look at U.S Aid to Kolombia.”
Crisis States Programme Working Paper (LSE), no. 28 (2003).

Goldsmith, Arthur. Foreign Aid and Statehood in Africa. The MITT


Press, 2001.

Gomez, Gonzalo Sánchez. “Challenges Faced by Contemporary


Kolombia.” In Kolombia from the Inside, edited by Michiel
Baud and Donny Meertens. Amsterdam: Cuadernos del Cedla,
2004.

Holsti, K.J. “Instrumen Kebijakan Ekonomi.” In Politik Internasional:


Kerangka Untuk Analitis. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1998.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 149
Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di Kolombia

Human Rights Watch. “Smoke and Mirrors: Kolombia’s


Demobilization of Paramilitary Groups.” Edited by Joanne
Mariner. (Human Rights Watch) 17 (2005).

McCarthy, Dennis. “The Kolombian Drug Cartel.” In The Economic


History of Organized Crime, by Dennis McCarthy. New York:
Routledge, 2011.

Meija, Daniel. “The War on Drugs under Plan Kolombia.” In


Rethinking the “War on Drugs” Through US-Mexico Prism,
edited by Ernesto Zedillo and Haynie Wheeler. USA: Yale
Center for Study of Globalizations, 2012.

Nagle, Luz E. “Plan Kolombia: Reality of the Kolombian Crisis and


Implication for Hemispheric Security.” The Strategic Studies
Institute., 2002.

Nielsen, Richard A, Michael G Findley, Zachary S Davis, Tara


Canland, and Daniel L Nielson. “Foreign Aid Shocks as
a Cause of Violent Armed Conflict.” AmericanJournal of
Political Science (Wiley Online Library) 55, no. 2 (2011): 219-
232. 2011.

Ousey, Graham C. & Lee, Mathew R. “Examining the Conditional


Nature of the Illicit Drug Market-Homicide Relationship: a
Partial Test of the Theory of Contigent Causation.” Criminology
12, no. 40 (2002).

Rabasa, Angel M, and Peter Chalk. Kolombian Labyrinth: the


Synergy of Drugs and Insurgency and Its Implication for
Regional Stability. RAND, 2001.

Weinstein, Jeremy M. “The Industrial Organization of Rebellion.” In


Inside Rebellion: The Politics of Insurgent Violence, by Jeremy
M Weinstein. Cambridge, 2007.

Williamson, Claudia. “Exploring the Failure of Foreign Aid: The Role


of Incentives and Information.” Austrian Economic (Springer
Science + Business Media.), 2009.

Watkins, Thayer. Political and Economical History of Kolombia.


http://www.sjsu.edu/faculty/watkins/Kolombia.htm.

150 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Cintya Aryadevi S.

WOLA (Washington Office on Latin America). Clear and Present


Dangers: The U.S Military and the War on Drugs in the Andes.
Washington DC: WOLA, 1991.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 151
152 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme


dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap
Israel (2009-2014)

Andraina Ary Fericandra

ABSTRACT

Neo-Ottomanism is the cultural factor constructing Turkey’s foreign policy to


support Palestine and be critical against Israel. At the same time, Turkey tries
to maintain its bilateral relation with Israel. Turkey becomes inconsistent with
Neo-Ottomanism. Neo-Ottomanism has limited space. The limitation of Neo-
Ottomanism is described using the theoretical framework based on the criticism
of Constructivist approach in International Relations that explain that material
interest becomes the limit of culture in foreign policy. Israel has significant role
for Turkey’s foreign economic relation in three vital sectors: trade, investment,
and tourism. Turkey’s support to Palestine and its criticism against Israel have
negative impacts on Turkey-Israel economic relation.

Keywords: Neo-Ottomanism, Constructivism, Culture, and Foreign Policy

Neo-Ottomanisme menjadi faktor kultural yang mengkonstruksi kebijakan luar


negeri Turki untuk mendukung kedaulatan Palestina dan bersikap kritis terhadap
Israel. Namun di sisi lain, terdapat upaya Turki untuk mempertahankan hubungan
bilateral dengan Israel. Akibatnya, sikap Turki pada Neo-Ottomanisme menjadi
tidak konsisten, sehingga bisa dikatakan bahwa Neo-Ottomanisme mengalami
keterbatasan ruang gerak. Keterbatasan implementasi Neo-Ottomanisme ini
dijelaskan menggunakan kerangka pemikiran berdasarkan kritik terhadap
pendekatan konstruktivisme dalam Hubungan Internasional yang menunjukkan
bahwa kepentingan material menjadi faktor yang membatasi implementasi kultur
dalam kebijakan luar negeri. Israel memiliki arti penting bagi hubungan ekonomi
luar negeri Turki di tiga sektor vital, yakni perdagangan, investasi, dan pariwisata.
Dukungan Turki terhadap Palestina dan sikap keras terhadap Israel menimbulkan
konsekuensi negatif pada hubungan kerja sama ekonomi Turki dengan Israel.

Kata-kata Kunci: Neo-Ottomanisme, Konstruktivisme, Kultur, dan Kebijakan


Luar Negeri

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 153
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Berbagai literatur akademis mengasosiasikan Neo-Ottomanisme


pemikiran dan doktrin kebijakan luar negeri Ahmet Davutolu
yang tertulis dalam buku “Strategic Depth”. Davutolu memiliki
gagasan bahwa Turki memiliki posisi geografis yang strategis
dan kekayaan warisan historis Kekaisaran Ottoman, sehingga
Turki seharusnya meningkatkan peran dan pengaruh di kancah
internasional, terutama dengan negara-negara bekas wilayah
Kekaisaran Ottoman, seperti Timur Tengah, Balkan, dan Asia
Tengah (Gullo 2012). Davutolu juga menyatakan bahwa Turki
memiliki potensi untuk kembali menjadi “Muslim super power”
sebagaimana Kekaisaran Ottoman (Gullo 2012). Dengan pemikiran
Neo-Ottomanisme, Davutolu yang menjadi Menteri Luar Negeri
Turki sejak tahun 2009 mengkonstruksi kebijakan luar negeri Turki
dengan membentuk visi dan menyediakan kerangka implementasi
kebijakan luar negeri, salah satunya kebijakan luar negeri Turki di
Timur Tengah (Aras 2009). Salah satu fokus utama kebijakan luar
negeri Neo-Ottomanisme Turki di Timur Tengah adalah posisi Turki
pada konflik Israel-Palestina. Secara historis, Palestina merupakan
bagian dari wilayah kekuasaan Kekaisaran Ottoman, sehingga Turki
melihat Palestina sebagai salah satu warisan Kekaisaran Ottoman.
Untuk itu, sebagai implementasi Neo-Ottomanisme, Pemerintah
Turki menempatkan isu Palestina sebagai bagian dari tanggung
jawab utama dalam kebijakan luar negeri Turki di Timur Tengah
(Stein 2014).

Dengan menempatkan isu Palestina sebagai tanggung jawab utama,


Pemerintah Turki aktif dalam mendukung perjuangan Palestina
untuk memperoleh pengakuan sebagai negara berdaulat di PBB,
membangun hubungan diplomatik dan aktif melakukan dialog
dengan Hamas, serta mengkritisi aksi-aksi Israel di Palestina. Hal
ini terlihat dari beberapa kritik, seperti pada tahun 2009 dalam
Davos World Economic Forum yang mana Erdogan menyebut
operasi Israel di Gaza sebagai kejahatan kemanusiaan (Slot 2013).
Sikap kritis Turki terhadap Israel mencapai titik terburuk setelah
terjadi insiden Mavi Marmara, kapal Turki yang mengangkut
bantuan kemanusiaan untuk Gaza pada 31 Mei 2010. Insiden ini
pun mengakibatkan penarikan duta besar Turki dari Israel dan
penurunan hubungan bilateral kedua negara hampir di semua
sektor, termasuk pembatalan kerja sama ekonomi dan pertahanan
(Slot 2013).

154 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Pemerintah Turki mengajukan tiga tuntutan terhadap Israel sebagai


prasyarat untuk menormalisasi hubungan, yang disampaikan
Erdogan dalam Majelis Umum PBB 2011: “Israel must apologize
and compensate for the deaths of our martyrs and lift the economic
blockade on Gaza” (Slot 2013). Kemudian pada tahun 2013 terdapat
upaya normalisasi hubungan kedua negara, yang diawali oleh
permintaan maaf Israel kepada Turki. Pemerintah Turki memberi
respon positif dengan secara resmi menerima permintaan maaf
Israel dan menyayangkan hubungan kedua negara yang memburuk
(CNN News 2013). Respon Erdogan terhadap Israel pasca insiden
Mavi Marmara mengindikasikan suatu ambivalensi. Di satu sisi,
Turki menunjukkan identitas yang pro-Dunia Islam melalui sikap
kritis tehadap aksi Israel. Namun di sisi lain, ada upaya untuk
membina kembali relasi dengan Israel. Aplikasi Neo-Ottomanisme
yang ambivalen dan bisa dikatakan terbatas terhadap hubungan
Turki dan Israel menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor spesifik
yang membatasi ruang gerak implementasi Neo-Ottomanisme.
Tulisan ini membahas faktor apa yang membatasi implementasi
Neo-Ottomanisme dalam hubungan Turki dengan Israel pada era
Erdogan 2009-2014.

Identitas dan Kebijakan Luar Negeri, Kritik terhadap


Konstruktivisme, serta Tinjauan Kasus Empiris

Sejak abad ke-20, faktor-faktor kultural menjadi variabel penting


untuk menjelaskan kebijakan luar negeri suatu negara (Shaffer
2006; Ehin dan Berg 2009). Hal ini dikarenakan kultur tidak dapat
terlepas dari manusia sebagai aktor utama dalam proses pembuatan
kebijakan yang mewakili seluruh rakyat dari suatu negara. Dalam
buku yang berjudul “The Limits of Culture: Islam and Foreign
Policy”, Shaffer (2006) mendefinisikan kultur sebagai faktor yang
membentuk identitas rakyat suatu negara secara kolektif, yang
meliputi faktor-faktor kepentingan non-materi, seperti agama,
etnis, sejarah, peradaban, dan ideologi. Sedangkan menurut Fischer
(t.t., dalam Shaffer 2006), para ilmuwan hubungan internasional
mendefinsikan kultur sebagai segala bentuk pola pikir yang
mengkonstruksi realitas sosial-politik, termasuk identitas dan
ideologi.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 155
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Klaim terkait pengaruh faktor kultur dan identitas baik dalam


proses perumusan maupun implementasi kebijakan luar negeri
berangkat dari pendekatan konstruktivisme yang muncul pada awal
tahun 1990-an setelah Perang Dingin berakhir. Konstruktivisme
menegaskan bahwa seluruh aktivitas dan interaksi manusia
tidak hanya dibentuk oleh faktor material, namun juga faktor
kultural bersama yang kemudian mengkonstruksi kepentingan
dan kebijakan negara (Finnemore dan Sikkink 2001). Kemudian
Hopf (1998) juga menyebutkan bahwa fungsi identitas adalah
untuk membedakan antara “Self” dan “Other” yang menunjukkan
preferensi dan kepentingan negara, serta mendasari perilaku negara
untuk mencapai kepentingan.

Pandangan Konstruktivisme terkait klaim peran kultur dalam


kebijakan luar negeri pun menuai kritik. Sekalipun kultur dan
identitas berpengaruh dalam proses perumusan dan implementasi
kebijakan luar negeri, namun dibatasi oleh beberapa faktor. Pertama,
faktor material. Menurut Shaffer (2006), kultur dan kepentingan
material merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan,
namun juga tidak selalu dalam hubungan yang konvergen. Dalam
beberapa kasus, kepentingan kultural justru seringkali berbenturan
dengan kepentingan material, sehingga negara mengalami dilema
kebijakan dan harus menentukan apakah kepentingan kultural atau
material yang menjadi prioritas utama (Shaffer 2006). Apabila kultur
merupakan faktor utama dalam kebijakan luar negeri suatu negara,
pembuat kebijakan akan lebih memprioritaskan kepentingan
kultural meskipun merugikan negara secara material. Sebaliknya,
pengaruh kultur dalam kebijakan luar negeri dikatakan terbatas
oleh faktor kepentingan material ketika negara mengesampingkan
aspek kultural demi mengejar kepentingan material (Altoraifi
2012). Oleh karena itu, faktor kepentingan material mengakibatkan
batasan seperti kontradiksi antara pilihan kebijakan dan aliansi
politik dengan kultur resmi negara, serta batasan peran kultur
sebagai alat atau cara (culture as means) bagi negara untuk mencapai
kepentingan material (Fischer t.t., dalam Shaffer 2006). Kedua,
faktor historis. Faktor historis membatasi pengaruh kultur dalam
kebijakan luar negeri mengakibatkan negara mendefinisikan “Self”
dan “Other” berdasarkan pada persamaan pengalaman historis.

156 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Dengan kata lain, negara menempatkan faktor historis sebagai


landasan utama untuk membentuk pilihan aliansi kerja sama
dan persepsi ancaman terhadap negara lain, terlepas dari faktor
persamaan kultur maupun agama (Shaffer 2006). Ketiga, faktor
sistemik atau eksternal. Menurut Blum (t.t., dalam Shaffer 2006),
faktor eksternal, seperti fenomena globalisasi atau institusi
internasional, mengakibatkan negara melakukan penyesuaian
kebijakan berdasarkan pada norma internasional. Pengaruh kultur
dan identitas dalam kebijakan luar negeri terbatas oleh tekanan
eksternal terutama jika negara mengejar keanggotaan suatu institusi
internasional, karena negara harus patuh pada persyaratan dan
norma yang ada dalam institusi. Aplikasi identitas negara pun
terbatas apabila kontradiktif terhadap konstruksi identitas dan
praktik sosial yang lebih fundamental dalam level internasional.

Pertumbuhan Ekonomi Turki dan Arti Penting Israel bagi


Hubungan Ekonomi Luar Negeri Turki

Sejak Turki melakukan liberalisasi ekonomi berorientasi ekspor pada


tahun 1980-an, perekonomian Turki mengalami pertumbuhan yang
signifikan dari tahun ke tahun. Kebijakan orientasi ekspor membuat
Turki tidak hanya mandiri, tetapi juga ekspansif. Setengah dari
nilai ekspor Turki memang masih mengandalkan negara-negara
Eropa, namun nilai perdagangan Turki dengan negara-negara
Timur Tengah juga tumbuh pesat (Alfian 2015). Meskipun sempat
mengalami krisis ekonomi di akhir tahun 1990-an, perekonomian
Turki kembali bangkit secara drastis di bawah kepemimpinan
Perdana Menteri Erdogan dan Pemerintah AKP. Sepanjang tahun
2002-2007, perekonomian Turki kembali meningkat dengan laju
pertumbuhan rata-rata 6-7% per tahun, nilai eskpor pun melonjak
tinggi yakni dari 32 milyar dolar AS pada tahun 2002 menjadi 102
milyar dolar pada tahun 2009 (Alfian 2015). Bahkan pada tahun
2014, menurut World Bank (t.t.), pertumbuhan ekonomi yang tinggi
menempatkan Turki sebagai kekuatan ekonomi terbesar ke-17 dunia
dengan GDP mencapai 799,54 milyar dolar AS dan pendapatan
per kapita sebesar 10.500 dolar AS. Pertumbuhan ekonomi ini
tidak terlepas dari pendapatan yang diperoleh Turki dari kegiatan
perdagangan luar negeri, investasi, dan pariwisata. Oleh karena
itu, ketiga sektor vital ini berperan penting untuk kelangsungan
perekonomian nasional Turki.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 157
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Di sektor perdagangan, perdagangan luar negeri Turki di era


Erdogan, yakni ekspor dan impor, meningkat secara cepat dan
angka pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekspor sangat
tinggi. Berdasarkan data dari Investment Support and Promotion
Agency of The Republic of Turkey Prime Ministry (t.t.), nilai ekspor
Turki pada kurun waktu antara 2009-2014 di era Erdogan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan, terutama 2012 mencapai lebih
dari 152 milyar dolar AS dan terus meningkat mencapai titik
tertinggi pada tahun 2014 dengan total ekspor sebesar lebih dari 157
milyar dolar AS. Nilai ekspor yang tinggi ini berkontribusi penting
bagi pertumbuhan ekonomi Turki.

Pertumbuhan ekonomi Turki tidak terlepas dari perdagangan


luar negeri yang dilakukan oleh Turki dengan Israel. Secara
historis, sejak tahun 1990-an Israel merupakan salah satu negara
mitra yang penting bagi Turki dalam sektor perdagangan. Hal ini
terbukti dari pembentukan Turkey-Israel Business Council pada
tahun 1993. Bahkan Israel dan Turki menandatangani kerja sama
perdagangan bebas sejak 14 Maret 1996 dan berlaku sampai sekarang
(Bozdaglioglu, 2003). Turki dan Israel juga menandatangi perjanjian-
perjanjian lain untuk meningkatkan hubungan ekonomi kedua
negara selama tahun 1990-an, antara lain Commercial, Economic,
Industrial, Technical, and Scientific Cooperation Agreement, Custom
Agreement, Double-Taxation Prevention Treaty, dan Bilateral
Investment Treaty, Standardization and Harmonization Agreement
serta berbagai perjanjian dan pertemuan lainnya yang mendukung
kerja sama perdagangan kedua negara (Uiportal 2013).

Kemudian di era kepemimpinan Erdogan sebagai Perdana Menteri


Turki di periode kedua (2009-2014), Israel tetap menjadi salah satu
target pasar yang strategis bagi perdagangan luar negeri Turki.
Menurut data yang dirilis oleh Turkiye Istatistik Kurumu atau
Institusi Statistik Turki (2015), angka pendapatan ekspor Turki ke
Israel selama tahun 2009-2014 sangat tinggi, sehingga Israel selalu
masuk dalam daftar 20 besar negara tujuan ekspor utama yang
memberi pendapatan ekspor tertinggi bagi Turki. Posisi ini juga
menempatkan Israel dalam enam besar negara di kawasan Timur
Tengah yang memberi pendapatan ekspor tertinggi bagi Turki.
Adapun komoditas ekspor utama dari Turki ke Israel antara lain besi
dan baja kendaraan bermotor peralatan elektronik, dan biji-bijian
(Trade Map 2015). Selain mengekspor komoditas ke Israel, Turki

158 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

juga mengimpor beberapa komoditas dari Israel. Adapun komoditas


yang diimpor Turki dari Israel didominasi oleh komoditas bahan
bakar dan manufaktur (Trade Map 2015). Komoditas bahan bakar
dan manufaktur ini memiliki peran penting bagi proses produksi
Turki, mengingat pertumbuhan ekonomi Turki yang berorientasi
ekspor. Nilai ekspor dan impor yang tinggi menyebabkan volume
perdagangan bilateral Turki dan Israel yang tinggi pula selama
periode 2009-2014. Bahkan volume perdagangan Turki dan Israel
meningkat lebih dari 100% dalam kurun waktu lima tahun, yakni
dari 2,59 milyar dolar AS pada tahun 2009 menjadi 5,83 milyar dolar
AS pada tahun 2014 (TurkStat 2015c).

Secara kualitatif, Israel juga memiliki arti penting dan strategis


bagi perdagangan Turki. Berbeda dengan negara-negara mitra
dagang Turki di Timur Tengah, komoditas ekspor Turki ke Israel
memiliki diversifikasi yang tinggi dan letak geografis kedua negara
yang berdekatan memudahkan para produsen Turki memasok
komoditas ke Israel (Punsmann 2011). Turki juga diuntungkan
dari kebijakan perdagangan Israel untuk mengurangi bea masuk
yang berasal dari negara ketiga dalam perdagangan bebas dengan
Uni Eropa dan NAFTA. Menurut Turkey-Israel Business Council,
saat ini terdapat sekitar 900 perusahaan Israel yang beroperasi di
Turki maupun bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan Turki,
yang mana kerja sama ini dimanfaatkan Turki sebagai celah untuk
memudahkan komoditas Turki masuk ke pasar Eropa dan Amerika
Serikat, karena Israel memiliki kerja sama perdagangan bebas
dengan Uni Eropa dan NAFTA. Tercatat sekitar 35% komoditas
integrasi Israel dan Turki bisa masuk ke pasar Amerika Serikat
tanpa pajak (Punsmann 2011). Lebih lanjut, kapasitas inovasi dan
teknologi Israel juga berperan penting bagi perekonomian Turki.
Menurut data yang dirilis TurkStat, pada tahun 2009-2014 struktur
impor jasa Turki dari Israel didominasi oleh sektor layanan di
bidang komputer, informasi, dan komunikasi, yakni dengan nilai
rata-rata 46,7% dari total nilai impor jasa Turki dari Israel (TurkStat
2015c). Banyak perusahaan Israel yang memiliki spesialisasi tinggi
di bidang riset dan pembangunan menjadikan Turki sebagai mitra
untuk mengembangkan produk baru dan teknologi terkini. Israel
pun menyediakan akses teknologi bagi perekonomian Turki, mulai
dari perangkat lunak komputer dan telepon selular, sistem irigasi
air, teknologi informasi, hingga peralatan medis (Punsmann 2011).

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 159
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Di sektor investasi, selama era Erdogan nilai investasi asing langsung


yang masuk ke Turki per tahun menunjukkan angka yang tinggi.
Terbukti menurut Kementerian Ekonomi Turki (2014), pada tahun
2014 Turki menerima FDI inflows sebesar 12,1 milyar dolar AS,
sehingga menempatkan Turki sebagai negara penerima FDI tertinggi
ke-22 dunia, serta sebagai negara penerima FDI tertinggi dibanding
negara-negara di kawasan Asia Barat lainnya. Hal ini tidak terlepas
dari upaya Pemerintah Turki untuk menarik para investor asing
dari berbagai negara melalui penandatanganan perjanjian investasi
bilateral (Bilateral Investment Treaties/BITs). Tujuan utama dari
BITs adalah untuk menstimulasi aliran kapital dan teknologi dengan
pihak-pihak yang meratifikasi BITs, yakni dengan menyediakan dan
menjamin lingkungan yang stabil dan kondusif bagi para investor
yang berinvestasi di dalam negeri, serta menyelesaikan sengketa
yang mungkin terjadi di antara pihak investor dan negara penerima.
Hingga tahun 2014, tercatat bahwa Turki telah menandatangani dan
meratifikasi BITs dengan 75 negara, salah satunya adalah Israel.
Israel telah meratifikasi BITs dengan Turki sejak 27 Agustus 1998
(Kementerian Ekonomi Turki 2014).

Dengan meratifikasi BITs, kerja sama investasi antara Turki dan Israel
mulai diimplementasikan, antara lain dengan penanaman investasi
yang dilakukan Israel di Turki sejak tahun 2000-an. Sementara itu,
selama tahun 2009-2014 tercatat nilai investasi Israel di Turki cukup
tinggi, sehingga menempatkan Israel di posisi ke-6 sebagai investor
tertinggi bagi Turki dibandingkan negara-negara di seluruh Asia,
yakni setelah Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Jepang, Kuwait, dan
Korea Selatan, atau di posisi ke-4 tertinggi dibandingkan negara-
negara di kawasan Timur Tengah (TurkStat 2015e). Investasi Israel
di Turki ditanamkan di berbagai sektor industri, antara lain sektor
energi, perbankan, dan manufaktur. Terlebih Israel juga memiliki
arti penting terkait aliran modal asing ke perusahaan-perusahaan
yang beroperasi di Turki. Berdasarkan data dari Kementerian
Ekonomi Turki (2015), hingga tahun 2014 tercatat lebih dari 39.100
perusahaan dengan modal asing beroperasi di Turki, yang mana
322 perusahaan di antaranya memperoleh aliran modal asing dari
Israel. Mayoritas perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan
grosir dan sektor manufaktur strategis yang berperan penting bagi
pertumbuhan ekonomi Turki, seperti manufaktur kimia, peralatan
mesin, dan pertambangan (Central Bank of Turkey 2015).

160 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Sektor-sektor manufaktur ini menjadi basis dari proses produksi


Turki, sehingga berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi Turki
yang berorientasi ekspor. Sedangkan investasi Turki di Israel, salah
satunya dilakukan oleh perusahaan energi Turki, Zorlu Group.
Zorlu Group merupakan investor terbesar dalam proyek gas alam
di Israel dengan nilai investasi 1,3 milyar dolar AS di proyek gas
alam Ashkelon sejak tahun 2003 (Zorlu t.t.).

Di sektor pariwisata, pariwisata merupakan salah satu sektor


penting bagi pertumbuhan ekonomi Turki karena berkontribusi
besar bagi peningkatan GDP dan lapangan kerja. Hal ini terbukti
dari data yang dipublikasikan oleh Investment Support and
Promotion Agency Turki (2014) yang menunjukkan bahwa pada
tahun 2012 pendapatan dari sektor pariwisata (sekitar 30 milyar
dolar AS) memberi kontribusi GDP tertinggi kedua setelah sektor
pelayanan keuangan, dan lebih tinggi daripada sektor-sektor
industri lain, seperti manufaktur otomotif, pelayanan komunikasi,
pertambangan, pendidikan, dan manufaktur kimia. Sektor
pariwisata juga menciptakan sekitar 510.000 lapangan kerja atau
9% dari total lapangan kerja yang ada di Turki. Menurut data yang
dirilis oleh TurkStat (2015d), total pendapatan yang diperoleh Turki
dari sektor pariwisata terus mengalami peningkatan yang signifikan
pada tahun 2009-2014, yakni dari 19,6 milyar dolar AS pada tahun
2009 menjadi 25,3 milyar dolar AS pada tahun 2014. Rata-rata 74%
dari total pendapatan tahun 2009-2014 ini diperoleh dari wisatawan
asing, sehingga peran wisatawan asing sangat penting bagi
pendapatan sektor pariwisata Turki. Untuk itu, Turki menjalin kerja
sama pariwisata dengan berbagai negara, termasuk dengan Israel.

Kerja sama pariwisata antara Turki dan Israel telah ada sejak tahun
1992 (Bozdaglioglu 2003) dan terus berlanjut hingga di era Erdogan.
Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri Turki (t.t.), Israel
menjadi satu dari 66 negara yang diberi kebebasan visa kunjungan
selama 90 hari oleh Pemerintah Turki. Pendapatan pariwisata
Turki dari wisatawan Israel selama tahun 2009 hingga 2014 pun
tinggi. TurkStat (2015d) mencatat bahwa pada tahun 2014 jumlah
wisatawan Israel meningkat drastis sejak penurunan yang terjadi
pada tahun 2010, sehingga pendapatan yang diperoleh Turki dari
wisatawan Israel di tahun 2014 pun meningkat sekitar empat kali
lipat dari pendapatan tahun 2011, yakni dengan angka lebih dari
250 juta dolar AS.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 161
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Selain itu, jumlah wisatawan Israel yang kembali meningkat


menyebabkan peningkatan jumlah penerbangan dengan rute dari
Tel Aviv menuju beberapa kota tujuan wisata di Turki, yakni dari
1.677 penerbangan di tahun 2012 menjadi 2.253 di tahun 2013
(TurkStat 2015b), yang mana angka ini juga berdampak positif bagi
industri penerbangan Turki.

Neo-Ottomanisme dan Konsekuensinya terhadap Hubungan


Ekonomi Turki-Israel

Neo-Ottomanisme yang mendasari kebijakan Pemerintah Turki


untuk mendukung Palestina berdampak pada penurunan hubungan
bilateral Turki-Israel, terutama setelah terjadi insiden Mavi Marmara
pada tahun 2010 yang menyebabkan Turki menarik duta besar
dari Tel Aviv. Sikap kritis Turki terhadap Israel dan insiden Mavi
Marmara juga berdampak pada penurunan kerja sama ekonomi
luar negeri antara Turki dan Israel. Penurunan kerja sama ekonomi
luar negeri kedua negara terbukti dari data statistik yang dirilis oleh
TurkStat, yakni terjadi pada sektor perdagangan, investasi, dan
pariwisata.

Di sektor perdagangan, meskipun pasca insiden Mavi Marmara


2010 angka perdagangan kedua negara tidak terdampak secara
langsung, namun volume perdagangan luar negeri Turki dan Israel
mengalami penurunan pada tahun 2012. Hal ini dikarenakan sikap
kritis Turki terhadap Israel terus berlanjut sehingga menyebabkan
eskalasi tensi hubungan kedua negara. Pada tahun 2011, Pemerintah
Turki memulangkan duta besar Israel di Ankara, Gabby Levy,
menurunkan tingkat perwakilan diplomatik sampai tingkat
sekretaris dua, serta membatalkan secara total kerja sama dengan
Israel di bidang ekonomi dan militer (BBC News 2011; VOA News
2011). Akibatnya, volume perdagangan kedua negara menurun
hingga 400 juta dolar AS dalam kurun satu tahun, yakni dari 4,44
milyar dolar AS pada tahun 2011 menjadi 4,03 milyar dolar AS pada
tahun 2012, yang mana penurunan angka ini mayoritas terjadi di
sektor industri bahan-bahan kimia (TurkStat 2015c).

162 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Di sektor investasi, akibat sikap kritis Turki terhadap Israel dan


insiden Mavi Marmara pada tahun 2010, nilai investasi Israel di
Turki menurun drastis dari 997 juta dolar AS pada tahun 2010
menjadi hanya sebesar 427 juta dolar AS pada tahun 2011. Penurunan
investasi Israel ini antara lain terjadi di sektor pertambangan
minyak sebesar 13% dan sektor perbankan sebesar 11% (Bryant
dan Peker 2011). Menashe Carmon, ketua Turkish-Israeli Business
Council, mengatakan bahwa krisis hubungan diplomatik Turki
dan Israel menyebabkan para investor Israel berpikir ulang atau
bahkan menunda keputusan untuk berinvestasi dan mendirikan
usaha bersama jangka panjang di Turki (Setrakian 2011). Selain
itu, investasi Turki di Israel juga terdampak oleh insiden Mavi
Marmara. Misalnya, Zorlu Group yang mengurangi aktivitas
dan operasi dalam proyek gas alam di Israel karena tekanan dan
sensitivitas masyarakat sipil, kemudian Yilmazlar Construction
Group, perusahaan Turki yang bergerak dalam bidang konstruksi
di Israel sejak tahun 1993 dan telah mempekerjakan 700 tenaga kerja
Israel, mengklaim bahwa aset-aset perusahaan sebesar jutaan dolar
AS dibekukan oleh pengadilan Israel sebagai dampak dari tensi
politik kedua negara (Cagaptay dan Evans 2012).

Di sektor pariwisata, industri pariwisata menjadi sektor ekonomi


yang paling rentan terdampak oleh krisis hubungan diplomatik
Turki dan Israel. Hal ini terbukti dari sikap kritis Pemerintah Turki
terhadap Israel sejak tahun 2009 yang memunculkan sentimen
negatif berupa penurunan kunjungan wisatawan Israel ke Turki,
yakni dari angka 558.183 wisatawan pada tahun 2008, berkurang
menjadi 316.466 wisatawan pada tahun 2009 (TurkStat 2015d).
Kemudian saat terjadi krisis hubungan diplomatik antara Turki dan
Israel, yakni setelah insiden Mavi Marmara 2010, Kementerian Luar
Negeri Israel mengumumkan travel warning yang mengakibatkan
jumlah wisatawan Israel yang berkunjung ke Turki semakin
berkurang, yakni dari 110.322 wisatawan pada tahun 2010 menjadi
79.420 wisatawan pada tahun 2011. Kunjungan wisatawan Israel ke
Turki yang berkurang pun berdampak pada penurunan pendapatan
wisata yang diperoleh Turki dari wisatawan Israel, yakni dari 120
juta dolar AS pada tahun 2009 menjadi hanya 61 juta dolar AS pada
tahun 2011 (TurkStat 2015d).

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 163
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Respon Kelompok Bisnis, Investor, dan Industri


Pariwisata di Turki

Sejak terjadi insiden Mavi Marmara, para pelaku bisnis melalui


Turkish-Israeli Business Council berusaha melobi Pemerintah Turki
untuk melakukan rekonsiliasi dengan Israel. Hal ini dikarenakan
potensi penurunan kerja sama ekonomi kedua negara dalam
jangka panjang, merujuk pada keputusan para investor Israel yang
membatalkan rencana investasi di Turki (Setrakian 2011). Respon
dan protes terhadap Pemerintah Turki juga muncul dari beberapa
perusahaan yang terdampak oleh krisis hubungan Turki dan Israel,
seperti Yilmazlar Construction Group di Israel yang menyalahkan
dan menuntut Pemerintah Turki akibat kerugian bisnis yang dialami
(Cagaptay dan Evans 2012). Kemudian pada tahun 2012, kelompok
investor dari Asosiasi Industri dan Bisnis Turki (TUSIAD) merespon
kebijakan Turki terhadap Israel dengan menggelar pertemuan
untuk mendiskusikan rencana investasi strategis Turki ke depan,
mengingat nilai investasi dari Israel pada tahun 2011 merosot
drastis, serta menyatakan bahwa Israel merupakan mitra investasi
prioritas bagi para investor Turki (Yinanc 2012).

Protes juga muncul dari agen-agen perjalanan dan industri


perhotelan yang menyalahkan Pemerintah Turki terkait penurunan
jumlah kunjungan wisatawan Israel ke Turki sebagai dampak dari
sikap keras Turki terhadap Israel, yang menyebabkan beberapa
agen perjalanan dan hotel mengalami kebangkrutan. Misalnya,
Levantin Tour mengklaim telah rugi hingga 1,1 juta dolar AS karena
hampir 17.000 wisatawan Israel membatalkan reservasi hotel dan
perjalanan ke Turki setelah insiden Mavi Marmara (Gokce 2010).
Kondisi ini juga merugikan maskapai penerbangan Turki, Turkish
Airlines, yang membatalkan seluruh penerbangan dengan rute Tel
Aviv-Antalya karena tidak ada permintaan dari wisatawan Israel
selama musim panas 2011 (Cagaptay dan Evans 2012).

Dilema Kebijakan dan Inkonsistensi Pemerintah


Turki pada Neo-Ottomanisme
Profil yang mendemonstrasikan konsekuensi ekonomi yang terjadi
di saat mengejar kepentingan kultural membuat Pemerintah Turki
mengalami dilema kebijakan, yakni harus menentukan prioritas
apakah kepentingan ekonomi atau kepentingan kultural.

164 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Dilema kebijakan ini kemudian menyebabkan sikap dan pilihan


kebijakan Pemerintah Turki menjadi tidak konsisten pada
Neo-Ottomanisme. Inkonsistensi Pemerintah Turki pada Neo-
Ottomanisme secara jelas terlihat dalam hubungan kerja sama
ekonomi dengan Israel. Sejak terjadi penurunan nilai investasi
secara drastis pada tahun 2011 dan protes dari berbagai kelompok
pelaku ekonomi di Turki, Pemerintah Turki melakukan upaya-
upaya verbal untuk mempertahankan dan meningkatkan kembali
hubungan ekonomi dengan Israel, yakni dengan menegaskan arti
penting Israel bagi Perekonomian Turki, serta bahwa Pemerintah
Turki tidak memutuskan kerja sama ekonomi dengan Israel. Upaya
verbal itu disampaikan ketika pihak Pemerintah Turki mengoreksi
pernyataan Erdogan untuk membekukan kerja sama ekonomi dan
militer dengan Israel pada tahun 2011, dengan mengumumkan bahwa
sanksi Turki terhadap Israel hanya merujuk pada perdagangan
yang berhubungan dengan militer dan pertahanan, sedangkan kerja
sama perdagangan lainnya tidak dibekukan (Ravid 2011). Selain itu,
Menteri Ekonomi Turki Zafer Çaglayan menyatakan bahwa Israel
adalah mitra dagang yang penting bagi Turki, sehingga Pemerintah
Turki tidak membatalkan kerja sama ekonomi dengan Israel (Bryant
dan Peker 2011).

Di sektor pariwisata, Kementerian Pariwisata Turki berupaya


untuk meningkatkan kembali angka kunjungan wisatawan Israel
ke Turki, yang disampaikan langsung oleh Menteri Pariwisata dan
Kebudayaan Turki Ertugrul Günay dengan menyatakan bahwa
wisatawan Israel akan tetap disambut di Turki (AK Parti t.t.).
Kemudian Wakil Menteri Pariwisata Turki Özgür Özaslan juga
menyampaikan bahwa Turki berharap para wisatawan Israel akan
kembali berkunjung ke Turki (Eichner 2012).

Kendatipun upaya-upaya verbal telah dilakukan oleh para pejabat


tinggi Pemerintah Turki, namun upaya ini belum menghasilkan
peningkatan yang signifikan pada kerja sama ekonomi Turki dengan
Israel. Pada tahun 2012, volume perdagangan luar negeri Turki
dengan Israel justru merosot hingga 400 juta dolar AS. Akhirnya,
sikap keras Turki terhadap Israel semakin melunak pada tahun 2013
yang terlihat dalam upaya normalisasi hubungan kedua negara.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 165
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Upaya normalisasi ini berawal pada 22 Maret 2013 ketika Perdana


Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara resmi meminta maaf
kepada Perdana Menteri Erdogan atas insiden Mavi Marmara serta
menyetujui untuk segera menyelesaikan pembayaran kompensasi
sebagai pemenuhan syarat normalisasi pertama dan kedua yang
diajukan oleh Turki. Permintaan maaf Israel pun memperoleh respon
positif dari Pemerintah Turki, yang mana Erdogan secara resmi
menerima permintaan maaf Israel dan menyayangkan hubungan
kedua negara yang memburuk. Erdogan menegaskan arti penting
persahabatan dan kerja sama yang kuat selama berabad-abad antara
rakyat Turki dan Israel (Prime Ministry Press Center of the Republic
of Turkey 2013).

Pemerintah Turki pun telah menyetujui untuk bekerja sama


dengan Israel dalam memperbaiki situasi kemanusiaan di wilayah
Palestina sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan normalisasi
ketiga. Pemerintah Turki juga sepakat untuk segera menormalisasi
hubungan dengan Israel secara penuh, serta membatalkan tuntutan
hukum terhadap para tentara Israel dan semua pihak pejabat Israel
yang terlibat dalam serangan Mavi Marmara (Cohen, 2014). Padahal
sejak 2010, melalui Palmer Report di PBB, Turki bersikeras menuntut
Israel untuk bertanggung jawab secara hukum atas serangan Mavi
Marmara. Sikap kompromi Turki terhadap Israel dan kesepakatan
kedua negara untuk segera melakukan normalisasi secara penuh
mengindikasikan bahwa sikap Turki yang pro-Palestina melunak.

Faktor ekonomi bisa dikatakan sebagai faktor yang melatar belakangi


kebijakan Turki untuk mengurangi sikap keras terhadap Israel.
Terbukti upaya normalisasi yang dilakukan oleh Turki dan Israel
akhirnya menuai hasil yang signifikan bagi hubungan ekonomi
kedua negara. Keberhasilan upaya kedua negara ini terindikasi dari
kontinuitas eksistensi dan peningkatan kembali kerja sama ekonomi
luar negeri antara Turki dan Israel. Pada tahun 2013 tercatat volume
perdagangan Turki dan Israel, nilai investasi Israel di Turki, dan
angka wisatawan Israel yang berkunjung ke Turki kembali melonjak
tinggi, masing-masing meningkat hingga 100% (TurkStat 2015c).

166 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Simpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor


kepentingan material Turki terhadap Israel dalam konteks ekonomi
membatasi implementasi Neo-Ottomanisme sebagai faktor kultural
dalam kebijakan luar negeri Turki di era Erdogan periode 2009-
2014. Faktor ekonomi membatasi implementasi Neo-Ottomanisme
ketika Pemerintah Turki dihadapkan pada pilihan dilematis antara
kepentingan ekonomi dan kepentingan kultural, yang mana pada
akhirnya Pemerintah Turki mengesampingkan aspek kultural demi
mempertahankan kepentingan ekonomi. Kondisi ini menjadi alasan
Turki bersikap tidak konsisten pada Neo-Ottomanisme. Inkonsistensi
Turki pada Neo-Ottomanisme ini dikarenakan Turki mengkalkulasi
keuntungan material dari kerja sama ekonomi dengan Israel lebih
besar dibandingkan mengejar kepentingan kultural berupa sikap
pro-Palestina. Oleh karena itu, Turki mengambil pilihan kebijakan
yang kontradiktif terhadap Neo-Ottomanisme, yakni dengan tetap
mempertahankan hubungan bilateral dengan Israel dalam bidang
kerja sama ekonomi di sektor perdagangan luar negeri, investasi,
dan pariwisata. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa terjadi
keterbatasan implementasi Neo-Ottomanisme dalam kebijakan luar
negeri Turki karena faktor kepentingan ekonomi Turki terhadap
Israel.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 167
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Daftar Pustaka

AK Parti, 2011. Tourism is a Peace Project. [daring]. dalam https://


www.akparti.org.tr/english/haberler/tourism-is-a-peace-
project/12712#1 [diakses pada 23 Maret 2016].

Altoraifi, Adel, 2012. Understanding the Role of State Identity in


Foreign Policy Decision Making: The Rise and Demise of
Saudi-Iranian Rapproachment (1997-2009). Ph.D. London:
London School of Economics and Political Science.

Aras, Bulent, 2009. “Davutoglu Era in Turkish Foreign Policy”,


SETA Policy Brief, No. 32, hal 1-16.

BBC News, 2011. “Turkey Expels Israeli Ambassador over Gaza


Flotilla Row”, BBC News, 2 September 2011. [onlinedaring]
dalam http://www.bbc.com/news/world-europe-14762475
[diakses pada 18 Maret 2016].

Blum, Douglas W., t.t. “Beyond Blood and Belief: Culture and
Foreign Policy Conduct”, dalam Shaffer, Brenda (ed.), 2006.
The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge:
The MIT Press. Ch.3.

Bozdaglioglu, Yucel, 2003. Turkish Foreign Policy and Turkish


Identity. London: Routledge.

Bryant, Steve dan Peker, Emre, 2011. Turkey-Israel Booming Trade


Obscured in Erdogan Political Rants. [daring]. dalam http://
www.bloomberg.com/news/articles/2011-09-22/turkey-
israel-business-boom-obscured-in-erdogan-rant-against-
trade-partner [diakses pada 19 Maret 2016].

Bulukbasi, Suha, 1999. “Behind the Turkish-Israeli Alliance: A


Turkish View”, Journal of Palestine Studies, 29 (1): 21-35.

Cagaptay, Soner dan Evans, Tyler, 2012. “The Unexpected Vitality


of Turkish-Israeli Trade”, The Washington Institute for Near
East Policy, No.16, hal 1-8.

Cohen, Matthew S., 2014. “Breakdown and Possible Restart: Turkish-


Israeli Relations under AKP”, Israel Journal of Foreign Affairs
VIII: 1, hal 39-55.

168 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Cornel, Svante E., t.t. “Pakistan’s Foreign Policy: Islamic or


Pragmatic?” dalam Shaffer, Brenda (ed.), 2006. The Limits of
Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge: The MIT Press.
Ch.11.

Ehin, Piret dan Berg, Eiki, 2009. Identity and Foreign Policy: Baltic-
Russian Relation and European Integration. Cornwall: MPG
Books Ltd.

Eichner, Itamar, 2012. Turkish Tourism Official Invites Israeli Tourists


to Come Back [daring]. dalam http://www.al-monitor.com/
pulse/iw/business/2012/03/turkey-misses-israeli-tourists.
html#ixzz43dQDL6Ja [diakses pada 23 Maret 2016].

Finnemore, Martha dan Sikkink, Kathryn, 2001. “Taking Stock: The


Constructivist Research Program in International Relations
and Comparative Politics”, Annual Reviews, 4: 391-416.

Fischer, Markus, t.t. “Culture and Foreign Politics”, dalam Shaffer,


Brenda (ed.), 2006. The Limits of Culture: Islam and Foreign
Policy. Cambridge: The MIT Press. Ch.2.

Gokce, Dincer, 2010. “Turkish Tourism Agency Incurs Losses


with Israeli Cancellations”, Hurriyet Daily News, 28 Juni
2010. [daring]. dalam http://www.hurriyetdailynews.com/
default.aspx?pageid=438&n=tourism-agencies-in-loss-due-
to-israeli-reaction-2010-06-28 [diakses pada 15 Februari 2016].

Gullo, Matthew T., 2012. Turkish Foreign Policy: Neo-Ottomanism


2.0 and the Future of Turkey’s Relations with the West. MA.
Duke University.

Hopf, Ted, 1998. “The Promise of Constructivism in International


Relations Theory”, International Security, 23 (1): 171-200.

Investment Support and Promotion Agency of The Republic of


Turkey Prime Ministry, t.t. Foreign Trade. [daring]. dalam
www.invest.gov.tr [diakses pada 3 Desember 2015].

, 2014. Turkish Tourism Revenue Hits 32 Billion. [daring].


__________
dalam http://www.invest.gov.tr/en-US/infocenter/news/
Pages/310114-turkey-tourism-revenue-in-2013.aspx [diakses
pada 9 Desember 2015].

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 169
Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme
dalam Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel (2009-2014)

Kangas, Roger, t.t. “Domestic Politics, Bureaucratic Strategies, and


Culture in Central Asia”, dalam Shaffer, Brenda (ed.), 2006.
The Limits of Culture: Islam and Foreign Policy. Cambridge:
The MIT Press. Ch.7.

Prime Ministry Press Center of the Republic of Turkey, 2013. Press


Statement: Statements concerning the phone call between
Turkish Prime Minister Recep Tayyip Erdoğan and Israeli
Prime Minister Netanyahu as agreed upon by the two
sides. [daring]. dalam http://www.bbm.gov.tr/Forms/
pgNewsDetail.aspx?Type=1&Id=4543[diakses pada 12
Februari 2016].

Punsmann, Burcu Gultekin, 2011. “Turkey-Israel: Towards a


Decoupling between Economics and Politics”, Economic
Policy Research Foundation of Turkey, N201148, hal 1-4.

Ravid, Barak, 2011. “Turkey Clarifies: Trade Sanctions against Israel


Include Only Defense Industry”, Haaretz, 6 September 2011.
[daring]. dalam http://www.haaretz.com/israel-news/
turkey-clarifies-trade-sanctions-against-israel-include-only-
defense-industry-1.382917 [diakses pada 16 Februari 2016].

Setrakian, Lara, 2011. Did Turkey Turn On Israel to Boost Business


from the Arab World? [daring]. dalam http://www.
businessinsider.com/did-turkey-turn-on-israel-to-boost-
business-from-the-arab-world-2011-9?IR=T&r=US&IR=T
[diakses pada 20 Maret 2016].

Shaffer, Brenda, 2006. The Limits of Culture: Islam and Foreign


Policy. Cambridge: The MIT Press.

Slot, Rune, 2013. Turkey’s Foreign Policy. [daring] dalam: http://


rudar.ruc.dk/handle/1800/10620 [diakses pada 18 Maret
2016].

Stein, Aaron, 2014. “Turkish New Foreign Policy: Davutoglu,


the AKP, and the Pursuit of Regional Order”, Royal United
Services for Defence and Security Studies, Whitehall Paper
No. 83.

TurkStat, 2015a. Export by Country and Year: Top 20 Country in


Exports. [daring]. dalam www.turkstat.gov.tr [diakses pada 4

170 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Andraina Ary Fericandra

Desember 2015].

Uiportal, 2013. Disintegration of Diplomatic Relations and economic


Relations between Turkey and Israel. [daring]. dalam
http://www.uiportal.net/disintegration-of-diplomatic-
relations-and-economic-relations-between-turkey-and-israel.
html[diakses pada 3 Desember 2015].

VOA News, 2011. “Turkey Suspends Trade, Defense Ties with


Israel”, VOA News, 5 September 2011. [daring]. dalam http://
www.voanews.com/a/turkey-suspends-trade-defense-ties-
with-israel--129290663/144833.html [diakses pada 16 Februari
2016].

World Bank, t.t. Turkey Overview. [daring]. dalam www.worldbank.


org/en/ country/turkey/overview [diakses pada 3 Desember
2015].

Yinanc, Barcin, 2012. “Top Bosses Eye Smart Investments”, Hurriyet


Daily News, 21 Maret 2013. [daring]. dalam http://www.
hurriyetdailynews.com/top-bosses-eye-smart-investments.as
px?pageID=238&nID=16499&NewsCatID=345[diakses pada
22 Maret 2016].

Zorlu, t.t. Energy. [daring]. dalam http://www.zorlu.com.tr/en/


fields-of-operation/energy [diakses pada 20 Maret 2016].

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 171
172 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
PARA PENULIS

Alfionita Rizky P. adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu


Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini
berjudul “Hubungan Asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu
Nuklir Korea Utara Tahun 2013”. Penulis dapat dihubungi melalui:
prizkyalfionita@gmail.com

Andraina Ary Fericandra adalah alumni dari Program Studi S1


Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel
yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI)
ini berjudul “Ambivalensi Implementasi Neo-Ottomanisme dalam
Kebijakan Luar Negeri Turki terhadap Israel 2009-2014”. Penulis
dapat dihubungi melalui: andraina.af@gmail.com

Cintya Aryadevi S. adalah alumni dari Program Studi S1 Ilmu


Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini
berjudul “Analisis Kebijakan War on Drugs Amerika Serikat di
Kolombia”. Penulis dapat dihubungi melalui: cynthrydvsrswt@
gmail.com

Kartika Yustina Mandala Putri adalah alumni dari Program


Studi S1 Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas
Airlangga. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan
Internasional (JHI) ini berjudul “Diplomasi Greenpeace dalam
Menekan Deforestasi Amazon”. Penulis dapat dihubungi melalui:
tika.mandala94@gmail.com

Muhammad Ahalla Tsauro adalah alumni dari Program Studi S1


Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel
yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI)
ini berjudul “Pengaruh Media dan Opini Publik dalam Kebijakan
Operasi Militer Rusia dalam Perang Rusia-Georgia 2008”. Penulis
dapat dihubungi melalui: muhammad.ahalla-12@fisip.unair.ac.id

Nadia Farabi adalah staf pengajar di Program Studi Hubungan


Internasional FISIP Universitas Diponegoro. Menyelesaikan S1 dari
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
dan S2 dari Program Studi Hubungan Internasional Universitas
Gadjah Mada. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan
Internasional (JHI) ini berjudul “Kajian Humaniter Rumah
Tahan Gempa Bantuan INGO (International Non-Governmental
Organization) Kasus Rumah Dome Nglepen Baru, Yogyakarta”.
Penulis dapat dihubungi melalui: nadia.farabi@live.undip.ac.id

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun VI, No.2, Juli-Desember 2013 173


Naufal Armia Arifin adalah alumni Program Studi S1 Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Katholik Parahyangan
Bandung. Artikel yang dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan
Internasional (JHI) ini berjudul “ASEAN’s Role in Mitigating the
Risks of Rohingya Radicalization”. Penulis dapat dihubingi melalui:
naufal93@gmail.com

Probo Darono Yakti adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu


Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini
berjudul “Kebutuhan Uni Eropa dalam Institusi Keamanan: Peran
NATO di Era Kontemporer”. Penulis dapat dihubungi melalui:
probo_dy@live.com

Putu Eka Yanti W. adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu


Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini
berjudul “Hubungan Asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu
Nuklir Korea Utara Tahun 2013”. Penulis dapat dihubungi melalui:
putuekayanti@gmail.com

Retno Anggraeni adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu


Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini
berjudul “Hubungan Asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu
Nuklir Korea Utara Tahun 2013”. Penulis dapat dihubungi melalui:
retnoholmes@gmail.com

Reza Akbar Felayati adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu


Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini
berjudul “Efektivitas Bantuan Luar Negeri di Aceh selama 2004-
2010 setelah Tsunami Samudera Hindia tahun 2004”. Penulis dapat
dihubungi melalui: rezafelayati@gmail.com

Taruna Rastra Sakti adalah mahasiswa Program Studi S2


Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI)
ini berjudul “Kerjasama Keamanan: Studi Kasus Traktat Lombok
antara Indonesia dan Australia”. Penulis dapat dihubungi melalui:
saktitaruna@gmail.com
Yesaya Anggia adalah mahasiswa Program Studi S1 Ilmu
Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Artikel yang
dipublikasikan di dalam Jurnal Hubungan Internasional (JHI) ini
berjudul “Hubungan Asimetris Tiongkok dan Korea Utara dalam Isu
Nuklir Korea Utara Tahun 2013”. Penulis dapat dihubungi melalui:
yesayaanggia@gmail.com
Pedoman Penulisan

1. Artikel harus orisinil dan belum pernah dimuat di media pener-


bitan lain (termasuk blog), dan tidak dikirim secara bersamaan
ke media atau penerbitan lain.
2. Panjang artikel: 4.000-4.400 kata (dalam bahasa Indonesia) atau
3.000-3.300 kata (dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lain-
nya).
3. Judul artikel harus spesifik dan efektif, terdiri dari 9-14 kata
(dalam bahasa Indonesia) atau 7-10 kata (dalam bahasa Inggris
atau bahasa asing lainnya).
4. Abstrak terdiri dari 150-200 kata yang ditulis dalam satu para-
graf, dilanjutkan dengan kata kunci (keywords); dan terdiri dari
dua bahasa (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris atau bahasa
asing lainnya).
5. Isi artikel harus: (1) mempunyai relevansi dengan kebutuhan
proses belajar-mengajar di bidang ilmu hubungan internasi-
onal; (2) berhubungan dengan persoalan-persoalan global dan
strategis seperti diplomasi dan hubungan luar negeri, perda-
maian dan keamanan internasional, ekonomi dan politik inter-
nasional, organisasi dan bisnis internasional, globalisasi dan
strategi; (3) berkaitan erat dan/atau sesuai dengan bidang keil-
muan yang selama ini dikuasai penulis, baik yang berupa tu-
lisan teoritis, metodologis, ringkasan hasil penelitian maupun
resensi buku ilmiah; dan (4) memperhatikan obyektifitas sub-
stansi dan kaidah-kaidah keilmuan
6. Penulisan artikel:
• Di dalam penulisan artikel, hindari penggunaan dot points,
pengabjadan, atau penomoran seperti ini:
1. ....
2. ....
tetapi lebih baik ditulis sebagai berikut: (1) ..., (2) ....
• Artikel ditulis dalam bentuk essay, sehingga tidak ada for-
mat numerik (atau abjad) yang memisahkan antarbab/ba-
gian, ataupun untuk menandai bab/bagian baru.
• Bila ada tabel dan gambar/grafik, harus diacu dalam pem-
bahasan.
• Kesimpulan tidak dirinci dalam poin-poin, tetapi berupa
paragraf.
7. Metode kutipan menggunakan ketentuan sebagai berikut:
• Gunakan running note, bukan footnote atau endnote.
• Apabila nama pengarang dikutip dalam essay dan meupak-
an bagian dari kalimat, cantumkan nama pengarang diikuti
dengan tahun publikasi dalam kurung.
Wade (2007) berpendapat bahwa....
Seperti yang diungkapkan oleh Wade (2007), ....
• Apabila nama pengarang tidak dikutip secara langsung

176 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
dalam essay, cantumkan nama pengarang dan tahun dalam
kurung, dan letakkan di akhir kalimat.
.... (Kaldor 2006).
• Apabila lebih dari satu pengarang dalam essay dan referen-
si berasal dari lebih dari satu pengarang, cantumkan nama
pengarang secara berurutan dengan memasukkan tahun
dalam kurung.
Martin (2006) dan Johnson (2008) memiliki pandangan
sama. Keduanya menganggap….
• Apabila mengutip pendapat lebih dari satu orang secara ti-
dak langsung dalam essay, cantumkan nama pengarang dan
tahun terbit secara berurutan dengan dipisahkan tanda titik
koma, masukkan dalam kurung.
.... (Martin 2006; Johnson 2008).
• Apabila mengutip sebuah pendapat yang disampaikan leb-
ih dari satu pengarang, cantumkan nama pengarang secara
berurutan dan diikuti tahun terbit yang dimasukkan dalam
kurung.
Falola dan Genova (2005) menyatakan....
.... (Falola dan Genova 2005).
• Apabila mengutip sebuah pendapat lebih dari dua penga-
rang, cantumkan hanya pengarang pertama dan diikuti ”et
al.”.
Eizenstat et al. (2005) berargumen bahwa….
…. (Eizenstat et al. 2005).
• Apabila nama pengarangnya tidak diketahui, cantumkan
judul artikel dan tahun terbit. Judul artikel diapit tanda ku-
tip.
Dalam artikel “Weak States and Global Threats: Fact or
Fiction” (2006), dinyatakan bahwa….
• Apabila tahun terbit tidak diketahui, cantumkan “t.t.” yang
berarti “tanpa tahun”.
Sieuw (t.t.) menuliskan….
…. (Sieuw t.t.).
• Apabila mencantumkan nomor halaman
Acharya (2004, 58) mengatakan….
…. (Acharya 2004, 58).
• Apabila mengutip pendapat dari satu pengarang dan diter-
bitkan pada tahun yang berbeda, cantumkan nama penga-
rang disertai tahun ketika dipublikasikan pertama kali.
Laquer (1987 & 1999) mengajukan tesis bahwa ….
…. (Laquer, 1987 & 1999).
• Apabila seorang pengarang mengajukan sejumlah pendapat
pada tahun yang sama, bedakan dengan mencantumkan
huruf kecil setelah tahun publikasi.
Penelitian awal Martin (2006a) menemukan bahwa…
tetapi penelitian berikutnya oleh Martin (2006b) tampak

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 177
bahwa….
• Apabila mengutip pendapat seseorang (sumber pertama)
yang tercantum dalam artikel yang ditulis oleh orang yang
lain (sumber kedua), sumber pertama dituliskan terlebih da-
hulu.
…. (Sageman 2004 dalam Dempsey 2006).
Dalam penelitiannya, Sageman (2004 dalam Dempsey
2006) menemukan bukti bahwa….
Sageman (2004), seperti dikutip oleh Dempsey (2006), me-
nyarankan….
8. Metode penulisan daftar pustaka menggunakan ketentuan seb-
agai berikut:
• Daftar pustaka harus sudah dituliskan sesuai dengan urutan
abjad family name (nama belakang).
• Buku dengan satu pengarang
Mubah, A. Safril, 2007. Menguak Ulah Neokons: Menyingkap
Agenda Terselubung Amerika dalam Memerangi Terorisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
• Buku dengan dua pengarang
Falola, Toyin, dan Ann Genova, 2005. The Politics of the
Global Oil Industry: An Introduction. London: Praeger.
• Buku dengan lebih dari dua pengarang
Grace, Bruno, et al., 1988. A History of the World. Princeton,
NJ: Princeton University Press.
• Buku hasil editan
Rotberg, Robert I. (ed.), 2003. State Failure and State Weak-
ness in a Time of Terror. Washington D.C.: Brookings In-
stitution Press.
Thomas, Caroline, dan Peter Wilkin (eds.), 1999. Globaliza-
tion, Human Security and the African Experience. Boulder,
Colo: Lynne Rienner
Baylis, John et al. (eds.), 2007. Strategy in the Contemporary
World. Oxford: Oxford University Press.
• Artikel dalam buku
Parsa, Misagh, 2003. “Will Democratization and Global-
ization Make Revolutions Obsolete?”, dalam Foran,
John (ed.), 2003. The Future of Revolutions: Rethinking
Radical Change in the Age of Globalization. London: Zed
Book.
• E-book
Fishman, Robert., 2005. The Rise and Fall of Suburbia. [e-
book]. Chester: Castle Press. dalam libweb.anglia.ac.uk
/ E-books [diakses 24 Juli 2006].
Employment Law and Practice. 2005. [CD-ROM]. London:
Gee. dalam libweb.anglia.ac.uk/ E-books [diakses 1
Agustus 2007].
• Apabila ada satu pengarang dengan dua buku yang dikutip

178 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016
Martin, Gus, 2006a. Understanding Terrorism. California:
Sage Publications.
_____, 2006b. “Globalization and International Terror-
ism”, dalam Ritzer, George, (ed). 2006. The Blackwell
Companion to Globalization. Malden, MA: Blackwell.
• Artikel dalam jurnal
Wardhani, Baiq, 2007. “Diplomasi dan Intervensi: Keter-
libatan Pihak Ketiga dalam Konflik Etnis Pemisahan
Diri”, Global & Strategis, 1 (1): 1-11.
• Artikel dalam media massa
Susilo, I. Basis, 2008. “Antara Hillary dan Obama”, Kom-
pas, 31 Januari, hlm 6.
• Artikel Online
International Monetary Fund, 2007a. World Economic Out-
look [online]. dalam http://www.imf.org/external/
Pubs/FT/WEO/2007/01/index. htm [diakses 20 Feb-
ruari 2008].
• Undang-Undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara, 2002. Jakarta: DPR RI.
• Publikasi resmi lembaga pemerintah
Buku Putih Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2008.
Jakarta: Departemen Pertahanan RI.
• Laporan tahunan
United Nations Development Program (UNDP), 1994.
Human Development Report 1994.
• DVD/VCD
The Habibie Center, 2004. Publikasi 5 Tahun, 1999-2004.
[VCD]. Jakarta: The Habibie Center.
• Video (Film)
Pilger, John. 2001. The New Ruler of the World. [video]. Ja-
karta: Indy Cinema.
• Skripsi/Tesis/Disertasi
Wahyudi, Fendy Eko, 2008. Pengaruh Kausalitas Tingkat
Fertilitas Total (TFR) Penduduk terhadap Tingkat De-
mokrasi: Tinjauan Demokrasi Gelombang Ke-4 (1991-
2000). Skripsi Sarjana. Surabaya: Departemen Hubun-
gan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga.
9. Penulis harus menyertakan curriculum vitae (CV) yang berisi
nama lengkap, tempat & tanggal lahir, alamat lembaga atau
alamat pribadi untuk berkorespondensi (nama jalan, kota, kode
pos, email, telepon, dan faksimili), pengalaman kerja, riwayat
pendidikan, dan judul skripsi/tesis/disertasi.
10. Tulisan dikirim via email ke jhi.unair@gmail.com Tulisan yang
dikirim ke redaksi harus sudah sesuai dengan pedoman penu-
lisan jurnal ini.

Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016 179
11. Redaksi berhak mengedit artikel tanpa mengubah substansi dan
pokok pikiran penulisnya. Redaksi juga tidak akan mengemba-
likan artikel yang tidak layak muat.

180 Jurnal Hubungan Internasional □ Tahun IX, No.1, Januari - Juni 2016

Anda mungkin juga menyukai