Anda di halaman 1dari 31

DAFTAR ISI

Identitas Buku ...........................................................................2

Tentang Penulis .........................................................................3

Pendahuluan ............................................................................5

Substansi Buku ..........................................................................6

Kekuatan dan Kelemahan Buku .....................................................23

Kontribusi Buku Terhadap

Studi Hubungan Internasional........................................................24

1
IDENTITAS BUKU

JUDUL BUKU : EKONOMI-POLITIK INTERNASIONAL

DAN PEMBANGUNAN

PENULIS : Dr. Mochtar Mas’Oed

PENYUNTING : Muh. Sungaidi Ardani

PERANCANG SAMPUL : Haitamy el Jaid

TATALETAK : Gandung Widodo

PENERBIT : Pustaka Pelajar Offset

TAHUN TERBIT : Oktober 1994, Cetakan I

ALAMAT PENERBIT : Glagah UH IV/ 343 Yogyakarta

ISBN : 979-8581-04-0

TEBAL BUKU : XI+ 134 Halaman

2
TENTANG PENULIS

Mohtar Mas'oed

Riwayat Pendidikan

 Profesor/Guru Besar, Bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada,


2001.
 Program S-3 (Ph.D.) Political Science, The Ohio State University, USA, 1983.
 Program S-2 (MA) Political Science, The Ohio State University, USA, 1980.
 Program S-1 (Drs), Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisipol,Universitas Gadjah
Mada, Indonesia, 1975.

Riwayat Pekerjaan

 Staf Pengajar Senior di Fisipol Universitas Gadjah Mada, (1976 – Sekarang)


 Staf Pengajar di Pascasarjana UGM, (1984 – Sekarang)
 Dosen Tamu, Graduate School of International and Area Studies, Hankuk  University
of Foreign Studies, Seoul, South Korea, (September 1999-Agustus 2000)
 Dosen Tamu, Division of International Studies, International Christian University,
Mitaka, Tokyo, Japan, (Desember 2002-November 2003)

Publikasi
Publikasi Buku

 Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, LP3ES Jakarta, 1996


 Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994
 Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971 (The Economy and Political
Structure of Indonesia’s New Order: 1966-1971)  (Jakarta: LP3ES Publisher, 1989;
1993) (In Indonesian) (248 pages). ISBN 979-8015-49-5.
 Birokrasi, Politik dan Pembangunan (Bureaucracy, Politics and Development)
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Publisher, 1994) (In Indonesian) (185 pages) ISBN 979-
8581-10-5.
 Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan (International Political Economy and
Development) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Publisher, 1994) (In Indonesian) (134
pages) ISBN 979-8581-04-0.

Publikasi Artikel dalam Jurnal dan Buku

 “Dealing with Odious and Criminal Debt: The Case of Indonesia.”      (Mitaka:
International Christian University, 2003)
 “Memahami Ekonomi-Politik Global“ (Approaching the Global Political Economy) in
Bob S. Hadiwinoto, Politik Bisnis Global (The Politics of Global Business) 
(Yogyakarta: Kanisius, 2002) (In Indonesian), p. 5-22.
 ‘Democracy and Human Rights in Indonesia’, The Southeast Asian Review,  dalam
The Korean Association of Southeast Asian Studies Vol 11 (2001)
 ‘Social Resources for Civility and Participation: The Case of Yogyakarta’ (bersama
S.R Panggabean dan N. Azca) dalam Robert W. Hefner (ed.), The Politics of
Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia
(Honolulu: Univ. of Hawaii Press, 2001) hlm. 119-140 ISBN 0-8248-2487-3

3
 ‘The Washington Consesus’, Komunitas Epistemik dan Krisis Ekonomi Indonesia
akhir 1990-an, dalam A.A Chaniago, Gagalnya Pembangunan: Kajian Ekonomi
Politik terhadap Akar Krisis Indonesia, LP3ES, Jakarta (2001) hlam.3-15 ISBN 979-
8391-95-0
 “The State Reorganisation of Society under the New Order”, Prisma: The Indonesian
Indicator, No.47 (1994). ISSN: 0126-270X
 “Politik Dunia Pasca Perang Dingin dan Dilema Keamanan di Asia Tenggara” (Post-
Cold War World Politics and the Security Dilemma of Southeast Asia), in Ichlasul
Amal (Ed.), Sumbangan Ilmu Sosial Terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional (The
Contribution of Social Sciences to the Conceptualization of National Rescilience)
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996) (in Indonesian), p.241-276.
 “Nasionalisme dan Tantangan Global Masakini” (Nationalism and the Contemporary
Global Challenge), in Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi (Eds.), Regionalisme,
Nasionalisme dan Ketahanan Nasional (Regionalism, Nasionalism and National
Rescilience)  (Yogya: Gadjah Mada University Press, 1998) (In Indonesian), p. 50-75.
 “The Challenge of Global Political Economy and the Need for a Global Governance”,
in Sung-Yeal Koo,  Byungkuk Soh & Kyung-Chan Lee (Eds)., Economic Crisis in
Southeast Asia: New Partnership (Seoul: Korean Association of Southeast Asian
Studies, 1998) (in English), 103-119.
 “Konsolidasi Demokrasi: Analisis Perandingan” (Democratic Consolidation: A
Comparative Analysis), in Loekman Soetrisno, et. al. (Eds.). Menuju Masyarakat
Madani (Toward Civil Society) (Yogyakarta: P3PK-UGM dan Konrad Adenauer-
Stiftung, 1998) (In Indonesian), p. 17-35.
 “Negara, Bisnis dan Korupsi-Kolusi-Nepotisme: Suatu Fenomena Peburuan-Rente”
(The State, Business and Corruption-Collusion-Nepotism Disease: A Rent-Seeking
Phenomenon), in Edy Suandi Hamid and M. Sayuti (Eds.). Menyingkap Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme di Indonesia (Uncovering Corruption, Collusion and Nepotism
in Indonesia)  (Yogyakarta: Aditya Media, 1999) (In Indonesian), p. 53-78.
 “Menuju Pemilihan Umum Demokratik” (Toward Democratic General Elections), in
J. Mardimin (Ed.)., Pemilu 1999 dan Pentingnya Pemberdayaan Pemilih (The 1999
Elections and the Importance of Voters Empowerment)  (Salatiga: Penerbit Yayasan
Percik, 1999) (In Indonesian), p. 30-54.

Kertas Kerja Seminar

 ‘Kendala Politik: Hubungan Indonesia-Malaysia’, makalah dipresentasikan dalam


Konferensi Internasional “Persidangan 50 Tahun Merdeka-Hubungan Malaysia dan
Indonesia”  diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 17-21 Juli 2007.
 ‘Indonesian Politics under Presiden Megawati: Problems and Prospect’, makalah
dipresentasikan dalam acara yang disponsori oleh Toyota Foundation’s Southeast
Asian Research Exchange Program (SEASREP) dan diselenggarakan oleh Southeast
Asian Studies Program, Thammasat University, Bangkok pada tanggal 20 Februari
2002
 ‘Kekerasan Kolektif di Indonesia, 1997-1999: Sebuah Hipotesa’ dipresentasikan
dalam workshop yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian,
UGM yang disponsori oleh Southeast Asia Conflict Resolution Network, Yogyakarta
pada tanggal 15-16 April 2002
 ‘Dimensi Politik Reformasi Bank Indonesia’ dipresentasikan dalam seminar yang
diselenggarakan oleh Fakultas Hukum, UGM pada tanggal 23 April 2002.

4
PENDAHULUAN

Merkantilisme menganggap perekonomian tunduk pada politik. Aktivitas ekonomi dilihat


dalam konteks yang lebih besar dari kekuatan Negara yang meningkat, kepentingan nasional
mengatur pasar. Kekayaan dan kekuatan merupakan tujuan yang saling melengkapi bukan
saling bersaing, tetapi ketergantungan ekonomi yang besar pada Negara lain harus dihindari
ketika kepentingan ekonomi dan keamanan pecah, kepentingan keamanan memiliki prioritas.

Ekonomi kaum liberal berpendapat bahwa perekonomian pasar merupakan wilayah otonom
dari masyarakat, berjalan sesuai dengan hukum ekonominya sendiri. Pertukaran ekonomi
bersifat “positive sum game”, dan pasar akan cenderung memaksimalkan keuntungan bagi
individu, rumah tangga, dan perusahaan. Perekonomian merupakan bidang kerjasama yang
salingmenguntungkan, antar Negara dan juga antar individu.

Dalam pendekatan marxis perekonomian adalah tempat eksploitasi dan perbedaan antar kelas
sosial, khususnya kaum borjuis dan kaum proletar. Politik untuk sebagian besar ditentukan
oleh konteks sosio ekonomi. Kelas ekonomi yang paling dominan juga dominan secara
politik. EPI hirau dengan sejarah ekspansi kapitalis global dan perjuangan antar kelas.
Pembangunan kapitalis bersifat tidak seimbang dan menghasilkan krisis dan kontradiksi baru,
baik antar Negara maupun antar kelas sosial.

Persoalan paling mendasar dalam ekonomi-politik, dalam arena internasional maupun


domestik, adalah persolan ketimpangan distribusi dan kemiskinan. Masalah berat jangan-
jangan bukan kelangkaan sumberdaya, seperti yang selalu mendasari pemikiran para ekonom,
tetapi justru poverty amidst Plenty. Sebenarnya sumberdaya cukup tersedia bagi semua,
namun tidak semua orang punya akses terhadap sumberdaya itu. Sumberdaya yang bernilai
cenderung tersebar tidak merata. Dan itulah persoalan pokok ekonomi-politik, yaitu persoalan
who gets what, when, how and how much.

EPI juga mengangkat masalah pembangunan dan perubahan kenegaraan berdaulat secara
langsung. Perekonomian nasional merupakan sumber daya yang sangat mendasar bagi
Negara-bangsa. Ketika perekonomian nasional berada dalam proses yang terintegrasi ke
dalam perekonomian dalam konteks glonalisasi ekonomi, dasar keseluruhan bagi kenegaraan
yang modern berubah dengan cara yang kritis.

5
SUBSTANSI BUKU

Bab 1 – Epistemologi Ekonomi-Politik Internasional

Dalam literatur berbahasa inggris kita mengenal berbagai istilah berikut :


“international political economy”, “global political economy”, “political economy of
international relations”, “politics of global economic relations”, dan “international political
economics”. Masing-masing menggambarkan EPI secara berbeda. Yang populer di kalangan
analis hubungan Utara-Selatan adalah definisi yang menegaskan EPI sebagai studi mengenai
“who gets what kind of values, how much and by what means”. Yaitu yang memusatkan
perhatian pada persoalan distribusi nilai-nilai seperti kekayaan dan kebutuhan materiil,
keamanan dan ketertiban, keadilan, dan kebebasan. Isu ketimpangan yang dibahas para
ilmuwan dengan perspektif ini bukan hanya ketimpangan antarbangsa tetai juga di dalam
masing-masing bangsa. EPI sebagai studi tentang saling-kaitan dan interaksi antara fenomena
politik dengan ekonomi, antara “negara” dengan “pasar”, antara lingkungan domestik dengan
yang internasional, dan antara pemerintah dengan masyarakat. Ekonomi didefinisikan sebagai
sisitem produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan; sedang politik sebagai sehimpunan
lembaga dan aturan yang mengatur berbagai interaksi sosial dan ekonomi.

Ajaran kaum merkantilis yang mendominasi studi ini pada abad 17, yang kemudian
dilanjutkan oleh kaum Marxis sampai abad 20 ini, menegaskan perlunya fokus pada masalah-
masalah EPI. Namun komitmen ini merosot ketika pada awal abad 20 terjadi perubahan
dalam dunia akademik keilmuan sosial, terutama kuatnya kecenderungan untuk melakukan
spesialisasi bidang studi.Basis dari sistem ekonomi yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi
barang dan jasa, adalah proses yang berlangsung berdasar hukum alam, yaitu intinya adalah
harmoni. Sistem ekonomi yang diwarnai oleh keselarasan yang berlangsung secara otomatis
hanya mungkin berlangsung dan menguntungkan semua pihak kalau sistem itu bebas dari
campur tangan wewenang politik.Secara akademik munculnya banyak NKB dalam arena
internasional merubah persepsi teoritisi ekonomi internasional mengenai ekonomi dunia yang
kemudian mendorong timbulnya konseptualisasi baru dan melahirkan cabang ilmu ekonomi
baru yaitu ilmu ekonomi pembangunan.Munculnya fenomena NKB juga memunculkan
konsep baru, yaitu “diplomasi pembangunan”.Perkembangan historik kedua adalah
pertumbuhan perusahaan multinasional yang luar biasa pesat.Perkembangan empirik ketiga
yang mendorong kemunculan kembali EPI adalah kenaikan harga minyak dan kekhawatiran
akan kelangkaan bahan dasar dan energi.Perkembangan keempat yang juga mendorong

6
munculnya minat terhadap EPI adalah kemerosotan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan
inflasi di kalangan NIM (Negara Industri Maju).

Sejak awal 1970-an, sistem distribusi yang “positive-sum game” berbah menjadi
“zero-sum game” yang konfliktual. Salah satu akibatnya adalah munculnya fenomena baru
stagflasi, situasi dimana ekonomi macet tetapi inflasi meningkat tajam sehingga terjadi
“crisis of control”.Perkembangan historik seperti inilah yang menimbulkan kesadaran bahwa
antara kebijakan ekonomi luar negeri, ekonomi internasional, manajemen ekonomi domestik,
dan konflik internasional yang berlangsung waktu itu sangat erat berkaitan; bahwa
penyelesaian masalah-masalah itu menuntut pengembangan keahlian analisis ekonomi politik
internasional, yang mampu memanfaatkan konseptualisasi dan metodologi baru.

Yang juga banyak memengaruhi perumbuhan dan popularitas EPI akhir-akhir ini
adalah perkembangan akademik dalam bidang studi ekonomi maupun hubungan
internasional, yaitu : penemuan tentang kemerosotan nilai tukar barang ekspor NKB, kritik
terhadap konseptualisasi mengenai dinamika “comparative cost” atau “comparative
advantage”, munculnya teori “dependencia”, berkembangnya ilmu ekonomi pembangunan,
dan munculnya studi regional, hubungan transnasional, dan interdependensi.Semangat
ilmuwan ekonomi untuk menunjukkan keuntungan spesialisasi membuat mereka
mengabaikan faktor kekuasaan yang menciptakan kondisi itu.Perkembangan intelektual ini
menunjukkan bahwa ilmu ekonomi internasional waktu itu mengalami “crisis of conception”.
Konseptualisasi yang menganggap politik sebagai “given” ternyata tidak memadai lagi,
gagasan yang mendefinisikan proses ekonomi sebagai “alokasi sumber daya langka” tidak
dipakai lagi. Masalahnya adalah bagaimana memobilisasi dan mendayagunakan sumber daya
yang melimpah tetapi kurang dimanfaatkan.Kemudian muncul model “center-periphery” yang
menentang doktrin sebelumnya. Munculnya disiplin ilmu ekonomi pembangunan. Bidang
studi ini mengarahkan ekonom untuk memperluas wawasan dengan memanfaatkan konsep
antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, administrasi negara, dsb.

Ketika kehidupan ekonomi diliputi kontroversi dan ketidakpastian, isu-isu dasar


ekonomi-politik muncul ke permukaan. Yaitu bagaimana hubungan antara negara dengan
ekonomi, antara ekonomi dengan politik. Karena hubungan inilah yang menjadi kunci untuk
menjawab pertanyaan klasik “who gets what?”Pendukung metodologi positivis adalah mereka
yang menekankan bahwa pembentukan teori yang nomologis dan empiris sangat penting bagi
pengembangan pengetahuan EPI. Tujuannya adalah pengembangan suatu metodologi spesifik
untuk menilai teori, dan dengan itu berbagai teori dan model diuji dengan kenyataan.

7
Kaum merkantilis memandang perdagangan bebas sebagai ideologi dari negara yang
telah lebih dulu menjadi kekuatan hegemonik dalam sistem internasional. Ideologi itu
dikembangkan oleh negara hegemonik tersebut karena sesuai dengan kepentingan
nasionalnya, yaitu mempertahankan atau memperbesar kekuasaannya. Bagi negara yang baru
belakangan masuk ke arena persaingan internasional, syarat yang harus dipunyai adalah
negara yang aktif dan kuat, bukan negara “laissez faire”, dan menerapkan kebijaksanaan
proteksionis, bukan sistem terbuka.

Kaum liberal berasumsi bahwa individu (yaitu konsumen, perusahaan atau wiraswasta
individual) adalah aktor utama dan mereka berperilaku rasional dan selalu berusaha
memaksimalkan perolehan. Jika perdagangan internasional dibebaskan dari pembatasan dan
peraturan pemerintah, setiap aktor yang terlibat akan mampu memperoleh keuntungan sesuai
dengan barang dan jasa yang tersedia sehingga kesejahteraan mereka bisa meningkat.
Spesialisasi produksi secara internasional akan mendorong perdagangan internasional yang
meningkatkan efisiensi. Efisiensi akan menjamin penurunan ongkos produksi dan
peningkatan volume produksi yang berarti juga peningkatan konsumsi. Liberal mengajukan
argumen bahwa hubungan ekonomi internasional bisa dibuat menjadi “positive-sum game”.
Artinya, setiap orang bisa memperoleh keuntungan dari hubungan ekonomi walaupun
keuntungan itu tidak sama besar. Kaum liberal percaya bahwa demi memenuhi kepentingan
nasionalnya sendiri setiap bangsa harus bersikap terbuka dan kooperatif dalam hubungan
ekonomi dengan negara lain. Ekonomi dan politik merupakan bidang yang terpisah.

Kaum radikal berasumsi bahwa kelas sosial adalah aktor dominan dalam ekonomi
politik dan merupakan unit analisis pokok. Kelas kapitalis yang menerapkan kebijakan publik
dan politik luar negeri. Kelas-kelas itu bertindak berdasar kepentingan materiil mereka. Basis
dari ekonomi kapitalis adalah eksploitasi kelas buruh oleh kelas kapitalis. Ekonomi politik
bersifat konfliktual, karena hubungan antara kapitalis dengan buruh itu pada dasarnya
antagonistik. Hubungan antara kaum kapitalis dengan kaum buruh bersifat “zero-zum”
sehingga keuntungan yang diperoleh kapitalis berarti kerugian bagi kaum buruh dan
sebaliknya.

Perspektif reformis melihat beberapa kebenaran dalam argumen kaum liberal ketika
yang terakhir ini menentang nasionalisme sempit kaum merkantilis, namun mereka tidak
setuju dengan penekanan berlebihan kaum liberal terhadap pertimbangan nilai efisiensi
sehingga merugikan aktor yang lebih lemah. Mereka setuju dengan kaum radikal yang
menunjukkan bahwa liberalisme bagi kaum lemah, namun kaum reformis tidak setuju dengan
usul kaum radikal agar NKB melakukan perubahan revolusioner menentang sistem kapitalis.
8
Walaupun mereka setuju dengan gagasan merkantilis mengenai peran aktif negara dalam
urusan ekonomi internasional, mereka lebih bersikap internasionalis daripada nasionalis.
Mereka lebih percaya pada upaya reformasi daripada perubahan radikal revolusioner.

Bab 2 – Ekonomi-Politik Internasional, Solidaritas dan Pembangunan Dunia Ketiga

Semakin banyaknya isu ekonomi yang masuk ke dalam agenda percaturan politik
internasional tingkat tinggi. Sehingga isu-isu ekonomi yang sebelumnya dipandang sebagai
persoalan “low politics” yang penuh damai tidak dapat lagi dipisahkan dari isu-isu politik dan
keamanan, yang sejak lama dipandang sebagai masalah “high politics” yang penuh konflik.
Hampir setiap hari berita utama berbagai media massa dipenuhi dengan persoalan ekonomi
yang semakin lama semakin gawat dan kontroversial. Masalah-masalah itu telah banyak
menimbulkan konnflik internasional. Bahkan para kepala pemerintahan dewasa ini tidak
segan-segan untuk secara terbuka melakukan campur tangan langsung dalam persoalan
hubungan ekonomi negaranya dengan negara lain.

Diplomasi antar negara-negara Dunia Selatan juga menunjukkan betapa isu ekonomi
semakin jelas mewarnai diplomasi tingkat tinggi. Forum pertama yang merupakan pelopor
perjuangan negara-negara yang kemudian dikenal sebagai Dunia Ketiga atau Selatan, yaitu
Konferensi Asia Afrika, memang lebih banyak membahas masalah politik yaitu pembebasan
bangsa-bangsa di kedua benua tersebt dari penjajahan. Gerakan non-blok atau Non Alligned
Movement, pada awalnya terutama memusatkan pada masalah politik. Tetapi denga
berjalannya waktu dan berkembangnya persoalan internasional, negara-negara Selatan itu
lebih banyak memusatkan perhatian ke masalah ekonomi dan dengan demikian mengangkat
persoalan ekonomi sebagai sasaran perjuangan politiknya dalam sistem internasional.

Kegiatan politik internasional paling tidak sejak awal 190-an tidak hanya telah
mengalami evolusi fokus substansif, yaitu dari fokus politik menjadi ekonomi-politik, tetapi
juga perubahan konseptualisasi. Masalah ekonomi yang sebelumnya bisa ditangani sebagai
masalah teknis oleh para ekonom, sekarang menjadi masalah yang sangat terpolitisasi.
Spesialis politik internasional menjadi lebih sadar akan makna penting variabel ekonomi
dalam menentukan politik dunia.Mutual sensitivity dan mutual vulnerability diantara para
aktor dalam arena politik dunia semakin meningkat. Artinya, setiap aktor sangat mudah
dipengaruhi oleh akibat tindakan aktor-aktor lain. Setiap negara tergantung pada setiap negara
lain dalam arena internasional.Pendekatan ekonomi-politik internasional mengusulkan suatu
kerangka analisis yang bisa memadukan dimensi ekonomi dan politik, sehingga bisa
9
menggambarkansecara spesifik hubungan antara berbagai aktor dan berbagai proses dalam
ekonomi-politik inernasional.

Hubungan ekonomi-politik internasional sebenarnya selama ini mencerminkan


persaingan dinamik terutama antara perspektif merkantilis dan liberal.Negara yang sedang
dalam posisi hegemonik biasanya menyukai kebijaksanaan ekonomi internasional yang
liberal; sebaliknya negara yang sedang dalam posisi lemah cenderung menerapkan kebijakan
merkantilis. Dalam suasana ekonomi dunia yang yang diliputi pertumbuhan cepat dan
kemakmuran, gagasan liberal emmperoleh dukungan kuat; sebaliknya dalam suasana eknomi
dunia yang diliputi stagflasi dan resesi, setiap negara berusaha menekankan kepentingan
nasional masing-masing dengan menerapkan strategi merkantilis.

Dalam situasi ekonomi dunia yang didominasi perspektif merkantilis seperti ini
negara-negara Dunia Ketiga, yang umumnya langka sumberdaya, menghadapi kesulitan luar
biasa.Hubungan antara negara Dunia Ketiga dengan Negara Industri Maju tidak hanya
timpang, tetapi diwarnai pemecahbelahan Dunia Ketiga.Rusaknya solidaritas negara-negara
Dunia Ketiga juga bisa dipahami dengan memperhatikan perubahan penting yang terjadi
dalam sistem ekonomi-politik global sejak akhir dasawarsa 1970-an.Yang pertama adalah
diferensiasi dunia ketiga. Pada akhir dasawarsa itu diketahui bahwa beberapa negara Dunia
Ketiga tumbuh pesat, sedang yang lain macet atau bahkan merosot. Yang kedua adalah
perubahan dan pembesaran pasar finansial dunia. Yang ketiga adalah perubahan
pengorganisasian produksi dunia. Ketiga fakta ini ternyata berjalin berkelindan.
Internasionalisasi produksi itu berjalan seiring dengan proses diferensiasi ekonomi di dunia
ketiga itu. perluasan pasar modal internasional yang didorong oleh petrodollar telah
membantu semakin intensifnya keterlibatan modal internasional yang dikendalikan oleh
perusahaan-perusahaan multinasional dalam kegiatan produksi di dalam Dunia Ketiga.

Betapa besar kendala yang harus dihadapi negara-negara Dunia Ketiga untuk
membangun kembali solidaritas diantara mereka. Mengingat bahwa solidaritas adalah
landasan utama bagi keberhasilan kera koalisi internasional, perlu dicari cara dan sarana baru
untuk menguasai kendala-kendala itu.

10
Bab 3 – Indonesia, APEC dan GATT

Menjelang akhir tahun 1993, dunia “diplomasi pembangunan” Indonesia diwarnai


oleh dua kejadian penting, yaitu perrtemuan para menteri “Asia Pacific Economic
Cooperation” (APEC) di Seattle yang dilanjutkan dengan pertemuan informal para kepala
pemerintahan di Pulau Blake bulan November dan batas akhir “Putaran Uruguay”
perundingan “General Agreement on Tariff and Trade” (GATT) yang ditetapkan 15
Desember. Kedua peristiwa ini berkaitan erat. Keberhasilan pertemuan puncak APEC yang
pertama ini bisa dipakai oleh Amerika Serikat untuk menekan lawan transaksi dagangnya di
Eropa agar menyetujui usulan dalam “putaran Uruguay” dan membuka pasar mereka. Karena
itu, sangat relevan untuk membahas peran Indonesia dalam APEC dengan mengkaitkannya
dengan persoalan GATT. Dalam pertemuan Seattle ITU Indonesia memperoleh pekerjaan
baru yaitu mengetuai APEC dalam periode 1994-1995.

Pada aras regional Asia Pasifik, Indonesia berada dalam posisi dilematis berhadapan
dengan Jepang sedang pada aras global Indonesia menghadapi tantangan usulan “putaran
Uruguay” yang cenderung menguntungkan aktor-aktor besar yaitu negara-negara Utara. Salah
satu strategi yang perlu dikembangkan untuk menghadapi tantangan itu adalah pembenahan
kembali solidaritas Selatan-Selatan demi memperkuat kewibawaan Indonesia dalam
melakukan dialog Utara-Selatan melalui mekanisme APEC.

Negara-negara Asia Pasifik terutama sejak 1970-an saling berinteraksi dengan intensif
menimbulkan pertumbuhan tinggi walaupun tanpa kerangka kerjasama formal seperti yang
ada di Eropa. Bahkan berbagai transaksi ekonomi terjadi antara negara-negara yang secara
formal tidak memiliki hubungan diplomatik. sejak akhir 1980-an, motivasi untuk melakukan
kerjasama regional itu semakin kuat karena beberapa hal berikut. Pertama, peningkatan
keperluan akan mekanisme defensif terhadap kemungkinan peningkatan proteksionisme di
Eropa dan Amerika Serikat. Kedua, peningkatan pertumbuhan perdagangan intra-Asia dan
intra Asia-Pasifik. Ketiga, munculnya negara-negara industri baru di Asia Timur. Keempat,
tidak bisa dilupakan faktor infrastruktural yang semakin baik.

Hubungan ekonomi-politik di Asia Timur bersifat hierarkis dengan tiga ciri utama,
yaitu ; ketergantungan teknologi, ketimpangan pembagian kerja, dan “backward integration”.
Secara de facto, wilayah ini sebenarnya telah diintegrasikan ke dalam suatu sistem ekonomi
dimana Jepang berperan sebagai inti dan negara-negara lain sebagai periferinya.Sebagai pihak
yang dominan, Jepang menggambarkan sebagai kondisi yang menguntungkan bagi seluruh
kawasan Asia Pasifik. Jepang menganggap dirinya punya misi mengangkat nasib negara-

11
negara lain di sekitarnya. Yang diabaikan oleh pemimpin Jepang adalah kenyataan bahwa
pengintegrasian ekonmi wilayah ini sebenarnya menghasilkan subordinasi ekonomi negara-
negara yang kecil dan lebih lemah terhadap ekonomi Jepang. Salah satu mekanisme
subordinasi itu adlah ketergantungan teknologi. Industri di negara-negara periferi itu
berfungsi mendukung industri di negeri inti.Dalam tatanan ini negara-negara berkembang di
wilayah itu berfungsi menyediakan tenaga kerja murah bagi industri manufaktur, bahan dasar
untuk industri dan komoditi; dan negara-negara lain yang lebih makmur merupakan tempat
untuk industri teknologi rendah dan pasar kelas menengah, sedang di tengah sebagai inti
adalah Jepang.

Putaran perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka kerja GATT yang


dimulai di Punta del Este, Uruguay, tahun 1986 merupakan putaran yang istimewa. Pertama,
karena luasnya bidang yang ditangani; kedua, karena untuk petama kali GATT tidak hanya
menangani soal perdagangan tetapi juga soal jasa (trade-in-services).Salah satu persoalan
yang akan menempatkan negara Selatan dalam posisi tertindas adalah dimasukkannya bidang
isu baru seperti TRIPS, yang terutama dimaksud sebagai mekanisme efektif mencegah alih
teknologi. Teknologi memainkan peran kunci dalam proses pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi.Teknologi juga produk yang efektif dalam perdagangan internasional dan teknologi
merupakan elemen strategis dalam upaya mengendalikan pasar internasional. Karena
teknologi memiliki peran transformatif dan bisa berfungsi mengendalikan pasar irulah maka
selalu akan terjadi konflik kepentingan antara negara-negara yang memiliki teknologi maju
dengan yang tidak memilikinya. TRIPS akhirnya lebih berfungsi sebagai alat
teknonasionalisme negara-negara maju untuk mencapai tujuan proteksionisme teknologi.

Persoalan lain yang akan merugikan posisi negara Selatan adalah adanya usul
mengenai sistem sanksi yang mengaitkan semua bidang ekonomi sehingga bersifat “cross-
retaliation”. Sistem pembalasan silang ini jelas tidak adil. Aturan menyebabkan kepentingan
ekonomi dan perdagangan negara Selatan selalu dalam keadaan terancam pembalasan. Aturan
itu sama sekali mengabaikan konsep kedaulatan ekoomi nasional. Aturn itu menutup banyak
jalur yang bisa dipakai negara Selatan untuk meninggalkan keterbelakangannya.Persoalan
besar yang dihadap negara-negara Selatan dalam kedua arena tersebut diatas adalah
rendahnya tingkat solidaritas mereka. Dalam APEC, negara-negara Selatan tidak bertindak
sebagai kelompok yang bersatu.

Para pemimpin Indonesia memandang posisi negara itu sebagai dilematis. Kebutuhan
akan dana untuk membangun ekonomi nasional seringkali memaksanya untuk bersikap
akomodatif terhadap kepentingan negara Utara terutama Jepang dan AS. Karena kedua aktor
12
ini berpengaruh dominan dalam jaringan lembaga diploasi pembangunan.Namun perlu diingat
bahwa Indonesia memperoleh amanat memimpin GNB, yang semangatnya adalah semangat
solidaritas kaum tertindas dalam sistem kapialisme global. Kita memang tidak memerlukan
revolusi global untuk menggulingkan sistem ini. yang kita perlukan adalah dialog utara dan
selatan demi reformasi struktur hubungan ekonomi-politik internasional yang memungkinkan
perbaikan dalam pemerataan kemampuan produktif masyarakat dunia.

Posisi diplomatis Indonesia didukung oleh senioritas Presiden Soeharto yang semakin
dihargai oleh aktor utama Utara-Selatan, memberi peluang bagus yang dimanfaatkan untuk
membangun kembali solidaritas Selatan-Selatan. Untuk itu Indonesia perlu lebih banyak
mengajukan inisiatif ke arah itu. Upaya pemerintah Indonesia akhir-akhir ini untuk
mengembangkan kerjasama dan berbagi pengalaman pembangunan dengan sesama negara
Selatan semoga merupakan awal yang baik bagi upaya pemberdayaan masyarakat tertindas di
Selatan.

Bab 4 –Relevansi Gerakan Non Blok

Pandangan yang pesimistis mengenai gerakan Non Blok umumnya muncul dari meeka
yang memakai perspektif realisme politik, yaitu yakin bahwa setiap tindakan politik luar
negeri pasti didasarkan pada tujuan mencapai kepentingan nasional dan kepentingan nasional
yang paling dasar adalah peningkatan kekuasaan atau kekuatan nasional jadi, “struggle for
power” adalah esensi setiap tindakan politik internasional. Sedangkan pandangan yang lebih
optimistis umumnya didasarkan pada perspektif teoritik yang menolak asumsi kaum realis.
Mereka yakin bahwa “struggle for power” bukan unsur dominan dalam hubungan
internasional. Banyak bukti menunjukkan bahwa hubungan seperti itu juga diliputi oleh
kerjasama. Sementara kaum realis menekankan bahwa konflik tidak bisa dielakkan dalam
politik internasional, perspektif alternatif ini menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa konflik bisa
dielakkan.

Perspektif realis : pesimisme

Yang tergabung dalam gerakan Non-Blok umumnya adalah pihak yang lemah dalam
sistem politik yang didominasi sistem persaingan bipolar. Bersikap tidak memihak terutama
menarik bagi kaum pinggiran jika dua negara adikuasa yang saling berhadapan itu tidak
dalam keadaan perang, tetapi juga tidak berdamai. Mereka dalam keadaan perang dingin.
Dalam keadaan begitu, negara-negara lemah bisa menjadi obyek persaingan, tetapi tidak

13
menjadi korban perang. Dari sudut pandang ini, Non-Blok jelas bukan politik luar negeri.
(Rothstein, 1987:112)

Sikap politik tidak memihak tidak akan menguntungkan bagi negara-negara lemah itu
jika negara-negara adidaya sedang perang total atau sedang rukun. Dalam keadaan perang
dingin, negara-negara Non-Blok bisa mengambil untung dari kedua pihak yang bersaing.Non-
Blok adalah taktik, bukan politik luar negeri. Kalau suatu negara lemah yang mengambil
sikap Non-Blok tiba-tiba memperoleh ancaman dari suatu negara adidaya, maka ia segera
akan bergabung dalam blok negara adidaya yang lain. Jika Non-Blok memang politik luar
negeri yang “viable” dan bisa merubah sisem internasional, negara-negara yang keamanannya
terancamtidak harus bersekutu dengan negara adidaya.Eksistensi senjata nuklir punya dampak
penting bagi hubungan antara kedua negara adidaya. Di satu pihak, adanya senjata itu bisa
mencegah perang antara keduanya karena risiko terlalu besar. Tetapi, di lain pihak, adanya
senjata itu juga tidak bisa menghapuskan konflik dan perbedaan pendapat yang bisa
meyebabkan perang.

Pada masa perang dingin, ketika konflik antara negara adidaya terbatas, negara-negara
kecil diperlukan sebagai sekutu atau kawan, bukan untuk menghadapi perang melawan
pesaingnya tetapi agar tidak terjadi perang. Keberhasilan memperoleh dukungan negara-
negara pinggiran itu bisa berarti simbol kemenangan dalam persaingan politik. Dalam suasana
Perang Dingin bipolar, egara-negara lemah bisa memainkan peran penting, termasuk
mengorganisasikan gerakan Non-Blok.Keterlibatan suatu negara pinggiran dalam gerakan
Non-Blok berkaitan dengan persoalan pilihan kebijaksanaan dalam negeri.Secara simbolik,
gerakan Non-Blok telah membantu peningkatan kepercayaan diri dan integrasi nasional.

Kondisi persaingan antara dua negara yang setara dalam suasana perang dingin bipolar
telah berubah menjadi kerjasama antara satu ngeara adidaya dengan bekas lawannya yang
kekuatannya merosot luar biasa. Perhatian sebagian besar negara-negara lemah terhadap isyu
“nation-building” sudah tidak telalu besar dibanding dengan perhatian mereka terhadap isu
pembangunan ekonomi dalam suasana persaingan dalam pasar kalitalis internasional yang
semakin ketat. Kepentingan ekonomi yang terancam membuat banyak dari anggota Gerakan
Non Blok melakukan kompromi dan emndekati kekuatan Barat.

Perspektif Alternatif

Perspektif ini memandang korelasi itu tidak meyakinkan. Perang dingin itu bukan
faktor yang menentukan perkembangan gerakan non-blok. Keanggotaan gerakan itu malah
meningkat ketika sistem bipolar berubah menjadi sistem multipolar. Walaupun ada korelasi
14
antara dikolonisasi dengan perluasan gerakan non-blok, tidak ada korelasi positif antara
Perang Dingin dengan pertumbuhan gerakan itu, korelasi itu justru negatif, yaitu pertumbuhan
gerakan non-blok justru terjadi ketika Perang Dingin mereda. Perspektif alternatif ingin
menyatakan bahwa walaupun perang dingin tidak ada lagi, gerakan non blok tetap punya
masa depan, karena memang eksistensi tidak ditentukan oleh adanya persaingan antara antar
adidaya itu.

Kalau kita memang harus mempertahankan gerakan non-blok sebagai sarana


perjuangan anggotanya kita harus menengok kembali apa yang dimiliki organisasi ini. esensi
gerakan nn-blok adalah penghindaran diri dari aliansi militer. Gerakan ini justru berusaha
menghindari konfrontasi dengan kekuatan manapun dengan cara mengembangkan
komunikasi. Dengan demikian, gerakan ini menantang aradigma yang dominan dalam
hubungan internasional, yaitu paradigma “power”, dan mendefinisikan kepentingan nasional
para anggotanya bukan dalam pengertian kekuatan tapi komunikasi dan kerjasama.Gerakan
non blok mesti bersedia menaruh kepentingan rakyat di berbagai wilayah dunia, yaitu umat
manusia di bumi, dalam prioritas tinggi. Tugas gerakan ini mesti meluas ke wilayah isu
global, yaitu mengusahakan penyelesaian bersama berbagai persoalan yang mempengaruhi
kehidupan umat manusia.

Perlu diingat bahwa isu muncul ketika suatu nilai terancam. Kapan suatu isu menjadi
global? Yaitu ketika dampak isu tersebut mempengaruhi sebagia besar umat manusia dan
tidak bisa diselesaikan oleh tindakan satu aktor sendiri, apakah itu negara atau organisasi
internasional. Nilai-nilai apakah yang selama ini menjadi tujuan sebagian besar umat
manusia? International peace, national self determination, national development,
international economic equity, national autonomy and self reliance, ecological balance, the
state, basic human needs, participation. Dewasa ini isu-isu berikut masih mengganggu
negara-negara anggota gerakan non-blok : persenjataan dan keamanan, pembangunan,
ketergantungan ekonomi, lingkungan hidup, kependudukan, bahan makan, energi dan hak
asasi manusia.

Karena itulah sebenarnya esensi kata internasional. Mereka harus memungkinkan


terciptanya kerjasama antar-rakyat, baik di dalam kalangan non blok maupun antara mereka
dengan segenap dunia. Gerakan ini juga bisa menjalin kerjasama dengan berbagai aktor non-
pemerintah yang telah aktif dalam kegiatan di berbagai dunia.

Bab 5 – Organisasi Transnasional dan Politik Pembangunan : Studi Kasus I.N.G.I

15
Secara garis besar kita bisa mengidentifikasikan perkembangan tiga pola pemikiran
dan praktek pembangunan di Indonesia yang masing-masing menekankan pendekatan yang
berbeda. Tiga pendekatan itu adalah : Politik Sebagai Panglima (PSP), Ekonomi Sebagai
Panglima (ESP), dan Moral Sebagai Panglima (MSP). Karakteristik masing-masing pola
pemikiran adalah sebagai berikut : PSP memprioritaskan pertimbangan politik dalam proses
pembangunan dan menekankan peranan negara yang diwakili oleh para birokrat sebagai aktor
pembangunan. Negara dipandang sebagai pelak tunggal yang mampu melakukan intervensi ke
dalam proses pembangunan ekonomi. Pembangunan yang berhasil hanya mungkin jika
dijamin oleh negara yang kuat. Sehingga esensi dari proses pembangunan adalah pembinaan
kekuatan negara.

Pendekatan ESP lebih mengutamakan peranan pengusaha dan korporasi dalam proses
pembangunan. Dianggap berkecenderungan liberal tanpa intervensi pemerintah. Jika negara
melakukan intervensi tujuannya adalah untuk memperbaiki kondisi yang diperlukan bagi
akumulasi dan reproduksi kapital.Pendekatan MSP menegaskan bahwa cara paling efektif
untuk menangani persoalan kemiskinan yang dihadapi rakyat adalah dengan membantu
mereka menemukan kekuatan mereka sendiri. Wewenang keputusan mengenai pembangunan
diserahkan kepada rakyat atau komunitas lokal. Mekanisme pembangunan andalan adalah
kekuatan rakyat.

Masa awal baru, pembangunan identik dengan “nation-building”, yaitu berupaya


memperkuat basis materiil negara dengan cara mencipakan surplus ekonomi. Psikologi
survival mendefinisikan tujuan pembangunan Orde Baru. Dua tujuan yang dipandang paling
penting adalah pertumbuhan ekonomi dan ketertiban politik. Pembangunan yang lebih merata
membutuhkan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi sehingga yang didistribusikan akan jauh
lebih besar. Tujuan orde baru yang paling penting adalah “membangun suatu masyarakat baru
yang merasa aman, menikmati arti penting ketertiban, dan mengejar kemajuan dalam suasana
kestabilan”.

Untuk mencapai tujuan besar itu pemerintah orde Baru menerapkan dua strategi
umum. Pertama, strategi ekonomi yang mendorong pertumbuhan cepat dan yang bisa
memobilisasi berbagai sumber daya ekonomi dari luar negeri, yaitu strategi “berorientasi
keluar”. Kedua, strategi politik mendorong penciptaan sistem ekonomi dan masyarakat ang
terkendali dan tertib. Stabilitas dan keamanan merupakan hal berharga dalam pandangan
politik Orde Baru.

16
Pendekatan ESP dipandang lebih menjamin keberhasilan. Mereka memanfaatkan
mekanisme pasar sebagai sarana mobilisasi sumber daya ekonomi demi meningkatkan
produktivitas nasional. Mereka cenderung mengutamakan aktor swasta sebagai unit ekonomi
yang dominan dalam suatu pasar yang relatif bebas. Akibat kelangkaan sumber daya yang
bisa dimobilisasi di dalam negeri, mobilisasi sumber dana dari luar negeri digalakkan.Dengan
sumber dana yang besar, pemerintah mampu menggunakan mekanisme APBN untuk
memobilisasi kembali dukungan rakyat. Kemampuan pemerintah menanggapi tuntutan rakyat
dengan melakukan kompromi dan melakukan reorientasi kebijakan ke arah nasionalisme-
ekonomi berakibat memperkokoh basis materiil negara, yang berfungsi menopang kerangka
kerja politik yang masih tetap ketat.

Situasi akhir 1960-an berkembang dua fenomena yang berpengaruh besar terhadap
proses pembangunan di Dunia Ketiga. Pada aras teoritik, muncul teorisasi alternatif yang
menantang teorisasi modernisasi dan pertumbuhan ekonomi; pada aras hubungan antar
manusia di dunia, berkembang mode pengorganisasian yang bersifat transnasional. Dua
fenomena itulah yang memungkinkan kelahiran aktor-aktor baru ini. para aktivis LSM
transnasional di negara-negara maju umumnya berhasil meyakinkan para pemberi dana untuk
membiayai program-program pemerataan yang pelaksanaannya diserahkan pada rakyat, yang
diwakili oleh para LSM di negara penerima bantuan.

Kesadaran akan aktivitas advocacy secara transnasional mendorong beberapa


pemimpin LSM untuk melembagakan jaringan internasional itu dengan membentuk INGI.
Dengan INGI mereka bisa memperoleh bobot politik yang diperlukan untuk tidak hanya
mampu melintas batas negara bangsa tetapi juga untuk melintas batas fungsional. Namun
strategi ini kemudian ternyata menimbulkan persoalan. Dengan menerapkan advocacay
transnasional, para pendukung pendekatan MSP itu harus menghadapi kenyataan bahwa
posisi mereka ditentang oleh para pendukung ESP dan PSP sekaligus.Memasuki dasawarsa
1990-an krisis fiskal sudah mulai bisa diatasi. Tindakan “structural adjustment” yang
dilaksanakan oleh para pendukung pendekatan ESP menuruti anjuran para donor di luar
negeri, telah menunjukkan hasil. Ekspor non migas meningkat luar biasa yang ebrakibat baik
terhadap neraca pembayaran.

Suatu strategi disebut “viable” jika ada jaminan bahwa strategi itu akan benar-benar
mencapai tujuannya sehingga dijamin efektif. Suatu strategi disebut “feasible” kalu ia tidak
hanya efektif, tetapi juga mungkin untuk dijalankan karena cukup praktis dan biayanya tidak
terlalu besar. Ada 3 kelompok dalam pandangan ini. kelompok pertama memandang INGI
dalam wujudnya tidak lagi “viable” maupun “feasible”. Kelompok kedua memandang INGI
17
masih cukup viabel. Keompok ketiga menganggap INGI masih “variable” sekaligus
“feasible”.

Kebijakan pemerintah Orde Baru sangat dipengaruhi oleh aliansi kepentingan utama.
Karena itu, perubahan konstelasi kelompok kepentingan akan tercermin dalam perubahan
kebijakan. Penyebab dari suatu kebijakan harus dicari dalam dinamika pergulatan politik
diantara kelompok-kelompok kepentingan yang menjadi anggota aliansi utama. Negara Orde
Baru sebagai aktor yang otonom, tidak sekadar mencerminkan kepentingan kelas tertentu.
Kebijakan pembangunan sebenarnya tidak asli dari pemerintah Indonesia sendiri, kebijakan
itu dipaksakan pada Indonesia oleh para donor sebagai syarat untuk memperoleh bantuan
asing (discourse and power). Kebijakan pembangunan yang diterapkan dianggap berkaitan
erat dengan kepentingan individual penguasa untuk memaksimalkan pencapaian tujuan
sehingga bisa tetap berkuasa (political survival).

Dukungan terhadap suatu kebijakan pembangunan muncul dari adanya kepentingan


terhadap kebijakan itu. Teori pertama menekankan kepentingan kelompok, teori kedua
menekankan kepentingan negara, ketiga adalah kekuatan eksternal, dan yang terakhir
menekankan kepentingan individual pemimpin. Kalau memang persoalannya benar berkaitan
dengan ideologi, bukan semata-mata persoalan kepentingan, maka masa depan INGI akan
tergantung kemampuan para anggotanya untuk menangani persoalan nilai ini. yaitu seberapa
besar kemampuan mereka untuk merumuskan ideologi alternatif terhadap gagasan negara
kekeluargaan itu, atau seberapa jauh mereka bersedia melakukan akomodasi terhadap ideologi
yang dikembangkan oleh apra elit penguasa itu.

Bab 6 – Ekonomi-Politik Internasional, Komunikasi dan Pembangunan Dunia Ketiga

Proses informasi global menentukan konteks ekonomi-politik pembangunan di


Indonesia. untuk memahami dengan lebih baik proses tersebut, sangat perlu bagi kita untuk
menelaah karakteristik struktural komunikasi massa global.Karakteristik struktur media massa
internasional mirip dengan dua model yang dikembangkan Johan Galtung (1971), yaitu model
hubungan “dominance-dependence” atau imperialisme dan model “struktur interaksi
feodal”.Model hubungan dominance-dependence menunjukkan fenomena ketimpangan dalam
hubungan antar aktor, baik dalam arena internasional maupun lingkungan domestik. Model
struktur interaksi feodal menggambarkan struktur hubungan antar aktor dalam arena
internasional yang diwarnai oleh sifat desentralisasi, atau bahkan anarki, yaitu keadaan
dimana tidak ada pusat wewenang yang tunggal.Banyak bukti menunjukkan bahwa
18
karakteristik struktural proses informasi dunia menunjukkan adanya hubungan dominance-
dependence. Dan mereka datang dari negara-negara “center” yang menguasai pengembangan
teknologi informasi modern, termasuk komputer dan telekomunikasi. Betapa tergantungnya
media massa Dunia Ketiga pada kantor berita Barat dalam hal informasi dunia.

Konsekwensi dari fenomena itu adalah kecenderungan homogenisasi media cetak


global dalam hal peliputan kejadian. Media massa Dunia Ketiga juga cenderung memakai
media massa negara industri maju sebagai patokan prestasi. Topik-topik yang dipilih untuk
cenderung diliput meniru kebiasaan media massa asing itu. Homogenisasi media itu juga
nampak jelas dalam hal topik pemberitaan. Homogenisasi sedang berlangsung dalam media
cetak di seluruh dunia.Homogenisasi inilah yang menciptakan suasana dimana produsen dan
konsumen media massa di negara Dunia Ketiga berpikir sama sama seperti produsen dan
konsumen media di negara-negara Barat. Inilah yang disebut dengan imperialisme kultural.
Yaitu membanjirnya berita dari media massa asing ke negara-negara Selatan berakibat
ditimpakannya nilai berita asing pada rang-orang di negara itu. Mereka memandang dunia
melalui “kacamata Barat”. Media massa di Selatan bukan saja mirip dengan yang ada di
Barat, tetapi mereka juga mengikut saja apa yang dilakukan rekannya di negara-negara
industri maju.

Komunikasi internasional diwarnai oleh struktur arus berita yang neo-imperial. Empat
kantor berita raksasa mengendalikan sebagian besar berita internasional. Ini menjadikan
komunikasi internasional sebagai contoh utama struktur neo-kolonial dari hubungan
internasional.Ada 2 hal yang perlu kita perhatikan. Pertama, kenyataan bahwa proses produksi
dan difusi informasi iu juga melibatkan penyebaran nilai-nilai secara efektif. Nilai yang
mendominasi proses itu adalah nilai yang mendasari mekanisme bisnis internasional
kapitalisme-liberal. Logika dibalik proses informasi itu adalah logika produksi demi
keuntungan. Kedua, teknologi informasi yang memungkinkan proses proses informasi global
adalah teknologi yang sejak awal dirancang untuk mengendalikan unit-unit yang tersebar di
berbagai tempat. Proses informasi global yang semakn canggih dewasa ini menekankan dua
nilai penting : liberalisasi ekonomi kapitalis, dan sentralisasi dan pengendalian proses
pembuatan keputusan global.

Nilai-nilai yang berkembang di arena internasional itu ditransmisikan dengan efektif


ke arena domestik negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Fungsi media massa
sebagai pembentuk opini publik telah berfungsi dengan sangat baik sehingga dengan cepat
terjadilah homogenisasi nilai-nilai. Nilai-nilai kultural lokal dengan demikian diintegrasikan
kedalam nilai-nilai dunia maju; yang dengan begitu juga berarti sentralisasi nilai. Apa yang
19
menjadi “mode” di negara-negara maju, dengan segera menjadi bagian dari kultur lokal di
Dunia Ketiga.

Penentuan prioritas strategi pembangunan ekonomi selama Orde Baru bisa


digambarkan sebagai bandul jam bergerak dari satu sisi ke sisi lain lagi. Di masa awal Orde
Baru, sampai dengan pertengahan 1970-an, strategi tu diwarnai oleh “orientasi keluar”
mengintegrasikan ekonomi domestik ke dalam sistem internasional berdasar prinsip
“keunggulan komparatif”. Kelangkaan berbagai jenis sumberdaya di dalam negeri
menyebabkan upaya itu hampir “at all cost”.Nilai neo-konservativisme inilah yang mendasari
kegiatan pembentukan opini publik dunia oleh berbagai media massa internasional sejak
pertengahan 1980-an.

Bab 7 Ekonomi-Politik Pariwisata

Kebanyakan orang-orang dari negara maju menghabiskan liburan di negara-negara


dunia ketiga. Diharapkan ini dapat membawa hal baik. Namun ternyata tidak. Turisme
merusak kebudayaan lokal, meningkatkan prostitusi, mengganggu lingkungan, menimbulkan
inflasi; ini merupakan bentuk baru kolonialisme. Pertukaran luar negeri negara miskin hanya
mengandalkan komoditas, meskipun terjadi juga perubahan harga yang tidak stabil. Ketika
beralih di bidang manufaktur, produknya juga akan menghadapi hambatan proteksi.

Fenomena yang sangat menarik dalam hubungan internasional adalah arus perjalanan
manusia di seluruh dunia yang meningkat luar biasa sebagai akibat dari peningkatan
perjalanan antar negara untuk keperluan bisnis dan profesional, pariwisata, pertukaran pelajar,
maupun perpindahan pengungsi yang menghindari kericuhan politik di negerinya sendiri.
Akibatnya, manusia modern abad 20 ini mau tidak mau menjadi partisipan dalam jaringan
sosial yang jumlahnya jauh lebih banyak dan yang kegiatannya jauh lebih meluas dibanding
generasi manapun di abad lalu. Banyak diantara manusia modern sekarang menjadi
“pemotong garis perbatasan antarnegara”, yaitu orang yang melakukan perjalanan kesana-
kemari di dunia ini secara bebas, seolah-olah tidak ada perbatasan antarnegara.

Pariwisata menduduki peringkat ketiga dalam jajaran sektor ekspor dalam hal
perolehan devisa.Sebagai penghasil devisa bagi Dunia Ketiga, pariwisata menduduki
peringkat kedua sesudah minyak. Tetapi, berbeda dengan minyak yang dirundung mendung
akibat naik-turunnya harga, pariwisata masih terus berkembang. Belanja wisatawan
internasional akan terus meningkat dan sebagian besar akan dibelanjakan di negara-negara
Dunia Ketiga.Fenomena ini semakin menakjubkan kalau kita memerhatikan angka-angka
mengenai jumlah penerbangan internasional.
20
Kenyataan lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa pariwisata yang berkembang
sejak 1960-an nampaknya merupakan industri yang memang ditakdirkan untuk negara Dunia
Ketiga. Matahari yang melimpah di Dunia Ketiga merupakan asset penting di jaman orang
kulit putih menginginkan kulit coklat. Buruh murah yang disediakan negara-negara itu
menarik minat investor yang menghadapi persoalan meningkatnya upah buruh dan biaya
operasi di kota-kota besar negara-negara industri maju. Sisa-sisa peradaban masa lalu adalah
atraksi wisata yang sangat menarik.Persoalan jarak yang selalu menghambat pemasaran hasil
industri manufakturing negara-negara Dunia Ketiga ternyata juga tidak menghambat industri
pariwisata. Secara relatif, ongkos perjalanan udara semakin lama semakin terjangkau oleh
banyak orang, terutama dari negara industri maju.

Paling tidak sebelum pecah Perang Teluk II antara Amerika dan Irak, negara-negara
ASEAN menjadi tuan rumah wisatawan yang populer.Penggalakan program pariwisata yang
dilakukan pemerintah telah mendorong pertumbuhan yang cukup pesat.Ini sangat
berpengaruh pada peningkatan devisa yang diterima.Sub sektor pariwisata merupakan sumber
penghasil devisa terbesar keenam sesudah minyak bumi, gas, kayu, tekstil, dan karet.

Persoalan ekonomi dan politik

Literatur hubungan internasional menyediakan dua konsep. pertama, Hubungan


Internasional, menyatakan bahwa hubungan yang bermakna bukan hanya yang terjadi antar
bangsa, tetapi juga yang melibatkan mereka dengan swasta. Kedua, Ekonomi-Politik
Internasional, menekankan bahwa pemahaman yang lengkap mengenai hubungan
internasional mengharuskan kita untuk melihat fenomena domestik-internasional dan
ekonomi-politik dari satu perspektif.

Masalah pertama yang harus diperhatikan adalah siapa aktor yang berpengaruh
penting dalam industri ini. pengamatan selama ini menunjukkan bahwa pariwisata sebenarnya
adalah adalah bisnis yang tidak terkonsentrasi.Tidak ada satu perusahaan yang mendominasi
industri pariwisata dunia. Tetapi walaupun begitu, hampir semua aktor penting itu adalah
perusahaan multinasional asal negara-negara industri maju.Akibatnya, sebagian besar uang
yang dibelanjakan oleh para wisatawan mancanegara di Dunia Ketiga pada akhirnya kembali
juga ke negara-negara pemilik perusahaan-perusahaan itu.Semakin panjang jarak yang harus
ditempuh dalam suatu paket wisata, semakin besar komponen ongkos transport dalam
penentuan harga paket wisata itu. Alhasil, harapan untuk memperoleh devisa dipatahkan oleh
kenyataan kembalinya devisa itu ke negeri asalnya.

21
Dominasi aktor-aktor dari negara-negara industri maju dalam bisnis wisata ini juga
tampak dalam segi politik. Dalam jajaran industri internasional, industrialis yang menangani
pariwisata sangat istimewa karena seringkali berusaha mengatur perilaku pemerintah negara
sasaran kunjungan wisata dan mereka berhasil.Yang menarik adalah bahwa tidak ada industri
lain yang mampu memaksa negara tuan rumah untuk menuruti kemauan mereka seperti yang
dilakukan investor pariwisata itu.

Wewenang pemerintah negara-negara sasaran wisata itu juga semakin terganggu oleh
fenomena “tengkulak” dalam bisnis ini. posisi pemerintah sasaran tujuan wisata dalam
hubungan dengan operator wisata dan perusahaan penerbangan internasional tidak jauh beda
dengan posisi produsen makanan dengan toko pengecer yang menjual produknya. Para
konsumen sangat jarang tahu dengan tepat barang apa yang ingin mereka beli dan lebih suka
melihat-lihat dulu dalam toko yang menjajakan berbagai merek dagang atau berbagai tujuan.
Ini tentu saja membuat si tengkulak jadi sangat penting dalam proses itu karena pemilihan
tujuan wisata seringkali tergantung pada pilihan mereka diantara berbagai produk yang
tersedia dan ia pada akhirnya akan menjadi terlibat dalam pembuatan produk itu sendiri.

Dengan demikian, kekuatan perusahaan penerbangan dan aktor industri wisata


semakin meningkat karena ia bisa memanfaatkan posisi sentralnya dalam pasar untuk
melakukan diversifikasi secara vertikal, dengan demikian memperketat cengkeraman mereka
dalam bisnis itu dari awal sampai akhir.Jadi, persoalan negara tuan-rumah adalah bagaimana
menjamin agar devisa yang diterima dari bisnis pariwisata tidak akan terkirim balik ke negara
asal turis itu.

Jenis wisata khusus yaitu turis-migran, berpindahnya orang dari negara industri maju
ke wilayah khatulistiwa. Sebagian besar wisata memang pergi ke Dunia Ketiga dan kemudian
pulang ke negerinya.Jumlahnya selama ini mungkin tidak seberapa, tetapi pengaruh mereka
bisa berkembang besar. Mereka umumnya lebih kaya dari rata-rata penduduk aaasli, dan
kekayaan mereka bisa membeli kekuasaan. Mereka juga cenderung berada dalam satu
wilayah yang sama, sehingga memperkuat pengaruh itu. Bagi pemerintah lokal, ini sering
merepotkan. Kehadiran mereka mempersulit perilaku negara tuan-rumah dalam hubungan
internasional. Kalau mereka dianggap mendapat perlakuan buruk dari negara tuan-rumah,
pemerintah negara asalanya sering campur tangan. Di beberapa tempat, adanya turis
permanen ternyata juga menyebabkan terjadi gerakan pemisahan diri dari kekuasaan nasional.

Industri wisata bukan persoalan yang bisa dipandang secara hitam-putih. Banyak
nuansa yang harus dipertimbangkan.

22
KEKUATAN DAN KELEMAHAN BUKU

Kekuatan

Ekonomi politik internasional adalah sebuah kajian yang cukup menarik, memberikan
kita pemahaman tentang “apa, mengapa, dan bagaimana” sesungguhnya ekonomi politik
internasional dalam kedudukannya sebagai suatu ilmu pengetahuan dan peranannya dalam
suatu kajian studi internasional.
Buku ini mengkaji sejarah singkat perkembangan ekonomi politik internasional,
pengertian ekonomi itu sendiri, sejarah singkat pemikiran ekonomi politik perspektif
ekonomi, pendekatan-pendekatan ekonomi politik, system ekonomi politik dan perspektif
ekonomi politik internasional serta tentang globalisasi. Buku ini juga substansinya banyak
memberikan introduksi, deskripsi dan penjelasan mengenai konsep, teori, metode dan
pendekatan serta berbagai ilustrasi dari ekonomi politik internasional, mencakup pandangan-
pandangan ataupun pemikiran para ahli di bidangnya.
Menurut saya buku ini bagus dan menarik di baca karena buku ini menjelaskan secara
jelas dan lengkap tentang yang berhubungan dengan ekonomi politik internasional. Buku ini
membantu memberikan pemahaman yang gampang untuk di baca dan dimengerti serta
dengan mempunyai buku ini saja kita sudah dapat mengetahui tentang ekonomi politik
internasional secara keseluruhan sehingga tidak perlu mempunyai beberapa buku pegangan
lagi.

Kelemahan

Buku ini digunakan sebagai referensi beberapa buku lain, makalah dan artikel, serta buku
pegangan mahasiswa. Buku ini juga disusun oleh penulis beserta tim yang sangat
memperhatikan kaidah penggunaan aturan penulisan dalam bahasa Indonesia. Sehingga sudah
pasti bagi saya tak ada kekurangan dari konten maupun penulisan di buku ini.

23
KONTRIBUSI BUKU TERHADAP

STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

Ekonomi, yang pada umumnya dikenal sebagai ilmu yang erat kaitannya dengan uang
dan kegiatan finansial saja pada kenyataannya saat ini telah berkembang tidak hanya sebagai
studi khusus yang membahas dan mempelajari sistem keuangan saja. Dimensi ekonomi pada
kenyataannya selalu hadir dalam berbagai hal termasuk dalam hal politik, sehingga kemudian
mulai dikenal konsep ekonomi politik.  Ekonomi dan politik pada dasarnya merupakan dua
hal yang jelas terpisah, namun pada kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa keduanya
aspek tersebut saling mempengaruhi satu sama lain, pemerintahan jauh lebih banyak
dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dari apresiasi ilmuan politik, dan ekonomi lebih
banyak tergantung pada perkembangan sosial dan politik daripada ekonomi. Lantas apa itu
ekonomi politik? Millgate dan Newman (2009:22) mendefinisikan “political economy is the
science of wealth and deals with efforts made by man to supply wants and satisfy desires”.
Sedangkan Adam Smith, mendefinisikan ekonomi politik sebagai ilmu tentang bagaimana
mengelola sumber daya bangsa untuk menumbuhkan kemakmuran. Dalam bukunya “The
Wealth of Nations” (1776)  Adam Smith mengatakan bahwa ekonomi politik merupakan
sebuah cabang ilmu yang mengajarkan dan memandu  negarawan untuk mengelola
perekonomian secara bijaksana. Sedangkan John Stuart Mill mengatakan bahwa ekonomi
politik merupakan ilmu yang mengajarkan sebuah bangsa bagaimana menjadi kaya. ( Gilpin,
2001:25).  Secara umum, ekonomi politik dapat kita pahami sebagai sebuah studi mengenai
relasi antara negara dan pasar. Relasi atau hubungan yang meliputi regulasi atau hukum dan
mekanisme pasar, kebijakan publik, dan keberlangsungan pasar serta aksi politik dan aksi
ekonomi.

            Lebih jauh kemudian, ekonomi politik pun pada kenyataannya terus berkembang
seperti cabang-cabang ilmu lainnya. Ekonomi politik tidak hanya berkembang dalam lingkup
domestik suatu negara saja, namun ekonomi politik mulai berkembang dalam lingkup area
internasional yang mana kemudian kita kenal sebagai ekonomi politik internasional. Yang
mana mempelajari mengenai hubunggan atau  relasi antara ekonomi dan politik dalam area
yang lebih luas yakni dalam area internasional (Mochtar Mas’oed, n.d).  Pemikiran ekonomi
politik sendiri pada dasarnya telah berkembang sejak beberapa abad lalu. Kini aktualitas
ekonomi politik semakin kuat karena pada kenyataannya kehidupan ekonomi tak bisa

24
dipisahkan dari kehidupan politik. Demikian pula sebaliknya, keputusan politik banyak yang
berlatar belakang kepentingan ekonomi. Fenomena ini sangat kuat baik di negara maju
maupun negara berkembang. DR.Mohtar Mas’oed dalam bukunya Ekonomi Politik
Internasional (1990), mendefinisikan ekonomi politik internasional sebagai  sebagai studi
tentang saling hubungan antara ekonomi dan politik dalam arena internasional,yaitu
bagaimana soal-soal ekonomi seperti inflasi,defisit neraca perdagangan atau
pembayaran,penanaman modal asing, efisiensi produksi,dan sebagainya  berkaitan dengan
urusan politik internasional dan politik domestik. dalam pengertian yang lebih spesifik
disebutkan bahwa fokus perhatian ekonomi politik internasional adalah hubungan antara
dinamika pasar dengan domestik serta keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pasar itu
di tingkat domestik maupun internasional. Ini berarti bahwa studi ekonomi politik
internasional adalah studi tentang hubungan antara politik domestik di berbagai negara
dengan ekonomi internasional. Yang mana jika kita pahami dari definisi diatas, maka
ekonomi politik internasional setidaknya juga memiliki ruang lingkup dalam studinya di
hubungan internasional.  jika ekonomi pada dasarnya hanya mengutamakan hal-hal yang
berkaitan dengan efisiensi dan manfaat pertukaran ekonomi, ekonomi politik internasional
setidaknya tidak hanya terfokus pada subjek-subjek tersebut saja tetapi juga dalam isu-isu
yang lebih luas. Ekonomi politik internasional pada dasarnya sangat tertarik pada ilmu-ilmu
yang mempelajari distribusi keuntungan dari kegiatan pasar.

            Meskipun selama ini terdapat banyak keuntungan mutlak dari fungsi efisiensi pasar
internasional, pada kenyataannya keuntungan jarang didistribusikan secara merata diantara
semua pelaku ekonomi, dan negara pada umumnya lebih memperhatikan keuntungan relatif
mereka sendiri. Nah, dalam hal ini  pasar sebagai ekonom yang mengatur mekanisme mereka
secara mandiri cenderuung terisolasi dari urusan politik, berbeda dengan ekonomi politik
internasional yang tertarik pada kenyataan bahwa perekonomian dunia memiliki dampak yang
cukup besar pada power, nilai dan otonomi politik nasional masyarakat (Gilpin, 2001: 77).
Negara memiliki insentif yang kuat untuk mengambil tidakan yang melindungi nilai-nilai dan
kepentingan mereka sendiri terutama kekuasaan dan kebebasan bertindak, selain itu mereka
juga berusaha untuk memanipulasi kekuatan pasar untuk meningkatkan kekuasaan dan
pengaruh atas negara saingan atau untuk mendukung negara sahabat (Gilpin, 2001:77). Jika
para ekonomi dan analis ekonomi pada umumnya acuh tak acuh terhadap peran lembaga
dalam urusan ekonomi, para ahli ekonomi politik internasional justru lebih menaruh perhatian
pada sifat dari lembaga internasional dan pihak-pihak dalam rezim internasional yang
mengatur pasar internasional dan kegiatan ekonomi (Gilpin, 2001:77).

25
            Ketika ilmu ekonomi lebih menekankan pada alokasi efisien sumber daya yang langka
dan keuntungan mutlak dinikmati oleh semua orang dari kegiatan ekonomi tersebut, para
sarjana EPI justru menekankan konsekuensi distributif kegiatan ekonomi. Jika menurut
ekonomi pertukaran terjadi karena keuntungan bersama yang mana jika tidak pertukaran tidak
akan terjadi. Hal ini berbeda dengan negara yang berinterpretasi pada EPI, yang mana disisi
lain berpendapat bahwa pelaku ekonomi tidak hanya memperhatikan keuntungan mutlak
tetapi juga keuntungan relatif dari suatu hubungan ekonomi, yaitu bukan hanya untuk
keuntungan mutlak diri mereka sendiri tetapi juga ukuran relatif bagaimana memperkaya diri
dendiri dengan keuntungan dari aktor-aktor lain. Pemerintah kerap kali prigatin mengenai hal-
hal seperti perdagangan, distribusi keuntungan ekonomi dari investasi asing, dan khususnya
tingkat relatif pertumbuhan ekonomi antara ekonomi nasional, yang mana memang masalah
keuntungan relatif ini jarang jauh dari pikiran para pemimpin politik (Gilpin, 2001: 78).
Sejumlah ekonom politik sebenarnya telah banyak membahas masalah keuntungan mutlak
dibandingkan relatif dalam urusan internasional, dan perdebatan tersebut pada ahirnya
berpusat pada argumen Joseph Grieco yang menyatakan bahwa negara pada dasarnya lebih
perduli pada keuntungan relatif dibandingkan dengan keuntungan mutlak dan hal ini yang
keudian menciptakan kesulitan dalam emncapai kerjasama internasional (Gilpin, 2001:79).
Negara pada umumnya sangat tertarik dalam distribusi keuntungan-keuntungan yang
mempengaruhi kesejahteraan domestik, kekayaan nasional dan kekuatan militer.

            Salah satu tema dominand alam studi EPI dalah bentrokan terus menerus antara saling
ketergantungan ekonomi internasional dan keinginan masing-masing negara untuk
mempertahankan kemandirian ekonomi dan otonomi politik. Pada saat yang sama, negara
menyatakan ingin manfaat dari perdagangan bebas, investasi asing dan sejenisnya, mereka
jjuga ingin melindungi otonomi politik, nilai-nilai budaya dan sosial budaya. Bentrokan antara
saling ketergantunggan ekonomi dan teknis yang berkembang dari masyarakat nasional dan
kompartementalisasi berkelanjutan inilah yang kemudian membentuk motif dominan tulisan-
tulisan kontemporer tentang EPI. Dengan kekuatan pasar yang kuat dan mampu melompati
batas-batas politik dan mengintegrasikan masyarakat, pemerintah kemudian sering membatasi
dan menyalurkan kegiatan ekonomi mereka untuk melayani kepentingan masyarakat mereka
sendiri dan kelompok-kelompok kuat dalam masyarakat tersebut. Sedangkan logika pasar
adalah untuk mencari kegiatan ekonomi dimana pun mereka akan sangat efisien dan
menguntungkan, sedangkan logika negara adalah untuk mengontrol proses pertumbuhan
ekonomi dan akumulasi modal untuk meningkatkan kekuatand an kesejahteraan ekonomi

26
bangsa. Bentrokan tak terhindarkan antara keinginan pasar dan keinginan negara inilah pusat
atau konsern utama studi ekonomi politik internasional (Gilpin,2001:80-81)

           Studi mengenai hubungan antara politik yang memengaruhi ekonomi atau sebaliknya
semakin menarik minat para akademisi HI. Khusunya ketika melihat fonemena saat ini di
mana bisa dikatakan terjadi perang dagang antara negara-negara di dunia. Diantara motif
utamanya adalah akumulasi kapital dan tentunya menyebarkan pengaruh kepada negara-
negara partner dagang.

Dalam tulisan ini dibahas mengenai empat macam perspektif untuk menjelaskan
makna ekonomi politik internasional, yakni: merkantilis, liberalis, radikal, dan reformis. 
Tulisan ini diilhami dan disarikan dari buku Ekonomi-Politikan Internasional dan
Pembangunan karya Dr. Mochtar Mas’oed.

Perspektif Merkantilis

Perspektif ini memandang bahwa Negara menjadi actor utama yang secara aktif dan
rasional mengatur ekonomi demi meningkatkan kekuatan kekuasaan Negara.

Membangun suatu Negara bangsa yang kuat diperlukan akumulasi capital sebanyak-
banyaknya. Sehingga pembangunan ekonomi diprioritaskan. Apabila untuk memenuhi capital
yang diinginkan tersebut tidak bisa dicukupi dengan pemanfaatan sumber-sumber capital
dalam negeri, maka dilakukanlah perdaganagan internasional. Demi mendapatkan keuntungan
maksimal, maka pemerintah harus memainkan kebijaksanaan “nasionalis-ekonomis”. Yaitu
dengan (a) pemerintah mengendalikan (menekan) sepenuhnya harga barang dan gaji buruh,
sehingga bisa dijual dengan harga bersaing di pasar internasional, (b) menerapkan strategi
prduksi substitusi barang impor, (c) memaksimalkan ekspor dan meminimalkan impor.
Strategi ini juga bisa dilakukan oleh negera-negara yang lemah dengan alas an membiarkan
pasar bebeas berlaku, sementara posisi sendiri lemah, hanya akan menghancurkan diri sendiri.

Sistem merkantilis ini dalam praktiknya dijalankan oleh Negara-negara yang telah
lebih dahulu menjadi hegomonik, misal kebijakan Inggris pada abad18. Tujuannya adalah
untuk mencapai tujuan nasionalnya yakni mempertahankan dan memperbesar kekuatannya.
Namun pengikut paham ini juga memberikan kemungkinan Negara “baru”  untuk menang
dalam kancah persaingan internasional dengan syarat Negara tersebut menerapkan kebijakan
proteksionis dan aktif.

27
Dalam studi politik, pesrspektif ini dikenal sebagai realism politik. Kritik kepada
perspektif, baik merkantilisme maupun realism, adalah bahwa kedua perpektif ini terlalu
berlebihan dalam menekankan kepentingan nasional. Sehingga kepentingan global
terkorbankan. Para pengikut perspektif ini lupa bahwa di dunia ini, terdapat beberapa bidang
yang semua Negara memiliki kepentingan sama sehingga bisa dijadikan basis kerjasama. Para
pengkritik ini terutama datang dari kaum liberal.

Perspektif Liberal

Dipelopori oleh David Ricardo dan Adam Smith, mereka mengkritik pengendalian
ekonomi yang berlebihan oleh Negara. Perspektif liberal mengajukan argument bahwa cara
yang paling efektif untuk meningkatkan kekayaan suatu Negara adalaha dengan membiarkan
individu-individu di dalamnya secara bebas berinteraksi dengan para individu Negara lain.
Mereka menganjurkan pasar bebas.

Konsepsi liberal ini didasarkan pada gagasan mengenai kedaulatan pasar dalam
ekonomi, dengan mengasumsikan bahwa semua manusia secara alamiah memiliki keselarasan
kepentingan. Karena itu, kalau individu dibiarkan mengejar kepentingan masing-masing yang
didasarkan pada suatu pembagian kerja dan pada struktur atau komposisi factor-faktor
produksinya sendiri, maka kesejahteraan individu, nasional akan meningkat.

Perspektif ini mengasumsikan bahwa manusia selalu rasional dan berusaha


memaksimalkan perolehan. Rasional dalam artian kalkulalasi untung-rugi. Seorang actor demi
memperoleh perolehan maksimal pastinya melakukan kalkulasi untung-rugi tersebut,
sehingga keputusannya merupakan hal yang dianggap memenuhi kepuasan subjektif tertinggi.

Kaumliberal percaya bahwa dengan saling berinteraksinya Negara-negara melalui


perdagangan internasional, konflik bisa terhindarkan. Bahkan bisa membawa keuntungan
bersama sehingga kesejahteraan mereka akan meningkat.

Keputusan para pelaku ekonomi mengenai apa yang harus diproduksi dan dijual
berdasarkan pertimbangan keunggulan koparatif (comparative advantage). Yakni setiap
Negara harus memiliki spesialisasi dalam produksi barang sehingga memiliki keuntungan
komparatif (harga terendah, waktu produksi tercepat) tertinggi dari pada rekanan dagang yang
lain. Dan inilah yang dijadikan komoditas ekspor. Sedangkan Negara tersebut lebih baik
mengimpor barang-barang luar negeri yang memiliki posisi keuntungan komparatif lebih
baik. Sehingga dari sini efisiensi terjadi.
28
Peran Negara sangat terbatas pada penyediaan fondasi bagi bekerjanya system pasar,
seperti pembangunan infrastruktur, penegakkan hukum, menjamin keamanan, mencegah
persaingan tidak sehat, dan menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian, menurut
persektif liberal, ekonomi dan politik merupakan bidang yang terpisah.

Kritik untuk persektif ini adalah, (a) gagasan liberal hanya menguntungkan yang
paling efisien, yaitu si kuat, dan merugikan yang tidak efisien. Ditambah lagi dengan
kemampuan Negara-negara kuat untuk memiliki kualitas yang baik, harga rendah, produksi
cepat,mereka memiliki teknologi. Lebih lanjut industry yang menggunakan teknologi yang
canggih merupakan industry padat modal, sehingga tidak mempu menyerap banyak tenaga
kerja, (b) liberalism juga mengingkari fakta bahwa semua bangsa memiliki kemampuan yang
sama untuk berkompetisi.  Padahal faktanya kita menemukan “ketimpangan relasional”
bangsa-bangsa.

Perspektif Radikal

Basis pokok perspektif ini adalah gagasan Marxisme. Sementara perspektif liberal
memandang pasar bisa memungkinkan individu memaksimalkan perolehan, kaum Marxis
meilhat kapitaslisme dan pasar telah menciptakan kekayaan untuk kepitalis dan kemiskinan
untuk kaum buruh. Perpektif ini memiliki tujuan kegiatan ekonomi (dan politik) untuk
redistribusi kekayaan dab kekuasaan.

Kaum radikal membuat beberapa asumsi berikut. Pertama, bahwa kelas social adalah
actor dominan dalam ekonomi dan politik. Kedua, bahwa kelas-kelas tersebut bertindak
berdasarkan kepentingan materiil mereka. Ketiga. Bahwa basis dari ekonomi kapitalis adalah
eksploitasi kelas buruh oleh kapitalis. Asumsi ketiga ini membawa kesimpulan bahwa
baginya, buruh dan kapitalis merupakan dua actor antagonis.

Namun dalam perspektif ini juga ditemukan beberapa kelemahan: (a) terlalu
menekankan kelas sebagai variabel penyebab kegiatan ekonomi, (b) argument radikal sering
tidak tampak realistic, missal anjuran bagi Negara berkembang untuk keluar dari kegiatan
perdagangan internasional.

Perspektif Reformis

Perspektif ini mengusung konsepsi Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB), muncul
sebagai kritik atas ketiga perspektif di atas. Mereka tidak setuju dengan penekan berlebihan

29
kaum liberal terhadap pertimbangan efisiensi sehingga merugikan actor yang lebih lemah.
Mereka tidak setuju dengan kaum radikal untuk melakukan perubahan revolusioner
menentang system kapitasis. Karena mereka lebih percaya pada reformasi struktur hubungan
internasional Dan walaupun mereka setuju dengan gagasan merkantilis mengenai peran aktif
Negara dalam urusan ekonomi internasional, mereka lebih bersikap internasionalis daripada
nasionalis.

Yang penting bukannya meninggalkan arena internasional dan menutup diri, terapi
berusaha menciptakan suatu tatanan baru sehingga lebih adil. Agar efektif, harus terjadi
kerjasama semua Negara Kurang Berkembang (NKB) melalu mekanisme collective self-
relience dan collective bargaining.

Namun tetap saja, perspektif ini pun memiliki beberapa kelemahan. (a) Apakah para
pemimpin NKB, dengan system pemerintahan yang berbeda-beda, mau saling bekerjasama?,
(b) Apakah mereka punya cukup ”senjata” untuk melakukan bargaining. (c) Apakah Negara-
negara kaya mau begitu saja dipaksa menyerahkan kekayaannya kepada Negara miskin?

Demikianlah keempat perspektif yang sangat berpengaruh dalam perdebatan mengenai


Ekonomi-Politik Internasional.

Demikian, walau kerap kali dikaitkan antara ekonomi politik internasional dan
ekonomi politik, setidaknya keduanya memiliki beberapa perbedaan. Fokus perhatiann dari
masing-masing konsep tersebut misalnya, pada ekonomi politik internasional, Organisasi
yang berkaitan dengan perekonomiann internasional menjadi fokus dari kegiatan
perekonomian antar negara sedangkan pada ekonomi politik, pengusaha-pengusaha dalam
suatu negara yang menjadi fokus dari kegiatan perekonomian nasional suatu negara. Dalam
ekonomi politik, membahas tentang interaksi pasar dengan aktor-aktor yang berkuasa seperti
para pengusaha di suatu negara misalnya, sedangkan pada ekonomi politik internasional lebih
membahas mengenai dinamika pasar dengan domestik serta keputusan-keputusan yang
berkaitan dengan pasar itu di tingkat domestik maupun internasional. dengan demikian maka
dapat disimpulkan bahwa ekonomi politik internasional atau yang biasa kita kenal denga
istilah EPI merupakan studi yang berasal atau berakar dari ilmu ekonomi dimana studi ini
kemudian memiliki kaitan erat dengan ilmu politik, yang mana dalam pembahasannya EPI
mencoba mempelajari keterkaitan antara ekonomi dan politik dalam hubungan antar negara,
hal ini dikarenakan dalam konteks internasional, kedua konsep tersebut baik ekonomi maupun
politik saling mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan antar negara.

30
31

Anda mungkin juga menyukai