Anda di halaman 1dari 220

KEAMANAN

ASIA TIMUR
REALITAS, KOMPLEKSITAS DAN
RIVALITAS

M Najeri Al Syahrin 1
KEAMANAN
ASIA TIMUR

REALITAS, KOMPLEKSITAS
DAN RIVALITAS
Keamanan Asia
Timur
REALITAS, KOMPLEKSITAS DAN
RIVALITAS
Penulis:
M Najeri Al Syahrin

Cetakan 1, November 2018


ISBN: 978-602-6723-37-6

Penerbit :
Komojoyo Press
Jl. Komojoyo 21A, RT 11 RW4, Mrican
Caturtunggal, Depok, Sleman 55598
Untuk :

Mama & Abah

Nasir dan Riyad


DAFTAR ISI

PRAKATA .............................................................. 1
BAB I
REALITAS KEAMANAN ASIA TIMUR ............ 6
BAB II
PERSEPSI, DILEMA DAN KOMPLEKSITAS
KEAMANAN KAWASAN ..................................... 20
2.1 Persepsi dan Hubungan
Keamanan Antarnegara di Kawasan
Asia Timur .........................................................21
2.2 Logika Dilema Keamanan Asia Timur ....... 39
2.3 Kompleksitas Keamanan Kawasan ............. 46
Asia Timur
BAB III
ALIANSI MILITER DAN
PENINGKATAN ANGGARAN
MILITER NEGARA-NEGARA KAWASAN ...... 57
3.1 Aliansi Militer Negara-Negara
Kawasan Asia Timur .........................................57
3.2 Peningkatan Anggaran
Militer Negara-Negara Kawasan .......................74
BAB IV
ANARKISME DAN TANTANGAN
KERJA SAMA KAWASAN ...................................89
4.1 Anarkisme dan Peluang Kerja Sama
Keamanan di Kawasan ................................... 91
4.2 Kompleksitas Keamanan Kawasan
Sebagai Tantangan Utama
dalam Pembentukan Kerja Sama Kawasan .......102
BAB V
NUKLIR KOREA UTARA
DAN INTERVENSI NEGARA
ADIDAYA DI KAWASAN...................................... 117
5.1 Refleksi Kebijakan Keamanan
Amerika Serikat Era Clinton, Bush,
dan Obama .........................................................121
5.2 Amerika Serikat, Cina dan
Aliansi Trilateral ............................................... 125
5.3 Donald Trump dan Reorientasi
Kebijakan Keamanan Amerika Serikat ............. 134
BAB VI
RIVALITAS KEAMANAN NEGARA
ADIDAYA ................................................................ 155
6.1 Rivalitas Keamanan Negara Adidaya ......... 158
6.2 Paradoks Kebijakan dan Upaya

Harmonisasi ....................................................... 165

6.3 Geostrategi dan Geoekonomi

Negara Adidaya di Asia Timur ....................... 173

BIBLIOGRAHPY ................................................... 190

BIOGRAFI PENULIS ............................................ 210


Keamanan Asia Timur

Prakata

Alhamdulilah, syukur selalu penulis ucapkan atas


terbitnya buku ini. Buku ini disusun berdasarkan hasil
penelitian Tesis dan penelitian lanjutan dalam artikel jurnal
nasional dengan berbagai perubahan yang menyesuaikan.
Struktur penulisan buku ini juga disusun agar lebih mudah
dibaca dan mampu menjadi referensi yang sesuai dengan
kaidah dan etika akademik.
Karya sederhana ini merupakan upaya penulis untuk
mengupas dan menganalisis berbagai problematika dan
kompleksitas keamanan di kawasan Asia Timur. Kawasan Asia
Timur merupakan pusat gravitasi keamanan global, kawasan ini
merupakan salah satu kawasan paling strategis di dunia.
Keamanan Asia secara umum sangat ditentukan oleh
bagaimana dinamika dan interaksi keamanan di kawasan ini.
Kawasan Asia Timur juga merupakan salah satu kawasan di
Asia yang paling dinamis pertumbuhan ekonominya. Utamanya
pertumbuhan ekonomi Cina. Posisi strategis tersebut
menjadikan Asia Timur menjadi pusat aktivitas yang penting
dalam percaturan politik global. Posisi strategis tersebut tentu

M Najeri Al Syahrin | 1
Keamanan Asia Timur

akan mengakibatkan konstelasi konflik serta kerja sama yang


tidak hanya melibatkan negara di kawasan tetapi juga
melibatkan superpower state di luar kawasan. Bagaimana
negara-negara di kawasan ini bekerja sama menjaga kestabilan
dan upaya meredam konflik kawasan dan berbagai dinamika
keamanan lain tentu saja sangat menarik untuk dibahas.
Buku ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan
bagaimana kompleksnya relasi keamanan antarnegara di
kawasan Asia Timur yang kemudian menjadi semakin rumit
dengan intervensi Amerika Serikat yang berlangsung sejak
akhir Perang Dunia II. Dalam buku ini terungkap bagaimana
relasi keamanan dan persepsi dilema negara kawasan. Sejumlah
fakta terkait dengan peningkatan anggaran militer, aliansi
keamanan, anarkisme kawasan sampai dengan geostrategi dan
geoekonomi negara adidaya disajikan dengan jelas dan saling
terkait satu sama lainnya. Temuan tersebut memberikan
perspektif baru bagaimana kita harus memahami tentang
realitas keamanan Asia Timur yang juga merupakan katalisator
keamanan Asia secara umum.
Buku ini dimulai dengan pembahasan tentang realitas
keamanan yang kemudian dilanjutkan dengan analisis tentang

M Najeri Al Syahrin | 2
Keamanan Asia Timur

persepsi, dilema dan kompleksitas keamanan kawasan Asia


Timur dalam Bab I dan Bab II. Bab III dalam buku ini
membahas tentang aliansi militer dan peningkatan anggaran
militer negara-negara kawasan. Pembahasan mengenai
anarkisme dan tantangan kerja sama kawasan, nuklir Korea
Utara dan intervensi negara adidaya di kawasan dibahas secara
berturut-turut dalam bab IV dan Bab V. Selanjutnya sebagai
penutup Bab VI membahas tentang rivalitas keamanan negara
adidaya termasuk pembahasan didalamnya tentang geostrategi
dan geoekonomi negara adidaya di Asia Timur.
Buku ini juga diharapkan mampu menarik minat bagi
para penstudi HI (Mahasiswa, Dosen dan Peneliti) untuk
menjadikan kawasan Asia Timur merupakan salah satu
kawasan yang selalu dibahas dalam diskusi akademik, secara
khusus dalam isu keamanan. Diharapkan hadirnya buku ini
mampu menjadi ‘pintu masuk’ untuk diskusi tentang keamanan
Asia Timur selain tentunya penulis juga berharap bisa
menambah khazanah keilmuan keamanan kawasan dan studi
Asia Timur di Indonesia.
Terbitnya buku ini karena bantuan berbagai pihak. Secara
khusus penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

M Najeri Al Syahrin | 3
Keamanan Asia Timur

personal kepada Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, MA. (IR) dari


Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
dan Dr. Surwandono S.Sos. M.Si dari Magister HI UMY atas
segala sumbangsih pemikiran, kritikan, masukan, saran sampai
dengan motivasi akademik sehingga buku ini bisa terselesaikan.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Universitas
Muhammadiyah Kalimantan Timur, Prodi HI Universitas
Muhammadiyah Kalimantan Timur, para kolega, para
mahasiswa yang mengambil studi keamanan dengan antusias.
Terima kasih juga kepada Pusat Penerbitan Ilmiah (PPI) UMKT
yang berkenan mendukung pendanaan bagi publikasi buku ini.
Akhirnya, Penulis juga menyadari buku sederhana yang
ditulis ini banyak sekali kekurangan, kelemahan dan
ketidaksempurnaan kalimat dan analisisnya. Saran dan masukan
konstruktif sangat penulis harapkan untuk perbaikan kedepan.
Terima kasih, semoga bermanfaat.
Banjarmasin, 4 November 2018

Penulis,
M Najeri Al Syahrin

M Najeri Al Syahrin | 4
Keamanan Asia Timur

M Najeri Al Syahrin | 5
Keamanan Asia Timur

BAB I
REALITAS KEAMANAN ASIA TIMUR
****
Sistem internasional pasca Perang Dingin mengalami
transformasi dari bipolaritas (Amerika Serikat dan Uni Sovyet
sebagai kutub-kutubnya) menjadi multipolaritas (kekuatan yang
sama di antara negara-negara dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai payung universal) atau
unipolaritas (Amerika Serikat sebagai adidaya yang masih
menentukan berbagai keputusan dalam tataran internasional)
(Nuraeni 2010, 22). Berakhirnya Perang Dingin memunculkan
kondisi ketidakstabilan sistem internasional yang diwarnai oleh
kejahatan internasional seperti terorisme, penyeludupan
manusia, senjata, kejahatan lingkungan, kejahatan hak asasi
manusia, proliferasi senjata pemusnah massal, dan
berkembangnya isu keamanan internasional dan regional
(Agung & Muhamamd 2006, 12).
Asia Timur juga terpengaruh oleh ketidakstabilan sistem
internasional. Keadaan kawasan Asia Timur sampai saat ini
masih tidak kondusif, konfrontasi di Semenanjung Korea, dan
Jepang yang memilih untuk tetap menjadi mitra keamanan

M Najeri Al Syahrin | 6
Keamanan Asia Timur

Amerika Serikat semakin menambah kompleksitas keamanan


kawasan Asia Timur. Cina juga lebih bebas melakukan kegiatan
politik keamanannya. Semua hal ini mendorong negara-negara
di kawasan Asia Timur untuk lebih memikirkan urusan
keamanan kawasan dan mulai mengarahkan perhatian kepada
perkembangan keadaan sekitar yang dianggap dapat menjadi
sumber ancaman dan mencari cara untuk mengatasinya. Jepang
memilih untuk tetap menjadi mitra keamanan Amerika Serikat,
konfrontasi antara Korea Utara dan Korea Selatan terus terjadi,
dan peningkatan kekuatan militer Cina dianggap semakin
menambah kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur
(Agung & Muhamamd 2006, 144).
Sejarah Perang Dingin masih membekas dan memberikan
suatu kondisi di mana rivalitas antarnegara dalam kawasan
tertentu masih berlangsung. Di Asia Timur, dinamika keamanan
kawasan umumnya berkisar pada tiga isu utama: masalah
Jepang dengan negara-negara tetangganya, ketegangan
hubungan antara Cina dan Jepang, dan perang yang tidak
kunjung selesai antara dua negara di Semenanjung Korea.
Potensi konflik kawasan dirasakan oleh negara-negara Asia
Timur sebagai ancaman yang besar. Oleh karena itu,

M Najeri Al Syahrin | 7
Keamanan Asia Timur

negara-negara di Asia Timur berusaha untuk terus memajukan


pertahanan nasional masing-masing dengan meningkatkan
kekuatan militer dan kapabilitas persenjataan (Buzan & Waever
2003, 152).
Faktor yang paling fundamental dalam konteks ini adalah
bahwa negara merupakan organisasi politis yang berdasarkan
wilayah tertentu. Lokasi negara mempengaruhi perilakunya
terhadap negara lain dan batas-batasnya menetapkan wilayah
yang biasanya diakui sebagai bagian yang ia kontrol.
Hubungan-hubungan hukum di antara negara-negara
merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi cara
negara berurusan satu sama lain (Russet 1992, 226). Isu-isu
yang mengancam kelangsungan hidup suatu unit kolektif
tertentu akan dipandang sebagi ancaman yang eksistensial.
Untuk itu, diperlukan tindakan untuk memprioritaskan dan
menggunakan sarana-sarana yang ada untuk menangani
masalah isu tersebut sesegera mungkin, termasuk meningkatkan
kekuatan militer (Buzan 1991, 2-3).
Konflik bersenjata mempunyai efek langsung dan nyata
dalam peningkatan anggaran serta pengeluaran belanja militer
suatu negara. Konflik bersenjata tidak harus selalu diartikan

M Najeri Al Syahrin | 8
Keamanan Asia Timur

sebagai pertempuran antarnegara secara terbuka, tetapi juga


dapat dimaknai sebagai perlombaan senjata, konflik wilayah,
ancaman kekuatan militer suatu negara yang kemudian dapat
disebut sebagai non-combat conflict (Smith 1989, 346).
Peningkatan anggaran militer suatu negara, termasuk Cina,
dapat dipengaruhi oleh faktor keamanan baik di ruang lingkup
global maupun regional. Pada tahun 2018, anggaran belanja
pertahanan Cina sudah mencapai angka sekitar $174 milyar,
meningkat 8,1 % dari tahun 2017 (CSIS 2018).
Peningkatan ini dilakukan Cina untuk merespon
ketegangan di kawasan Asia Timur dan Laut Cina Selatan.
Kebijakan pemerintah Cina untuk menaikkan anggaran
pertahanan telah menarik perhatian dunia internasional dan
menimbulkan kecemasan sejumlah negara. Negara-negara di
kawasan Asia Timur sangat serius dalam melihat
perkembangan militer Cina. Mereka terus menekan program
pengembangan militer Cina dengan kritik bahwa jumlah
anggaran militer Cina yang besar dapat memicu instabilitas
kawasan serta menyulut kemarahan negara-negara di Asia
Timur yang dapat mengakibatkan terjadinya perang (Purwanto
2010, 3).

M Najeri Al Syahrin | 9
Keamanan Asia Timur

Menurut konsep balance of power, kemunculan kekuatan


yang dominan potensial di kawasan cenderung akan membuat
tatanan sistem menjadi tidak stabil. Hal ini kemudian
menyebabkan tindakan penyeimbangan kekuatan oleh
negara-negara lain dalam sistem. Terdapat dua kemungkinan
utama yang muncul atas kondisi ini, yaitu negara-negara di
kawasan akan bergabung dengan kekuatan dominan
(bandwagoning) atau membentuk aliansi baru untuk
mengimbangi kekuatan yang ada (balancing) (Walt 1985, 4).
Dalam kasus kawasan Asia Timur, terlihat potensi Cina sebagai
kekuatan global baru di kawasan. Cina diprediksi akan
menunjukkan kebijakan-kebijakan luar negeri asertif dengan
dukungan kapabilitas kekuatan militer dan ekonomi. Ini
menimbulkan kekhawatiran sejumlah negara di Asia Timur
yang segera merasa perlu menjaga stabilitas keamanan
domestik mereka.
Kompleksitas dan rivalitas keamanan kawasan Asia
Timur, khususnya antara Cina dengan Jepang, Korea Utara dan
Korea Selatan, menjadi sangat menarik. Keempat negara ini
memegang peranan kunci dalam stabilitas kawasan dilihat dari
kapabilitas militer yang mereka miliki dan daya tawar politik

M Najeri Al Syahrin | 10
Keamanan Asia Timur

masing-masing. Kondisi ini menyebabkan terjadinya security


dilemma, yaitu kondisi di mana keinginan suatu negara untuk
memperkuat militer dianggap sebagai ancaman sehingga
menimbulkan respon negara lain juga dengan memperkuat
militer yang dimiliki. Akhirnya terjadi perlombaan senjata yang
berasal dari saling curiga antarnegara di kawasan (Waltz 1979,
118).
Buku ini akan menjelaskan tentang realitas, kompleksitas
dan rivalitas keamanan di kawasan Asia Timur. Aspek-aspek
tersebut di uraikan dengan menjelaskan hubungan antara Korea
Utara dan Korea Selatan, Cina dan Amerika Serikat, Jepang dan
Amerika Serikat, Taiwan dengan Cina, Cina dengan Jepang
serta pola aksi-reaksi atas berbagai kebijakan dari
negara-negara tersebut. Deskripsi dan analisis dalam buku ini
secara umum akan banyak menggunakan teori kompleksitas
keamanan kawasan. Keamanan kawasan adalah suatu kondisi
yang terbentuk dari pola hubungan amity (persahabatan) dan
enmity (permusuhan) yang merupakan efek perseteruan di masa
lalu (faktor sejarah), geopolitik, dan interaksi antarnegara dalam
suatu ruang lingkup atau area yang terbatas. Barry Buzan dan
Ole Waever mendefinisikan kompleksitas keamanan kawasan

M Najeri Al Syahrin | 11
Keamanan Asia Timur

sebagai sebuah kelompok negara dalam suatu kawasan tertentu,


di mana fokus utama dari aspek keamanan berhubungan erat
dan terikat antara satu negara dengan yang lainnya (Buzan &
Waever 2003, 44). Buzan dan Waever menulis:
The central idea in Regional Security Complexs is that, since
most threats travel more easily over short distances than long ones,
security interdependence is normally into regionally based clusters:
security complexes … Process of securitization and thus the degree of
security interdependence are more intense between actors inside such
complexes than they are between actors inside the complex and
outside of it (Buzan & Waever 2003, 3-4).

Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa dalam situasi


tertentu ancaman akan selalu ada, baik dalam skala jarak dekat
maupun jarak jauh. Interdependesi keamanan dalam suatu
kawasan akan selalu terjadi sehingga keamanan menjadi
semakin kompleks. Ini menyebabkan meningkatnya intensitas
hubungan keamanan negara-negara yang terlibat, baik secara
langsung di dalam maupun di luar kompleksitas keamanan yang
ada.
Dalam mendefinisikan region dalam pengertian teori
kompleksitas keamanan kawasan, Buzan dan Waever lebih
melihat bahwa definisi region didasarkan pada jangkauan
pengaruhnya terhadap sebuah isu keamanan (Buzan 1991, 4).

M Najeri Al Syahrin | 12
Keamanan Asia Timur

Secara tidak langsung, region dalam konsep Buzan dan Waever


bukanlah region yang berarti teritori saja, tetapi juga
merupakan konsep kawasan atau sekumpulan unit yang
memiliki proses sekuritisasi, desekuritisasi dan interaksi antara
keduanya yang saling terhubung. Konsep ini pada akhirnya
menyakini bahwa masalah keamanan negara-negara dalam
kawasan tertentu tidak dapat dianalisis secara terpisah (Lake &
Morgan 1997, 20).
Secara singkat, teori kompleksitas keamanan kawasan
berfokus pada unsur-unsur penting dalam pembentukan
kompleksitas keamanan dalam kawasan tertentu. Buzan dan
Waever berpendapat bahwa saling ketergantungan dan
hubungan keamanan antarnegara dalam kawasan tertentu terjadi
karena beberapa faktor seperti geografis, etnisitas, dan budaya
masyarakat di suatu wilayah yang kemudian akan menimbulkan
kompleksitas keamanan kawasan. Secara khusus, ini akan
mempengaruhi perkembangan ekonomi dan sistem politik yang
akhirnya akan menimbulkan saling ketergantungan antarnegara
dan akan bermuara pada munculnya sistem pertahanan
keamanan kawasan (Buzan & Lemaitre 1990, 34).

M Najeri Al Syahrin | 13
Keamanan Asia Timur

Terbentuknya pola ketergantungan antarnegara dalam


kompleks keamanan kawasan tidak secara langsung
menghilangkan hubungan yang selalu diwarnai persaingan dan
kecurigaan, perimbangan kekuatan, aliansi kekuatan, dan
masuknya kekuatan eksternal (Buzan &Waever 2003, 47).
Terdapat empat hal yang menjadi pembentuk struktur dasar dari
kompleksitas keamanan kawasan, yaitu kedekatan geografis,
anarkisme kawasan, polaritas kekuatan, dan konstruksi sosial
berupa amity dan enmity. (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Kompleksitas keamanan kawasan

Sumber: Buzan &Waever 2003, 53.

M Najeri Al Syahrin | 14
Keamanan Asia Timur

Gambar di atas menjelaskan tentang aspek-aspek yang


terbentuk dalam kompleksitas keamanan kawasan yang saling
berhubungan dan memberikan aksi-reaksi dan timbal balik.
Kedekatan geografis merupakan tempat di mana hubungan
keamanan di antara negara terbentuk dan saling memiliki
keterikatan. Ancaman akan terasa semakin besar karena faktor
kedekatan jarak. Di kawasan Asia Timur, letak geografis Cina,
Taiwan, Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang sangat dekat.
Posisi perbatasan ini menjadi tempat yang sangat potensial
untuk terjadinya konflik bersenjata. Anarkisme kawasan
mengakibatkan minimnya dialog dan proses komunikasi dalam
bentuk kerja sama atau perjanjian bilateral maupun multilateral
sehingga mengakibatkan tingginya kecurigaan. Anarkisme
kawasan juga ditunjukkan dengan tidak adanya otoritas yang
berwenang dalam proses penyelesaian secara damai apabila
terjadi konflik di antara negara-negara kawasan Asia Timur.
Polaritas kekuatan menunjukkan distribusi kekuatan yang
tidak merata di antara negara-negara di kawasan. Polaritas di
Asia Timur terlihat jelas ketika dukungan Amerika Serikat
terhadap Korea Selatan, Taiwan dan Jepang menjadikan Korea
Utara dan Cina berupaya mengandalkan dan meningkatkan

M Najeri Al Syahrin | 15
Keamanan Asia Timur

kekuatan untuk bisa mengimbangi mereka. Polaritas yang tidak


seimbang ini akan berimplikasi pada pembentukan poros negara
militer lemah dan negara militer kuat, di mana negara militer
lemah pada akhirnya cenderung sangat rentan akan ancaman
dari negara militer kuat.
Konstruksi sosial yang diperlihatkan melalui pola
persahabatan dan permusuhan mendasari terbentuknya
keamanan kawasan karena akan berujung kepada formulasi
kedekatan negara dalam suatu kawasan. Kondisi keamanan di
kawasan menjadi kompleks karena faktor kedekatan geografis
dan keamanan nasional suatu negara yang dihasilkan atas dasar
persepsi terhadap keamanan nasional negara lain (Buzan
&Waever 2003, 190). Pola persahabatan terlihat antara Korea
Utara dengan Cina, di mana kerja sama ekonomi dan
infrastruktur di berbagai bidang mulai dilakukan secara
bertahap sejak tahun 2000. Cina juga secara rutin memberikan
bantuan ekonomi, pangan dan kemanusiaan kepada Korea
Utara. Cina adalah investor asing terbesar di Korea Utara.
Dalam bidang transportasi sebagai sarana infrastuktur industri,
misalnya, Cina telah mengeluarkan biaya sekitar $23,7 juta
(Nam 2010, 6).

M Najeri Al Syahrin | 16
Keamanan Asia Timur

Pola persahabatan dan permusuhan ini memicu


keterlibatan pihak eksternal, yakni Amerika Serikat, dalam
aliansi pertahanan dengan Jepang dan Korea Selatan di
kawasan Asia Timur. Hubungan antarnegara dalam
kompleksitas keamanan selalu diwarnai oleh persaingan dalam
perimbangan kekuatan, aliansi keamanan, serta masuknya
kekuatan eksternal. Keterlibatan pihak eksternal bisa
mengambil bentuk masuknya negara luar ke dalam wilayah
kawasan ketika terjadi konflik ataupun dibangunnya suatu kerja
sama atau aliansi antara negara luar dengan satu atau beberapa
negara dalam kawasan (Buzan &Waever 2003, 47).
Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang terdiri
dari empat aspek utama berupa kedekatan geografis, anarkisme
kawasan, polaritas kekuatan dan konstruksi sosial yang
diperlihatkan melalui pola persahabatan dan permusuhan
menyebabkan terjadinya dilema keamanan ketika satu atau
sekelompok negara meningkatkan kapabilitas dan kemampuan
militer demi tujuan keamanannya dengan mengurangi tingkat
keamanan negara lainnya di sekitarnya (Jervis 1978, 169).
Keadaan dilematis tersebut ditandai dengan adanya aliansi
militer dan peningkatan anggaran militer negara yang pada

M Najeri Al Syahrin | 17
Keamanan Asia Timur

akhirnya menciptakan kompleksitas keamanan. Ketika suatu


negara mengalami perasaan takut dan terancam, secara tidak
langsung negara tersebut akan berupaya guna melindungi
kepentingan nasional akibat adanya ancaman dari aliansi militer
dan peningkatan kekuatan militer negara lain. Bentuk
aksi-reaksi yang bisa dilakukan ketika terjadi dilema keamanan
adalah melakukan kerja sama atau aliansi keamanan apabila
suatu negara tidak mampu meningkatkan kapabilitas militernya
sendiri (Jervis 1978, 167-169).
Munculnya rasa saling memusuhi juga dipengaruhi oleh
faktor sejarah yang kental. Faktor ini bisa membawa sentimen
negatif ke arah permusuhan. Kompleksitas keamanan
merupakan sebuah fenomena empirik yang didasarkan kepada
faktor sejarah, kedekatan kondisi geografis dan perwujudan dari
hasil interaksi antarnegara. Unsur-unsur ini memiliki posisi
yang sejajar dan saling melengkapi, mereka dapat diposisikan
sebagai unit penjelas bagi hubungan yang terjadi di suatu
kawasan tertentu.
Selain itu, dalam teori kompleksitas keamanan kawasan
terdapat dua variabel yang saling mempengaruhi, yaitu variabel
internal dan variabel eksternal. Variabel internal diukur dengan

M Najeri Al Syahrin | 18
Keamanan Asia Timur

menggunakan indikator letak geografis, interaksi antarnegara,


serta kesamaan sistem budaya, ekonomi, sosial dan politik
negara-negara dalam kawasan (Buzan & Waever 2003, 190).
Sementara itu, variabel eksternal di sini berupa lingkungan
internasional di sekitar negara-negara yang berada dalam
kompleks keamanan kawasan. Selain kondisi keamanan di
kawasan Asia Timur, yang perlu diperhatikan juga adalah
isu-isu yang sedang berkembang. Korea Utara menyakini
bahwa aliansi pertahanan AS dengan Jepang dan kedekatan
Amerika Serikat dengan Korea Selatan merupakan ancaman
terhadap keberadaan Korea Utara.
Setelah uraian dan deskripsi tentang realita keamanan dan
pola hubungan strategis antarnegara di kawasan Asia Timur,
pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang kompleksitas,
persepsi dan dilema keamanan negara-negara Asia Timur.

****

M Najeri Al Syahrin | 19
Keamanan Asia Timur

BAB II
PERSEPSI, DILEMA DAN KOMPLEKSITAS
KEAMANAN KAWASAN
****

Bab ini akan membahas tentang persepsi, hubungan,


dilema keamanan serta kompleksitas keamanan kawasan Asia
Timur. Asia Timur merupakan kawasan yang terdiri dari
Republik Rakyat Cina, Taiwan, Mongolia, Jepang, Korea Utara,
dan Korea Selatan. Penelitian ini hanya difokuskan kepada lima
negara saja, yaitu Cina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan
Korea Utara. Alasan utamanya adalah karena kelima negara ini
memiliki pengaruh kuat di kawasan tidak hanya dalam bidang
perekonomian, tetapi juga dari kekuatan dan peran militernya.
Selain itu, lima negara ini juga memiliki kebijakan keamanan
yang saling berkaitan satu sama lain. Pembahasan tentang
kompleksitas keamanan kawasan tersebut dilakukan dengan
memberikan deskripsi tentang persepsi dan hubungan
antarnegara di kawasan Asia Timur. Tetapi, akan diuraikan
terlebih dahulu permasalahan dalam interaksi negara
antarkawasan dan peranan kekuatan global di kawasan Asia

M Najeri Al Syahrin | 20
Keamanan Asia Timur

Timur. Berikutnya, akan dibahas mengenai aliansi militer


antara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan serta
analisis tentang peningkatan anggaran militer Cina, Jepang,
Taiwan, Korea Utara dan Korea Selatan. Uraian mengenai
anarkisme kawasan dan hambatan dalam pembentukan kerja
sama dan institusi kawasan Asia Timur akan menjadi penutup
bab ini.

2.1 Persepsi dan Hubungan Keamanan Antarnegara di


Kawasan Asia Timur
Keamanan juga merupakan sebuah fenomena tidak
berdiri sendiri. Keamanan kawasan dipengaruhi oleh intervensi,
interaksi, dan persepsi antaranegara dalam kawasan tertentu
maupun yang berada di luar kawasan. Dalam kawasan Asia
Timur, keamanan suatu negara tidak bisa dipisahkan dengan
keamanan negara lainnya, baik dalam skala kawasan maupun
global, karena kawasan merupakan arena di mana keamanan
nasional dan keamanan global saling berkaitan dan
mempengaruhi (Buzan 1991, 43). Untuk memahami bahwa
keamanan nasional di kawasan Asia Timur tidak bisa terlepas
dari keamanan global, Perang Dingin telah membuktikan

M Najeri Al Syahrin | 21
Keamanan Asia Timur

bahwa perseteruan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet


memberikan pengaruh signifikan terhadap ketegangan di
Semenanjung Korea antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Menurut Barry Buzan, terdapat beberapa aspek yang
berpengaruh dalam pembentukan kompleksitas keamanan
kawasan, yaitu kondisi keamanan yang tidak stabil dalam
tingkat domestik, hubungan antarnegara dalam satu kawasan,
interaksi antarkawasan, dan peran kekuatan global. Berdasarkan
aspek-aspek tersebut, dapat dipahami bahwa sekuritisasi
maupun desekuritasasi merupakan proses interaksi terhadap
keamanan negara lain. Dengan demikian, untuk memahami
kompleksitas keamanan kawasan, tidak cukup hanya dengan
memahami keamanan satu negara saja, tetapi juga harus
memahami keamanan negara lain. Selain itu, perlu dipahami
juga bagaimana interaksi antarkawasan dan peran kekuatan
global agar bisa mencerminkan kompleksitas keamanan
kawasan secara utuh dan komprehensif (Buzan 1991, 43).
Pembagian Semenanjung Korea oleh Sekutu pada tahun
1945 dan perkembangan kedua negara Korea menjadi bukti
adanya persaingan ideologi pada masa Perang Dingin. Dengan
pembagian itu, kedua negara Korea dikuasai oleh dua negara

M Najeri Al Syahrin | 22
Keamanan Asia Timur

adidaya, yang kemudian berkembang menjadi negara pemimpin


pada masa Perang Dingin. Keadaan tersebut berlangsung lama
dan secara khusus memberikan pengaruh terhadap politik luar
negeri Korea Selatan dan Korea Utara (Yoon & Mas’oed 2010,
91).
Pemisahan dua Korea pada tahun 1945 semakin
memperlebar sifat ketidaksamaan sistem politik, ekonomi,
sosial, dan budaya yang dimiliki masing-masing negara.
Pembedaan itu tidak hanya mencakup ideologi politik, tetapi
juga prinsip ekonomi, nilai masyarakat, cara kehidupan, seni
budaya, dan teknologi. Pembedaan antara Korea Utara dan
Korea Selatan semakin mempertajam hubungan pertentangan
dan konfliktual antara keduanya. Sekalipun terdapat persetujuan
gencatan senjata yang ditandatangani secara resmi pada 27 Juli
1953, konflik dan pertentangan kekuatan militer sering terjadi
sehingga hubungan antara keduanya masih tidak harmonis
((Yoon & Mas’oed 2010, 165).
Upaya reunifikasi yang dilakukan juga cenderung
berbeda orientasinya, Korea Utara cenderung menggunakan
cara penaklukan langsung melalui kebijakan militer. Ini
cenderung berbeda dengan yang ditempuh oleh Korea Selatan,

M Najeri Al Syahrin | 23
Keamanan Asia Timur

yang menggunakan cara-cara yang lebih halus dengan dialog


dan pendekatan diplomatik. Perhatian terhadap masalah
reunifikasi Korea menjadi isu penting bagi peneliti dan
akademisi di Korea Selatan. Segala cara dan upaya dilakukan
untuk mencapai proses reunifikasi, utamanya dilakukan dengan
pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun,
upaya-upaya tersebut tidak membuahkan hasil maksimal,
karena rezim otoriter Korea Utara sangat keras dan sulit untuk
berdialog (Myers 2001, 136).
Upaya Korea Utara untuk menyatukan Semenanjung
Korea melalui serangan militer dinilai oleh Robert Myers
adalah untuk mencapai kepentingan lain, yaitu kepentingan
ekonomi. Taktik ini dipakai oleh Korea Utara dalam
menghadapi Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Dengan keadaan ekonomi Korea Selatan yang stabil, Korea
Utara secara tidak langsung melakukan pemerasaan dengan
dalih melakukan serangan militer (Myers 2001, 141).
Permasalahan domestik berkenaan dengan perbedaan sistem
politik dan ekonomi serta isu reunifikasi antara dua Korea
inilah yang dinilai sebagai salah satu faktor yang paling

M Najeri Al Syahrin | 24
Keamanan Asia Timur

berpengaruh dalam pembentukan kompleksitas keamanan


kawasan Asia Timur.
Setelah berakhirnya Perang Dingin, wilayah Asia Timur
menjadi pusat perhatian internasional. Posisi strategis kawasan
ini semakin bertambah penting karena terjadi persaingan antara
Amerika Serikat, Jepang, dan Cina untuk mengusahakan
kepentingan nasional masing-masing (Yoon & Mas’oed 2004,
103). Berbeda dengan masa Perang Dingin, lingkungan politik
internasional di wilayah Asia Timur jauh berkembang ke dalam
berbagai macam bentuk sebagai akibat dari hubungan
multilateral antara negara-negara berkepentingan tersebut yang
mencoba melepaskan diri dari hubungan permusuhan dan
konfliktual.
Walaupun demikian, unsur-unsur konflik dan ancaman
keamanan masih berlangsung seperti di masa Perang Dingin.
Dalam hal ini, Korea Selatan dan Korea Utara merupakan dua
negara yang memiliki posisi strategis di kawasan Asia Timur,
yang sangat penting sebagai penghubung antarnegara, terutama
dengan Jepang, Cina, dan Amerika Serikat. Posisi geografis
Semenanjung Korea yang strategis tersebut menyebabkan

M Najeri Al Syahrin | 25
Keamanan Asia Timur

kedua Korea dalam sepanjang sejarah masing-masing sangat


penting dari sudut strategi (Yoon 2010, 8).
Selain itu, terdapat banyak isu utama yang menjadi
faktor penting dalam kompleksitas keamanan kawasan Asia
Timur. Misalnya, perundingan normalisasi hubungan
diplomatik antara Korea Utara dan Korea Selatan, Korea Utara
dan Amerika Serikat, permasalahan Taiwan, Korea Utara dan
Jepang, serta penyelesaian isu proliferasi senjata nuklir yang
dianggap menimbulkan situasi darurat dan mempersulit
jaminan keamanan dan perdamaian di Asia Timur. (Yoon & M.
Mas’oed 2010, 102). Keamanan Semenanjung Korea
tergantung pada keseimbangan global dan kawasan, karena
kepentingan-kepentingan geopolitis Cina, Jepang, dan Amerika
Serikat saling bertemu di kawasan Asia Timur. Korea Utara
terletak pada poros keamanan Asia Timur. Secara geografis
negara ini memiliki posisi yang strategis di tengah kawasan
Asia Timur di mana Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea
Selatan berinteraksi dalam mencapai kepentingan
masing-masing (Kim 2004, 283).
Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan menilai
bahwa Korea Utara tetap menjadi ancaman yang paling

M Najeri Al Syahrin | 26
Keamanan Asia Timur

mengkhawatirkan bagi keamanan kawasan. Peluang terjadinya


perang nuklir masih menjadi kendala utama dalam upaya
stabilisasi keamanan kawasan Asia Timur. Rezim Korea Utara
dinilai selalu melakukan provokasi yang menghawatirkan bagi
negara-negara di kawasan. Pada tahun 2010, Korea Utara
melakukan serangan ke pulau Yeonpyeong sebagai reaksi atas
latihan gabungan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Kebijakan luar negeri Korea Utara dinilai semakin provokatif
dan menimbulkan kecemasan bagi negara-negara di kawasan
(Saunders 2012, 15-16). Meskipun setelah pertemuan
Panmunjom dan pertemuan Singapura terdapat beberapa
harapan positif atas perubahan kebijakan Korea Utara yang
lebih harmonis dan kooperatif.
Kerumitan hubungan antara Cina dan Korea Selatan,
Jepang dan Korea Utara juga semakin menambah kompleksitas
keamanan kawasan Asia Timur. Cina dan Korea Selatan
mencurigai upaya Jepang yang ingin merevisi sejarah
pendudukannya di Semenanjung Korea dan sebagian wilayah
Cina pada awal abad ke-20. Cina dan Korea Selatan juga
terlibat dalam sengketa wilayah dengan Jepang soal sejumlah
pulau di Laut Cina Timur serta perairan antara Jepang dan

M Najeri Al Syahrin | 27
Keamanan Asia Timur

Korea Selatan. Sementara itu, hubungan Cina dan Korea


Selatan juga tidak sepenuhnya mulus. Cina telah
menyampaikan keberatannya atas rencana penempatan sistem
antirudal canggih Korea Selatan yang dipasang untuk
mewaspadai ancaman nuklir Korea Utara. Hal tersebut dinilai
Cina sebagai mencerminkan keinginan Amerika Serikat untuk
mengawasi Cina (Kwaak, 2015).
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut,
Menteri Luar Negeri Cina, Jepang, dan Korea Selatan
menggelar pertemuan trilateral yang diharapkan bisa menjadi
bentuk kerja sama baru bagi ketiga negara pasca Perang Dunia
II. Para menteri bersepakat untuk mengkoordinasikan kebijakan
mereka dalam berbagai aspek. Pada masa pemerintahan Xi
Jinping, Cina memprioritaskan hubungan dengan Korea Selatan
sambil juga tetap menjaga hubungan dengan Korea Utara. Para
analis mengatakan bahwa Korea Selatan sedang mencari cara
untuk menyeimbangkan kekuatan dengan hubungan yang
semakin dekat dengan Cina (Makinen & Borowiec, 2015).
Cina dianggap menjadi ancaman baru bagi Korea
Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Permasalahan ini
dikarenakan kekuatan ekonomi dan perkembangan militer Cina

M Najeri Al Syahrin | 28
Keamanan Asia Timur

yang semakin meningkat di kawasan. Amerika Serikat dan


Jepang selalu khawatir akan perkembangan kekuatan militer
Cina. Atas respon terhadap permasalahan tersebut, Amerika
Serikat sangat aktif membentuk aliansi militer di kawasan Asia
Timur untuk membendung kekuatan dan pengaruh Cina. Selain
menjalin aliansi militer dengan Jepang, Amerika Serikat juga
menjalin aliansi militer dengan Korea Selatan. Bagi Korea
Selatan, Cina tidak selalu menjadi sebuah ancaman yang paling
mengkhawatirkan bagi keamanan nasionalnya. Ancaman yang
nyata bagi Korea Selatan bukanlah Cina, tetapi Korea Utara.
Dalam aliansinya dengan Amerika Serikat, Korea Selatan
tidak selalu merespon aktif segala kebijakan yang berkaitan
dengan Cina. Bahkan Korea Selatan dan Cina sama-sama
memiliki sifat sentimen terhadap Jepang. Di sisi yang lain,
Jepang telah memberikan respon yang aktif terkait dengan
permasalahan Cina. Bagi Jepang, peningkatan kekuatan militer
Cina memberikan ancaman yang serius terhadap keamanan
nasionalnya di kawasan Asia Timur (Goo & Lee 2014, 337).
Hubungan antara Jepang dan Korea Selatan juga tidak
selalu harmonis, meskipun keduanya sama-sama merupakan
mitra keamanan Amerika Serikat. Jepang merasa bahwa Cina

M Najeri Al Syahrin | 29
Keamanan Asia Timur

dan Korea Utara merupakan ancaman serius bagi stabilitas


keamanan kawasan, sementara bagi Cina dan Korea Utara,
Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan merupakan
ancaman. Kerumitan pola hubungan antarnegara di kawasan ini
semakin meningkatkan kecurigaan dan menambah
kompleksitas keamanan di kawasan Asia Timur.
Permasalahan lainnya yaitu antara Taiwan dan Cina,
Secara historis, Cina menganggap Taiwan sebagai bagian
integral dari wilayahnya. Namun, disintegrasi yang sempat
dialami Taiwan membuat sebagian rakyat Taiwan tidak
merasa sebagai bagian dari Cina. Situasi itu dimanfaatkan oleh
AS yang mulai melancarkan intervensi sejak 1950-an.
Akibatnya, wilayah Taiwan menjadi arena pertarungan Cina
dan AS yang saling berebut pengaruh regional (Mubah, 2014).
Disisi lain, ketika perhatian internasional tersita oleh
permasalahan Semenanjung Korea dan hubungan rivalitas
antarnegara, terdapat beberapa perkembangan positif dalam
kerja sama Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea Selatan.
Upaya tersebut terlihat dengan adanya perjanjian kawasan yang
lebih luas, yaitu kerja sama keamanan kawasan antara Amerika
Serikat-Jepang-Korea Selatan dengan ASEAN dalam bentuk

M Najeri Al Syahrin | 30
Keamanan Asia Timur

ASEAN Regional Forum. Kerja sama antara ketiga negara


tersebut dengan kawasan lainnya dianggap sebagi
perkembangan penting dalam upaya menjaga stabilitas
keamanan kawasan Asia Timur secara lebih luas (Yamaguchi
1999, 4).
Selain Jepang dan Korea Selatan, Cina juga secara aktif
melakukan kerja sama antarkawasan. Secara bertahap sejak
tahun 2000 hingga 2003, misalnya, dilakukan pembahasan kerja
sama Free Trade Area (FTA) Cina-ASEAN. Cina sangat
agresif dalam mendorong kerja sama tersebut, karena ia
berharap melalui peningkatan hubungan ekonomi kekhawatiran
ASEAN terhadap peningkatan militer Cina dapat berkurang. Di
samping itu, kerja sama ekonomi juga diharapkan Cina untuk
mengimbangi kemajuan Amerika Serikat dan Jepang di
kawasan Asia Tenggara. Secara ekonomi Cina juga berharap
kerja sama ini akan mempermudah jalan bagi Cina untuk
mendapatkan bahan-bahan mentah dari kawasan Asia Tenggara.
Sebaliknya, ASEAN berharap kerja sama ini akan membuka
jalan bagi negara-negara anggotanya untuk menjual produk
mereka dan mendorong Cina untuk melakukan investasi
langsung ke Asia Tenggara (Cipto 2010, 4).

M Najeri Al Syahrin | 31
Keamanan Asia Timur

Rivalitas antara Jepang dan Cina tidak hanya terjadi di


kawasan Asia Timur saja, tetapi juga di kawasan Asia Tenggara.
Kesediaan Cina untuk membuka kesempatan untuk
mengembangkan FTA dengan ASEAN membuat Jepang
mengusulkan perjanjian kemitraan ekonomi dengan ASEAN
pada tahun 2002. Jepang tidak ingin kalah bersaing dengan
Cina di kawasan Asia Tenggara (Cipto 2010, 251). Selama
beberapa tahun terakhir, hubungan internasional di kawasan
Asia Timur mengalami beberapa perubahan yang cukup
dinamis. Perubahan tersebut dapat dipantau pada meningkatnya
hubungan negara-negara kawasan Asia Timur dengan kawasan
lainnya, termasuk dengan kawasan Asia Tenggara.
Selain interaksi antarkawasan dan rivalitas Cina dengan
Jepang, permasalahan Semenanjung Korea juga menjadi salah
satu faktor penting dalam dinamika kawasan Asia Timur. Korea
Utara merupakan negara yang tidak selalu bisa lepas dari
kepentingan asing. Eksistensi Korea sebagai negara otonom
merupakan salah satu contoh dari sistem perimbangan
kekuasaan. Pembagian Korea menjadi dua negara sangat
berkaitan dengan kepentingan negara-negara besar, khususnya
Amerika Serikat (Morgenthau 2010, 501-502). Berakhirnya

M Najeri Al Syahrin | 32
Keamanan Asia Timur

Perang Dingin selama lebih dari dua dekade tidak mengubah


pandangan Amerika Serikat terhadap Korea Utara; rezim Korea
Utara masih dianggap sebagai rezim yang otoriter dan selalu
berupaya mengembangkan kekuatan nuklir untuk mengancam
negara di sekitarnya. Karakter yang melekat pada Korea Utara
inilah yang selalu menjadi landasan Amerika Serikat dalam
melakukan upaya diplomasi dan perundingan dengan negara
tersebut (Armstrong 2006, 9).
Korea Utara dinilai menggunakan isu senjata nuklir
sebagai manuver politik untuk meningkatkan posisi tawar di
dunia internasional, khususnya terhadap Amerika Serikat dan
negara aliansinya di kawasan Asia Timur. Berdasarkan persepsi
tersebut Amerika Serikat mengkategorikan Korea Utara sebagai
negara “poros setan” (axis of evil). Konsep ini merupakan
bagian dari agenda strategi politik Amerika Serikat dalam
membangun opini internasional untuk menjatuhkan kredibilitas
Korea Utara (Mochammad 2010, 27-29).
Sepanjang masa akhir Perang Dingin, hubungan antara
Amerika Serikat dan Korea Utara juga semakin tidak membaik,
namun upaya untuk melakukan normalisasi hubungan terus
dilakukan oleh Amerika Serikat. Salah satu upaya rekonsiliasi

M Najeri Al Syahrin | 33
Keamanan Asia Timur

konflik di kawasan Semenanjung Korea adalah menyepakati


kerangka kerja sama keamanan senjata nuklir. Pada tahun 2003,
dilaksanakan mekanisme Six Party Talks antara Korea Utara,
Korea Selatan, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan Rusia.
Kerangka ini dianggap merupakan salah satu langkah tepat dan
alternatif yang sesuai untuk meredam ketegangan konflik
militer dan perlombaan senjata di kawasan Asia Timur
(Armstrong 2006, 11).
Sebelumnya, pada tahun 1994 disepakati perjanjian
bilateral yang dikenal dengan Agreed Framework antara
Amerika Serikat dengan Korea Utara. Menurut perjanjian ini,
Korea Utara harus menghentikan seluruh aktivitas
pengembangan senjata nuklir dan mengizinkan International
Atomic Energy Agency (IAEA) untuk menginspeksi fasilitas
nuklir Korea Utara. Namun, kesepakatan ini berakhir karena
Amerika Serikat merasa Korea Utara tidak dapat bekerja sama
secara sungguh-sungguh dengan IAEA. Bahkan, Korea Utara
menyatakan pengunduran diri dari keanggotaan Nuclear
Non-Proliferation Treaty (NPT) pada 10 Januari 2003
(Mochammad 2010, 28).

M Najeri Al Syahrin | 34
Keamanan Asia Timur

Sering gagalnya upaya perundingan antara Amerika


Serikat dengan Korea Utara adalah karena Amerika Serikat
dianggap tidak berhasil dalam mendorong upaya harmonisasi
hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan. Harmonisasi
hubungan antara dua Korea dianggap merupakan salah satu
faktor penting dalam upaya rekonsiliasi konflik di kawasan
Asia Timur. Sejak berakhirnya Perang Korea permasalahan
antara Korea Utara dan Korea Selatan selalu penuh dengan
konfrontasi dan ketegangan. Selain itu, dalam pandangan Korea
Utara, citra Amerika Serikat masih dipandang sebagai negara
musuh dan anti rezim Korea Utara. Meledaknya bom sekutu
pada masa Perang Korea memperkuat anggapan Korea Utara
bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang kejam dan sulit
diajak untuk berunding (Armstrong 2006, 210).
Saat ini, Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat terus
memantau perkembangan Korea Utara. Beberapa kalangan
menilai kebijakan Korea Utara dalam melakukan serangan ke
pulau Yeonpyeong merupakan strategi bagi Korea Utara untuk
melihat apakah Cina menentang kebijakan Korea Utara dan
lebih mendukung kebijakan Korea Selatan. Pasca serangan
tersebut, terbukti Cina tidak melakukan reaksi dan kecaman

M Najeri Al Syahrin | 35
Keamanan Asia Timur

keras terhadap kebijakan provokatif Korea Utara. Bagi Korea


Selatan, hal tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa
Cina dianggap masih bersifat pasif dalam upaya untuk
menyelesaikan konfrontasi di Semenanjung Korea (Saunders
2010, 17).
Dari sudut pandang Cina, Korea Utara masih dinilai
sebagai mitra penting. Meski demikian, Cina masih terus
melakukan pengamatan terhadap segala kebijakan keamanan
Korea Utara. Cina menyadari bahwa ia hanya memiliki sedikit
pengaruh atas segala kebijakan Korea Utara terkait masalah
keamanan. Korea Utara dinilai masih sangat sulit untuk diajak
bekerja sama sehingga Cina perlu secara cermat memposisikan
Korea Utara sebagai mitra dalam hubungan antarnegara di
kawasan. Dari sudut pandang Amerika Serikat, kebijakan Cina
terkait masalah Korea Utara hanya merupakan refleksi dari
ketakutan atas runtuhnya rezim Korea Utara yang secara tidak
langsung akan berdampak pada kuatnya posisi Amerika Serikat
di kawasan Asia Timur. Bagi Cina, sangat jelas untuk
mencegah runtuhnya Korea Utara yang akan mengarah kepada
reunifikasi Korea. Hal tersebut tentu secara tidak langsung akan

M Najeri Al Syahrin | 36
Keamanan Asia Timur

melemahkan posisi Cina untuk melawan hegemoni Amerika


Serikat di kawasan Asia Timur (Saunders 2010, 17-18).
Permasalahan utama terkait dengan kompleksitas
keamanan kawasan adalah karena pertumbuhan ekonomi dan
militer Cina yang dianggap secara tidak langsung akan menjadi
pesaing Amerika Serikat dalam upaya melakukan dominasi
global seperti pada masa Perang Dingin. Padahal, Cina tidak
secara langsung melakukan tindakan-tindakan agresif dan
provokatif terkait dengan masalah dominasi global seperti yang
dulu dilakukan oleh Uni Soviet.
Selain itu, Cina kini sudah dinilai sangat aktif
berpartisipasi secara bersama-sama dalam upaya peningkatan
ekonomi global melalui organisasi-organisasi internasional. Hal
tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Uni Soviet pada
Perang Dingin: Uni Soviet berusaha untuk melakukan dominasi
terhadap ekonomi global dan secara ekplisit bertujuan untuk
melawan kekuatan ekonomi global Amerika Serikat. Untuk
kasus Cina ada sedikit perbedaan, di mana Cina dinilai lebih
pasif dalam upaya konfrontasi ekonomi dengan Amerika
Serikat (Saunders 2010, 27).

M Najeri Al Syahrin | 37
Keamanan Asia Timur

Selanjutnya, untuk memahami hubungan antara Cina dan


Korea Utara penting juga untuk memahami kebijakan Amerika
Serikat terhadap kedua negara tersebut dan kebijakan Amerika
Serikat terhadap Jepang dan Korea Selatan. Jepang dan Korea
Selatan memiliki kepentingan dan prioritas berbeda terkait
dengan permasalahan keamanan di kawasan Asia Timur.
Jepang dinilai berfokus pada kepentingan dan kebijakan Cina di
kawasan, termasuk kebijakan peningkatan anggaran militer,
sementara Korea Selatan berfokus pada ancaman yang berasal
dari Korea Utara. Jadi, penting dalam memahami kerja sama
trilateral Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan untuk
melihat sudut pandang masing-masing negara dalam
memandang hubungan Korea Utara dengan Cina (Saunders
2010, 27).
Keberadaan negara-negara besar di kawasan Asia Timur
memberikan risiko tersendiri bagi negara-negara yang
berinteraksi di kawasan Asia Timur. Potensi kompetisi
antarnegara ini terlihat ketika Amerika Serikat, Jepang, dan
Cina saling berebut pengaruh di kawasan dan memungkinkan
benturan kepentingan yang dapat memicu terjadinya konflik
dan ketidakstabilan kawasan Asia Timur. Selain itu, potensi

M Najeri Al Syahrin | 38
Keamanan Asia Timur

konflik juga semakin meninggi dengan permasalahan


Semenanjung Korea yang belum selesai dan kurangnya
kepercayaan akibat konflik masa lalu antara negara-negara di
kawasan Asia Timur (Veronika 2011, 162).

2.2 Logika Dilema Keamanan Asia Timur


Pasca Perang Dingin, diskursus tentang dilema keamanan
berfokus pada dinamika kekuatan dan interaksi antara dua
negara dengan kekuatan militer yang setara, seperti Amerika
Serikat dan Uni Soviet. Ketakutan akan perang nuklir antara
kedua negara, pada awal 1980-an, adalah kondisi yang dikenal
dengan istilah 'Hobbesian Fear', yaitu kondisi ketika negara
adikuasa hanya bersikap defensif terhadap provokasi negara
lain tetapi tindakan tersebut justru menimbulkan kekhawatiran
bagi negara lain. Amerika Serikat dan Uni Soviet terperangkap
dalam cengkeraman siklus permusuhan. Rasa takut dan
ketidakpercayaan terhadap pihak lain dikarenakan terdapat
perbedaan interpretasi motif dan ancaman. Masing-masing
negara membenarkan kebijakan militer berdasarkan persepsi
ancaman dari kekuatan militer negara lain (Booth & Wheeler,
2008).

M Najeri Al Syahrin | 39
Keamanan Asia Timur

Selain kekhawatiran dan rasa takut akan ancaman


serangan dari negara lain dan kompleksitas keamanan kawasan
yang ditandai dengan rivalitas politik dan ekonomi antara
Amerika Serikat dan Cina, dilema keamanan di kawasan Asia
Timur juga disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, polaritas
kekuatan kawasan dan kedua konstruksi sosial amity dan enmity.
Kedua faktor ini merupakan bagian dari aspek pembentuk
kompleksitas keamanan kawasan menurut Barry Buzan dan Ole
Waever. Dalam Regional Security Complex Theory (RSCT)
Buzan dan Waever mengidentifikasi empat aspek penyebab
terbentuknya kompleksitas keamanan kawasan, yaitu kedekatan
geografis, anarkisme kawasan, polaritas kekuatan dan
konstruksi sosial amity dan enmity (Buzan & Wæver, 2003).
Faktor konstruksi sosial terlihat jelas dengan hubungan
keamanan Korea Utara dengan Amerika Serikat. Pola interaksi
keamanan antara kedua negara dapat digambarkan sebagai
kondisi dilema keamanan yang bersifat asimetris, yaitu
dinamika kekuatan dan interaksi antara negara yang lemah
dengan ambisi nuklir (Korea Utara) dan negara dengan
kekuatan militer paling kuat saat ini (Amerika Serikat). Dengan
kekuatan konvensional sistem persenjataannya, Amerika

M Najeri Al Syahrin | 40
Keamanan Asia Timur

Serikat idealnya tidak memiliki masalah yang berarti dalam


‘memaksa’ Korea Utara untuk menghentikan pengembangan
senjata nuklir. Namun, Korea Utara secara jeli telah
menunjukkan kemampuan dalam memanfaatkan peluang, baik
secara politik maupun keamanan, dalam berinteraksi dengan
Amerika Serikat yang memungkinkannya untuk memiliki
senjata nuklir (East West Center, 2016).
Pemerintahan Trump menyatakan bahwa mereka akan
mengeluarkan kebijakan yang berbeda daripada kebijakan
sebelumnya. Pemerintahan Trump melalui deklarasi Wakil
Presiden, Mike Pence pada awal tahun 2017 menyatakan bahwa
kebijakan keamanan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan
Obama, ‘Strategic Patience’ telah berakhir. Tetapi Amerika
Serikat kini juga berada dalam kondisi dilematis. Intervensi
militer terhadap Korea Utara pasti akan menyebabkan kerugian
luar biasa tidak hanya bagi kedua negara tetapi juga negara lain
di kawasan, bahkan serangan militer bisa memicu terjadinya
perang nuklir global (Grice, 2017). Donald Trump
merencanakan pertemuan dengan Kim Jong-un untuk
melakukan pembahasan nuklir yang direncanakan akan
dilaksanakan pada Mei 2018. Pertemuan tersebut diharapkan

M Najeri Al Syahrin | 41
Keamanan Asia Timur

mampu menghasilkan komitmen untuk melakukan denuklirisasi


dan menangguhkan uji coba nuklir dan rudal Korea Utara.
Singh (2018) memandang pertemuan tersebut mampu
memberikan perkembangan positif bagi non-proliferasi nuklir
di kawasan Asia Timur, di tengah kondisi Amerika Serikat dan
Korea Utara yang saling bersitegang. Hasil pembicaraan
Amerika Serikat dengan Korea Utara tidak hanya akan
berdampak pada keamanan negara sekutu tetapi juga bagi Cina
(Singh, 2018).
Menjelang akhir Maret 2018, Kim Jong-un melakukan
kunjungan ke Beijing, Cina. Kunjungan itu memungkinkan bagi
Kim Jong-un untuk mendapatkan jaminan dari Cina bahwa
Pemerintah Cina akan mendukung Korea Utara jika pertemuan
Kim dan Trump gagal mencapai kesepakatan. Kunjungan
tersebut merupakan peringatan bagi Trump bahwa Cina
memiliki posisi vital dan peranan penting sebagai pemain
sentral dalam krisis nuklir Semenanjung Korea (Johnson &
Kikuchi, 2018). Korea Utara telah lama bersikap provokatif
dengan retorika yang selalu mengancam stabilitas keamanan,
upaya pembunuhan serta penjualan teknologi nuklir dan rudal.
Selama ini, Korea Utara kerap bersikap kooperatif ketika

M Najeri Al Syahrin | 42
Keamanan Asia Timur

menghadapi ancaman keamanan serangan langsung. Sebaliknya,


Korea Utara cenderung bersifat konfrontatif ketika ancaman
telah berkurang (Morgan, 2006).
Terdapat persepsi bahwa bagi negara-negara di kawasan
Asia Timur, runtuhnya Korea Utara tampaknya sama berbahaya
dan mengancam, daripada penggunaan senjata nuklirnya. Bagi
Cina, jumlah pengungsi akibat dari runtuhnya Korea Utara akan
merepotkan bagi Cina, kondisi teritorial yang berbatasan
dengan Korea Utara secara langsung pasti akan membuat Cina
sangat berhati-hati dalam upaya mendukung reunifikasi dua
Korea. Dilihat dari sisi kepentingan keamanan, runtuhnya
Korea Utara juga bisa menjadikan kepentingan strategis
Amerika Serikat untuk ‘mengawasi’ Cina di kawasan Asia
Timur menjadi lebih mudah (Yea, 2017).
Sejak Kim Jong-un dilantik sebagai pemimpin Korea
Utara pada tahun 2011, Amerika Serikat, Korea Selatan, Cina
dan Jepang berharap bahwa Kim dapat memberikan perspektif
baru dalam kebijakan luar negeri Korea Utara khususnya dalam
kebijakan keamanan. Namun, jika membandingkan dengan
masa pemerintahan Kim Jong-il yang berkuasa selama delapan
belas tahun sebelumnya, saat itu hanya terdapat sekitar delapan

M Najeri Al Syahrin | 43
Keamanan Asia Timur

belas tes rudal kendali. Kini, selama empat tahun pemerintahan


Kim Jong-un, sampai dengan bulan Juli 2016, sudah terdapat
dua puluh lima uji coba rudal kendali. Korea Utara juga telah
berhasil melakukan uji coba nuklir bawah tanah dan hasil uji
coba tersebut menunjukkan perangkat nuklir Korea Utara
memiliki kekuatan eksplosif yang lebih besar. Pada Februari
2016, Korea Utara mengklaim telah berhasil meluncurkan
satelit Kwangmyongsong 4, sebuah model satelit yang lebih
maju daripada yang diluncurkan pada Desember 2012 (Chung,
2016).
Kegiatan dan ujicoba tersebut dengan jelas menunjukkan
bahwa "First Military Policy" sebagai doktrin utama politik
luar negeri Korea Utara tetap tidak berubah. Meskipun Kim
Jong-un baru berusia 27 tahun ketika dia pertama kali berkuasa
dan hanya memiliki sedikit waktu untuk mempersiapkan
pemerintahannya, kemampuan Kim Jong-un dalam melakukan
modernisasi sistem persenjataan Korea Utara sangat efektif.
Setelah uji coba nuklir yang dilakukan pada Oktober 2006 dan
Mei 2009 di masa pemerintahan Kim Il-sung, Kim Jong-un
hanya dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu sejak Februari 2013
dan Januari 2016 telah melakukan dua kali uji coba nuklir.

M Najeri Al Syahrin | 44
Keamanan Asia Timur

Intensitas pengujian nuklir yang dilaksanakan pada tahun 2013


dan 2016 menunjukan bahwa senjata nuklir merupakan
identitas kelangsungan rezim Korea Utara (Chung, 2016).
Faktor utama yang menciptakan kondisi dilema
keamanan bagi Korea Utara adalah polaritas kekuatan
antarnegara di kawasan. Ketika suatu negara tidak bisa
mengikuti dinamika keseimbangan atas polaritas kekuatan
tersebut, maka negara tersebut rentan menjadi sasaran dominasi
dan ekspansi negara lain. Polaritas kekuatan yang tidak
seimbang ini menunjukkan terdapatnya distribusi kekuatan
yang tidak merata di antara negara-negara di kawasan dan
negara aliansi.
Pertumbuhan dan akselerasi sistem persenjataan
negara-negara kawasan Asia Timur terus meningkat.
Berakhirnya Perang Dingin ternyata tidak secara langsung
menurunkan kecenderungan tensi peningkatan anggaran militer
di kawasan Asia Timur. Hampir semua negara di kawasan Asia
Timur tetap meningkatkan pembangunan kekuatan militer tanpa
terpengaruh peristiwa penting tersebut. Kemajuan ekonomi dan
respon terhadap konflik di kawasan merupakan faktor yang

M Najeri Al Syahrin | 45
Keamanan Asia Timur

menyebabkan negara-negara di kawasan Asia Timur tetap


meningkatkan anggaran militer masing-masing.

2.3 Kompleksitas Keamanan Kawasan Asia Timur


Keamanan kawasan merupakan suatu kondisi yang
terbentuk dari pola hubungan amity (persahabatan) dan enmity
(permusuhan) sebagai dampak dari perseteruan di masa lalu,
geopolitik, dan interaksi antarnegara dalam suatu area yang
terbatas. Barry Buzan dan Ole Waever mendefinisikan
kompleksitas keamanan kawasan sebagai sebuah kelompok
negara dalam suatu kawasan tertentu, di mana fokus utama dari
aspek keamanan berhubungan erat dan terikat antara satu
negara dengan yang lainnya (interdepedensi keamanan).
Interdependesi keamanan dalam suatu kawasan akan selalu
terjadi sehingga keamanan menjadi semakin kompleks. Ini
menyebabkan meningkatnya intensitas hubungan keamanan
negara-negara yang terlibat, baik secara langsung di dalam
maupun di luar kompleksitas keamanan yang ada. Terdapat
empat hal yang menjadi pembentuk struktur dasar dari
kompleksitas keamanan kawasan, yaitu kedekatan geografis,

M Najeri Al Syahrin | 46
Keamanan Asia Timur

anarkisme kawasan, polaritas kekuasaan, dan konstruksi sosial


(amity dan enmity) (Buzan & Waever 2003, 53).
Kedekatan geografis merupakan tempat di mana
hubungan keamanan di antara negara terbentuk dan saling
memiliki keterikatan. Ancaman akan terasa semakin besar
karena faktor kedekatan jarak. Di Asia Timur, letak geografis
Cina, Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang sangat dekat.
Posisi perbatasan ini menjadi tempat yang sangat potensial
untuk terjadinya konflik bersenjata. Misalnya, Aliansi bersama
Amerika Serikat dan Korea Selatan di pangkalan Humphreys,
sekitar 40 mil selatan Seoul, dengan penempatan 10.000 tentara
dari kedua divisi di sepanjang jalur demiliterisasi. Langkah ini
bertujuan untuk meningkatkan pengawasan terhadap pasukan
Korea Utara (Berteau & Green 2012, 65).
Selain itu, aliansi militer Amerika Serikat dengan Korea
Selatan juga memberikan tekanan psikologis bagi pemimpin
Korea Utara. Sekitar 200.000 personel tentara militer Korea
Selatan siap dan dalam kondisi siaga untuk melakukan serangan
militer apabila ada ancaman dari Korea Utara (Jee, 2015).
Sebagai respon terhadap langkah Korea Selatan di atas,
diplomat Korea Utara mengatakan bahwa Korea Utara memiliki

M Najeri Al Syahrin | 47
Keamanan Asia Timur

hulu ledak nuklir dan rudal, yang mempunyai target kota-kota


besar dan pangkalan militer di Korea Selatan dan Jepang,
seperti Seoul, Tokyo, Nagasaki, dan Okinawa. Penargetan ini
untuk mengancam Amerika Serikat dan negara aliansinya jika
melakukan serangan militer terhadap Korea Utara (Bennet
2010,29).
Selain kekhawatiran dan rasa takut akan ancaman
serangan dari negara lain, dilema keamanan juga semakin
diperparah dengan anarkisme kawasan Asia Timur yang
terbentuk akibat minimnya kerja sama yang mengatur
keamanan kawasan. Pengaturan kerja sama kawasan sangat
membantu sebagai sarana untuk merespon tantangan-tantangan
keamanan dan mengkoordinasikan kebijakan antarnegara di
kawasan. Kerja sama keamanan juga bisa dikembangkan untuk
mencapai tujuan-tujuan dan mempromosikan nilai-nilai
bersama dalam upaya stabilisasi perimbangan kekuatan dan
negosisasi rezim keamanan kawasan. Ketiadaan rezim
keamanan merupakan salah satu faktor penting yang
berpengaruh dalam dilema keamanan Asia Timur. Minimnya
pengaturan kerja sama keamanan kawasan bisa mengakibatkan
potensi ancaman dan peningkatan kekuatan militer menjadi

M Najeri Al Syahrin | 48
Keamanan Asia Timur

semakin tidak terkendali (Tang 2009, 589-590). Pembentukan


kerja sama atau rezim keamanan yang efektif dinilai sangat
perlu untuk dilakukan dalam upaya mengatasi permasalahan
keamanan di kawasan Asia Timur. Menurut Jae Suh, untuk
menyelesaikan permasalahan nuklir dan membangun
perdamaian di Semenanjung Korea, dibutuhkan kerangka kerja
sama keamanan baru yang membatasi transfer teknologi senjata
antarnegara aliansi. Transfer teknologi dan sistem persenjataan
dari Amerika Serikat untuk Korea Selatan dan Jepang membuat
proposal kerja sama perdamaian di kawasan menjadi terkendala.
Pembatasan transfer teknologi penting untuk mengurangi
dampak dilema keamanan yang selama ini menjadi kendala
dalam pembentukan kerja sama dan inisiatif perdamaian
kawasan (Suh 2004, 86).
Anarkisme kawasan tersebut mengakibatkan hubungan
keamanan antanegara kawasan menjadi tidak seimbang dan
selalu dipenuhi kecurigaan dan ketegangan. Ketika suatu negara
tidak bisa mengikuti dinamika keseimbangan tersebut, ia akan
rentan menjadi sasaran dominasi dan hegemoni negara lain. Hal
ini akan berimplikasi pada pembentukan poros negara militer
lemah dan negara militer kuat. Polaritas kekuatan yang tidak

M Najeri Al Syahrin | 49
Keamanan Asia Timur

seimbang ini juga menunjukkan terdapatnya distribusi kekuatan


yang tidak merata di antara negara-negara di kawasan. Polaritas
kekuatan di Asia Timur terlihat ketika dukungan Amerika
Serikat terhadap Korea Selatan, Taiwan dan Jepang menjadikan
Korea Utara serta Cina berupaya meningkatkan kekuatan untuk
bisa mengimbangi mereka.
Korea Selatan terus melakukan peningkatan kekuatan
militernya dengan didukung oleh kemajuan ekonomi dan
bantuan militer dari Amerika Serikat. Modernisasi militer
Korea Selatan dilakukan dengan peningkatan anggaran militer
disertai dengan peningkatan kekuatan teknologi persenjataan
yang semakin berkembang. Hal ini membuat militer Korea
Selatan diperhitungkan di kawasan Asia Timur (Feffer 2009,
15). Selain Korea Selatan, perkembangan teknologi
persenjataan dan aliansi militer yang juga dimiliki oleh Jepang
serta modernisasi kapabilitas militer Cina dengan menaikkan
anggaran militer secara konsisten setiap tahunnya telah menjadi
sumber dilema keamanan di kawasan Asia Timur. Cina,
misalnya, sangat dimungkinkan untuk menggunakan kekuatan
militer dalam proses penyelesaian masalah yang berkaitan
dengan sengketa wilayah maupun penyelesaian konflik lainnya.

M Najeri Al Syahrin | 50
Keamanan Asia Timur

Hal tersebut tentu saja menjadi ancaman bagi


negara-negara di sekitarnya. Peningkatan kekuatan militer
negara-negara tersebut memicu kekhawatiran di kawasan.
Kekhawatiran tersebut pada akhirnya saling mendorong satu
sama lain untuk meningkatkan kapabilitas militer dengan
melakukan peningkatan anggaran belanja militer. Langkah ini
pada akhirnya mengakibatkan dilema keamanan kawasan.
Kebijakan Cina, Jepang, dan Korea Selatan meningkatkan
anggaran belanja militer membuat Korea Utara khawatir, dan
kemudian berupaya untuk memperkuat kekuatan dan
kapabilitas militernya.
Hubungan antarnegara dalam kompleksitas keamanan
selalu diwarnai oleh persaingan dalam perimbangan
kekuasaan, aliansi keamanan, dan masuknya kekuatan eksternal.
Keterlibatan pihak eksternal bisa mengambil bentuk masuknya
negara luar ke dalam kawasan ketika terjadi konflik maupun
dibangunnya suatu kerja sama atau aliansi antara negara luar
dengan satu atau beberapa negara dalam kawasan (Buzan &
Waever 2003, 47). Keterlibatan pihak eksternal, dalam hal ini
Amerika Serikat, sejak masa Perang Dingin di Asia Timur telah
menciptakan persaingan ideologi dan membuat Semenanjung

M Najeri Al Syahrin | 51
Keamanan Asia Timur

Korea terbagi dalam dua negara. Pemisahan dua Korea semakin


memperlebar sifat ketidaksamaan sistem politik, ekonomi,
sosial, dan budaya yang dimiliki masing-masing negara (Yoon
& Mas’oed 2010, 165).
Selama masa Perang Dingin, Korea Selatan dan Amerika
Serikat menjalin aliansi untuk membendung pengaruh
komunisme di kawasan Asia Timur, khususnya di Semenanjung
Korea. Ketika Perang Dingin berakhir, aliansi Amerika Serikat
dan Korea Selatan semakin terjalin dengan solid. Upaya untuk
membendung pengaruh komunisme dengan menjalin aliansi
tersebut justru mengkhawatirkan bagi Korea Utara. Berakhirnya
Perang Dingin seharusnya memungkinkan Korea Utara dan
Amerika Serikat untuk menjalin hubungan yang lebih harmonis
daripada sebelumnya, namun ternyata relasi antara kedua
negara ini tidak terjalin dengan baik. Korea Utara merasa
aliansi Amerika Serikat dengan Korea Selatan dan Jepang
justru membahayakan keamanan nasionalnya. Aliansi ini telah
memberikan pengaruh dalam hubungan Amerika Serikat, Korea
Selatan, Jepang, dan Korea Utara, dengan kebijakan suatu
negara akan saling mempengaruhi (Kim 2007, 193).

M Najeri Al Syahrin | 52
Keamanan Asia Timur

Selain itu, kerumitan hubungan Cina, Korea Selatan,


Jepang, dan Korea Utara juga semakin menambah kompleksitas
keamanan Asia Timur. Cina dan Korea Selatan terlibat dalam
sengketa wilayah dengan Jepang soal sejumlah pulau di Laut
Cina Timur serta perairan antara Jepang dan Korea Selatan.
Sementara itu, hubungan Cina dan Korea Selatan juga tidak
sepenuhnya mulus. Cina telah menyampaikan keberatan atas
rencana penempatan sistem antirudal canggih Korea Selatan
yang dipasang untuk mewaspadai ancaman nuklir Korea Utara.
Hal tersebut dinilai Cina mencerminkan keinginan Amerika
Serikat untuk mengawasi Cina (Kwaak, 2015). Sedangkan bagi
Korea Selatan, Jepang dan Amerika Serikat, peningkatan
anggaran militer Cina menjadi permasalahan yang
mengkhawatirkan di kawasan. Di sisi yang lain, Jepang telah
memberikan respon yang aktif terkait dengan permasalahan
Cina mengingat peningkatan kekuatan militer Cina memberikan
ancaman yang serius terhadap keamanan nasional Jepang (Goo
& Lee 2014, 337).
Hubungan antara Jepang dan Korea Selatan juga tidak
selalu harmonis, meskipun keduanya sama-sama merupakan
mitra keamanan Amerika Serikat sejak tahun 1953 dan 1951.

M Najeri Al Syahrin | 53
Keamanan Asia Timur

Terdapat anomali yang jelas dalam hubungan antara Korea


Selatan dengan Jepang. Bersama-sama dengan Amerika Serikat,
kedua negara secara konsisten membangun segitiga keamanan
di kawasan Asia Timur pasca Perang Dunia II. Amerika Serikat
menginginkan agar koordinasi antarkedua negara tersebut
terjalin baik karena hal tersebut sangat diperlukan untuk
mendukung kepentingan keamanan Amerika Serikat di
kawasan (Hwaang 2003, 95). Diperlukan kerja sama keamanan
yang efektif antara ketiga negara untuk kepentingan kawasan,
tetapi Korea Selatan menolak untuk bekerja sama dengan
Jepang.
Banyak pakar kajian Asia Timur menjelaskan keadaan ini
dengan melihat faktor sejarah antara kedua negara.
Kolonialisme dan sejarah antagonisme Jepang di Semenanjung
Korea telah membentuk sentimen anti-Jepang dalam
masyarakat Korea, yang disampaikan dari generasi ke generasi
melalui pendidikan sejarah di Korea Selatan. Faktor sejarah
juga menjadi alasan sulitnya pembentukan rezim keamanan
multilateral di kawasan Asia Timur. Warisan sejarah membuat
sangat sulit bagi kedua negara untuk saling bekerja sama,

M Najeri Al Syahrin | 54
Keamanan Asia Timur

sekalipun terdapat kepentingan keamanan bersama (Hwaang


2003, 95).
Tanpa adanya otoritas tertinggi di kawasan,
negara-negara berinteraksi dengan rasa tidak aman akibat
adanya saling curiga. Perasaan saling curiga tersebut pada
akhirnya membentuk kompetisi antarnegara untuk mendapatkan
kekuatan yang lebih besar dan mengamankan diri
masing-masing. Dapat dipahami bahwa dilema keamanan
merupakan sebuah fenomena yang secara fisik tidak bisa
diamati secara jelas. Tetapi, implikasi dari fenomena tersebut
bisa diamati secara langsung apabila sebuah negara melakukan
respon secara militer, misalnya dengan meningkatkan kekuatan
militer dan menjalin aliansi pertahanan. Pada intinya, dilema
keamanan merupakan kondisi psikologis yang dialami oleh
negara dalam memahami kebijakan militer negara lain dan
memilih tindakan untuk merespon kebijakan militer negara lain
tersebut.
Kompleksitas keamanan kawasan Asia Timur yang terdiri
dari empat aspek utama berupa kedekatan geografis, anarkisme
kawasan, polaritas kekuasaan, serta konstruksi sosial yang
diperlihatkan melalui pola persahabatan dan permusuhan

M Najeri Al Syahrin | 55
Keamanan Asia Timur

menyebabkan terjadinya dilema keamanan. Ini terjadi ketika


satu atau sekelompok negara meningkatkan kapabilitas dan
kemampuan militer demi tujuan keamanannya dengan
mengurangi tingkat keamanan negara lainnya di sekitarnya.
Keadaan dilematis tersebut ditandai dengan adanya aliansi
militer dan peningkatan anggaran militer negara yang pada
akhirnya menciptakan perasaan takut dan terancam. Bila suatu
negara takut dan terancam, ia akan berupaya meningkatkan
kapabilitas militernya untuk melindungi kepentingan nasional
akibat adanya ancaman dari kekuatan militer negara lain. Korea
Utara menganggap keamanan kawasan yang kompleks
membahayakan keamanannya sehingga ia berupaya
mengembangkan kebijakan senjata nuklir untuk meningkatkan
pertahanan dan keamanan serta mengimbangi keunggulan
militer negara-negara lain di kawasan Asia Timur.
Pada bab selanjutnya akan dibahas tentang aliansi militer
negara-negara Asia Timur. Aliansi pertahanan Amerika Serikat
dengan Jepang dan Korea Selatan dibentuk sebagai tanggapan
langsung terhadap kebutuhan keamanan di kawasan yang tentu
pada seberang lain akan menambah kompleksitas dan
memperumit realitas keamanan negara kawasan.

M Najeri Al Syahrin | 56
Keamanan Asia Timur

BAB III
ALIANSI MILITER DAN PENINGKATAN
ANGGARAN MILITER NEGARA-NEGARA KAWASAN
****
Asia Timur merupakan kawasan yang hubungan
keamanan negara berlangsung sangat dinamis, kompleks dan
penuh intriks. Selama ini, Asia Timur memang dikenal sebagai
kawasan dengan intensitas keamanan yang tinggi sekaligus
kawasan dengan tensi dilema strategis yang terus meningkat.
Relasi sengketa, relasi kerja sama, dan relasi enmity
(perseteruan) serta relasi amity (aliansi) antaranegara yang
dipicu karena faktor sejarah serta perbedaan ideologi telah
menjadikan kawasan ini menjadi semakin berbeda dengan
kawasan lainnya di Asia.

3.1 Aliansi Militer Negara-Negara Kawasan Asia Timur.


Relasi amity (aliansi) merupakan salah satu relasi yang
paling menentukan landskap keamanan kawasan Asia Timur.
Faktor pentingnya adalah karena relasi aliansi ini akan
“mengundang” kehadiran negara adidaya di kawasan.
Karakteristik ini terlihat dalam 2 tahun terakhir, pengujian

M Najeri Al Syahrin | 57
Keamanan Asia Timur

nuklir yang intens dilakukan Korea Utara sejak tahun 2016


yang tentu mengkhawatirkan beberapa negara tetangga seperti
Jepang dan Korea Selatan. Ujicoba nuklir Korea Utara
‘berakhir’ secara klimaks dengan terlaksananya KTT AS-Korea
Utara yang terlaksana di Singapura pada 12 Juni 2018 (Talev &
Olorunnipa, 2018). Kejutan bagi dunia dengan pertemuan
antara dua pemimpin paling berpengaruh yakni Donald Trump
dan Kim Jong Un tersebut terkait dengan agresifitas yang
dilakukan Korea Utara dalam beberapa tahun belakangan.
Kehadiran negara adidaya di kawasan dengan segala
kepentingan geostrategisnya tentu menambah kompleks
hubungan keamanan antarnegara di kawasan. Kehadiran AS
selalu dianggap sebagai sebuah ganjalan bagi hubungan yang
lebih harmonis di kawasan terutama bagi Cina dan Korea Utara.
Jalinan aliansi AS dengan Korea Selatan kini juga mengahadapi
beberapa kendala. Donald Trump disinyalir kecewa dengan
presiden baru Korea Selatan, Moon Jae-in yang menggunakan
cara diplomasi damai terhadap tekanan nuklir Korea Utara.
Bagi Korea Selatan sangat sulit untuk selalu menyeimbangkan
kepentingan dengan AS. Hubungan perdagangan regional
dengan Cina yang semakin menguat disisi lain akan

M Najeri Al Syahrin | 58
Keamanan Asia Timur

menyebabkan ketergantungan ekonomi dan perdagangan Korea


Selatan terhadap AS akan terbatas.
Sementara negara aliansi AS lainnya di kawasan yakni
Jepang juga mengalami hubungan yang kompleks dengan AS,
Cina, Korea Utara dan Korea Selatan. Yang menarik adalah
hubungan Jepang dan Korea Utara. Jepang, kini mulai
mengubah kebijakan kontemporernya terhadap Korea Utara.
Doktrin militer dan strategis mulai menguat dan menjadi
landasan utama kebijakan Perdana Menteri Shinzo Abe, yang
sebelumnya sangat identik dengan pendekatan sipil yang lebih
harmonis. Kebijakan militeristik tersebut tentu menciptakan
sentimen bagi Korea Selatan yang selama ini menggunakan
pendekatan yang lebih harmonis terhadap Korea Utara.
Sentimen Korea Selatan terhadap jepang juga diperkuat karena
faktor historis, masyarakat Korea Selatan masih menyimpan
dendam dan trauma mendalam atas penjajahan Jepang saat
Perang Dunia II di Semenanjung Korea (Brown, 2018).
Asia Timur secara khusus Semenanjung Korea selalu
menjadi titik strategis di mana kepentingan negara-negara besar
bertemu. Jika pada masa Perang Dingin kedua Korea bersatu di
bawah komunisme dan memiliki hubungan dekat dengan Uni

M Najeri Al Syahrin | 59
Keamanan Asia Timur

Soviet, Korea akan menjadi ancaman bagi Cina dan Jepang.


Sebaliknya, apabila dua Korea menjadi mitra keamanan Cina,
hal tersebut akan membahayakan bagi Uni Soviet dan Jepang.
Pasca berakhirnya Perang Dingin konstelasi keamanan di
Semenanjung Korea juga tidak berubah secara signifikan.
Secara geopolitik, wilayah Semenanjung Korea yang terletak di
antara Cina dan Jepang tetap menjadikan ia memegang peran
sebagai jembatan kultural. Di samping itu, Semenanjung Korea
juga berfungsi sebagai koridor invasi Cina, Jepang, dan
Amerika Serikat, baik invasi terhadap bangsa Korea maupun
terhadap satu sama lain. Saat Korea dikuasai Cina, misalnya,
hal tersebut akan membahayakan keamanan Jepang, sementara
saat Jepang memegang kendali atas kekuasaan di Korea, maka
ia akan menjadi ancaman bagi Cina (Yoon & Mas’oed, 2004,
18-19).
Peran penting Semenanjung Korea menjadikan Amerika
Serikat tidak akan membiarkan dua Korea, khususnya Korea
Selatan, menjadi mitra keamanan Cina. Apabila hal tersebut
terjadi, Jepang akan kehilangan kepercayaan terhadap Amerika
Serikat sebagai pihak penjamin keamanan di kawasan Asia
Timur. Hilangnya kepercayaan itu akan membuat Jepang

M Najeri Al Syahrin | 60
Keamanan Asia Timur

mempertimbangkan kembali kebijakan keamanannya dan


memutuskan untuk mengembangkan kekuatan senjata nuklir
mereka. Peran penting Semenanjung Korea tersebutlah yang
menjadikan Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan saling
menjalin aliansi pertahanan guna melindungi kepentingan
masing-masing dan untuk menjaga stabilitas keamanan
kawasan (Yoon & Mas’oed, 2004, 18-19).
Situasi di atas kemudian menjadi panduan utama dalam
aliansi pertahanan Amerika Serikat dengan Jepang. Pada April
1997, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dan Perdana
Menteri Jepang Hashimoto Ryutaro bertemu di Tokyo untuk
membicarakan Japan-US Declarations on Security: Alliance
for the 21st Century. Dokumen perjanjian tersebut menegaskan
tentang pentingnya aliansi antara Jepang dan Amerika Serikat
bagi kepentingan domestik maupun kawasan. Selain itu,
dokumen tersebut menyatakan bahwa Jepang dan Amerika
Serikat saling berupaya untuk meningkatkan kerja sama,
terutama dalam peningkatan hubungan kerja sama keamanan,
peninjauan kembali panduan kerja sama tahun 1978, dan
pencegahan penyebaran senjata nuklir di kawasan Asia Timur
(Tsuneo 2000, 186-187). Tujuan utama perjanjian yang secara

M Najeri Al Syahrin | 61
Keamanan Asia Timur

resmi diterbitkan pada September 1997 tersebut adalah


mengusahakan kerja sama keamanan yang efektif antara Jepang
dan Amerika Serikat, terutama mengantisipasi ancaman
serangan militer dan gangguan keamanan Jepang (Tsuneo 2000,
187).
Pasca berakhirnya Perang Dingin, Jepang mulai
meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap kerja sama
keamanan multilateral. Jepang memutuskan untuk lebih aktif
dalam upaya menjaga perdamaian dan keamanan, khususnya
dalam upaya menjaga kepentingan nasionalnya di kawasan.
Upaya ini terbentuk melalui Japan Self Defeanse Force (JSDF)
yang mempromosikan dialog keamanan. JSDF juga merupakan
bukti eksistensi Jepang dalam upaya kerja sama keamanan
kawasan yang mencakup pertukaran tentara militer dan
penelitian serta program latihan gabungan (Yamaguchi 1999,
6).
Program ini kemudian berlanjut dengan terbentuknya
National Defense Program Outline (NDPO) pada 28 November
1995. Program ini terdiri dari empat isu, yaitu (1) kontribusi
terhadap perdamaian internasional yang diwujudkan dengan
kegiatan kerja sama perdamaian internasional; (2) kontribusi

M Najeri Al Syahrin | 62
Keamanan Asia Timur

terhadap promosi kerja sama internasional dalam partisipasi


bantuan bencana internasional; (3) promosi tentang dialog
keamanan dan peningkatan kerja sama antara negara-negara
kawasan Asia Timur; dan (4) kerja sama Jepang dengan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi lainnya
dalam upaya melakukan kontrol dan perlucutan senjata untuk
tujuan menghentikan penyebaran senjata pemusnah massal dan
senjata konvensional lainnya, termasuk senjata nuklir
(Yamaguchi 1999, 6).
Setelah pendudukan Amerika Serikat terhadap Jepang
secara resmi berakhir pada tahun 1952 dengan
ditandatanganinya perjanjian San Fransisco, ternyata tidak
mungkin bagi Jepang untuk melepaskan diri dari kepentingan
strategis Amerika Serikat baik secara global maupun kawasan.
Terdapat berbagai pemikiran ketika Jepang mencoba untuk
menentukan bentuk dasar diplomasi yang akan dijalankan
setelah memperoleh kemerdekaan. Ada yang cenderung
berorientasi pada keinginan untuk tetap mempertahankan
hubungan kerja sama dengan Amerika Serikat, ada yang ingin
memiliki kemandirian politik, tetapi tetap dalam kerangka
memelihara hubungan dengan Amerika Serikat, dan ada juga

M Najeri Al Syahrin | 63
Keamanan Asia Timur

yang berkeinginan untuk menjalankan diplomasi yang mandiri


terlepas dari pengaruh Amerika Serikat. Jepang berusaha
melakukan diplomasi untuk menjaga keseimbangan antara
keinginan untuk bertindak lebih mandiri, tetapi dengan tetap
memelihara kedekatan hubungan dengan Amerika Serikat
(Irsan 2005, 91-92). Terlepas dari semua itu, Perdana Menteri
Jepang Shinzo Abe menyatakan:
We welcome the Obama administration’s policy called
the “pivot to Asia” because it is a contributing factor to the safety
and peace of the region. I think this pivot policy is playing an
indispensable role in enhancing the deterrence of the U.S.-Japan
alliance, as well as ensuring peace and security in the Asia-Pacific
region. Last year in April, President Obama visited Japan. On that
occasion he mentioned the importance of the U.S.-Japan alliance,
especially for the security of the Asia-Pacific region … This is the
time and age when one country alone cannot defend and protect its
own peace and security. So with the countries of the world, we must
cooperate and we must contribute so we can achieve the peace and
stability, peace and safety, for our own country, for the region we are
in as well as for the entire world (Washinton Post, 2015).

Pernyataan Abe di atas menunjukan bahwa Jepang


sekarang masih tetap menjadi mitra keamanan yang penting
bagi Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Jepang juga
memberikan kepercayaan kepada Amerika Serikat untuk
melakukan stabilisasi keamanan domestik Jepang dan
memainkan peran dalam menjaga keamanan kawasan Asia

M Najeri Al Syahrin | 64
Keamanan Asia Timur

Pasifik secara umum. Saat ini, kehadiran personel militer


Amerika Serikat di Jepang, terutama di pulau Okinawa, dinilai
merupakan strategi untuk merespon potensi konflik di Asia
Timur. Selain ditempatkan di pulau Okinawa, pasukan militer
Amerika Serikat juga ditempatkan di pangkalan udara Yokota
dan pangkalan udara Kadena yang merupakan tempat transit
pesawat dalam kegiatan militer Jepang di seluruh kawasan
(Berteau & Green 2012, 50).
Walaupun Jepang sudah memiliki kebebasan dalam
menentukan dan melaksanakan kebijakan luar negerinya, tetapi
kedekatan hubungan politik dengan Amerika Serikat telah
membuat setiap kebijakan politik dan hubungan luar negeri
negara ini tidak dapat dilepaskan dari kepentingan Amerika
Serikat. Terlebih dalam hal yang berhubungan dengan
pengembangan angkatan bersenjata militer. Jepang masih
memiliki keterikatan pada Undang-Undang Dasar yang
membuat pembatasan-pembatasan tertentu yang secara tidak
langsung banyak dipengaruhi oleh Amerika Serikat. Angkatan
bersenjata militer Jepang secara resmi hanya berfungsi sebagai
pasukan pengamanan wilayah Jepang terhadap kemungkinan
gangguan dari dalam maupun luar negeri, tetapi secara formal

M Najeri Al Syahrin | 65
Keamanan Asia Timur

tetap dianggap belum berfungsi sebagaimana layaknya


angkatan bersenjata di negara-negara lainnya. Keamanan
Jepang juga masih berada dalam perlindungan Amerika Serikat,
terutama dalam menghadapi kemungkinan terjadinya serangan
dari luar, khususnya bahaya perang nuklir (Irsan 2005, 93-94).
Aliansi antara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea
Selatan masih dinilai perlu untuk dipertahankan karena
beberapa faktor, yaitu meningkatnya kekuatan anggaran militer
Cina, ketegangan Semenanjung Korea dan permasalahan klaim
wilayah (Tsuneo 2000, 177). Ketidakstabilan keamanan dan
permasalahan klaim wilayah antara Jepang dengan Cina
dianggap merupakan faktor penting dalam memotivasi para
pemimpin Cina untuk mengadopsi pendekatan militer yang
konfrontatif. Jika ini terjadi, Cina berpotensi menjadi tantangan
terbesar bagi Jepang dan Amerika Serikat di kawasan Asia
Timur (Erickson 2012, 2-3).
Untuk mengatasi permasalahan klaim wilayah dengan
Cina, sejak masa pemerintahan Perdana Menteri Junichiro
Koizumi Jepang terus melakukan upaya intesif dalam menjalin
komunikasi dan normalisasi hubungan dengan Cina. PM
Koizumi pernah mengundang Presiden Hu Jintao untuk datang

M Najeri Al Syahrin | 66
Keamanan Asia Timur

ke Tokyo, tetapi ajakan itu tidak ditanggapi baik oleh Hu, yang
meminta Jepang lebih dulu mengeluarkan pernyataan maaf
secara resmi atas kejahatan perangnya (Yuliantoro 2012, 93).
Meskipun Cina belum memberikan reaksi yang aktif terkait
dengan normalisasi hubungan dengan Jepang, setidaknya ini
merupakan salah satu langkah baik di kawasan. Permasalahan
klaim wilayah dan peningkatan anggaran militer Cina yang tiga
kali lebih besar dari anggaran militer Jepang membuat Jepang
merespon secara negatif dan meminta Cina transparan dalam
anggaran militernya. Dapat dipahami, Jepang terus
mengintensifkan hubungan sebagai mitra keamanan Amerika
Serikat di kawasan Asia Timur karena khawatir akan ancaman
dari Cina.
Selain menjalin aliansi militer dengan Jepang, dalam
upaya mencapai kepentingannya di kawasan Asia Timur
Amerika Serikat juga menjalin aliansi militer dengan Korea
Selatan. Pasukan militer Amerika Serikat pertama kali
mendarat di Semenanjung Korea pada tanggal 8 September
1945 setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Tugas utama
pasukan militer tersebut adalah melucuti senjata pasukan
Jepang dan memegang kendali atas wilayah Jepang. Dalam

M Najeri Al Syahrin | 67
Keamanan Asia Timur

perkembangannya, Amerika Serikat menjadi pendukung utama


pembentukan Republik Korea, pelindung Korea Selatan dari
ancaman pihak luar, dan pemberi bantuan untuk pembangunan
ekonomi Korea Selatan (Yoon & Mas’oed 2010, 58).
Aliansi militer antara Amerika Serikat dengan Korea
Selatan telah disepakati sejak masa Perang Dingin. Aliansi ini
telah mengalami beberapa perubahan sejak masa tersebut. Pada
tahun 1954 Amerika Serikat dan Korea Selatan menandatangani
Perjanjian Keamanan Bersama (Mutual Security Aggrement)
yang ditujukan untuk memberikan pertahanan terhadap
ancaman agresi dari pihak luar (Goo & Lee 2014, 330). Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa sejak berakhirnya Perang
Korea, keamanan Korea Selatan sangat tergantung pada aliansi
militernya dengan Amerika Serikat, termasuk dalam upaya
untuk mencegah serangan dari Korea Utara.
Peran penting yang dimainkan Amerika Serikat sejak
penandatanganan perjanjian itu dapat terlihat dari jumlah
bantuan ekonomi dan militer dari Amerika Serikat kepada
Korea Selatan. Sampai tahun 1970-an bantuan ekonomi dan
militer yang diberikan Amerika Serikat kepada Korea Selatan
mencakup 8% dari keseluruhan jumlah bantuan yang diberikan

M Najeri Al Syahrin | 68
Keamanan Asia Timur

Amerika Serikat terhadap berbagai negara di dunia. Bantuan


ekonomi yang diterima Korea Selatan itu sendiri mencakup 5%
dari total GNP Korea Selatan. Amerika Serikat juga terus
mendukung Korea Selatan di organisasi-organisasi
internasional agar Korea Selatan dapat memperjuangkan
kepentingannya. Di balik hubungan aliansi tersebut, terdapat
tujuan yang berbeda yang ingin dicapai oleh masing-masing
pihak. Melalui aliansi tersebut Amerika Serikat ingin
membendung pengaruh Uni Soviet dan Cina, sedangkan Korea
Selatan berkeinginan untuk mencegah serangan Korea Utara
(Yoon & Mas’oed 2010, 59).
Meskipun Korea Selatan mendapat dukungan dari
pasukan militer Amerika Serikat yang ditempatkan di Korea
Selatan, sampai tahun 1980-an ia tidak selalu mampu untuk
mempertahankan diri dari serangan pihak Korea Utara karena
kekuatan militer Korea Utara jauh lebih unggul dari Korea
Selatan. Anggota militer Korea Utara mencapai 1,2 juta
personel, dua kali lipat jumlah personel Korea Selatan yang
hanya berjumlah 600.000 personel militer. Sehingga sampai
akhir tahun 1990-an pasukan militer Amerika Serikat di Korea

M Najeri Al Syahrin | 69
Keamanan Asia Timur

Selatan berfungsi sebagai penyeimbang kekuatan militer antara


kedua Korea (Yoon & Mas’oed 2010, 21).
Sejak pertengahan tahun 1980-an, kekuatan pertahanan
nasional Korea Selatan sudah dianggap seimbang dengan Korea
Utara. Hal ini disebabkan keberhasilan proyek modernisasi
militer Korea Selatan yang sudah dimulai sejak 1970-an.
Keberhasilan proyek itu dapat dicapai karena adanya
pertumbuhan ekonomi nasional Korea Selatan. Meskipun
demikian, lebih dari 70% kekuatan militer Korea Utara
dipusatkan di sekitar perbatasan Korea Utara-Korea Selatan,
padahal ibukota pemerintahan Seoul terletak di dekat daerah
perbatasan itu. Hal ini menyebabkan pasukan Amerika Serikat
yang ditempatkan di tengah wilayah perbatasan dan ibukota
Seoul berfungsi utama sebagai penyangga untuk menghadapi
ancaman dari Korea Utara (Yoon & Mas’oed 2010, 21-22).
Perjanjian pertahanan bersama Amerika Serikat dengan
Korea Selatan terus dilanjutkan sebagai dasar kebijakan
strategis Amerika Serikat di Semenanjung Korea. Amerika
Serikat terus mempertahankan kehadiran militernya sejak
perjanjian keamanan disepakati dengan Korea Selatan. Pada
tahun 2004, para menteri pertahanan kedua negara mensahkan

M Najeri Al Syahrin | 70
Keamanan Asia Timur

sebuah program untuk mengurangi jumlah pasukan Amerika


Serikat di Korea Selatan menjadi 25.000 personel militer akibat
dari invasi militer Amerika Serikat di Irak (Berteau & Green
2012, 52).
Selanjutnya, pada tahun 2009, Presiden Obama dan
Presiden Lee Myung Bak menyetujui aliansi bersama “Joint
Vision for the Alliance.” Perjanjian ini dianggap penting
sebagai upaya untuk melakukan kontrol operasi penyebaran
personel militer di seluruh wilayah Korea Selatan. Inisiatif ini
merupakan salah satu langkah penting dalam membentuk
kekuatan aliansi Amerika Serikat dengan Korea Selatan. Selain
melakukan kontrol operasi penyebaran personel militer, aliansi
bersama ini juga menggabungkan dua inisiatif sebelumnya.
Insiatif pertama, personil militer Amerika Serikat akan
berpindah dari pangkalan Yongsan ke pangkalan Humphreys,
sekitar 40 mil selatan ibukota Seoul. Inisatif kedua,
dilaksanakannya program Land Partnership Plan (LPP), yaitu
penarikan 10.000 tentara dari kedua divisi di sepanjang jalur
demiliterisasi. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan
pengawasan terhadap pasukan Korea Utara (Berteau & Green
2012, 65).

M Najeri Al Syahrin | 71
Keamanan Asia Timur

Saat ini, aliansi Amerika Serikat dengan Korea Selatan


juga terus terjalin dengan baik. Pada Maret 2015, Jenderal
Martin E. Dempsey, Kepala Staff Gabungan Amerika Serikat
mengadakan pertemuan dengan Jenderal Choi Yun-hee,
Panglima Angkatan Bersenjata Korea Selatan, pada acara South
Korean Joint Chief of Staff Headquarter di Seoul. Pertemuan
ini merupakan salah satu langkah untuk memperkuat aliansi
Amerika Serikat dengan Korea Selatan. Salah satu
implementasi dari pertemuan tersebut adalah upaya
peningkatan pertahanan rudal dan integrasi sistem pertahanan
udara. Upaya ini dianggap penting guna mencegah segala
bentuk gangguan keamanan bagi Korea Selatan. Choi Yun-hee
menyatakan bahwa “For the last six decades, the South
Korea-U.S. alliance has effectively deterred North Korean
provocation, and this has been the driving force, the foundation
of the miraculous economic industrial development that we
have achieved here in the Republic of Korea.” (Ferdinando,
2015).
Dari pernyataan Choi di atas dapat disimpulkan bahwa
aliansi militer antara Korea Selatan dan Amerika Serikat masih
terus terjalin secara baik dalam berbagai bentuk kebijakan

M Najeri Al Syahrin | 72
Keamanan Asia Timur

militer yang berguna untuk menangkal ancaman dari Korea


Utara. Setiap tahun, Amerika Serikat dan Korea Selatan juga
terus melakukan latihan gabungan, yang memicu kekhawatiran
Korea Utara karena latihan gabungan tersebut akan membuat
militer Korea Selatan semakin kuat. Selain itu, aliansi militer
Amerika Serikat dengan Korea Selatan juga memberikan
tekanan psikologis bagi pemimpin Korea Utara. Sekitar
200.000 personel tentara militer Korea Selatan siap dan dalam
kondisi siaga untuk melakukan serangan militer apabila ada
ancaman dari Korea Utara (Jee, 2015).
Kerja sama strategis antara Amerika Serikat, Korea
Selatan, dan Jepang utamanya dilakukan karena permasalahan
perdamaian dan stabilitas keamanan di Semenanjung Korea dan
konfrontasi dengan Cina. Permasalahan Semenanjung Korea
dianggap sebagai permasalahan penting dan paling mengancam
bagi keamanan dan kepentingan Korea Selatan, Jepang, dan
Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Upaya ini terus
dilakukan dengan mengembangkan mekanisme kerja sama
strategis, utamanya dalam bidang militer. Selain itu, kerja sama
trilateral ini berfokus pada isu peningkatan anggaran militer
Cina di kawasan Asia Timur (Yamaguchi 2003, 3).

M Najeri Al Syahrin | 73
Keamanan Asia Timur

Peran pasukan militer dan aliansi Amerika Serikat di


Jepang dan Korea Selatan dipandang sangat diperlukan untuk
menghadapi permasalahan keamanan masing-masing negara.
Selain itu, koordinasi dan konsultasi antara Amerika Serikat
dengan Jepang dan Korea Selatan juga tetap diperlukan karena
Cina dan Korea Utara masih menjadi ancaman bagi Jepang dan
Korea Selatan. Dengan alasan inilah maka mempertahankan
stabilitas keamanan kawasan Asia Timur dengan menjalin
aliansi militer diperlukan. Selain itu, aliansi militer juga
diperlukan karena ia terkait erat dengan upaya untuk
mempertahankan perimbangan kekuatan antarnegara di
kawasan Asia Timur.
Pembahasan tentang peningkatan anggaran militer akan
dibahas pada bagian selanjutnya. Peningkatan anggaran militer
merupakan salah satu aspek penting dalam menjelaskan realitas
dan rivalitas keamanan yang terjadi di kawasan Asia Timur.

3.2 Peningkatan Anggaran Militer Negara-Negara Kawasan


Bagian ini akan membahas tentang peningkatan anggaran
militer negara-negara kawasan di Asia Timur. Secara khusus
peningkatan anggaran militer negara kawasan akan banyak

M Najeri Al Syahrin | 74
Keamanan Asia Timur

dipengaruhi dari dan oleh peningkatan anggaran militer Cina.


Kekhawatiran atas peningkatan anggaran militer Cina tidak
hanya dirasakan oleh negara kawasan tetapi juga
mempengaruhi keamanan global secara keseluruhan. Apabila
dicermati sejak masa Perang Dingin, di kawasan Asia Timur
pembangunan militer melalui peningkatan anggaran belanja
militer terus meningkat. Eskalasi konflik di kawasan juga mulai
terlihat dari persaingan dalam peningkatan anggaran belanja
militer. Belanja militer Cina yang naik secara signifikan dinilai
telah mendorong kenaikan pengeluaran anggaran militer
negara-negara di kawasan Asia Timur (Anthony, 2014, 9).
Cina secara cepat dan agresif melakukan modernisasi
militer, misalnya dalam pengembangan satelit luar angkasa,
rudal balistik, dan pembangunan kapal selam, yang tentu
menyebabkan kekhawatiran bagi negara lain di Asia Timur
(Jeong, 2012). Sejak tahun 2005 sampai 2018, Cina secara
konsisten terus meningkatkan anggaran militernya. Pada tahun
2010, peningkatan anggaran militer mencapai 7,5%, 12,7%
pada tahun 2011, 11,2% pada tahun 2012, dan 10,7% pada
tahun 2013. Untuk tahun 2015, Cina meningkatkan anggaran
militer sebesar 10,1% (Shamil & Hendra M, 2015). Pada 3

M Najeri Al Syahrin | 75
Keamanan Asia Timur

Maret 2018. Pemerintah Cina kembali secara resmi


menyampaikan bahwa anggaran militer untuk tahun 2018 akan
meningkat 8,1% setelah sebelumnya tahun 2017 anggaran
pertahanan Cina juga meningkat sekitar 7% (CNBC, 2018).
Bahkan, berdasarkan data SIPRI yang dihimpun oleh Trading
Economic (2018) anggaran belanja militer Cina sudah mencapai
angka sekitar 230 miliar dolar untuk tahun 2018. Gambar 2
dibawah ini menunjukkan grafik anggaran militer Cina.

Gambar 2 – Pengeluaran Belanja Militer Cina Tahun 2008-2018

Sumber: Trading Economic dan SIPRI, 2018

Sebagai respon terhadap kondisi tersebut, Jepang juga


melakukan peningkatan anggaran militer. Sejak tahun 2005

M Najeri Al Syahrin | 76
Keamanan Asia Timur

sampai tahun 2014 anggaran belanja militer Jepang berkisar di


angka 30 sampai 40 miliar dolar per tahun.
Jepang mengumumkan peningkatan anggaran militernya
pada awal tahun 2015 sebesar 42 miliar dolar, peningkatan
tersebut merupakan sebuah rekor baru yang lebih besar 2,8%
dari anggaran tahun sebelumnya (Jaishankar, 2016). Pada tahun
2018, Kabinet Perdana Menteri Shinzo Abe kembali
menyetujui anggaran pertahanan sebesar 45,8 miliar dolar, naik
sekitar 1,3% dari tahun sebelumnya. Anggaran tersebut
merupakan anggaran terbesar militer Jepang selama ini
(Yamaguchi, 2017).
Meskipun kenaikannya tidak secara drastis, tetapi Jepang
secara konsisten selalu melakukan peningkatan anggaran
militer sejak tahun 2014. Gambar 3 di bawah ini
memperlihatkan grafik anggaran belanja militer Jepang dalam
tahun 2008-2018, sebagai berikut:

M Najeri Al Syahrin | 77
Keamanan Asia Timur

Gambar 3 – Pengeluaran Belanja Militer Jepang Tahun


2008-2018

Sumber: Trading Economic dan SIPRI, 2018

Jepang terus meningkatkan anggaran militernya terkait


dengan instruksi Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang
sudah memberikan persetujuan mengenai peningkatan anggaran
di bidang militer Jepang secara signifikan. Persoalan sengketa
perbatasan, termasuk klaim di Laut Cina Timur, menjadi faktor
penentu dalam peningkatan anggaran militer Jepang. Anggaran
militer yang dikeluarkan akan digunakan untuk menambah
jumlah pesawat, kapal, dan kapal selam untuk mengawasi
kawasan Laut Cina Timur (Hendra, 2014). Peningkatan ini
dilakukan Jepang untuk merespon ancaman di kawasan. Pasca

M Najeri Al Syahrin | 78
Keamanan Asia Timur

berakhirnya Perang Dingin, guna mengantisipasi perkembangan


situasi keamanan kawasan dan global, pada tanggal 28
November 1995 dikeluarkan NDPO Jepang yang berisikan
tentang misi baru JSDF yang dalam hal ini akan membantu
menghadapi situasi keamanan yang mengancam.
Selain itu, program JSDF juga diharapkan bisa berperan
dalam pemberian bantuan bencana alam, kegiatan
anti-terorisme, kegiatan bantuan keadaan darurat, dan promosi
kerja sama perdamaian internasional (Akaha 1998, 465).
Dengan hadirnya JSDF dan kenaikan anggaran militer setiap
tahun, Jepang berupaya secara aktif terus melakukan
perimbangan kekuatan, utamanya dari Cina, selain tentu juga
menjalin aliansi dan hubungan militer dengan Amerika Serikat.
Selain Cina dan Jepang, Korea Selatan juga terus
meningkatkan anggaran militer setiap tahunnya. Permasalahan
Semenanjung Korea dan ancaman dari Korea Utara menjadi
alasan utama bagi Korea Selatan untuk terus meningkatkan
anggaran belanja militer.
Grafik kenaikan anggaran militer Korea Selatan terlihat
dari gambar berikut:

M Najeri Al Syahrin | 79
Keamanan Asia Timur

Gambar 3 – Pengeluaran Belanja Militer Korea Selatan Tahun


2008-2016

Sumber: Trading Economics dan SIPRI, 2018

Pengeluaran pertahanan Korea Selatan juga diperkirakan


akan terus meningkat sebesar 214,7 miliar dolar antara tahun
2016 sampai tahun 2020 atau sekitar 7% per tahun. Anggaran
tersebut akan diproyeksikan untuk biaya pemeliharaan dan
peningkatan kemampuan militer (Panda, 2015). Tahun 2008
anggaran belanja militer Korea Selatan berjumlah sekitar 29,5
miliar dolar, tahun 2014 meningkat menjadi 34,9 miliar dolar
dan tahun 2016 sejumlah 37,2 miliar dolar (Trading Economics,
2018). Ministry of National Defense (MND) Korea Selatan
mengumumkan pada 29 Agustus 2017 bahwa anggaran

M Najeri Al Syahrin | 80
Keamanan Asia Timur

pertahanan Korea Selatan pada tahun 2018 akan meningkat


6,9% menjadi 38,2 miliar dolar.
Peningkatan tersebut merupakan kenaikan tahunan
terbesar dalam anggaran pertahanan Korea Selatan sejak tahun
2009 (Grevatt, 2017). Korea Selatan juga terus melakukan
peningkatan kekuatan militernya dengan didukung oleh
kemajuan ekonomi dan bantuan militer dari Amerika Serikat.
Modernisasi militer Korea Selatan dilakukan dengan
peningkatan anggaran militer disertai dengan peningkatan
kekuatan teknologi persenjataan yang semakin berkembang
(Feffer, 2009).
Total pengeluaran anggaran militer Cina, Jepang, dan
Korea Selatan terus mengalami peningkatan sejak tahun 2005
secara rutin selama tiga belas tahun terakhir sampai tahun 2018.
Secara khusus, kenaikan belanja militer Cina sangat
diperhatikan oleh negara-negara di kawasan (Hofbauer,
Hermann, & Raghavan, 2012). Di sisi lain, yang lebih
mengkhawatirkan lagi, Federation of American Scientists juga
memberikan laporan bahwa semua negara yang memiliki
senjata nuklir, saat ini selalu berupaya untuk terus
memodernisasi sistem persenjatan nuklir dan misilnya.

M Najeri Al Syahrin | 81
Keamanan Asia Timur

Amerika Serikat juga termasuk negara yang selalu


melakukan modernisasi sistem persenjataan militer.
Diperkirakan selama 30 tahun ke depan, program modernisasi
senjata nuklir dan sistem persenjataan militer Amerika Serikat
akan menelan biaya sekitar 1 triliun dolar (Schlosser, 2015).
Sementara itu, untuk anggaran belanja militer Taiwan,
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengumumkan rencana untuk
menaikkan anggaran militer negaranya pada tahun 2019. Tsai
mengusulkan untuk meningkatkan anggaran belanja militernya
pada tahun depan sebesar 5,6% hingga menjadi 346 miliar dolar
Taiwan (sekitar Rp 163 triliun) (Kompas, 2018).
Secara lebih terperinci anggaran militer Taiwan dari
tahun 2008 sampai dengan tahun 2018 ditampilkan dalam
gambar berikut:

M Najeri Al Syahrin | 82
Keamanan Asia Timur

Gambar 4 – Pengeluaran Belanja Militer Taiwan Tahun


2008-2018

Sumber: Trading Economics dan SIPRI, 2018

Anggaran belanja militer Taiwan, yang cenderung


fluktuatif sejak tahun 2008 sampai tahun 2018, dengan
peningkatan signifikan terjadi pada tahun 2009
mengindikasikan bahwa perlombaan senjata masih intens
terjadi. Menariknya untuk kasus Taiwan, kenaikan anggaran
militer cenderung terjadi sebagai upaya untuk merespon
intensitas keamanan dengan Cina.
Perkembangan teknologi persenjataan dan aliansi militer
yang dimiliki oleh Taiwan, Jepang dan Korea Selatan serta
modernisasi kapabilitas militer Cina dengan menaikkan

M Najeri Al Syahrin | 83
Keamanan Asia Timur

anggaran militer secara konsisten setiap tahunnya telah menjadi


sumber dilema keamanan di kawasan Asia Timur. Sangat
dimungkinkan bagi Cina untuk menggunakan kekuatan militer
dalam proses penyelesaian masalah yang berkaitan dengan
sengketa wilayah maupun penyelesaian konflik lainnya.
Peningkatan kekuatan militer tersebut memicu
kekhawatiran di kawasan dan menjadi ancaman bagi negara
lain. Pengeluaran anggaran militer dan pertahanan suatu negara
merupakan cara paling sederhana untuk mengukur kemampuan
militer negara tersebut. Ukuran anggaran pertahanan
antarnegara dalam jangka waktu tertentu dapat dibandingkan
untuk memperkirakan bagaimana kapabilitas militer suatu
negara. Anggaran pertahanan juga bisa dilihat untuk
mengidentifikasi kepentingan keamanan suatu negara (China
Power, 2018).
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa negara-negara
kawasan Asia Timur tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh
dilema keamanan. Peningkatan anggaran persenjataan suatu
negara di kawasan selalu bisa dilihat dan dimaknai sebagai
sebuah ancaman keamanan bagi negara lain, begitu pula
sebaliknya. Dimana peningkatan kekuatan pertahanan yang

M Najeri Al Syahrin | 84
Keamanan Asia Timur

dijalankan oleh satu negara ditujukan untuk memperlemah


pertahanan negara lainnya, sehingga memicu kekhawatiran dan
sikap saling curiga satu sama lain. Kecurigaan tersebut
berpotensi menimbulkan konflik dalam skala besar. Kebijakan
Cina, Jepang, dan Korea Selatan meningkatkan anggaran
belanja militer membuat Korea Utara khawatir, dan kemudian
juga berupaya untuk memperkuat kekuatan dan kapabilitas
militernya dengan senjata nuklir dan peluru kendali.
Tidak cukup hanya dengan menaikkan anggaran militer,
beberapa negara seperti Korea Selatan dan Jepang juga
berupaya menangkal ancaman Korea Utara dengan menjalin
aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Polaritas kekuatan
di Asia Timur juga semakin terlihat dengan pembentukan
aliansi militer dan keamanan tersebut. Jalinan kerja sama dan
aliansi keamanan antara Korea Selatan dengan Amerika Serikat
adalah untuk memperkuat keamanan domestik Korea Selatan.
Transfer teknologi persenjataan dan penempatan pasukan
Amerika Serikat di Korea Selatan merupakan bentuk
implementasi kesepakatan tersebut. Selain itu, Amerika Serikat
dengan Jepang juga saling bersepakat dalam perjanjian
keamanan dan aliansi bersama. Berdasarkan perjanjian dan

M Najeri Al Syahrin | 85
Keamanan Asia Timur

kesepakatan tersebut, perlindungan terhadap keamanan


domestik Jepang merupakan pilar utama perjanjian.
Ancaman-ancaman keamanan yang diterima oleh Jepang secara
langsung juga akan menjadi ancaman bagi kepentingan
Amerika Serikat, kedua negara saling bersepakat untuk
merespon setiap tantangan keamanan di kawasan.
Konsekuensinya bagi Jepang dari kesepakatan tersebut adalah
Jepang harus mendukung segala kebijakan keamanan Amerika
Serikat termasuk kebijakan anti-terorisme dan non-proliferasi
nuklir (Tsuneo, 2000).
Bagi Korea Utara, kehadiran Amerika Serikat di kawasan
justru semakin menjadi ancaman bagi negara non-aliansi
Amerika Serikat termasuk Korea Utara, intervensi Amerika
Serikat di kawasan dipandang sebagai upaya untuk mengancam
keamanan nasionalnya (Pinkston, 2006). Aliansi dan
peningkatan anggaran militer tersebut akhirnya berimplikasi
pada meningkatnya kekuatan satu negara, tetapi melemahkan
kekuatan negara di sekitarnya.
Berdasarkan konteks tersebut, kekhawatiran akan
stabilitas keamanan di kawasan Asia Timur dikarenakan setiap
pengembangan pertahanan satu negara direspons oleh negara

M Najeri Al Syahrin | 86
Keamanan Asia Timur

tetangga. Rasa khawatir dan sikap saling curiga merupakan


salah satu unsur dari dilema keamanan. Dilema keamanan di
kawasan Asia Timur bersumber pada adanya rasa takut dan
persepsi ancaman akibat peningkatan kekuatan dan kapabilitas
militer Negara-negara yang ada di kawasan Asia Timur maupun
kondisi eksternal berupa setting lingkungan internasional.
Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan, Jepang melakukan
peningkatan kekuatan militer yang didukung pula oleh pola
hubungan persahabatan (amity) dan permusuhan (enmity) antar
Amerika Serikat dan Cina, serta bayang-bayang pengaruh
Perang Dingin dari Uni Soviet (Al Syahrin 2018, 134).
Rasionalitas pengembangan senjata nuklir dilakukan oleh
Korea Utara ketika logika dilema keamanan terjadi. Keadaan
dilematis tersebut bagi Korea Utara ditandai dengan polaritas
kekuatan, faktor historis dan konstuksi sosial amity dan enmity.
Polaritas kekuatan adalah perbedaan kekuatan militer yang
terjadi akibat jalinan aliansi keamanan Amerika Serikat yang
akhirnya memperkuat kapabilitas militer Korea Selatan dan
Jepang.
Aktor-aktor tersebut berupaya keras dengan
mengandalkan kerja sama untuk menyinergikan pelbagai

M Najeri Al Syahrin | 87
Keamanan Asia Timur

sumber daya dan kekuatan untuk meraih kepentingan dan


mempertahankan kekuasaan. Namun ironisnya, strategi yang
diterapkan negara-negara di kawasan Asia Timur, justru
menghidupkan kondisi dilema keamanan di kawasan yang
menghambat keberlangsungan proses perdamaian di kawasan.

*****

M Najeri Al Syahrin | 88
Keamanan Asia Timur

BAB IV
ANARKISME DAN TANTANGAN KERJA SAMA
KAWASAN
*****
Dalam upaya untuk memberikan respon terhadap setiap
tantangan keamanan di kawasan, pengaturan kerja sama
keamanan sangat mutlak diperlukan. Peningkatan eskalasi
konflik cenderung mudah terjadi di kawasan akibat minimnya
pengaturan kerja sama. Regionalisasi dan pembentukan institusi
keamanan kawasan menjadi semakin krusial untuk dibutuhkan
apabila koordinasi kebijakan antarnegara semakin intens
dilakukan. Kerja sama kawasan juga berguna dalam proses
penyelesaian konflik dan sengketa antarnegara di kawasan (Al
Syahrin 2018, 23-24).
Kawasan Asia Timur merupakan titik strategis di mana
kepentingan negara-negara besar bertemu. Cina, Jepang, Korea
Selatan dan Korea Utara saling berebut pengaruh politik dan
ekonomi di kawasan ini. Kondisi ini semakin tidak menentu
ketika Amerika Serikat juga ikut terlibat aktif dalam pengaturan
keamanan di kawasan Asia Timur. Partisipasi aktif Amerika
Serikat dalam aliansi militer trilateral dengan Jepang dan Korea

M Najeri Al Syahrin | 89
Keamanan Asia Timur

Selatan menyebabkan stabilitas keamanan kawasan sangat


dipengaruhi oleh interaksi keamanan negara-negara tersebut.
Stabilitas keamanan yang tidak menentu akan menyebabkan
kawasan dalam kondisi potensial untuk terjadinya konflik.
Permasalahannya adalah selama ini, kawasan Asia Timur
belum memiliki kerangka kerja sama dan institusi keamanan
yang secara efektif mampu untuk meredakan tensi ketegangan
antarnegara di kawasan.
Bagian dalam bab ini bertujuan untuk mendeskripsikan
implikasi kompleksitas keamanan kawasan terhadap sulitnya
pembentukan kerja sama keamanan kawasan yang efektif di
Asia Timur. Urgensi tulisan ini terlihat dari uniknya
kompleksitas kawasan dan hubungan keamanan di Asia Timur,
khususnya antara Cina dengan Jepang, Korea Utara dan Korea
Selatan, serta peranan Amerika Serikat di kawasan. Hal tersebut
menjadi sangat menarik untuk diteliti karena kelima negara ini
memegang peranan kunci dalam stabilitas kawasan, dilihat dari
kapabilitas militer dan persenjataan nuklir yang dimiliki serta
daya tawar politik dan ekonomi masing-masing negara.
Dua pertanyaan utama akan dijawab dalam bab ini.
Pertama bagaimana gambaran tentang kompleksitas keamanan

M Najeri Al Syahrin | 90
Keamanan Asia Timur

kawasan yang terjadi di kawasan Asia Timur. Pertanyaan kedua


adalah bagaimana bentuk tantangan dan implikasi dari
kompleksitas keamanan tersebut terhadap peluang
pembentukan kerja sama keamanan kawasan, di tengah kondisi
keamanan yang rumit antara negara-negara di kawasan Asia
Timur. Kedua pertanyaan tersebut akan dijawab melalui
deskripsi tentang peranan kekuatan eksternal yang mengambil
bentuk masuknya negara luar ke dalam wilayah kawasan
ataupun dibangunnya suatu kerja sama atau aliansi antara
negara luar dengan satu atau beberapa negara dalam kawasan.
Tanpa adanya kerja sama keamanan kawasan di Asia
Timur, negara-negara cenderung akan menciptakan pola
persahabatan yang mendasari terbentuknya formulasi kedekatan
serta juga akan menciptakan pola permusuhan dalam suatu
kawasan yang mungkin bisa berimplikasi pada terjadinya
perang antarnegara.

4.1 Anarkisme dan Peluang Kerja Sama Keamanan di


Kawasan
Kondisi anarkis di kawasan Asia Timur terbentuk dari
dua atau lebih unit-unit otonom. Artinya, apabila suatu negara

M Najeri Al Syahrin | 91
Keamanan Asia Timur

mengeluarkan kebijakan keamanan yang provokatif, maka hal


tersebut akan memicu respon dari negara lain, begitu pula
sebaliknya. Kondisi ini menandakan bahwa kecurigaan dan
suasana persaingan yang memicu permusuhan masih tinggi
terjadi di kawasan Asia Timur. Anarkisme kawasan ini pada
akhirnya akan mengakibatkan minimnya dialog dan proses
komunikasi antarnegara dalam bentuk kerja sama bilateral
maupun multilateral.
Kondisi anarkis di kawasan Asia Timur juga terjadi
karena tidak adanya otoritas yang berwenang dalam proses
penyelesaian secara damai apabila terjadi konflik di antara
negara-negara kawasan Asia Timur. Maka, pembentukan kerja
sama atau rezim keamanan yang efektif dinilai sangat perlu
untuk dilakukan dalam upaya mengatasi permasalahan
keamanan di kawasan Asia Timur.
Terdapat dua hal utama yang perlu diperhatikan dalam
pembentukan kerja sama kawasan di Asia Timur ini. Pertama,
pembentukan kerja sama kawasan mutlak dipengaruhi oleh
faktor-faktor di luar kawasan. Tekanan internasional dan tata
kelola global terkait dengan permasalahan ekonomi dan
keamanan dinilai akan mempengaruhi terbentuknya kerja sama

M Najeri Al Syahrin | 92
Keamanan Asia Timur

antarnegara di kawasan Asia Timur. Kedua, bentuk kerja sama


akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang
saling terhubung di antara negara-negara kawasan. Keinginan
untuk membentuk kerja sama kawasan didasarkan pada
kepentingan antarnegara maupun antarkawasan (Austin &
Harris 2001, 280).
Meskipun tekanan internasional dan kepentingan
antarnegara menentukan dalam upaya pembentukan kerja sama
kawasan, keterlibatan Cina selalu memiliki peran penting dalam
pembentukan kerja sama di kawasan. Keterlibatan Cina akan
sangat membuka peluang bagi terbentuknya kerja sama
kawasan karena Cina memiliki letak geografis yang strategis
serta didukung oleh kekuatan ekonomi dan militernya (Austin
& Harris 2001, 280).
Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, interaksi
antarnegara di kawasan Asia Timur sangat dipengaruhi oleh
meningkatnya kekuatan ekonomi, militer, serta keterlibatan
aktif Cina dalam organisasi internasional dan kerja sama
multilateral. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun ke depan
hubungan antarnegara di kawasan Asia Timur akan dipengaruhi

M Najeri Al Syahrin | 93
Keamanan Asia Timur

oleh respon terhadap politik luar negeri Cina sebagai kekuatan


baru di kawasan maupun global (Shambaugh 2005, 1).
Selain terus berupaya mengembangkan kekuatan ekonomi,
Cina juga terus berupaya mengembangkan pengaruh politiknya
di antara negara-negara kawasan Asia Timur. Bagi Cina,
pembentukan organisasi kawasan, baik di kawasan Asia Timur
maupun kawasan lain di Asia, selalu didominasi oleh
kepentingan Amerika Serikat. Ini meliputi juga kerja sama
keamanan antara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea
Selatan. Posisi dominan Amerika Serikat di kawasan Asia
Timur terkait dengan aliansi pertahanan dengan Jepang dan
Korea Selatan juga bisa menjamin kepentingan lain bagi
Amerika Serikat di kawasan. Pembentukan aliansi pada
awalnya berfungsi untuk membendung pengaruh komunisme,
tetapi kini aliansi tersebut bisa berkembang ke berbagai aspek
kerja sama lainnya (Austin & Harris 2001, 281).
Cina khawatir bahwa aliansi berfungsi lebih luas untuk
meluaskan dominasi ekonomi dan militer Amerika Serikat dan
Jepang di kawasan Asia Timur. Dengan demikian,
pembentukan organisasi kawasan bukan menjadi prioritas
utama dalam politik luar negeri Cina di kawasan Asia Timur.

M Najeri Al Syahrin | 94
Keamanan Asia Timur

Tetapi, bagi Jepang, situasi ketidakpastian politik dan


keamanan di kawasan akan menjadi pengalang bagi kemajuan
ekonominya. Perbedaan pandangan inilah yang kemudian
menjadi kendala bagi pembentukan kerja sama kawasan,
padahal peran Cina dan Jepang sangat penting dalam
pembentukan organisasi keamanan kawasan (Austin & Harris
2001, 281).
Selain itu, aspek penting dalam proses kerja sama
kawasan adalah terbentuknya institusi kawasan. Pasca Perang
Dingin, terdapat beberapa perubahan paradigma dalam
pembentukan institusi kerja sama keamanan di kawasan Asia
Timur. Kerja sama keamanan di kawasan Asia Timur secara
umum dinilai sangat berbeda dengan kerja sama yang sudah
terjalin di Uni Eropa maupun kawasan Asia lainnya. Kawasan
Asia Timur dianggap merupakan kawasan yang rentan terhadap
permasalahan internal dari negara-negara di kawasan tersebut.
Permasalahan Semenanjung Korea, kompetisi antarnegara
adidaya, dan kerja sama pertahanan trilateral antara Amerika
Serikat, Korea Selatan dan Jepang menjadi hambatan utama
dalam pembentukan institusi keamanan di kawasan Asia Timur
(Work, 2015).

M Najeri Al Syahrin | 95
Keamanan Asia Timur

Meskipun banyak kendala dalam pembentukan institusi


kerja sama di kawasan Asia Timur, terdapat beberapa
perubahan signifikan, yaitu perkembangan ekonomi
negara-negara Asia Timur dan aktivitas kerja sama antarnegara
Asia Timur dengan kawasan lain seperti ASEAN atau Uni
Eropa. Perkembangan ini dinilai tidak hanya akan
meningkatkan kerja sama antara negara-negara di kawasan,
tetapi juga perkembangan terbentuknya institusi kawasan.
Kewajiban utama dari regionalisasi adalah jaminan
terhadap perdamaian, transparansi proses pengambilan
keputusan, peningkatan pertumbuhan ekonomi, dan distribusi
secara adil dan merata keuntungan-keuntungan yang didapat
dari proses integrasi tersebut (Austin & Harris 2001, 277).
North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan Uni
Eropa dianggap merupakan contoh dari keberhasilan
regionalisasi ekonomi kawasan. Seiring dengan berjalannya
waktu, NAFTA dan Uni Eropa berkembang menjadi organisasi
kerja sama yang mencakup aspek-aspek yang luas, termasuk
keamanan. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan
ekonomi dan distribusinya yang merata akan berdampak pada
meningkatnya hubungan politik dan keamanan antarnegara

M Najeri Al Syahrin | 96
Keamanan Asia Timur

dalam satu organisasi kawasan tertentu (Austin & Harris 2001,


277).
Hal yang berbeda terjadi di kawasan Asia Timur.
Ketimpangan ekonomi masih terasa di antara negara kawasan,
khususnya Korea Utara. Selain itu, struktur politik antarnegara
di kawasan Asia Timur juga sangat berbeda. Hal inilah yang
menjadi kendala dalam pembentukan kerja sama yang efektif.
Kehadiran dan intervensi Amerika Serikat di Asia Timur juga
dianggap berbeda dengan yang sudah terjadi di Amerika Utara
(NAFTA). Di kawasan Amerika Utara, Amerika Serikat secara
langsung berupaya secara aktif untuk melakukan stabilitasi dan
integrasi ekonomi melalui organisasi NAFTA.
Sedangkan di kawasan Asia Timur, Amerika Serikat tidak
menjadikan integrasi ekonomi kawasan menjadi prioritas utama.
Kebijakan Amerika Serikat lebih banyak berfokus pada rivalitas
politik dan ideologi antarnegara kawasan yang terkait dengan
konfrontasi dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin
(Tsuneo 2007, 185). Pasca Perang Dingin, orientasi kebijakan
Amerika Serikat di kawasan juga tidak berubah secara
signifikan. Amerika Serikat masih menilai Cina sebagai

M Najeri Al Syahrin | 97
Keamanan Asia Timur

ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia


Timur.
Banyak kalangan menilai bahwa kebangkitan Cina, baik
secara ekonomi maupun militer, akan berimplikasi langsung
terhadap kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur.
Dewasa ini, Amerika Serikat masih dianggap sebagai negara
dengan kekuatan ekonomi dan militer yang berpengaruh di
dunia. Tetapi, kini Cina dinilai sudah bisa mengimbangi
kekuatan militer dan pengaruh politik Amerika Serikat,
setidaknya di kawasan Asia Timur. Tingginya pertumbuhan
ekonomi Cina membuat ia bisa melakukan akselerasi dalam
modernisasi militer. Hal tersebut menjadikan Cina sebagai
ancaman potensial bagi kepentingan Amerika Serikat di
kawasan Asia Timur (Katzenstein 2012, 21-22).
Kebijakan untuk menciptakan organisasi keamanan
multilateral yang mengatur permasalahan keamanan kawasan
merupakan salah satu kebijakan keamanan yang utama bagi
Amerika Serikat pasca Perang Dingin. Di Eropa, Amerika
Serikat memegang peran penting dalam pengaturan keamanan
kawasan melalui North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Kebijakan ini juga terus diupayakan Amerika Serikat di

M Najeri Al Syahrin | 98
Keamanan Asia Timur

kawasan Asia Timur. Upaya untuk mengusahakan sebuah


organisasi keamanan multilateral di kawasan Asia Timur
didorong melalui berbagai inisiatif kerja sama di dalam
mekanisme Six Party Talks (Barnathan 2014, 358).
Six Party Talks merupakan salah satu upaya untuk
memperkuat rezim non-proliferasi senjata nuklir yang bertujuan
untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan Asia Timur.
Perkembangan senjata nuklir dan rudal balistik Korea Utara
merupakan ancaman nyata bagi keamanan kawasan dan
masyarakat internasional. Six Party Talks merupakan komitmen
bersama antara negara-negara yang berkepentingan di kawasan
Asia Timur untuk melakukan pembicaraan tingkat lanjut
sebagai akibat dari mundurnya Korea Utara dari NPT pada
tahun 2003 (Wit & Wolfsthal & Oh 2005, 1). Six Party Talks
bertujuan mengakhiri program nuklir Korea Utara melalui
negosiasi yang melibatkan Cina, Amerika Serikat, Korea Utara,
Korea Selatan, Jepang, dan Rusia. Perjanjian ini mencapai jalan
buntu ketika Korea Utara keluar dari negosiasi di tahun 2009.
Pada tahun 2012, di bawah pemimpin baru Kim Jong-un,
Korea Utara mengumumkan akan menunda uji coba nuklir dan
mengizinkan beberapa pengawas internasional untuk memantau

M Najeri Al Syahrin | 99
Keamanan Asia Timur

pusat pengayaan uranium Korea Utara dengan syarat diadakan


moratorium bantuan pangan dari Amerika Serikat (Bajoria &
Xu, 2015). Six Party Talks diperlukan sebagai mekanisme dan
aturan bersama dalam menghadapi ancaman jangka pendek
maupun jangka panjang. Pendekatan ini secara bertahap
dilakukan untuk saling membangun kepercayaan dan keyakinan
bersama bahwa Semenanjung Korea akan bisa menjadi
kawasan bebas senjata nuklir. Namun, dalam prosesnya Six
Party Talks dianggap kurang efektif dan belum berfungsi
maksimal dalam upaya menghentikan ketegangan senjata nuklir
di kawasan Asia Timur (Martin 2009, 13).
Penulis menilai bahwa kerja sama ekonomi dan
keamanan di kawasan Asia Timur masih sulit terjalin karena
banyaknya hambatan dan kendala bagi setiap negara di
kawasan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain berupa
kompetisi antarnegara adidaya dan aliansi pertahanan trilateral
antara Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. Selain itu,
kemampuan ekonomi yang masih tidak seimbang dan
banyaknya perbedaan sifat dan orientasi kepentingan politik
antarnegara kawasan Asia Timur menjadi kendala-kendala
dalam pembentukan organisasi dan kerja sama kawasan. Six

M Najeri Al Syahrin | 100


Keamanan Asia Timur

Party Talks yang selama ini diharapkan menjadi rezim


keamanan yang bisa berfungsi maksimal dalam upaya
stabilisasi keamanan kawasan juga dinilai belum mampu secara
efektif meredakan ketegangan, khususnya dalam perkembangan
senjata nuklir di kawasan Asia Timur.
Sampai saat ini, berbagai perjanjian, perundingan, dan
kesepakatan yang sudah terjalin belum efektif dalam upaya
menyelesaikan ketegangan dan kompleksitas keamanan yang
terjadi di kawasan Asia Timur. Kompleksitas keamanan ini
pada akhirnya akan berbahaya bagi stabilitas keamanan tidak
hanya kawasan Asia Timur saja, tetapi juga kawasan lain di
sekitarnya. Selain itu, anarkisme kawasan yang
mengkhawatirkan ini akan menguras biaya dan perhatian yang
sangat besar dari negara kawasan maupun negara lain yang
berkepentingan di kawasan Asia Timur.
Pada akhirnya, anarkisme kawasan ini akan
mengakibatkan hubungan keamanan antarnegara kawasan
menjadi tidak seimbang serta selalu dipenuhi kecurigaan dan
ketegangan satu sama lainnya. Ketidakseimbangan hubungan
antarnegara di kawasan akan memunculkan kondisi tertentu,
yaitu ketika suatu negara tidak bisa mengikuti dinamika

M Najeri Al Syahrin | 101


Keamanan Asia Timur

keseimbangan tersebut dan akhirnya rentan menjadi sasaran


dominasi dan hegemoni negara lain.

4.2 Kompleksitas Keamanan Kawasan Sebagai Tantangan


Utama dalam Pembentukan Kerja Sama Kawasan.
Dua atau lebih unit-unit otonom menciptakan kondisi
anarkis di kawasan Asia Timur. Artinya, apabila kebijakan
keamanan suatu negara bersifat provokatif, maka akan memicu
respon dari negara lain, begitu pula sebaliknya. Hal ini
menandakan bahwa suasana persaingan dan kecurigaan masih
sangat tinggi terjadi, sehingga akhirnya akan menjadi pemicu
permusuhan antarnegara. Kondisi ini kemudian juga akan
menciptakan anarkisme kawasan yang pada akhirnya
mengakibatkan minimnya dialog dan proses komunikasi
antarnegara dalam bentuk kerja sama regional maupun
multilateral.
Kondisi ini semakin tidak menentu apabila terjadi konflik
antarnegara di kawasan, tidak adanya otoritas yang berwenang
dalam proses penyelesaian konflik secara damai akan
memungkinkan negara-negara untuk berperang guna
menyelesaikan permasalahan mereka. Pembentukan kerja sama

M Najeri Al Syahrin | 102


Keamanan Asia Timur

atau rezim keamanan yang efektif dinilai sangat perlu untuk


dilakukan dalam upaya mengatasi permasalahan keamanan
tersebut. Dalam upaya menciptakan rezim atau institusi
keamanan kawasan, terdapat dua hal utama yang perlu
dilakukan. Pertama, faktor-faktor diluar kawasan khususnya
peranan Amerika Serikat yang ikut mempengaruhi
pembentukan kerja sama kawasan mutlak sangat diperhatikan
oleh negara-negara di kawasan Asia Timur.
Tekanan internasional dan tata kelola global terkait
dengan permasalahan ekonomi dan keamanan Amerika Serikat
dinilai akan mempengaruhi terbentuknya kerja sama
antarnegara di kawasan Asia Timur. Kebijakan keamanan
Amerika Serikat selalu berupaya untuk menciptakan organisasi
keamanan multilateral atau regional untuk mengatur
permasalahan keamanan. Pembentukan NATO (North Atlantic
Treaty Organization) dan SEATO (South East Asia Treaty
Organization) merupakan bukti bahwa kebijakan untuk
menciptakan organisasi keamanan selalu diupayakan oleh
Amerika Serikat (Austin & Harris 2001, 280).
Kawasan Asia Timur juga merupakan salah satu kawasan
yang secara resmi diumumkan Amerika Serikat sebagai

M Najeri Al Syahrin | 103


Keamanan Asia Timur

kawasan strategis di dunia. Strategi rebalancing yang


difokuskan ke kawasan Asia-Pasifik dan Asia Timur secara
khusus, telah mengubah paradigma keamanan Amerika Serikat
kontemporer. Penarikan pasukan dari kawasan Timur Tengah
memperkuat indikasi adanya perubahan strategi dalam
kebijakan militer Amerika Serikat ke kawasan Asia Pasifik dan
Asia Timur. Penarikan pasukan, sebanyak 60% yang dulunya
berada di Timur Tengah yang kemudian ditempatkan di bawah
komando The United States Pacific Command (USPACOM)
merupakan bukti bahwa Amerika Serikat menganggap kawasan
Asia Timur merupakan salah satu kawasan strategis global
(Planifolia 2017, 1).
Kedua, keterlibatan aktif Cina selalu memiliki peran
penting dalam pembentukan kerja sama di kawasan. Bentuk
kerja sama akan banyak dipengaruhi oleh kepentingan yang
terhubung dengan kepentingan Cina. Keterlibatan Cina akan
membuka peluang bagi terbentuknya kerja sama kawasan,
karena Cina memiliki letak geografis yang strategis serta
didukung oleh kekuatan ekonomi dan militernya. Apabila Cina
melihat banyak kepentingan yang akan diraih apabila institusi
keamanan kawasan Asia Timur terbentuk, maka akan ada upaya

M Najeri Al Syahrin | 104


Keamanan Asia Timur

aktif Cina untuk ikut berpartisipasi dalam rezim keamanan


regional. Menurut Shambaugh (2005, 1), dalam beberapa tahun
terakhir, interaksi antarnegara di kawasan Asia Timur sangat
dipengaruhi oleh meningkatnya kekuatan ekonomi, militer serta
keterlibatan aktif Cina dalam organisasi internasional dan kerja
sama multilateral. Sehingga sangat wajar dalam beberapa tahun
ke depan hubungan antarnegara di kawasan akan dipengaruhi
oleh respon dan persepsi terhadap politik luar negeri Cina
sebagai kekuatan baru global.
Selain terus berupaya mengembangkan kekuatan ekonomi,
Cina juga terus berupaya untuk mengembangkan pengaruh
politiknya di antara negara-negara kawasan Asia Timur. Bagi
Cina pembentukan organisasi kawasan, baik di kawasan Asia
Timur maupun kawasan lain di Asia, selalu didominasi oleh
kepentingan Amerika Serikat. Ini meliputi juga kerja sama
keamanan antara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea
Selatan. Meskipun pengembangan ekonomi dan politik selalu
dilakukan oleh Cina di kawasan, pembentukan organisasi
keamanan kawasan bagi Cina hanya akan selalu didominasi
oleh kepentingan dan hegemoni Amerika Serikat.

M Najeri Al Syahrin | 105


Keamanan Asia Timur

Upaya dominasi tersebut merupakan bentuk konfirmasi


atas adanya kekhawatiran Amerika Serikat terhadap
peningkatan kapabilitas yang sudah dilakukan oleh Cina. Posisi
dominan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur tersebut
selalu diupayakan dengan pembentukan mitra keamanan
dengan Jepang dan Korea Selatan. Hal tersebut diharapkan bisa
memberikan jaminan kepentingan Amerika Serikat. Meskipun
pada awalnya pembentukan aliansi tersebut berfungsi untuk
membendung pengaruh komunisme di kawasan Asia Pasifik,
tetapi kini aliansi tersebut bisa berkembang ke berbagai aspek
kerja sama strategis lainnya (Austin & Harris 2001, 21).
Aliansi tersebut dilihat oleh Cina hanya sebagai upaya
perluasan dominasi ekonomi dan politik Amerika Serikat.
Melihat kondisi tersebut sangat sulit bagi Cina untuk
menjadikan pembentukan organisasi kawasan menjadi prioritas
kebijakan keamanan Cina di kawasan. Perbedaan pandangan
inilah yang kemudian menjadi kendala bagi pembentukan kerja
sama kawasan, padahal peran Amerika Serikat dan Cina sangat
penting dalam pembentukan organisasi keamanan kawasan.
Selain itu, untuk memahami bagaimana kerja sama
keamanan yang efektif dalam meminimalisir konflik di

M Najeri Al Syahrin | 106


Keamanan Asia Timur

kawasan, terdapat aspek penting dalam proses implementasi


kerja sama kawasan, yaitu terbentuknya institusi kawasan.
Kerja sama keamanan yang efektif berupa terbentuknya
institusi kawasan diharapkan bisa mengurangi kerumitan
hubungan keamanan antarnegara selain tentunya sebagai sarana
efektif untuk meminimalisir dan menyelesaikan konflik.
Terdapat beberapa perubahan paradigma dalam
pembentukan institusi kerja sama keamanan di kawasan Asia
Timur pasca Perang Dingin. Permasalahan internal
negara-negara di kawasan, dianggap menjadi permasalahan
pokok yang menjadi alasan sulitnya negara-negara tersebut
untuk saling bekerja sama. Permasalahan nuklir di
Semenanjung Korea, kompetisi antarnegara adidaya khususnya
antara Cina dan Amerika Serikat, dan kerja sama pertahanan
trilateral antara Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jepang
menjadi hambatan utama dalam pembentukan institusi
keamanan di kawasan Asia Timur (Work 2015).
Beberapa perubahan positif tetap terjadi di Asia Timur,
ditengah banyaknya problematika dan kendala dalam
pembentukan institusi kerja sama di kawasan. Perubahan
tersebut berwujud aktivitas kerja sama antarnegara Asia Timur

M Najeri Al Syahrin | 107


Keamanan Asia Timur

yang dilakukan dengan kawasan lain seperti ASEAN atau Uni


Eropa. Diharapkan, perkembangan ini dinilai tidak hanya akan
meningkatkan kerja sama antara negara-negara antarkawasan
saja, tetapi juga perkembangan terbentuknya institusi di
kawasan Asia Timur sendiri (Austin & Harris 2001, 277).
Proses regionalisasi akan dianggap efektif apabila bisa
memenuhi beberapa instrumen berikut, yaitu jaminan terhadap
perdamaian, adanya transparansi proses pengambilan keputusan,
peningkatan ekonomi dan distribusi manfaat dan keuntungan
yang didapat dari proses integrasi tersebut secara adil kepada
seluruh negara yang berpartisipasi di kawasan. Terdapat
beberapa contoh keberhasilan regionalisasi ekonomi kawasan,
seperti Uni Eropa atau North American Free Trade Agreement
(NAFTA).
Pada awalnya organisasi-organisasi tersebut tercipta
karena adanya kebutuhan ekonomi, seiring berjalan waktu
cakupan kerja sama didalamnya berkembang lebih luas
termasuk juga kerja sama dalam aspek keamanan. Hal ini
mengindikasikan bahwa ekonomi bisa menjadi faktor penentu
dan memiliki dampak pada peningkatan hubungan politik dan

M Najeri Al Syahrin | 108


Keamanan Asia Timur

keamanan antarnegara dalam proses regionalisasi kawasan


(Tsuneo, cited in Mori & Kenichiro 2007, 187)
Dengan menjadikan ekonomi sebagai pemicu dalam
pembentukan keamanan kawasan masih sulit untuk diterapkan
di Asia Timur, karena struktur politik dan ekonomi antarnegara
di kawasan sangat berbeda. Hal inilah yang yang masih juga
menjadi kendala lain dalam pembentukan kerja sama keamanan
yang efektif di kawasan. Kehadiran dan intervensi Amerika
Serikat juga dianggap berbeda dengan yang sudah terjadi di
Amerika Utara (NAFTA). Di kawasan Amerika Utara, Amerika
Serikat secara langsung berupaya secara aktif untuk melakukan
stabilitasi dan integrasi ekonomi melalui organisasi NAFTA.
Sedangkan di kawasan Asia Timur, Amerika Serikat dan
Cina tidak menjadikan integrasi ekonomi kawasan menjadi
prioritas utama. Kebijakan Amerika Serikat lebih banyak
berfokus pada rivalitas politik dan ideologi antarnegara
kawasan yang terkait dengan konfrontasi dengan Uni Soviet
pada masa Perang Dingin. Kini, kebijakan Amerika Serikat
lebih banyak berorientasi pada kebijakan keamanan dan militer
dan upaya untuk membendung pengaruh Cina. Orientasi
kebijakan Amerika Serikat di kawasan masih berfokus rivalitas

M Najeri Al Syahrin | 109


Keamanan Asia Timur

antarnegara sehingga sulit untuk saling mencapai kesepakatan


dalam kerja sama (Tsuneo, cited in Mori & Kenichiro 2007,
187).
Kondisi tersebut pada akhirnya mengakibatkan
munculnya dua hierarki utama di kawasan Asia Timur. Hierarki
keamanan didominasi oleh Amerika Serikat, dan hierarki
ekonomi yang didominasi oleh Cina. Negara-negara di kawasan
tersebut, khususnya Jepang dan Korea Selatan selalu
mengandalkan Amerika Serikat untuk memberikan jaminan
keamanan. Sistem aliansi yang dipimpin Amerika Serikat telah
berjalan dengan baik selama berpuluh-puluh tahun.
Pada saat yang sama, sebagian besar negara di kawasan
Asia Timur semakin terikat juga dengan Cina dalam hal
perdagangan dan investasi. Selama beberapa dekade terakhir,
negara-negara yang sebelumnya menjadikan Amerika Serikat
sebagai negara mitra dagang seperti Jepang dan Korea Selatan,
sekarang mulai beralih untuk menjadikan Cina sebagai mitra
dagang yang utama. Dewasa ini, meskipun Amerika Serikat
masih dianggap sebagai negara dengan kekuatan ekonomi dan
militer yang berpengaruh di dunia. Tetapi, kini Cina dinilai
sudah bisa mengimbangi kekuatan militer dan pengaruh politik

M Najeri Al Syahrin | 110


Keamanan Asia Timur

Amerika Serikat tersebut, setidaknya di kawasan Asia Timur.


Tingginya pertumbuhan ekonomi Cina membuat ia bisa
melakukan akselerasi dalam modernisasi militer. Meskipun
Amerika Serikat masih merupakan negara dengan kemampuan
ekonomi dan pasar yang potensial di dunia, namun Cina adalah
pusat ekonomi baru di wilayah Asia dan diprediksi akan terus
berkembang sebagai negara adidaya ekonomi di masa depan
(Ikenberry 2016, 9-11). Banyak kalangan menilai bahwa
kebangkitan Cina tersebut, baik secara ekonomi maupun militer,
akan berimplikasi langsung terhadap kepentingan Amerika
Serikat di kawasan Asia Timur dan secara langsung akan
menjadikan Cina sebagai ancaman potensial bagi kepentingan
Amerika Serikat di kawasan Asia Timur (Katzenstein 2012,
21-22).
Membuktikan keseriusan Amerika Serikat untuk semakin
menguatkan pengaruhnya di kawasan Asia Timur, Presiden
Amerika Serikat, Donald Trump telah melakukan kunjungan
kenegaraan ke Jepang dan Korea Selatan serta beberapa negara
Asia lainnya untuk mewaspadai peningkatan pengaruh dan
dominasi Cina di kawasan. Perjalanan Trump yang dilakukan
selama 12 hari pada November 2017, dilontarkan oleh

M Najeri Al Syahrin | 111


Keamanan Asia Timur

Washington sebagai cara untuk meredakan kekhawatiran


terhadap Cina serta menunjukkan komitmen yang tinggi
terhadap kondisi keamanan kawasan Asia Timur (Holmes
2017). Namun sisi menariknya dari hubungan rivalitas ini
adalah beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan,
cenderung untuk menginginkan hierarki ganda ini terjadi di
kawasan. Mereka tidak ingin membuat pilihan secara langsung
untuk memilih berada di kubu Amerika Serikat ataupun Cina.
Mereka ingin menerima manfaat keamanan dari bersekutu
dengan Amerika Serikat dan juga mendapat keuntungan
ekonomi dari perdagangan dengan Cina (Ikenberry 2016, 9-11).
Atas kondisi ini, akibatnya Amerika Serikat dan Cina
akan semakin bersaing untuk mempengaruhi negara-negara lain
di kawasan. Dalam kompetisi hegemonik ini, Amerika Serikat
dan Cina sama-sama menawarkan keuntungan dari
kepemimpinan mereka di kawasan tanpa berupaya untuk saling
bekerja sama. Mereka masing-masing memiliki ‘stick and
carrot’ untuk mendorong negara-negara di kawasan Asia Timur
sebagai negara mitra utama. Amerika Serikat menawarkan
sistem kerja sama dan aliansi yang bisa menjadi aset keamanan,
dan Cina menawarkan aset perdagangan dan investasinya.

M Najeri Al Syahrin | 112


Keamanan Asia Timur

Rivalitas ini tentu akan sulit dalam mencapai konsensus


bersama dalam pembentukan kerja sama keamanan kawasan,
karena Amerika Serikat dan Cina cenderung memiliki
kepentingan ekonomi dan politik yang berbeda (Ikenberry 2016,
9-11).
Kompleksitas keamanan kawasan di Asia Timur pada
dasarnya menjelaskan tentang kondisi keamanan Cina, Jepang,
Korea Selatan, dan Korea Utara yang tidak stabil karena terjadi
persaingan antara negara-negara besar. Kompleksitas keamanan
kawasan tersebut juga semakin rumit dengan meningkatnya
peran Cina di kawasan baik dalam aspek militer, ekonomi
maupun politik. Perkembangan kekuatan militer dan ekonomi
Cina semakin meningkatkan kecurigaan dan rivalitas
antarnegara di kawasan Asia Timur. Rivalitas tersebut pada
akhirnya menjadi hambatan dan kendala bagi pembentukan
organisasi dan kerja sama kawasan.
Kerja sama keamanan di kawasan Asia Timur masih sulit
terjalin karena banyaknya hambatan dan kendala bagi setiap
negara di kawasan. Hambatan-hambatan tersebut antara lain
berupa kompetisi antarnegara adidaya. Pada masa Perang
Dingin, terdapat konfrontasi ideologi antara Amerika Serikat

M Najeri Al Syahrin | 113


Keamanan Asia Timur

dengan Uni Soviet yang membuat Amerika Serikat bergabung


dengan aliansi Jepang dan Korea Selatan dan Uni Soviet
bersama dengan Cina dan Korea Utara. Kini persaingan
strategis juga terjadi antara Amerika Serikat dengan Cina.
Hierarki keamanan yang didominasi oleh Amerika Serikat, dan
yang lainnya adalah hierarki ekonomi yang didominasi oleh
Cina. Persaingan tersebut tidak hanya terjadi di antara
negara-negara kawasan saja, tetapi juga negara di luar kawasan.
Perbedaan kepentingan antara Cina dan Amerika Serikat
juga menjadi permasalahan krusial, bagi Cina pembentukan
organisasi keamanan kawasan hanya akan selalu didominasi
oleh kepentingan Amerika Serikat. Begitupula sebaliknya, bagi
Amerika Serikat, regionalisasi dan pembentukan institusi
kawasan akan menjadikan pengaruh dan dominasi Amerika
Serikat terhadap negara-negara Asia Timur akan berkurang, dan
hal ini akan menyebabkan Cina bisa semakin meluaskan
pengaruhnya di kawasan. Upaya dominasi tersebut merupakan
bentuk konfirmasi atas adanya rasa kekhawatiran Amerika
Serikat terhadap peningkatan kapabilitas hegemoni yang akan
dilakukan oleh Cina, begitupula sebaliknya.

M Najeri Al Syahrin | 114


Keamanan Asia Timur

Banyaknya perbedaan sifat dan orientasi kepentingan


politik antarnegara kawasan Asia Timur juga masih menjadi
kendala-kendala dalam pembentukan organisasi dan kerja sama
kawasan. Sampai saat ini, berbagai perjanjian, perundingan, dan
kesepakatan yang sudah terjalin belum efektif dalam upaya
menyelesaikan ketegangan dan kompleksitas keamanan yang
terjadi di kawasan Asia Timur. Kompleksitas keamanan ini
pada akhirnya akan berbahaya bagi stabilitas keamanan tidak
hanya kawasan Asia Timur saja, tetapi juga kawasan lain di
sekitarnya.
Selain itu, anarkisme kawasan akibat tidak adanya aturan
dan kesepakatan bersama dalam keamanan akan menguras
biaya dan perhatian yang sangat besar dari negara kawasan
maupun negara lain yang berkepentingan di kawasan Asia
Timur. Pada akhirnya, anarkisme kawasan ini akan
mengakibatkan hubungan keamanan antarnegara kawasan
menjadi tidak seimbang serta selalu dipenuhi kecurigaan dan
ketegangan satu sama lainnya. Ketidakseimbangan hubungan
antarnegara di kawasan akan memunculkan kondisi tertentu,
yaitu ketika suatu negara tidak bisa mengikuti dinamika

M Najeri Al Syahrin | 115


Keamanan Asia Timur

keseimbangan tersebut dan akhirnya rentan menjadi sasaran


dominasi negara lain.

****

M Najeri Al Syahrin | 116


Keamanan Asia Timur

BAB V
NUKLIR KOREA UTARA DAN INTERVENSI
NEGARA
ADIDAYA DI KAWASAN
****
Pengembangan senjata nuklir merupakan permasalahan
yang sangat penting bagi stabilitas keamanan kawasan selama
dua dekade terakhir. Oleh karena itulah pembahasan nuklir
Korea Utara mendapatkan “tempat” tersendiri dalam buku ini.
Isu nuklir Korea Utara bagi penulis merupakan isu penting
sebagai tolok ukur hubungan keamanan negara-negara Asia
Timur.
Meskipun kini, terdapat beberapa perkembangan positif
terkait isu denuklirisasi Korea sejak pertemuan Presiden AS
dengan Pemimpin Korea Utara di Singapura. Asia Timur tetap
merupakan salah satu kawasan yang paling rentan akan bahaya
nuklir. Permasalahan nuklir Korea Utara telah menjadi
ancaman tidak hanya bagi keamanan negara-negara di kawasan
Asia Timur saja, tetapi juga negara diluar kawasan tersebut.
Amerika Serikat sebagai negara yang berpengaruh dalam
geopolitik dan geostrategi global diharapkan bisa menerapkan

M Najeri Al Syahrin | 117


Keamanan Asia Timur

kebijakan yang mempertahankan stabilitas keamanan kawasan


Asia Timur. Hal ini tentu memberikan tantangan bagi Presiden
Donald Trump, dalam memainkan peranannya sebagai negara
adidaya yang memiliki pengaruh di kawasan Asia Timur.
Sejalan dengan perubahan yang terus terjadi dibawah
kepemimpinan Trump, Semenanjung Korea selalu menawarkan
tantangan bagi kepentingan keamanan Amerika Serikat di
kawasan Asia Timur. Di satu sisi, Korea Selatan telah
mengembangkan kapasitas, meningkatkan kemampuan militer
dan memungkinkan kerja sama yang lebih aktif dengan
Amerika Serikat dalam upaya menjaga kepentingan keamanan
masing-masing negara di kawasan Asia Timur. Di sisi lain,
rezim otoriter Korea Utara telah memperluas kemampuan
nuklirnya dengan terus melakukan pengembangan rudal kendali
jarak jauh dan secara langsung telah mengancam kepentingan
Amerika Serikat di kawasan Asia Timur (Pritchard & Tilelli,
2010).
Kebijakan kawasan Asia Timur akan menjadi salah satu
kebijakan keamanan yang penting bagi Amerika Serikat dalam
beberapa tahun kedepan. Tentu kebijakan ini akan secara
hati-hati dirumuskan, dan sejauh mana perubahan yang akan

M Najeri Al Syahrin | 118


Keamanan Asia Timur

terjadi pada kebijakan Amerika Serikat di bawah Trump apabila


dibandingkan dengan strategi Poros Pasifik yang sudah
dijalankan oleh Presiden Obama sebelumnya. Perhatian kini
tertuju pada karakter pribadi Trump yang kontroversial.
Dalam beberapa kesempatan, Trump kerap menyuarakan
perbedaan mencolok dengan tradisi kebijakan luar negeri
Amerika Serikat selama ini. Ia mendukung penggunaan senjata
nuklir bagi Korea Selatan dan Jepang. Trump juga sering
memberikan pernyataan 'sarkastik' terhadap Cina dan Korea
Utara, baik yang diungkapkan melalui kicauan Twitter maupun
media massa secara langsung sehingga semakin memperkeruh
keadaan. Trump juga melontarkan pernyataan bahwa opsi
militer akan memungkinkan untuk digunakan Amerika Serikat
dalam menangani permasalahan nuklir Korea Utara.
Hal ini tentu saja menimbulkan perdebatan sengit. Jepang,
Korea Selatan dan Cina tentu tidak menginginkan opsi
penggunaan kekuatan militer terhadap Korea Utara karena akan
mengakibatkan perang di kawasan. Opsi militer juga pasti akan
memberikan dampak luas tidak hanya di kawasan Asia Timur
tetapi juga kawasan Asia secara umum. Sejauh mana Trump

M Najeri Al Syahrin | 119


Keamanan Asia Timur

bisa menyiasati keadaan di kawasan tanpa menggunakan


kekuatan militer tentu menjadi pembahasan yang menarik.
Berdasarkan paparan tersebut bab ini ingin memaparkan
bagaimana perubahan arah kebijakan keamanan Amerika
Serikat terhadap program nuklir Korea Utara selama
kepemimpinan Donald Trump apabila dibandingkan dengan
kebijakan-kebijakan Amerika Serikat sebelumnya.
Lebih jauh, bab ini juga akan menganalisis efektivitas
strategi yang akan digunakan Trump untuk menghentikan
program nuklir Korea Utara, yang mana telah gagal dilakukan
oleh Presiden-Presiden Amerika Serikat sebelumnya. Dalam
konteks ini, tentu akan sangat menarik untuk menganalisis
berbagai kemungkinan strategi dan kebijakan yang akan
diambil oleh Trump, apakah pilihan kebijakan militer akan
menjadi kebijakan prioritas Amerika Serikat dan sejauh mana
kebijakan tersebut menyimpang dari kebijakan-kebijakan yang
selama ini sudah dilakukan Presiden Amerika Serikat
sebelumnya.

M Najeri Al Syahrin | 120


Keamanan Asia Timur

5.1 Refleksi Kebijakan Keamanan Amerika Serikat Era


Clinton, Bush, dan Obama
Selama lebih dari 25 tahun kebijakan keamanan
Amerika Serikat dan pendekatan diplomatik yang dilakukan
telah mengalami kegagalan dalam upaya membujuk Korea
Utara untuk menghentikan program nuklirnya. Dalam beberapa
dekade, Amerika Serikat selalu mengupayakan kesepakatan
dengan rezim Korea Utara dalam rangka untuk menjaga
kepentingannya di kawasan. Pada masa pemerintahan Bill
Clinton, Amerika Serikat pada 21 Oktober 1994 mencoba
membujuk Korea Utara dengan Geneva Agreed Framework
tetapi tidak berhasil.
Kesepakatan ini menyatakan bahwa Korea Utara akan
menonaktifkan reaktor nuklir dan sebagai konsekuensinya,
Amerika Serikat dan Korea Selatan akan menjamin kebutuhan
energi dan menyediakan bahan bakar minyak untuk Korea
Utara (Moore 2008, 11-12). Jepang dan Korea Selatan juga
akhirnya menyatakan secara aktif ikut berpartisipasi dalam
program ini, yang kemudian secara resmi berkembang menjadi
Korea Peninsula Energy Organizations (KEDO) pada tahun
1995. Pada kenyataannya, Geneva Agreed Framework maupun

M Najeri Al Syahrin | 121


Keamanan Asia Timur

KEDO bukanlah hanya kesepakatan untuk memberikan bantuan


keuangan dan energi kepada Korea Utara, tetapi juga bertujuan
politik untuk mencegah perkembangan senjata nuklir Korea
Utara dan membuka dialog politik dengan rezim Korea Utara
(Armstrong 2006, 13).
KEDO dianggap Amerika Serikat tidak memberikan hasil
yang efektif dalam upaya menghentikan program
pengembangan senjata nuklir Korea Utara. Pada tanggal 17
April 1996, Amerika Serikat dan Korea Selatan mengusulkan
diadakannya Four Power Talks antara Amerika Serikat, Cina,
Korea Selatan dan Korea Utara. Pertemuan empat pihak ini
akhirnya berlangsung pada Desember 1997 di Jenewa. Dalam
kesempatan itu, Korea Utara kembali menegaskan bahwa
Amerika Serikat harus menarik seluruh pasukan militernya di
Semenanjung Korea. Memang tidak banyak terobosan berarti
dalam kerangka perjanjian ini dan belum terdapat agenda yang
jelas untuk pertemuan selanjutnya (Wirengjurit, 2002).
Ketika George Bush terpilih sebagai Presiden Amerika
Serikat pada tahun 2000, kebijakan Amerika Serikat terhadap
program nuklir Korea Utara mengalami beberapa perubahan
drastis. Agreed Framework yang disepakati tahun 1994 tidak

M Najeri Al Syahrin | 122


Keamanan Asia Timur

lagi digunakan sebagai kerangka kerja utama terkait hubungan


antara kedua negara dalam permasalahan nuklir. Pemerintahan
Bush juga melakukan tinjauan ulang terhadap kebijakan pada
masa pemerintahan Bill Clinton. Ketika Presiden Korea Selatan
Kim Dae Jung, mengunjungi Washington pada Maret 2001,
Presiden Bush menyatakan sunshine policy yang selama ini
dilakukan oleh Korea Selatan sudah tidak efektif digunakan
dalam menghadapi permasalahan nuklir Korea Utara.
Korea Utara dinilai tidak mempunyai komitmen yang
kuat terhadap kesepakatan dalam sunshine policy. Penilaian
Amerika Serikat ini menjadi sebuah keputusan yang dilematis
bagi Korea Selatan, yang selama ini menganggap sunshine
policy sebagai sebuah kebijakan non-militer yang efektif dalam
menghadapi rezim Korea Utara. Di sisi yang lain, segala
kebijakan Korea Selatan terkait permasalahan nuklir Korea
Utara juga harus mendapat dukungan dari Amerika Serikat
(Moore 2008, 12). Pemerintah Bush kemudian mengadopsi
pendekatan yang sangat berbeda dan cenderung sulit untuk
kembali diterapkan, yaitu dengan intens melakukan tekanan
terhadap Korea Utara dan mengkategorikannya sebagai bagian
dari “negara poros setan”. Selain itu, semasa pemerintahan

M Najeri Al Syahrin | 123


Keamanan Asia Timur

George W. Bush, Amerika Serikat juga terlibat aktif sejak tahun


2003 dalam Six Party Talks, yang dalam perjalananya juga
tidak memberikan hasil yang efektif dalam upaya denuklirisasi
Semenanjung Korea (Pritchard & Tilelli 2010, 6).
Pada tahun 2008, pemerintahan Obama kemudian
melakukan pendekatan yang berbeda dengan yang dilakukan
presiden Amerika Serikat sebelumnya yaitu melalui pendekatan
smart power dalam strategi Poros Pasifik (Pivot Pacific),
pendekatan dengan tetap melakukan tekanan (pressure) namun
disisi lain memberikan peluang bagi perundingan negosiasi
nuklir untuk Korea Utara, namun hasilnya kemudian tidak lebih
baik dari kebijakan-kebijakan sebelumnya. Korea Utara masih
enggan dalam menghentikan kemampuan nuklirnya dan
kemudian melakukan empat kali uji coba nuklir di bawah
pemerintahan Obama (tahun 2009, 2013, dan dua uji coba
terjadi di awal tahun 2017).
Kita mungkin tidak setuju dan melakukan perdebatan
mengenai pendekatan apa yang tepat untuk dilakukan, tetapi
fakta yang terjadi, semua strategi yang sudah dilakukan oleh
Presiden Amerika Serikat terkait dengan program nuklir Korea
Utara sejak Perang Dingin sampai kini terbukti tidak efektif

M Najeri Al Syahrin | 124


Keamanan Asia Timur

(Courmont 2016, 4). Di antara banyak analisis yang muncul


tentang kebijakan keamanan Pemerintahan Trump di kawasan
Asia Timur, terdapat hal yang paling ditekankan, yaitu sejauh
mana kebijakan tersebut akan “menyimpang” dari kebijakan
Presiden sebelumnya.
Tanda-tanda akan terjadinya perubahan kontras terhadap
kebijakan keamanan yang Amerika Serikat anut selama ini
sudah terlihat dari pernyataan Trump sejak masa kampanye, ia
secara langsung menyatakan akan merubah arah dan strategi
kebijakan keamanan Amerika Serikat. Melalui berbagai
pertimbangan keamanan, ekonomi, dan politik kiranya
pemerintahan Trump akan terus melihat arti strategis
kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur secara
luas (Lanteigne 2016, 7).

5.2 Amerika Serikat, Cina dan Aliansi Trilateral


Dalam penyusunan kebijakan keamanan di kawasan Asia
Timur, Amerika Serikat selalu mempertimbangan keikutsertaan
dan kerja sama strategis antara Amerika Serikat, Korea Selatan
dan Jepang. Permasalahan Semenanjung Korea dianggap
sebagai permasalahan penting dan paling mengancam bagi

M Najeri Al Syahrin | 125


Keamanan Asia Timur

keamanan dan kepentingan negara-negara tersebut. Keterlibatan


aktif Cina juga diharapkan bisa memberikan dampak positif,
namun pada kenyataannya Cina selalu memiliki peran ganda.
Beijing mendapati dirinya terperangkap dalam dilema
kepentingan strategis dalam mencegah nuklir Korea Utara.
Karena itulah, Beijing mendukung sanksi yang diberikan
Dewan Keamanan PBB terhadap Korea Utara namun di sisi lain,
Beijing juga tetap melakukan kendali terhadap rezim Korea
Utara. Cina akan menghadapi konsekuensi serius bagi
kepentingan regionalnya apabila rezim Korea Utara berakhir.
Persepsi Cina terhadap permasalahan Korea Utara terkesan
sangat apatis. Cina tidak memberi indikasi kuat bahwa
pihaknya bersedia untuk mengurusi masalah keamanan
Pyongyang.
Surat kabar pemerintah China Global Times mengatakan
bahwa Cina tidak akan membantu Korea Utara dan bersikap
netral jika ia melakukan serangan militer terhadap Amerika
Serikat dan sekutunya (Sturm, 2017). Di sisi yang lain,
ketakutan Cina apabila rezim Kim runtuh, akan mengirim
jutaan pengungsi Korea Utara ke Cina. Ini adalah sesuatu yang
secara tegas tidak diinginkan oleh Beijing. Setiap perubahan di

M Najeri Al Syahrin | 126


Keamanan Asia Timur

Semenanjung Korea, dapat menyebabkan masalah bagi


pemerintah Cina. Ditambah lagi, jika Amerika Serikat
memenangkan perang dengan Korea Utara, maka negosiasi
penyatuan kembali Semenanjung Korea akan sangat mungkin
terjadi. Itu tidak hanya secara politis buruk bagi kepentingan
Cina, tapi juga dari sisi keamanan akan sangat berpengaruh,
khususnya keamanan perbatasan Cina dan Korea Utara (Ward,
2017).
Masih sulit bagi Cina untuk menemukan jalan keluar
yang terbaik dari dilema tersebut. Sehingga sangat rasional ia
kemudian hanya bersikap apatis. Cina dalam beberapa tahun ke
depan akan terus mempertahankan kepentingan nuklir Korea
Utara tersebut sebagai alat diplomasi sensitif untuk menekan
kepentingan Amerika Serikat di kawasan. Masa depan
hubungan Cina dan Amerika Serikat sebagian besar terletak
pada keseimbangan kekuasaan ekonomi antara kedua negera
tersebut. Dan kini terbukti, bahwa akselerasi pertumbuhan
ekonomi Cina lebih cepat daripada yang diperkirakan.
Perekonomian Cina tumbuh 6,8% pada kuartal ketiga tahun
2017 ini, sedikit di bawah periode sebelumnya, namun masih di
atas target awal pemerintah (China Economic Review, 2017).

M Najeri Al Syahrin | 127


Keamanan Asia Timur

Walaupun Amerika Serikat masih dianggap sebagai negara


adidaya tunggal yang sangat berpengaruh, keberadaan Cina
tentu juga tidak bisa diremehkan. Munculnya kekuatan baru
Cina akan merubah konstelasi global kedepan dan tentu saja
diharapkan Cina juga bisa memainkan peran penting
didalamnya (Courmont 2016, 4).
Dalam beberapa tahun ini, kebijakan One Belt One Road
(OBOR) juga secara umum mengubah konstelasi kebijakan
Cina. Investasi ambisius ini akan memperkuat strategi
geoekonomi dan geopolitik Cina untuk menghubungkan benua
Asia dan Eropa. Ambisi Cina dalam kebijakan OBOR adalah
menjadikan Eurasia sebagai satu entitas ekonomi tunggal
dibawah kendali Cina. Terdapat kepentingan geopolitik jangka
panjang Cina dengan “mengikat” negara-negara di kawasan
tersebut dalam sistem bisnis dan perdagangan bersama. Dengan
melakukan investasi infrastruktur ini, Cina berusaha untuk
merajut ekonomi Eropa dan Asia bersama-sama di sepanjang
koridor perdagangan yang sudah lama terbengkalai ini (Holland,
2017). Posisi strategis dan kepemimpinan Cina dalam kawasan
Eurasia melalui kebijakan OBOR ini jelas akan memberikan

M Najeri Al Syahrin | 128


Keamanan Asia Timur

implikasi yang besar bagi hubungan keamanan Amerika Serikat


dengan Cina dalam beberapa tahun kedepan.
Dalam konteks ini, posisi hubungan Cina dengan
Amerika Serikat sebagai negara yang berpengaruh di kawasan
akan memiliki pengaruh penting dalam proses penyelesaian
nuklir di Semenanjung Korea. Dalam kondisi yang berbeda,
hubungan antara Amerika Serikat dan Cina bisa menuju ke arah
yang lebih kondusif ketika terdapat ketergantungan ekonomi
yang meningkat satu sama lainnya. Namun, Trump masih
menilai Cina merupakan salah satu pesaing strategis bagi
kepentingannya, utamanya di Asia Timur, sehingga ia harus
dirangkul dalam sebuah hubungan yang menguntungkan dan
bukan berisikan ketegangan.
Cina sendiri berharap bahwa hubungan dengan
negara-negara sekitar dan kekuatan utama dunia seperti
Amerika Serikat dapat terus terjalin stabil. Terdapat beberapa
kalangan yang optimis bahwa hubungan ekonomi antar kedua
negara kekuatan utama di dunia ini, dengan segala kendala dan
kemajuannya, akan berdampak positif bagi dunia internasional.
Hubungan ekonomi yang harmonis antara Amerika
Serikat dengan Cina akan mempengaruhi kemakmuran jangka

M Najeri Al Syahrin | 129


Keamanan Asia Timur

panjang masyarakat internasional. Meski demikian, hambatan


dalam hubungan kedua negara ini akan tetap ada dan tidak akan
menghilang secara otomatis. Asumsi ini akan diyakini akan
tetap bertahan serta membuat Cina dan Amerika Serikat berada
dalam hubungan yang kompleks dan penuh dengan kontradiksi
(Yuliantoro, 2012).
Selain terhadap Cina, kebijakan keamanan Amerika
Serikat memiliki potensi untuk mempengaruhi beberapa
kekuatan Asia Timur lainnya, termasuk sekutu Amerika Serikat
di kawasan. Banyak reaksi negatif terhadap saran yang
diberikan Trump bahwa Jepang dan Korea Selatan agar
mempertimbangkan untuk memiliki senjata nuklir. Selain itu,
Trump juga akan melakukan reorientasi kebijakan tentang
kehadiran personil militer Amerika Serikat di kawasan. Jepang
dan Korea Selatan yang secara khusus dianggap oleh Trump
sebagai negara yang terlalu mengandalkan Amerika Serikat
(Fisher, 2016).
Selain permasalahan hubungan Amerika Serikat dengan
negara-negara di kawasan Asia Timur, sangat penting juga
untuk mengetahui bagaimana kebijakan luar negeri Korea Utara
terhadap Amerika Serikat. Kebijakan keamanan Korea Utara

M Najeri Al Syahrin | 130


Keamanan Asia Timur

akan sangat mempengaruhi orientasi kebijakan keamanan


Trump. Kebijakan luar negeri Korea Utara terhadap Amerika
Serikat telah dibentuk oleh pengalaman pahit sejak Perang
Korea dan persaingan antara Amerika Serikat dengan Uni
Soviet pada masa Perang Dingin.
Korea Utara menilai Amerika Serikat telah menggagalkan
upaya Kim Il Sung untuk menyatukan Korea Selatan dengan
Korea Utara melalui agresi militer pada masa Perang Korea.
Selain itu, selama Perang Korea berlangsung, Korea Utara
merupakan pihak yang selalu mengalami tekanan politik dan
militer dari Amerika Serikat akibat kemampuan militer yang
tidak seimbang antara Korea Utara dan Amerika Serikat. Pada
masa Perang Korea, Amerika Serikat juga meluluhlantahkan
infrastruktur di Korea Utara dengan bom udara selama masa
perang.
Operasi pemboman ini dan pengalaman masa lalu
kemudian menjadi alasan kuat bagi Korea Utara untuk selalu
mewaspadai ancaman Amerika Serikat bagi keamanan
nasionalnya dan secara tidak langsung membentuk fenomena
anti-Amerika di Korea Utara. Oleh karena itu, penggunaan
nuklir sebagai strategi keamanan nasional merupakan alasan

M Najeri Al Syahrin | 131


Keamanan Asia Timur

yang mendasari Korea Utara mengingat faktor sejarah yang


menggambarkan adanya ancaman dan dominasi dari Amerika
Serikat (Pinkston 2006, 23).
Selama masa Perang Dingin, Korea Utara masih keras
menentang Amerika Serikat, yang digambarkan sebagai
kekuatan penggerak di belakang eksploitasi imperialisme dan
kapitalisme internasional. Pandangan tersebut ditambah lagi
dengan pengalaman dan kebencian yang mendalam atas campur
tangan Amerika Serikat dalam Perang Korea. Sasaran utama
kebijakan strategis Korea Utara terhadap Amerika Serikat
adalah untuk mencegah ancaman yang ditimbulkan akibat
hubungan aliansi pertahanan antara Amerika Serikat dengan
Korea Selatan. Aliansi tersebut secara tidak langsung akan
memperkuat militer Korea Selatan dan hal itu tentu saja
membahayakan bagi Korea Utara.
Dalam menghadapi Korea Utara Amerika Serikat
memiliki opsi untuk menggunakan jalur diplomasi dan opsi
militer. Apabila dipilih instrumen diplomasi, akan muncul dua
kesulitan. Pertama, format perundingan. Amerika Serikat dan
Korea Utara masih belum bersepakat apakah perundingan
bersifat bilateral, multilateral, atau perundingan kawasan.

M Najeri Al Syahrin | 132


Keamanan Asia Timur

Kedua, substansi perundingan. Mereka berbeda pandangan


apakah perundingan bersifat komprehensif atau parsial.
Amerika Serikat pada dasarnya menginginkan pengembangan
senjata nuklir Korea Utara dapat diverifikasi dan kemudian
disepakati melalui perundingan multilateral.
Sebagai timbal balik, Amerika Serikat dan sekutunya
bersedia memberikan bantuan ekonomi. Amerika Serikat
mendesak Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya,
baru kemudian konsensi ekonomi diberikan. Pola seperti ini
pernah dijalankan pada masa pemerintahan Clinton, namun
sulit untuk diimplementasikan secara efektif karena tidak
adanya kepercayaan yang kuat antara Amerika Serikat dan
Korea Utara (Sriyono, 2004).
Sebaliknya, Korea Utara berpandangan bahwa
penghancuran senjata nuklir harus dimulai oleh Amerika
Serikat sebagai pemilik senjata nuklir terbesar di dunia. Sebagai
negara kecil, Korea Utara merasa masih terancam dari
negara-negara di sekitarnya. Oleh karena itu, Korea Utara
menghendaki jaminan keamanan dari Amerika Serikat melalui
perundingan bilateral. Korea Utara berharap disepakatinya
traktat non-agresi dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat

M Najeri Al Syahrin | 133


Keamanan Asia Timur

melihat kesedian Korea Utara berunding hanya sebagai taktik


untuk mengulur waktu dalam mengembangkan program
nuklirnya. Melihat kenyataan ini, kecil kemungkinan diplomasi
akan benar-benar efektif sebagai instrumen penyelesaian
masalah nuklir Korea Utara. Korea Utara tetap membutuhkan
kepastian bahwa mereka aman dari agresi dan memperoleh
jaminan bantuan kemanusian dan ekonomi (Sriyono 2004, 88).

5.3 Donald Trump dan Reorientasi Kebijakan Keamanan


Amerika Serikat
Menemukan cara untuk menyelesaikan masalah nuklir
Korea Utara bukanlah hal yang mudah. Perdebatan panjang
untuk menghentikan program nuklir Korea Utara telah
dilakukan dalam upaya mencapai stabilisasi keamanan
Semenanjung Korea. Pada prinsipnya, Trump mempuanyai
lima opsi strategis dalam menghentikan program nuklir Korea
Utara (Jonathan 2017, 8-13). Pertama, Trump hanya bersikap
pasif dan mengikuti strategi yang sudah dijalankan oleh
Presiden Amerika Serikat sebelumnya dan hanya menunggu
respon dari Korea Utara untuk saling bersepakat dalam
perjanjian denuklirisasi. Mengingat kegentingan yang terus

M Najeri Al Syahrin | 134


Keamanan Asia Timur

muncul akibat ambisi nuklir Korea Utara, pilihan ini tampaknya


tidak menjanjikan banyak keuntungan bagi Amerika Serikat.
Bertentangan dengan apa yang diperkirakan banyak pengamat
sebelumnya, saat Kim Jong-un menggantikan Kim Jong-ill,
pemimpin Korea Utara itu kini telah berhasil
mengkonsolidasikan posisinya dan pemerintahannya lebih
stabil daripada rezim sebelumnya (Jonathan 2017, 8-13).
Opsi kedua, Amerika Serikat menerapkan tindakan
represif. Amerika Serikat dapat menekan rezim Korea Utara
dengan tindakan non-militer, yakni dengan menggunakan
sanksi, tekanan dan kebijakan isolasi yang dirancang untuk
memberikan dampak yang lebih besar daripada yang selama ini
sudah dilakukan kepada Korea Utara (Revere 2017, 2-9).
Memperketat sanksi mungkin menjadi pilihan yang rasional,
meski juga pilihan ini dianggap masih tidak menjanjikan hasil
yang efektif, apabila tidak mengidentifikasi langsung sumber
masalah nuklir Korea Utara (Liegl 2017, 3-4). Opsi yang ketiga
adalah mendorong Cina untuk memberikan tekanan ekonomi
dan desakan politik kepada Korea Utara. Trump menyatakan
bahwa Amerika Serikat harus terus menekan Cina untuk
memanfaatkan kekuatan ekonominya atas Korea Utara sebagai

M Najeri Al Syahrin | 135


Keamanan Asia Timur

tekanan untuk menyelesaikan permasalahan nuklir.


Ketergantungan ekonomi Korea Utara terhadap Cina bisa
menjadi kunci atas permasalahan nuklir. Pemerintahan Clinton,
Bush dan Obama juga telah memahami kondisi ini, dan mereka
berusaha melibatkan Beijing untuk terus berperan lebih aktif
dalam kasus nuklir Korea Utara (Jonathan 2017, 8-13).
Opsi keempat yang bisa dilakukan Amerika Serikat
adalah menggunakan instrumen militer untuk menghentikan
pengembangan senjata nuklir Korea Utara oleh rezim Korea
Utara. Pendekatan ini menggunakan cara-cara ancaman secara
langsung dan bertujuan untuk mengganti rezim Korea Utara.
Donald Trump berulang kali menyatakan bahwa aksi militer
melawan rezim Korea Utara dan program senjata nuklirnya
sebagai skenario yang layak dilakukan oleh Amerika Serikat.
Meskipun penggunaan kekuatan militer terhadap Korea
Utara membawa risiko terjadinya perang. Perang akan
menciptakan instabilitas keamanan, sosial, politik dan ekonomi
yang tidak hanya dirasakan oleh negara-negara di kawasan saja
tetapi juga negara-negara disekitar kawasan. Perang bisa
memberikan dampak yang besar terhadap pasar uang dan aliran
modal sehingga bisa memicu krisis ekonomi kawasan. Selain

M Najeri Al Syahrin | 136


Keamanan Asia Timur

itu, opsi serangan militer pasti akan mengundang reaksi keras


dari Cina yang tentu akan menyulitkan Amerika Serikat. Cina
telah menjadi pesaing kuat bagi Amerika Serikat dan kini juga
mulai berkembang menjadi negara adidaya baru, dan
sebagaimana lazimnya negara adidaya, Cina juga akan bersikap
tegas terhadap berbagai persoalan internasional khususnya yang
terkait dengan keamanan (Courmont 2016, 4).
Mencoba opsi perundingan langsung dengan
Pyongyang menjadi opsi kelima bagi pemerintahan Amerika
Serikat. Trump telah mengumumkan niatnya untuk tidak
menggunakan kembali strategi yang sudah digunakan presiden
Amerika Serikat sebelumnya. Trump mengatakan, dia akan
berbicara secara langsung dan membujuk pimpinan Korea
Utara, Kim Jong-un, untuk menghentikan program nuklirnya.
Jika Korea Utara kembali ke meja perundingan dan membuat
konsesi bersama, Amerika Serikat harus mengatasi defisit
keamanan rezim Korea Utara saat ini. Salah satu kemungkinan
untuk melakukannya adalah dengan memenuhi permintaan
Pyongyang untuk saling melaksanakan perjanjian damai di
Semenanjung Korea.

M Najeri Al Syahrin | 137


Keamanan Asia Timur

Tanpa diragukan lagi, kesimpulan dari kesepakatan ini


akan menjadi perkembangan yang baik di kawasan, mengakhiri
sikap bermusuhan negara pasti akan memperbaiki situasi
kawasan secara keseluruhan. Berkenaan dengan isu nuklir,
perjanjian damai tampaknya merupakan satu-satunya pilihan
yang tepat bagi Amerika Serikat untuk mengatasi defisit
keamanan rezim Korea Utara sebagai motif dasar program
senjata nuklir dengan jaminan keamanan formal. Pyongyang
telah mengumumkan kesediaannya untuk menghentikan
pengujian nuklir jika Amerika Serikat menyetujui langkah ini
(The Telegraph, 2017). Mengingat kurangnya alternatif yang
menjanjikan, Washington harus bisa memanfaatkan kesempatan
ini.
Kelima pendekatan tersebut pada dasarnya sudah pernah
dilakukan oleh presiden Amerika Serikat sebelumnya. Pada
masa era Clinton, Bush dan Obama strategi dan pendekatan
Amerika Serikat terhadap Korea Utara bersifat parsial. Artinya,
antar satu kebijakan dengan kebijakan lainnya saling
bertentangan dan tidak koheren. Padahal antar kebijakan dalam
satu strategi seharusnya saling mendukung sehingga tercapai
hasil akhir yang efektif. Pada masa pemerintahan Clinton,

M Najeri Al Syahrin | 138


Keamanan Asia Timur

kemajuan signifikan pernah hampir dicapai Amerika Serikat.


Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Madeleine K
Albright ke Pyongyang pada November 2000 memungkinkan
adanya kesepakatan rudal secara permanen disetujui jika
Presiden Amerika Serikat melakukan kunjungan dan negosiasi
langsung di Korea Utara. Ketika Presiden Clinton mendekati
akhir masa jabatannya, waktu untuk mempersiapkan kunjungan
tersebut menjadi semakin singkat.
Sebaliknya, Korea Utara menegaskan bahwa kesepakatan
rudal antara Amerika Serikat dan Korea Utara hanya dapat
dicapai apabila Presiden Amerika Serikat melakukan kunjungan
langsung ke Pyongyang. Namun Pada akhirnya, Amerika
Serikat memutuskan untuk tidak mengambil risiko dalam
kunjungan presiden tersebut. Kecurigaan ini pada akhirnya
semakin menyulitkan diplomasi dan upaya negosiasi Amerika
Serikat pada masa-masa selanjutnya.
Hal yang sama kemudian terjadi pada masa pemerintahan
Bush, ketika opsi negosiasi langsung dengan Korea Utara sudah
terbentuk melalui kesepakatan kerja sama, maka upaya untuk
memberikan sanksi sebaiknya tidak dilakukan. Paket kebijakan
Amerika Serikat harus komprehensif mencerminkan adanya

M Najeri Al Syahrin | 139


Keamanan Asia Timur

kesamaan komitmen sehingga memudahkan implementasi


kesepakatan tersebut. Pada pertemuan putaran keempat
perjanjian Six Party Talks yang dilaksanakan pada September
2005, terdapat beberapa perubahan positif yang idealnya terjadi
pada proses denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa
Korea Utara setuju untuk menghentikan program nuklirnya dan
kembali pada perjanjian non-proliferasi nuklir. Sebagai
kompensasi atas kesepakatan tersebut, kelima negara lain dalam
Six Party Talks akan menjamin keamanan serta normalisasi
hubungan ekonomi dengan Korea Utara. Perjanjian ini telah
membawa kesepakatan dan optimisme baru bagi hubungan
Korea Utara dan Amerika Serikat. Namun pada akhirnya,
Amerika Serikat tetap memberikan sanksi ekonomi terhadap
Korea Utara. Hal ini membuat Korea Utara meragukan
komitmen negara-negara dalam Six Party Talks dan
memutuskan untuk tetap melaksanakan uji coba nuklir pada 9
Oktober 2006 (Hanson 2007, 192).
Sedangkan pada era Obama, Amerika Serikat dinilai
terlalu lembut dan cenderung pasif serta terlalu banyak
berharap pada Cina untuk ikut serta secara bersama-sama

M Najeri Al Syahrin | 140


Keamanan Asia Timur

menekan Pyongyang. Upaya ini pada akhirnya menghasilkan


kesepakatan yang tidak efektif. Obama terlalu banyak berfokus
pada Cina dan mengaburkan fokusnya secara langsung pada
permasalahan Korea Utara (Ruggiero 2017, 4-8).
Berdasarkan pengalaman masa lalu dari kedua
perundingan sebelumnya dan penolakan yang dilakukan
Pyongyang dalam mematuhi kesepakatan dan komitmen yang
telah dibuat, pilihan kebijakan "Strategic Patience" sebagai
bagian dari strategi Poros Pasifik Obama tahun 2013 juga
akhirnya tidak berhasil dalam mencapai target perlucutan
senjata nuklir Korea Utara (Ruggiero 2017, 4-8).
Melihat keadaan tersebut dan semakin gentingnya
permasalahan nuklir Korea Utara, Trump mencoba gaya
kepemimpinan dengan kebijakan dan strategi yang berbeda.
Perbedaan tersebut terlihat dari upaya Trump untuk
menggabungkan semua strategi yang tersedia, selama berhasil
menghentikan nuklir Korea Utara. Trump beberapa kali
merubah strateginya dan mencoba berbagai cara untuk
menghentikan nuklir Korea Utara. Pada dasarnya, Trump “tidak
peduli” dengan cara apa dan dengan strategi apa kebijakan
Amerika Serikat dilakukan, selama Korea Utara bersedia

M Najeri Al Syahrin | 141


Keamanan Asia Timur

meninggalkan program nuklirnya maka strategi tersebut layak


untuk dicoba. Perubahan kebijakan yang dilakukan oleh Donald
Trump terlihat dari beberapa strategi kebijakan yang sudah
direncanakan Trump sejak masa kampanye.
Pada awal tahun 2017, pemerintahan Trump mencoba
melakukan pendekatan militer-centris dengan
mengimplementasikan kebijakan keamanan yang menggunakan
strategi kerja sama bilateral dan unilateral serta secara langsung
menuntut biaya terhadap negara aliansinya atas kontribusi
keamanan dari Amerika Serikat. Negara-negara di Asia Timur
yang selama ini telah merasa aman dengan kehadiran kekuatan
militer dalam beberapa dekade terakhir, kini merasakan
situasinya sudah berubah. Negara sekutu di Asia Timur harus
membayar biaya untuk kehadiran dan perlindungan keamanan
Amerika Serikat di kawasan. Bagi Trump, Amerika Serikat
mengeluarkan biaya dan tanggung jawab militer yang sangat
besar sehingga ia akan mengadakan perjanjian dengan posisi
tawar yang lebih baik bagi Amerika Serikat.
Paradigma dan keyakinan Trump menyatakan bahwa
Amerika Serikat mengabaikan keamanan sendiri dari ancaman
eksternal jika mendukung keamanan negara lain. Kunci dasar

M Najeri Al Syahrin | 142


Keamanan Asia Timur

kebijakan luar negeri ini adalah kalimat “Make America Great


Again” dan “America First” yang menggaris bawahi kenyataan
bahwa Amerika Serikat akan memperkuat kembali kekuatannya
dalam bidang pertahanan dan kepentingan Amerika Serikat
akan selalu menjadi prioritas utama (Overhaus & Brozus,
2016).
Hal ini akan menyebabkan pergeseran postur kekuatan
militer negara-negara di kawasan Asia Timur. Dalam konteks
ini, tentu risiko geopolitik dan dilema keamanan akan
meningkat dan memperburuk kondisi keamanan kawasan.
Mengenai kebijakan nuklir, Trump juga telah memberikan
saran terhadap Jepang dan Korea Selatan untuk juga
mengembangkan senjata nuklir. Disisi yang lain, meskipun
Trump juga telah mengecam senjata rudal balistik Amerika
Serikat, namun pada kesempatan yang berbeda dia mengatakan
bahwa Amerika Serikat akan meningkatkan anggaran belanja
militernya guna mempercanggih sistem persenjataan (Makela,
2016).
Ketika Korea Utara kembali melakukan berbagai uji coba
rudal kendali dan secara langsung mengancam akan melakukan
serangan atas markas militer Amerika Serikat di Guam pada

M Najeri Al Syahrin | 143


Keamanan Asia Timur

pertengahan 2017. Hal ini kemudian menjadi sorotan bagi


kegagalan Amerika Serikat untuk menghentikan ancaman
keamanan dari Korea Utara. Amerika Serikat sudah sampai
pada tahapan kritis terkait kebijakannya terhadap Korea Utara.
Beberapa pengamat berpendapat bahwa tidak realistis bagi
Amerika Serikat untuk berkompromi dengan Korea Utara.
Sehingga di harapkan pemerintahan Trump berfokus terhadap
tantangan keamanan nasional lainnya. Namun, bahaya yang
ditimbulkan oleh perkembangan nuklir Korea Utara amat besar
khususnya terhadap mitra keamanan Amerika Serikat di
kawasan sehingga ia tidak mungkin mengabaikan permasalahan
ini (Wit 2016, 24).
Trump mengemban tugas baru untuk membatasi ambisi
nuklir Korea Utara tersebut, sesuatu yang telah gagal dilakukan
para pemimpin Amerika Serikat sebelumnya. Pendekatan baru
mutlak diperlukan untuk menghadapi tantangan nuklir Korea
Utara. Selama ini hampir tidak ada prospek bahwa diplomasi,
dialog, kerja sama, dan tekanan konvensional lainnya dapat
meyakinkan Korea Utara untuk mengakhiri program senjata
nuklirnya. Dialog bilateral, trilateral, multilateral dan resolusi
Dewan Keamanan PBB, ditambah dengan sanksi ekonomi dan

M Najeri Al Syahrin | 144


Keamanan Asia Timur

diplomatik, belum berjalan efektif untuk menghentikan


ketegangan di kawasan Asia Timur akibat dari perkembangan
nuklir Korea Utara.
Upaya untuk melakukan denuklirisasi Korea Utara
semuanya telah gagal dilakukan, dan pilihan kebijakan yang
sudah dilakukan Pemerintahan Amerika Serikat juga gagal
untuk menghentikan nuklir Korea Utara. Dengan demikian,
sekarang saatnya mencoba sesuatu yang berbeda, jika ancaman
yang ditimbulkan oleh nuklir Korea Utara lebih berbahaya
daripada masa sebelumnya, maka pendekatan baru harus
mencerminkan urgensi yang lebih besar. Trump harus
mempertimbangkan untuk memaksa Korea Utara kembali ke
meja perundingan denuklirisasi. Solusi diplomatik perlu dicoba
sekali lagi untuk mencapai kesepakatan bersama. Melihat
kegentingan keamanan yang disebabkan oleh ujicoba nuklir dan
peluru kendali Korea Utara, Trump kemudian secara bijak
beralih ke pendekatan yang lebih rasional yaitu strategi
“Maximum Pressure and Engagement”.
Strategi ini menggabungkan antara retorika diplomatik,
peningkatan sanksi dan perundingan. Melalui strategi ini,
Trump berupaya mengkombinasikan solusi diplomatik dengan

M Najeri Al Syahrin | 145


Keamanan Asia Timur

tindakan ekstrim dalam pemotongan sumber ekonomi,


penghentian pasokan pangan dan diplomasi isolasi yang dapat
memaksa Pyongyang untuk memilih antara pengembangan
senjata nuklir atau kelangsungan hidupnya sebagai sebuah
negara. Ketika pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un merasa
keberadaan rezimnya terancam, maka dia akan
mempertimbangkan kembali opsi yang diberikan Amerika
Serikat untuk melakukan perundingan denuklirisasi (Wit 2016,
24).Tujuan awal dari pendekatan ini adalah untuk membuat
pemimpin Korea Utara menyadari bahwa mengejar kemampuan
senjata nuklir akan mempengaruhi stabilitas dan kelangsungan
hidup rezimnya.
Amerika Serikat kemudian harus menjelaskan bahwa
preferensi Washington adalah untuk melanjutkan dialog dengan
Pyongyang dan berkomitmen untuk saling memperbaiki
hubungan serta memberi Korea Utara bantuan ekonomi sebagai
bagian dari kesepakatan denuklirisasi. Poin ini harus ditekankan
dengan pemimpin Korea Utara jika ia menunjukkan minat pada
dialog baru yang lebih serius. Washington harus bisa
meyakinkan Kim Jong Un bahwa mereka siap untuk terlibat
dalam mengatasi berbagai permasalahan Korea Utara, jika

M Najeri Al Syahrin | 146


Keamanan Asia Timur

Pyongyang siap untuk membuka kembali dialog denuklirisasi.


Pendekatan ini belum pernah dicoba sebelumnya, dan karena
itu sulit untuk mengetahui apakah ini akan berhasil. Namun,
tidak seperti pendekatan sebelumnya, ini menawarkan
kesempatan untuk memaksa rezim Pyongyang untuk membuat
pilihan strategis yang mendesak antara mengejar denuklirisasi
atau mengambil risiko tentang keberlangsungan rezim. Jika
pada akhirnya pendekatan ini tidak berhasil, tindakan yang
sudah dilakukan akan tetap memberikan pengaruh besar
terhadap stabilitas rezim Korea Utara (Wit 2016, 24).
Di sisi yang lain, Washington juga menyadari bahwa
Pyongyang belum siap untuk negosiasi secara serius. Dengan
demikian, strategi pertama bagi pemerintahan Trump adalah
menekan rezim tersebut, dengan memotong sumber devisa,
menghambat kegiatan ekonomi, dan menekannya secara militer.
Pendekatan ini juga berusaha untuk mencari akar permasalahan
pengembangan senjata nuklir Korea Utara, yaitu kelangsungan
dan stabilitas rezim Kim di Korea Utara (Revere, 2017).
Strategi ini melibatkan negara mitra di kawasan yaitu,
Korea Selatan dan Jepang untuk ikut terlibat meyakinkan Kim
Jong Un dalam menghentikan program nuklirnya. Inilah

M Najeri Al Syahrin | 147


Keamanan Asia Timur

saatnya bagi Amerika Serikat dan negara aliansinya untuk


saling secara bersama menekan Korea Utara agar kembali ke
meja perundingan denuklirisasi.
Amerika Serikat akan memastikan bahwa Korea Utara
akan kehilangan dan menderita kerugian jauh lebih banyak
daripada yang akan diraihnya dengan terus mengejar
kemampuan senjata nuklir. Hal ini jelas akan memerlukan
analisa yang mendalam tentang pola tekanan sekaligus bujukan
Amerika Serikat yang efektif. Amerika Serikat idealnya tidak
secara serampangan mengeluarkan kebijakan dan pernyataan
yang mengkhawatirkan bagi pemimpin Korea Utara.
Washington harus tetap berada dalam komunikasi yang intens
dengan Pyongyang dengan terus juga berupaya melakukan
negosiasi formal sambil terus menyatakan kesedian untuk
bertukar informasi dan pandangan terhadap bentuk kompensasi
seperti apa yang paling ideal bagi Korea Utara (Straub 2016,
1-14).
Selama ini, Korea Utara mengatakan bahwa senjata nuklir
akan menjamin kelangsungan hidup rezim tersebut. Amerika
Serikat harus meyakinkan Pyongyang untuk percaya bahwa
pengembangan senjata nuklir akan menyebabkan kehancuran

M Najeri Al Syahrin | 148


Keamanan Asia Timur

rezim tersebut. Korea Utara harus memilih antara


pengembangan senjata nuklir dan keberlangsungan rezimnya
(Revere 2016, 2-9). Hanya ketika pemimpin Korea Utara yakin
bahwa ia mempertaruhkan akhir bagi rezimnya dengan
mengejar kemampuan senjata nuklir, maka ia akan
mempertimbangkan kembali perundingan yang diajukan
Amerika Serikat.
Dalam upaya tersebut, sanksi terhadap Korea Utara harus
diintensifkan ke dalam sektor ekonomi dan keuangan, termasuk
perusahaan internasional yang selama ini berbisnis dengan
Pyongyang. Harus terdapat kegiatan yang intens untuk
memotong aliran pendapatan rezim Korea Utara. Aset Korea
Utara harus disita jika terkait dengan aktivitas terlarang atau
pelanggaran sanksi PBB. Sektor-sektor yang dijadikan sasaran
adalah industri-industri skala besar seperti tekstil, perikanan,
teknologi informasi dan manufaktur (BBC Indonesia, 2017).
Selama ini sanksi yang diberikan terhadap Korea Utara
tidak untuk bertujuan “menghukum” Korea Utara tetapi hanya
berperan sebagai diplomasi koersif saja, artinya Korea Utara
tidak terlalu merasakan dampak signifikan terhadap sanksi yang
diberikan dunia internasional. Dalam tahapan selanjutnya,

M Najeri Al Syahrin | 149


Keamanan Asia Timur

Trump juga bisa memberikan sanksi lebih intensif supaya


Korea Utara benar-benar merasakan dampaknya tidak hanya
secara ekonomi tetapi juga secara politik. Tentu upaya ini tidak
bisa terlepas dari peranan Cina. Langkah pertama bagi Trump
sebaiknya juga bisa membawa dan membujuk Cina bersikap
lebih kooperatif terhadap permasalahan nuklir Korea Utara
(Hayes & Moon 2016, 699-719).
Untuk efektivitas pendekatan ini, Amerika Serikat juga
harus bisa mendesak masyarakat internasional untuk
menghentikan perdagangan dengan Korea Utara. Karena itulah
koordinasi antara Amerika Serikat dengan Jepang dan Korea
Selatan serta Cina akan menjadi lebih penting daripada
sebelumnya jika pendekatan ini akan diterapkan. Rekomendasi
dari strategi ini membawa beberapa risiko. Tapi membiarkan
Korea Utara meningkatkan ancaman nuklirnya jauh lebih
berisiko (Revere 2017, 2-9). Terdapat beberapa alasan strategi
ini akan bekerja dengan maksimal karena paradoks kebijakan
Korea Utara terhadap Amerika Serikat selama ini terletak
dalam kebijakan ekonomi. Berbeda dengan kebijakan
keamanan di mana Korea Utara sangat sulit untuk berunding
dan menjalin kesepakatan dengan Amerika Serikat.

M Najeri Al Syahrin | 150


Keamanan Asia Timur

Dalam bidang ekonomi, Korea Utara ingin menjalin kerja


sama bilateral dengan Amerika Serikat dalam upaya stabilisasi
ekonomi dalam negeri. Secara khusus, Korea Utara ingin agar
Amerika Serikat mengeluarkan Korea Utara dari blacklist
sistem ekonomi global agar ia bisa bergabung dengan institusi
keuangan internasional guna mendapatkan akses modal asing
dan pasar luar negeri. Selama terdapat sanksi ekonomi dari
Amerika Serikat, sangat sulit bagi Korea Utara untuk
mengembangkan kerja sama ekonomi maupun kerja sama di
bidang lainnya, termasuk keamanan (Pinkston 2006, 23).
Terbatasnya sumber daya yang dimiliki membuat Korea
Utara sulit untuk mengembangan potensi ekonominya. Korea
Utara terisolasi dari sistem internasional karena kebijakan rezim
otoriternya yang melarang segala bentuk komunikasi dengan
pihak luar. Hal ini kemudian diperparah dengan bencana alam
dan kelaparan yang melanda negara tersebut. Rakyat Korea
Utara hidup dengan banyaknya bantuan baik dari Cina, Rusia,
Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Bantuan-bantuan
tersebut tidak hanya berupa pangan, tetapi juga energi,
khususnya minyak. Walapun kondisi ekonominya sangat
memprihatinkan dan sering mendapat bantuan dari dunia

M Najeri Al Syahrin | 151


Keamanan Asia Timur

internasional, Korea Utara tampaknya akan tetap mengejar


kepentingan nasionalnya untuk mencapai tujuan negara dengan
ideologi yang telah ditentukan (Pinkston 2006, 23). Bagi Korea
Utara, negosisasi terhadap program pengembangan senjata
nuklir tidak akan berjalan efektif selama sanksi ekonomi
Amerika Serikat terhadap Korea Utara tetap dilaksanakan.
Ketidakhadiran Amerika Serikat dalam upaya
denuklirisasi Korea Utara akan menjadi preseden bahwa
Amerika Serikat secara tidak langsung menyetujui apa yang
sudah dilakukan Korea Utara sebagai pemilik negara nuklir.
Bagaimana Trump akan mengelola isu ini akan menjadi kunci
untuk menguji kredibilitas strategi dan efektivitas pendekatan
keamanan Amerika Serikat secara umum. Trump harus
berupaya untuk mengubah kebijakan keamanan Amerika
Serikat secara drastis, karena kegagalan-kegagalan sebelumnya.
Kegagalan-kegagalan tersebut seharusnya menjadi cerminan
bagi kebijakan Amerika Serikat selanjutnya. Kepentingan
Trump secara umum sama dengan kepentingan presiden
Amerika Serikat sebelumnya, yaitu menghentikan program
nuklir Korea Utara sebagai upaya untuk meredam tensi

M Najeri Al Syahrin | 152


Keamanan Asia Timur

ketegangan di kawasan. Perbedaannya adalah cara dan


pendekatan yang dilakukan.
Dimasa lalu, kebijakan Amerika Serikat tidak koheren
dengan strategi utama yang telah ditetapkan, sehingga
antarkebijakan menjadi tidak komprehensif dan sinkron serta
tidak saling mendukung, hal ini yang kemudian mengakibatkan
banyak perjanjian dan kerja sama yang telah disepakati menjadi
tidak efektif. Strategi yang kemudian diimplementasikan Trump
dalam “Maximum Pressure and Engagement” berupaya
merubah arah kebijakan (reorientasi) terhadap kebijakan yang
selama ini sudah dilakukan presiden Amerika Serikat
sebelumnya. Trump melakukan kombinasi strategi Hard Power
Presiden Bush dan strategi Soft Power Presiden Obama menjadi
kebijakan Smart Power.
Dalam strategi smart power tersebut, Trump berupaya
mengkombinasikan solusi diplomatik dan sanksi dengan
tindakan ekstrim dalam pemotongan sumber ekonomi,
penghentian pasokan pangan dan diplomasi isolasi. Bahkan,
penggunaan instrumen militer juga sangat mungkin untuk
dilakukan dalam memaksa Pyongyang menghentikan program
pengembangan senjata nuklirnya. Apabila pendekatan yang

M Najeri Al Syahrin | 153


Keamanan Asia Timur

dilakukan Amerika Serikat dibawah Trump, tidak berbeda dan


lebih baik dengan yang selama ini sudah diterapkan, maka bisa
dipastikan terdapat dua kemungkinan yang realistis. Korea
Utara menjadi menjadi negara dengan kemampuan persenjataan
nuklir yang stabil atau perang konvensional berskala besar
terjadi di Semenanjung Korea.

****

M Najeri Al Syahrin | 154


Keamanan Asia Timur

BAB VI
RIVALITAS KEAMANAN NEGARA ADIDAYA
****
Kawasan Asia Timur merupakan pusat gravitasi
keamanan global, kawasan ini merupakan kawasan paling
strategis di dunia. Keamanan Internasional secara umum sangat
ditentukan oleh bagaimana dinamika dan interaksi keamanan di
kawasan ini. Kawasan Asia Timur juga merupakan salah satu
kawasan di Asia yang paling dinamis pertumbuhan ekonominya.
Posisi strategis tersebut menjadikan Asia Timur menjadi pusat
aktivitas yang penting dalam percaturan politik global.

Posisi strategis tersebut tentu akan mengakibatkan


konstelasi konflik serta kerja sama yang tidak hanya melibatkan
negara di kawasan tetapi juga melibatkan superpower state di
luar kawasan. Peran aktif Amerika Serikat (AS) di kawasan ini
telah menimbulkan berbagai spekulasi akan stabilitas keamanan
kawasan ini. Pasca Perang Dingin, kebijakan keamanan AS
banyak berfokus di kawasan Timur Tengah, AS seakan
‘terlupakan’ dengan kawasan Asia Timur. Kemunculan Cina
dengan kekuatan ekonomi dan militernya dalam beberapa
dekade terakhir, kini kembali menyadarkan AS tentang arti

M Najeri Al Syahrin | 155


Keamanan Asia Timur

geopolitik dan geostrategi di Asia Timur. Rivalitas keamanan


antara AS dan Cina akan menjadi isu regional terpenting dalam
beberapa tahun kedepan (Bendini 2016, 23).

Secara historis, munculnya rivalitas negara adidaya


cenderung akan mengakibatkan destabilisasi geopolitik.
Kebangkitan Jerman pada akhir abad ke 19 mengakibatkan
gesekan politik dengan AS dan Jepang. Perseteruan negara
adidaya ini kemudian memuncak pada Perang Dunia II. Pada
masa Perang Dingin, rivalitas AS dan Uni Soviet juga
menyebabkan beberapa ketegangan keamanan di Eropa, Asia
dan Amerika Latin. Tidak ada jawaban pasti kemudian bahwa
peningkatan kekuatan Cina sebagai negara adidaya baru adalah
sebuah pengecualian atas kondisi ini. Dampak rivalitas Cina
terhadap AS kini telah berkembang dalam berbagai aspek,
termasuk keamanan. Selama ini, sebagian besar transisi
kekuasaan tersebut diakhiri dengan perang atau konflik.
Dapatkah Cina dan AS menghindari kontes mematikan tersebut.
Peningkatan kekuatan ekonomi dan militer Cina jelas akan
menyebabkan gejolak geopolitik kawasan (Layne 2008).

Dalam konteks itulah studi tentang rivalitas keamanan ini

M Najeri Al Syahrin | 156


Keamanan Asia Timur

diletakan, yaitu sebagai bagian dari dinamika dan konstelasi


keamanan regional. Bab ini, beranjak dari pemaparan di atas,
tidak berkehendak menggunakan konsep rivalitas keamanan
terjadi secara luas dalam konteks keamanan global. Penggunaan
terminologi rivalitas keamanan dikonsepsikan secara ‘sempit’
dalam lingkup regional, meskipun penulis memahami bahwa
terdapat korelasi kuat antara keamanan global dengan
keamanan regional.

Namun, rivalitas keamanan merupakan konsep yang


sangat kompleks. Interdepedensi keamanan akan sulit untuk
“diurai” apabila digunakan dalam lingkup analisis global.
Selain berupaya membaca peta konfigurasi persaingan dan
rivalitas keamanan di Asia Timur, bab ini juga sedikit
menyinggung tentang peranan ekonomi dalam konstelasi
keamanan. Proses penciptaan stabilitas keamanan kawasan
bukan semata sebuah upaya keamanan, tetapi juga ditentukan
oleh konteks ekonomi. Karena itu perlu ada perspektif lain
dalam memahami keterkaitan antara keamanan dan ekonomi
dalam rivalitas negara adidaya di kawasan, pembahasan
tersebut akan menjelaskan tentang bagaimana ekonomi
‘bekerja’ dalam kepentingan keamanan.

M Najeri Al Syahrin | 157


Keamanan Asia Timur

6.1 Rivalitas Keamanan Negara Adidaya

Peningkatan pengaruh Cina, semakin tak terelakkan, Cina


telah menjadi pusat gravitasi baru di kawasan Asia Timur dan
Asia secara keseluruhan, sebuah kondisi yang harus diterima
oleh AS. Selain mempunyai ambisi yang sangat besar, Cina
juga didukung oleh kekuatan ekonomi sehingga upaya strategi
rebalancing AS semakin sulit. Kesulitan tersebut antara lain
juga terlihat dari kompleksnya permasalahan Cina dengan
Taiwan, nuklir Korea Utara, permasalahan teritorial maritim
Laut Cina Selatan yang mana, aspek-aspek tersebut
berimplikasi pada kehadiran militer AS di kawasan Asia Timur
(Al Syahrin 2018, 24-26).

AS perlu membuat pilihan dilematis antara kepentingan


domestiknya dan keunggulan militer di kawasan. Preferensi dan
kepentingan Cina pada dasarnya memang akan konfrontatif
dengan kepentingan AS karena kepentingan nasional yang
utama bagi Cina adalah klaim teritorial Laut Cina Selatan dan
Timur yang bertentangan dengan batas-batas maritim negara
aliansi AS.

Meskipun kebijakan luar negeri Beijing menunjukkan

M Najeri Al Syahrin | 158


Keamanan Asia Timur

strategi 'bermain baik' dan tidak secara langsung menantang


kekuatan AS, tetapi ia tetap berusaha untuk mengalihkan
kekuatan AS di wilayah tersebut. Kepentingan Cina adalah
ingin membentuk tatanan politik dan keamanan baru di Asia,
paling tidak dalam satu titik ia memiliki ‘suara’ yang setara
dengan AS tentang masalah-masalah kawasan. Cina kurang
bersedia untuk menerima status quo yang diyakini selama ini
tidak adil dan lebih cenderung berpihak pada kepentingan AS.

Ketakutan Cina yang paling penting dan


mengkhawatirkan adalah pembangunan dan penempatan
personil militer di sekitar wilayah teritorial yang mempunyai
risiko melanggar batas wilayah Cina. Mengingat ketakutan ini,
Cina telah mengeluarkan kebijakan yang mendefinisikan
strategi militer dalam beberapa tahun kedepan. Ancaman
terhadap klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan adalah salah
satu argumen yang ditekankan untuk kondisi ini. Cina berupaya
menciptakan kekuatan angkatan laut yang mampu menyaingi
Angkatan Laut AS dan negara aliansinya. Kontrol atas wilayah
maritim yang diperebutkan ini telah menyebabkan adanya
peningkatan ketegangan dengan AS (Al Syahrin 2018,
139-140).

M Najeri Al Syahrin | 159


Keamanan Asia Timur

Menurut Departemen Pertahanan AS, Beijing berusaha


untuk mengamankan status sebagai kekuatan besar dengan
memperoleh keunggulan regional. Keunggulan regional ini
diupayakan melalui keunggulan militer yang mampu
menentang kepentingan AS. Meski Cina kini belum menjadi
kekuatan militer global, setidaknya dalam upaya untuk
mendekati status AS, Cina sudah mulai melakukannya. Bahkan
jika Cina secara drastis terus meningkatkan anggaran belanja
militer, keuntungan teknologi dan kapabilitas militer AS akan
bisa untuk dicapai. Saat ini, Cina tampaknya masih terfokus
pada doktrin ‘active defense’.

Doktrin ini menekankan pada pertahanan wilayah jika


terjadi serangan dan invasi militer. Akibatnya, Cina saat ini
menekankan pada modernisasi pasukan jarak dekat sehingga
dapat sepenuhnya memfokuskan kapasitas militernya pada
keamanan teritorial (Bendini 2016, 19-20). Saat ini, meskipun
Cina belum bisa menyaingi kekuatan militer AS namun di
kawasan Asia Timur, Cina telah menjadi kekuatan regional
yang harus diperhitungkan. Selain itu, antarnegara adidaya
masih kesulitan untuk memahami intensi dan niat satu sama
lain. Sebagai contoh, tidak ada yang dapat memprediksi apa

M Najeri Al Syahrin | 160


Keamanan Asia Timur

tujuan utama kebijakan keamanan Cina. Selain itu, kemampuan


negara untuk berpikir strategis sebagai “great power” ternyata
tidak menurun dengan berakhirnya Perang Dingin (Marsheimer
2001, 751).

Kelemahan kapasitas militer AS telah mulai semakin diuji


oleh Cina. Beberapa kali Cina telah menunjukkan bukti
upayanya untuk mengendalikan Laut Cina Selatan dengan
menciptakan pulau buatan dan membangun pangkalan militer
baru di wilayah tersebut. Cina melihat nilai strategis wilayah
Laut Cina Selatan sebagai sarana untuk mencegah strategi
pengepungan AS. Klaim ini dapat menimbulkan berbagai
ketegangan tidak hanya dengan AS tetapi juga akan
membahayakan hubungan Cina dengan negara tetangganya.
Klaim teritorial ini menyiratkan adanya tabrakan kepentingan
langsung dengan beberapa sekutu terdekat AS di kawasan,
seperti Jepang, Filipina, dan Korea Selatan (Bendini 2016, 20-
22).

Laut Cina Selatan dan Timur kini menjadi flashpoint


kawasan yang telah menyebabkan hubungan antara Cina dan
beberapa negara Asia Tenggara semakin menegangkan,

M Najeri Al Syahrin | 161


Keamanan Asia Timur

khususnya Filiphina, Jepang, Vietnam, Malaysia, Brunei dan


Indonesia. Kontestasi keamanan dan hukum yang terus
berlanjut serta keterlibatan pihak ketiga menjadikan Laut Cina
Selatan menjadi kawasan ‘konflik masa depan' (Yang & Li
2016, 136).

Pada November 2013, Presiden Xi kembali meluncurkan


kebijakan yang agresif. ia mendeklarasikan zona identifikasi
pertahanan udara di beberapa bagian Laut Cina Timur, yang
memicu ketegangan dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.
Untuk kasus Taiwan, AS juga perlu secara cermat memetakan
bagaimana mencapai tujuan dengan tidak secara konfrontatif
bertentangan dengan kepentingan Cina. Di satu sisi,
Washington perlu mempertahankan kehadiran militer dengan
memberi dukungan pertahanan Taiwan untuk mencegah
serangan juga sekaligus meyakinkan Beijing bahwa tujuan
penjualan senjata dan kehadiran militernya tidak bertujuan
mendukung pemisahan antara Taiwan dan Cina (Chen 2017,
11).

Dilema baru muncul jika AS tidak bisa secara tepat ikut


campur tangan dalam upaya menghalangi Cina agar tidak

M Najeri Al Syahrin | 162


Keamanan Asia Timur

memaksakan klaim teritorialnya. Perlombaan senjata kawasan


mungkin akan dimulai untuk merespon ketidakmampuan AS
tersebut. Namun, jika AS memutuskan untuk mengadopsi
tindakan yang lebih tegas terhadap Cina, ini juga bisa mengarah
pada potensi konflik yang membahayakan stabilitas keamanan
kawasan. AS jelas tidak akan mengakui Cina dalam
memproklamirkan kedaulatan atas pulau-pulau yang
bersangkutan.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah klaim tersebut


akan direspon dengan tindakan nyata dari AS. Cina
kemungkinan akan memperkuat benteng militernya di wilayah
yang di klaim, atau memberikan tekanan pada negara penuntut
(seperti Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Vietnam atau Filipina)
untuk menguji komitmen AS dalam membantu sekutunya
(Bendini 2016, 20-22). Masih harus dilihat apakah komitmen
AS tersebut untuk memastikan kekuatan lautnya sendiri dan
melindungi kepentingan sekutu militernya merupakan
keterlibatan militer jangka panjang atau hanya gertakan untuk
melindungi mitra keamanannya.

Kehadiran AS telah mengakar kuat di Asia Timur secara

M Najeri Al Syahrin | 163


Keamanan Asia Timur

militer, politik dan ekonomi. Menyerahkan seluruh dominasi


wilayah kepada Cina tentu membalik logika kebijakan lama
yang dianut AS selama ini. Secara historis upaya AS untuk
menghentikan dominasi negara lain dimulai sejak Perang Dunia
II ketika berperang dengan Jepang. Selanjutnya kehadiran AS
tetap dominan pada masa Perang Korea dan Perang Vietnam.
Setidaknya untuk jangka menengah, mungkin Cina tidak terlalu
kuat menekan AS untuk mundur dari basis militer dan jalinan
aliansinya di Asia Timur. Dalam jangka panjang, kemungkinan
besar hal tersebut akan dilakukan oleh Cina (Singh 2012;
Bailey 2007, 139-140).

Beberapa faktor yang tidak pasti akan mempengaruhi


keseimbangan kekuasaan masa depan di kawasan Asia Timur.
Pertumbuhan ekonomi Cina yang cepat, yang telah menjadi
dorongan untuk pergeseran kekuasaan regional. Posisi AS di
Asia juga masih belum pasti, tergantung pada pemulihan
ekonomi yang berkelanjutan, dan komitmen yang kuat untuk
rebalancing AS terhadap Asia. Jika faktor-faktor ini terus
menguat, maka kemungkinan sistem kepemimpinan ganda
masih terus berlanjut. Apapun masalahnya, sifat hubungan AS
dan Cina yang tidak menentu akan memiliki dampak yang

M Najeri Al Syahrin | 164


Keamanan Asia Timur

sangat besar pada kawasan untuk tahun-tahun mendatang.

6.2 Paradoks Kebijakan dan Upaya Harmonisasi

Sejak kekalahan Jepang pada tahun 1945 dan terutama


sejak berakhirnya Perang Dingin, AS telah memperlakukan
Asia Timur hampir sebagai daerah ‘teritorial pribadi’ AS.
Pengaturan kekuasaan di Asia Timur seperti perdagangan bebas,
kebebasan navigasi maritim dan pemerintahan yang demokratis
di beberapa negara mencirikan nilai-nilai yang sama dengan
kepentingan AS (Dyer 2014). Sistem keamanan dimulai sejak
tahun 1951 dengan penandatanganan Perjanjian San Francisco,
perjanjian tersebut yang secara resmi menghentikan
pendudukan Jepang serta upaya inisiasi aliansi keamanan antara
kedua negara. Dua kesepakatan regionalisme ini, memelopori
arsitektur keamanan kawasan Asia Timur yang baru, yang
kemudian diikuti oleh pakta bilateral dengan Korea Selatan,
Taiwan, Thailand dan Filipina.

Selain itu, implementasi kebijakan AS dalam dialog


dengan ASEAN, Australia dan Selandia Baru serta forum Asia
Pacific Economic Cooperations (APEC), ASEAN Plus dan
KTT Asia Timur, dengan tegas mengaitkan sentralitas Asia

M Najeri Al Syahrin | 165


Keamanan Asia Timur

Timur sebagai salah satu arena diplomatik utama AS dalam


kancah global (Chong & Shang-su 2018).

Peluncuran strategi pertahanan “Asia Pivot” pada era


Obama telah menekankan bahwa tren kebijakan dan tantangan
strategis AS berada di kawasan Asia Pasifik termasuk juga Asia
Timur. Pada masa Pemerintahan Trump, Asia Timur juga masih
merupakan kawasan yang selalu diperhatikan AS. Kehadiran
Cina di Asia Timur yang dalam National Security Strategi
(NSS) Pemerintahan Trump disebut sebagai "revisionis power"
dan “strategic competitor’ semakin menguatkan asumsi bahwa
Asia Timur merupakan salah satu kawasan yang sangat penting
bagi kepentingan keamanan AS (Jost 2017).

Terdapat paradoks menarik dalam hubungan rivalitas


antara AS dan Cina selama ini. Apabila dibandingkan dengan
masa Perang Dingin, konstestasi politik dan ideologi antara AS
dan Uni Soviet dahulu berlangsung secara transparan, artinya
masing-masing negara memang secara terbuka menyatakan
terdapat ‘benturan kepentingan’ satu sama lain. Hal yang
berbeda justru terjadi dengan Cina. AS selalu menempatkan
Cina dalam posisi ‘mitra strategis’ perdagangan dan kerja sama

M Najeri Al Syahrin | 166


Keamanan Asia Timur

ekonomi internasional sekaligus juga di sisi yang lain dianggap


menjadi ‘ancaman’ dalam kepentingan keamanan. Paradoks ini
bisa terlihat sejak kebijakan Asia Pivot pada masa
Pemerintahan Obama. Obama berungkali menyatakan bahwa
Asia Pivot bukan merupakan strategi untuk menahan pengaruh
Cina di kawasan. Di sisi lain, para pejabat Cina juga
menyatakan berulang kali bahwa mereka tidak punya niat untuk
menghalangi kepentingan AS di Asia (Bendini 2016, 16).
Kedua negara bagaimanapun, tentu memiliki strategi politik
yang berbeda dan tampaknya, cenderung ‘menyembunyikan’
adanya kepentingan yang berbeda tersebut.

Beberapa contoh kebijakan AS lain juga mencerminkan


paradoks ini. Pengerahan pasukan militer AS secara permanen
di Australia serta upaya AS untuk mendiskusikan masalah Laut
Cina Selatan dalam forum multilateral ASEAN Summit
dianggap merupakan upaya untuk ‘membendung’ Cina. Selain
itu, penguatan kapabilitas militer lima negara aliansi di kawasan
Asia Pasifik termasuk juga di Asia Timur serta penyesuaian
posisi pangkalan militer di sekitar wilayah Cina juga
mencerminkan paradoks ini.

M Najeri Al Syahrin | 167


Keamanan Asia Timur

Melihat strategi ini, sulit bagi AS untuk menyangkal


bahwa kebijakan ini tidak mengarah kepada upaya
pembendungan kekuatan Cina. Strategi counterbalancing di
Asia Pasifik secara umum dinilai terlalu dini untuk diterapkan,
karena strategi tersebut hanya cocok untuk era Perang Dingin
dan dinilai kurang tepat apabila diterapkan di era milenial.
Blokade ekonomi, strategi pengepungan, militerisasi serta
perlombaan senjata sangat sulit dilakukan dalam politik global
kontemporer. Tidak ada negara di kawasan yang menginginkan
keadaan tersebut terjadi di kawasan meskipun di sisi lain
mereka juga tidak ingin didominasi oleh kepentingan Cina. Jadi
keterlibatan dan kerja sama dalam isu-isu transnasional
tampaknya menjadi jalan terbaik ke depan bagi AS dan Cina
(Schmidt 2014, 205-207).

Lingkungan strategis saat ini di Asia Timur dapat


dicirikan oleh persaingan yang semakin ketat (dicampur dengan
beberapa kerja sama) antara Cina dan AS tersebut. Pilihan
kebijakan untuk saling mengakomodasi atau saling kontradiktif
satu sama lain tentu akan memiliki efek spillover pada
negara-negara lainnya (Huang 2015). Kedua negara idealnya
saling menjadi ‘responsible stakeholder’ yang bertanggung

M Najeri Al Syahrin | 168


Keamanan Asia Timur

jawab dalam sistem internasional. Meskipun di seberang lain,


Cina dan AS masih memiliki banyak masalah yang belum
diselesaikan, beberapa di antaranya secara langsung melibatkan
kepentingan inti kedua negara serta negara aliansi AS.

Isu-isu tersebut dapat menyebabkan kedua negara adidaya


ini tersandung dalam sebuah bentrokan yang tidak diinginkan.
Proses transisi kekuasaan keamanan maupun ekonomi akan
terus menjadi faktor penentu dalam hubungan AS dan Cina.
Analisis ini memegang sebuah proposisi kuat bahwa, meskipun
Cina dan AS saling berkomitmen untuk masa depan yang damai,
kedua negara ini memiliki banyak konflik kepentingan yang
kompleks, dan melibatkan beberapa negara lain di kawasan,
apabila hal ini tidak dikelola dengan baik, maka akan dapat
menciptakan perang dan instabilitas regional (Al Syahrin 2018,
144).

Paradoks yang selanjutnya terjadi dalam aspek ekonomi


dan perdagangan. Meskipun AS dan Cina sering terlibat
perseteruan dalam penanganan konflik dan masalah keamanan
di Asia Timur seperti permasalahan nuklir Semenanjung Korea,
krisis Taiwan dan sengketa maritim Laut Cina Selatan dan

M Najeri Al Syahrin | 169


Keamanan Asia Timur

Timur. Dalam kebijakan ekonomi, AS dan Cina cenderung bisa


‘bermain baik’. Pembentukan komunikasi tingkat tinggi secara
regular untuk mendukung koordinasi ekonomi antarnegara telah
dibentuk sejak masa Pemerintahan Bush pada tahun 2005. Pada
masa Pemerintahan Barack Obama, Cina mengirim delegasi
terbesar pertama ke Washington dengan lebih dari 150 pejabat
tingkat menteri. Pada Mei 2010, Menteri Luar Negeri Hillary
Clinton dan Menteri Keuangan Timothy Geithner membalas
kunjungan tersebut dengan mengirim 200 delegasi sebagai
representasi Pemerintahan AS. Kunjungan tersebut merupakan
kunjungan dengan delegasi terbesar yang pernah diutus
Washington ke Beijing selama ini (Lai 2011, 82).

Dialog strategis pada era Pemerintahan Trump dimulai


dengan kunjungan Xi Jinping ke Mar-a-Lago, Florida.
Pertemuan tersebut mengindikasikan pesan penting, dua
kekuatan ekonomi terbesar di dunia akan mengelola hubungan
mereka dibawah prinsip ‘Agreement to Disagreement’.
Kesepakatan ini merupakan tekad bersama kedua negara untuk
menyelesaikan perbedaan di bidang defisit perdagangan dan
manipulasi mata uang (Zhao 2017). Pada titik ini, sebagian
besar dialog masih memang masih berada pada tahap

M Najeri Al Syahrin | 170


Keamanan Asia Timur

"pengujian kondisi”. Artinya, kedua pihak masih saling merasa


waspada satu sama lain serta berupaya untuk melindungi
kepentingan vitalnya. Meskipun demikian, dialog adalah
peluang aman dan realistis bagi kedua belah pihak untuk
memahami posisi ‘lawan’ dan kepentingannya.

Dalam rentang tiga puluh tahun belakangan, Cina telah


menjadi negara yang secara signifikan berpengaruh dalam
setiap intrik politik dunia. Cina tampaknya menjadi calon
potensial sebagai negara adikuasa, menawarkan alternatif baru
bagi keunggulan AS dalam politik global. Kini Cina mulai
secara terbuka menyatakan bahwa dengan kekuatan
ekonominya, ia akan berupaya mendapatkan status sebagai
Great Power (Bert 2003, 58).

Kebangkitan Cina ini telah menghasilkan ikatan yang


unik dengan AS. Keseimbangan yang kompleks antara kedua
negara menghasilkan pola interaksi ketergantungan dan
kepentingan yang berbeda. Pertama, kebangkitan Cina telah
menyebabkan pembaruan dan peningkatan kolaborasi
kestabilan tatanan dunia antara AS dan Cina yang telah
membuahkan hasil pada sejumlah isu global khususnya dalam

M Najeri Al Syahrin | 171


Keamanan Asia Timur

aspek ekonomi dan perdagangan. Kedua, kebangkitan Cina


telah meningkatkan ketakutan dan ancaman. Perbedaan
kepentingan dan orientasi politik antara AS dan Cina
memungkinkan terjadinya konflik antarkedua negara (Bendini
2016, 4-5).

Sejak tahun 2008, sikap Cina telah berubah menjadi


pendekatan yang lebih asertif dan bahkan kadang menghindar
ketika terdapat potensi persaingan. Memang, Cina mengadopsi
pendekatan yang sedikit revisionis pada beberapa kasus, yang
dapat menyebabkan ketegangan lebih lanjut dengan pendekatan
status quo dari AS. Dari kebangkitan G20 sebagai forum
ekonomi utama dalam membahas isu-isu global, hingga
pembentukan Bank Pembangunan dengan BRICS, Cina juga
telah mendorong adanya lembaga multilateral alternatif.
Meskipun Cina dan AS secara resmi memiliki hubungan politik
yang berkembang berdasarkan kepercayaan dan sikap saling
menghormati antarkedua negarea tetapi irisan kepentingan
masih rentan terjadi (Bendini 2016, 16).

Struktur kepemimpinan ganda tersebut tentu


mempengaruhi distribusi kekuatan regional. Sebagai contoh,

M Najeri Al Syahrin | 172


Keamanan Asia Timur

kekuatan ekonomi Cina yang meningkat sangat membantu


dalam menjaga stabilitas ekonomi di Asia Pasifik dan Asia
Timur ketika krisis keuangan global 2008. Ketika pertumbuhan
ekonomi Cina mencatat rekor tinggi dapat mengimbangi
pertumbuhan negatif AS, dengan demikian Cina mampu
memainkan peran ekonomi yang stabil dan menguntungkan
bagi negara-negara lain (Zhao 2017).

6.3 Geostrategi dan Geoekonomi Negara Adidaya di Asia


Timur

Selama beberapa dekade, AS mampu memainkan peran


hegemonik yang sentral di wilayah Asia Timur. AS menjamin
stabilitas keamanan, serta membina aliansi dan kemitraan
politik. Selama beberapa dekade, stabilitas keamanan dan
kemakmuran saling terkoordinasi dalam jangkauan AS. Hari ini,
tatanan baru mulai bergesar dan memberi jalan bagi kekuatan
baru dengan kehadiran Cina di kawasan (eds. Inoguchi &
Ikenberry 2013, 13). Hubungan antara AS dengan Cina
merupakan hubungan paling penting dalam politik dunia. Teori
transisi kekuasaan menunjukkan bahwa kekuatan yang
meningkat dan rivalitas hegemoni cenderung sulit diselesaikan

M Najeri Al Syahrin | 173


Keamanan Asia Timur

dengan jalan damai dan kondisi tersebut akan menciptakan


sebuah tragedi politik (perang atau konflik). AS mengalami
penurunan kekuatan (declining) atas meningkatnya pengaruh
Cina dalam persaingan keamanan.

Namun, pendapat berbeda juga menyatakan bahwa


mengingat keterbukaan ekonominya, arus tatanan global akan
mampu mengakomodasi kebangkitan Cina dengan cara damai.
Tragedi atas transisi kekuasaan tersebut tidak dapat dihindari
jika AS dan Cina tidak dapat mengatur hubungan bilateral
mereka yang rumit. Melihat kondisi ini, tentu akan menarik
apabila membandingkan pendekatan dan strategi yang
dilakukan kedua negara untuk mencapai kepentingan geopolitik
di tengah kompleksnya kondisi rivalitas tersebut. Pendekatan
dan strategi yang diterapkan tidak hanya terjadi di kawasan
Asia Timur saja tetapi juga kawasan Asia Pasifik secara
keseluruhan.

Hingga akhir tahun 1980-an Cina tidak memiliki


kebijakan kawasan yang integratif dan secara khusus berfokus
pada kawasan Asia Pasifik. Namun kini, Cina mulai
meningkatkan fokus strategis hubungan bilateral dan kebijakan

M Najeri Al Syahrin | 174


Keamanan Asia Timur

luar negeri yang lebih berorientasi pada kepentingan geostrategi


(Hwang & Dongxiao 2010, 107). Dengan status kekuatan
ekonomi dan militer yang terus meningkat, Cina juga telah
mengusulkan serangkaian inisiatif untuk mengelola
hubungannya secara khusus dengan AS. Pada tahun 2012,
selama perjalanan ke Washington, Xi Jinping menyerukan
pembentukan flatform ‘ A New Type of Great Power Relations
In The 21st Century’.

Flatform ini mewakili inisiatif Cina untuk menghindari


konfrontasi antardua kekuatan adidaya. Bagi beberapa
cendekiawan Cina, prakarsa Cina ini adalah eksplorasi lanjutan
dari prakarsa ‘G2’ dan ‘Chimerica’ yang diperkenalkan pada
tahun 2008 untuk mengelola hubungan antara Beijing dan
Washington. Saat ini, diplomasi proaktif Xi Jinping sedang
berusaha untuk membentuk kembali hubungan Sino- AS di
masa depan dengan mempromosikan gagasan 'New Type of
Great Power Relations'. Beberapa berpendapat bahwa konsep
ini adalah sebuah 'perangkap' untuk AS yang direncanakan oleh
Cina. Sementara beberapa pihak yang optimis tetap
menganggap pendekatan ini sebagai kesempatan untuk
mengintegrasikan Cina dalam tatanan global serta mencari

M Najeri Al Syahrin | 175


Keamanan Asia Timur

landasan ikatan yang kuat (durable foundation) dalam


hubungan AS-Cina (Zheng 2016, 423-425).

Sikap AS terhadap flatform kebijakan Cina ini masih


ambigu dan cenderung menentangnya. Sejauh ini, pemerintahan
Trump belum menunjukkan dukungan yang jelas terhadap
konsep yang diciptakan oleh Cina ini. Meskipun demikian,
propaganda Cina secara eksplisit dan implisit menunjukkan
bahwa AS telah ‘menerimanya’. Ini menunjukkan harapan dan
antusiasme tinggi dalam mempromosikan konsep ini. Terdapat
alasan bagi Cina untuk berharap AS ‘mengakui’ konsep
tersebut. Dari perspektif strategis, ketika AS menerima konsep
ini, berarti secara langsung ia mengakui status Cina sebagai
'great power', dan dengan demikian, pengakuan AS akan dilihat
sebagai kemenangan diplomasi Cina di bawah kepemimpinan
Xi (Zheng 2016, 431).

Xi Jinping merupakan pemimpin yang sangat kuat dan


inovatif dalam melihat tata kelola global. Dia tampak berbeda
dari para pendahulunya, Xi bergerak lebih cepat dan tegas
dalam pencapaian kepentingan utama Cina.
Kepentingan-kepentingan tersebut antara lain, memaksimalkan

M Najeri Al Syahrin | 176


Keamanan Asia Timur

pengaruh Cina di wilayah Pasifik Barat, membangun hubungan


ekonomi Cina dengan negara-negara di kawasan, reunifikasi
dengan Taiwan dan menegaskan klaim teritorial Cina di Laut
Cina Selatan dan Timur yang diupayakan dengan penguatan
teknologi maritim dan kapabilitas militer. Kebijakan ekonomi
regional Cina juga dirancang untuk meningkatkan
inter-konektivitas sambil terus memainkan peran dalam
mekanisme multilateral yang ada. Xi juga berupaya
mempertahankan hubungan yang positif dengan AS sambil
terus mempersiapkan kemungkinan adanya persaingan strategis.
Tindakan Xi tersebut telah dirancang untuk tujuan dalam
aktivitas ini, tetapi dengan kemampuan Cina yang semakin
meluas telah terjadi kekhawatiran apakah peningkatannya akan
berlangsung damai atau mengancam stabilitas keamanan (Bader
2016).

Kekhawatiran akan ancaman ekspansi pengaruh Cina


tersebut secara ‘halus’ ditampik Cina dengan strategi ‘Low
Profile’ dan ‘Peaceful Development’ yang diinisiasi sejak masa
Deng Xiaoping. Selama beberapa dekade kebijakan tersebut
sudah berjalan efektif. Tren terbaru dalam diplomasi Cina
dibawah kepemimpinan Jinping menunjukkan bahwa strategi

M Najeri Al Syahrin | 177


Keamanan Asia Timur

Cina terhadap Asia mengedepankan pendekatan ‘Harmonious


Asia’. Frasa ini mengandung arti ‘kebersamaan’ yang tentu
sangat menarik bagi masyarakat kawasan. Untuk
mengembangkan strategi ini, Cina menggunakan tiga jalur
pendekatan, yaitu kerja sama ekonomi, jalinan kemitraan
strategis, dan keamanan multilateral.

Pada jalur strategi yang pertama, kerja sama ekonomi


Cina tidak hanya mendekati negara-negara Asia Pasifik sebagai
mitra bilateral, tetapi juga menggunakan jalur multilateral untuk
mengembangkan dan mengintensifkan hubungan ekonominya.
Misalnya, peningkatan proporsi perdagangan eksternal dan
investasi. Cina juga melakukan Free Trade Agreement (FTA)
dengan ASEAN dan masih terus melakukan koordinasi
perdagangan dengan Australia, India, dan Korea Selatan. Cina
juga terus memperkuat kerja sama sub-wilayah di sepanjang
aliran sungai Mekong. Pendekatan Cina dalam One Belt One
Road (OBOR) juga sangat mencirikan strategi ini. (Zeng 2016,
432)

Selanjutnya, pendekatan kedua dari ‘Harmonious Asia’


adalah membangun kemitraan strategis untuk hidup

M Najeri Al Syahrin | 178


Keamanan Asia Timur

berdampingan secara damai dengan negara-negara tetangga.


Cina selalu berupaya untuk memperkuat hubungan bilateral
dengan negara-negara melalui jalinan kemitraan strategis ini.
Meskipun ada banyak pesimisme terutama dalam klaim Cina di
kasus Laut Cina Selatan. Pendekatan kolektif ini dinilai masih
cukup efektif untuk menggandeng negara-negara di kawasan.
Komponen ketiga dari pendekatan Cina adalah jalinan
keamanan multilateral. Awalnya, pola pikir Cina masih sangat
klasik, bahwa organisasi multilateral akan bertentangan dengan
kepentingan nasional, tetapi dengan Kongres ke- 16 Partai
Komunis Cina pada tahun 2002, menjadi sebuah referensi baru
atas perubahan pola pikir Cina yang lebih optimistik.

Tidak hanya aktif berpartisipasi dalam forum-forum


seperti APEC, ASEAN+3, ASEAN+1, tetapi juga aktif dalam
Asean Regional Forum (ARF), East Asian Submit (EAS), serta
inisiasi keamanan maritim bersama dalam inisiatif OBOR.
Lebih jauh lagi, Cina mengerahkan pasukan penjaga
perdamaian untuk daerah-daerah konflik serta melanjutkan
latihan militer gabungan dengan negara-negara lain.
Ringkasnya, ‘Harmonious Asia’ secara efektif mencerminkan
nilai kebersamaan universal dalam strategi diplomatik Cina

M Najeri Al Syahrin | 179


Keamanan Asia Timur

kontemporer (Hwang & Dongxiao 2010, 109-110).

Munculnya pendekatan geoekonomi Cina tersebut


merupakan faktor penentu dalam mencapai kepentingan
geostrategi. Pertumbuhan ekonomi yang kuat dan ekspansi
pasar domestik Cina yang semakin meluas, menjadikan Cina
sebagai produser barang terbesar di Asia. Cina juga telah
memperkuat daya saing ekspornya sehingga menyebabkan
perubahan dalam transaksi ekonomi negara-negara tetangga di
Asia (ed. Goh & Simon 2008, 53). Kebijakan ekonomi regional
tersebut pada akhirnya mampu mengukuhkan Cina sebagai
kekuatan baru yang berpengaruh di kawasan. Dengan absennya
AS dalam Trans Pacific Partnership (TPP) dan kini muncul
inisiatif baru OBOR kini AS jelas ‘menyerahkan’ pengaruh
ekonominya di kawasan Asia Pasifik kepada Cina (Kuo 2017).

Rencana ambisius infrastruktur OBOR Cina


diimplementasikan dalam pembangunan bendungan, jalan,
pemukiman, konstruksi kereta api berkecepatan tinggi yang
akan mengintegrasikan wilayah Selatan dan Barat Cina. Dalam
pengertian ini, Asia Pasifik dapat dikatakan telah ‘didominasi’
oleh Cina. Dengan perkembangan konstruksi jalur kereta api

M Najeri Al Syahrin | 180


Keamanan Asia Timur

Asia, negara seperti Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan


akan mendapatkan akses komersial laut melalui pelabuhan Iran.
Dengan cara ini, OBOR bahkan dapat dikatakan membuka
kembali rute kereta api Indo-Pasifik dengan kendali di bawah
Cina (Chong & Shang-su 2018).

Dua peristiwa penting tersebut memiliki pengaruh


signifikan terhadap pengaturan keamanan yang ada di Asia
Pasifik. Hasil dari OBOR, yang dipimpin oleh Xi Jinping, dan
Donald Trump yang meninggalkan kesepakatan TPP,
mengakibatkan banyak negara Asia yang mengorientasikan
kembali kebijakan lama mereka terhadap kedua negara tersebut.
Komitmen tidak jelas AS terhadap sekutu tradisional di Asia,
ditambah dengan tawaran miliaran dolar dalam investasi
infrastruktur oleh Cina, berpotensi mengubah peta politik
kawasan Asia Pasifik selama ini.

Kebijakan Trump ‘America First’ dan kebijakan Xi


tentang 'deep pockets' untuk negara tetangga Cina telah
membuat beberapa loyalis AS mengkalibrasi ulang jalinan
aliansi mereka. Pergeseran yang paling mencolok terlihat dari
kebijakan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Meskipun

M Najeri Al Syahrin | 181


Keamanan Asia Timur

memiliki masalah maritim dan sengketa perbatasan dengan


Cina di Laut Cina Selatan, Filipina secara terbuka telah
menandatangani beberapa perjanjian ekonomi bilateral dengan
Cina, bahkan Cina kembali menyumbang senjata untuk
Filiphina, yang digunakan dalam konflik untuk memberantas
terorisme di Mindanao (Khasru 2017).

Thailand dan Indonesia juga telah ditarik lebih dekat


dalam pengaruh politik Cina melalui pendeketan ekonomi.
Aktifnya Cina dalam kerja sama strategis dengan ASEAN
dalam beberapa tahun terakhir dan kebijakan One Belt One
Road yang ‘mempersatukan’ kawasan Eurasia merupakan bukti
nyata transformasi ini (Al Syahrin 2018, 3). Pemerintah militer
Thailand tidak memiliki hubungan yang nyaman dengan AS
terutama sejak pemerintahan Obama dan sekarang Cina dan
Thailand bekerja sama dalam proyek kereta api berkecepatan
tinggi senilai $5,1 miliar (Khasru, 2017).

Indonesia, di era Joko Widodo juga semakin menjalin


hubungan yang erat dengan Cina. Cina terlibat aktif dalam
pembangunan infrastruktur di Indonesia, yang meliputi
pembangunan 24 pelabuhan, 15 pelabuhan udara, pembangunan

M Najeri Al Syahrin | 182


Keamanan Asia Timur

jalan sepanjang 1.000 km, pembangunan rel kereta sepanjang


8.700 km, serta pembangunan powerplan berkapasitas 35 ribu
megawatt (Setkab, 2015). Selain itu, Pemerintah Indonesia
melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kembali
menawarkan sejumlah proyek infrastruktur bernilai Rp 217
triliun kepada Cina melalui Roadshow Investasi (market
sounding) di dua kota besar Cina yaitu Beijing dan Tianjin
(Republika 2017). Jika Filipina, Indonesia, Thailand, dan
negara-negara lain semakin dekat dengan Cina, ini semua
berpotensi mengguncang dasar-dasar orientasi geopolitik
negara-negara ASEAN.

Sampai pada titik ini, strategi Cina ini telah cukup


membuahkan hasil. Geostrategi yang dilakukan oleh Cina
merupakan siasat untuk menangkap berbagai peluang
kepentingan yang dapat dimaksimalkan di kawasan. Dengan
kata lain, melalui pendekatan ini Cina dapat menghadapi
ketatnya persaingan dengan negara besar lainnya (Dugis 2015,
15). Namun, pendekatan Cina ini juga mendapatkan beberapa
tantangan khususnya dengan AS. Pertama, apabila AS di bawah
Trump mampu melakukan reorientasi kebijakan yang lebih
berorientasi pada smart power dan bisa memberikan

M Najeri Al Syahrin | 183


Keamanan Asia Timur

keuntungan ekonomi bagi seluruh negara kawasan maka hal itu


bisa merubah arsitektur hegemoni ekonomi yang selama ini
sudah dilakukan Cina.

Selain itu, AS juga bisa ‘menggunakan’ Jepang untuk


menciptakan strategi diplomasi kawasan dan saling
berkolaborasi untuk menjadi saingan strategis Cina. Jika Cina
kesulitan mengharmonisasikan hubungan dengan dengan
negara-negara kawasan maka AS dan Jepang bisa mengambil
alih ‘kemudi’ kerja sama ekonomi kawasan (Hwang &
Dongxiao 2010, 108-112).

Restorasi kekuatan AS melalui slogan “Make America


Great Again” dan "American First” merupakan strategi kunci
yang utama dalam kebijakan AS di bawah kepemimpinan
Trump. Di antara fokus kebijakan yang menjadi prioritas
Trump di Asia Pasifik adalah mengedepankan kepentingan
nasional. Bagi Trump, AS harus mendapatkan penghormatan
dengan menunjukan dominasi total atas semua negara. Dalam
upaya untuk melakukan dominasi tersebut, AS harus
memproyeksikan kepentingan dengan membangun kekuatan
dan kemampuan negara untuk bertindak dalam politik

M Najeri Al Syahrin | 184


Keamanan Asia Timur

internasional yang tidak dibatasi oleh aturan internasional dan


kesepakatan aliansi (Yuliantoro 2016, 198-201).

Atas dasar itulah, strategi terbaru AS dalam National


Security Strategy (NSS) menyatakan secara terbuka bahwa Cina
menantang kekuatan AS. Secara khusus, NSS mengklaim
bahwa Cina berusaha untuk ‘menggeser pengaruh’ AS di
kawasan Indo-Pasifik dengan memperluas jangkauan ekonomi
dibawah kendali Cina. Pergeseran dalam kebijakan luar negeri
AS tersebut tidak hanya sangat konfrontatif terhadap Cina,
tetapi juga secara umum menggeser pendekatan soft power
yang sudah dikembangkan sejak masa Obama. Namun,
kontradiksi antara teks strategi, pesan diplomatik serta retorika
Presiden Donald Trump cenderung dinilai akan menjadikan
kebijakan AS selalu bersifat fluktuatif dan labil (Jost, 2017).

Secara keseluruhan, perbedaan yang paling mencolok dari


kebijakan geoekonomi AS adalah keluarnya dalam kesepakatan
TPP. Hal tersebut berimplikasi pada perubahan orientasi
geoekonomi negara-negara kawasan. Jepang dan Australia
kemudian memimpin dalam Comprehensive and Progressive
Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP atau TPP-11)

M Najeri Al Syahrin | 185


Keamanan Asia Timur

tanpa keterlibatan AS. Perjanjian ini diharapkan mulai berlaku


pada awal 2019, setelah diratifikasi oleh setidaknya enam dari
11 anggota. Indonesia, Thailand dan Inggris juga telah
menyatakan minatnya untuk bergabung dengan kesepakatan
tersebut. Trump mengatakan bahwa dia terbuka untuk
bergabung kembali dengan perjanjian tersebut jika hanya
melibatkan kesepakatan yang lebih baik untuk AS. Kondisi
tersebut mungkin sulit terjadi dalam waktu dekat (Rana & Ji
2018).

Ditinjau dari tujuannya, strategi dan pendekatan antara


Cina dan AS memiliki beberapa perbedaan mendasar. AS
cenderung lebih isolasionis dan protektif, sementara Cina lebih
kolektif dan kooperatif. Citra Xi Jinping sebagai pemimpin
yang inovatif juga semakin menguatkan strategi Cina ini
semakin efektif. Disisi lain, retorika Trump yang cenderung
pragmatis dan kontroversial, semakin menyulitkan negara
aliansi AS.

Selain itu, Cina juga didukung oleh kekuatan ekonomi


yang cenderung stabil dalam beberapa tahun belakangan
sehingga memungkinkan banyak negara di kawasan mendekat

M Najeri Al Syahrin | 186


Keamanan Asia Timur

ke Cina karena orientasi ekonomi tersebut. Meskipun banyak


kecaman terhadap kurangnya transparansi dan diplomasi
jebakan utang dari Cina, banyak negara berkembang yang
membutuhkan pembiayaan investasi melihat Cina dengan
kebijakan ekonominya sebagai sebuah proposisi yang menarik,
tanpa disadari kebijakan ekonomi tersebut semakin menguatkan
pengaruh politik dan keamanan Cina di kawasan Asia Timur
dan Asia Pasifik secara keseluruhan.

Akhirnya, tidak mudah untuk mengambil sebuah


simpulan tunggal dan jelas mengenai rivalitas keamanan antar
negara adidaya di kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur.
Rivalitas keamanan merupakan kondisi dan intrik yang sangat
kompleks dengan berbagai aspek pendukungnya yang kadang
justru berada di luar lingkaran keamanan itu sendiri, aspek
ekonomi adalah salah satu contohnya.

Bahwa dengan kebangkitan Cina, hubungan Sino-AS


telah menjadi semakin penting dan mungkin berbahaya bagi
stabilitas keamanan kawasan. Kontestasi politik dan keamanan
yang sudah usai dengan berakhirnya Perang Dingin, secara
langsung belum mampu– secara lama–menjadikan AS sebagai

M Najeri Al Syahrin | 187


Keamanan Asia Timur

negara adidaya yang selalu bisa mengatur dunia secara


‘tunggal’. Hadirnya Cina memberikan alternatif dalam interaksi
keamanan regional. Akibatnya, pergeseran ini memicu
perdebatan kontemporer bagaimana mengelola konflik dan
hegemoni antar dua kekuatan tersebut.

Strategi New Type of Great Power Relations dan


Harmonious Asia telah menjadi sinyal positif tentang perilaku
bertanggung jawab Cina. Identitas Cina telah bergeser menjadi
kekuatan besar yang menjadi tantangan dalam kepentingan
ekonomi dan perdagangan AS. Meskipun di sisi lain, seperti
yang banyak diulas dalam bab ini, kebangkitan Cina lebih
banyak ‘mengancam’ kepentingan keamanan AS. Di satu sisi,
pola hubungan rivalitas keamanan ini menjadi unik, karena
cenderung berbeda dengan rivalitas keamanan antara AS dan
Uni Soviet ketika masa Perang Dingin. Meskipun demikian,
seperti yang diungkapkan juga oleh artikel ini, AS dan Cina
harus sama-sama saling terus mencari cara agar hubungan
strategis antar kedua negara tidak menimbulkan efek negatif
terhadap stabilitas keamanan kawasan.

Hampir dapat dipastikan bahwa kita akan menyaksikan

M Najeri Al Syahrin | 188


Keamanan Asia Timur

lebih banyak peningkatan kekuatan Cina di tatanan regional


masa depan, yang kini telah ditunjukkan oleh inisiatif dari One
Belt One Road. Pemahaman yang lebih baik tentang
kebangkitan Cina serta niat strategisnya membutuhkan
pengamatan lebih dekat dalam setiap langkah Cina. Tantangan
selanjutnya adalah AS perlu mencari keseimbangan antara
‘menerima’ peran global yang lebih besar bagi Cina sambil
terus membangun cara untuk ‘melawan’ pemaksaan
kepentingan dari Cina. Singkat kata, di sinilah rivalitas sebagai
kompromi-kompromi keamanan justru menemukan arti
pentingnya. Pendekatan yang masuk akal adalah dengan terus
melibatkan Cina, untuk dapat memainkan peran yang lebih
besar dalam mendukung sistem keamanan global. Upaya ini
diharapkan akan mampu menurunkan esklasi persaingan dan
saling mengamankan berbagai kepentingan antara AS dan Cina.

****

M Najeri Al Syahrin | 189


Keamanan Asia Timur

Bibliography
Agung, A. & Mochammad, Y. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Akaha, T. 1998. Beyond Self Defense: Japan Exclusively Security


Role Under the New Guidelines for US-Japan Defense
Cooperation. The Pacific Review. Vol. 11 (4).

Al Syahrin, M. N. & Yuliantoro, N.R. 2015. Kompleksitas Keamanan


Kawasan dan Implikasinya terhadap program
Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara. Tesis
Magister. Departemen HI UGM. Yogyakarta.

Al Syahrin, M.N. 2018. China Versus Amerika Serikat: Interpretasi


Rivalitas Keamanan Negara Adidaya Di Kawasan Asia
Pasifik. Jurnal Global & Strategis. Vol 12 (1), pp. 145-163.

Al Syahrin, M.N. 2018. Donald Trump dan Reorientasi Kebijakan


Keamanan Amerika Serikat Terhadap Program
Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara. Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional. Vol 14 (1), pp. 97-111

Al Syahrin, M.N. 2018. Kebijakan Poros Maritim Jokowi dan


Sinergitas Strategi Ekonomi dan Keamanan Laut Indonesia.
Indonesian Perspective. Vol 3 (1), pp. 1-17

Al Syahrin, M.N. 2018. Kompleksitas Keamanan Kawasan Dan


Tantangan Kerja Sama Keamanan Kawasan Asia Timur.
Nation State: Journal of International Studies. Vol 1 (1), pp.
23-44.

Al Syahrin, M.N. 2018. Logika Dilema Keamanan Asia Timur dan


Rasionalitas Pengembangan Senjata Nuklir Korea Utara.

M Najeri Al Syahrin | 190


Keamanan Asia Timur

Intermestic: Journal of International Studies. Vol 2 (2), pp.


116-138.

Anthony, I. 2014. ‘Introduction: International Security, Armaments


and Disarmament.’ Sipri Yearbook 2014 Armament,
Disarmament, and International Security: Summary.
Stockholm.

Armstrong, C.K. 2006. US-North Korean Relations, dalam J. Feffer


(ed.) The Future of US-Korean Relations. Routledge.
London.

Austin, G. & Harris, S. 2001. Japan and Greater China: Political


Economy and Military Power in the Asian Century.
University of Hawai Press. Honolulu.

Bader, J. 2016. “A Framework for U.S. Policy Toward China”.


Selengkapnya dalam
https://www.brookings.edu/research/a-framework-for-u-s-p
olicy-toward-china/. Diakses pada 9 Maret 2018.

Bailey, J. 2007. Great Power Strategy in Asia: Empire, Culture and


Trade, 1905–2005. New York. Routledge.

BBC Indonesia. 2012. ‘Di balik sengketa kepulauan di Laut Cina


Timur,’ BBC Indonesia. Selengkapnya dalam
<http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/09/120911_
islandsqanda.shtml>. Diakses pada 28 Maret 2015.

BBC Indonesia. 2017. Presiden Trump Keluarkan Sanksi Baru


Terhadap Korea Utara. BBC Indonesia. Selengkapnya
dalam http://www.bbc.com/indonesia/dunia-41341015.
Diakses pada 28 Oktober 2017.

Bendini, R. 2016. United States - China Relations: A Complex

M Najeri Al Syahrin | 191


Keamanan Asia Timur

Balance Between Cooperation and Confrontation.


Directorate General for External Policies Policy
Department. European Union.

Bennett, B.W. 2010. Uncertainties in the North Korean Nuclear


Threat. National Defense Research Institute. California.

Bert, W. 2003. The United States, China, and Southeast Asian


Security: A Changing of the Guard. Palgrave Mcmillan.
London.

Berteau, D.J. & Green, M.J. 2012. U.S. Force Posture Strategy in the
Asia Pacific Region: An Independent Assessment. CSIS
Press. Washington, D.C.

Booth, K. & Wheeler, N. J. 2008. The Security Dilemma: Fear,


Cooperation and Trust in World Politics. Palgrave
Macmillan. London.

Brown, P.J. 2018. Japan feeling isolated as Seoul, US and North


Korea talk. Selengkapnya di
http://www.atimes.com/article/japan
-feeling-isolated-as-seoul-us-and-north-korea-talk/. Diakses
pada 18 Oktober 2018.

Buzan, B 1991. People, States, and Fear: An Agenda for


International Security Studies in the Post Cold War Era.
Harvester Wheatsheaf. Hempstead.

Buzan, B. & Lemaitre, K.M. 1990. The European Security Order


Recast: Scenarios for the Post Cold War Era. Pinter.
London.

M Najeri Al Syahrin | 192


Keamanan Asia Timur

Buzan, B. & Waever, O. 2003. Regions and Powers: The Structure of


International Security. Cambridge University Press. New
York.

Chen, D. 2017. US-China Rivalry and Taiwan’s Mainland Policy


Security, Nationalism, and the 1992 Consensus. Palgrave
Mcmillan. Swiss.

China Economic Review. 2017. China's third-quarter economic


growth at 6.8%. China Economic Review. Selengkapnya di
http://www.chinaeconomicreview.com/chinas-third-quarter
-economic-growth. Diakses pada 24 Oktober 2017.

China Power. 2018. What does China Really Spend on Its Military? |
ChinaPower Project. Selengkapnya di
https://chinapower.csis.org/military-spending/. Diakses
pada 24 Mei 2018.

Cho, S. R. 2009. North Korea’s Security Dilemma and Strategic


Options. The Journal of East Asian Affairs. Institute for
National Security Strategy.

Chong, A. & Shang-su, W. 2018. “Indo-Pacific’ vs ‘Asia-Pacific’:


Contending Visions?” . Selengkapnya dalam
https://www.rsis.edu.sg/
wp-content/uploads/2018/02/CO18034.pdf. Diakses pada 9
Maret 2018.

Cipto, B. 2010. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong


terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.

CNBC. 2018. China raises 2018 military budget by 8.1 percent.


Selengkapnya dalam
https://www.cnbc.com/2018/03/04/china

M Najeri Al Syahrin | 193


Keamanan Asia Timur

-raises-2018-military- budget-by-8-point-1-percent.html.
Diakses pada 21 Agustus 2018.

Courmont, B. 2016. Trump’s Foreign Policy: Implications For


Europe And East Asia, Iris: Institut De Relations
Internationales Et Strategiques.

CSIS. 2018. China Power. What does China really spend on its
military?. CSIS. Selengkapnya dalam
https://chinapower.csis.org/military-spending/. Diakses
pada 6 September 2018.

Department of Defense, 2015. Defense Economic Trends in the


Asia-Pacific. Canberra.

Dugis, V. 2015. Memahami Peningkatan Kehadiran China di Pasifik


Selatan: Perspektif Realisme Stratejik. Jurnal Global &
Strategis. Vol 9 (1). pp. 1-18.

Dyer, G. 2014. US-China: Is This the New Cold War? The New Era
of Military Competition in the Pacific Will Become the
Defining Geopolitical Contest of the 21st”. Selengkapnya
dalam https://www.ft.com/
content/78920b2e-99ba-11e3-91cd-00144feab7de . Diakses
pada 12 April 2018.

East West Center. 2016. Seminar: The Asymmetrical Structure of the


U.S.-North Korean Security Dilemma | East-West Center |
www.eastwestcenter.org. Selengkapnya di
https://www.eastwestcenter.org/Events/Seminar-The-Asym
metrical-
Structure-The-Us-North-Korean-Security-Dilemma.
Diakses pada 24 Mei 2018.

M Najeri Al Syahrin | 194


Keamanan Asia Timur

Erickson, A.S. 2012. ‘Changing Military Dynamics in East Asia,


Through The Lens of Distance: Understanding and
Responding to China’s “Ripples of Capability”,’ Policy
Brief, no. 10.

Fearon, J. D. 2017. The Big Problem with The North Koreans isn’t
that We Can’t Trust Them. It’s that They Can’t Trust Us. -
The Washington Post. Selengkapnya dalam
https://www.washingtonpost.com/news/monkey-cage/wp/2
017/08/16/
the-big-problem-with-north-korea-isnt-that-we-cant-trust-th
em-its-that-they-cant-trust-us/?noredirect=on&utm_term=.a
39f1f445c4d. Diakses pada 23 Agustus 2018.

Feffer, J. 2009. Introduction to the Special Issue: An Arms Race in


Northeast Asia?.Asian Perspective. Vol. 33 (4).

Fisher, M. 2016. ‘What Is Donald Trump’s Foreign Policy?’ The


New York Times. Selengkapnya dalam
http://www.nytimes.com/2016/11/12/world/whatis-donald
-trumps- foreign-policy.htm. Diakses pada 11 November
2016.

Goh, E. & Simon, S. W. (eds.), 2008. China, The United States, And
Southeast Asia: Contending Perspectives on Politics,
Security, And Economics. New York: Routledge.

Goo, Y.W. & Lee, S.H. 2014, ‘Military Alliances and Reality of
Regional Integration: Japan, South Korea, the US vs. China,
North Korea,’ Journal of Economics Integration, vol. 29,
no. 2, pp. 332-347.

Grevatt, J. 2017. South Korea Boosts Defence Spending.


Selengkapnya dalam

M Najeri Al Syahrin | 195


Keamanan Asia Timur

http://www.janes.com/article/73404/south-korea-boosts-def
ence-spending. Diakses pada 23 Agustus 2018.

Grice, F. 2017. The Improbability of Popular Rebellion in Kim


Jong-un’s North Korea and Policy Alternatives for the USA.
Journal of Asian Security and International. Affairs, 4 (3),
pp. 263–293.

Hanson, M. 2007, Nuclear Weapons in the Asia Pacific: A Critical


Security Appraisal. In Burke, A. & McDonald, M (eds.),
Critical Security in the Asia Pacific. Manchester University
Press. Manchester.

Hayes, P. & Moon, C. 2016. The North Korean Nuclear Multilemma:


Options to Break the Nuclear Deadlock in Northeast Asia.
Institute of Korean Studies. Vol. 47 (4).

Hofbauer, J & Hermann, P. & Raghavan, S. 2012. Asian Defense


Spending 2000–2011, CSIS Report of the Defense
Industrial Initiatives Group, Washington, D.C.

Hofbauer, J., & Hermann, P., & Raghavan, S. 2012. Asian Defense
Spending. CSIS.

Holland, A. 2017. China’s One Belt, One Road: An Ambitious


Strategy Challenging the U.S. American Security Project.
Selengkapnya di
https://www.americansecurityproject.org/chinas-one-belt-o
ne-road-an-ambitious-strategy-challenging-the-u-s/.
Diakses pada 25 Oktober 2017.

Holmes, O. 2017. Trump skips East Asia Summit on final day of


12-day tour. The Guardian. Selengkapnya dalam
<https://www.theguardian.com

M Najeri Al Syahrin | 196


Keamanan Asia Timur

/us-news/2017/nov/14/donald-trump-skips-east-asia-summi
t-on-final-day-of-12-day-tour>. Diakses pada 28 Februari
2018.

Huang, D. 2015. “Building Security and Integration in The Asia


Pacific” (online). dalam
http://www.eastasiaforum.org/2015/06/13/building-security
-and- integration-in-the-asia-pacific/. Diakses pada 4 April
2018.

Hwang, J. & Dongxiao, C. 2010. “China's Harmonious Asia


Strategy”. International Area Review. Vol 13 (2), pp. 1-20.

Hwang, J. 2003. Rethinking the East Asian Balance of Power:


Historical Antagonism, Internal Balancing, and the
Korean-Japanese Security Relationship, World Affairs, vol.
166, (2).

Ikenberry, G.J. 2016. Between the Eagle and the Dragon: America,
China, and Middle State Strategies in East Asia. The
Journal of Public And International Affairs, vol 131 (1).

Information Office of the States Council. 2013. The Diversified


Employment of China's Armed Forces. Beijing: China's
Government.

Inoguchi, T. & Ikenberry, G. J. (eds.). 2013. The Troubled Triangle:


Economic and Security Concerns for the United States,
Japan, and China. Palgrave Mcmillan. New York.

Irsan, A. 2005. Jepang: Politik Domestik, Global & Regional.


Hasanuddin University Press. Makassar.

Jee, D.E. 2015. ‘Why North Korea is so Freaked out by US-ROK


Drills,’ The Diplomat,

M Najeri Al Syahrin | 197


Keamanan Asia Timur

<http://thediplomat.com/2015/03/why-north-korea-is-so-fre
aked-
out-by-us-rok-drills/>, diakses pada 29 Maret 2015.

Jervis, R. 1978. Cooperation Under the Security Dilemma,‟ World


Politics, vol. 30 (2), pp. 167-214.

Johnson, J., & Kikuchi, D. 2018. With Historic Meeting of Leaders,


North Korea, and China Shore Up Leverage as Kim-Trump
Talks Loom. The Japan Times. Selengkapnya dalam
https://www.japantimes.co.jp/news/2018/03/28/
asia-pacific/historic-meeting-leaders-north-korea-china-sho
re-leverage-kim-trump-talks-loom. Diakses pada 2 Juni
2018.

Jost, T. 2017. The New Pessimism of U.S. Strategy Towards China”.


Selengkapnya dalam
https://warontherocks.com/2017/12/new-pessimism-u-s-
strategy-towards-china/. Diakses pada 29 Maret 2018.

Kang, D.C. 2009. Between Balancing and Bandwagoning: South


Korea's Response to China.’ Journal of East Asian Studies.
Vol. 9 (1).

Katzenstein, P.J 2012. China’s Rise: Rupture, Return, or


Recombination,’ dalam P.J. Katzenstein (ed.), Sinicization
and the Rise of China: Civilizational Processes Beyond
East and West. Routledge. New York.

Khasru, S. M. 2017. The Geopolitical Landscape of Asia Pacific Is


Changing Dramatically. Here’s How”. Selengkapnya dalam
https://www.
weforum.org/agenda/2017/07/the-geopolitical-landscape-of
-asia-pacific-is-changing-dramatically-here-s-how/.
Diakses pada 6 April 2018.

M Najeri Al Syahrin | 198


Keamanan Asia Timur

Kim, S. 2004. The International Relations of Northeast Asia.


Rowman & Littlefield. Maryland.

Kuo, M. 2017. US-China Economic Relations: Impact on the Asia-


Pacific Region. Selengkapnya dalam
https://thediplomat.com/2017/06/
us-china-economic-relations-impact-on-the-asia-pacific-reg
ion/ 163. Diakses pada 9 April 2018.

Kwaak, J.Y 2015. Menlu Negara Asia Timur Ingin Kurangi


Ketegangan,’ The Wall Street Journal Indonesia,
Selengkapnya dalam
<http://indo.wsj.com/posts/2015/03/23/menlu-negara-asia-t
imur-ingin-kurangi-ketegangan/>. Diakses pada 28
Desember 2017.

L. Ferdinando. 2015. US, South Korean Military Chiefs Discuss


North Korea Threat’, Eurasia Review. Selengkapnya dalam
<http://www.eurasiareview.com/
28032015-us-south-korean-military-chiefs-discuss-north-ko
rea-threat/>. Diakses pada 29 Maret 2015.

Lai, D. 2011. The United States and China in Power Transition.


Strategic Studies Institute. Carlisle.

Lake, D.A. & Morgan, P.M. 1997. Regional Organs: Building


Security in a New World. Pennsylvania State University
Press. Pennsylvania.

Lanteigne, M., 2016. A Pivot to What? Asia-Pacific Foreign Policy


under Trump. Policy Brief. Norwegian Institute of
International Affairs.

Layne, C. 2008. China’s Challenge to US Hegemony. Current


History. Januari, pp. 13-16.

M Najeri Al Syahrin | 199


Keamanan Asia Timur

Makela, M. 2016. Transcript: Donald Trump Expounds on His


Foreign Policy Views. The New York Times. Selengkapnya
dalam
https://www.nytimes.com/2016/03/27/us/politics/donald-tru
mp transcript.html?mcubz=1. Diakses pada 29 April 2016.

Makinen, J. & Borowiec, S. 2015. Will meeting of China, Japan and


South Korea yield goodwill or more grumbling?. Los
Angeles Times. Selengkapnya dalam
<http://www.latimes.com
/world/asia/la-fg-japan-china-korea-diplomats-20150320-st
ory.html#page=1>. Diakses pada 28 Maret 2015.

Mearsheimer, J. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. Norton.


New York.

Mochammad, Y. 2010. Perspektif Game Theory Dalam Konflik


Amerika Serikat-Korea Utara. Verity. vol. 2 (3).

Moore, G.J., 2008. America’s Failed North Korea Nuclear Policy: A


New Approach. Asian Perspective. vol. 32. (4).

Morgan, P. M. 2006. Deterrence and System Management: The Case


of North Korea. Conflict Management and Peace Science.
Vol 23 (2), pp. 121–138.

Morgenthau, H.J. 2010. Politic Among Nations, the Struggle for


Power and Peace, edisi Bahasa Indonesia Politik Antar
Bangsa, diterjemahkan oleh Maimoen Fatwan & Cecep
Sudrajat. Yayasan Pustaka Obor. Jakarta.

Mubah, A.S. 2014. Kajian Historis atas Kompleksitas Isu Taiwan


dalam Hubungan China dan Amerika Serikat. Jurnal
Global & Strategis, vol 8 (2).

M Najeri Al Syahrin | 200


Keamanan Asia Timur

Myers, R.J. 2001. Korea in the Cross Currents: A Century of


Struggle and the Crisis of Reunification. Palgrave. New
York.

Nam, C. 2010. Beijing and the 1961 PRC-DPRK Security treaty.


Naval Postgraduate School. California.

Nuraeni, S. Et All. 2010. Regionalisme Dalam Studi Hubungan


Internasional. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Overhaus, M. & Brozus, L. 2016. US Foreign Policy after the 2016


Elections. German Institute for International and Security
Affairs.

Panda, A. 2015. South Korea is Planning a Huge Increase in Defense


Spending. The Diplomat (daring). Selengkapnya di
<http://thediplomat.com/2015/04/south
-korea-is-planning-a-huge-increase-in-defense-spending/>.
Diakses pada 26 April 2015.

Pinkston, D.A., 2006. North Korea’s Foreign Policy Towards the


United States. Strategic Insights. Vol. 5 (7).

Planifolia, V. 2017. Strategi Rebalancing Amerika Serikat di


Kawasan Asia-Pasifik, Jurnal Hubungan Internasional, vol.
6 (1), pp. 1-12.

Pollack, J. D., 2017, Donald Trump and the Future of U.S.


Leadership: Some Observations on International Order,
East Asia, and the Korean Peninsula. Selengkapnya dalam
https://www.brookings.edu/wp-content
/uploads/2017/03/fp_20170208_jonathan_pollack_krins.pdf.
Diakses pada 24 Februari 2018.

M Najeri Al Syahrin | 201


Keamanan Asia Timur

Pritchard, T. 2010. U.S. Policy Toward the Korean Peninsula.


Council on Foreign Relations. New York.

Purwanto, A. J. 2010. Peningkatan Anggaran Militer Cina dan


Implikasinya terhadap Keamanan di Asia Timur.
SPEKTRUM – Jurnal Ilmu Politik dan Hubungan
Internasional, vol. 7 (1).

Rana, P. & Ji, X. 2018. Asia Pacific Pivots Beyond a Trump-led


America. Selengkapnya dalam http://www.eastasiaforum.
org/2018/04/17/asia-pacific-pivots-beyond-a-trump-led-am
erica/. Diakses pada 11 Maret 2018.

Republika. 2017. Indonesia Tawarkan Cina Proyek Infrastruktur Rp


217 Triliun. Selengkapnya dalam
http://republika.co.id/berita/ekonomi/
makro/17/07/28/otstly383-indonesia-tawarkan-cina-proyek-
infrastruktur-rp-217-triliun. Diakses pada 1 April 2018.

Revere, E. J. R. 2016. Brookings, Selengkapnya di


https://www.brookings.edu/blog/order-from-chaos/2017/07
/10/the-trump-administrations-north-korea-policy-headed-f
or-success-or-failure/. Diakses pada 15 September 2016.

Revere, E.J.R. 2017. 2017: Year of Decision on the Korean Peninsula,


Korea Research Institute for National Strategy-Brookings
Institution Joint Conference.

Ruggiero, A. 2017. Countering the North Korean Threat: New Steps


in U.S. Policy. Congressional Testimony. Washington.
Foundation for Defense of Democracy.

Russett, B. 1992. International Region and the International System:


A Study in Political Ecology, 1967, sebagaimana dikutip

M Najeri Al Syahrin | 202


Keamanan Asia Timur

dari W.D. Coplin, Introduction to International Politics: A


Theorical Overview. Syracuse University Press. New York.

Saunders, P.J. 2012. Extended Deterrence and Security in East Asia:


A U.S.-Japan-South Korea Dialogue. Centre for National
Interest. Washington, D.C.

Schlosser, E. 2015. Today’s nuclear dilemma. Bulletin of the Atomic


Scientists.Vol 71(6), pp. 11–17.

Schmidt, J. 2014. The Asia-Pacific Strategic Triangle: Unentangling


the India, China, US Relations on Conflict and Security in
South Asia. Journal of Asian Security and International
Affairs. Vol 1 (2), pp. 203–222.

Sekretaris Kabinet. 2015. RRT Akan Terlibat Dalam Pembangunan


24 Pelabuhan, 15 Airport, dan 8.700 KM Jalan Kereta.
Selengkapnya dalam
http://setkab.go.id/rrt-akan-terlibat-dalam-pembangunan-24
-pelabuhan-15- airport-dan-8-700-km-jalan-kereta/.
Diakses pada 9 April 2018.

Shambaugh, D. 2005. The Rise of China and Asia’s New Dynamics,


dalam D. Shambaugh (ed.), Power Shift: China and
Asia’s New Dynamics. University of California Press.
California.

Shamil, M. 2015. China-Jepang Ukir Babak Baru,’ Koran Sindo.


Selengkapnya dalam
<http://www.koran-sindo.com/read/979552/149/china-jepa
ng -ukir-babak-baru-1426909056>. Diakses pada 28 Maret
2015.

Shamil, M., & Hendra M, A. 2015. Jepang-China Berlomba Perkuat


Militer Selengkapnya di dari

M Najeri Al Syahrin | 203


Keamanan Asia Timur

https://nasional.sindonews.com/read/973848/149/jepang-
china-berlomba-perkuat-militer-1425868836/13. Diakses
pada 24 Mei 2018.

Singh, D. 2012. US-China dialogue process: prospects and


implications. Selengkapnya dalam
http://www.eastasiaforum.
org/2012/11/02/us-china-dialogue-process-prospects-and-i
mplications/. Diakses pada 9 Maret 2018.

Singh, M. 2018. 3 Steps Trump Should Take Before Meeting Kim


Jong Un – Foreign Policy. Selengkapnya di
http://foreignpolicy.com/2018/03/23/three-steps-trump-sho
uld-take-before-meeting-kim-north-korea-united-states/.
Diakses pada 24 Mei 2018.

Sriyono, A.A. 2004. Korea Utara: Antara Diplomasi dan Perang,


dalam A.A. Sriyono, dkk, (ed). Hubungan Internasional:
Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Straub, D. 2016. North Korea Policy: Recommendations for The


Trump Administration. Academic Paper Series. Korea
Economic Institute of America.

Sturm, P. 2017. Opinion: Unlike Donald Trump, North Korea has a


plan. Deutsche Welle. Selengkapnya dalam
<http://www.dw.com/en/opinion-unlike-donald-trump-nort
h-korea-has-a-plan/a-40059106> diakses pada 23 Oktober
2017.

Suh, J.J. 2004. Assessing the Military Balance in Korea. Asian


Perspective, vol. 28 (4).

M Najeri Al Syahrin | 204


Keamanan Asia Timur

Suh, J.J. 2007. Power and Alliance: Assessing Military Balance in


Korea. In Power, Interest, and Identity in Military Alliance.
Palgrave Macmillan. New York.

Talev, M. & Olorunnipa, T. 2018. Trump Gave Kim a Summit But


Left With Little to Show for It By. Selengkapnya dalam
https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-06-12/tru
mp-gave-kim-a-summit-but-left-with-little-to-show-for-it.
Diakses pada 18 Oktober 2018.

Tang, S. 2009. Security Dilemma: A Conceptual Analysis. Security


Studies. Vol. 18 (3), pp. 589-590.

The New York Times. 2016. Transcript: Donald Trump Expounds on


His Foreign Policy Views. Selengkapnya dalam
https://www.nytimes.com/2016/03/27/us/politics/donald-tru
mp-transcript.html?mcubz=1. Diakses pada 29 April 2016.

The Telegraph. 2017. North Korea offers to stop nuclear tests in


exchange for peace treaty. Selengkapnya dalam
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/asia/northkore
a/12102995/North-Korea-offers-to-stop-nuclear-tests-in-ex
change-for-peace-treaty.html. Diakses pada 16 Maret 2017.

Trading Economics. (2018). South Korea Military Expenditure.


Selengkapnya dalam
https://tradingeconomics.com/south-korea/military-expendi
ture. Diakses pada 24 Mei 2018.

Tsuneo, A. 2000. U.S.-Japan Relations in the Post-Cold War Era:


Ambiguous Adjustment to a Changing Strategic
Environment. Japanese Foreign Policy Today (pp.
177–193). Palgrave Macmillan. New York.

M Najeri Al Syahrin | 205


Keamanan Asia Timur

Tsuneo, A. 2007. ‘Non-Traditional Security Cooperation for


Regionalism in Northeast Korea,’ dalam K. Mori & W.
Kenichiro (eds.), A New East Asia: Toward a Regional
Community, National University of Singapore Press.
Singapura.

Veronika, N.W. 2011, ‘Dari Uang ke Senjata: Kompetisi Ekonomi


dan Pengaruhnya terhadap Keamanan Kawasan Asia
Pasifik,’ Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional. Vol. 7 (2),
pp. 159-163.

Walt, S.M. 1985. Alliance Formations and the Balance of Power,‟


International Security, vol. 9 (4), pp. 3-43.

Waltz, K. 1979. Theory of International Politics. Addison Wesley.


Reading.

Ward, A. 2017. The frightening new developments in Trump’s


standoff with North Korea. Vox. Selengkapnya dalam
https://www.vox.com/world/2017/8/1/16068716/north-kore
a-icbm-missile-test-bomber-south-korea-japan. Diakses 24
Oktober 2017.

Washington Post. 2015. ‘David Ignatius’s full interview with


Japanese Prime Minister Shinzo Abe,’ Washington Post.
Selengkapnya dalam
<http://www.washingtonpost.com/blogs/post-partisan/wp/2
015/03/26/david-ignatiuss-full-interview-with-japanese-pri
me-minister-shinzo-abe/>. Diakses pada 28 Maret 2015.

Wirengjurit, D. 2002. Kawasan Damai dan Bebas Senjata Nuklir:


Pengertian, Sejarah, dan Perkembangannya. Alumni.
Bandung.

M Najeri Al Syahrin | 206


Keamanan Asia Timur

Wit, J. S., 2016. The Way Ahead: North Korea Policy


Recommendations for the Trump Administration, US
Korea Institute at Sais.

Work, C. 2015. Korea and the New Regional Paradigm: South Korea
is at Center Stage of an Emerging New Paradigm in
Northeast Asia. The Diplomat. Selengkapnya dalam
http://thediplomat.com /2015/04/korea-
and-the-new-regional-paradigm/. Diakses pada 24
Desember 2017.

Yamaguchi, M. 2017. Japan Cabinet approves record $46B defense


budget. Selengkapnya di
https://www.defensenews.com/global/asia-pacific/
2017/12/27/
japan-cabinet-approves-record-46b-defense-budget/. Diakses pada 24
Mei 2018.

Yamaguchi, N. 1999. Trilateral Security Cooperation: Opportunities,


Challenges, and Tasks, dalam R. A. Cossa (ed.),
U.S-Korea-Japan Relations: Building Toward a Virtual
Alliance. CSIS Press. Washington, D.C.

Yang, F. 2016. Comparing China’s Claims and Policies in the East


and South China Seas: Implications for Regional Security.
Asian Security and International Affairs. 3, (2).
pp.135–156.

Yea, S. 2017. Demystifying the Survival of North Korea. Journal of


Asian Security and International Affairs. Vol 4 (1), pp.
50–68.

Yoon Y.S. & Setiani, N. A. 2003. Sejarah Korea Sejak Masa Awal
Abad Hingga Masa Kontemporer. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

M Najeri Al Syahrin | 207


Keamanan Asia Timur

Yoon, Y.S. & Mas’oed, M. 2004. Politik Luar Negeri Korea Selatan:
Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yoon, Y.S. & Mas’oed, M. 2010. Hubungan Antara Dua Korea


Sebelum Kegagalan Sunshine Policy,‟ dalam M.
Syamsuddin, dkk. (eds.), Politik dan Pemerintahan Korea.
INAKOS. Yogyakarta.

Yoon, Y.S. & Mas’oed, M. 2010. Politik Internasional Korea dalam


Masyarakat Internasional yang Cepat Berubah.‟ dalam M.
Syamsuddin, dkk. (eds.), Politik dan Pemerintahan Korea.
INAKOS. Yogyakarta.

Yoon, Y.S. & Mas’oed, M. 2010. Politik Luar Negeri Korea,‟ dalam
M. Syamsuddin, dkk. (eds.), Politik dan Pemerintahan
Korea. INAKOS. Yogyakarta.

Yoon, Y.S. 2010. Negara Korea dan Pokok-Pokok Permasalahan,‟


dalam M. Syamsuddin, dkk. (eds.), Politik dan
Pemerintahan Korea, INAKOS, Yogyakarta.

Yuliantoro, N. R. 2012. Menuju Kekuatan Utama Dunia: Sekilas


Politik Luar Negeri Cina. Institute of International Studies.
Yogyakarta.

Yuliantoro, N. R. Et all. 2016. Pemilihan Presiden Tahun 2016 dan


Politik Luar Negeri Amerika Serikat. Jurnal Hubungan
Internasional. Vol 5 (2), pp. 193-209.

Zeng, J. 2016. Constructing A New Type of Great Power Relations:


The State of Debate in China (1998-2014). The British
Journal of Politics and International Relations. Vol 18 (2),

M Najeri Al Syahrin | 208


Keamanan Asia Timur

pp. 422-442.

Zhao, Q. 2017. An Emerging U.S.-China Dual Leadership in


Asia-Pacific. Selengkapnya dalam
https://www.chinausfocus.com/foreign-policy/an-
emerging-us-china-dual leadership-in-asia-pacific. Diakses
pada 10 April 2018.

M Najeri Al Syahrin | 209


Keamanan Asia Timur

Biografi Penulis

M Najeri Al Syahrin lahir pada


23 Agustus 1990 di Pegatan,
Katingan Kalimantan Tengah.
Penulis merupakan alumni jurusan
hubungan internasional Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.
Menyelesaikan studi di HI UMY
pada tahun 2009-2013 dengan
predikat Lulusan Terbaik Jurusan (HI)
dan Lulusan Terbaik Fakultas
(Fisipol UMY). Melanjutkan
pendidikan di program magister HI
Universitas Gadjah Mada pada 2014-2015 dengan memperoleh
predikat Lulusan Tercepat Universitas Gadjah Mada.
Saat ini berkarir sebagai Dosen Tetap di Departemen
Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah
Kalimantan Timur, Koordinator MKDU dan Anggota Senat
Universitas.
Selain melakukan beberapa penelitian terkait dengan isu
demokrasi dan politik lokal di Kalimantan Timur, ia juga
menulis dalam beberapa artikel nasional jurnal ilmiah
Hubungan Internasional. Kajian minat studi dan penelitian
dibidang keamanan internasional dan kajian strategis meliputi
isu keamanan kawasan, militer, nuklir dan sistem persenjataan.
Penulis bisa di hubungi di najeri_alsyahrin@umkt.ac.id
untuk saling bersapa, proyek riset bersama dan networking
akademik.

M Najeri Al Syahrin | 210


KEAMANAN ASIA TIMUR
REALITAS, KOMPLEKSITAS
DAN RIVALITAS

Buku ini mengupas tentang keamanan di kawasan


Asia Timur. Pembahasan diklasifikasikan kedalam tiga
tema besar: Pertama tentang Realitas keamanan kawasan
Asia Timur, termasuk didalamnya persepsi dan logika
dilema keamanan negara kawasan. Kedua, Kompleksitas
keamanan meliputi pembahasan tentang relasi dan
interdepedensi keamanan serta aliansi dan peningkatan
anggaran belanja militer negara kawasan. Ketiga, Rivalitas
yang mencakup pembahasan tentang anarkisme kawasan,
intervensi negara adidaya serta geostrategi dan geoekonomi
negara adidaya di kawasan Asia Timur.
Buku ini sangat penting bagi para mahasiswa, dosen,
peneliti dan para penstudi keamanan dan kawasan Asia
Timur.

M Najeri Al Syahrin

Anda mungkin juga menyukai