Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KELOMPOK 6

PSIKIATRI

“GANGGUAN SKIZOFRENIA,GANGGUAN SKIZOTIPAL,GANGGUAN


WAHAM, DAN GANGGUAN MOOD”

Oleh :

Huriyah Nurul Diana (16011133)

Rahma Amalia Putri (17011052)

Regina Aldiyus (17011055)

Rezka ramadhan (17011117)

Rizka Musritha (17011302)

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena


telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah Psikiatri yang berjudul “Gangguan Skizofrenia, Gangguan Skizotipal,
Gangguan Waham, dan Gangguan Mood” ini bisa selesai pada waktunya. Terima
kasih juga kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.

Padang, 29 September 2019

Penulis ,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................1

A. Latar Belakang ....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ...............................................................................................1

C. Tujuan Penelitian ................................................................................................1

BAB II KAJIAN TEORI ...............................................................................................2

A. Gangguan Skizofrenia .........................................................................................2

B. Gangguan Skizotipal .........................................................................................11

C. Gangguan Waham .............................................................................................18

D. Gangguan Mood ................................................................................................27

BAB III PENUTUP ....................................................................................................33

Kesimpulan ...............................................................................................................33

Kepustakaan .................................................................................................................34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan gangguan
dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir. Kadang -kadang
mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan kekuatan dari
luar. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan
persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak serasi atau tumpu
Gangguan kepribadian skizotipal memiliki kepercayaan yang aneh atau
pemikiran magis-takhayul, keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan
paranormaldan telepati-dan ilusi yang berulang. Delusi adalah waham atau
suatu keyakinan yang tidak benar karena bertentangan dengan kenyataan
Gangguan mood merupakan suatu masalah psikiatri yang muncul dari adanya
gangguan depresi
Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan
kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang
sangat serius. Pada tahun 2001 WHO menyatakan, paling tidak ada
satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa.
WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami
gangguan kesehatan jiwa.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan skizofrenia?
2. Apa yang dimaksud dengan gangguan skizotypal?
3. Apa yang dimaksud dengan gangguan waham?
4. Apa yang dimaksud dengan gangguan mood?
C. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui gangguan skizofrenia
2. Untuk mengetahui gangguan skizotypal
3. Untuk mengetahui gangguan waham
4. Untuk mengetahui gangguan mood

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Skizofrenia
1. Definisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein” yang artinya
retak atau pecah (split), dan “phren” yang artinya pikiran, yang selalu
dihubungkan dengan fungsi emosi. Dengan demikian seseorang yang
menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa
atau keretakan kepribadian serta emosi (Sianturi, 2014). Menurut
Pedoman PPDGJ III, skizofrenia dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang
ditandai dengan distorsi khas dan fundamental dalam pikiran dan
persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar.
Jadi skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan
gangguan utama dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang
terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak salaing berhubungan secara
logis, persepsi dan perhatian yang keliru afek yang datar atau tidak
sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang bizzare (perilaku
aneh), pasien skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan,
sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan
halusinasi.
2. Jenis-jenis skizofrenia
Kraeplin (dalam Maramis, 2009) membagi skizofrenia menjadi
beberapa jenis. Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut
gejala utama yang terdapat padanya. Akan tetapi batasbatas golongan-
golongan ini tidak jelas, gejala-gejala dapat berganti-ganti atau mungkin
seorang penderita tidak dapat digolongkan ke dalam satu jenis.
Pembagiannya adalah sebagai berikut:
a. Skizofrenia paranoid
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah mulai 30
tahun.Permulaanya mungkin subakut, tetapi mungkin juga akut.
Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan

2
schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak
congkak dan kurang percaya pada orang lain.
b. Skizofrenia hebefrenik
Permulaanya perlahan-lahan atau subakut dan sering timbul pada
masa remaja atau antara 15 – 25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi atau double personality. Gangguan psikomotor
seperti mannerism, neologisme atau perilaku kekanak-kanakan
sering terdapat pada skizofrenia heberfrenik, waham dan
halusinasinya banyak sekali.
c. Skizofrenia katatonik
Pertama kali antara usia 15 sampai 30 tahun, dan biasanya akut
serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh
gelisah katatonik atau stupor katatonik. Gejala yang penting adalah
gejala psikomotor seperti:
1) Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup, muka tanpa
mimik, seperti topeng, stupor penderita tidak bergerak sama
sekali untuk waktu yang sangat lama, beberapa hari, bahkan
kadang-kadang beberapa bulan.
2) Bila diganti posisinya penderita menentang.
3) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul di
dalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan. d.
Terdapat grimas dan katalepsi.
d. Skizofrenia simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama
pada jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan.
Waham dan halusinasi jarang sekali ditemukan.
e. Skizofrenia residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat
sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala
berkembang kearah gejala negative yang lebih menonjol. Gejala

3
negative terdiri dari kelambatan psikomotor, penurunan aktivitas,
penumpukan afek, pasif dan tidak ada inisiatif, kemiskinan
pembicaraan, ekspresi nonverbal yang menurun, serta buruknya
perawatan diri dan fungsi sosial.
3. Pedoman Diagnostik
Berikut ini merupakan pedoman diagnostik untuk Skizofrenia
berdasarkan PPDGJ III :
a. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam
atau kurang jelas):
1) Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau
Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya.
2) Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau Delusion of influence :
waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu
dari luar; atau Delusion of passivity : waham tentang dirinya
tidak berdaya dan pasrah terhadap sesuatu kekuatan dari luar;
dan Delusional perception : pengalaman inderawi yang tidak
wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya
bersifat mistik atau mukjizat.
3) Halusinasi auditorik : suara halusinasi yang berkomentar secara
terus menerus terhadap perilaku pasien; atau mendiskusikan
perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara). Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari
salah satu bagian tubuh.

4
4) Waham : waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain).
b. Paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas
1) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai
ide-ide berlebihan (over- valued ideas) yang menetap, atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan terus berulang.
2) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan
yang tidak relevan, atau neologisme.
3) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor.
4) Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan
sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa
semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neuroleptika.
c. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih.
d. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek kehidupan
perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai
hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap

5
larut dalam diri sendiri (self absorbed atitude), dan penarikan diri
secara sosial.
4. Etiologi
Etiologi terjadinya skizofrenia belum diketahui secara pasti. Diduga
penyebabnya adalah :
a. Faktor genetik, meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak
akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut faktor
epigenetik, seperti virus atau infeksi lain selama kehamilan,
menurunnya auto-immune yang mungkin disebabkan infeksi selama
kehamilan, berbagai macam komplikasi kandungan dan kekurangan
gizi yang cukup berat.
b. Faktor biologi seperti hiperaktivitas sistem dopaminergik, faktor
serotonin, faktor neuroimunovirologi, hipoksia atau kerusakan
neurotoksik selama kehamilan dan kelahiran.
c. Faktor lingkungan yang menyebabkan skizofrenia meliputi
penyalahgunaan obat, pendidikan yang rendah, dan status ekonomi
d. Abnormalitas korteks cerebral, talamus, dan batang otak pada
penderita skizofrenia ditunjukkan dengan penelitian neuropatologi dan
pemeriksaan dengan Ctscan.
5. Simptom Skizofrenia
Simptom-simptom yang dialami pasien skizofrenia mencakup
gangguan dalam beberapa hal penting pikiran, persepsi, dan perhatian.
Perilaku motorik ,afek, atau emosi, dan keberfungsian hidup. Rentang
masalah orang-orang yang didiagnosis menderita skizofrenia sangat luas,
meskipun dalam satu waktu pasien umumnya mengalami hanya beberapa
dari masalah tersebut. Dalam hal ini akan diuraikan beberapa simptom-
simptom utama skizofrenia dalam tiga kategori. Simptom positif,
simptom negatif, dan simptom disorganisasi.
a. Simptom positif
Mencakup hal–hal yag berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi
dan waham, simtom–simtom ini, sebagian terbesarnya, menjadi ciri
episode akut skizofrenia.

6
1) Delusi (waham), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan
kenyataan semacam itu merupakan simtom–simtom positif yang
umum pada skizofrenia.
2) Halusinasi, para pasien skizofrenia seringkali menuturkan
bahwa dunia tampak berbeda dalam satu atau lain cara atau
bahkan tidak nyata bagi mereka. Dan distorsi persepsi yang
paling dramatis adalah halusinasi yaitu diamana pengalaman
indrawi tanpa adanya stimulasi dari lingkuangan.
b. Simptom negatif
Simptom–simptom negatif skizofrenia mencakup berbagai devisit
behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar dan
asosiolitas. Simptom–simptom ini ini cenderung bertahan melampaui
suatu episode akut dan memiliki afek parah terhadap kehidupan para
pasien skizofrenia.
c. Simptom disorganisasi
Simptom–simptom disorganisasi mencakup disorganisasi
pembicaraan dan perilaku aneh (bizarre). Disorganisasi pembicaraan
juga dikenal sebagai gangguan berfikir formal, disorganisasi
pembicaraan merujuk pada masalah dalam mengorganisasi berbagai
pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat
memahaminya. Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk, pasien
dapat meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak
dapat dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah
seperti anak–anak, atau dengan gaya yang konyol, menyimpan
makanan, mengumpulkan sampah atau melakukan perilaku seksual
yang tidak pantas.

6. Fase Skizofrenia
American Psychiatric Association(APA) menyatakan bahwa
perjalanan penyakit skizofrenia terdiri dari tiga fase yaitu fase akut, fase
stabilisasi dan fase stabil. Ketiga fase tersebut disebut dengan fase

7
psikotik. Sebelum fase psikotik muncul, terdapat fase premorbid dan fase
prodormal.
Pada fase premorbid, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan
normatif. Fase prodormal biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang
lamanya bisa sampai beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum
diagnosis pasti skizofrenia ditegakkan. Gejala non spesifik berupa
gangguan tidur, ansietas, iritabilitas, depresi, konsentrasi berkurang,
mudah lelah, dan adanya defisit perilaku misalnya kemunduran fungsi
peran dan penarikan sosial. Fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi
penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri juga muncul pada
fase prodormal (Safitri, 2010).
Simtom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase
prodromal dan berarti sudah mendekati fase psikotik. Masuk ke fase akut
psikotik, simtom positif menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek (Safitri, 2010).
Kemudian muncul fase stabilisasi yang berlangsung setelah dilakukan
terapi dan pada fase stabil terlihat simtom negatif dan residual dari
simtom positif. Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis,
sedangkan individu lain mengalami gejala non psikotik misalnya, merasa
tegang (tension), ansietas, depresi, atau insomnia
7. Farmakologi
a. Haloperidol
Dasar pengobatan skizofrenia adalah medikasi dengan
antipsikotik yang dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu
antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal (Sadock dan Sadock,
2007). Haloperidol merupakan antipsikotik tipikal yang merupakan
antagonis reseptor dopamin berafinitas tinggi (Sianturi, 2014). Aksi
terapi dari obat-obat antipsikotik tipikal secara langsung memblok
reseptor dopamin tipe 2 (D2) yang spesifik di jalur dopamin
mesolimbik. Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang
berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Terdapat empat jalur
penting dalam teori dopamin, yaitu jalur mesolimbik, mesokorteks,

8
nigrostriatal, dan tuberoinfundibuler (Safitri, 2010). Aksi memblok
reseptor dopamin tipe 2 mempunyai efek menurunkan hiperaktifitas
dalam jalur yang menyebabkan munculnya simtom positif dari
psikotik.
Semua antagonis reseptor dopamin dengan preparat liquid
lebih efisien diabsorpsi dibandingkan dengan tablet atau kapsul
(Sianturi, 2014). Waktu paruh Haloperidol adalah kira-kira 24 jam.
Orang dewasa dalam keadaan akut cukup sesuai dengan
menggunakan dosis ekivalen Haloperidol 5-20 mg.
Efek samping Haloperidol adalah timbulnya gejala
ekstrapiramidal. Gejala ekstrapiramidal yang terjadi bisa berupa
distonia dan akitsia. Efek samping lain yang sangat berbahaya adalah
Sindroma Neuroleptik Maligna yang ditandai dengan hipertermia,
rigiditas, akinesia, mutisme, kebingungan, agitasi, hipertensi hingga
kolapsnya sistem kardiovaskular.
b. Risperidon
Risperidon merupakan obat atipikal atau obat antipsikotik
generasi kedua. Cara kerja Risperidon adalah dengan memblok
reseptor dopamin dan reseptor 5 HT-2. Cara kerja seperti ini efektif
untuk menurunkan atau menghilangkan simtom positif maupun
negatif (Sianturi, penting dalam teori dopamin, yaitu jalur
mesolimbik, mesokorteks, nigrostriatal, dan tuberoinfundibuler
(Safitri, 2010). Aksi memblok reseptor dopamin tipe 2 mempunyai
efek menurunkan hiperaktifitas dalam jalur yang menyebabkan
munculnya simtom positif dari psikotik.
Semua antagonis reseptor dopamin dengan preparat liquid
lebih efisien diabsorpsi dibandingkan dengan tablet atau kapsul
(Sianturi, 2014). Waktu paruh Haloperidol adalah kira-kira 24 jam.
Orang dewasa dalam keadaan akut cukup sesuai dengan
menggunakan dosis ekivalen Haloperidol 5-20 mg.
Efek samping Haloperidol adalah timbulnya gejala
ekstrapiramidal. Gejala ekstrapiramidal yang terjadi bisa berupa

9
distonia dan akitsia. Efek samping lain yang sangat berbahaya adalah
Sindroma Neuroleptik Maligna yang ditandai dengan hipertermia,
rigiditas, akinesia, mutisme, kebingungan, agitasi, hipertensi hingga
kolapsnya sistem kardiovaskular.
c. Klorpromazin
Klorpromazin merupakan obat antipsikotik golongan pertama
yang merupakan turunan alifatik dari Fenotiazin. Obat ini
mempunyai efek pada sistem saraf pusat, autonom, dan endokrin.
Kerjanya dengan menghambat beberapa reseptor seperti reseptor
dopamin, alfa-adrenoreseptor, muskarinik, H1 histaminik, dan
serotonin.
Oleh karena Klorpromazin merupakan obat pertama yang
digunakan pada skizofrenia, banyak sekali efek samping yang
ditimbulkan. Efek samping yang sering ditimbulkan adalah
munculnya gejala ekstrapiramidal, efek sedatif, dan hipotensi. Efek
samping lain seperti kehilangan akomodasi, mulut kering, kesulitan
kencing, konstipasi, impotensi, dan gagal ejakulasi mungkin ada
karena kerjanya pada sistem saraf pusat. Amenorrhea-galacthorrhea
dan infertilitas juga mungkin muncul karena adanya penghambatan
reseptor dopamin yang mengakibatkan hiperprolaktinemia.
d. Triheksifenidil
Triheksifenidil merupakan obat yang direkomendasikan dan
paling sering digunakan untuk mengatasi efek samping dari obat
antipsikotik tipikal yaitu gejala ekstrapiramidal. Obat yang
merupakan senyawa Pepiridin yang bekerja melalui neuron
dopaminergik dan tergolong jenis antikolinergik yang mempunyai
efek sentral lebih kuat dibanding efek perifer. Efek sentral berupa
mual, mutah, dilatasi pupil, demam tinggi, agitasi, halusinasi, dan
gangguan kognitif; sedangkan efek perifer contohnya mulut dan
hidung kering, pandangan kabur, retensi urin, dan konstipasi
(Wijono dkk, 2013). Obat ini spesifik menekan dan menghambat
reseptor muskarinik sehingga menghambat sistem saraf

10
parasimpatik. Akibat dari dihambatnya reseptor muskarinik tersebut
dapat memicu timbulnya efek samping yang serius yaitu munculnya
kembali gejala psikosis seperti halusinasi, agresif dan kebingungan
(Wijono dkk, 2013).
Dengan adanya efek samping serius yang ditimbulkan maupun
efek sentral dan efek perifer, maka dibuat panduan dalam
penggunaan obat ini. Panduan berasal dari konsensus WHO berupa
pemberian dosis obat sesuai dengan kebutuhan pasien dimulai dari
dosis terendah yang direkomendasikan yaitu 1-4 mg diminum 2-3
kali sehari dan tidak melebihi 15 mg sehari, kemudian dinaikkan
secara bertahap sampai terdapat kejadian toleransi dari pasien dan
dievaluasi setiap 3 bulan sekali dengan mengurangi dosis secara
bertahap, bila dalam pengurangan dosis timbul gejala
ekstrapiramidal maka dosis dikembalikan dan dievaluasi ulang setiap
6 bulan (Wijono dkk, 2013).

B. Definisi Gangguan Skizotipal


1. Definisi Gangguan Skizotipal
Para pasien yang mengalami gangguan kepribadian skizotipal
memiliki kepercayaan yang aneh atau pemikiran magis-takhayul,
keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan paranormaldan telepati-
dan ilusi yang berulang. Mereka dapat merasakan kehadiran suatu
kekuatan atau seseorang yang secara aktual tidak berada disana. Dalam
pembicaraan, mereka dapat menggunakan kata-kata dengan cara yang
tidak umum dantidak jelas. Contohnya “Bukan orang yang sangat dapat
berbicara”. Gangguan Sizotipal umumnya menjadi jelas saat awal masa
dewasa. Pada awalnya dalam DSM-II gangguan ini dianggap sebagi jenis
dari skizofrenia, yang disebut jugasimple schizoprhenia. Simple
schizoprhenia ini ditandai dengan keanehan yang terus menerus dalam
perilaku yang tidak termasuk disorganisasi kotor dan ditandai jenis lain
skizofrenia.

11
Dengan munculnya DSM-III pada tahun 1980, label gangguan
kepribadian skizotipal diperkenalkan untuk membantu membedakan
dengan gangguan skizofreniadari perilaku yang mirip.Para pasien yang
mengalami gangguan kepribadian skizotipal biasanya memiliki kesulitan
dalam hubungan interpersonal dan kecemasan sosial yang berlebihan
yang tidak berkurang setelah mereka mengenal orang-orang disekitarnya,
baik orang yang belum dikenal maupun orang yang sudah familiar
dengan mereka.
Perilaku dan penampilan mereka juga dapat eksentrik; sebagai
contoh, mereka berbicara pada diri sendiri dan memakai pakaian yang
kotor serta kusut. Ciri yang juga umum terjadi adalah Ideas of reference
(Keyakinan bahwa berbagai kejadian memiliki makna yang khusus dan
tidak biasa bagi yang bersangkutan), kecurigaan, dan pikiran paranoid.
Afek tampak terbatas dan datar. Dalam sebuah studi mengenai relatif
pentingnya simtom-simtom tersebut bagi diagnosis, Widiger dkk. (1987)
menemukan bahwa pikiran paranoid, ideas of reference, dan ilusi
merupakan yang paling penting.
Pravalensi gangguan kepribadian skizotipal diperkirakan kurang
dari 1 persen. Gangguan kepribadian skizotipal diyakini sedikit lebih
umum pada laki-laki dan mempengaruhi sekitar 3% dari populasi umum.
Masalah penting dalam diagnosis gangguan kepribadian skizotipal
adalah komorbiditasnya dengan gangguan kepribadian lain. Morey
(1988) menemukan bahwa 33 persen orang yang didiagnosis
berkepribadian skizotipal berdasarkan kriteria DSM-III-R juga
memenuhi kriteria diagnostik gangguan kepribadian ambang, 33 persen
narsisistik, 59 persen memenuhi kriteria diagnostik gangguan
kepribadian menghindar, 59 persen memenuhi kriteria diagnostik
gangguan kepribadian paranoid, dan 44 persen memenuhi kriteria
diagnostik gangguan kepribadian skizoid. Jelaslah bahwa angka-angka
komorbiditas tersebut mengecewakan jika kita ingin mempertimbangkan
gangguan kepribadian skizotipal sebagai entitas diagnostik tersendiri.

12
Berbagai studi keluarga secara konsisten menunjukan bahwa
kerabat para pasien skizofrenia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami gangguan kepribadian skizotipal. Namun, meningkatnya
angka kejadian gangguan kepribadian skizotipal juga terdapat pada
kerabat tingkat pertama para pasien yang menderita depresi unipolar,
menunjukan bahwa gangguan kepribadian skizotipal tidak hanya
berhubungan dengan skizofrenia.
Kriteria gangguan kepribadian skizotipal dalam DSM-IV-TR.
Terdapat lima atau lebih dari ciri-ciri berikut ini dan tidak muncul secara
ekslusif dalam perjalanan penyakit skizofrenia, depresi psikotik, atau
sebagai bagian dari gangguan perkembangan pervasif.
a. Ideas of reference
b. Keyakinan yang aneh atau pemikiran magis, a.l., percaya terhadap
persepsi ekstra indrawi
c. Persepsi yang tidak biasa, a.l., keyakinan yang menyimpang
tentang tubuhnya
d. Pola bicara yang aneh.
e. Kecurigaan yang ekstrim, paranoria.
f. Afek yang tidak sesuai
g. Perilaku atau penampilan yang aneh
h. Kurang memiliki teman akrab
i. Rasa nyaman yang ekstrim atau kadang kecemasan yang ekstrim
bila berada diantara orang lain.
2. Pedoman Diagnostik
Rubrik diagnostik ini tidak dianjurkan untuk digunakan secara
umum karena tidak dibatasi secara tegas dengan skizofrenia simpleks
atau dengan gangguan kepri-badian skizoid atau paranoid.
Bila istilah ini digunakan untuk diagnosis, tiga atau empat gejala
khas berikut ini hares sudah ada, secara terus menerus atau secara
episodik, sedikitnya untuk 2 tahun lamanya
a. afek yang tidak wajar atau yang menyempit / "constricted" (individu
tampak dingin dan acuh tak acuh)

13
b. perilaku atau penampilan yang aneh, eksentrik atau ganjil
c. hubungan sosial yang buruk dengan orang lain dan tendensi menarik
diri dari pergaulan social;
d. kepercayaan yang aneh atau pikiran bersifat magik, yang
mempengaruhi perilaku dan tidak serasi dengan norma-norma
budaya setempat;
e. kecurigaan atau ide-ide paranoid;
f. pikiran obsesif berulang-ulang yang tak terkendali, sering dengan isi
yang bersifat "dysmorphophobic" (keyakinan tentang bentuk tubuh
yang tidak normal' buruk dan tidak terlihat secara objektif oleh orang
lain), seksual atau agresif;
g. persepsi-persepsi pancaindera yang tidak lazim termasuk mengenai
tubuh (somatosensory) atau lain, depersonalisasi atau derealisasi;
h. pikiran yang bersifat samar-samar (vague), berputar-putar
(circumstantial), penuh kiasan (metaphorical), sangat terinci dan
ruwet (overelaborate), atau stereotipik, yang bermanifestasi dalam
pembicaraan yang aneh atau cara lain , tanpa inkoheransi yang jelas
dan nyata;
i. sewaktu-waktu ada episode menyerupai keadaan psikotik yang
bersifat sementara dengan ilusi, halusinasi auditorik atau lainnya
yang bertubi-tubi, dan gagasan yang mirip waham, biasanya terjadi
tanpa provokasi dari luar.
Individu"harus tidak pernah memenuhi kriteria skizofrenia
dalam stadium manapun.Suatu riwayat skizofrenia pada salah seorang
anggota keluarga terdekat memberikan bobot tambahan untuk diagnosis
ini, tetapi bukan merupakan suatu prasyarat.
Termasuk: Skizofrenia ambang
Skizofrenia laten
Reaksi skizofrenik laten
Skizofrenia parapsikotik
Skizofrenia prodomal
Skizofrenia pseudoneurotik

14
Skizofrenia pseudopsikopatik
Gangguan kepribadian skizotipal
Tak Termasuk: Sindrom Asperger (F84.5)
Ganngguan kepribadian skizoid (F60.1)
3. Etiologi Gangguan Skizotipal
Etiologi terjadinya gangguan kepribadian skizotipal adalah:
a. Genetik
Kasus terbanyak berhubungan secara biologis dalam keluarga dari
pasien skizofrenia, dan insiden tertinggi terdapat pada kembar
monozigotik daripada kembar dizigotik (Saddock & Saddock, 2007).
b. Lingkungan dan sosial
1) Pengaruh lingkungan dan sosial prenatal dapat mempercepat
ataupun sebaliknya terhadap perkembangan perubahan
struktural dan fungsional otak di daerah frontal, temporal, dan
limbik, yang akhirnya dapat menimbulkan kelainan psikologis
pada kognisi.
2) Pengaruh lingkungan dan sosial postnatal seperti adanya
kekerasan fisik,
3) penelantaran, kemiskinan, diskriminasi akan berkontribusi pada
penurunan fungsi otak, yang secara langsung juga dapat
mengakibatkan gangguan kognitif dan afektif (Green,2008),
serta terjadinya kepribadian skizotipal dan perilaku antisosial
14-20 tahun kemudian ( Raine, et al, 2003).
4. Simptomatologi Gangguan Skizotipal
Menurut DSM-IV-TR pravelensi gangguan ini pada populasi
umum adalah sekitar 3% tapi menurut perkiraan lain lebih rendah. Tidak
seperti gangguan kepribadian sizoid, gangguan kepribadian skizotipal
adalah diwariskan, dan hubungan genetik dan biologis dengan gangguan
skizofrenia telah jelas didokumentasi.
Banyak penelitian bahwa dari genetika merupakan gangguan
kepribadian skizotipal telah dilakukan studi tentang odd-eksentrik
gangguan kepribadian lainnya. Riwayatkeluarga, adopsi, dan penelitian

15
menunjukkan bahwa semua gangguan kepribadian schizotypalditularkan
secara genetik, setidaknya untuk beberapa derajat. Selain itu, gangguan
kepribadian skizotipal jauh lebih umum pada keluarga yang pertama
dengan skizofrenia dibandingkan dengan kerabat baikpasien psikiatri
ataukelompok kontrol yang sehat. Jadi, gangguan kepribadian skizotipal
seringkali dianggap sebagai bentuk ringan skizofrenia, yang ditularkan
melalui mekanisme genetik serupa dengan skizofrenia.
Demikian pula, beberapa faktor biologis nongenetik terlibat dalam
skizofrenia juga hadir pada orang dengan gangguan kepribadian
schizotypal. Secara khusus, orang dengan gangguan kepribadian
skizotipal menunjukkan masalah-masalah dalam kemampuan untuk
mempertahankan perhatian pada tugas-tugas kognitif, serta defisit dalam
perhatian yang sama dengan yang terlihat pada orang dengan skizofrenia.
Orang dengan gangguan kepribadian skizotipal juga cenderung
menunjukkan rendahnya tingkat monoamine oxidase, yang meningkatkan
kadar asam homovanilic, metabolit utama dopamin. Jadi, seperti halnya
orang dengan skizofrenia, orang-orang dengan gangguan kepribadian
skizotipal mungkin memiliki tingkat abnormal tinggi dopamin di otak
mereka. Akhirnya, orang dengan gangguan kepribadian skizotipal
menunjukkan kelainan dalam struktur otak mereka yang mirip dengan
orang penderita skizofrenia.Gangguan kepribadian skizotipal memiliki
rongga otak yang lebih besar dan lebih sedikit bagian abu-abu di lobus
temporalis.
5. Psikofarmakologi Gangguan Skizotipal
Gangguan kepribadian skizotipal sebaiknya ditangani dengan
beberapa jenis psikoterapi. Orang dengan skizotipal memang punya
pikiran-pikiran aneh. Tapi, terapis atau psikolog harus tetap ingat bahwa:
tujuan terapi bukan untuk mengubah pikiran delusional tersebut secara
langsung. Yang paling penting adalah dukungan dan penerimaan untuk
klien. Prevensi yang bisa di lakukan untuk gangguan skizotipal
a. Prevensi primer
1) Pengukuran Biologis

16
Dapat dilakukan pengembangan perencaraan keluarga dan
pemeliharaan sebelum dan setelah menikah. Karena schizotypal
itu juga disebabkan di oleh genetik, jadi bias dilakukan riset
genetik salah satunya berupa konseling.
2) Pengukuran Psikososial
Melakukan hal-hal yang dapat dipelajari individu.
Meskipun ada beberapa teori psikologis tentang gangguan
kepribadian schizotypal, namun terapi psikologis telah
dikembangkan untuk membantu orang-orang mengatasi
beberapa gejala mereka. Dalam psikoterapi, sangatlah penting
bagi terapis untuk menjalin hubungan baik dengan klien, karena
klien-klien ini biasanya memiliki hubungan dekat sedikit dan
cenderung menjadi paranoid (Beck & Freeman,1990).
3) Pengukuran Sosiokultural
Membantu klien meningkatkan kontak sosial dan
mempelajari perilaku sosial yang sesuai melalui pelatihan
keterampilan sosial. Terapi kelompok dapat sangat membantu
dalam meningkatkan keterampilan sosial klien. Komponen
penting dari terapi kognitif dengan klien yang mengalami
gangguan kepribadian schizotypal adalah mengajar mereka
untuk mencari bukti objektif di lingkungan untuk pikiran
mereka dan mengabaikan pikiran-pikiran aneh. Sebagai contoh,
klien yang sering berpikir bahwa dia tidak nyata dapat diajarkan
untuk mengidentifikasi berpikir bahwa sebagai aneh dan diskon
berfikir ketika terjadi daripada mengambil serius dan bertindak
di atasnya.
b. Prevensi Sekunder
1) Terapis neurologi,
Gangguan kepribadian schizotypal yang paling sering
diobati dengan obat neuroleptik yang sama yang digunakan untuk
mengobati skizofrenia, seperti haloperidol dan thiothixene (Siever
et al., 1998). Seperti dalam skizofrenia, obat ini tampaknya untuk

17
meringankan gejala psikotik seperti, termasuk ide-ide orang
schizotypal dari referensi, pemikiran magis dan ilusi. Anti
depresan kadang-kadang digunakan untuk membantu orang
dengan gangguan kepribadian schizotypal orang mengalami
tekanan signifikan. Mengingat adanya hubungan antara
skizofrenia dan gangguan, dapat menggunakan obat-obatan
antipsikotik seperti risperidone cukup efektif bagi gangguan
kepribadian skizotipal (Koenigberg dkk.,2001).
c. PrevensiTersier
1) Terapi keluarga
Didasarkan pada teori system keluarga, di mana keluarga
dipandang sebagai organisme hidup bukan hanya jumlah individu
anggota-anggotanya. Terapi keluarga menggunakan teori system
untuk mengevaluasi anggota keluarga dalam hal posisi mereka
atau peran dalam system secara keseluruhan. Masalah
diperlakukan dengan mengubah cara kerja system dari pada
mencoba untuk memperbaiki anggota spesifik. Keluarga teori
system didasarkan pada konsep utama beberapa. Tujuan dari
terapi keluarga adalah untuk membantu anggota keluarga
meningkatkan komunikasi, memecahkan masalah keluarga,
memahami dan menangani situasi keluarga

C. Gangguan Waham
1. Pengertian Dan Etiologi
Delusi adalah waham atau suatu keyakinan yang tidak benar
karena bertentangan dengan kenyataan. Meskipun begitu ia sangat yakin,
tidak peduli apapun pendapat orang dan tidak peduli meskipun ada bukti-
bukti yang membantahnya. Delusi merupakan salah satu gejala dari
beberapa gangguan jiwa psikotik seperti skizofrenia, gangguan bipolar
dan parafrenia.
Delusi biasanya hanya disebabkan oleh gangguan mental atau
kejiwaan dan tidak berhubungan dengan penyakit fisik tertentu. Namun

18
bisa ditemukan sebagai manifestasi klinik dari berbagai penyakit fisik
dan mental yang berbeda.
Orang yang mengalami delusi akan menceritakan suatu hal dengan
penuh keyakinan meskipun sebenarnya ceritanya itu tidak pernah terjadi
alias hanya dalam khayalannya. Keyakinannya tersebut terus ia percayai
meskipun tidak memiliki dasar dan bukti yang konkrit.
Orang yang mengalami waham kebanyakan dapat bersosialisasi
dan menjalankan fungsinya dengan normal, terpisah dari ketika ia
mengalami fase delusi, dan umumnya tidak menunjukkan perilaku ganjil
secara jelas. Hal ini berbeda dengan orang yang mengalami gangguan
psikotik lainnya, dimana delusi merupakan salah satu gejalanya.
Pada beberapa kasus, orang dengan gangguan delusi bisa
mengalami delusinya terus menerus sehingga kehidupannya menjadi
kacau. Walaupun waham merupakan gejala dari banyak penyakit mental
misalnya skizofrenia, namun ada yang berdiri sendiri meskipun jarang
terjadi.Gangguan delusi sering terjadi di usia pertengahan hingga akhir
kehidupan dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.
Sama seperti semua gangguan kejiwaan utama, penyebab
gangguan delusi tidak diketahui. Selain itu, pasien yang saat ini
diklasifikasikan memiliki gangguan delusional mungkin memiliki
kelompok kondisi heterogen dengan delusi sebagai gejala dominan.
2. Faktor-Faktor Penyebab Gangguang Delusional
a. Faktor Genetik
Kendler (1981) mencatat adanya prevalensi yang rendah dari
skizofernia dalam keluarga pasien dengan gangguan delusional
(0,6%) dibandingkan keluarga dengan skizofrenia (3,8%).
Kemudian Kendler dan Koleganya (1985) menunjukan bahwa
riwayat ganggaun kepribadian paranoid lebih sering terjadi pada
pasien delusional (4,8%) dibandingkan dengan kontrol (0%) dan
pasian skizofrenia (0,8%). Dalam penelitian mereka menemukan
tidak adanya peningkatan insiden skizofrenia , gangguan kepribadian

19
schizoid-skizotipal, dan gangguan afektif pada pasien dengan
gangguan delusional.
b. Faktor Biologis
Keadaan neurologis yang paling sering berhubungan dengan
waham adalah kelainan yang mempengaruhi sistem limbik dan
ganglia basalis. Pasien yanmg memiliki waham yang disebabkan
oleh kondisi neurologis tanpa adanya gangguan kecerdasan cendrung
memiliki waham yang kompleks yang mirip dengan yang ditemukan
pada pasien dengan gangguan delusional. Sebaliknya, pasien yang
menderita gangguan neurologis dengan gangguan kecerdasan
seringkali memiliki waham yang sederhana dan tidak sama dengan
yang ditemukan pada pasien gangguan delusional. Jadi mungkin
gangguan delusional melibatkaan patologi dalam sistem limbik atau
ganglia basalis pada pasien dengan fungsi kortikal selebral yang
intak. Hipotesis bergantung pada adanya pengalaman mirip
halusinasi yang perlu dijelaskan. Adanya pengalaman halusinasi
tersebut pada gangguan delusional belum dibuktikan.
c. Faktor Psikodinamika
Pada tahun 1811, Freud menerbitkan “Pychoanalitic Notes upon
an autobiographical Account of a Case of Paranoia (Dementia
Paraniods)” . interpretasinya dari kasus ini, yang menjadi dasar teori
psikodinakia dari paranoia, didasari dari hasil bacaannya dari
pengalaman seorang hakim ketua pengadilan di Dresden yaitu
Daniel Paul Schreber yang menderita episode penyakit psikiatrik di
tahun 1884,1885 dan 1893. Episode kedua menyebabkannya dirawat
di rumah sakit untuk waktu yang lama dimana pasien keluar pada
tahun 1902.
Freud menyatakan bahwa schreber pada tahun 1903 mengeluarkan
penjelasan, Memoirs of My Nervous Illnes, yang memberikan dasar
teori “penderita paranoia tidak dapat dipaksa untuk menghadapi
masalah internal, dan dalam banyak khasus, mereka hanya
mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka..”. Freud

20
beragumentasi bahwa kasus yang tercatat merupakan pengenalan
personal; pada kasus scherber menggambarkan suatu mekanisme
umum dari pembentukan waham yang meliputi penyangkalan atau
kontradiksi, proyeksi represi dari impuls homoseksual yang timbul
dari alam bawah sadar pasien paranoid. Bentuk waham dari para
paranoia dapat timbul dari kontradiksi.
3. Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik bersama (juga disebut selama bertahun-tahun
sebagai gangguan paranoid bersama,gangguan psikotik yang diinduksi,
pemberian folie, dan kegilaan ganda) pertama kali dijelaskan oleh dua
Psikiater Prancis, Lasegue dan Falret, pada tahun 1877, yang
menamakannya folie á deux. Dalam DSM-5, gangguan ini disebut
sebagai "Gejala Delusional pada Pasangan Individu dengan Delusional
Gangguan, ”perubahan nomenklatur yang tidak perlu dalam pandangan
sebagian besar psikiater. ini mungkin jarang, tetapi angka insidensi dan
prevalensi masih kurang, dan literatur terdiri hampir seluruhnya dari
laporan kasus.
Gangguan ini ditandai oleh perpindahan delusi dari satu orang ke
orang lain Kedua orang ini terkait erat untuk waktu yang lama dan
biasanya hidup bersama dalam keluarga isolasi sosial. Dalam bentuknya
yang paling umum, individu yang pertama memiliki khayalan) sering
sakit kronis dan biasanya anggota yang berpengaruh dari penutupan
hubungan dengan orang yang lebih sugestif (kasus sekunder) yang juga
mengembangkan khayalan. Orang dalam kasus sekunder sering kurang
cerdas, lebih mudah tertipu, lebih pasif, atau lebih kurang harga diri
daripada orang dalam kasus utama.
Kriteria diagnosis menurut DSM-IV untuk gangguan delusional:
Terdapat pada F22-F24
4. Gejala Delusi
Gejala lain yang bisa muncul saat seseorang mengalami delusi
antara lain:
a. Mood yang buruk, mudah marah, mudah tersinggung.

21
b. Halusinasi (perasaan bias melihat, mendengarm atau merasakan
sesuatu yan sebenarnya tak ada) yang berhubungan dengan delusi.
Misalnya seseorang yang percaya bahwa dia memiliki masalah
penciuman bisa mencium bau yang tak sedap.
c. Penyebab Delusi dan Faktor Risiko. Sama halnya dengan gangguan
psikotik lainnya, penyebab pasti delusi tidak diketahui dengan pasti.
Para peneliti melihat adanya berbagai macam faktor yang ikut andil
dalam terjadinya delusi seperti genetik, biologi, lingkungan dan juga
faktor psikologi.
d. Genetik. Delusi kebanyakan terjadi pada individu dengan riwayat
keluarga yang juga mengalami delusi atau skizofrenia.
e. Biologi. Peneliti mempelahari adanya ketidaknormalan pada area
tertentu di otak yang menyebabkan berkembangnya delusi.
f. Lingkungan/psikologi. Adanya bukti yang menunjukkan delusi
dicetuskan oleh stress. Alkohol dan juga penggunaan obat terlarang
juga memberikan kontribusi terjadinya delusi.
5. Penegakan Diagnosis
Delusi dapat dipastikan keberadaannya setelah dilakukan
serangkaian pemeriksaan oleh dokter. Jika gejala delusi seperti yang
telah dijelaskan di atas muncul pada pasien, maka dokter akan melakukan
pemeriksaan riwayat medis dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang secara spesifik dapat
mendiagnosis gangguan delusi ini. Dokter mungkin melakukan berbagai
macam pemeriksaan seperti tes darah dengan tujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyakit fisik sebagai penyebabnya.
Jika dokter tidak menemukan adanya gangguan fisik sebagai alasan
terjadinya waham, maka dokter akan merujuk pasien ke psikiatrik (dokter
spesialis kesehatan jiwa atau Sp.KJ) untuk mengevaluasi adanya
kemungkinan terjadinya gangguan psikotik. Diagnosis delusi ditegakkan
jika pasien mengalami gejala delusi non bizzare selama paling tidak 1
bulan dan tidak ada gejala khas lain dari penyakit psikotik lainnya seperti
skizofrenia yang menyertai

22
6. Tipe Gangguan Delusi Menurut: American Psychiatry Association
a. Erotomanic. Individu dengan tipe delusi ini percaya bahwa orang
lain (seringnya adalah orang penting atau orang yang terkenal) jatuh
cinta padanya. Individu ini berusaha untuk kontak atau berhubungan
dengan objek delusinya atau bahkan menjadi stalker (penguntit)
meskipun hal ini tidak banyak terjadi.
b. Waham Kebesaran (Grandiose). Seseorang yang mengalami tipe
delusi ini memiliki perasaan berharga, memiliki kekuatan, atau
berpengetahuan yang sangat berlebihan. Individu ini percaya bahwa
ia memiliki talenta yang sangat besar atau bisa melakukan penemuan
yang sangat hebat dan penting.
c. Waham Cemburu. Begitu yakin bahwa pasangannya selingkuh.
d. Waham Kejar (Persecutory). Begitu yakin bahwa dirinya (atau
orang yang dekat dengannya) diperlakukan tidak adil atau seseorang
sedang memata-matai mereka atau berencana untuk
mencelakakannya.
e. Waham Somatik. Begitu yakin bahwa ia mengalami gangguan
kesehatan, padahal nyatanya tidak setelah dibuktikan dengan
pemeriksaan.
f. Tipe campuran. Seseorang memiliki dua atau lebih gangguan waham
seperti di atas.
7. Status Mental
a. Gambaran umum.
Pasien biasanya terawat dan berpakaian bagus, tanpa bukti
disintegrasi kepribadian yang kasar atau kegiatan sehari-hari, namun
tampaknya demikian eksentrik, aneh, mencurigakan, atau
bermusuhan. Mereka terkadang sadar hukum dan mungkin membuat
ini kecenderungan jelas bagi penguji. Fitur yang paling luar biasa dari
pasien dengan kelainan delusi adalah bahwa pemeriksaan status
mental menunjukkan mereka cukup normal kecuali untuk sistem
delusi yang sangat abnormal. Pasien mungkin berusaha untuk
melibatkan dokter sebagai sekutu dalam delusi mereka, tetapi seorang

23
dokter tidak boleh berpura-pura menerima khayalan; kolusi ini lanjut
mengacaukan realitas dan menetapkan panggung untuk
ketidakpercayaan akhirnya antara pasien dan terapis.
b. Suasana Hati, Perasaan, dan Pengaruhnya.
Suasana hati pasien konsisten dengan konten mereka delusi.
Seorang pasien dengan delusi muluk adalah euforia; satu dengan
delusi penganiayaan adalah mencurigakan. Ada pun sifat dari sistem
delusi, pemeriksa mungkin merasakan beberapa kualitas depresi
ringan.
c. Gangguan persepsi.
Menurut definisi, pasien dengan gangguan delusi tidak memiliki
halusinasi yang menonjol atau berkelanjutan. Menurut DSM-IV
halusinasi raba dan cium mungkin ditemukan jika hal tersebut adalah
sejalan dengan wahamnya. Beberapa pasien delusi memiliki yang lain
pengalaman halusinasi — hampir selalu bersifat auditori daripada
visual.
d. Pikir.
Gangguan isi pikiran, dalam bentuk delusi, adalah gejala utama
gangguan. Delusi biasanya sistematis dan dikarakterisasi sebagai
mungkin (mis., delusi dianiaya, memiliki pasangan yang tidak setia,
terinfeksi virus, atau dicintai oleh orang terkenal). Contoh-contoh
kontras konten khayalan ini dengan konten delusi yang aneh dan tidak
mungkin pada beberapa pasien dengan skizofrenia. Sistem delusi itu
sendiri bisa rumit atau sederhana. Pasien tidak memiliki tanda-tanda
pemikiran lain gangguan, meskipun beberapa mungkin bertele-tele,
tidak langsung, atau istimewa dalam pidato mereka ketika mereka
berbicara tentang delusi mereka. Dokter tidak boleh berasumsi bahwa
semua tidak mungkin skenario adalah delusi; kebenaran keyakinan
pasien harus diperiksa sebelumnya menganggap konten mereka
sebagai delusi.
e. Sensorium dan Kognisi.

24
ORIENTASI. Pasien dengan gangguan delusi biasanya tidak memiliki
kelainan orientasi kecuali mereka memiliki khayalan khusus tentang
seseorang, tempat, atau waktu.
INGATAN. Memori dan proses kognitif lainnya masih utuh pada
pasien dengan delusi kekacauan.
f. Kontrol Impuls.
Dokter harus mengevaluasi pasien dengan gangguan delusi ide atau
rencana untuk bertindak atas materi khayalan mereka dengan bunuh
diri, pembunuhan, atau kekerasan lainnya. Meskipun kejadian perilaku
ini tidak diketahui, terapis tidak boleh ragu untuk melakukannya tanya
pasien tentang rencana bunuh diri, pembunuhan, atau kekerasan
lainnya. Agresi destruktif adalah paling umum pada pasien dengan
riwayat kekerasan; jika ada perasaan agresif dalam Di masa lalu,
terapis harus bertanya kepada pasien bagaimana mereka mengatasi
perasaan itu.
Jika pasien tidak dapat mengendalikan impuls mereka, rawat inap
mungkin diperlukan. Terapis terkadang dapat membantu
menumbuhkan aliansi terapeutik dengan secara terbuka membahas
bagaimana rawat inap dapat membantu pasien mendapatkan kontrol
tambahan dari impuls mereka.
g. Penghakiman dan Wawasan.
Pasien dengan gangguan delusi hampir tidak memiliki wawasan ke
dalam kondisi mereka dan hampir selalu dibawa ke rumah sakit oleh
polisi, keluarga anggota, atau pengusaha. Penilaian terbaik dapat
dinilai dengan mengevaluasi masa lalu pasien, perilaku sekarang, dan
yang direncanakan.
h. Keandalan.
Pasien dengan gangguan delusi biasanya dapat diandalkan dalam
informasi mereka, kecuali ketika itu berdampak pada sistem delusi
mereka.
8. Pengobatan Waham
a. Pengobatan Waham

25
Pengobatan untuk gangguan delusi kebanyakan meliputi medikasi
dengan obat – obatan dan juga psikoterapi (sejenis konseling).
Gangguan waham bisa cukup sulit untuk diobati karena adanya
insight (pandangan) yang buruk dari diri si pasien itu sendiri bahwa
ia sakit dan pasien tidak mengenali bahwa ada masalah psikis yang
terjadi dalam dirinya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sebagian pasien bisa diobati dengan obat antipsikosis seperti
haloperidol, loxapine dan lain sebagainya.
b. Antipsikosis adalah terapi utama untuk gangguan delusi namun
terkadang psikoterapi juga bisa menjadi pengobatan tambahan untuk
membantu pasien mengontrol rasa stressnya. Psikoterapi yang
berperan dalam terapi delusi antara lain:
c. Psikoterapi individual. Tindakan ini bisa membantu pasien
mengenali dan memperbaiki pola pikirnya.
d. Cognitive-behavioral therapy (CBT). Terapi ini juga bisa
membantu pasien mengenali dan mengubah pola pikirnya yang
salah.
e. Terapi keluarga. Terapi ini membantu keluarga untuk dapat
berdamai dan menunjukkan rasa cinta pada keluarganya yang
mengalami gangguan delusi. Hal ini berkontribusi pada perbaikan
psikis pasien.

D. Gangguan Mood
1. Definisi Gangguan Mood
Manusia memiliki perasaan yang berbeda-beda setiap harinya.
Perasaan itu terkadang sedih, senang, marah, dan lain sebagainya yang
biasanya berlangsung sementara. Perasaan tersebut sering disebut
dengan mood. Mood merupakan perpanjangan dari emosi yang
berlangsung selama beberapa waktu, kadang-kadang beberapa jam,
beberapa hari, atau bahkan, dalam beberapa kasus depresi beberapa
bulan. Mood yang dialami dalam kehidupan manusia ini sedikit banyak

26
akan berpengaruh kuat terhadap cara mereka dalam berinteraksi (Meier,
2008).
Gangguan mood merupakan suatu masalah psikiatri yang muncul dari
adanya gangguan depresi. Depresi adalah suatu gangguan keadaan tonus
perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimis,
dan kesepian. Keadaan ini sering disebutkan dengan istilah kesedihan
(sadness), murung (blue), dan kesengsaraan. Dalam ketentuan DSM IV
gangguan mood adalah depresi mayor, gangguan distemik, dan gangguan
bipolar.
Ganggguan mood yang terjadi pada seseorang umumnya terjadi
karena banyaknya tekanan dan cenderung terlarut dalam tekanan, hal ini
dapat meningkatkan resiko berkembangnya gangguan mood yang
kemudian dapat berubah menjadi depresi terutama depresi mayor. Orang
lebih cenderung untuk menjadi depresi bila mereka menanggung sendiri
tanggung jawab dari peristiwa yang tidak diinginkannya (Nevid, 2003).
Didalam PPGDJ-III gangguan mood dikodekan f30-f39 yang
dikatakan bahwa kelainan fundamental dari kelompok gangguan ini
adalah perubahan susasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah
depresi (dengan atau tanpa anxietas) atau ke arah elasi (suasana perasaan
yang meningkat). Perubahan afek ini biasanya disertai dengan satu
perubahan pada keseluruhan tingkat aktivitas, dan kebanyakan gejala
lainnya adalah sekunder terhadap perubahan itu atau mudah dipahami
hubungannya dengan perubahan tersebut.
Disimpulkan gangguan mood ini merupakan suatu gejala yang
menyebabkan perubahan suasana perasaan pada seseorang secara
ekstreem dan membuat penderitanya terlarut dalam suasana perasaannya
dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga mengganggu kemampuan
mereka untuk berfungsi dalam memenuhi tanggung jawab secara normal.
2. Jenis-Jenis Gangguan Mood
a. Gangguan Mood Depresi Mayor
Kriteria diagnostik: didapatkan lima atau lebih simtom
depresi selama dua minggu. Kriteria terebut adalah suasana perasaan

27
depresif hampir sepanjang hari yang diakui sendiri oleh subjek
ataupun observasi orang lain, kehilangan minat atau perasaan senang
yang sangat signifikan dalam menjalani sebagian besar aktivitas
sehari-hari, berat badan turun secara siginifkan tanpa ada program
diet atau justru ada kenaikan berat badan yang drastis, insomnia atau
hipersomnia berkelanjutan, agitasi atau retadasi psikomotorik, letih
atau kehilangan energi, perasaan tak berharga atau perasaan bersalah
yang eksesif, kemampuan berpikir atau konsentrasi yang menurun,
pikiran-pikiran mengenai mati, bunuh diri, atau usaha bunuh diri
yang muncul berulang kali, distres dan hendaya yang signifikan
secara klinis, tidak berhubugan dengan belasungkawa karena
kehilangan seseorang.
b. Gangguan Distemik
Suatu bentuk depresi yang lebih kronis tanpa ada bukti
suatu episode depresi berat (dahulu disebut depresi neurosis).
Kriteria DSM IV untuk distemik: perasaan depresi selama beberapa
hari, paling sedikit dua tahun selama depresi, paling tidak ada dua
hal berikut yang hadir, yakni : tidak adanya nafsu makan atau makan
berlebihan, imsomnia atau hipersomnia, lemah atau keletihan,
percaya diri rendah, daya konsentrasi rendah, atau sulit membuat
keputusan, perasaan putus asa; selama dua tahun atau lebih
mengalami gangguan, tanpa adanya gejala-gejala selama dua bulan;
tidak ada episode manik yang terjadi dan kriteria gangguan
siklotimia tidak diketemukan; gejalagejala ini tidak disebabkan oleh
efek psikologis langsung dari kondisi obat atau medis; signifikansi
klinis distress atau ketidaksempurnaan dalam fungsi.
c. Gangguan Bipolar
Kriteria: kemunculan (atau memiliki riwayat pernah
mengalami) sebuah episode depresi berat atau lebih; kemunculan
(atau memiliki riwayat pernah mengalami) paling tidak satu atau
episode hipomania; tidak ada riwayat episode manik penuh atau
episode campuran; gejala-gejala suasana perasaan bukan karena

28
skizofrenia atau menjadi gejala yang menutupi gangguan lain seperti
skizofrenia; gejala-gejalanya tidak disebabkan oleh efek-efek
fisiologis dari substansi tertentu atau kondisi medis secara umum;
distress atau hendaya dalam fungsi yang signifikan secara klinis.
3. Etiologi
a. Faktor genetik
Meskipun penyebab depresi secara pasti tidak dapat
ditentukan, faktor genetik mempunyai peran terbesar. Gangguan
mood cenderung terdapat dalam suatu keluarga tertentu. Bila suatu
keluarga salah satu orang tuanya menderita depresi, maka anaknya
berisiko dua kali lipat dan apabila kedua orang tuanya menderita
depresi maka risiko untuk mendapat gangguan mood sebelum usia
18 tahun menjadi empat kali lipat.
b. Faktor sosial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan
orang tua, jumlah sanak saudara, status sosial keluarga, perpisahan
orangtua, perceraian, fungsi perkawinan, atau struktur keluarga
banyak berperan dalam terjadinya gangguan depresi pada anak. Ibu
yang menderita depresi lebih besar pengaruhnya terhadap
kemungkinan gangguan psikopatologi anak dibandingkan ayah yang
mengalami depresi.
c. Faktor biologis
Dua hipotesis yang menonjol mengenai mekanisme
gangguan mood terfokus pada terganggunya regulator sistem
monoamine-neurotransmiter, termasuk noreepinefrin dan serotonin
(5-hidroxytriptamine). Hipotesis lain mengatakan bahwa depresi
yang terjadi erat hubungannnya dengan perubahan keseimbangan
adrenergic-asetilkolin yang ditandai dengan meningkatnya
kolinergik, sementara dopamin secara fungsional menurun.
4. Simpton Gangguan Mood
Gambaran klinis yang tampak dipengaruhi oleh usia dan
pengalaman psikologis anak. Perbedaan gejala klinis pada anak dan

29
remaja menurut Ryan dkk (1987) bahwa gambaran depresi pada anak
dengan keluhan somatik, agitasi psikomotor, cemas perpisahan, dan
fobia, sedangkan pada remaja dengan keluhan anhedonia, hipersomnia,
putus asa, perubahan berat badan, dan penyalahgunaan obat.
Gejala klinis depresi:
1. Mood dismorfik (labil dan mudah tersinggung). Kondisi depresi
menjadi lebih nyata. Mood yang dismorfik dan sedih lebih sering
tampak akan cenderung untuk marah-marah dan perubahan mood
meningkat.
2. Perkembangan kognitif. Disorganisasi fungsi kognitif yang bersifat
sementara, menjadi lebih nyata pada kondisi depresi.
3. Harga diri. Kondisi depresi memperkuat perasaan rendahdiri. Rasa
putus asa dan rasa tidak ada yang menolong dirinya makin
merendahkan harga diri. Pada suatu saat orang depresi mencoba
untuk melawan perasaan rendah dirinya dengan penyangkalan,
fantasi, atau menghindari kenyataan realitas dengan menggunakan
NAPZA (Narkotika, psikotropika, dan zat adiktif) lainnya.
4. Berat badan. Penurunan berat badan yang cepat dapat merupakan
indikasi adanya depresi. Harga diri yang rendah dan kurangnya
perhatian pada perawatan dirinya, atau makan yang berlebihan dapat
menyebabkan obesitas, merupakan tanda dari depresi.
5. Perilaku antisosial. Membolos, mencuri, berkelahi, sering
mengalami kecelakaan, yang terjadi terutama pada orang yang
sebelumnya mempunyai riwayat perilaku yang baik, mungkin
merupakan indikasi adanya depresi.
6. Perilaku sosial. Secara umum remaja yang mengalami depresi tidak
menunjukkan minat untuk berkencan atau mengadakan interaksi
heteroseksual.
7. Kesehatan fisik. Remaja yang mengalami depresi, tampak pucat,
lelah dan tidak memancarkan kegembiraan dan kebugaran. Perilaku
bunuh diri. Remaja yang mengalami depresi mempunyai kerentanan
tinggi terhadap bunuh diri. Penelitian di Kentucky (Amerika

30
Serikat), menyebutkan sekitar 30% dari mahasiswa tingkat persiapan
dan pelajar sekolah menengah atas pernah berpikir serius tentang
percobaan bunuh diri dalam satutahun terakhir.
5. Terapi
Perawatan di rumah sakit perlu dipertimbangkan sesuai dengan
indikasi, misalnya penderita cenderung mau bunuh diri, atau adanya
penyalahgunaan atau ketergantungan obat. Pada umumnya, penderita
berhasil ditangani dengan rawat jalan.
a. Gangguan depresi berat (mayor depressive disorder). Psikoterapi
dan farmakoterapi yang efektif dalam mengobatidepresi di masa
kecil dan remaja. Psikoterapi ini terutama penting untuk pasien
dengan diagnosis ganda atau precipitants terkait dengan gangguan
keluarga atau konflik, meskipun anak-anak ini cenderung memiliki
penyakit refraktori. Terapi perilaku-kognitif efektif sekitar kasus
depresi remaja. Kombinasi terapi dengan hasil terapi fluoxetine dan
kognitif-perilaku pada perbaikan klinis yang signifikan pada remaja.
Tingkat perbaikan melebihi dari pendekatan lain, seperti pengobatan
dengan fluoxetine tunggal atau terapi perilaku-kognitif tunggal.
Pencegahan adalah awal dalam penatalaksanaan depresi. Gangguan
mood (depresi dan gangguan bipolar) berhubungan dengan
penyalahgunaan obat. Keluarga adalah awal untuk diintervensi
sebagai pencegahan timbulnya depresi pada faktor keturunan dari
orang tua. Dokter secara rutin harus melihat tampilan untuk depresi
peripartum. Ketika dokter mengidentifikasi depresi orangtua atau
riwayat keluarga termasuk depresi pada salah satu saudara ,
diintervensi untuk pencegahan.
b. Gangguan distimik (dysthymic disorder). Farmakoterapi
antidepresan berguna dalam pengobatan pasien gangguan distemik.
Antidepresan sangat membantu dengan kondisi gejala depresi
vegetatife. Apabila gejala gangguan distemik berhubungan dengan
gejala seperti anoreksia, gangguan somatis, gangguan
penyalahgunaan obat, dan penyakit fisik lain. Kondisi ini

31
memerlukan intervensi. Sehingga diperlukan gabungan yang dinamis
antara psikoterapi dan farmakoterapi.
c. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik. Psikoterapi lebih
diperlukan pada gangguan bipolar dibandingkan farmakoterapi
sebagai terapi kedua. Pada dua penelitian mengatakan pemberian
litium karbonat efektif sebagai pengobatan gangguan bipolar dan
manik. Dosis awal yang diberikan secara oral 1.0-1.2 mEq/L, dan
dilanjutkan dosis pemeliharaan 0.5-0.8 mEq/L. Sebelum diberikan
terapi ini diwajibkan pemeriksaan fungsi ginjal dan kadar tiroid
dalam darah. Asam valproat (anti epilepsi) juga dapat digunakan
sebagai pengobatan gangguan bipolar. Kebanyakan dokter anak
menggunakan asam valproat sebagai pengobatan farmakoterapi pada
pasien gangguan bipolar, walaupun berpotensi berbahaya bagi faal
hati dalam darah. Sehingga diperlukan pemeriksaan faal hati
sebelum pemberian obat asam valproat.

32
BAB III
KESIMPULAN

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama


dalam pikiran, emosi, perilaku, dimana berbagai pemikiran tidak saling
berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru,atau tidak sesuai dan
berbagai gangguan aktifitas motorik yang bizzare (perilaku aneh). Pasien
skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk ke
dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi. Sedangkan gangguan
kepribadian skizotipal memiliki kepercayaan yang aneh atau pemikiran magis-
takhayul, keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan paranormaldan telepati-
dan ilusi yang berulang.
Orang yang mengalami waham kebanyakan dapat bersosialisasi dan
menjalankan fungsinya dengan normal, terpisah dari ketika ia mengalami fase
delusi, dan umumnya tidak menunjukkan perilaku ganjil secara jelas. Hal ini
berbeda dengan orang yang mengalami gangguan psikotik lainnya, dimana delusi
merupakan salah satu gejalanya.Mood merupakan perpanjangan dari emosi yang
berlangsung selama beberapa waktu, kadang-kadang beberapa jam, beberapa hari,
atau bahkan, dalam beberapa kasus depresi beberapa bulan.

33
KEPUSTAKAAN

Carpenter, W. T. (2010). Conceptualizing schizophrenia through attenuated


symptoms in the population. American Journal of Psychiatry, 167, 9.

Davison, G,. C., Neale, J., M., &Kring, A., M. (2006). Psikologi Abnormal Ed.
ke-9. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Kaplan & Sadok. (1997).Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Jakarta : Binarupa Aksara


medlineplus dan mayoclinic

Maramis, (2009). Catatamn Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga

Maslim, R. (2013). Diagnosis gangguan jiwa: PPDGJ-III dan DSM-V. Jakarta:


Nuh Jaya

Meier, P., Arterburn, S., & Minirth, F.(2000) Mengendalikan Mood Anda.
Yogyakarta: Yayasan Andi.

Nevid, Jeffrey S., Spencer A. Rathus, Beverly Greene. (2005). Psikologi


Abnormal Ed. Ke-5 Jilid I. Jakarta. Erlangga.

Raine, A., Mellingen, DK., Jianghong Liu, MA., Venables P., & Mednick, SA.
(2003), Effects of Environmental Enrichment at Ages 3–5 Years on
Schizotypal Personality and Antisocial Behavior at Ages 17 and 23
Years, American Journal of Psychiatry 2003; 160: p.1627 -1635.
Diunduh dari http://ajp.psychiatryonline.org / by guest padatanggal 6
Februari 2012
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan and Sadock’s. Synopsis of
Psychiatry Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry Tenth Edition. New
York: Lippincott Williams and Wilkins.

Safitri, M. (2010). Perbedaan kualitas hidup antara pasien skizofrenia gejala


positif dan gejala negatif menonjol. Karya Tulis Ilmiah strata satu,
Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Surakarta

34
Sianturi, F. L. (2014). Risperidone and Haloperidol Comparative Effects of
Positive Symptoms Patient Schizophrenic. Journal of Biology,
Agriculture and Healthcare, Vol. 04 No. 28.

Wijono, R., Nasrun, M. W., & Damping, C. E. (2013). Gambaran dan


Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Mendapat
Terapi Antipsikotik. J Indon Med Assoc, 63 (1), 14-20.

35

Anda mungkin juga menyukai