Anda di halaman 1dari 71

GAMBARAN PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP

ANAK USIA DINI

Mata Kuliah : Dasar - Dasar Metode Penelitian


Dosen Pengampu : Antonius D. Robinson Manurung, Dr. M.Si

Disusun Oleh :
.
.
Gugun Gumelar Nugraha 46117010118

Fakultas Psikologi
Program Studi Psikologi
Universitas Mercu Buana
Maret 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun
tidak akan sanggup menyelesaikannya dengan baik. Shalawat dan salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Makalah ini di susun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “metode
penelitian”, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber.
Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang
datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Faktor Pendidikan Anak Pada Usia Dini”.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terimakasih.

Jakarta, 28 Maret 2018

penulis
Abstrak

Pendidikan karakter pada anak usia dini merupakan upaya penanaman perilaku
terpuji pada anak, baik perilaku dalam beribadah, perilaku sebagai warga negara
yang baik, perilaku berinteraksi dengan orang lain dan lingkunga, dan perilaku
terpuji yang bermanfaat untuk kesuksesan hidupnya. Pendidikan karakter
dilaksanakan pada setiap lingkungan di mana anak berada. Lingkungan keluarga
adalah lingkungan pertama yang ditemukan anak. Orang tua memiliki tanggung
jawab untuk menanamkan sikap-sikap yang baik pada anak. Orang tua tidak
semestinya menyerahkan pendidikan karakter anak kepada guru. Orang tua dan
guru adalah model yang akan ditiru dan diteladani oleh anak, baik ucapan maupun
perbuatannya. Penanaman karakter pada anak dapat dilakukan melalui nasihat,
pembiasaan, keteladanan, dan penguatan.

Kata kunci : Pendidikan karakter, anak usia dini


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR……………………………………………………..… ii
ABSTRAK…………………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………. iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………1
1.2 Pertanyaan Peneliti..……….……………………………………………. 8
1.3 Tujuan Penelitian...……………………………………………………… 9
1.4 Manfaat Penelitian….…………………………………………………… 9
1.4.1 Manfaat Teoristis……………..…………………………………... 9
1.4.2 Manfaat Praktis…………………………………….………………9
1.5 Sistematika Penulisan…………………………………………………... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Pendidikan Karakter
2.1.1 Pengertian Pendidikan Karakter……………………………....... 11
2.1.2Karakteristik Anak Usia Dini …………..………………………. 13
2.1.3 Prinsip Perkembangan Anak Usia Dini……………………......... 15
2.2 Pendidikan Karakter
2.2.1 Pengertian pendidikan karakter………………………………….22
2.2.2 Tujuan Pendidikan Karakter………………………………...……22
2.2.3 Dampak Pendidikan Karakter…………………………………….26
2.2.4 Membangun Karakter Anak Usia Dini…………………………...26
2.2.5 Peran Guru dan Orang Tua Dalam Pendidikan Karakter Anak Usia
dini………………………………………………………………..26
2.2.6 Strategi Pendidikan Karakter……………………………………..27
2.2.7 Metode Pendidikan Karakter……………………………………..27
2.2.8 Dasar-dasar Pendidikan Karakter…………………………………30

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Jenis atau Desain Penelitian…………………………………..……35
3.2 Konsep Penelitian…………………………………………………...36
3.3 Subjek dan Informan Penelitian………...…………………………38
3.1 Subjek……………………………………………………………….38
3.2 Informan…………………………………………………………….38
3.4 Definisi konseptual, definisi operasional dan pedoman observasi
dan wawancara atau focus group discussion……………………..41
3.4.1 Definisi Konseptual………………………………………….......41
3.4.2 Definisi Operasional……………………………………………..41
3.4.3 Pedoman Observasi Dan Wawancara……………………………42
3.4.3.1Observasi…………………………………………………42
3.4.3.2 Wawancara………………………………………………43

3.5 Teknik Pengumpulan Data……………………………………….45


3.5.1 Data Premier……………………………………………………..46
3.5.1 Data Sekunder…………………………………………………...46
3.6 Teknik Analisis Data
3.6.1 Prosedur analisis data kualitatif…………………………………48
3.6.2 Uji validitas data kualitatif………………………………………49

3.6.2.1 trianggulasi………………………………………………51
3.6.2.2 tranfer ability atau keandalan…………………………….51
3.6.3 uji realibiltas………………………………………………..53
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian


Peran orang tua dalam mendidik dan pembentukan karakter & kepribadian
anak sangat penting, salah satunya mengajarkan cara berbahasa dalam pergaulan
sehari-hari kepada anak. Tentunya masih banyak contoh lain yang bisa
dikembangkan, yaitu pembiasaan-pembiasaan lainnya sesuai lingkungan budaya
masing-masing, missal membiasakan menghargai hasil karya anak walau
bagaimanapun bentuknya dan tidak membandingkan hasil karya anak dengan
hasil karya saudara-saudaranya sendiri. Keluarga dapat berperan sebagai fondasi
dasar untuk memulai langkah-langkah pembudayaan karakter melalui pembiasaan
bersikap dan berperilaku sesuai dengan karakter yang diharapkan. Pembiasaan
yang disertai dengan teladan dan diperkuat dengan penanaman nilai.
Fenomena yang terjadi pada pendidikan saat ini menghadapi tantangan
besar sebagai akibat dari arus globalisasi, sehingga berbagai upaya perlu di
lakukan agar peserta didik kelak mampu mendapatkan kehidupan yang layak di
negaranya sendiri maupun di luar negeri. Pendidikan anak pertama kai di peroleh
dari lingkungan keluarga terutama dari kedua orang tuanya. Selanjutnya anak
akan berinteraksi dengan lingkungan keduanya yang tidak lain adalah lembaga
pendidikan.

Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar,
ternyata tidak benar, bahkan pendidikan yang dimulai usia taman kanak-kanakpun
sebenarnya sudah terlambat. Menurut hasil penelitian di bidang neurologi seperti
yang dilakukan oleh Dr. Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari
universitas Chicago, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pertumbuhan sel
jaringan otak pada anak usia 0-4 tahun mencapai 50% (cropley,1994). Artinya
bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal
maka segala tumbuh kembang anak baik fisik maupun mental tidak akan
berkembang secara optimal.
Pendidikan anak usia dini adalah pendidikan yang ditujukan untuk anak
usia 3 s/d 6 tahun (PP No. 27/1990 pasal 6). Akan tetapi, Undang-undang nomor
20 Tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini di
selenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Lalu, pendidikan perlu
dilakukan bagi anak sejak lahir sampai berusia 6 tahun. Sementara Undang-
undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlidungan anak dalam pasal 4
menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Anak usia dini membutuhkan bimbingan dari orang dewasa, baik guru
maupun orang tua. Keberadaan anak usia dini sangat krusial, karena masing-
masing individu akan mengalami masa tersebut sekali seumur hidup. Usia dini
merupakan fase kehidupan dimana individu mengalami peningkatan secara
signifikan dalam perkembangannya. Perkembangan usia dini meliputi berbagai
aspek perkembangan, yaitu: nilai agama dan moral, sosial emosional, kognitif,
bahasa, fisik motorik, dan seni. Dalam Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini
Tahun 2013 terdapat empat kompetensi inti yang distimulasi dalam aktivitas main
anak, dua diantarannya adalah sikap dan sosial. Sikap berkaitan dengan perilaku
yang ditunjukkan individu dalam menghadapi suatu keadaan. Sosial berhubungan
dengan dengan perilaku yang tampilkan individu saat berinteraksi dengan orang lain,
baik dengan individu sebaya, individu yang lebih kecil, maupun individu yang lebih
dewasa. Sikap dan sosial yang ditunjukkan oleh anak tentunya harus sesuai dengan nilai
atau perilaku yang sesuai dengan kondisi masyarakat, dengan kata lain sikap dan sosial
tersebut dapat diterima oleh lingkungan. Agar anak mampu menunjukkan sikap dan sosial
yang dapat diterima masyarakat, maka diperlukan pendidikan karakter sejak usia dini.
Pendidikan karakter yang ditanamkan pada anak sejak usia dini, tidak dapat dilaksanakan
oleh guru di lembaga pendidikan anak usia dini saja, tetapi orang tua sebagai model
utama bagi anak juga harus memberikan andil dengan porsi yang lebih banyak dari peran
guru.
1.2 Pertanyaan penelitian
1. Pengaruh apa yang terjadi pada anak jika diberi pendidikan sejak usia
dini?
2. Bagaimana pendidikan karakter yang di berikan pada anak agar
berkembang baik untuk pertumbuhannya?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang pentingnya


peran orang tua pada pendidikan karakter anak usia dini.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
menambah informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
permasalahan yang terjadi pada pendidikan karakter anak.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat:
a) Bagi Pihak Pendidikan Anak Usia Dini
Selalu membina dan mendidik karakter anak pada usia dini
b) Bagi Orang Tua

Untuk menambah wawasan orang tua tentang mendidik anak pada


usia dini. Dan memberikan informasi perkembangan anak pada masa
usia golden age-Nya

c) Bagi Peneliti

Untuk menambah pemahamanmengenai pengetahuan sosial agar


meningkatkan mutu pendidikan karakter pada anak sejak usia dini.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, Menguraikan latar belakang serta alasan memilih
penelitian, rumusan masalah-masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat
dan kegunaan penelitian, sistematika penulisan.
BAB II : Kajian Pustaka, yang akan membahas konsep dasar penelitian
dalam hal teoritis, bab ini diuraikan dengan kerangka pemikiran.
BAB III : Metode penelitian, menguraikan metode penelitian beserta
prosedur penelitian yang meliputi pendekatan kualitatif, metode
pengumpulan data, wawancara dan observasi.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka akan membahas mengenai konsep yang dijadikan


pedoman atau dasar teoritis daripada penelitian ini. pada Bab II ini akan di uraikan
beberapa pengertian mengenai attachment, gambaran psikologis pekerja,
pengertian aktifitas dan bagaimana pekerjaan dapat memengaruhi aktifitas
kehidupan sehari-hari.

2.1 Hakikat Anak Usia Dini

2.1.1 Pengertian Anak Usia Dini

Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi dan kemampuan. Semua
potensi yang dimiliki anak masih harus dikembangkan secara optimal agar dapat
berkembang dengan sebaik-baiknya Anak juga memiliki karakteristiknya sendiri
yang khas dan unik yang tidak sama dengan orang dewasa serta akan berkembang
menjadi manusia dewasa seutuhnya. Secara singkatnya dapat dikatakan bahwa
anak merupakan seorang manusia atau individu yang memiliki pola
perkembangan dan kebutuhan masing-masing yang berbeda dengan orang
dewasa. Pada dasarnya anak memiliki pola perkembangan yang bersifat umum
yang sama dan terjadi pada setiap anak. Namun, ritme perkembangan pada setiap
anak berbeda satu sama lainnya. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya anak
bersifat individual. Sehingga dapat dikatakan bahwa anak adalah anak dan bukan
manusia dewasa dalam bentuk kecil. Berikut ini akan dijabarkan tentang hakikat
anak.
Ditinjau dari segi usia, anak usia dini adalah anak yang berada dalam
rentang usia 0-8 tahun (Morrison, 1989). Standar usia ini adalah acuan yang
digunakan oleh NAEYC (National Assosiation Education for Young Child).
Menurut definisi ini anak usia dini merupakan kelompok yang sedang berada
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa
anak usia dini adalah individu unik yang memiliki pola pertumbuhan dan
perkembangan dalam aspek fisik, kognitif, sosio-emosional, kreativitas, bahasa
dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tahapan yang sedang dilalui oleh anak
tersebut. Anak usia dini terbagi menjadi 4 (empat) tahapan yaitu masa bayi dari
usia lahir sampai 12 (dua belas) bulan, masa kanakkanak/ batita dari usia 1 sampai
3 tahun, masa prasekolah dari usia 3 sampai 5 tahun dan masa sekolah dasar dari
usia 6 sampai 8 tahun. Pada setiap tahapan usia yang dilaluinya anak akan
menunjukkan karakteristiknya masing-masing yang berbeda antara tahap yang
satu dengan tahap yang lainnya. Oleh karenanya, proses pendidikan sebagai
bentuk perlakuan yang diberikan pada anak usia dini haruslah memperhatikan
karakteristik yang dimiliki setiap tahapan perkembangan. Apabila perlakuan yang
diberikan tersebut tidak didasarkan pada karakteristik perkembangan anak maka
hasil yang akan dicapai tidak akan optimal dan bahkan dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak ke arah yang kurang baik. Pada masa usia
dini, terdapat beberapa masa yang perlu diketahui oleh seorang pendidik anak usia
dini sehingga ia dapat memberikan stimulasi dan rangsangan yang tepat pada anak
didiknya. Masa-masa tersebut dapat dijabarkan seperti berikut.
1. Masa Peka
Masa peka ini merupakan masa munculnya berbagai potensi (hidden
potency) atau suatu kondisi dimana suatu fungsi jiwa membutuhkan rangsangan
tertentu untuk berkembang.
Konsepsi Montessori ini cukup mendapat dukungan oleh penelitian terbaru
dalam bidang neurologi (ilmu syaraf). Para ahli ilmu syaraf telah menemukan
berjuta-juta pertumbuhan sel-sel syaraf pada seorang bayi. Selsel syaraf yang
tidak difungsikan atau tidak dirangsang untuk berfungsi maka sel-sel tersebut
akan mati dan tidak dapat dipergunakan lagi. Banyak sekali sel-sel syaraf yang
mati pada usia bayi secara sia-sia yang tidak dapat dipergunakan lagi ketika anak
memasuki usia remaja hingga dewasa. Montessori membagi fase penyerapan otak
menjadi dua tahap, yaitu fase sadar dan fase tidak sadar. Sejak lahir sampai usia 3
tahun anak belajar hanya dengan berhubungan dengan objek, dengan mengalami
lingkungan fisik. Fase ini merupakan fase tak sadar. Pikiran masih kosong dan
bebas menyerap informasi yang masih mentah dan tidak disensor. Pada tahap
penyerapan tak sadar ini, otak menyerap rangsangan fisik tanpa diskriminasi atau
rekayasa. Kepekaan seseorang terhadap peristiwa dan perubahan lingkungan
membuat otaknya terus menyerap sentuhan, rasa, pandangan, pendengaran dan
bau dengan demikian kinerja otaknya akan terus berkembang dan meningkat
semakin optimal. Oleh karena itu, pendidik perlu membangkitkan kepekaan anak
terhadap lingkungan dan perasaan orang lain agar kemampuan otaknya dapat
berkembang seoptimal mungkin. Sebagian pendidik baik orang tua maupun guru
belum sepenuhnya mampu menciptakan suatu kondisi yang kondusif, memberi
kesempatan dan menunjukkan permainan serta alat permainan tertentu yang dapat
memicu munculnya masa peka dan atau menumbuh kembangkan potensi yang ada
di masa peka.
2. Masa Egosentris
Orang tua harus memahami bahwa anak masih berada pada masa
egosentris yang ditandai dengan seolah-olah dialah yang paling benar,
keinginannya harus selalu dituruti dan sikap mau menang sendiri. Orang tua harus
memberikan pengertian secara bertahap pada anak agar dapat menjadi makhluk
sosial yang baik. Misalnya dengan melatih anak untuk dapat berbagi sesuatu
dengan temannya atau belajar antri/menunggu giliran saat bermain bersama.
Penjelasan lain mengungkapkan bahwa rentang perkembangan usia 0 tahun
sampai dengan 8 tahun muncul masa yang dinamakan dengan “masa trotz alter 1”
atau sering disebut masa “membangkang tahap 1” , terutama usia 3 tahun sampai
6 tahun. Masa ini diperkuat dengan munculnya “ego” (keakuan) yang merupakan
cikal bakal perkembangan “jati diri” anak. Tumbuhnya ego (keakuan) harus
didukung oleh tindakan edukatif orang dewasa sehingga keakuan anak akan
berkembang ke arah terbentuknya konsep diri atau jati diri yang positif pada anak,
tidak sebaliknya menjadi anak yang “keras kepala” dan “keras hati”.
3. Masa Meniru
Pada masa ini proses peniruan anak terhadap segala sesuatu yang ada di
sekitarnya tampak semakin meningkat. Peniruan ini tidak saja pada perilaku yang
ditunjukkan oleh orang-orang di sekitarnya tetapi juga terhadap tokohtokoh
khayal yang sering ditampilkan di televisi, koran, majalah maupun media lainnya.
Pada saat ini orang tua atau guru, sebagai pendidik haruslah dapat menjadi tokoh
panutan bagi anak dalam berperilaku. Menyadari kecenderungan alamiah otak
untuk meniru dapat menambah kedalaman pengertian dan arti terhadap hubungan
pendidik/anak. Anak dapat meniru segala sesuatu termasuk bahasa, gerakan,
bunyi mesin, semua suara alam, sahabat, orang tua dan yang paling penting
menirukan pendidik. Anak akan melakukan peniruan dengan sangat objektif dan
dengan ketepatan dan ketelitian luar biasa.
4. Masa Berkelompok
Biarkan anak bermain di luar rumah bersama teman-temannya, jangan terlalu
membatasi anak dalam pergaulan sehingga anak kelak akan dapat bersosialisasi
dan beradaptasi sesuai dengan perilaku lingkungan sosialnya karena masa ini
adalah masa berkelompok. Masa berkelompok adalah pembelajaran anak dalam
pergaulan sehingga anak kelak akan dapat bersosialisasi dan beradaptasi sesuai
dengan perilaku lingkungan sosialnya. Pada dasarnya, anak usia dini memiliki
kecenderungan untuk membangun suatu kelompok. Namun, kelompok anak usia
dini biasanya berbeda dengan kelompok anak-anak berusia 6 sampai 12 tahun.
Kelompok anak usia dini aturannya belum jelas tanpa terstruktur, untuk itu masa
ini disebut dengan fase prasosial egosentris. Masa ini juga merupakan masa anak
mulai membentuk sebuah kelompok tetapi anak masih memusatkan perhatian
pada diri sendiri. Anak masih belum mempunyai orientasi mengenai pemisahan
subjek-subjek. Pada masa ini anak belum mampu bekerja sama dengan teman-
temannya sehingga terkadang menimbulkan konflik atau pertengkaran antar anak
usia dini adalah wajar.
5. Masa Bereksplorasi
Orang tua atau orang dewasa harus memahami pentingnya eksplorasi bagi
anak. Biarkan anak memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitarnya dan
biarkan anak melakukan trial dan error, karena memang anak adalah seorang
penjelajah yang ulung. Kebutuhan suatu sel syaraf untuk berkembang ditunjukkan
oleh seorang anak melalui aktivitas gerakan tangan, kaki, mulut dan mata. Sebagai
contoh, gerakan motorik tangan dan jari tangan muncul pada saat bayi mulai
memainkan jari-jari tangan, seperti menggerakkan, memasukkan ke dalam mulut,
menggaruk anggota badan, menggosok mata dan telinga dan lain-lain. Saat anak
menjajaki (bereksplorasi) sesuatu dengan menggunakan jari tangan maka dalam
kondisi inilah stimulasi atau rangsangan lingkungan menjadi sangat penting
sehingga anak akan menunjukkan gerakan-gerakan yang berguna, seperti melatih
koordinasi motorik tangan kanan dan kiri, koordinasi tangan dan mata, koordinasi
mata dan telinga.
6. Masa Pembangkangan
Orang tua dan guru (pendidik) disarankan tidak selalu memarahi anak saat
ia membangkang karena ini merupakan suatu masa yang akan dilalui oleh setiap
anak. Selain itu, bila terjadi pembangkangan sebaiknya diberikan waktu
pendinginan (cooling down) misalnya berupa penghentian aktivitas anak dan
membiarkan anak sendiri berada di dalam kamarnya atau di sebuah sudut.
Beberapa waktu kemudian barulah anak diajak bicara dan mintalah penjelasan
pada anak mengapa ia melakukan itu semua. Tindakan membangkang seorang
anak merupakan wujud bahwa keakuan anak muncul.

2.1.2 Karakteristik Anak Usia Dini

Karakteristik adalah realisasi perkembangan positip sebagai individu


(intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku). Individu yang memiliki
karakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal
yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama lingkungan, bangsa dan
negara serta dunia Internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi
pengetahuan dirinya disertai dengan kesadaran, emosi dan motovasinya.
Berada dalam pengendalian yang baik dalam dirinya secara fisik dan
emosi, sebagian besar anak usia lima sampai enam tahun berada dalam fase yang
cukup tenang dan semakin tinggi percaya dirinya dan rasa untuk mengendalikan
dirinya. Dunia mereka berkembang diluar rumah, keluarga, sekolah, atau tempat
penitipan anak. Oleh karena itu, keamanan anak dan pencegahan pada kecelakaan
harus menjadi perhatian utama bagi para anggota keluarga dan pengasuh (Marotz,
Cross, Rush, 2005) dalam bukunya K. Eileen Allen & Lynn R. Martz (2010:148).
Menurut, Carolyn Meggitt ( 2012, 143-150), karakteristk anak usia dini adalah
sebagai berikut:
1) Perkembangan fisik motorik
Pada umumnya, anak-anak pada usia ini memiliki energi dan semangat.
Mereka juga telah mengembangkan keseimbangan diri serta kemampuan
mengkoordinasikan diri untuk bermacam-macam aktivitas fisik termasuk
bersepeda, berenang, lompat tali, atau bermain bola. Anak-anak pada kisaran
usia ini cenderung memberi banyak penekanan dan perhatian pada
perkembangan fisiknya. Berikut ini standar tingkat pencapaian perkembangan
fisik motorik anak usia 5-6 tahun.

Tabel 0.1. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun
Lingkup Standar Tingkat Pencapaian
perkembangan Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

I. Fisik Motorik a. Melakukan gerakan tubuh secara terkoordinasi untuk


melatih kelenturan, keseimbangan, dan kelincahan
A. Motorik kasar b. Melakukan koordinasi gerakan mata-kaki-tangan-kepala
dalam menirukan tarian dan senam
c. Melakukan permainan fisik dengan aturan
d. Terampil menggunakan tangan kanan dan kiri
e. Melakukan kegiatan kebersihan diri

Lingkup Standar Tingkat Pencapaian


perkembangan Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

B. Motorik halus a. Menggambar sesuai gagasannya


b. Meniru bentuk
c. Melakukan eksplorasi dengan
d. berbagai media dan kegiatan
e. Menggunakan alat tulis dan alat makan dengan benar
f. Menggunting sesuai dengan pola
g. Menempel gambar dengan tepat
h. Mengekspresikan diri melalui gerakan menggambar
secara rinci

C. Kesehatan dan a. Berat badan sesuai dengan usia


keselamatan b. Tinggibadan sesuai standar usia
c. Berat badan sesuai dengan standar tinggi badan
d. Lingkar kepala sesuai tingkat usia
e. Menutup hidung dan mulut (missal, ketika bersin dan
batuk)
f. Membersihkan dan membereskan tempat bermain
g. Mengetahui situasi yang membahayakan diri

(Sumber : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor


137 Tahun 2014)\

2) Perkembangan kognitif
Pada perkembangan ini, anak-anak usia dini telah mampu memikirkan
solusi terhadap suatu masalah. Mereka dapat menggunakan berbagai macam
pendekatan yang fleksibel untuk menyelesaikan tantangan-tantangan jangka
panjang yang abstrak, seperti dapat mengenali nama sendiri ketika dituliskan
maupun menulis nama sendiri, dapat melihat dari berbagai sudut pandang pada
saat yang sama, misalnya konsep-konsep panjang, ukuran, jarak, waktu, volume,
maupun kapasitas. Berikut ini standar tingkat pencapaian perkembangan kognitif
anak usia 5-6 tahun.

Tabel 0.2. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

Lingkup Standar Tingkat Pencapaian


perkembangan Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

II. Kognitif
A. Belajar dan a. Menunjukkan aktivitas yang brsifat eksploratif dan
Pemecahan menyelidik (seperti: apa yang terjadi ketika air
Masalah ditumpahkan)
b. Memecahkan masalah sederhana dalam kehidupan sehari-
hari dengan cara yang fleksibel dan diterima sosial
c. Menerapkan pengetahuan atau pengelaman dalam konteks
yang baru
d. menyelesaikan masalah (ide, gagasan, diluar kebiasaan)
e. menyelesaikan masalah (ide, gagasan, di luar kebiasaan)
f. Mengenal perbedaan berdasarkan ukuran: “lebih dari”;
“kurang dari”; dan “paling/ter”
Menunjukkan inisiatif dalam memilih tema permainan
(seperti: “ayo kita bermain pura-pura seperti burung”)
B. Berpikir Logis
a. Menyusun perencanaan kegiatan yang akan dilakukan
b. Mengenal sebab-akibat entang lingkungannya (angin
bertiup menyebabkan dan bergerak, air dapat menyebabkan
sesuatu menjadi basah)
c. Mengklasifikasikan benda berdasarkan warna, bentuk,
dan ukuran (3 variasi)
d. Mengklasifikasikan benda yag lebih banyak ke dalam
kelompok yang sama
e. atau kelompok yang sejenis, atau kelompok berpasangan
yang lebih daridua variasi
f. Mengenal pola ABCD-ABCD
g. Mengurutkan benda berdasarkan ukuran

C. Berpikir
Simbolik a. Menyebut lambing bilangan 1-10
b. Menggunakan lambing bilangan untuk menghitung
c. Mencocokkan bilangan dengan lambing bilangan
d. Mengenal berbagai macam lambang huruf vocal dan
konsonan
e. Mempresentasikan berbagai macam benda dalam bentuk
gambar atau tulisan (ada benda pensil yang diikuti tulisan
dan gambar pensil)

(Sumber : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor


137 Tahun 2014)
3) Perkembangan komunikasi dan bahasa
Anak usia dini, perkembangan komunikasi dengan menggunakan bahasa
tubuh, gerak tubuh, dan bahasa telah berkembang dengan sempurna.
Perkembangan ini membuka jalan terhadap perkembangan literasi atau melek
huruf (berbicara, mendengar, menulis, dan membaca).Selama tahun-tahun
pertama sekolah, seorang anak mempelajari lebih banyak kosa kata dari
sebelumnya. Mereka lebih mahir mengatur kata-kata denagn cara yang baru dan
imajinatif. Mereka juga lebih familiar dengan bunyi bahasa, serta bagaimana
mengkmbinasikan bunyi-bunyi yang berbeda menjadi kata-kata. Misalnya anak
mencoba memahami arti kata-kata serta menggunakan kata sifat dan kata depan
dalam percakapan, mempelajari bunyi dari huruf-huruf yang berbeda dari
alphabet. Berikut standar tingkat pencapaian perkembangan bahasa anak usia 5-
6 tahun.

Tabel 0.3. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

Lingkup Standar Tingkat Pencapaian


perkembangan Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

III. Bahasa
a. Mengerti beberapa perintah secara bersamaan
A. Memahami b. Mengulang kalimat yang lebih kompleks
Bahasa c. Memahami aturan dalam suuatu permainan
d. Senang dan menghargai bacaan
B. Mengungkapkan a. Menjawab pertanyaan yang lebih kompleks
Bahasa b. Menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi
yang sama
c. Berkomunikasi secara lisan, memiliki pembendaharaan
kata, serta mengenal
simbol-simbol untuk persiapan membaca, menulis, dan
berhitung
d. Menyusun kalimat sederhana dalam struktur lengkap
(pokok kalimat-predikat-keterangan)
e. Memiliki lebih banyak kata-kata untukmengekspresikan
ide kepda orang lain
f. Melanjutkan sebagian cerita / dongeng yang telah
diperdengarkan
g. Menunjukkan pemahaman konsep-konsep dalam buku
cerita.
Lingkup Standar Tingkat Pencapaian
perkembangan Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

C. Keaksaraan
a. Menyebutkan symbol-simbol huruf yang dikenal
b. Mengenal suatu huruf awal dari nama
c. benda-benda yang ada disekitarnya

Menyebutkan kelompok gambar yang memiliki bunyi atau


huruf awal yang sama
d. Memahami hubungan antara bunyi dan bentuk huruf

(Sumber : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor


137 Tahun 2014)

4) Perkembangan personal, emosional dan sosial


Selama periode ini, seorang anak telah membentuk sebuah konsep diri
yang stabil serta tidak terlalu banyak membutuhkan pujian atau tanggapan dari
orang dewasa untuk merasa bangga atau kecewa.Mereka lebih banyak
dipengaruhi anak-anak lain seumuran mereka atau oleh anggota keluarga yang
lebih dewasa.Misalnya, suka berinteraksi dengan orang dewasa serta anak-anak
lainnya, terus membentuk dan mempertahankan persahabatan dengan anak-anak
lain khususnya teman-teman sekolah, dapat bertanggung jawab, serta memahami
aturan yang berlaku ditempat yang berbeda. Berikut standar tingkat pencapaian
perkembangan sosial emosional anak usia 5-6 tahun.

Tabel 0.4. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

Lingkup Standar Tingkat Pencapaian


perkembangan Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

IV. Sosial- a. Memperlihatkan kemampuan diri untuk menyesuaikan


emosional dengan situasi
b. Memperlihatkan kehati-hatian kepada orang yang belum
A. Kesadaran Diri dikenal (menumbuhkan kepercayaan pada orang dewasa
yang tepat)
c. Mengenal perasaan sendiri dan mengelolanya secara
wajar (mengendalikan diri secara wajar)

B. Rasa
tanggungjawab a. Tahu akan haknya
untuk diri sendiri b. Mentaati aturan kelas (kegiatan, aturan)
dan orang lain c. Mengatur diri sendiri
d. Bertanggungjawab atas perilakunya
e. untuk kebaikan diri sendiri

C. Prilaku Proposial a. Bermain dengan teman sebaya Mengetahui perasaan


temannya dan menghargai hak/ pendapat/ karya orang lain
b. Menggunakan cara yang diterima secara sosial dalam
menyelesaikan
c. masalah (menggunkan fikiran untuk menyelesaikan
masalah)
d. Bersikap kooperatif dengan teman
e. Menunjukkan sikap toleran
f. Mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang
ada (senang-sedih-antusias, dsb)
Mengnal tata karma dan sopan santun sesuai dengan nilai
sosial budaya setempat

(Sumber : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor


137 Tahun 2014)

5) Perkembangan moral dan spiritual


Anak dalam periode ini mampu memahami aturan sosial dalam
budayanya, sebagai contoh yaitu menyapa seseorang. Selain itu anak mampu
membantu anak lain yang sedang ada masalah secara sepontan, serta anak mulai
mengembangkan konsep yang luas sepertiperihal pengampunan dan keadilan.
Berikut standar tingkat pencapaian perkembangan nilai agama dan moral anak
usia 5-6 tahun:

Tabel 0.5. Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun

Lingkup Standar Tingkat Pencapaian


perkembangan Perkembangan Anak Usia 5-6 Tahun
V. Nilai Agama
dan Moral a. Mengenal agama yang dianut
b. Mengerjakan ibadah
c. Berperilaku jujur, penolong, sopan, hormat, sportif, dsb
d. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
e. Mengetahui hari besar agama
f. Menghormati (toleran) agama orang lain

(Sumber : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor


137 Tahun 2014)
Sedangkan menurut Allen dan Marotz (2010: 148-167), ciri-ciri anak usia dini
antara lain:
1) Pertumbuhan fisik
Periode ini, pertumbuhan fisik anak berjalan lambat tetapi stabil

2) Perkembangan motorik anak


Pada usia ini kekuatan otot anak semakin bertambah, anak memiliki pengendalian
ketrampilin motorik halus dan kasar yang semakin baik, dan anak menyukai
membuat karya seni.

3) Perkembangan perseptual-kognitif
Pada perkembangan perceptual konitif, anak memiliki rentang konsentrasi yang
lebih panjang, memahami konsep-konsep, percaya pada sulap dan fantasi, serta
masih terbatas dalam memahami kematian.

4) Perkembangan berbicara dan bahasa


Pada usia ini, anak lebih banyak berbicara dan bertany, suka dibacakan cerita dan
mengarang cerita, dan anak juga mampu belajar lebih dari satu bahasa.

5) Perkembangan sosial-personal
Pada usia ini, emosi anak masih mudah berubah-ubah secara tiba-tiba, anak
sudah lebih mandiri dan tidak terlalu bergantung dengan orangtua karena jalinan
pertemanan semakin luas, dan sudah dapat memahami perilaku baik dan buruk.

2.1.3 Prinsip Perkembangan Anak Usia Dini

Hurlock adalah salah satu pakar psikologi perkembangan anak paling


terkemuka abad ini. Ia mengemukakan sepuluh prinsip-prinsip perkembangan
anak dalam buku (Suyadi dan Maulidya, 2013 : 48-50), sebagai berikut ini:
1) Perkembangan berimplikasi pada perubahan, tetapi perubahan belum tentu
termasuk dalam katagori perkembangan karena perkembangan adalah realisasi
diri atau pencapaian kemampuan bawaan.

2) Perkembangan awal lebih penting atau leih kritis daripada perkembangan


selanjutnya karena perkembangan awal menjadi dasar bagi perkembangan
berikutnya. Apabila perkembangan awal membahayakan penyesuaian pribadi dan
sosial anak, maka perkembangan anak selanjutnya akan terganggu. Namun
demikian, perkembangan awal (jika mampu mengetahuinya) dapat dirubah atau
disesuaikan sebelum menjadi kebiasaan.

3) Kematangan (sosial-emosional, mental, dan lain-lain) dapat dimaknai sebagai


bagian dari perkembangan karena perkembangan timbul dari interaksi
kematangan dan belajar.

4) Pola perkembangan dapat diprediksikan, walau pola yang dipresiksikan


tersebut dapat diperlambat atau dipercepat oleh kondisi lingkungan di masa
pralahir dan pascalahir.
5) Pola perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang dapat
diprediksikan. Pola perkembangan yang terpenting diantaranya adalah adanya
persamaan bentuk perkembangan bagi semua anak, perkembangan berlangsung
dari tanggapan umum tentang ketanggapan spesifik, perkembangan terjadi secara
berkesinambungan berbagai bidang berkembang dengan kecepatan yang berbeda
dan terdapat korelasi dalam perkembangan yang berlangsung.

6) Terdapat perbedaan individu dalam perkembangan sebagian karena pengaruh


bawaan dan sebagian yang lain karena kondisi lingkungan.

7) Setiap perkembangan pasti melalui fase-fase tertentu secara periodik.

8) Setiap periode perkembangan pasti ada haraan sosial untuk anak. Harapan
sosial tersebut adalah tugas perkembangan yang memungkinkan para orang tua
dan guru TK mengetahui pada usia berapa anak mampu menguasai berbagai
polaperilaku yang diperlukan bagi penyesuaian sosial yang baik.

9) Setiap bidang perkembangan mengandung kemungkinan bahaya, baik fisik


maupun spikologis yang dapat mengubah pola perkembangan anak selanjutnya.

10) Setiap periode perkembangan memiliki makna kebahagiaan yang bervariasi


bagi anak.

Sedangkan dalam bukunya (Mukhtar Latif, dkk, 2013 : 72-73) pada


dasarnya prinsip perkembangan anak sebagai berikut:
1) Anak akan belajar dengan baik apabila kebutuhan fisiknya terpenuhi serta
merasa aman dan nyaman dalam lingkungannya.

2) Anak belajar terus-menerus, dimulai dari membangun pemahaman tentang sesuatu,


mengeksplorasi lingkungan, dan menemukan kembali suatu konsep.
3) Anak belajar melalui interaksi sosial, baik dengan orang dewasa maupun dengan
teman sebaya.

4) Minat dan ketekunan anak akan memotivasi belajar anak.

5) Perkembangan dan gaya belajar anak harus dipertimbangkan sebagai perbedaan


individu.

6) Anak belajar dari hal-hal sederhana sampai yang kompleks, dari yang konkret ke
abstrak, dari yang berupa gerakan ke bahasa verbal, dan dari diri sendiri ke interaksi
dengan orang lain.
Dari prinsip-prinsip diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa menjadi seorang guru TK
dan orang tua harus memahami prinsip-prinsip tersebut agar mengetahui anak didik
yang dihadapi sedang menempuh perkembangan pada prinsip tertentu.Pengetahuan
tersebut bermanfaat untuk mengubah pola perkembangan anak yang kurang baik
menjadi kebiasaan. Jika pola perkembangan tertentu telah lewat masanya, ia akan
permanen dan tidak dapat dirubah lagi.

2.2 Pendidikan Karakter

2.2.1 Pengertian pendidikan karakter

Berbicara tentang karakter, maka perlu disimak apa yang ada dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang
menyebutkan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa” Dalam UU ini secara jelas ada kata “karakter”
(Sutarjo Adisusilo, 2012:76)
Pengertian karakter menurut pusat bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati,
jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen,
watak. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku , bersipat, dan
berwatak. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNJ, 2008) karakter mengacu kepada
serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan keterampilan. Karakter berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan
bagaimana mengaflikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah
laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya orang yang perilakunya sesuai
dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia. Konsep pendidikan
karakter dapat dilihat pada contoh karakter mulia yang berarti memiliki
pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai nilai, seperti
reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif, dan inovatif, mandiri,
hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu,sabar, berhati-hati, rela berkorban,
pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat
salah, perhati lembut , pemaap, setia, bekerja keras, tekun, ulet, gigih, teliti,
berpikir positip, disiplin, ansisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, betrsemangat,
dinamis, hemat efisisien, menghargai waktu, pengabdian, pengendalian diri,
produktif, ramah ,estetis, sportif, tabah, terbuka tertib.
Karakter yang baik merupakan hal-hal yang kita inginkan bagi anak-anak
kita. Seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles mendefinisikan karakter yang
baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar
sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain (Thomas Lickona, 2012:81).
Sedangkan istilah pendidikan karakter mulai dikenalkan sejak tahun 1900-
an. Thomas Lickona disebut-sebut sebagai pengusungnya, terutama ketika ia
menulis buku yang berjudul The Return of Character Education, kemudian
disusul buku berikutnya, yakni Educating for Character. How Our School Can
Teach Respect and Responsibility.
Menurut Lickona, pendidikan karakter mencakup tiga unsur pokok, yaitu
mengetahui kebaikan (knowing the good), mecintai kebaikan (desiring the good),
dan melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan
itu sering kali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian,
pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia
menuju standar-standar baku (Abdul Majid, 2011:11).
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter menurut Lickona merupakan
pendidikan yang mencakup tentang kebaikan untuk menuntun seseorang memiliki
perilaku lebih baik.
Senada dengan Lickona, Frye mendefinisikan pendidikan karakter sabagai,
“A national movement creating school that foster ethical, responsible, and
carinyoung people by modeling and teaching good character through an
emphasis on universal values that we all share” (Frye, 2002:2). Sedangkan
menurut Kemendiknas (2010:8) pendidikan karakter adalah pendidikan yang
menanamkan dan mengembangkan karakter-karekter luhur kepada peserta didik,
sehingga mereka memiliki karakter itu, menerapkan, dan mempraktikkan dalam
kehidupannya, entah dalam keluarga, sebagai anggota masyarakat dan warga
Negara (Agus Wibowo, 2013:13).
Dengan demikian, pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya sadar
dan terencana dalam mengetahui kebenaran dan kebaikan, mencintainya dan
melakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Suyadi, 2013:6).

Sementara itu, Alfie Kohn mengartikan pendidikan karakter kedalam arti


luas dan arti sempit.Dalam arti yang luas, pendidikan karakter merupakan upaya
yang mencakup hampir seluruh usaha sekolah di luar bidang akadmis terutama
yang bertujuan untuk membantu anak didik tumbuh menjadi seseorang yang
memiliki karakter yang baik.Sedangkan dalam makna yang sempit, pendidikan
karakter diartikan sebagai suatu pelatihan moral yang merefleksikan nilai-nilai
tertentu.
Jadi pendidikan karakter adalah pendidikan yang bukan mengedepankan
akademik peserta didik saja, tetapi juga nilai-nilai karakter yang dapat membantu
menanamkan perilaku baik.
Ratna Megawangi mengungkapkan bahwa pendidikan karakter merupakan
suatu usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan
bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat
memberikan kontribusi yang positif pada lingkungannya. Kemudian Fakry Gaffar
mengartikan pendidikakan karakter sebagai sebuah proses transformasi nilai-nilai
kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga
menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Pada pengertian tersebut ada
tiga ide pokok (Muhammad Najib dkk, 2016:62-63):

1) Pendidikakan karakter merupakan proses trasformasi nilai-nilai

2) Nilai-nilai tersebut ditumbuhkembangkan dalam kepribadian

3) Nilai-nilai tersebut menjadi satu dalam perilaku

Berdasarkan deskripsi diatas, maka pendidikan karakter dapat diartikan


sebagai usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh guru dalam
menginternalisasikan nilai-nilai kebaikan pada diri peserta didik agar dapat
berperilaku positif dalam menjalin hubungan dengan Tuhan, dirinya sendiri, orang
lain, dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
Ada empat jenis pendidikan karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan
dalam proses pendidikan, antara lain:
1) Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses
kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.

2) Pendidikan karakter berbasis lingkungan, merupakan penanaman nilai-nilai


kebaikan melalui kegiatan konsersi lingkungan.

3) Pendidikan karakter berbasis nilai budaya, misalnya berupa pendidikan


Pancasila, budi pekerti, apresiasi sastra, serta keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan
para pemimpin bangsa.

4) Pendidikan karakter berbasis nilai religious, di mana pendidikan karakter


dilaksanakan berdasarkan ajaran suatu agama.
Menurut Saptono (2011:23), menyatakan bahwa pendidikan karakter
adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter
yang baik (good character) berdasarkan kebajikan-kebajikan inti (core virtues)
yang secara objektif baik bagi individu dan masyarakat. Kebajikan-kebajikan inti
ini merujuk pada dua kebajikan fundamental dan sepuluh kebajikan
esensial.Kebajikan fundamental yang dibutuhkan untuk membentuk karakter yang
baik, yaitu rasa hormat (respect) dan tanggung jawab (responsibility).Kedua
kebajikan itu merupakan nilai moral fundamental yang harus diajarkan dalam
pendidikan karakter.sedangkan kebajikan esensial yang dibutuhkan untuk
membentuk karakter yang baik. Kesepuluh kebijakan esensial tersebut antara lain
kebijakan (wisdom), keadilan (justice), ketabahan (fortitude), pengendalian diri
(self control), kasih (love), sikap positif (positive attitude), kerja keras (hard
work), integritas (integrity), penuh syukur (gratitude), dan kerendahan hati
(humility).
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut
Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini pendidikan karakter tidak akan efektif,
demikian tulis Suyatno dalam waskitamandiribk.wordpress.com. Jadi yang
diperlukan dalam pendidikan karakter tidak cukup dengan pengetahuan lantas
melakukan tindakan yang sesuai dengan pengetahuannya saja. Hal ini karena
pendidikan karakter terkait erat dengan nilai dan norma. Oleh karena itu harus
melibatkan aspek perasaan.

Dalam pendidikan karakter, anak didik memang sengaja dibangun


karakternya agar mempunyai niai-nilai kebaikan sekaligus memperbaikinya dalam
kehidupan sehari-hari, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan sekitar, bangsa, Negara, maupun hubungan internasional
sebagai sesama penduduk dunia.

Diantara karakter baik yang hendaknya dibangun dalam kepribadian


peserta didik adalah bisa bertanggung jawab, jujur, dapat dipercaya, menepati
janji, ramah, peduli kepada orang lain, percaya diri, pekerja keras, bersemangat,
tekun, tak mudah putus asa, bisa berpikir rasional dan kritis, kreatif dan inovatif,
dinamis, bersahaja, rendah hati, tidak sombong, sabar, cinta ilmu dan kebenaran,
rela berkorban, hati-hati, bisa mengendalikan diri, tidak mudah terpengaruh
informasi buruk, mempunyai inisiatif, setia, menghargai waktu, dan mampu
bersikap adil (Akhmad Muhamimin Azzet, 2014:29).

Dalam kaitan dengan pendidikan budaya dan karakter bangsa,


kemendiknas memberi penegasan sebagai berikut: “Karakter adalah watak, tabiat,
akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi sebagai
kebijakan yang diyakini digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma,
seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Interaksi seseorang dengan orang lain membutuhkan karakter masyarakat dan
karakter bangsa (Kasmadi, 2013:83).

Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan


melalui pengembangan karakter individu seseorang.Akan tetapi, karena manusia
hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter
individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya
yang bersangkutan. Artinya pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya
dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta
didik dari lingkungan sosial, budaya, masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan
sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila, jadi pendidikan budaya dan karakter
bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain mendidik
budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri
peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.” (Sumber: Kemendiknas,
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum-2010).
Pendidikan karakter tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana yang
salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau
melakukannya. Dengan demikian, pendidikan karakter membawa misi yang sama
dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Selanjutnya Frye (2002:3),
menegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha yeng disengaja untuk
membantu seseorang memahami, menjaga, dan berperilaku sesuai dengan nilai-
nilai karakter mulia (Marzuki, 2015:23).
Menurut Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik
ke pengenalan nilai-nilai kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya
ke pengalaman nilai secara nyata (Mansur Muslich, 2011:87).
Dari beberapa pendapat yang mengemukakan tentang pendidikan karakter, dapat
diketahui bahwa karakter tidak hanya fokus pada pengajaran perilaku yang benar
dan salah, akan tetapi juga fokus pada penanaman kebiasaan, dan tujuan-tujuan
etika.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang
menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada peserta didik,
sehingga mereka dapat menerapkan dan mempraktikkan dalam kehidupannya.

2.2.2 Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter memiliki tujuan yang sangat penting untuk menopang


pembangunan karakter bangsa Indonesia pada umumnya dan keberhasilan
pendidikan di sekolah pada khususnya (Marzuki, 2015:43).
Socrates berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk
membuat seseorang menjadi good and smart.Dalam sejarah Islam, Rasulullah
Muhammad Saw, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik
manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good
character).Rumusan tujuan utama pendidikan tetap pada wilayah serupa, yakni
pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat yang
mendunia seperti Klipatrid Lickona, Brooks dan Goble seakan menggemakan
kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad Saw. Bahwa moral
akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia
pendidikan.Begitu juga dengan Marthin Luther King menyetujui pemikiran
tersebut dengan mengatakan, “Intelligence plus character that is the true aim of
education”.Kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar dari pendidikan
(Abdul Majid, 2011:30).

Jadi menurut Socrates tujuan pendidikan karakter adalah membuat


seseorang memiliki karakter yang baik, dan cerdas dalam berkarakter. Bukan
hanya memiliki karakter yang baik saja, akan tetapi cerdas menerapkan karakter
baik tersebut dalam setiap melakukan perbuatan.
Sedangkan menurut Doni Koesuma (2010: 130), menyatakan bahwa
tujuan pendidikan karakter yaitu:
1) Untuk memahami dan menghayati nilai-nilai yang relevan bagi pertumbuhan
dan penghargaan harkat dan martabat manusia yang tercermin dalam usaha
dirinya untuk menjadi menusia yang sempurna.

2) Sebagai pembentuk pedoman perilaku, mengajarkan keteladanan bagi santri,


dan menciptakan lingkungan kondusif dalam proses pertumbuhan berupa
kenyamanan dan keamanan.

3) Untuk kepentingan pertumbuhan individu secara integral, pendidikan


seharusnya memiliki tujuan jangka panjang yang mendasarkan diri pada
tanggapan kontekstual individu atau implus natural sosial yang diterimanya,
sehingga dapat mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses
pembentukan jati diri terus-menerus.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan karakter menurut Doni


Koesuma yaitu memahami dan menghayati nilai-nilai karakter yang ada,
kemudian dari nilai-nilai karakter yang sudah dipahami dan dihayati tersebut
dijadikan sebagai pedoman setiap melakukan perbuatan agar menjadi kebiasaan.
Pendidikan karakter juga bertujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan
hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai
dengan standar kompetensi kelulusan (Jamal Ma‟mur, 2012: 43).
Jamal Ma‟mur menjelaskan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah penanaman
nilai dalam diri peserta didik dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih
menghargai kebebasan individu.

Sementara itu, E. Mulyasa mengungkapkan bahwa pendidikan karakter


bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah
pada pembentukan karakter peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang
sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan.

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pendidikan


karakter adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan potensi kebaikan
dalam diri setiap peserta didik baik dalam masa sekolah atau pasca lulus sekolah
sehingga terwujud dalam perilaku dan kebiasaan guna menjadi warga Negara
yang baik dan manusia yang berakhlak mulia, serta membentuk peserta didik yang
memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, memotivasi dan
membiasakan peserta didik mewujudkan berbagai pengetahuan tentang kebaikan
dan kecintaannya akan kebaikan ke dalam berbagai perilaku positif di lingkungan
sekolah dan lingkungan keluarga.

2.2.3 Dampak Pendidikan Karakter

Akhir-akhir ini pendidikan karakter menjadi isue yang hangat dibicarakan.


Apa sih dampak dari pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik?
Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Sebagai hasil
penelitian Dr Mavin Berkowitz dan University Of Missouri dalam bulletin
Character Educator, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah yang
meraih prestasi akademik pada sekolah yang menerapkan pendidikan karakter,
kela-kelas yang secara komprehensip terlibat dalam pendidikan karakter
menunjukkan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat
menghambat keberhasilan akademik.

Dengan pendidikan karakter seorang anak akan menjadi cerdas


emosinya.Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak
menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil
dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.menurut Joseph Zins, et .al.2001) mengkompilasikan berbagai
hasil penelitian tentang pengaruh positip kecerdasan emosi anak terhadap
keberhasilan di sekolah. Dikatakan ada sederet faktor – faktor resiko yang
disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter,
yaitu, percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan
berkonsentrasi, rasa empati dan kemampuan berkomunikasi. Demikian pula
pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang dimasyarakat ternyata
80 % dipengaruhi oleh kecerdasan emosi anak, dan hanya 20 % ditentukan oleh
kecerdasan otak (IQ). Anak- anak yang bermasalah dalam kecerdasan emosinya
akan mengalami kesulitan belajar, bergaul tidak dapat mengontrol emosinya
Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra sekolah. Dan
kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja
yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosinya tinggi akan terhindar dari
masala-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran
narkoba, mitras, perilaku seks bebas dan sebagainya.
2.2.4 Membangun Karakter Anak Usia Dini

Kunci sukses keberhasilan suatu Negara sangat ditentukan oleh sejauh


mana masyarakat mempunyai karakter yang kondusif untuk maju yang disebut
“modal social“ (social capital). Jadi, bukan ditentukan oleh banyaknya sumber
daya alam atau banyaknya jumlah penduduk dan luas geoografisnya. Karakter
yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan
masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang, penanaman moral melalui
pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama
membangun bangsa.

Banyak hal yang harus dilakukan untuk membangun karakter anak usia
dini yang diharapkan dapat mengubah perilaku negatif ke positif. Pertama kurangi
jumlah mata pelajaran berbasis kognitif dalam kurikulum-kurikulum pendidikan
anak usia dini. Pendidikan intelektual (kognitif) yang berlebihan akan memicu
pada ketidak seimbangan aspek-asepk perkembangannya.

Kedua, setelah dikurangi beberapa pelajaran kognitif, tambahkan materi


pendidikan karakter. Materi pendidikan karakter tidak identik dengan
mengasahkan kemampuan kognitif, tetapi pendidikan ini adalah mengarahkan
pengasahan kemampuan afektif. Metode pembelajaran karakter ini dilakukan
dengan cerita-cerita keteladan seperti kisah-kisah keteladan Nabi-nabi,
sahabatsahabat nabi, pahlawan-pahlawan Islam, dunia, nasional ataupun lokal.
Cara lain yang dianggap baik dilakukan adalah dengan contextual learning, yaitu
dalam setiap pembelajaran anak-anak diberikan contoh kegiatan yang baik dengan
langsung diperlihatkan dalam tindakan-tindakan seluruh pendidik dalam suatu
lembaga pendidikan.

Membangun karakter, merupakan proses yang berlangsung seumur hidup.


Anak-anak, akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada
lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang
dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Oleh karenanya ada tiga pihak yang
mempunyai peran penting yaitu, keluarga, sekolah, dan komunitas. (Megawangi,
2003:23).

Pembentukan karakter ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi.


Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus
diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Kedua, mempunyai
kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini
merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau
mencuri, karena tahu mencuri itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena
mencintai kebajikan.

Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya.


Lewat proses sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan pada anak. Ia
memulainya dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab,
kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasih sayang,
kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang
menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta
damai, dan persatuan.

Tujuan mengembangkan karakter adalah mendorong lahirnya anak-anak


yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-anak akan tumbuh
dengan kapasitas dan komitmenya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan
melakukannya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup sehingga
tercipta karakter manusia yang kondusif untuk maju yang disebut “modal sosial“
(social capital) yang akan menjadi modal menuju keberhasilan suatu negara.

2.2.5 Peran Guru dan Orang Tua Dalam Pendidikan Karakter Anak Usia
Dini
Karakter terbentuk sebagai hasil pemahaman dari hubungan dengan diri
sendiri, dengan lingkungan (hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan
dengan Tuhan YME (triangle relationship). Namun, pengembangan karakter anak
yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan terutama dari orangtua. Dalam
pengembangan karakter anak, peranan orangtua dan guru sangatlah penting,
terutama pada waktu anak usia dini.

Banyak hal yang harus dilakukan oleh guru dan orang tua untuk
mengambangkan karakter anak usia dini, berikut beberapa upaya yang dapat
dilakukan oleh guru dan orangtua dalam membangun karakter anak usia dini:

1. Memperlakukan anak sesuai dengan karakteristik anak.


2. Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini
3. Memenuhi kebutuhan dasar anak antara lain kebutuhan kasih sayang,
pemberian makanan yang bergizi.
4. Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar
5. Pola pendidikan guru dengan orangtua yang dilaksanakan baik dirumah dan di
sekolah saling berkaitan.
6. Berikan dukungan dan penghargaan ketika anak menampilkan tingkah laku
yang terpuji.
7. Berikan fasilitas lingkungan yang sesuai dengan usia perkembangannya.
8. Bersikap tegas, konsisten dan bertanggung jawab.

Selain itu, guru harus membuat aktivitas yang dapat membantu


ketercapaian tujuan pembentukan karakter yang baik yang dapat dilakukan
melalui kegiatan yang bernilai dan mengarah pada terangkatnya rasa keber-
Tuhanan, penghargaan, cinta, tanggung-jawab, kedisiplinan, kemandirian,
kejujuran, kerendah-hatian, kepedulian, kebahagiaan, kerjasama, percaya diri,
kreatif, kerja keras, toleransi, kebebasan, kedamaian, dan rasa persatuan.
Bagaimana menciptakan aktivitas yang menyenangkan dalam penanaman
nilai kepada anak usia dini? Beberapa yang dapat dilakukan yaitu:

1. Meningkatkan wawasan dan pentingnya mendidik anak dengan metode yang


menyenangkan.
2. Memperdalam wawasan tentang pentingnya pendidikan nilai dan
menerapkannya dalam proses yang menyenangkan.
3. Meningkatkan skill dan kreativitas guru anak usia dini, dengan aktivitas
menggali ide, memilih bahan, merancang, mencipta dan memanfaatkan media
pembelajaran anak berbasis nilai (karakter).
4. Mengeksplorasi potensi yang dimiliki guru pendidikan anak usia dini dalam
menyediakan dan memanfaatkan sumber belajar bagi anak usia dini.
5. Meningkatkan profesionalisme guru anak usia dini dengan membekali
ketrampilan mengelola proses pembelajaran yang menyenangkan.

2.2.6 Strategi Pendidikan Karakter

Penerapan pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai strategi


pengintegrasian. Strategi yang dapat dilakukan adalah pengintegrasian dalam
kegiatan sehari-hari dengan memberikan keteladanan atau contoh, kegiatan
spontan, teguran, pengkondisian lingkungan, kegiatan rutin dan pengintegrasian
dalam kegiatan yang diprogramkan dengan membuat perencanaan atas nilai-nilai
yang akan diintegrasikan dalam kegiatan tertentu (Masnur Muslich, 2011: 175-
176).
Dapat disimpulkan bahwa strategi pendidikan karakter menurut Masnur
Muslich merupakan penggabungan antara perencanaan dengan program yang
telah dibuat berdasarkan nilai-nilai karakter yang kemudian dilakukan setiap hari
melalui kegiatan secara langsung.

Agar pendidikan karakter pada anak berhasil, maka pendidik maupun


orang tua harus memilih strategi yang tepat pula (Agus Wibowo, 2012:85).
Menurut Edi Waluyo (2007), pendidikan karakter terhadap anak
hendaknya menjadikan mereka terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ketika
seorang anak tidak melakukan kebiasaan baik itu, yang bersangkutan akan merasa
bersalah. Dengan demikian kebiasaan baik sudah menjadi semacam instink yang
secara otomatis akan membuat seorang anak merasa kurang nyaman bila tidak
melakukan kebiasaan baik itu. Adapun strategi implementasi pendidikan karakter
yang ditawarkan oleh Edi Waluyo diantaranya:
1) Ciptakan suasana penuh dengan kasih sayang, mau menerima anak
sebagaimana adanya, dan menghargai potensi yang dimilikinya. Selain itu juga
harus memberikan rangsangan-rangsangan yang kaya untuk segala aspek
perkembangan anak, baik secara kognitif, afektif, sosialemosional, moral, agama,
dan psikomotorik.

2) Berikan pengertian betapa pentingnya “cinta” dalam melakukan Sesutu, dan


tanamkan pula bahwa melakuan sesuatu itu tidak semata-mata karena prinsip
timbal balik. Tekankan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi cinta dan
pengorbanan.

3) Ajak anak merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bantu anak berbuat
sesuatu dengan harapan-harapan kita, tidak semata karena ingin dapat pujian atau
menghindari hukuman. Ciptakan hubungan dengan mesra agar anak peduli terhadap
keinginan dan harapan-harapan kita.

4) Ingatkan pentingnya rasa sayang antar anggota keluarga, yakni terhadap


sesame. Berikan contoh perilaku dalam hal menolong dan peduli kepada orang
lain.

5) Gunakan metode pembiasaan. Misalnya kita mengajak anak untuk melakukan


kegiatan sehari-hari sesuai dengan yang telah kita programkan. Diharapkan
kegiatan yang sudah terprogram itu akan melekat pada diri anak, bahkan menjadi
kebiasaan mereka sehari-hari. Misalnya menolong teman yang kesusahan,
menjenguk orang sakit, membuang sampan pada tempatnya, dan sebagainya.

6) Membangun karakter anak hendaknya menjadikan mereka terbiasa untuk


berperilaku baik.

7) Kurangi jumlah mata pelajaran berbasis kognitif dalam kurikulum-kurikulum


pendidikan anak usia dini. Sebab pendidikan kognitif yang berlebihan justru akan
memicu pada ketidakseimbangan bahkan bisa menghampat perkembangan anak.

8) Setelah dikurangi beberapa pembelajaran kognitif, lantas tambahkan materi


pendidikan karakter.
Jadi menurut Edi Waluyo strategi pendidikan karakter dapat
diimplementasi melalui beberapa cara, yaitu dengan membuat suasana penuh rasa
sayang dan cinta kepada peserta didik, mengajarkan pembiasaan baik dalam
kehidupan sehari-hari, serta mengurangi pembelajaran kognitif yang kemudian
mengajarkan tentang pendidikan karakter. Karena pada dasarnya pendidikan
karakter lebih dikedepankan supaya peserta didik memiliki perilaku baik dalam
melakukan suatu perbuatan.

Pendidikan karakter diimplementasikan dengan menginternalisasikan


nilai-nilai karakter melalui kegiatan pembelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan
kegiatan pembiasaan.Adapun tujuh strategi yang dapat dilakukan dalam
implementasi pendidikan karakter melalui kegiatan pembalajaran yaitu
(Muhammad Najib dkk, 2016:90-92):
1) Tujuan, sasaran dan target yang akan dicapai harus jelas dan konkret.

2) Pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien jika dikerjakan tidak hanya
untuk sekolah, melainkan harus ada kerjasama antara sekolah dengan orang tua
peserta didik.
3) Menyadarkan pada semua guru akan peran penting dan tanggungjawab dalam
keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter peserta
didik.

4) Kesadaran guru akan perlunya hidden curriculum dan merupakan instrument


yang amat penting dalam mengembangkan karakter peserta didik.

5) Dalam melaksanakan pembelajaran, guru harus menekankan pada daya kritis


dan kreatif peserta didik, kemampuan kerjasama dan ketrampilan mengambil
keputusan.

6) Kultur sekolah harus dimanfaatkan dalam pengembangan karakter peserta


didik.

7) Orang tua peserta didik juga memonitor dan mengontrol perilaku sehari-hari
peserta didik di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Sementara itu, strategi implementasi pendidikan karakter melalui kegiatan


pembiasaan dilakukan dengan melakukan upaya berikut ini:
1) Pembiasaan rutin

2) Pembiasaan spontan

3) Pembiasaan keteladanan

4) Pengkondisian

Dapat disimpulkan bahwa strategi pendidikan karakter menurut


Muhammad Najib dkk bisa diimplementasikan melalui kegiatan belajar mengajar,
baik dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas seperti
kegiatan ekstrakulikuler.Kegiatan tersebut dilakukan melalui kegiatan pembiasaan
kepada peserta didik.
Jika perkembangan intelektual dan perkembangan moral adalah dua tujuan
pendidikan karakter, berikut ini strategi praktis yang dapat mencapai kedua tujuan
pendidikan karakter, diantaranya yaitu( Thomas Lickona, 2012:151-170):
1) Sebutkan kebajikan yang dibutuhkan untuk menjadi siswa yang baik. Berikut
adalah kebijakan karakter yang dipercaya dalam
program akademik yang kuat dan mengajarkan bahwa dia menantang siswa untuk
bekerja pada:

a. Tanggung jawab terhadap pekerjaannya

b. Ketelitian

c. Organisasi dan kerapian

d. Ketepatan waktu

e. Control diri dan kemauan

f. Kejujuran

g. Bekerja dengan tenang untuk menghormati orang lain

h. Manajemen waktu

i. Penuh persiapan

j. Konsentrasi dan ketekunan

k. Bersabar untuk sesuatu

Salls mengatakan bahwa, “ruang kelas adalah tempat untuk belajar dan
mempraktekkan semua kebiasaan”.

2) Ajarkan pentingnya tujuan


Mose Durst berpendapat bahwa pendidikan harus bertanya pada diri
sendiri dan melibatkan para siswa dalam meminta pertanyaan tentang „hal-hal
pertama.” Misalnya, untuk apa kita berbuat baik?

3) Mengelola ruang kelas supaya karakter menjadi penting

Guru bijak dalam membangun karakter melalui bidang akademik dengan


cara mengelola kelas mereka yang mendorong tanggung jawab intelektual dan
etika. Sebagai contoh menggunakan “janji pada saat melakukan permainan” untuk
mengajarkan etika dalam belajar.

4) Mengajarkan persoalan kebenaran

Intelektual penting itu adalah mengejar kebenaran yang menyatakan


bahwa kebajikan termasuk sekelompok pendukung kebajikan
intelektual.Keterbukaan untuk mempertimbangkan semua sis dari sebuah isu
dalam mencari seluruh kebenaran, sebuah penghormatan terhadap bukti bahkan
ketika bertentangan dengan prasangka kita, kesediaan untuk mengakui kesalahan,
keinginan untuk terus belajar, dan kerendahan hati dalam menghadapi semua yang
tidak diketahui.

Dalam pendidikan karakter menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri


setiap siswa ada tiga tahapan strategi yang harus dilakukan diantaranya (Abdul
Majid, 2011:112-113):

1) Moral Knowing/Learning to know


Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan
karakter.Dalam tahapan ini tujuan diorientasikan ada penguasa pengetahuan
tentang nilai-nilai.Siswa harus mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan
tercela serta nilai-nilai universal, memahami secara logis dan rasional pentingnya
akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan, mengenal sosok Nabi
Muhammad SAW sebagai figure teladan akhlak mulia melalui hadits-hadits dan
sunahnya.

2) Moral Loving/Moral Feeling


Belajar mencintai dan melayani orang lain. Belajar mencintai tanpa
syarat.Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh
terhadap nilai-nilai akhlak mulia.Dalam tahapan ini yang menjadi sasaran guru
adalah dimensi emosional siswa, hati atau jiwa, bukan lagi akal, rasio dan logika.
Guru menyentuh emosi siswa sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, dan
kebutuhan sehingga siswa mampu berkata pada dirinya sendiri, “Iya saya harus
seperti itu…” untuk mencapai tahapan ini guru bisa memasukinya dengan kisah-
kisah yang menyentuh hati. Melalui tahapan ini siswa diharapkan mampu menilai
dirinya sendiri, semakin tahu kekurangan-kekurangannya.

3) Moral Doing/learnig to do
Inilah puncak keberasilan mata pelajaran akhlak, siswa mempraktikkan
nilai-nilai akhlak mulia dalam perilakunya sehari-hari.Siswa menjadi semakin
sopan, ramah, hormat, penyayang, jujur, disiplin, cinta, kasih dan sayang, adil
serta murah hati dan seterusnya.Selama perubahan akhlak ini belum terlihat dalam
perilaku anak walaupun sedikit, selama itu pula kita memiliki setumpuk
pertanyaan yang harus selalu dicari jawabannya.Contoh atau teladan adalah guru
yang paling baik menanamkan nilai. Siapa kita dan apa yang kita berikan.
Tindakan selanjutnya adalah pembiasaan dan pemotivasian.

Uraian diatas menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya seorang guru


harus mempunyai tiga kompetensi.Pertama, kompetensi pengetahuan, kedua
kompetensi sikap atau nilai, dan ketiga kompetensi ketrampilan atau tindakan.
Dapat disimpulkan bahwa strategi pendidikan karakter dapat diimplementasikan
ketika proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas. Strategi
pendidikan karakter dibentuk berdasarkan perencanaan dan program yang
sudah dibuat berdasarkan nilai-nilai karakter yang kemudian dilaksanakan dalam
kegiatan sehari-hari secara langsung.

2.2.7 Metode Pendidikan Karakter

Membangun karakter anak menjadi tanggungjawab bagi keluarga dan juga


pihak sekolah.Semua itu tentu harus bermula dari semangat, visi, dan keteladanan
yang dimunculkan dalam diri anak-anak. Semua harus bergerak bersama dalam
sebuah irama yang sama untuk membina karakter anak. Menurut Marzuki (2015:
112-124), ada beberapa metode dalam pembinaan karakter, diantaranya:
1) Metode praktik dan tidak praktik
Metode langsung berarti penyampaian pendidikan karakter (pendidikan
akhlak) dilakukan secara praktik dengan memberikan materi-materi akhlak mulia
dari sumbernya.Sementara itu, metode tidak praktik maksudnya adalah
penanaman karakter mulia dengan harapan dapat diambil hikmahnya oleh siswa.

2) Melalui mata pelajaran tersendiri dan terintegrasi ke dalam semua mata


pelajaran.
Melalui mata pelajaran tersendiri, seperti pendidikan Agama. Sementara
itu, terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran artinya melalui semua mata
pelajaran yang ada nilai-nilai karakter mulia dapat diintegrasikan dalam materi
pelajaran atau melalui proses pembelajaran yang berlaku.

3) Melalui kegiatan-kegiatan di luar mata pelajaran, yaitu melalui pembiasaan-


pembiasaan atau pengembangan diri.
Maksudnya adalah pembinaan karakter siswa melalui semua kegiatan di
luar pembelajaran yang biasa disebut kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang
terbentuk pembiasaan-pembiasaan nilai-nilai akhlak mulia yang ada di dalamnya,
seperti melalui kegiatan IMTAQ, tadarus Al-Qur‟an, dan lain sebagainya.

4) Melalui metode keteladanan (uswatun hasanah).


Metode yang sangat efektif untuk pembinaan karakter siswa di sekolah
adalah keteladanan.Keteladanan di sekolah diperankan oleh kepala sekolah, guru,
dan karyawan sekolah.Keteladanan dirumah diperankan oleh orang tua.Sementara
itu, keteladanan di masyarakat diperankan oleh para pemimin masyarakat dari
yang paling rendah hingga yang paling tinggi.

5) Metode nasihat-nasihat dan memberi perhatian


Para guru dan orang tua harus selalu memberi nasihat-nasihat dan
perhatian khusus kepada para siswa atau anak mereka dalam rangka pembinaan
karakter.cara ini juga membantu dalam memotivasi siswa untuk memiliki
komitmen dengan aturan-aturan atau nilai-nilai akhlak mulia yang harus
diterapkan.

6) Metode reward dan punishment


Metode reward adalah pemberian hadiah sebagai perangsang kepada siswa
atau anak agar termotivasi berbuat baik atau berakhlak mulia., sedangkan metode
punishment adalah pemberian sanksi sebagai efek jera bagi siswa atau anak agar
tidak berani berbuat jahat (berakhlak buruk) atau melanggar peraturan yang
berlaku.

Jika metode-metode diatas dapat diterapkan secara bersamaan di sekolah


dan didukung oleh pihak-pihak yang terkait, akan memberikan hasil yang optimal
dalam pembinaan karakter siswa. Semua metode ini memiliki kelebihan dan
kekurangan jika hanya diterapkan sendiri-sendiri. Namun, jika bisa diterapkan
secara bersamaan, akan dapat saling mengisi kekurangan satu sama lain.
Dalam bukunya Masnur Muslich (2011) menyatakan bahwa metode
pembinaan karakter tersebut antara lain yaitu:
1) Keteladanan atau contoh
Kegiatan pemberian contoh atau teladan ini bisa dilakukan oleh pengawas
sekolah, kepala sekolah, staf administrasi sekolah yang dapat dijadikan model
bagi peserta didik.

2) Kegiatan spontan
Kegiatan spontan adalah kegiatan yang dilaksanakan secara spontan saat
itu juga.Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat guru mengatahui sikap atau
tingkah laku peserta didik yang kurang baik, seperti meminta sesuatu dengan
berteriak, mencoret dinding.

3) Teguran
Guru perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan
menginggatkannya agar mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga guru dapat
membantu mengubah tingkah laku mereka.

4) Pengkondisian lingkungan
Suasana sekolah dikondisikan sedemikian rupa dengan penyediaan sarana
fisik. Contohnya, penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan
mengenai budi pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik, tata tertib sekolah.

5) Kegiatan rutin
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara
terus-menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah berbaris
masuk kelas, berdoa sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila
bertemu dengan orang lain, membersihkan kelas.

Dari beberapa metode diatas dapat disimpulkan bahwa, metode-metode


tersebut dapat digunakan sebagai cara mengajarkan pendidikan karakter bagi anak
usia dini dengan memilih salah satu atau beberapa metode. Akan tetapi lebih baik
jika semua metode dapat dijalankan secara bersamaan untuk mencapai suatu
tujuan mengajarkan pendidikan karakter untuk anak usia dini.

2.2.8 Dasar-dasar Pendidikan Karakter

Karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar. Karakter


merupakan mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Orang-
orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual mampu sosial ialah
mereka yang memiliki akhlaq, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat itu
semua sangat penting diawali dari dunia pendidikan, mulai dari Sekolh Dasar
(SD) dimana pendidikan dasar dimulai, bahkan dari usia dini (Makna dan urgensi
pendidikan karakter, http://edukasi.kompasiana.com/2013/02/05).

Mencetak anak yang berprestasi secara nalar memang tidak mudah, tetapi
mencetak anak bermoral lebih sulit dilakukan, apalagi dengan perkembangan
teknologi canggih yang semakin cepat dan pesat yang tentunya berdampak
terhadap perkembangan anak.

Pendidikan karakter telah menjadi banyak prihatin banyak pihak.


Pemerintah misalnya, pemerintah telah mengagendakan pentingnya pendidikan
karakter diterapkan di sekolah-sekolah dan telah menjadi kebijakan Nasional yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hampir semua sepakat bahwa
krisis moral yang melanda generasi bangsa ini diakibatkan telah melamahnya
nilai-nilai moral bangsa dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diduga kurangnya
pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan formal dewasa ini lebih dominan
mengembangkan aspek kognitif saa dari pada karakter.
Karakter tidak berfungsi dalam ruang hampa, tetapi berfungsi dalam ruang
lingkungan sosial. sebuah lingkungan seringkali menindas kepedulian moral.
Terkadang menciptakan keadaan yang membuat banyak orang merasa bodoh jika
melakukan hal-hal moral (Thomas Lickona, 2013:88).

Pendidikan karakter sangatlah penting karena karakter akan menunjukkan


siapa kita sebenarnya, karakter akan menentukan bagaimana seseorang membuat
keputusan, menentukan sikap, perkataan dan perbuatan seseorang. Berdasarkan
dari beberapa sumber mengenai pentingnya pendidikan karakter diatas, sejatinya
memberikan motivasi serta pencerahan bagi pemerintah, para pendidik, insan
akademik serta stakeholder pendidikan pada umumnya untuk segera sadar dan
bangkit berupaya mencari solusi agar pendidikan karakter dapat
diimplementasikan di sekolah dan juga rumah (Amirullah Syarbini, 2012:21).

Saatnya kita berupaya membangun karakter secara sungguh-sungguh. Pendidikan


harus kita fungsikan sebagaimana mestinya, sebagai sarana terbaik untuk memicu
kebangkitan dan menggerakkan zaman. Sekolah diseluruh penjuru negeri mesti
bersama-sama menjadikan dirinya sekolah karakter sebagi tempat terbaik untuk
menumbuh-kembangkan karakter.

Dorothy Law Nolte pernah menyatakan bahwa anak belajar dari


kehidupan lingkungannya. Lengkapnya adalah:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyeasali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar
menemukan cinta dalam kehidupan

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya dimulai di usia kanak – kanak


atau yang biasa disebut oleh para ahli Psikologi sebagai usia emas (Golden Age),
karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam
mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabiitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20 % sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa merupakan lingkungan pertama bagi
pertumbuhan karakter anak.

Selain itu, Saat usia dini, lebih mudah membentuk karakter anak. Sebab, ia
lebih cepat menyerap perilaku dari lingkungan sekitarnya. Pada usia ini,
perkembangan mental berlangsung sangat cepat. Oleh karena itu, lingkungan yang
baik akan membentuk karakter yang positif. Pengalaman anak pada tahun pertama
kehidupannya sangat menentukan apakah ia akan mampu menghadapi tantangan
dalam kehidupannya dan apakah ia akan menunjukkan semangat tinggi untuk
belajar dan berhasil dalam pekerjaannya.
2.3 Penelitian terdahulu

No Nama peneliti Judul Hasil penelitian


1. Tini Rustini Pendidikan Karakter Hasil penelitian
Anak Usia Dini menunjukkan anak dengan
pendidikan karakter dapat
terhindar dari masalah –
masalah yang tidak
diharapkan dan motivasi
belajarnya ada
peningkatan.
2. Endang ANALISIS MODEL-
Mulyatiningsih MODEL PENDIDIKAN Hasil analisis
KARAKTER UNTUK menunjukkan model
USIA ANAK-ANAK, pendidikan untuk
REMAJA DAN DEWASA pembentukan karakter
pada usia anak-anak
antara lain dilakukan
melalui kegiatan
bercerita, bermain peran,
dan kantin kejujuran.
3. Thoyyibah IMPLEMENTASI Dari hasil penelitian di
PENDIDIKAN TK Pertiwi II Gagaksipat
KARAKTER ANAK dapat diketahui bahwa
USIA DINI DI TK kegiatan keteladanan
PERTIWI II merupakan salah satu
GAGAKSIPAT kegiatan yang diterapkan
NGEMPLAK dalam pendidikan
BOYOLALI karakter. Keteladanan
TAHUN AJARAN yang diterapkan oleh
2016/2017 pendidik diantaranya
yaitu, pendidik berdoa
bersama dengan peserta
didik,
pendidikmengajarkan
sikap doa yang baik,
pendidik mengatakan
maaf, terimakasih,
permisi, minta tolong,
pendidik melakukan
senam bersama, dan lain
sebagainya.
4. Stephen Sivo, Structural Analysis The results suggest that
Shannon Karl, of Character while students
Jesse Fox, & Education: A at a school in Kenya rated
Gordon Taub CrossCultural their school higher on the
Edward Robinson Investigation four scales, overall the
latent scores
for students within school
districts in the United
States appear higher.
Thus, with respect
to the underlying
construct of character,
this character education
measure evidences
some multicultural bias at
the level of the latent
scores. Based on these
results, it is
concluded that the
character education
measure does not
completely yield
generalizable
results across cultures.

5. PHI DELTA KAPPAN How Not to Teach Research has found that
Values A Critical the attitudes students take
Look at Character toward learning are
Education heavily influenced
by whether they have
been led to attribute their
success (or failure) to
innate ability, to effort, or
to other factors - and that
traditional classroom
practices such as grading
and competition lead
them to explain the
results in terms of ability
(or its absence) and to
minimize effort whenever
possible
kenyataan :
terdapat beberapa
2.3 Paradigma penelitian hambatan dalam
melakukannya. Karena
banyak factor yang
mempengatuhi tumbuh
Harapan : kembang anak.
Kebanyakan orangtua 1. faktor internal
mengharapkan anaknya
2. faktor eksternal
tumbuh kembang dengan
baik

Melakukan apa :
Melakukan apa :
Menyekolahkan & member
Dari mulai mengajarkan
pendidikan anaknya
anak semua hal yang baik
ditempat yang terbaik
pada usia dini(golden age),
terutama di bekali
pendidikan karakter

Pada akhirnya :
anak akan menjadi seorang
Pada akhirnya : yang baik akal dan budinya
dengan arahan dan karena mendapatkan
bimbingan orang tua yang pendidikan karakter yang
baik, maka anak akan lebih spesifik disekolahnya
tumbuh dan berkembang
sesuai apa yang di
harapkan orangtua

Rangkuman :
dari seusia dini mungkin
anak harus sudah
mendapatkan arahan
danpembekalan pendidikan
karakter dari orangtuanya,
agar dapat berkembang
baik fisik motorik dan
perkembangan kognitif
dengan baik.
BAB III

Metode penelitian

3.1 Jenis atau Desain Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk penelitian lapangan (field research), artinya


penelitian ini didasarkan atas data-data yang dikumpulkan dari lapangan secara
langsung.Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif
fenomenologi.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang sistematis yang


digunakan untuk mengkaji suatu objek pada latar alamiah tanpa ada manipulasi di
dalamnya dan tanpa ada pengujian hipotesis, dengan metode-metode alamiah
ketika hasil penelitian diharapkan bukanlah generalisasi berdasarkan ukuran-
ukuran kuantitas, namun makna (segi kualitas) dari fenomena yang diamati (Andi
Prastowo, 2014:24).

Sedangkan menurut Afifuddin (2012:88) fenomenologi dalam penelitian


ini adalah pengalaman manusia melalui deskripsi dari orang ang menjadi
partisipan penelitian, sehingga peneliti dapat memahami pengalaman hidup
partisipan. Pendekatan ini lebih menikmati keadaan gejala sebagaimana apa
adanya, membiarkan objek sebagai subjek, dan peneliti tidak terlalu dalam
menafsirkan apa yang ada karena cara tersebut dipandang mempertinggi
subjektivitas penelitian.

Tujuan pemilihan fenomenologi ialah untuk mengamati dan memahami


perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam situasi tertentu, dalam hal ini
yaitu mengenai penerapan pendidikan karakter untuk anak usia dini.

Pada dasarnya metode kualitatif memiliki beberapa ciri yang sangat jelas,
yaitu antara lain:
1. Desain penelitian bersifat lentur dan terbuka
2. Data penelitian diambil dari latar alami (natural setting)
3. Data yang dikumpulkan berupa data deskriptif dan reflektif
4. Lebih meningkatkan proses dari pada hasil
5. Sangat mementingkan makna.
6. Sampling dilakukan secara internal yang didasarkan pada subyek yang
memiliki informasi yang paling representative.
7. Analisis data dilakukan pada saat dan setelah pengumpulan data.

Kesimpulan dari penelitian kualitatif dikonfirmasikan dengan informasi.


Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus yaitu merupakan
pengujian secara rinci terhadap, suatu latar, satu subyek, satu tempat
penyimpanan, atau satu peristiwa tertentu. Dalam penelitian ini studi kasus dititik
beratkan Pendidikan Karakter Terhadap Anak Usia Dini

3.2 Konsep Penelitian

Konsep yang di gunakan dalam penelitian ini adalah :

1.Konsep Pendidikan karakter : Konsep pendidikan karakter dapat dilihat


pada contoh karakter mulia yang berarti memiliki pengetahuan tentang
potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai nilai, seperti reflektif, percaya
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif, dan inovatif, mandiri, hidup
sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu,sabar, berhati-hati, rela berkorban,
pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu
berbuat salah, perhati lembut , pemaap, setia, bekerja keras, tekun, ulet,
gigih, teliti, berpikir positip, disiplin, ansisipatif, inisiatif, visioner,
bersahaja, betrsemangat, dinamis, hemat efisisien, menghargai waktu,
pengabdian, pengendalian diri, produktif, ramah ,estetis, sportif, tabah,
terbuka tertib.
2. Konsep Anak Usia Dini : Ditinjau dari segi usia, anak usia dini adalah
anak yang berada dalam rentang usia 0-8 tahun (Morrison, 1989). Standar
usia ini adalah acuan yang digunakan oleh NAEYC (National Assosiation
Education for Young Child).
Menurut definisi ini anak usia dini merupakan kelompok yang sedang
berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa anak usia dini adalah individu unik yang memiliki
pola pertumbuhan dan perkembangan dalam aspek fisik, kognitif, sosio-
emosional, kreativitas, bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan
tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut. Anak usia dini terbagi
menjadi 4 (empat) tahapan yaitu masa bayi dari usia lahir sampai 12 (dua
belas) bulan, masa kanakkanak/ batita dari usia 1 sampai 3 tahun, masa
prasekolah dari usia 3 sampai 5 tahun dan masa sekolah dasar dari usia 6
sampai 8 tahun. Pada setiap tahapan usia yang dilaluinya anak akan
menunjukkan karakteristiknya masing-masing yang berbeda antara tahap
yang satu dengan tahap yang lainnya. Oleh karenanya, proses pendidikan
sebagai bentuk perlakuan yang diberikan pada anak usia dini haruslah
memperhatikan karakteristik yang dimiliki setiap tahapan perkembangan.

3.3 Subjek dan Informan Penelitian

3.3.1. Subyek Penelitian

Menurut Sugiyono (2015) obyek penelitian merupakan suatu atribut atau


penilaian orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang telah
ditentukan oleh peneliti untuk kemudian dipelajari dan ditarik kesimpulan.
Menurut Sekaran (2006) subyek didefinisikan sebagai satu dari anggota dalam
sampel sebagaimana elemen adalah anggota dari populasi.
Subyek penelitian adalah pelaku utama.Dalam hal ini pelaku utama adalah
guru-guru Yayasan Pendidikan Islam TK RA. AL-FALAH Tahun Ajaran
2017/2018.

3.3.2 Informan

Informan adalah sumber yang dapat memberikan data tambahan.Informan


dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, staf karyawan, dan wali murid
Yayasan Pendidikan IslamTK RA. AL-FALAH Tahun Ajaran 2017/2018.

3.4 Definisi konseptual, definisi operasional dan pedoman observasi dan


wawancara atau focus group disscussion

3.4.1 Definisi Konseptual

Hilda Ainissyifa (2014: 3) pendidikan karakter harus ditanamkan sejak


anak masih kecil dan melalui proses yang disesuaikan dalam tahapan
perkembangan anak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembentukan karakter
anak dibutuhkan kesabaran dan ketekunan para pendidiknya yang harus didukung
dengan keseimbangan antara pendidikan orang tua di rumah dengan pendidikan di
sekolah.

3.4.2 Definisi Operasional

Berdarakan pendapat para ahli, peneliti mengemukakan bahwa pendidikan


karakter adalah adalah pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan
karakter-karakter luhur kepada peserta didik, sehingga mereka dapat menerapkan
dan mempraktikkan dalam kehidupannya.

3.4.3 Pedoman Observasi Dan Wawancara

3.4.3.1 Observasi

Sutrisno Hadi (1987:136) menerangkan bahwa observasi merupakan


pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap suatu gejala yang tampak
pada objek penelitian.Dengan demikian, pengamat betul-betul menyelami
kehidupan objek pengamatan, bahkan tidak jarang pengamat kemudian
mengambil bagian dalam kehidupan budaya mereka (bungin dalam Prastowo,
2010:40-41). Teknik observasi ini digunakan untuk mengetahui gambaran
lengkap dan kegiatan yang dilaksanakan dalam penerapan pendidikan karakter
untuk anak usia dini.

3.4.3.2 Wawancara

Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan


sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau responden. Caranya adalah
dengan bercakap-cakap secara tatap muka.Wawancara dapat dilakukan dengan
menggunakan pedoman wawancara atau dengan Tanya jawab secara langsung
(Afifuddin, 2012: 131).
Wawancara dipilih sebagai teknik pengumpulan data pada penelitian ini,
dikarenakan melalui wawancara bagaimana proses penerapan pendidikan karakter
untuk anak usia dini dapat terungkap. Sedangkan data-data yang akan
dikumpulkan dengan teknik ini meliputi strategi apa saja yang diberikan dalam
rangka pendidikan karakter, dan metode apa saja yang digunakan dalam
penerapan pendidikakan karakter.
3.5 Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat


digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Ada beberapa teknik atau metode
pengumpulan data yang biasanya dilakukan oleh peneliti. Peneliti dapat
menggunakan salah satu atau gabungan dari metode yang ada tergantung masalah
yang di hadapi (Kriyantono, 2009).

Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah observasi, wawancara,


dan dokumentasi. Secara lebih jelas, teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini dapat dijelaskan di bawah ini:

Sutrisno Hadi (1987:136) menerangkan bahwa observasi merupakan


pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap suatu gejala yang tampak
pada objek penelitian.Dengan demikian, pengamat betul-betul menyelami
kehidupan objek pengamatan, bahkan tidak jarang pengamat kemudian
mengambil bagian dalam kehidupan budaya mereka (bungin dalam Prastowo,
2010:40-41). Teknik observasi ini digunakan untuk mengetahui gambaran
lengkap dan kegiatan yang dilaksanakan dalam penerapan pendidikan karakter
untuk anak usia dini.

Pengamatan ini merupakan pengamatan partisipan.Pengamatan partisipan


merupakan salah satu teknik pengamatan yang paling lazim digunakan dalam
penelitian kualitatif. Seperti diungkapkan oleh Bungin (2008:115-117), teknik
pengamatan lain yang bisa digunakan dalam penelitian kualitatif, yakni
pengamatan tidak berstruktur dan pengamatan kelompok tidak berstruktur.

2. Wawancara
Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan
sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau responden. Caranya adalah
dengan bercakap-cakap secara tatap muka.Wawancara dapat dilakukan dengan
menggunakan pedoman wawancara atau dengan Tanya jawab secara langsung
(Afifuddin, 2012: 131).

Wawancara di gunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti


ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
di teliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang
lebih mendalam ( sugiyono, 2008). Pada penelitian ini wawancara akan di lakukan
dengan menggunakan pedoman wawancara. Menurut patton (dalam poerwandari,
2009) dalam proses wawancara dengan menggunakan pedoman umum wawancara
ini, interview di lengkapi pedoman wawancara yang sangat umum serta
mencantumkan isu-isu yang harus di liput tanpa menentukan urutan pertanyaan,
bahkan mungkin tidak terbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara
di gunakan untuk mengingatkan intervieweer mengenai aspek-aspek apa yang
harus di bahas, juga menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek
relevan tersebut telah di bahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian
intervewer harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan di jabarkan
secara kongkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan
konteks aktual saat wawancara berlangsung menurut patton (dalam poerwandari,
2009). Wawancara juga merupakan proses untuk memperoleh keterangan yang
ditujukan untuk penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang di wawancarai dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dengan
informan terlibat dalam kehidupan social yang relative lama menurut Strauss dan
Corbin (dalam Eurosa Monteiro Miranda Branco, 2011).

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik pengambilan data dengan bahan yang


berupa sumber tertulis maupun vidio. Dokumen digunakan dalam keperluan
penelitian karena dokumen merupakan sumber yang stabil, alami, serta relatif
mudah didapat (Lexy J. Moloeng, 2012:216).
Teknik ini merupakan langkah pengumpuan data tertulis yang mendukung
penelitian, seperti buku, catatan, serta dokumentasi lainnya yang dapat digunakan
untuk mengumpulkan data tentang penerapan pendidikan karakter anak usia dini
di Yayasan Pendidikan Islam TK AL-FALAH. Sedangkan data yang akan
dikumpulkan dengan metode ini meliputi foto-foto kegiatan sekolah, RPPH, foto-
foto kolesi buku, visi dan misi sekolah

3.5.1 Data Primer


Kata-kata dan tindakan dari orang yang diwawancarai atau yang diamati
merupakan sumber data utama dalam penelitian ini. Jenis penelitian ini diambil
dari data tertulis, rekaman, atau pengambilan foto. Pencatatan sumber data ini
melalui wawancara dan pengamatan serta merupakan hasil gabungan dari melihat,
mendengarkan dan bertanya. Jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan pada
subjek penelitian dicatat sebagai data utama ditambah dengan hasil pengamatan
dari tindakan subjek penelitian Diantara data primer yang dicari adalah: 1)
implementasi kajian Pendidikan Karakter , 2) Faktor pendukung dan penghambat
implementasi Pendidikan Karakter Terhadap Anak Usia Dini

3.5.2 Data Sekunder


Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak yang tidak
berhubungan langsung dengan masalah yang diteliti. Data sekunder dalam
penelitian ini adalah dokumen-dokumen yang terkait dengan Sumber data tertulis
atau dokumen diperoleh dari kepala sekolah, staf karyawan, dan wali murid Yayasan
Pendidikan Islam TK RA. AL-FALAH Tahun Ajaran 2017/2018 .Adapun. Data
tertulis tersebut di antaranyaa dalah data tentangkondisi obyektif

Tahapan menurut sutopo


3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini mengacu pada teknik analisis data
kualitatif dengan mengumpulkan data di lapangan yang dilakukan dengan redeksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data (Miles dan
Hurburmen, 1992: 16).

Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah,
karena dengan analisislah, data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna
dalam memecahkan masalah penelitian. “Data mentah yang telah dikumpulkan
perlu dipecahkan dalam kelompok-kelompok, diadakan kategorisasi, dilakukan
manipulasi, serta diperas sedemikian rupa, sehingga data tersebut mempunyai
makna untuk menjawab masalah dan bermanfaat untuk menguji hipotesis” (Moh.
Nazir, 2005: 346). “Data yang terdapat dalam penelitian ini adalah data kualitatif,
dengan demikian teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis data kualitatif” menurut H.B. Sutopo (2006:105). Teknik analisis
data kualitatif bersifat induktif karena analisis sama sekali tidak dimaksudkan
untuk membuktikan kebenaran suatuprediksi atau hipotesis penelitian, tetapi
semua simpulan yang dibuat sampai dengan teori yang mungkin
dikembangkandibentuk dari semua data yang telah berhasil ditemukan dan
dikumpulkan di lapangan. Analisis data yang bersifat induktif ini keseluruhan
prosesnya pada umumnya dilakukan dengan tiga macam kegiatan yakni

1. Analisis dilakukan di lapangan bersamaan dengan proses pengumpulan data.

2. Analisis dilakukan dalam bentuk interaktif.

3. Analisis bersifat siklus, yakni mulai dari pemilihan topik, mengajukan


pertanyaan, pengumpulan data, menyusun catatan studi (pengaturan data), analisis
data dan penelitian laporan studi (H.B. Sutopo, 2006: 108). Pada dasarnya proses
analisis data dilakukan secara bersamaan dengan penggumpulan data.
3.6.1 Prosedur analisis data kualitatif

Analisis data dilakukan dengan melalui beberapa tahap. Dibawah ini


merupakan tahap-tahap dalam proses analisis data kualitatif menurut H.B. Sutopo
(2006:114-116).

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan


proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari semua jenis
informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan. Proses ini berlangsung
terus sepanjang pelaksanaan penelitian. Reduksi data sudah dilangsungkan sejak
peneliti mengambil keputusan, melakukan pemilihan kasus, menyusun pertanyaan
penelitian yang menekankan pada fokus tertentu tentang kerangka kerja
konseptual dan juga waktu menentukan cara pengumpulan data yang akan
digunakan karena teknik pengumpulan data tergantung pada jenis data yang akan
digali dan jenis data ini sudah terarah dan ditentukan oleh beragam pertanyaan
yang terdapat dalam rumusan masalah penelitian

2. Sajian Data

Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam


bentuk narasi lengkap yang untuk selanjutnya memungkinkan peneliti dapat
menarik kesimpulan. Sajian data ini disusun berdasarkan pokok-pokok yang
terdapat dalam reduksi data dan disajikan dengan menggunakan kalimat dan
bahasa peneliti yang merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan
sistematis sehingga bila dibaca akan bisa mudah dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Setelah data-data telah dikumpulkan selanjutnya dilakukan penarikan


kesimpulan secara utuh, setelah semua makna-makna yang muncul dari data yang
sudah diuji kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya sehingga akan diperoleh
suatu kesimpulan yang jelas kegunaan dan kebenarannya dan dapat
dipertanggungjawabkan
3.6.2 Uji validitas data kualitatif

Dalam penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi (content


validity) adalah validitas instrumen yang memiliki kandungan isi butir butir soal
item pertanyaan yang dibuat sesuai dengan topik penelitian dan bisa menggali
jawaban responden sesuai dengan permasalahan yang sudah dirumuskan. Disini
peneliti telah menentukan kisi-kisi materi yang akan disampaikan dalam rangka
mencapai aspek indikator yang ingin dicapai.

3.6.2.1 trianggulasi

Trianggulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat


menggabungkan dari berbagai teknik dan sumber data yang telah ada (Sugiyono,
2007:28). Adapun beberapa trianggulasi dalam penelitian kualitatif yaitu:

1. Trianggulasi sumber yaitu teknik pengecekan kebenaran data dari sumber yang
beragam yang masih ada kaitannya antara satu dengan yang lain. Misalnya
menguji motivasi guru, pengujian, dan pengumpulan data diperoleh dari kepala
sekolah, guru, dan murid.

2. Trianggulasi teknik yaitu penggunaan beragam teknik pada sumber yang sama.
Misalnya mengungkap data tentang pengalaman ibu, pengumpulan dan pengujian
data diperoleh dengan menggunakan wawancara, observasui, dan dokumentasi
terhadap subyek yang sama.

3. Trianggulasi waktu yaitu teknik pengecekan kebenaran data dengan


wawancara, observasi, dan sebagainya dalam waktu dan situasi yang berbeda.
Misalnya data yang diperoleh di pagi hari ada kemunkinan berbeda dengan data
yang diperoleh di alam hari.
4. Trianggulasi penyidik yaitu teknik pengecekan kebenaran data melalui
pengamat lain. Misalnya ketika sedang meneliti akhlak siswa, peneliti dapat
mengajak teman sesama peneliti untuk memberikan pandangan tentang akhlak
siswa yang sama.

5. Trianggulasi teori yaitu teknik pengecekan kebenaran data dengan


menggunakan beragam teori.

Dalam metode trianggulasi ini penulis menggunakan dua cara yaitu


trianggulasi teknik, berarti penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang
berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Kemudian selain
itu penulis juga menggunakan trianggulasi sumber yaitu untuk mendapatkan data
dari sumber yang berbeda-beda dengan teknik yang sama (Sugiyono, 2013:327).

3.6.2.2 Transferability

Dalam penelitian kualitatif, menurut Guba dan Licoln, dikutip Trochim


(2006) terdapat istilah credibility, transferability, dependability dan
confirmability. Credibility mengukur apakah hasil penelitian dari berbagai
perspektif subyek dapat dipercaya. Padananan dalam penelitian kuantitatif
adalah internal validity. Sedangkan transferability adalah berkaitan dengan hasil
penelitian dapat ditranfer atau digunanakan pada konteks lain atau konteks yang
lebih spesifik. Dalam penelitian kuantitatif dikenal dengan generalability, istilah
external validity.
3.6.3 uji realibiltas

Reliabilitas berasal dari kata reliability. Pengertian dari reliability


(rliabilitas) adalah keajegan pengukuran (Walizer, 1987). Sugiharto dan Situnjak
(2006) menyatakan bahwa reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa
instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh informasi yang
digunakan dapat dipercaya sebagai alat pengumpulan data dan mampu
mengungkap informasi yang sebenarnya dilapangan. Ghozali (2009) menyatakan
bahwa reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan
indikator dari peubah atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau
handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil
dari waktu ke waktu. Reliabilitas suatu test merujuk pada derajat stabilitas,
konsistensi, daya prediksi, dan akurasi. Pengukuran yang memiliki reliabilitas
yang tinggi adalah pengukuran yang dapat menghasilkan data yang reliabel

Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh


mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat
pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur gejala yang sama dan hasil
pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat pengukur tersebut
reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur
di dalam pengukur gejala yang sama.

Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28) reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil


pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil pengukuran harus reliabel
dalam artian harus memiliki tingkat konsistensi dan kemantapan.

Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran atau


serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari alat ukur yang
sama (tes dengan tes ulang) akan memberikan hasil yang sama, atau untuk
pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai memberikan skor yang
mirip (reliabilitas antar penilai). Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya
pengukuran yang dapat diandalkan akan mengukur secara konsisten, tapi belum
tentu mengukur apa yang seharusnya diukur. Dalam penelitian, reliabilitas adalah
sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-
ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat
diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama.
Tidak bisa diandalkan bila pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang
berbeda-beda.
Daftar Pustaka

Abdul Majid, 2011, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: PT


Remaja Rosdakarya

Afifuddin & Bani Ahmad Saebani, 2012, Metodologi Penelitian Kualitatif,


Bandung: CV.Pustaka Setia

Agus Wibowo, 2012, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini, (Membangun


Karakter Di Usia Emas), Yogyakarta: Pustaka Belajar

Thoyyibah, 2017, IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER ANAK


USIA
DINI DI TK PERTIWI II GAGAKSIPAT NGEMPLAK BOYOLALI TAHUN
AJARAN 2016/2017, Jakarta

Tini Rustini, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini

Dr. Hendarti Permono M.Psi, ., PERAN ORANGTUA DALAM


OPTIMALISASI TUMBUH KEMBANG ANAK UNTUK MEMBANGUN
KARAKTER ANAK USIA DINI, [hal.34-47]

Mendiknas (2011). Pedoman pelaksana pendidikan karakter. Jakarta :


Puskurbuk.

Saidah, E.S. (2003). Pentingnya stimulasi mental dini. Padu Jurnal Ilmiah
PAUD.2(51)

Sujiono, Y.N. (2009). Konsep dasar pendidikan anak usia dini. Jakarta :
P.T Indeks.
Suyanto, S. (2005). Konsep dasar pendidikan usia dini. Jakarta : Diknas,
Dirjen Dikti.

Khaironi M, (2017), PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI,


02., 16-21

Asmaun Sahlan. 2013. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam


(Kajian Penerapan Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan Islam). Jurnal el-
Hikmah Fakultas Tarbiyah UIN Malang hal. 139-149.

Darmiyati Zuchdi, dkk. 2015. Pendidikan Karakter Konsep Dasar dan


Implementasi di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.

Hilda Ainissyifa. 2014. Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Pendidikan


Islam. Jurnal Pendidikan Universitas Garut Fakultas Pendidikan Islam dan
Keguruan, Vol. 08 N0. 01 Hal. 1-26 ISSN 1907-932X.

Mulyatiningsi Endang, ANALISIS MODEL-MODEL PENDIDIKAN


KARAKTER UNTUK USIA ANAK-ANAK, REMAJA DAN DEWASA

Ratna Megawangi. (2010) Strategi dan implementasi pendidikan karakter


di PAUD. Makalah disampaikan dalam seminar nasional: Strategi dan
Implementasi Pendidikan Karakter Bangsa di Tingkat Satuan Pendidikan,
Balitbang Kemendiknas

Rahman Ulfiani, (2009), Karakteristik Perkembangan Karakter Anak Usia


Dini, 12, 46-57, Lentera Pendidikan

Anda mungkin juga menyukai