File PDF
File PDF
HASNIAH
1106122493
i
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
HASNIAH
1106122493
ii
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahi Robbil Aalamiin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat Rahmat dan Kasih Sayang-Nya Karya Ilmiah Akhir dengan judul “ Manajemen
Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Pasien Harga Diri Rendah menggunakan teori
Stuart Stress Adaptation Model dan teori of Human Caring oleh Jean Watson di Ruang
Antareja Rumah Sakit H. Marzoeki Mahdi Bogor” dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk
meraih gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, penulis senantiasa mendapatkan petunjuk
dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat membantu. Maka pada kesempatan ini,
dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Direktur utama RS.Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan
kesempatan bagi penulis untuk menggunakan BLU sebagai tempat praktik.
2. Dra. Juniarti Sahar. PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
3. Henny Permatasari M.Kep.Sp.Kep.Kom, selaku Ketua Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
4. Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N.Sc, selaku Koordinator Mata Ajar Karya Ilmiah
Akhir yang telah memberikan arahan kepada penulis.
5. Dr. Novy Helena Catharina Daulima, SKp, MN selaku pembimbing 1 yang telah
memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan Karya
Ilmiah Akhir ini hingga selesai.
6. Ice Yulia Wardhani, SKp. M.Kep Sp.Kep J, selaku pembibing 2 yang telah
memberikan arahan, saran dan motivasi dalam penulisan karya ilmiah akhir ini.
7. Yossie Susanti Eka Putri, SKp.MN, selaku Ketua kelompok keilmuan sekaligus
Pembimbing Akademik bagi penulis dari semester 1 hingga semester 6 yang telah
memberikan motivasi dan dukungan selama proses studi bagi penulis.
8. Dr. Mustikasari, SKp, MARS, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada
Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat untuk semua kebaikan yang telah
penulis terima dan semoga laporan Karya Ilmiah Akhir ini dapat dipergunakan untuk
peningkatan kualitas pelayanan keperawatan jiwa.
Penulis
Nama : Hasniah
Program Studi : Spesialis keperawatan jiwa
Judul : Manajemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Pasien
Harga Diri Rendah menggunakan teori Stuart Stress Adaptation
Model dan teori of Human Caring oleh Jean Watson di Ruang
Antareja Rumah Sakit H. Marzoeki Mahdi Bogor
Kasus gangguan jiwa berat di dunia terutama pasien skizofrenia terjadi peningkatan khususnya di negara-
negara berkembang. Sebagian besar klien yang dirawat di Ruang Antareja Rumah Sakit Marzoeki adalah
Klien harga diri rendah . Tujuan Karya Ilmiah Akhir ini adalah menggambarkan hasil manajemen kasus
spesialis terhadap klien harga diri rendah. Tindakan keperawatan dilakukan pada 20 orang pasien meliputi
terapi individu harga diri rendah, terapi kognitif, terapi perilaku kognitif, terapi psikoedukasi keluarga
pada pasien dengan harga diri rendah. Hasil menunjukkan bahwa kombinasi terapi individu, terapi
kognitif, terapi perilaku kognitif, dan terapi psikoedukasi keluarga efektif dalam menurunkan tanda dan
gejala pasien harga diri rendah dan peningkatan kemampuan pasien dan keluarga dengan pendekatan teori
stress adaptation model oleh Stuart dan teori of Human Caring oleh Watson. Rekomendasi hasil karya
ilmiah ini adalah terapi kognitif, terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga dapat dilakukan
pada pasien harga diri rendah di seluruh tatanan pelayanan kesehatan jiwa.
Kata kunci: Harga diri rendah, Terapi kogniif, Terapi Perilaku Kognitif, Terapi Psikoedukasi Keluarga
viii
Name : Hasniah
Study Program : Psychiatric Nurse Specialist
Title : Nursing Management Specialist Mental to patient with low self
esteem using Stuart Stress Adaptation Model Theory and the
theory of Human Caring By Jean Watson in Antareja Ward DR.
H Marzoeki Mahdi Hospital
Cases of severe mental disorder in the world, especially patients with skizofrenia increased,
especially in developing countries. Most of the clients were treated in Antareja Ward Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor is low self esteem. The purpose of this work is to describe final
scientific result of the patients case management specialist of low self esteem. Nursing
Intervention performed on 20 patients include low self esteem individual therapy, cognitive
therapy, cognitive behavioral therapy, family psychoeducation therapy in patienst with low
self esteem. The result showed that the combination of individual therapy, cognitive therapy,
cognitive behavioral therapy, family psychoeducation therapy effective in reducing the signs
and symptoms of low self esteem patients and increased patient and family’s ability to
approach theorical models of stress adaptation by Stuart and theory of Human Caring by
Watson. Recommendations of this scientific work is cognitive therapy, cognitive behavioral
therapy and family psychoeducation therapy can be performed in patients with low self
esteem throughout the structure of mental health services.
Key words: low self esteem, cognitive therapy, cognitive behavior therapy, family psychoeducation
ix
HALAMAN SAMPUL............................................................................................... i
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN............................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME........................................ vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................... vii
ABSTRAK................................................................................................................... viii
ABSTRACT................................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR................................................................................................ x
DAFTAR ISI............................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL....................................................................................................... xii
DAFTAR SKEMA...................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................................ 10
1.3 Manfaat penelitian.............................................................................................. 11
xii
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Pengkajian........................................................................................................ 100
. 5.1.1 Karakteristik pasien harga diri rendah ............................................................ 100
5.1.2 Faktor predisposisi........................................................................................... 109
5.1.3 Faktor presipitasi.............................................................................................. 112
5.1.4 Penilaian terhadap stresor................................................................................ 114
5.1.5 Sumber koping................................................................................................. 119
5.1.6 Perubahan kemampuan pasien harga diri rendah............................................. 120
5.1.7 Perubahan kemampuan keluarga ..................................................................... 127
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
Tabel 3.1. Hasil penilaian kemampuan kepala ruang dalam kegiatan MPK
(Residensib3, residensi 2 dan residensi 3 februar 2014)................................. 65
Tabel 3.2. Hasil evaluasi kemampuan Ketua Tim 1 Ruang Antareja dalam
Manajemen kegiatan MPKP............................................................................ 67
Tabel 3.3. Hasil evaluasi kemampuan Ketua Tim21 Ruang Antareja dalam
Manajemen kegiatan MPKP............................................................................ 68
Tabel 4.1 Karakteristik Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit Dr.
H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-18 April 2013 (n =20) 70
Tabel 4.2 Faktor Predisposisi Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-18 April
2014 (n = 20)................................................................................................... 71
Tabel 4.3 Faktor Presipitasi Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah
Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n
= 20)................................................................................................................ 72
Tabel 4.4 Penilaian Terhadap Stresor Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-
18 April 2014 (n = 20).................................................................................... 74
Tabel 4.5 Sumber Koping Pada Klien Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-
18 April 2014 (n =20)..................................................................................... 75
Tabel 4.6 Diagnosis Medis Dan Terapi Medis Keperawatan Pada Klien Harga Diri
Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor,
Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 20)................................................... 77
Tabel 4.7 Diagnosis Keperawatani Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-18 April
2014 (n = 20)................................................................................................... 78
Tabel 4.8 Distribusi Terapi Keperawatan Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Periode 17 Februari-18 April 2014 ................................................................ 80
Tabel 4.9 Pelaksanaan Terapi Kognitif Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Periode 17 Februari- 18 April 2014 (n-10) .................................................... 82
xv
Tabel 4.11 Pelaksanaan Terapi Psikoedukasi Keluarga Klien Harga Diri Rendah di
Ruang Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014................................... 85
Tabel 4.12 Evaluasi Kemampuan Klien Harga Diri Rendah Dan Keluarga di Ruang 87
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-
18 April 2043 (n = 20).....................................................................................
Tabel 4.13 Evaluasi Kemampuan klien dan keluarga Pre-Post tindakan keperawatan
di Ruang Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014................................ 89
Tabel 4.14 Evaluasi tanda dan gejala klien harga diri rendah Pre-Post Tindakan
Keperawatan di Ruang Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014 yang
mendapat terapi generalis, terapi kognitif dan FPE....................................... 91
Tabel 4.15 Evaluasi tanda dan gejala Klien Harga Diri Rendah Pre-Post Tindakan
Keperawatan di Ruang Antareja Periode 17 Februar 18 April 2014 yang
mendapat terapi Generalis, terapi perilaku kognitif dan FPE...................... 94
xvi
xvii
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Universitas Indonesia
perilaku yang tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dan optimal dalam
kehidupan sehari-harinya.
Prevalensi gangguan jiwa di Amerika Serikat sekitar 50% dari penduduk yang
berusia lebih dari 14 tahun dan tiga perempat pada usia 24 tahun pernah memiliki
masalah kejiwaan dan penyalahgunaan zat dalam rentang hidupnya. Pada tahun
2020 gangguan jiwa dan penyalahgunaan zat jumlahnya akan melebihi semua
penyakit fisik sebagai penyebab utama kecacatan di seluruh dunia (Stuart, 2013).
WHO (2012) memperkirakan sekitar 24 juta jiwa penduduk dunia mengalami
gangguan Skizofrenia. Sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat
ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia
tertentu selama hidupnya. Usia ini biasa terjadi pada dewasa muda antara 18-21
tahun. Menurut National institute of mental health gangguan jiwa mencapai 13%
dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 35%
di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi
gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagi negara. Berdasarkan hasil sensus
Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18-30
tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2012).
Universitas Indonesia
Skizofrenia ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif (PPDGJ III,
2003). Gejala skizofrenia di bagi dalam dua kategori utama yaitu gejala positif
dan negatif (Videbeck, 2008; Videbeck, 2011; Stuart, 2009; Stuart, 2013). Gejala
positif atau gejala nyata mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran,
bicara, perilaku yang tidak teratur. Gejala negatif atau gejala samar, seperti afek
datar, tidak memiliki kemauan, menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak
nyaman (Videbeck, 2008). Pengkatagorian lain dari gejala skizofrenia adalah
Universitas Indonesia
terdiri dari tiga kategori gejala, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gejala
disorganized ( Brady, 2004; Shives, 2005; Shives, 2012). Penderita skizofrenia
sering kali tidak mampu menghasilkan pikiran logis yang kompleks karena sistem
yang rusak didalam pengolahan informasi otak oleh neutransmitter. Sering terjadi
penurunan fungsi kognitif sehingga akan mempengaruhi cara seseorang dalam
berpikir, mengamati, perasaan, berperilaku dan hubungan dengan orang lain
(Stuart, 2013). Penurunan fungsi kognitif berdampak juga pada kesulitan memulai
pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya motivasi, berkurangnya
atensi, pasif, apatis, dan penarikan diri secara sosial dan rasa tidak nyaman, yang
merupakan gejala pada pasien dengan harga diri rendah (Videbeck, 2008)
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri. Sering disertai dengan kurangnya perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera
makan menurun, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk,
berbicara lambat dan nada suara lemah (Keliat, 2010). Harga diri rendah adalah
penilaian negatif terhadap diri dan dihubungkan dengan perasaan lemah, tidak
berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak berharga (Stuart, 2013). Harga
diri rendah menunjukkan penolakan terhadap diri yang diekspresikan secara
langsung atau tidak lanngsung. Ekspresi langsung dapat dilihat dari perilaku,
mengkritik diri, penurunan kemampuan, rasa bersalah dan khawatir, penolakan
diri, menunda keputusan, menghindari kesenangan, hubungan interpersonal
terganggu, isolasi sosial, merusak diri. Ekspresi tidak langsung dapat diamati dari
perilaku tidak langsung, mempunyai tujuan yang tidak realistis, kritik dan memuji
diri berlebihan, kebosanan, kepribadian tertutup, kebingungan, kekecewaaan
dan keterasingan (Stuart, 2013).
Universitas Indonesia
perawatan diri 12,7%, halusinasi 80%, resiko perilaku kekerasan 70%, waham
17% dan risiko bunuh diri 12,7%. Data diatas menunjukkan bahwa harga diri
rendah merupakan masalah keperawatan yang cukup banyak dialami oleh pasien
gangguan jiwa.
Harga diri rendah telah terbukti berhubungan dengan fenomena negatif seperti
kehamilan pada remaja, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, kekerasan,
depresi, kecemasan sosial dan bunuh diri (Twenge & Campbell, 2002, Twenge
& Crocker, 2002 dalam Guindon, 2010). Dalam sebuah penelitian dari 1.190
orang rawat jalan pada layanan psikiatri hampir sebagian besar memiliki harga
diri rendah terutama pada pasien dengan depresi, gangguan makan dan
penyalahgunaan zat (Silverstone & Salsali, 2003 dalam Guindon, 2010).
Penderita dengan diagnosis ganda dan salah satu diagnosanya adalah depresi
berisiko memiliki harga diri rendah dan harga diri rendah meningkatkan
kerentanan untuk gangguan jiwa (Guindon, 2010).
Dampak lainnya yang dapat terjadi pada pasien harga diri rendah yang tidak
mendapat penanganan dengan baik dan intensif adalah terjadinya masalah baru
yang dapat mengarah pada upaya bunuh diri (Keliat, 2006). Hal ini terjadi karena
pasien telah terfokus pada perasaan dan pikiran negatif tentang dirinya sendiri,
sehingga pasien merasakan dirinya tidak bermakna lagi baik bagi diri sendiri
maupun untuk orang lain. Menurut Hunt et al (2006, dalam Stuart, 2009) harga
diri rendah berkontribusi terhadap perilaku bunuh diri dengan insiden pada pasien
skizofrenia sebesar 10-15% meninggal akibat bunuh diri, 20-40% melakukan
percobaan bunuh diri, dan 40% menyampaikan ide bunuh diri. Demikian juga
pada pasien depresi dengan insiden bunuh diri sebesar 15%. Data ini
menunjukkan harga diri rendah adalah masalah yang sangat serius dan perlu
penanganan segera.
Harga diri rendah kronis dapat berlanjut kepada gangguan sosial dan mental.
Gangguan sosial dan mental yang dapat timbul karena harga diri rendah adalah
menarik diri dari orang lain dan lingkungan karena pikiran-pikiran negatifnya
Universitas Indonesia
membuat individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu, takut salah,
serta putus asa terhadap hubungan dengan orang lain (Keliat, 2006). Dampak
yang ditimbulkan dengan adanya gangguan sosial dan mental dapat menurunkan
produktifitas dan menurunkan fungsi di tempat kerja, karena kecendrungan pasien
menarik diri dari peran dan fungsi sebelum sakit, membatasi hubungan sosial
dengan orang lain, dengan berbagai macam alasan. Penelitian yang menunjukkan
bahwa harga diri rendah dapat mengakibatkan gangguan dalam fungsi pekerjaan
atau dalam aktivitas sosial atau hal yang berhubungan dengan orang lain,
dilakukan oleh Canadian Association Psychiatric dengan prevalensi ketakutan
dalam berhubungan sosial lebih tinggi (14,9%) pada pasien yang mempunyai
masalah harga diri rendah dari pada yang mempunyai harga diri tinggi (6,6%)
(Canadian Association Psychiatric, 2004)
Dampak yang begitu besar pada kasus harga diri kronis menunjukkan perlunya
asuhan keperawatan yang dilakukan secara holistik dan komprehensif. Upaya
yang dapat dilakukan oleh perawat dalam mengatasi masalah yang dialami oleh
pasien terkait dengan diagnosa harga diri rendah adalah memberikan tindakan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan model Stress Adaptation oleh
Stuart dan teori “Transpersonal Caring Relationship” oleh Watson. Pendekatan
kedua teori ini dapat menjembatani peningkatan pemahaman perawat terhadap
masalah harga diri rendah dalam program perawatan yang dijalaninya. Model
Stress Adaptation memandang manusia secara holistik yang terdiri dari dimensi
biologis, psikologis, sosiokultural dan ketiga dimensi tersebut saling berhubungan
satu sama lain dan terintegrasi dalam satu kesatuan, model tersebut juga
menganalisis faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor. sumber
koping, mekanisme koping yang digunakan baik yang bersifat konstruktif maupun
destruktif sehingga dapat memberikan gambaran alur berfikir tentang proses
timbulnya masalah keperawatan jiwa pada pasien gangguan jiwa.
Universitas Indonesia
Teori caring Watson yang dituangkan melalui 10 faktor karatif dapat digunakan
pada semua proses keperawatan mulai dari pengkajian, penentuan diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Penggunaan teori Watson juga sangat
bermanfaat dalam perawatan pasien dengan harga diri rendah. Perilaku caring
perawat dapat berupa membantu pasien dan keluarga dalam melakukan upaya
peningkatan status kesehatan dan peningkatan pengetahuan untuk mencegah
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tanda dan gejala harga diri rendah lebih dari 50% dan peningkatan kemampuan
secara kognitif dan perilaku lebih dari 70%.
Universitas Indonesia
Karya ilmiah akhir ini merupakan analisis hasil pelaksanaan praktek asuhan
keperawatan spesialis jiwa yang dilaksanakan di ruangan perawatan psikiatri
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor sejak tanggal 17 Februari-18 April 2014
dengan jumlah pasien yang penulis rawat sebanyak 20 pasien (mengalami harga
diri rendah dan mendapat terapi CT, CBT dan Psikoedukasi keluarga).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilaksanakan di ruang Antareja RSMM Bogor
yang merupakan ruangan tenang untuk perawatan dewasa pada pasien yang telah
memasuki fase pemulihan/rehabilitasi untuk persiapan pulang. Ruangan inipun
telah melaksanakan pendekatan pelayanan model praktik profesional. Kegiatan
asuhan keperawatan di ruangan menggunakan pendekatan manajeman model
praktik profesional. Pelayanan model paktik profesional dilaksanakan
berpedoman pada empat pilar profesionalisme keperawatan yaitu management
approach, compensatory reward, professional relationship, dan patient care
delivery (Keliat, dkk, 2010).
1.2 Tujuan
1.1 Tujuan Umum
Menggambarkan hasil analisis manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa
terhadap pasien harga diri rendah dengan pendekatan teory Stress
Universitas Indonesia
Adaptation Model oleh Stuart dan teory of Human Caring oleh Watson di
ruang Antareja RSMM Bogor
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Aplikatif
1.3.1.1 Sebagai pedoman asuhan keperawatan pada pasien dengan harga diri
rendah yang dilakukan di unit rawat inap psikiatri khususnya ruang
antareja.
1.3.1.2 Sebagai pedoman pelaksanaan manajeman asuhan keperawatan pada
pasien dengan harga diri rendah. Hasil dari praktik ini akan
meningkatkan pemahaman tentang manajemen ruang rawat sehingga
akan melandasi penyusunan rencana manajemen ruangan terkait
manajemen kasus keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah di
unit pelayanan rawat inap psikiatri.
1.3.2.3 Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan khususnya pada pasien dengan masalah harga diri rendah di
unit rawat inap psikiatri.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
14
Universitas Indonesia
Seluruh pendekatan selama masa input dan proses, seluruh tindakan keperawatan
merujuk pada teori “caring” Watson yang mengedepankan penggunaan 10
carative faktor. Watson menekankan pada hubungan pasien dan perawat yang
terapeutik.
2.1 Input
Perubahan perilaku akibat gangguan jiwa dan sindrom psikologis yang
disebabkan oleh distress pasien, ketidakmampuan atau resiko akibat pertahanan
akan ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan APA (2000, dalam Varcarolis
& Halter, 2010). Pengkajian merupakan tahap penting yang harus dilakukan oleh
perawat untuk mengetahui dengan jelas penyebab munculnya gangguan jiwa.
Pengkajian dapat dilakukan apabila pasien memiliki kepercayaan untuk membina
hubungan transpersonal dengan orang lain. Perawat sebagai tenaga kesehatan
memiliki peran besar untuk membina hubungan terapeutik yang didasari adanya
rasa saling percaya. Hubungan transpersonal merupakan dasar tindakan
keperawatan, seperti halnya salah satu carative faktor yang dikembangkan oleh
Watson yaitu Membangun hubungan kemanusiaan yang saling percaya dan bahu
membahu Watson (1979 dalam Parker & Smith, 2010).
Universitas Indonesia
Perawat menghadirkan dirinya kepada pasien secara utuh ketika akan melakukan
asuhan keperawatan. Kehadiran perawat yang masuk ke wilayah kehidupan
pribadi pasen mampu mendeteksi kondisi kesehatan dan segala bentuk faktor yang
melatarbelakangi munculnya masalah, tanpa adanya rasa saling percaya tujuan
tersebut akan akan sulit dicapai. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Townsend
(2009) bahwa pengalaman akan kejadian traumatik seringkali menimbulkan rasa
tidak percaya dengan orang lain terutama bagi korban kekerasan sehingga
mempengaruhi hubungan secara sosial. Hal ini akan menyebabkan masalah
menjadi semakin berat. begitu juga dengan pasien HDR yang cendrung akan
mengalami masalah dalam membina hubungan sosial.
Sehubungan dengan itu, membangun rasa saling percaya antara pasien dan
perawat merupakan awal terjadinya hubungan transpersonal yang terapeutik.
Teori “caring” tidak hanya memungkinkan perawat untuk berlatih seni
memberikan kasih sayang untuk membantu pasien dan keluarga, mengurangi
penderitaan dan untuk meningkatkan penyembuhan, tetapi juga dapat
berkontribusi memperluas aktualisasi diri perawat. Meningkatkan dan
menerapkan nilai-nilai”caring” dalam praktik keperawatan tidak hanya penting
bagi kesehatan kita sebagai perawat, namun namun hubungan yang mendasar
adalah untuk mencari makna dalam pekerjaan kita ( Cara C, 2000)
Universitas Indonesia
Sistem limbik merupakan bagian otak yang berperan dalam pengaturan emosi.
Sistem ini terdiri atas amygdala, septum, hippocampus. Hipertrophy amygdala
berhubungan dengan depresi, sama halnya dengan atrophy hippocampus, hal ini
ditunjukkan dengan adanya pengecilan hippocampus pada pasien depresi.
Kerusakan pada septum akan mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol
kemarahan, agresi, dan ketakutan (Videbeck, 2011).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.1.1.2 Psikologi
Perubahan atau gangguan pada masa tumbuh kembang dianggap menjadi faktor
penyebab terjadinya gangguan jiwa berdasarkan teori psikoanalitik Sigmund
Freud’s dan Erik Erikson. Freud (1969, dalam Varcarolis 2010) menyatakan
bahwa gangguan perilaku muncul apabila terjadi gangguan dalam perkembangan
psikoseksual yang terbagi menjadi 5 tahap yaitu fase oral, anal, phalic, latency
dan genital. Misalnya gangguan pada tahap anal (1-3 tahun) dapat memunculkan
gejala pola pikir kaku, Obsessive Compulsive Disorder (OCD) atau perilaku
merusak, tidak terarah dan kejam. Erik erikson (1963, dalam Varcarolis, 2010)
Universitas Indonesia
2.1.1.3 Sosiokultural
Universitas Indonesia
atau sosial budaya. Stresor tersebut berasal dari lingkungan internal dan eksternal
individu. Memiliki kejelasan waktu kemunculannya dan termasuk juga jumlah
stresor yang muncul. Jumlah stresor yang muncul dalam waktu bersamaan akan
memperberat keadaan psikologis seseorang (Stuart, 2013).
HDR dapat dinilai dari adanya perubahan kognitif dan perilaku. Tanda dan gejala
langsung HDR adalah sikap kritik akan diri sendiri, merendahkan diri sendiri,
perasaan bersalah, ketakutan, menolak keberadaan diri, menolak kenyataan, tidak
mampu mengambil keputusan. Gejala tidak langsung yang dapat muncul seperti
terjadi ilusi, delusi, sensitivitas terhadap diri berlebihan, bosan, dan polarisasi
pandangan hidup yang cenderung pesimis (Stuart, 2013).
Universitas Indonesia
Respon perilaku adalah hasilnya tanggapan emosional dan fisiologis, serta analisis
kognitif seseorang dari situsi stres. Caplan (1981 dalam Stuart, 2013).Terdapat
empat fase respon perilaku individu untuk peristiwa stres: Tahap 1 adalah
perilaku yang mengubah lingkungan stres atau memungkinkan individu melarikan
diri dari hal tersebut, tahap 2 adalah perilaku yang memungkinkan individu untuk
mengubah keadaan eksternal dan akibatnya, tahap 3 adalah perilaku intrapsikis
yang berfungsi untuk mempertahankan terhadap rangsangan emosional yang tidak
menyenangkan. tahap 4 adalah perilaku intrapsikis yang membantu seseorang
menerima masalah dan gejala sisa. Pengaturan kembali perilaku merupakan hasil
dari perasaan dan keadaan psikologis sebagaimana juga merupakan hasil dari
analisa kognitif.
Universitas Indonesia
HDR dapat dinilai dari adanya perubahan kognitif dan perilaku. Tanda dan gejala
langsung HDR adalah sikap kritik akan diri sendiri, merendahkan diri sendiri,
perasaan bersalah, ketakutan, menolak keberadaan diri, menjauh dari orang lain,
menolak kenyataan, merusak diri, muncul gejala fisik seperti psikosomatik,
kekerasan, penggunaan zat terlarang, minum beralkohol, atau makan berlebihan,
tidak mampu mengambil keputusan. Gejala tidak langsung yang dapat muncul
seperti terjadi ilusi, delusi, sensitivitas terhadap diri berlebihan, bosan, dan
polarisasi pandangan hidup yang cenderung pesimis (Stuart, 2013).
Dampak lain dari adanya stresor atau stimulus adalah respon sosial. Respon
terhadap sosial untuk setiap individu beragam dan berbeda untuk setiap pasien.
Individu yang merasa bahwa masalahnya muncul sebagai akibat dari kesalahan
biasanya akan bereaksi dengan mengisolasi diri dari lingkungan. Bentuk lainnya
dari respon sosial adalah bagaimana respon individu terhadap kebutuhan
dukungan dari lingkungan sosial (Stuart, 2013)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Faktor Predisposisi
Faktor Presipitasi
Penilaian Stresor
Sumber Koping
Koping Mekanisme
Konstruktif Destruktif
Adaptif Maladaptif
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Komponen biopsikososialkultural Model Stuart Stress Adaptasi
(Stuart, 2013)
Harga diri rendah adalah penilaian negatif terhadap diri dan dihubungkan dengan
perasaan lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak berharga
(Stuart, 2013). Harga diri rendah menunjukkan penolakan terhadap diri yang
diekspresikan secara langsung atau tidak lanngsung. Ekspresi langsung dapat
dilihat dari perilakur, mengkritik diri, penurunan kemampuan, rasa bersalah dan
Universitas Indonesia
Harga diri merupakan tingkat penghargaan individu terhadap diri sendiri dan
penilaian ini berdasarkan pada kemampuan yang dimiliki individu tersebut
(Townsend, 2009). Menurut Sorensen (2006) Harga diri rendah adalah dasar kita
melihat semua nilai, atau menghargai diri kita sendiri, pandangan negatif dari diri
menghasilkan harga diri rendah/Low Self-Esteem (SLE). Harga diri rendah kronis
merupakan penilaian diri negatif dan penghargaan yang kurang terhadap
kemampuan diri yang terjadi dalam jangka waktu lama.
NANDA (2010) mengklasifikasikan harga diri rendah menjadi dua yakni harga
diri rendah situasional dan harga diri rendah kronis. Harga diri rendah situasional
adalah berkembangnya persepsi diri yang negatif dalam berespon terhadap situasi
yang sedang terjadi atau spesifik (NANDA, 2010). Sedangkan harga diri rendah
kronis adalah keadaan yang lama mengenai evaluasi diri atau perasaan mengenai
diri atau kemampuan diri yang negatif (NANDA, 2010). Menurut Keliat (2006)
harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri. Klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah banyak ditemui di
rumah sakit jiwa, namun tidak sedikit hanya berobat jalan atau bahkan dibiarkan
di rumah dengan perawatan seadanya. Klien dapat mengalami frustasi dalam
upaya memenuhi perannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Peran dan
fungsinya di keluarga maupun di masyarakat dapat terganggu karena klien
mengalami kesulitan berfikir dengan jernih, mengingat, memusatkan pikiran,
konsentrasi serta kurang motivasi.
Universitas Indonesia
Adaptif Maladaptif
Aktualisasi diri Konsep diri(+) Harga diri rendah Kekacauan Identitas Depersonalisasi
Proses terjadinya harga diri rendah dapat diuraikan melalui analisa faktor
predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan
mekanisme koping konstruktif atau destruktif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif dengan model stress adaptasi dari Stuart.
Universitas Indonesia
predisposisi adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber
risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stress (Stuart, 2013). Faktor
ini meliputi biologis, psikologis dan sosial budaya.
a. Faktor biologis
Faktor biologis merupakan karakteristik fisik yang mempengaruhi seseorang
dalam menghadapi suatu stresor. Faktor biologis terjadinya harga diri rendah
meliputi struktur otak hipotalamus dan neurotransmitter. Struktur otak yang
berhubungan dengan dengan perilaku agresif serta depresi yang mengakibatkan
harga diri rendah adalah sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal dan
hipotalamus. Sistem limbik terdiri dari amygdala, septum dan hyppocampus
dimana kerusakan pada septum akan mempengaruhi kemampuan untuk
mengontrol kemarahan, agresi dan ketakutan (Videbeck, 2008).
Ketidakseimbangan neurotransmitter juga mendorong munculnya perilaku
kekerasan atau depresi (Stuart, 2009; Kaplan & Saddock, 2010).
b. Faktor Psikologis
Universitas Indonesia
sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya.
Seseorang tidak memiliki landasan untuk membentuk mekanisme koping dalam
menghadapi masalah dalam kehidupannya jika tidak dikenalkan dengan konsep
moral baik dan buruk, mmisalnya terkait dengan keyakinan spiritual (Townsend,
2009). Harga diri rendah terjadi pada seseorang apabila pertahanan psikologis
terhadap suatu stresor yang berkembang berdasarkan pengalaman traumatik dan
disertai kepribadian tidak stabil.
Faktor sosial budaya sebagai faktor predisposisi meliputi status sosial, umur,
pendidikan, agama, dan kondisi politik. Perubahan status sosial seperti kehilangan
pasangan hidup, adanya penurunan kemampuan fisik, kehilangan pekerjaan,
penghasilan, tidak tercapainya suatu keinginan dapat menyebabkan gangguan
konsep diri (Varcarolis & Halter, 2010; Stuart 2009). Menurut Sasmita, Keliat,
Budiharto (2007) meliputi usia, jenis kelamin, riwayat pekerjaan, pendidikan.
Menurut Fauziah, Hamid, Nuraini (2009) terdiri atas pendidikan terakhir dan
lama sakit/riwayat gangguan jiwa. Berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kehilangan pasangan, kehilangan pekerjaan dan adanya
keinginan yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan seseorang mengalami harga
diri rendah.
Universitas Indonesia
Penilaian terhadap stresor menggambarkan arti dan makna sumber stres pada
suatu situasi yang dialami individu. Penilaian terhadap stresor dapat diketahui dari
respon individu dalam menghadapi stresor yang meliputi respon kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial (Townsend, 2014; NANDA, 2010; Stuart, 2013).
Adanya stresor yang menjadi faktor presipitasi, akan menyebabkan individu
melakukan penilaian dan mempersepsikan stresor sebagai suatu hal yang negatif
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah. Berikut
ini dijelaskan tanda dan gejala harga diri rendah secara rinci:
a. Respon kognitif
Penilaian kognitif merupakan tanggapan atau pendapat klien terhadap diri sendiri,
orang lain dan lingkungan (Stuart, 2013). Masalah kognitif didominasi oleh
evaluasi seseorang terhadap diri seseorang, dunia seseorang dan masa depan
seseorang. Apabila evaluasi tersebut ke arah negatif, misalnya seseorang
memandang dirinya negatif maka orang tersebut akan mengalami harga diri
rendah. Klien menjadi kebingungan, kurang perhatian, merasa putus asa, merasa
tidak berdaya dan merasa tidak berguna.
b. Respon afektif
Tanda dan gejala afektif terkait dengan respon emosi dalam menghadapi masalah
(Stuart, 2013). Respon emosi sangat bergantung dari lama dan intensitas stresor
yang diterima dari waktu ke waktu. Afek/emosional klien harga diri rendah yang
dapat diamati adalah kemarahan, rasa kesal, murung, ketidakberdayaan,
keputusasaan, kesepian dan kesedihan, merasa berdosa dan kurang motivasi,
melebih-lebihkan umpan balik negatif, melihat dunia secara negatif dan
menyatakan kegagalan secara verbal.
Universitas Indonesia
c. Respon fisiologis
Respon fisik terhadap perubahan harga diri adalah perasaan lemah, penurunan
energi, penurunan libido, insomnia/hipersomnia, penurunan/peningkatan nafsu
makan, anoreksia, sakit kepala, agitasi, tidak berdaya, keluhan fisik, merusak diri
sendiri (Stuart, 2013). Respon fisik pada harga diri rendah ditunjukkan dengan
ekspresi rasa bersalah, ekspresi rasa malu, kontak mata kurang, konsentrasi
menurun dan penilaian negatif tentang tubuhnya (Herdman, 2012).
d. Respon Perilaku
Tanda dan gejala perilaku dihubungkan dengan tingkah laku yang ditampilkan
atau kegiatan yang dilakukan klien berkaitan dengan pandangannya terhadap diri
sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart, 2013). Perilaku adalah suatu kegiatan
atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2010). Pada klien harga diri rendah
perilaku yang ditampilkan yaitu mengkritik diri sendiri, menunda keputusan,
hubungan yang buruk, merusak diri sendiri, bermusuhan, motivasi menurun dan
penurunan perawatan diri/kebersihan diri. Perilaku secara langsung yang
menunjukkan klien yang mengalami harga diri rendah adalah :
(1) Kritik diri negatif; terjadi pada klien dengan mempunyai pikiran dan
keyakinan bahwa dirinya akan mendapat kegagalan atau malapetaka. Ekspresi
yang ditunjukkan klien adalah klien mengatakan dirinya “bodoh”, “tidak
baik” atau “terlahir dengan kekurangan”.
(2) Pengurangan diri; dilakukan klien dengan meminimalkan kemampuan yang
dimilikinya (menghindar, mengabaikan, atau menolak untuk mengingat
kekuatan dan kekayaan nyata yang dimilikinya).
(3) Merasa khawatir dan bersalah; mengekspresikan perasaan khawatir dan
bersalah dalam bentuk mimpi buruk, fobia, mempunyai obsesi atau
mengenang kenangan yang menyakitkan dan menyudutkan
(mendeskreditkan) diri. Tanda-tanda ini menunjukkan adanya penolakan
terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh klien.
Universitas Indonesia
(4) Manifestasi fisik; manifestasi fisik yang menunjukkan klien mengalami harga
diri rendah adalah hipertensi, penyakit psikosomatik dan penyalahgunaan zat
seperti alkohol, obat-obat, tembakau (rokok) atau makanan.
(5) Menunda keputusan; penundaan produktivitas dan kebingungan akan
meningkatkan rasa kegelisahan.
(6) Menyangkal kesenangan; penolakan diri sendiri yang dirasakan klien
merupakan hukuman bagi dirinya dan diekspresikan dengan menyangkal
sesuatu yang diinginkan atau yang menyenangkan seperti kesempatan
berkarir, kekayaan materi atau hubungan yang menyenangkan.
(7) Gangguan berhubungan; ditunjukkan klien dengan perilaku kasar,
merendahkan diri, memanfaatkan (eksploitasi) orang lain dan isolasi sosial
karena merasa tidak berguna. Perilaku yang ditunjukkan adalah menjadi pasif
dan tergantung pada orang lain.
(8) Penarikan diri dari realita; merupakan bentuk mekanisme koping atau bentu
pertahanan diri yang mengindikasikan adanya kebingungan identitas.
(9) Merusak diri sendiri; diekspresikan klien dengan melakukan sesuatu yang
cenderung mencelakakan atau perbuatan yang berbahaya.
(10) Merusak yang lainnya; perasaan bersalah yang sangat besar akan membuat
klien untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan lingkungan yaitu
berupa aktivitas yang menunjukkan kehilangan rasa bencinya dan
memindahkan atau kekerasan pada korban lain.
Universitas Indonesia
Tanda dan gejala harga diri rendah menurut NANDA (2010) adalah: menjauhi
rasionalisasi atau menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik
negatif mengenai diri (kronis), mengungkapkan diri negatif (kronis), keraguan
dalam mencoba hal atau situasi baru (kronis), kurang kontak mata, pasif atau non
asertif, kurang sukses dalam bekerja atau kejadian lain berulang, mencari
ketenangan berlebih, penyesuaian berlebih untuk tergantung pada pendapat orang
lain dan bimbang. Berdasarkan tanda dan gejala yang telah dikemukakan di atas
menunjukkan bahwa pada klien dengan harga diri rendah kronis akan ditemukan
pikiran dan perilaku negatif yang sangat merugikan diri klien itu sendiri, orang
lain dan lingkungan.
e. Respon sosial
Respon sosial klien harga diri rendah yang dapat diamati adalah berlebihan
mencari penguatan, menolak umpan balik positif diri sendiri, pengurungan diri,
sedikit atau tidak ada partisipasi, isolasi sosial, penilaian negatif terhadap orang
lain, menolak kehadiran orang lain, keterasingan terhadap orang lain.
Universitas Indonesia
berbagi pengamatan dengan pasien untuk memperluas kesadaran diri pasien dan
memilih intervensi berikutnya (Stuart, 2013)
Universitas Indonesia
(2) Kelompok
Sumber dukungan dari kelompok bisa diperoleh klien dari orang lain disekitar
tempat tinggal klien, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki masalah
yang hampir sama (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Kemampuan yang harus
dimiliki oleh kelompok meliputi pemberi dukungan (informasi, instrumental dan
afektif), sosialisasi, peningkatan informasi, pemberdayaan dan menjalin
persahabatan antar anggota kelompok.
(3) Masyarakat
Masyarakat adalah sumber pendukung klien yang diperoleh dari orang-orang yang
bertempat tinggal di sekitar klien (Stuart, 2013). Masyarakat yang dapat menjadi
sumber pendukung adalah: tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan jiwa
dan tetangga yang tinggal dalam satu wilayah dengan klien. Kader kesehatan jiwa
(KKJ) merupakan sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di
kelurahan siaga sehat jiwa (Keliat, Panjaitan & Riasmini, 2007). Kemampuan
menciptakan lingkungan psikologis tercermin dari pemberian dukungan
emosional, informasional dan instrumental bagi klien agar mampu mengatasi
masalah harga diri rendah klien.
Universitas Indonesia
dimiliki oleh klien untuk membantu dalam perawatan dan kehidupan sehari-hari.
Ketersediaan finansial akan membantu klien dalam menjangkau pusat layanan
kesehatan. Finansial meliputi sumber penghasilan, aset/investasi (tanah, rumah,
dll) dan tabungan, apabila finansial mencukupi, maka klien relatif mudah
menjangkau pusat pelayanan kesehatan, tetapi kenyataan di realita menunjukkan
bahwa beberapa klien kesulitan dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan
primer. Status ekonomi yang adekuat merupakan sumber koping dalam
menghadapi situasi yang penuh dengan stres (Townsend, 2009). Salah satu
kendala yang menghambat akses klien menuju pusat pelayanan kesehatan primer
yaitu keterbatasan finansial.
2.2 Process
Penatalaksanaan tindakan keperawatan untuk menyelesaikan diagnosa
keperawatan dilakukan dengan pemberian terapi keperawatan dan terapi medis
dalam penanganan klien dengan harga diri rendah.
Universitas Indonesia
Berdasarkan pendekatan multiaksial maka pada klien dengan harga diri rendah
dapat ditetapkan diagnosa medis Skizofrenia (F 20) atau Depresi Berat dengan
Gejala Psikotik (F 32.3) atau Gangguan Kepribadian Skizoid (F 60.1). Harga
diri rendah kronis dapat ditegakkan pada klien dengan diagnosis medis skizofrenia
dan depresi (Stuart, 2013). Harga diri merupakan tingkat penghargaan klien
terhadap diri sendiri dan penilaian ini berdasarkan pada kemampuan yang dimiliki
klien tersebut (Townsend, 2009).
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri dan sering disertai dengan kurangnya perawatan diri, berpakaian
tidak rapi, selera makan menurun, tidak berani menatap lawan bicara, lebih
banyak menunduk, berbicara lambat dan nada suara lemah (Keliat, 2010). Harga
diri rendah kronik merupakan masalah keperawatan dan tidak digolongkan secara
khusus pada diagnosis medis seperti skizofrenia atau yang lainnya, tetapi harga
diri rendah merupakan bagian dari gejala suatu diagnosis gangguan jiwa lain.
Berdasarkan penggolongan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ III), harga diri
rendah dapat dikelompokkan pada gejala negatif skizofrenia.
Universitas Indonesia
dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2010). Skizofrenia merupakan kombinasi dari
gangguan pikir, gangguan persepsi, perilaku abnormal, gangguan afektif dan
ketidakmampuan dalam bersosialisasi (Fontain, 2009). Skizofrenia terjadi karena
kerusakan otak yang menyebabkan gangguan dalam berpikir, bahasa, emosi,
perilaku sosial dan kemampuan dalam mempersepsikan realita secara akurat
(Varcarolis & Halter, 2010). Skizofrenia merupakan salah satu dari gangguan
psikotik, yang dikarakteristikan dengan symptom positif dan negatif serta
dihubungkan dengan kemunduran penderita dalam menjalankan fungsinya sehari-
hari (Sinaga, 2006). Harga diri rendah merupakan gejala negatif yang muncul
pada klien skizofrenia,sebagai akibat dari kerusakan fungsi kognitif, afektif dan
perilaku yang menyebabkan terganggunya fungsi hidup secara keseluruhan
sehingga klien mengalami kesulitan dalam berpikir jernih, mengenali realita,
menentukan perasaan, mengambil keputusan dan berhubungan dengan orang lain.
Universitas Indonesia
Golongan obat atipikal mempunyai kelebihan antara lain gejala positif maupun
negatif dapat dihilangkan, efek samping extra pyramidal syndrome (EPS) sangat
minimal atau boleh dikatakan tidak ada, serta memulihkan fungsi kognitif.
Keuntungan penggunaan obat atipikal adalah menyebabkan gejala EPS yang jauh
lebih rendah, mengurangi gejala negatif dari skizofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti pada pemberian golongan tipikal, menurunkan gejala afektif
dari skizofrenia dan menurunkan gejala kognitif pada skizofrenia (Sinaga, 2007).
Pemberian obat golongan atipikal lebih efektif untuk membantu pemulihan fungsi
kognitif klien sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam
mengatasi masalah harga diri rendah.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
perencanaan pulang pada klien, keluarga diharapkan dapat merawat klien dengan
harga diri rendah di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif bagi klien.
Universitas Indonesia
atau dilatih untuk mengontrol distorsi pikiran atau gagasan atau ide dengan benar
benar mempertimbangkan faktor dalam berkembangnya dan menetapnya
gangguan mood (Townsend, 2009). Pemberian terapi kognitif ini dapat
membantu individu untuk mengubah pernyataan dirinya yang mempengaruhi
perasaannya ke arah pikiran yang lebih positif.
(2) Tujuan
Tujuan terapi kognitif adalah untuk mengubah respon maladaptif dari distorsi
kognitif yang terjadi (Stuart, 2009). Distorsi kognitif meliputi logika yang salah,
membuat alasan yang salah, atau ketika seseorang tidak mampu melihat apa yang
terjadi sesuai dengan realita yang terjadi. Aspek kognitif berfokus pada pola
pikiran yang menyimpang/distorsi yang menyebabkan perasaan tidak
menyenangkan atau gejala-gejala dari gangguan jiwa (Fontaine, 2009).
Universitas Indonesia
(3) Indikasi
Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik lainnya
seperti panik, masalah pengontrolan marah dan penggunaan obat, harga diri
rendah, risiko bunuh diri, dan ketidakberdayaan. Selain itu juga efektif pada
gangguan makan (bulimia dan anoreksia nervosa), gangguan kepribadian (Stuart,
2009). Berdasarkan pandangan teori di atas, terapi kognitif sangat tepat untuk
klien dengan harga diri rendah kronis.
(4) Prinsip Pelaksanaan
Pelaksanaan terapi kognitif mencakup empat proses yaitu: mencetuskan pikiran
otomatis, menguji pikiran otomatis, mengidentifikasi dugaan maladaptif yang
mendasari, dan menguji validitas dugaan maladaptif (Kaplan & Saddock, 2010).
Mencetuskan pikiran otomatis sering juga disebut distorsi kognitif, yaitu kognisi
yang timbul antara peristiwa eksternal dan reaksi emosional seseorang terhadap
suatu peristiwa. Menguji pikiran otomatis yaitu mengkaji ulang keseluruhan
situasi dan membantu menempatkan kembali penyebab peristiwa yang tidak
menyenangkan, sehingga dapat dicari alternatif untuk meruntuhkan pikiran
otomatis yang tidak akurat. Mengidentifikasi dugaan maladaptif dilakukan selama
interaksi untuk mengidentifikasi pikiran otomatis, sehingga ditemukan dugaan
maladaptif yang memandu kehidupan klien. Menguji validitas dugaan maladaptif
dilakukan dengan meminta klien untuk mempertahankan validitas dugaan mereka
yang dalam hal ini adalah melatih potensinya.
Universitas Indonesia
(2) Tujuan
Tujuan psikoedukasi keluarga adalah untuk berbagi informasi tentang perawatan
klien dengan gangguan jiwa pada anggotanya (Varcarolis & Halter 2010).
Psikoedukasi keluarga untuk mengurangi kekambuhan klien gangguan jiwa,
meningkatkan fungsi klien dan keluarga sehingga mempermudah klien kembali ke
lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap
fungsi sosial dan okupasi klien gangguan jiwa (Levine, 2002 dalam Stuart, 2009).
Psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang
penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya
menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga
untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota
keluarga dan orang lain.
(3) Indikasi
Indikasi dari terapi psikoedukasi keluarga adalah anggota keluarga dengan aspek
psikososial dan gangguan jiwa. Beberapa penelitian psikoedukasi keluarga cukup
efektif diterapkan pada keluarga dengan klien gangguan bipolar, kekambuhan,
Universitas Indonesia
depresi, rawat inap berulang Miklowitz (dalam Stuart & Laraia, 2005). Indikasi
lain dapat juga dilakukan pada skizofrenia, gangguan jiwa umum lain, serta
keluarga dengan penolakan dan beban yang tinggi Clarkin (dalam Stuart & Laraia,
2005). Indikasi psikoedukasi menurut Carson (2000, dalam Sari, Keliat dan
Budiharto, 2009) adalah: informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan
keluarga, seperti latihan keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua
yang efektif; Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stres
dan krisis, seperti pada kelompok pendukung keluarga dengan penyakit
Alzheimer; pencegahan dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk
keluarga sebelum terjadinya krisis. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
indikasi dari psikoedukasi keluarga bisa diberikan kepada keluarga yang
membutuhkan pembelajaran tentang mental, keluarga yang mempunyai anggota
yang sakit mental atau mengalami masalah kesehatan dan keluarga yang ingin
mempertahankan kesehatan mentalnya dengan training maupun latihan
ketrampilan.
Universitas Indonesia
(2) Tujuan
Stuart (2009) mengatakan tujuan cognitive behaviour therapy adalah untuk
mengubah keyakinan yang tidak rasional, kesalahan penalaran dan pernyataan
negatif tentang keberadaan individu. Sedangkan menurut Tujuan utama dalam
tehnik CBT adalah (1) membangkitkan pikiranpikiran negative / berbahaya,
dengan bicara pada sendiri (self talk) dan interprestasi terhadap kejadian-kejadian
yang dialami. Distorsi kognisi menyebabkan perilaku maladaptive yang
menambah berat masalahnya, (2) terapis bersama pasien mengumpulkan bukti
yang mendukung atau menyanggah interprestasi yang telah diambil. Cognitive
behaviour therapy diarahkan untuk membantu klien mengenali dan mengubah
distorsi kognitif. Klien dilatih mengenali pikirannya dan mendorong untuk
menggunakan ketrampilan, menginterprestasikan secara lebih rasional terhadap
kognitif yang maladaptive, (3) menyusun desain eksperimen (pekerjaan rumah)
untuk menguji validitas interprestasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi
di dalam proses terapi.
(3) Indikasi
Indikasi cognitive behaviour therapy menurut Froggrat (2006) adalah pada pasien
depresi, ansietas termasuk obsesive compulsive, agooraphobia, phobia spesifik,
ansietas menyeluruh dan posttrauma, stress, gangguan makan, adikksi,
hypochondriasis, disfungsi sexual, manajemen marah, gangguan pengkontrolan
impuls, perilakur antisosial, kecemburuan, pemulihan sexual abuse, gangguan
kepribadian, masalah kesehatan mental kronis, disability psikis, skizofrenia,
manajemen nyeri, manajemen stress, gangguan perilakur pada anak dan remaja
dan masalah hubungan dalam keluarga.
Universitas Indonesia
Teor Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2014)mungkin merupakan filosofi
yang paling lengkap dari teori-teori keperawatan saat ini. Hanya Watson seorang
pembuat teori keperawatan yang secara eksplisit mendukung konsep kejiwaan dan
menekannkan pada dimensi spiritual dari keberadaan manusia. Watson
menyatakan bahwa filosofinya berorientasi pada eksistensi-fenomenologi,
spiritual, dan bagian dari filosofi ketimuran. Watson juga menggambarkan secara
substansial tentang humanistik, eksistensial dan psikologi transpersonal. Beberapa
filosofer yang diketahui sebagai sumber Watson diantaranya: Hegel, Marcel,
Whitehead, Kierkegaard, dan Teihard de Chardin.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sebagai profesi kesehatan yang memiliki keunikan, ilmu pengetahuan, dan praktik
yang memiliki etika dan misi sosial.
Teori ini dikembangkan untuk menunjukkan bahwa ilmu dan praktik keperawatan
dengan pendekatan “caring” kepada sesama manusia dapat membantu proses
penyembuhan dari dalam, sehingga dikembangkan konsep caritas yang berasal
dari bahasa yunani yang berarti “untuk menghargai”, “untuk memberikan
perhatian”. Kata ini memiliki konotasi yang baik selayaknya carative yang
bermakna cinta atau kasih sayang sehingga memiliki konotasi makna mengobati
diri sendiri dan orang lain Watson (1985 dalam Tomey & Alligood, 2014)
Kosep utama dalam teori ini adalah 10 carative faktor, transpersonal caring
relationship, caring moment or caring occasion dan caring-healing modalities.
Faktor “Carative” dapat menjadi dasar atau inti tindakan keperawatan. Carative
faktor memiliki makna yang luas dan mendalam hal ini menunjukkan bahwa
profesi keperawatan merupakan profesi yang mampu bertahan dalam waktu,
prosedur, fungsi dan spesialisasi terkait penyakit, terapi dan teknologi. 10 faktor
carative meliputi hal berikut :
2.2.6.1 Terbentuknya sistem nilai kemanusiaan dan bersifat altruistik
Faktor ini dapat dapat digambarkan sebagai kepuasan melalui cara memberi dan
meluaskan perasaan dirinya. Menurut Stuart (2013) berpendapat bahwa
merupakan hal yang sangat penting bagi perawat dalam memenuhi kebutuhan
pasien. Perawat menghargai otonomi dan kebebasan dari pasiennya terhadap
pilihan-pilihan program pengobatan dan menentukan terapi-terapi yang
diprogramkan. Menurut Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014) bahwa
nilai-nilai humanistik dan altruistik telah lebih awal dipelajari dalam hidup tetapi
nilai-nilai tersebut dapat dipengaruhi oleh perawat sebagai pendidik, faktor ini
dapat diartikan sebagai kepuasan melalui pemberian asuhan dan memahami
kepentingan orang lain.
Universitas Indonesia
HDR merupakan gangguan yang terjadi karena adanya perubahan pola pikir
sehingga mempengaruhi perilaku dan perasaan. Hal ini mengindikasikan bahwa
terapi kognitif dan terapi kognitif perilaku merupakan kombinasi yang tepat untuk
mengatasinya. Terapi yang paling banyak dikembangkan untuk mengatasi
perubahan kognitif dan perilaku adalah Cognitif therapy, Cognitive Behaviour
Therapy.
Perwujudan caring dalam aplikasi asuhan keperawatan dapat juga dicapai dengan
tindakan yang memberikan harapan dan keyakinan pada pasien. Faktor ini
menggabungkan humanistik dan nilai-nilai altruistik, memfasilitasi keperawatan
holistik dan kesehatan bagi pasien. Watson juga menjelaskan peran perawat dalam
mengembangkan keterkaitan perawat pasien yang efektif dan meningkatkan
kesehatan dengan cara perilaku caring Watson (1979 dalam Tomey & Alligood
2014). Setiap pasien mendambakan menjadi individu sehat selayaknya orang lain.
Salah satu tujuan perawatan pasien baik di rumah sakit ataupun di rumah
bertujuan untuk meningkatkan status kesehatannya.
Universitas Indonesia
perawat dan terapis tetapi juga berdasarkan perilaku perawat yang terapeutik
selama terapi berlangsung. Kualitas moral terapis juga memegang peranan penting
untuk mencapai efek terapi yang baik, salah satunya adalah sikap empati. Empati
dapat diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi dengan memahami orang lain
berdasarkan perspektifnya. Kemampuan berempati mutlak harus dimiliki oleh
perawat yang dalam asuhannya selalu berhadapan dengan orang lain.
Perilaku caring yang dapat ditampilkan oleh perawat adalah bersikap empati dan
mampu menempatkan diri pada posisi pasien, ikut merasakan masalah yang
dihadapi oleh pasien Jourard (1971, dalam Stuart, 2013.) Penatalaksanaan Asuhan
keperawatan untuk mengatasi masalah pasien, diawali dengan membangun rasa
percaya satu sama lain.Hal ini bertujuan agar terapi perawat dapat memahami
kondisi pasien sepenuhnya secara mendalam. Sensitivitas dapat dibentuk dengan
adanya peningkatan kesadaran diri individu. Individu dengan kesadaran diri baik
mampu mengenal dirinya dengan baik sehingga memiliki kepekaan terhadap
orang lain.
Universitas Indonesia
sedang, sikap santai dan terbuka, ekspresi wajah yang sesuai dengan komunikasi.
Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014).
Lebih lanjut Stuar (2013) menekankan bahwa perawat yang berperilaku caring
mampu menunjukkan sifat hangat, bersahabat, mau meluangkan waktu untuk
mendiskusikannya dan mampu menjelaskan setiap tindakan keperawatan yang
akan dilakukannya. Perawat dapat berperan besar dengan memahami kondisi-
kondisi pasien yang kurang mendapatkan informasi terkait program-program
pengobatan yang dijalankannya.
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien HDR terjadi krisis
kepercayaan terhadap orang lain bahkan pada keluarga. Tanpa adanya hubungan
saling percaya perawat dan pasien tidak mungkin terapi dilaksanakan.
Pengalaman akan kejadian traumatik mempengaruhi kemampuan pasien untuk
mengembangkan rasa percaya, terutama bagi korban yang mendapatkan
perilaku kekerasan dari orang lain. Demikian juga dengan pasien HDR sebagian
besar pasien mengalami gangguan kepercayaan pada orang lain. Pasien HDR
mengalami gangguan kognitif sehingga cenderung berfikir negatif pernyataan ini
sesuai dengan yang ditulis Stuart (2013) yang mengatakan harga diri rendah
adalah penilaian negatif terhadap diri dan dihubungkan dengan perasaan lemah,
tidak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak berharga.
Universitas Indonesia
Aplikasi terapi CT, CBT dan Psikoedukasi keluarga terhadap pasien HDR akan
berdampak berbeda untuk setiap pasien. hasil akhir bergantung pada kemampuan
pasien. tidak hanya pada saat pengkajian, selama proses terapi berlangsung,
perawat juga memiliki peran untuk menjadi pendengar yang baik bagi setiap
masalah yang dialami oleh pasien. Watson menakankan bahwa perawat harus
dapat melihat, mengenali, mendeteksi dan terhubung dengan keadaan pasien.
setiap ucapan, perilaku, pikiran, bahasa tubuh, perasaan, intuisi berkontribusi
dalam hubungan interpersonal dengan pasien (Tomey & Alligood, 2014).
Universitas Indonesia
Terkait dengan konsep stress adaptasi oleh Stuart maka pendekatan pemecahan
masalah menurut konsep tersebut adalah integrasi landasan teori, komponen
biopsikososial, pola respon dan proses keperawatan dalam perawatan pasien.
Setelah pola koping diketahui perawat menentukan tahap perawatan pasien dan
impleentasi asuhan keperawatan. Model ini mengidentifikasi 4 tahap intervensi
yaitu: tahap krisis, akut, pemeliharaan kesehatan dan promosi kesehatan.
Faktor ini adalah sebuah konsep yang penting pada keperawatan yang
membedakan antara perawatan dan pengobatan. Hal ini membolehkan pasien
diberikan informasi sehingga terjadi pergeseran tanggung jawab dari perawat
kepada pasien itu sendiri. Perawat dalam hal ini memfasilitasi proses ini dengan
menggunakan tehnik belajar mengajar yang dirancang untuk membuat pasien
melakukan perawatan dirinya sendiri, menentukan apa yang diinginkannya dan
menyediakan kesempatan bagi pertumbuhan mereka Watson (1979 dalam Tomey
& Alligood, 2014).
Universitas Indonesia
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Buston dan Stichler (2010 dalam Owen
2013) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara subscala
perawat yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dengan perawat yang
fatique, terhadap asuhan keperawatan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Parker
& Smith (2010) yang menyatakan bahwa orientasi ilmu merawat diperlukan untuk
kelangsungan hidup keperawatan dalam evolusi manusia. Berikut Parker & Smith
(2010) menyatakan juga konsep pengembangan pribadi profesional yang
berkelanjutan berdampak terhadap pasien dan perawat.
Universitas Indonesia
mengenai penyakit yang dialaminya tanpa menghakimi (De Laune dan Ladner,
2002).
Sebagaimana telah diketahui bahwa gangguan jiwa juga dapat terjadi pada
individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar
berdasarkan teori Maslow terdiri atas enam bagian diawali dengan kebutuhan
fisiologis dan kebutuhan aktualisasi diri .Dalam hal ini perawat berusaha
memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan dengan cara mempelajari respon
yang ditunjukkan Pasien dan mencoba empati atas kebutuhan yang dimaksud
Universitas Indonesia
2.3 Output
Hasil akhir dari pelaksanaan terapi, peningkatan sumber koping dan mekanisme
koping dengan pendekatan teori Stress adaptation model Stuart dan Theory of
Human caring Watson adalah adanya penurunan gejala pada HDR rata-rata lebih
dari 70% Selain itu, kemampuan dalam menghadapi masalah juga terjadi
peningkatan. Tujuan pelaksanaan terapi CT, CBT dan FPE meningkatkan
kemampuan pasien dalam membina hubungan interpersonal dan sosial di
masyarakat.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pilar ini mengatur bagaimana pola kerja sama antar tim keperawatan dan tim
kesehatan lain melalui kegiatan konferensi kasus, visite dokter, rapat tim
keperawatan dan rapat tim kesehatan.
Pola ini mengatur bagaimana asuhan keperawatan diberikan pada klien dan
keluarganya. Pada pilar meliputi tentang asuhan keperawatan yang ada di ruangan
tersebut beserta penerapan SAK dan pemberian pendidikan kesehatan. Kegiatan
Patient Care Delivery dalam MPKP bekerjasama dengan Tim kesehatan yang
bertugas di ruangan. Melalui perencanaan masing-masing perawat dengan
membuat rencana kegiatan harian untuk melaksanakan tindakan keperawatan
kepada klien kelolaan. Pada kegiatan operan dilaksanakan timbang terima
asuhankeperawatan setiap klien kelolaan tentang masalah keperawatan, tindakan
yangsudah dilakukan serta rencana tindak lanjut yang harus dilakukan oleh
perawat shift jaga selanjutnya. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan asuhan
keperawatan untuk masing-masing klien kelolaan dibahas per Tim melalui
kegiatan pre-postconference. Jika karena suatu penyebab akhirnya perawat tidak
bisa melakukan asuhan pada klien kelolaannya, maka didelegasikan kepada
perawat pengganti.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 3
PROFIL RUMAH SAKIT DAN HASIL MANAJEMEN PELAYANAN
DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
Bab ini menguraikan hasil manajemen pelayanan di ruang rawat psikiatri dan
manajemen bidang perawatan Rumah Sakit. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Kegiatan yang dilakukan meliputi pengkajian terhadap pelaksanaan kegiatan
model praktik keperawatan profesional, dengan mengacu kepada penerapan
Model Praktik Keperawatan Profesional di ruang Antareja. Pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada pasien dengan diagnosa
Harga Diri Rendah (HDR) dilakukan dengan menggunakan pendekatan model
konsep Stress Adaptation model oleh Stuart dan Theory of human caring
Relationship oleh Watson.
61
Universitas Indonesia
Saat ini RSMM telah memiliki 14 ruang rawat inap psikiatri, 3 ruang rawat inap
NAPZA dan 8 ruang rawat inap umum, dengan perincian 516 tempat tidur untuk
rawat inap psikiatri, 60 tempat tidur untuk rawat inap NAPZA, dan 144 tempat
tidur untuk rawat rawat inap umum. RSMM Bogor juga memiliki unit rawat jalan
psikiatri, instalasi gawat darurat psikiatri, unit rawat jalan spesialistik lain dan
instalasi gawat darurat umum.
Universitas Indonesia
Operan ruangan menjadi rutinitas, operan dari dinas pagi ke dinas sore selalu
dilakukan oleh kepala ruangan dan terkadang mendelegasikannya kepada
ketua tim, namun setelah ada peraturan baru dimana kepala ruangan berakhir
dinas pada sore hari (pukul 16 WB) maka kegiatan operan dilakukan oleh
kepala ruangan. Aktifitas pre dan post conference belum dapat berlangsung
dengan baik di ruang perawatan. Kegiatan pre conference masih dapat
dilakukan pada beberapa kesempatan akan tetapi kegiatan post konference
belum dapat berlangsung optimal. Iklim motivasi dan pendelegasian
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 3.1
Hasil penilaian kemampuan Kepala Ruang dalam Kegiatan MPKP
(Residensi 3, residensi 2, sept 2013 dan residensi 3 febr 2014)
I MANAGEMENT APPROACH
A Perencanaan
4 Rencana Kegiatan
a. Rencana Kegiatan Harian 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
b. Rencana Kegiatan Bulanan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
c. Rencana Kegiatan Tahunan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
B Pengorganisasian
1 Struktur organisasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
C Pengarahan
1 Operan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Observasi Pre-conference Katim 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
3 Observasi Post-conference Katim 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
D Pengendalian
1 Indikator Mutu 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
4 Survey Masalah Kesehatan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
II COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja Katim 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Rencana Pengembangan Staf 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
III PROFESSIONAL RELATIONSHIP
1 Rapat Keperawatan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Konferensi Kasus 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
3 Rapat Tim Kesehatan 100 - - - - Pendampingan
4 Jadual Visite Dokter 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
Universitas Indonesia
6 Risiko bunuh diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
7 Defisit perawatan diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
Universitas Indonesia
Tabel 3.2
Hasil evaluasi kemampuan Ketua Tim 1 Ruang Antareja
dalam manajemen pelayanan Kegiatan MPKP (Residensi 3 Sept’13, Residensi 2
November’13, Residensi 3 Februari 2014)
I MANAGEMENT APPROACH
A Perencanaan
1 Rencana Kegiatan
a. Rencana Kegiatan Harian 85 100 85 100 85 100 Pembudayaan
B Pengorganisasian
1 Jadwal Dinas 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
C Pengarahan
1 Memimpin Pre-conference 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
II COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja PP 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Jadual Visite Dokter 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Risiko perilaku kekerasan (RPK) 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
6 Risiko bunuh diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
7 Defisit perawatan diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
Universitas Indonesia
Tabel 3.3
Hasil evaluasi kemampuan Ketua Tim 2 Ruang Antareja dalam manajemen pelayanan
Kegiatan MPKP Residensi 3 -9-’13, Residensi 2-11-’13, Residensi 3-2- 2014
I MANAGEMENT APPROACH
A Perencanaan
1 Rencana Kegiatan
a. Rencana Kegiatan Harian 85 100 85 100 85 100 Pembudayaan
B Pengorganisasian
1 Jadwal Dinas 90 100 90 100 90 100 Pembudayaan
C Pengarahan
1 Memimpin Pre-conference 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
II COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja PP 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Jadual Visite Dokter 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Risiko perilaku kekerasan (RPK) 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
6 Risiko bunuh diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
7 Defisit perawatan diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
Universitas Indonesia
Tabel 3.4
Hasil Pengkajian Perawat Pelaksana
Ruang Antareja RSMM Bogor Februari 2014
Universitas Indonesia
BAB 4
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN
4.1.1 Karakteristik
Karakteristik 20 pasien dengan harga diri rendah di Ruang Antareja meliputi usia,
status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, onset dan frekuensi rawat. Tabel 4.1
memperlihatkan pasien terbanyak pada kelompok usia 21 – 40 tahun sejumlah 13
orang (65,0%) dan semuanya berjenis kelamin laki-laki sejumlah 20 orang
(100%) karena ruang Antareja adalah ruang rawat laki-laki. Status perkawinan
pasien lebih banyak yang belum menikah sejumlah 12 orang (60,0%), status
bekerja lebih banyak daripada yang belum bekerja 13 orang (65,0%) dengan
72 Universitas Indonesia
Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Pebruari – 18 April 2014
(n = 20 orang)
Universitas Indonesia
Tabel 4.2
Faktor Predisposisi Pada Pasien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 17 Februari-18 April 2014 (n=20)
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa pada faktor predisposisi biologis
terdapat 16 pasien (80%), yang mempunyai riwayat gangguan jiwa sebelumnya,
faktor psikologis pengalaman yang tidak menyenangkan terdapat 20 pasien
(100%), faktor sosial kultural adalah status ekonomi rendah dan masalah
pekerjaan sebanyak 15 pasien (75%).
Universitas Indonesia
Tabel 4.3
Faktor Presipitasi Pada Pasien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 17 Februari-18 April 2014 (n=20)
3. Sosial kultural
a. Masalah ekonomi 15 75
b. Konflik di lingkungan kerja 5 25
c. Konflik keluarga 13 65
d. Konflik lingkungan 5 25
4. Asal stresor
a. Internal 20 100
b. Eksternal 8 40
5. Waktu Stresor
a. 1 bulan 3 15
b. 2 bulan 4 20
c. > 2 bulan 13 65
6. Jumlah Stresor
> 3 stresor 20 100
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa pada faktor presipitasi biologis
adalah putus obat sebanyak 16 pasien (80%), sedangkan pasien 4 pasien yang lain
merupakan pasien baru yang baru pertama berobat. Penyebab pasien putus obat
adalah karena adanya faktor kebosanan dari pasien karena sudah lama minum
obat, ada juga disebabkan karena pasien sudah merasa sembuh sehingga pasien
tidak mau minum obat dan tidak mau diajak kontrol. Pada faktor psikologis
sebagian besar pasien memiliki keinginan yang tidak terpenuhi yaitu sejumlah 18
pasien (90%) keinginan tersebut diantaranya adalah keinginan untuk memiliki
pekerjaan dan penghasilan yang layak, keinginan untuk melanjutkan pendidikan,
keinginan untuk menikah, keinginan untuk dihargai dan diperlakukan sama dalam
keluarga, keinginan untuk mendapatkan perhatian dari orang tua, keinginan untuk
Universitas Indonesia
dihargai oleh istri atau suaminya. Pada faktor sosial budaya adalah masalah
ekonomi sebanyak 15 pasien (75%), walaupun data menunjukkan bahwa dari 20
pasien lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja, namun
pekerjaan pasien rata-rata adalah sebagai buruh kasar, buruh bangunan, buruh
pabrik, pedagang kecil, dengan penghasilan yang kecil juga sehingga tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Asal stresor menunjukkan
bahwa stresor yang berasal dari individu itu sendiri (internal) sebanyak 20 pasien
(100%), waktu stresor yang terbanyak adalah lebih dari 2 bulan yaitu sebanyak
13 pasien (65%), jumlah strsor yang terbanyak adalah lebih dari 3 stresor 20 orang
(100%).
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dijelaskan penilaian terhadap stresor pada 20 pasien
harga diri rendah untuk respon kognitif sebanyak 20 pasien (100%) merasa tidak
berguna(menjadi beban orang lain, tidak berguna bagi keluarga), tidak berarti dan
tidak berharga. Pada respon afektif sebanyak 20 orang (100%) merasa sedih.
Respon perilaku sebanyak 20 pasien (100%) mengkritik diri sendiri. Respon
sosial sebanyak 15 pasien (75%) dengan aktifitas terbatas.
Universitas Indonesia
Tabel 4.4
Penilaian terhadap Stresor Pasien Harga Diri rendah di Ruang Antareja
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 17 Februari – 18 April 2014
Universitas Indonesia
Tabel 4.5
Sumber Koping Pasien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit
Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Periode 17 Februari – 18 April 2014
(n=20)
4 Dukungan kelompok
a. Kelompok tidak memberikan motivasi 20 100
b. Kelompok tidak tahu cara merawat 20 100
c. Kelompok tidak memberikan bantuan 20 100
5 Ketersediaan aset
Pembayaran
a. BPJS 19 95
b. Pribadi 1 5
6 Jangkauan ke rumah sakit
a. Jauh 6 30
b. Dekat 14 70
Berdasarkan tabel 4.5 maka dapat dijelaskan bahwa sebanyak 12 pasien (60%)
tidak mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki,
sebanyak 13 pasien (65%) tidak mampu memilih kegiatan yang akan dilakukan,
sebanyak 14 pasien (70%) tidak mampu melakukan kegiatan yang dipilih,
sebanyak 20 pasien (100%) tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 3.6 didapatkan data bahwa semua pasien memiliki diagnosa
skizofrenia paranoid (100%). Pemberian terapi psikofarmaka jenis antipsikotik
tipikal terbanyak adalah cholpromazine dengan dosis 100 mg (1 tablet perhari),
triheksipenidil 2mg (3 tablet perhari) dan haloperidol 5mg (2-3 tablet perhari).
Psikofarmaka yang diberikan sudah pada tahap pemeliharaan dimana kondisi
pasien di Ruang Antareja sudah ada pada tahap rehabilitasi dan persiapan pulang.
Kegiatan kolaborasi di ruangan Antareja dilakukan bersama dengan psikiater dan
dokter umum yang bertanggung jawab terhadap ruangan melalui kegiatan visit
dokter untuk melihat perkembangan pasien terhadap terapi psikofarmaka yang
diberikan
Universitas Indonesia
Tabel 4.6
Diagnosa Medis dan Terapi Medis pada pasien dengan harga diri rendah di
Ruang Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 17 Februari-18 April 2014 (n=20)
Tabel 4.7
Diagnosis Keperawatan Yang menyertai Pada Pasien harga Diri Rendah di
Ruang Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014 (n=20)
v v v 11 55
HargaDiri v v v v 5 25
Rendah v v v 4 20
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa diagnosis utama harga diri rendah
dengan penyerta isolasi sosial, penataan regiment terapeutik tidak efektif (PRTI)
dan halusinasi adalah yang terbanyak yaitu 11 pasien (55%), Diagnosis utama
harga diri rendah dengan penyerta isolasi sosial, PRTI, Defisit perawatan diri
(DPD) dan risiko perilaku kekerasan (RPK) sebanyak 5 pasien (25%), Diagnosis
utama harga diri rendah dengan penyerta isolasi sosial, Penatalaksanaan Regimen
Terapeutik Inefektif (PRTI), dan DPD sebanyak 4 pasien (20%).
Universitas Indonesia
Rencana tindakan generalis kelompok yang ditetapkan untuk pasien harga diri
rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi harga diri rendah.
Tujuan terapi kelompok ini adalah untuk mengidentifikasi hal positif pada diri dan
melatih hal positif pada diri melalui kegiatan dalam kelompok.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.8
Distribusi Terapi Keperawatan Pasien Harga Diri Rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Februari-18 April 2014
(n=20)
No Terapi Keperawatan Jumlah Presentase
1 Terapi Generalis
a. Individu 20 100
Identifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki
Menilai kemampuan yang masih dapat digunakan
Bantu pasien memilih kemampuan yang akan dilatih
Melatih kemampuan yang dipilih
b. Keluarga
Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam
merawat pasien.
Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses
terjadinya HDR, dan mengambil keputusan merawat
pasien.
9 45
Mendiskusikan kemampuan atau aspek positif pasien
yang pernah dimiliki.
Melatih keluarga cara merawat harga diri rendah dan
berikan pujian.
Melatih keluarga memberi tanggung jawab kegiatan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.10
Pelaksanaan Terapi Perilaku Kognitif pasien Harga Diri Rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Pebruari – 18 April 2014
(n = 10 orang)
No Sesi Terapi Jumlah Prosentase
1 Sesi 1: Mengidentifikasi pikiran otomatis negatif 10 100
Akibat serta akibat negatif terhadap perilaku
Universitas Indonesia
Tabel 4.11
Pelaksanaan Terapi Psikoedukasi Keluarga Pasien Harga Diri Rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Pebruari – 18 April 2014
(n = 9 orang)
No Sesi Terapi Jumlah Prosentase
1 Sesi 1: Pengkajian masalah yang dialami oleh 9 100
keluarga
Universitas Indonesia
4.5.1 Kemampuan Pasien Harga Diri Rendah dan Keluarga Sebelum dan
Sesudah diberikan Tindakan Keperawatan
Kemampuan pasien dengan harga diri rendah diukur dengan membandingkan
antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan keperawatan seperti yang terinci
pada tabel 4.12
Berdasarkan tabel 4.12 menunjukkan bahwa pasien harga diri rendah yang
mendapat kombinasi tindakan generalis dan terapi kognitif mengalami
peningkatan kemampuan antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan
keperawatan. Selisih antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan keperawatan
menunjukkan keberhasilan. Rerata kemampuan pasien sebelum diberikan
tindakan keperawatan adalah 0,9 sedangkan setelah mendapat tindakan
keperawatan menjadi 6,6 berarti terjadi kenaikan sejumlah 5,7 Dengan demikian
terapi generalis dan terapi kognitif sangat tepat diterapkan pada pasien dengan
masalah harga diri rendah.
Universitas Indonesia
Tabel 4.12
Evaluasi Kemampuan Pasien dan Keluarga dengan anggota keluarga harga
diri rendah Pre-Post Tindakan Keperawata di Ruang Antareja
Periode 17 Februari – 18 April 2014
No Kemampuan Pasien Tindakan generalis Tindakan generalis (+)
(+) terapi kognitif Terapi kognitif (+) FPE
(n=6) (n=4)
Pre Post Selisih Pre Post Selisih
1 Kemampuan pasien
a. Mampu mengidentifikasi 0 1 1 0 1 1
kemampuan dan aspek
positif yang dimiliki
b. Mampu memilih kegiatan 0 0,8 0,8 0 1 1
yang dapat dilakukan
c. Mampu untuk melakukan 0 0,8 0,8 0 0,75 0,75
kegiatan yang dipilih
d. Mampu mengidentifikasi 0,2 1 0,8 0 1 1
pikiran otomatis negatif
e. Mampu menggunakan 0,2 1 0,8 0 1 1
tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis
negatif
f. Mampu mengidentifikasi 0,3 1 0,7 0 1 1
manfaat tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis
negatif
g. Mampu memanfaatkan 0,2 1 0,8 0,5 1 0,5
support system
Rerata kemampuan 0,9 6,6 5,7 0,5 6,75 6,25
pasien
2 Keyakinan positif
a. Tidak yakin akan sembuh 0 1 1 0 1 1
b. Tidak yakin terhadap 0 1 1 0 1 1
pelayanan kesehatan
Rerata keyakinan (+) 0 2 2 0 2 2
3 Kemampuan Keluarga
a. Keluarga mengenal 0 1 1
masalah
b. Keluarga mampu 0 1 1
memutuskan
c. Keluarga mampu merawat 0 1 1
pasien
d. Keluarga mampu 0 1 1
modifikasi
e. Keluarga mampu 0 1 1
memanfaatkan pelayanan
kesehatan
f. Keluarga mampu 0 0,5 0,75
manajemen stres
g. Keluarga mampu
manajemen beban 0 0,5 0,75
Rerata kemampuan keluarga 0 6 6,5
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 4.12 dapat diketahui juga efek dari pemberian terapi generalis,
terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga. Setelah diberikan tindakan terapi
generalis ditambah terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga menunjukkan
kenaikan skor rata-rata kemampuan pasien. rerata kemampuan pasien sebelum
dilakukan tindakan keperawatan adalah 0,5 dan setelah dilakukan tindakan
keperawatan adalah 6,75 dengan kenaikan skor adalah 6,25. Dengan demikian
maka terapi generalis ditambah dengan terapi kognitif dan terapi psikoedukasi
keluarga lebih efektif untuk mengatasi masalah harga diri rendah pada pasien
yang dirawat di Ruang Antareja RSMM.
Berdasarkan tabel 4.12 juga dapat dilihat kemampuan keluarga setelah diberikan
terapi psikoedukasi keluarga. Rerata kemampuan keluarga sebelum dilakukan
tindakan keperawatan adalah 0 dan setelah dilakukan tindakan keperawatan
adalah 0,5 dengan kenaikan skor adalah 6,5. Berdasarkan hasil tersebut maka
terapi psikoedukasi keluarga sangat bermanfaat diterapkan pada keluarga dengan
anggota keluarga yang mempunyai masalah harga diri rendah.
Berdasarkan tabel 4.13 menunjukkan bahwa pasien harga diri rendah yang
mendapat kombinasi tindakan generalis dan terapi perilaku kognitif (CBT)
mengalami peningkatan kemampuan antara sebelum dan sesudah diberikan
tindakan keperawatan. Selisih antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan
keperawatan menunjukkan keberhasilan. Sehingga rerata skor sebelum terapi
diberikan adalah 0,7 dan setelah terapi diberikan adalah 4,6 berarti terdapat
kenaikan skor yaitu sejumlah 4 setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Universitas Indonesia
Tabel 4.13
Evaluasi Kemampuan Pasien dan Keluarga Pre-Post Tindakan Keperawatan
Pasien Harga diri rendah dan Keluarga di Ruang Antareja Periode
17 Februari – 18 April 2014
3 Kemampuan Keluarga
a. Keluarga mengenal 0 1 1
masalah
b. Keluarga mampu 0 1 1
memutuskan
c. Keluarga mampu merawat 0 1 1
pasien
d. Keluarga mampu 0 0,8 0,8
modifikasi
e. Keluarga mampu 0 0,8 0,8
memanfaatkan pelayanan
kesehatan
f. Keluarga mampu 0,2 1 0,8
manajemen stres
g. Keluarga mampu
manajemen beban 0,2 1 0,8
Rerata kemampuan –keluarga 0,4 6,6 6,2
Universitas Indonesia
4.5.2 Perubahan Tanda dan Gejala Pada Pasien Harga Diri Rendah
Perubahan tanda dan gejala pasien harga diri rendah dilihat pada respon pasien
terhadap stresor yang diukur dan dibandingkan antara sebelum dan setelah
mendapatkan tindakan keperawatan, meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku dan sosial yang dapat dilihat pada tabel 4.14
Evaluasi tanda dan gejala (respon) yang penulis masukkan ke dalam karya ilmiah
akhir ini sumber data berasal dari hasil scanning asuhan keperawatan dan catatan
perkembangan pasien selama penulis melaksanakan residensi 3 di Ruang Antareja
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.
Universitas Indonesia
Tabel 4.14
Evaluasi Tanda dan Gejala Pasien Harga Diri Rendah Pre-Post
Tindakan Keperawatan di Ruang Antareja Periode 17 Febr – 18 April 2014
yang mendapat Terapi Generalis, Terapi Cognitif dan FPE
5 Respon Sosial
a. Hubungan dengan 0,5 0,2 0,3 0,5 0,25 0,25
orang lain buruk
b. Aktivitas terbatas 0,5 0,2 0,3 0,25 0 0,25
c. Menghindari interaksi 0,2 0,1 0,1 0,25 0 0,25
Rata-rata Sosial 1,2 0,5 0,7 1 0,25 0,75
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 4.14 di atas dapat dibandingkan tentang penilaian tanda dan
gejala melalui respon pasien harga diri rendah terhadap stresor sebelum dan
sesudah diberikan kombinasi tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan
terapi psikoedukasi keluarga. Berdasarkan respon pasien terhadap stresor, secara
umum pasien mengalami penurunan respon terhadap stresor yang artinya terdapat
penurunan tanda dan gejala gejala/respon yang menunjukkan adanya harga diri
rendah pada pasien dengan membandingkan respon pasien saat pre-post diberikan
tindakan keperawatan.
Penuruan tanda dan gejala setelah mendapat tindakan terapi generalis dan terapi
kognitif yang menunjukkan perubahan besar adalah pada aspek kognitif dan
afektif yaitu rata-rata selisih 1,1 selisih. Sebelum diberikan terapi generalis dan
terapi kognitif didapatkan rata-rata respon kognitif harga diri rendah skor 2,9.
Demikian juga untuk respon afektif dari skor 3,3 respon afektif pasien harga diri
rendah maka setelah pemberian terapi generalis dan terapi kognitif terjadi
penurunan skor menjadi 2,2 pada respon afektif skor 1,1. Pada respon fisiologis
terjadi selisih skor 0,9. Respon fisiologis pasien harga diri rendah dan pada
respon perilaku terjadi perubahan atau skor menjadi 0,5. Pada respon sosial
terjadi perubahan skor menjadi 0,5
Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi
kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan respon kognitif berfikir tidak berguna, sulit
Universitas Indonesia
konsentrasi, dan tidak mempunyai kemampuan skor rata-rata adalah 3,75 dan
setelah diberikan tindakan terjadi penurunan dari respon kognitif menjadi 0,75.
Universitas Indonesia
Tabel 4.15
Evaluasi Tanda dan Gejala Pasien Harga Diri Rendah Pre-Post
Tindakan Keperawatan di Ruang Antareja Periode 17 Febr – 18 April 2014
yang mendapat terapi Generalis, Terapi Perilaku kognitif dan FPE
No Penilaian terhadap Tindakan generalis (+) Tindakan generalis (+) Terapi Kognitif
stresor Terapi (+) FPE (n=5)
perilaku kognitif(n=5)
Pre Post Selisih Pre Post Selisih
1 Respon Kognitif
a. Merasa tidak 1 0,1 0,9 1 0 1
berguna
b. Sulit konsentrasi 0,8 0,1 0,9 0,8 0,25 0,55
c. Tidak mempunyai 0,6 0,1 0,5 0,75 0,25 0,5
kemampuan
d. Hubungan tak 2,4 0,2 0,4 0,6 0 0,6
berarti dengan orang
Rata-rata kognitif 3 0,5 2,7 3,15 0,5 2,65
2 Respon afektif
a. Sedih 1 0,25 0,75 1 0,3 0,7
b. Murung 0,6 0,25 0,35 0,8 0,2 0,6
c. Kecewa 0,6 0,25 0,35 0,8 0,3 0,5
d. Malu 0,6 0,35 0,35 0,6 0 0,6
2,8 1,1 1,8 3,2 0,8 2,4
3 Respon fisiologis
a. Gangguan pola tidur 1 0,3 0,7 1 0 1
b. Gangguan pola 0,4 0,2 0,2 1 0 1
makan
c. Keluhan fisik 0,1 0 0,1 0,25 0 0,25
Rata-rata Fisiologis 1,5 0,5 1 2,25 0 2,25
4 Respon perilaku
a. Mengkritik diri 1 0,2 0,8 1 0 1
b. Merusak diri 0,25 0,1 0,1 0,25 0 0,25
c. Motivasi 1 0,2 0,8 1 0 0,5
menurun
Rata-rata respon 2,25 0,5 1,7 1,75 0 2,75
perilaku
5 Respon Sosial
a. Hubungan dengan 0,3 0,1 0,2 0,5 0,25 0,25
orang lain buruk
b. Aktivitas terbatas 0,3 0,1 0,2 0,25 0,25 0
c. Menghindari 0,2 0,1 0,1 0,25 0 0,25
interaksi
Rata-rata Respon sosial 0,8 0,3 0,5 1 0,5 0,5
Universitas Indonesia
Berdasarkan tabel 4.15 di atas dapat diketahui bahwa pasien harga diri rendah
yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan terapi perilaku kognitif,
sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan respon kognitif skor 3,
dan setelah mendapat terapi generalis dan terapi perilaku kognitif skor menjadi
0,5. Respon afektif sebelum diberikan tindakan keperawatan 2,8 setelah diberikan
tindakan keperawatan 1,1. Respon fisiologis sebelum diberikan tindakan
keperawatan 1,5 dan setelah diberikan tindakan keperawatan 0,5. Respon perilaku
sebelum diberikan tindakan keperawatan skor 2,25 dan setelah diberikan tindakan
keperawatan 0,5. Respon sosial sebelum diberikan tindakan keperawatan 0,8 dan
setelah diberikan tindakan keperawatan 0,3. Selisih penurunan tanda dan gejala
yang tertinggi adalah pada respon kognitif mencapai 2,7.
Tabel 4.15 juga menunjukkan tanda dan gejala yang masih ada setelah terapi
generalis dan terapi perilaku diberikan yaitu pada aspek kognitif: merasa tidak
berguna 0,1, sulit konsentrasi 0,1, tidak mempunyai kemampuan 0,1, hubungan
tidak berarti dengan orang lain 0,2; respon afektif sedih, murung dan kecewa 0,25,
malu 0,35. Pada respon fisiologis gangguan tidur 0,3, gangguan pola makan 0,2.
Respon perilaku mengkritik diri 0,2, merusak diri 0,1, motivasi menurun 0,2.
Respon sosial hubungan dengan orang lain buruk 0,1, aktivitas terbatas 0,1 dan
menghindar interaksi 0,1.
Berdasarkan tabel 4.15 diketahui juga perubahan respon yang terbesar terjadi pada
aspek perilaku skor 2,25, diikuti respon kognitif 2, berikutnya adalah respon
afektif skor 1,8, berikut adalah respon fisiologis skor 1 dan respon sosial 0,5
Dengan demikian dapat dilihat bahwa terapi kognitif perilaku tepat diberikan pada
pasien harga diri rendah karena dapat membawa perubahan respon perilaku.
Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi
kognitif Perilaku dan terapi psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan rata-rata respon kognitif sebelum dilakukan tindakan
keperawatan adalah 3,15 dan setelah mendapat tindakan keperawatan adalah 0,5,
Universitas Indonesia
pada respon afektif sebelum intervensi 3,2 dan setelah intervensi 0,8. Respon
fisiologis sebelum untervensi 2,25 dan setelah intervensi 0. Pada respon perilaku
sebelum intervensi 1,75 dan setelah intervensi adalah 0, dan pada respon sosial
sebelum intervensi keperawatan adalah 1 dan setelah intervensi menunjukkan data
0,5. Dengan demikian dapat dilihat bahwa perubahan yang tertinggi terdapat pada
respon perilaku (selisih 2,75), dilanjutkan dengan respon afektif (selisih 2,4),
respon fisiologis (selisih 2,25) dan respon sosial (selisih 0,5)
Evaluasi hasil tindakan keperawatan generalis, terapi perilaku kognitif dan terapi
psikoedukasi keluarga juga menunjukkan respon yang belum semuanya tuntas.
Pada respon kognitif kurang konsentrasi dan mersa tidak mempunyai kemampuan
0,25, pada respon afektif merasa sedih dan 0,3 murung 0,2 pada respon sosial
hubungan dengan orang lain buruk dan aktivitas terbatas 0,25 Artinya pada
kelompok pasien yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi perilaku
kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil yang lebih efektif
untuk terjadi penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan baik
pasien maupun keluarga.
Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang pembahasan manajemen kasus spesialis berupa asuhan
keperawatan pada pasien harga diri rendah di Ruang Antareja RS. Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor, manajemen pelayanan yang menunjang pelaksanaan
asuhan keperawatan tersebut, serta keterbatasan yang ditemukan selama proses
pelaksanaan asuhan keperawatan. Pembahasan manajemen kasus spesialis
meliputi hasil pengkajian pasien harga diri rendah secara detail dan efektifitas
manajemen asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah yang diberikan
terapi kognitif, terapi perilaku kognitif, dan terapi psikoedukasi keluarga
menggunakan pendekatan Theory Stress Adaptation Model oleh Stuart dan
Theory of Human Caring oleh Watson.
Universitas Indonesia
100
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
0
101
5.1 Pengkajian
5.1.1 Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Hasil pengkajian karakteristik pasien dengan masalah harga diri rendah terdiri dari
usia, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, pendidikan, lama sakit, dan
frekuensi rawat.
5.1.1.1 Usia Pasien
Pasien dengan harga diri rendah yang dirawat di Ruang Antareja sebagian besar
berada dalam rentang usia 21 – 41 tahun atau pada masa dewasa yaitu 13 orang
(65%). Usia merupakan aspek sosial budaya terjadinya gangguan jiwa dengan
risiko frekuensi tertinggi mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia dewasa
(Stuart, 2009). Umur merupakan salah satu faktor penentu kematangan seseorang
namun hal ini tidak dapat berlaku secara umum karena beberapa orang muda
secara umur namun telah matang dalam pola pikirnya. Menurut Susihar (2011)
mengungkapkan bahwa semakin bertambah umur sesorang maka kepuasan
seseorang juga akan meningkat. Namun hal ini dibantah oleh Anjaswarni (2002)
yang mengatakan bahwa semakin bertambah usia maka semakin bertambah tinggi
pula tuntutan kebutuhan akan “caring” sehingga kemungkinan akan sulit untuk
terpenuhi.
Universitas Indonesia
berguna, ditambah lagi adanya stresor lain seperti gagal menemukan pasangan
akan membawa dampak kepada pasien. Perasaan malu untuk bersosialisasi
merupakan akibat dari ketidakmampuan pasien dalam mencapai aktualisasi diri.
Tugas perkembangan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menjadi
stresor untuk perkembangan berikutnya dan jika stresor tersebut menumpuk
sangat berisiko mengalami gangguan jiwa. Kondisi tersebut akan menyebabkan
individu merasa rendah diri dan apabila berlangsung lama akan menjadi harga diri
rendah kronis.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kasus yang dialami oleh pasien tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan Tuty (2005), menunjukkan bahwa prevalensi disfungsi ereksi pada
pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotik dan antikolinergik adalah
26%. Variabel yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya disfungsi ereksi
adalah terapi tipikal yaitu sebanyak 3,5 kali lebih banyak dari terapi atipikal.
Official Journal of The World Psychiatric Association /WPA (2008), melaporkan
bahwa pasien dengan skizofrenia lebih sering terkena disfungsi seksual
dibandingkan dengan gangguan afektif, dan bahkan pasien skizofrenia yang tidak
diobati memiliki disfungsi sedikit dibandingkan dengan mereka yang
mendapatkan obat antipsikotik.
Penulis sebagai perawat yang ketika itu berada di samping pasien saat melakukan
pengkajian menyadari sepenuhnya sebagai orang yang akan memasuki wilayah
privasi pasien dengan melihat pengalaman masa lalu dan saat ini. Perilaku
“caring” yang penulis lakukan saat itu adalah mendengar sepenuhnya keluhan
pasien dengan sikap yang terapeutik dan melibatkan empati sebagai sikap
kepedulian terhadap masalah yang dialami pasien. Hal ini penulis lakukan untuk
Universitas Indonesia
5.1.1.3 Pekerjaan
Pasien yang dirawat dengan harga diri rendah sebagian besar telah memiliki
pekerjaan, 15 orang pasien (75%). Namun jika ditinjau dari satutus sosial
ekonomi maka sebagian besar (75%) berada pada sosial ekonomi rendah. Hal ini
dapat penulis jelaskan bahwa walaupun sebagian besar dari pasien telah bekerja,
namun pekerjaan yang dimiliki rata-rata adalah sebagai buruh/pekerja kasar,
dengan penghasilan yang belum mencukupi. Masalah yang ditemukan pada pasien
harga diri rendah terkait dengan pekerjaan adalah adanya pikiran tidak mampu,
merasa diri bodoh, hidup dengan penghasilan yang kurang, merasa tidak pernah
sepadan dengan orang lain, merasa tidak ada lagi orang lain yang peduli.
Pekerjaan merupakan salah satu faktor predisposisi dan presipitasi sosial budaya
proses terjadinya gangguan jiwa. Individu dengan status ekonomi rendah akan
rentan terhadap masalah kesehatan jiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Vega,
et al. 1999, dalam Stuart, 2013). Uraian tersebut menjelaskan bahwa seseorang
yang tidak memiliki pekerjaan sehingga berada dalam sosial ekonomi rendah akan
lebih berisiko untuk mengalami berbagi masalah terutama kurangnya rasa percaya
diri dalam menjalankan aktivitas hidup sehari-hari. Untuk itu diperlukan adanya
terapi yang dapat merubah persepsi negatif pasien terhadap dirinya sehingga akan
mengembalikan kepercayaan diri dan berdampak kepada produktifitasnya.
Menurut penulis bahwa pekerjaan sangat penting bagi pasien yang mengalami
harga diri rendah. Penulis berpendapat bahwa seorang perawat yang berperilaku
“caring” merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam memberikan
perawatan pada pasien tanpa melihat latar belakang pekerjaan. Pekerjaan bisa
merupakan hal yang sensitif bagi pasien untuk dibicarakan karena kemungkinan
mereka akan mengalami rendah diri. Oleh karena itu perawat yang berperilaku
“caring” dapat menghilangkan hambatan ini. Menurut Tomey & Alligood (2014),
Universitas Indonesia
5.1.1.5 Pendidikan
Pasien yang dirawat dengan masalah harga diri rendah sebagian besar memiliki
latar belakang pendidikan sekolah menengah (SMP) yaitu 9 orang pasien
(45%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien mempunyai latar belakang pendidikan
yang cukup memenuhi syarat dalam menerima informasi baru. Pasien sebagian
besar mampu memahami penjelasan, pengarahan, melakukan latihan terapi yang
disampaikan oleh perawat. Pendidikan menjadi tolak ukur kemampuan seseorang
dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Stuart, 2013). Kemampuan
seseorang untuk menerima informasi dalam rangka mengatasi masalah yang
dihadapi sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan. Pasien dengan
pendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih besar sehingga
menghasilkan kebiasaan mempertahankan yang lebih baik Redman (1993, dalam
Potter, 2005). Pada waktu individu menyadari tentang kesehatannya, individu
akan mencari penyelesaian terhadap masalahnya dengan melibatkan orang lain.
Banyak penelitian mengungkapkan pentingnya pendidikan sebagai sumber
koping dan pencegahan terhadap gangguan jiwa.
Universitas Indonesia
Brady (2004) mengatakan 20 sampai 25% dari mereka yang didiagnosis dengan
skizofrenia akan mengalami remisi, sekitar 50% dari remaja yang terkena dampak
atau dewasa muda akan terus memiliki gejala persisten atau intermitten. Meskipun
Universitas Indonesia
Sebanyak 20 orang pasien yang penulis rawat, memiliki lama sakit dengan waktu
terlama adalah 30 tahun dan terpendek adalah kurang dari 1 bulan. Pasien yang
memiliki lama sakit 30 tahun tersebut ternyata memiliki faktor predisposisi yang
lebih komplit dibandingkan pasien lain yang lama sakit < dari 3 tahun. Diantara
faktor pendukung yang menyebabkan pasien tersebut memiliki lama sakit sampai
30 tahun adalah penyakit fisik yaitu pasien mengidap epilepsi semenjak usia
kanak-kanak, pasien juga sering mendapat trauma kepala karena pasien memiliki
aktivitas sebagai petinju di usia remaja, menurut keluarga pasien juga mempunyai
sifat tempramental semenjak kecil (ketidakmampuan mengontrol emosi) hingga
saat sekarang pasien sering menggunakan koping destruktif yaitu marah-marah
dengan istri di rumah dan konfrontasi dengan teman sekerjanya, disamping itu
pasien juga seorang perokok dan pecandu kopi. Pasien tersebut adalah dengan
diagnosa Skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan perkembangan syaraf otak,
bukan disebabkan oleh satu penyebab tetapi merupakan interaksi yang kompleks
dari genetik dan faktor lingkungan lainnya. Skizofrenia adalah gangguan
neurobiologis yang kompleks, defisit neuroanatomi, kelainan neuroelektrik dan
disregulasi sirkulasi neurologis dan akhirnya menunjukkan gejala klinis
skizofrenia Gilmore ( 2010 dalam Stuart, 2013). Gangguan jiwa pada pasien yang
penulis asuh juga disebabkan oleh berbagai faktor pendukung sehingga memiliki
waktu yang lama untuk menderita penyakit tersebut.
Pasien yang menderita penyakit dalam waktu lama (kronis) dan sering mengalami
kekambuhan akan berdampak semakin memburuknya keadaan pasien, disebabkan
setiap kali mengalami kekambuhan akan terjadi penurunan kemampuan. Pasien
skizofrenia dengan prognosis buruk salah satu cirinya adalah selama tiga tahun
Universitas Indonesia
Perilaku “caring” pada pasien perawat yang dapat dilakukan adalah memberikan
keamanan dan kenyamanan untuk mengikuti perawatan yang diberikan oleh
perawat. Semakin lama seorang sakit maka kemungkinan mereka akan bosan.
Oleh karena itu perawat hendaknya dapat memberikan pemahaman kepada pasien
bahwa pengobatan yang dijalankan adalah untuk membawa pasien ke arah yang
lebih baik, dengan cara-cara yang dapat diterima pasien dan keluarga dengan
menghadirkan lingkungan yang kondusif, ini merupakan bentuk “caring” perawat.
Menurut Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014) mengatakan bahwa
perawat perlu menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi dan atau
memperbaiki mental, sosiokultural dan spiritual. Tomey & Alligood (2014)
menjelaskan lebih lanjut sangat perlu menyediakan lingkungan eksternal dan
internal yang dapat mempengaruhi kesehatan pasien, seperti menciptakan
lingkungan yang aman dan nyaman serta keleluasaan pribadi pasien. Perawat
dalam hal ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga pasien dapat
mengatasi masalahnya.
Universitas Indonesia
Menurut Watson (1979) dalam Tomey & Alligood (2014) bahwa 10 carrative
factors yakni aspek meningkatkan dan menerima ekspresi pasien tentang perasaan
positif dan negatifnya. Selanjutnya hal ini dijelaskan oleh Tomey & Alligood
(2014) bahwa perawat harus menyiapkan diri dalam menghadapi berbagai
ekspresi perasaan yang dialami baik positif maupun negatif.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pasien harga diri rendah mempunyai tipe kepribadian introvert dengan pola
komunikasi tertutup. Kegagalan tugas perkembangan menyebabkan kepribadian
introvert, gangguan kemampuan komunikasi verbal, menutup diri dari
kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya dan tidak memiliki orang
terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya. Faktor psikologis yang
mempengaruhi seseorang menarik diri dari lingkungan adalah kegagalan, malu
karena kehilangan status sosial dan stresor pada tahapan tumbuh kembang
(Townsend, 2009). Dalam rangka mengembangkan hubungan positif setiap orang
harus dapat melalui delapan tugas perkembangan (development task) sesuai
dengan proses perkembangan usia (Erikson, 2000 dalam Keliat, 2007). Kegagalan
dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak
percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, tidak
mampu merumuskan dan mengungkapkan keinginan dan merasa tertekan.
Universitas Indonesia
dan terlibat dalam kehidupan sosial seperti hidup di lingkungan yang miskin,
lingkungan dengan tingkat kriminalitas yang tinggi, migrasi atau tumbuh di luar
negeri dengan budaya yang berbeda (Tandon, dkk, 2008 dalam Varcarolis &
Halter, 2010). Dalam hubungannya dengan kesehatan mental maka kemiskinan
mempunyai efek negatif yang ditunjukkan dengan tingginya angka gangguan jiwa
serta angka pasien yang dirawat (Stuart, 2013).Kemiskinan yang dialami oleh
seseorang menjadikan terjadinya keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan
pokok seperti nutrisi, pemenuhan kesehatan, kurangnya perhatian terhadap
pemecahan masalah yang dapat menimbulkan munculnya stres. Faktor status
sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang
menyebabkan harga diri rendah dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi.
Pasien yang mengalami putus obat ditemukan alasan yaitu adanya perasaan bosan,
merasa sudah sembuh, merasa obat tidak cocok karena jika minum obat menjadi
mudah mengantuk, tidak nyaman, lemas setelah minum obat sehingga tidak bisa
bekerja lagi, merasa obat tidak cocok karena meskipun obat sudah habis tetapi
belum sembuh juga dan ada perasaan khawatir menjadi ketergantungan obat.
Hasil riset menunjukkan bahwa alasan pasien memiliki perilaku tidak patuh dalam
minum obat dikarenakan pasien dan keluarga tidak merasakan manfaat minum
obat dan merasa tidak nyaman khususnya secara fisik dengan mengkonsumsi
obat-obat antipsikotik (Wardani, dkk, 2009). Kurangnya informasi kepada pasien
dan keluarga yang adekuat dari fasilitas pelayanan kesehatan tentang manfaat dan
efek obat berdampak pada kekambuhan sehingga memperburuk kondisi pasien.
Universitas Indonesia
Hasil karya ilmiah ini selanjutnya memperlihatkan bahwa asal stressor terbanyak
berasal dari internal sejumlah 20 orang pasien (100%) dengan waktu stressor
pada pasien yang terbanyak adalah > 2 bulan sejumlah 13 orang (65%) dengan
jumlah stressor terbanyak > 3 yakni sejumlah 20 orang pasien (100%). Menurut
Stuart (2013) jumlah stresor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam
satu waktu atau dalam waktu yang bersamaan lebih sulit diselesaikan
dibandingkan dengan satu stresor dalam satu waktu. Setiap stressor yang muncul
Universitas Indonesia
merupakan beban bagi pasien sehingga apabila stressor semakin banyak maka
kemampuan pasien tersebut akan semakin menurun.
Penulis sependapat dengan apa yang disampaikan oleh pakar tersebut. Penulis
beranggapan bahwa semakin banyak stressor yang muncul maka semakin
memberikan tekanan kepada pasien. Kemampuan pasien dalam mengatasi
masalahnya berbeda-beda masing-masing individu. Menurut Wainwright (2012)
perawat dalam memberikan bantuan kepada pasien harus meluangkan waktu
tanpa ada gangguan. Berikan kesempatan kepada pasien untuk menanyakan
kecemasannya secara menyeluruh. Dengan kekhawatiran pasien tanpa
memperlihatkan kegelisahan seperti sering melihat jam, melihat keluar jendela
karena hal ini merupakan tanda bahwa perawat tidak dapat berperilaku “caring”
terhadap pasien.
Universitas Indonesia
menyatakan sulit konsentrasi Respon kognitif pasien harga diri rendah setelah
diberikan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif menunjukkan
penurunan. Pasien yang merasa tidak berguna turun menjadi 0,3 dan pasien yang
menyatakan sulit konsentrasi turun menjadi 0,1 Evaluasi akhir pada kelompok
pasien yang mendapat terapi generalis dan terapi kognitif ,tidak ada lagi pasien
yang merasa tidak berguna, u memiliki rerata score 0,2 terhadap gejala tersebut
20% pasien berfikir hubungannya dengan orang lain tak berarit atau meiliki rerata
score 0,2 terhadap gejala tersebut. Kelompok ini merupakan pasien yang yang
sama sekali belum pernah dikunjungi oleh keluarganya selama dirawat,
mempunyai latar belakang pendidikan SMP dan mempunyai lama rawat 3 bulan
Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi
kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan respon kognitif berfikir tidak berguna sebanyak 100%
atau memiliki rerata score 1 terhadap gejala tersebut, setelah dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan hasil penurunan menjadi 25% pada respon kognitif
atau memiliki rerata score 0,25 terhadap gejala tersebut (berfikir tidak berguna).
Evaluasi hasil tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan terapi
psikoedukasi keluarga juga menunjukkan respon yang belum semuanya tuntas.
Pada respon kognitif sebanyak 25% rerata score 0,25, pada gejala sulit
konsentrasi dan tidak mempunyai kemampuan, pada respon afektif sedih dan
kecewa 30% atau meiliki rerata score 0,3 terhadap gejala tersebut, pada respon
sosial 25% pasien atau meiliki score 0,25 mempunyai hubungan buruk dengan
orang lain dan menghindar interaksi. Artinya pada kelompok pasien yang
mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi kognitif dan terapi
psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil yang lebih efektif untuk terjadi
penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan baik pasien maupun
keluarga.
Universitas Indonesia
afektif sebanyak 100% atau meiliki rerata score 1 mempunyai perasaan sedih dan
kecewa, sebanyak 80% merasa kecewa atau rerta score 0,8. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan didapatkan pada respon afektif sebanyak 30% pasien rerata
score 0,3 mempunyai perasaan sedih, malu dan kecewa, sebanyak 20% rerata
score 0,2 murung.
Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan keperawatan
menunjukkan respon afektif sebanyak 100% mempunyai perasaan sedih, kecewa
malu dan sebanyak 100%. Setelah dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan
hasil penurunan menjadi 30% rerata score 0,3 pada respon afektif pasien
mempunyai perasaan sedih, kecewa dan malu dan 20% pasien, rerata score 0,2
yang masih murung. Pada kelompok pasien yang mendapatkan kombinasi
tindakan generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil
yang lebih efektif untuk terjadi penurunan tanda dan gejala serta peningkatan
kemampuan baik pasien maupun keluarga.
Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif perilaku, sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan
respon perilaku sebanyak 100% mengkritik diri sendiri. Setelah dilakukan
Universitas Indonesia
Respon perilaku merefleksikan respon emosi dan fisiologis sebagai hasil analisis
kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh stres. Caplan (1981), dalam
Sutart & Laraia (2005), mengemukakan 4 (empat) fase respon perilaku individu
terhadap suatu stresor, yaitu 1) Fase pertama, perilaku berubah karena stresor dari
lingkungan dan individu lari dari masalah; 2) Fase kedua, perilaku yang membuat
seseorang merubah pengaruh dari luar; 3) Fase ketiga, perilaku untuk bertahan
atau melawan perasaan dan emosi yang tidak nyaman; 4) Fase keempat, perilaku
yang datang menggambarkan suatu kejadian agar seseorang mampu
menyesuaikan diri secara berulang.
Universitas Indonesia
Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif perilaku, sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan
respon fisiologis sebanyak 100% mengalami gangguan pola tidur dan sebanyak
100% mengalami gangguan pola makan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan
generalis dan terapi kognitif maka respon fisiologis menunjukkan penurunan
menjadi sebanyak 0% mengalami gangguan pola tidur dan sebanyak 0%
mengalami gangguan pola makan. Pasien harga diri rendah yang mendapatkan
kombinasi tindakan generalis, terapi kognitif perilaku dan psikoedukasi keluarga
sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan respon fisiologis 100%
pasien mengalami gangguan pola tidur dan mengalami gangguan pola makan
100%. Setelah dilakukan tindakan keperawatan respon fisiologis turun menjadi
0% pasien yang mengalami gangguan pola makan dan pola tidur.
Universitas Indonesia
Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif perilaku, respon sosial yang ditunjukkan adalah sebanyak 60%
pasien mengalami hubungan yang buruk dengan orang lain, sebanyak 20% pasien
mempunyai aktivitas yang terbatas. Setelah dilakukan tindakan keperawatan
respon sosial menjadi menurun menjadi 20% pasien yang mengalami hubungan
yang buruk dengan orang lain dan yang mempunyai aktivitas yang terbatas.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan respon menjadi menurun menjadi 20%
pasien mengalami hubungan yang buruk dengan orang lain dan 0% pasien yang
mengalami aktivitas terbatas.
Menurut Watson (1979), dalam Tomey & Alligood, (2006) perawat dalam
berperilaku “caring” harus meningkatkan dan menerima ekspresi pasien tentang
perasaan positif dan negatifnya. Menurut Right (2012) berpesan bahwa perawat
sebaiknya merawat pasien dengan penghargaan yang positif. Perluas penghargaan
kepada pasien dengan memberikan dorongan dorongan yang positif, terbuka dan
menunjukkan kepedulian dan terlepas dari sikap pasien.
Universitas Indonesia
Menurut Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2006) dengan karatif faktor
bahwa perawat perlu membina hubungan saling percaya dan saling membantu.
Hubungan yang tercipta antara pasien dengan perawat akan meningkatkan
keterlibatan pasien dalam program perawatannya. Keluarga yang dilibatkan dari
awal juga akan meningkatkan peran serta mereka dalam program terapi pasien.
Evaluasi hasil dari kombinasi tindakan generalis, terapi kognitif dan terapi
psikoedukasi keluarga menunjukkan bahwa dari 4 pasien yang diamati rerata
rerata score kemampuan sebelum diberikan tindakan keperawatan adalah 0,5,
Universitas Indonesia
Penurunan tanda dan gejala pada respon kognitif menunjukkan bahwa tindakan
terapi kognitif tersebut membawa dampak yang signifikan ketika diberikan pada
pasien yang mengalami harga diri rendah. Terapi kognitif diberikan ada pasien
harga diri rendah berdasarkan hasil identifikasi masalah pasien yang didapatkan
adanya pikiran otomatis negatif sehingga tidak mampu lagi berfikir secara
rasional. Hasil akhir yang didapat ini sesuai dengan pendapat pakar yang
menyampaikan bahwa terapi kognitif difokuskan untuk mengenal pikiran-pikiran
otomatis negatif, mengubah pemikiran otomatis negatif, mengubah kepercayaan
(anggapan) yang tidak logis, penalaran salah, mengembangkan pola pikir yang
rasional, dan mengatasi kelainan bentuk pikiran (distorsi kognitif) dengan cara
menggantikannya dengan pikiran-pikiran yang lebih realistis (Stuart, 2009);
Townsend (2009); Copel (2007); Beck et al (1987) dalam Townsend, 2009).
Universitas Indonesia
Pencapaian hasil pada pasien sesuai dengan rumusan beberapa pakar tentang
tujuan dan fokus terapi kognitif, yaitu dengan diberikannya terapi kognitif terbukti
dapat membantu meningkatkan kemampuan pasien harga diri rendah yang dapat
dilihat pada respon kognitif, afektif, fisiologis, psikomotor dan sosial.
Pelaksanaan sesi satu terapi kognitif pada pasien harga diri rendah ditemukan
pikiran otomatis negatif pada pasien berupa penilaian diri sebagai orang yang
tidak berguna, tidak berharga, gagal dalam hidup, tidak ada orang yang peduli
dengan pasien, pikiran tidak memiliki kemampuan apapun, ragu-ragu, serta malu
dengan kondisi diri. Temuan ini sesuai dengan pendapat yang mengungkapkan
bahwa pada pasien harga diri rendah kronis ditemukan perasaan dan penilaian diri
secara negatif tentang kondisi dan kemampuan diri (Keliat, 2006; NANDA, 2012;
Townsend, 2009; Stuart, 2009). Pada pasien dengan harga diri rendah akan terjadi
penolakan dan membenci kondisi diri sendiri.
Berdasarkan uraian hasil dari penurunan tanda dan gejala serta peningkatan
kemampuan pada pasien harga diri rendah pada kelompok yang mendapatkan
tindakan generalis dan terapi kognitif menunjukkan bahwa terapi kognitif dan
terapi perilaku kognitif efektif untuk pasien harga diri rendah. Namun demikian
hasil yang didapat dari penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan
pada kelompok pasien yang mendapat tindakan keperawatan generalis, terapi
kognitif, terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga menunjukkan
lebih signifikan. Perbedaan perubahan tanda dan gejala serta kemampuan pada
Universitas Indonesia
pasien harga diri rendah dapat sebagai dasar untuk menarik kesimpulan bahwa
kombinasi tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif, terapi kognitif perilaku
dan psikoedukasi keluarga lebih efektif untuk pasien harga diri rendah.
Tahap pengkajian pada pasien harga diri rendah dilakukan melalui intreraksi
perawat-pasien melalui komunikasi terapeutik untuk mengumpulkan data dan
informasi tentang status kesehatan pasien. Pada tahap ini terjadi proses interaksi
perawat pasien. Jika ditinjau dari 10 carative factor yang dikemukakan oleh
Watson maka tahap awal pengkajian pada pasien harga diri rendah ini merupakan
carative factor ke empat yaitu membangun hubungan kemanusiaan yang saling
percaya dan saling bantu. Seperti di jelaskan sebelumnya bahwa pada pasien HDR
terjadi krisis kepercayaan terhadap orang lain bahkan pada keluarga. Tanpa
adanya hubungan saling perawat dan pasien tidak mungkin tindakan keperawatan
dilakukan. Pasien HDR sebagian besar mengalami gangguan kepercayaan pada
orang lain. Watson menyatakan bahwa untuk mencapai perwujudan aplikasi
“caring” perlu adanya hubungan saling percaya dan saling membantu.
Universitas Indonesia
rendah kronis (Rahayuningsih, dkk, 2007; Sasmita, dkk, 2007). Hasil penerapan
terapi kognitif ini juga menunjukkan hasil bahwa dengan penerapan terapi
kognitif didapatkan kemampuan pasien melawan pikiran otomatis negatif dengan
perilaku rasional secara mandiri sehingga pasien mampu menerima diri terkait
dengan stresor yang dihadapi (Jumaini, dkk, 2011; Syarniah, dkk, 2011; Sartika,
dkk, 2011). Pemberian tindakan terapi kognitif bermanfaat untuk dapat
meningkatkan harga diri pasien secara bermakna. Pelaksanaaan terapi kognitif
dilakukan secara individu setiap pasien dan dilakukan sendiri oleh penulis.
Pemberian terapi kognitif diberikan dengan frekuensi interaksi rata-rata enam (6)
kali pertemuan dengan tiap pertemuan berlangsung selama 30-45 menit. Proses
pelaksanaan terapi kognitif terdiri dari empat (4) sesi pertemuan, namun beberapa
pasien memerlukan pertemuan ulang tergantung dari jumlah pikiran negatif yang
muncul, sehingga rata-rata dilakukan sebanyak enam (6) kali pertemuan.
Menurut Watson (1979, dalam Tomey & Alligood 2006) mengatakan bahwa
perawat dapat meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan pasien baik negatif
maupun positif. Menurut Stuart & Laraia, (2005) memberikan contoh bahwa
seorang perawat yang berperilaku caring adalah mampu menjadi pendengar yang
aktif, mendengarkan keluhan pasien dengan sabar, ekspresi perasaannya,
keinginan dan hambatan pasien terkait kepatuhannya dalam program perawatan..
Menurut Penulis, pendapat Watson sangat tepat dilakukan pada pelaksanaan terapi
kognitif, karena terapi ini akan mengidentifikasi pikiran-pikiran otomatis negatif
pasien yang muncul. Perawat dapat mengidentifikasi lebih banyak pikiran-pikiran
negatif tersebut dan berusaha memfasilitasi pasien untuk menggantikan pikiran
positif rasionalnya. Perilaku yang sebaiknya ditunjukkan oleh perawat adalah
berperilaku yang sabar dalam menggalinya dan menggantikan pikiran-pikiran
tersebut. Kemungkinan pasien belum ingin menggantinya karena masih belum
nyaman dengan hal-hal baru.
Terapi berikutnya yang juga penulis berikan kepada pasien saat melakukan
intervensi keperawatan adalah Cognitif Behavior Therapy (CBT)/ terapi perilaku
Universitas Indonesia
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sasmita, (2007) pada pasien dengan
harga diri rendah menemukan bahwa efektifitas terapi perilaku kognitif mampu
meningkatkan kemampuan kognitifnya sebesar 29,31% dan kemampuan
perilakunya sebesar 22,4%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Setyaningsih,
(2011) menunjukkan bahwa terdapat perubahan harga diri baik dari aspek kognitif
maupun perilaku pada pasien yang dilakukan terapi perilaku kognitif pasien
dengan gagal ginjal kronik.
Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Antonio, Prendes
dan Stella dalam tulisannya Cognitif Behavioral Theory, menyatakan bahwa terapi
cognitif perilaku merupakan pendekatan yang berakal pada fundamental kognisi
individu yang memainkan peran utama dan berhubungan dengan situasi
kehidupan. Dalam CBT proses kognitif membentuk makna, penilaian, dan asumsi
Universitas Indonesia
yang terkait dengan kehidupan tertentu dan merupakan penentu utama dari
perasaan dan perilaku seseorang. Menurut Berger (2010) CBT sesuia diberikan
pada pasien yang memiliki pikiran negatif yang dikategorikan dalam distorsi
kognitif karena akan memberi kontrol terhadap pikiran negatif dengan
memperbaiki distorsi atau mengoreksi kesalahan berpikir dalam proses yang
disebut restrukturisasi kognitif.
Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2006) percaya bahwa perawat
mempunyai tanggung jawab pada 10 carative factor dan memfasilitasi
pengembangan pasien dalam area promosi kesehatan melalui aksi pencegahan
(preventive). Tujuan ini dapat dipenuhi dengan cara mengajarkan pasien tentang
perubahan personal untuk mempromosikan kesehatan, menyiapkan situasi yang
mendukung, mengajarkan metode pemecahan masalah, dan mengenali
kemampuan koping dan adaptasi terhadap kehilangan.
Menurut Penulis, terapi perilaku kognitif yang dilakukan pada pasien dengan
harga diri rendah adalah membantu dan mendukung pasien dalam pengembangan
diri dan memfasilitasi dalam pemecahan masalah yang dihadapi. Terapi perilaku
kognitif ini melatih pasien dalam mengenali kemampuan yang dimilikinya dan
memodifikasi pikiranpikiran yang menyimpang terkait dengan program
pengobatannya. Kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari akan menjadi
kekuatan koping yang dimiliki oleh pasien dalam mengahadapi kondisi-kondisi
sulitnya.
Terapi berikutnya yang telah diberikan pada pasien kelolaan adalah Family
Psichoeducasi (FPE). Psikoedukasi keluarga sangat diperlukan dalam perawatan
pasien gangguan jiwa karena dapat mengurangi kekambuhan pasien gangguan
jiwa, meningkatkan fungsi pasien dan keluarga sehingga mempermudah pasien
kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan
penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi pasien gangguan jiwa (Levine,
2002 dalam Stuart, 2009). Keterlibatan keluarga dalam pengambilan keputusan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa
adalah pengetahun keluarga (Hawari, 2003). Banyak keluarga menganggap
gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi
keluarga. Dampak dari pengetahuan tersebut banyak keluarga yang membawa
pengobatan ke dukun atau orang pinter. Kondisi tersebut diperberat dengan sikap
keluarga terhadap pasien gangguan jiwa dengan cara disembunyikan, diisolasi dan
dikucilkan dari masyarakat. Peningkatan pengetahuan keluarga tentang gangguan
jiwa membuat keluarga mengerti tentang harga diri rendah dan bagaimana
memperlakukan pasien yang mengalami harga diri rendah.
Universitas Indonesia
Dari penerapan terapi spesialis ini bahwa implikasi yang dapat diraih dari pada
pasien adalah adanya efektifitas kognitif dan psikoedukasi keluarga bagi diagnosis
keperawatan harga diri rendah dalam meningkatkan kemampuan berfikir positif
dan menggunakan sumber koping yang dimiliki. Selain memberikan manfaat bagi
pasien dan keluarganya, hasil terapi ini juga memberikan pengaruh yang positif
terhadap pelayanan keperawatan secara menyeluruh di Ruang Antareja. Hasil
penerapan ini dapat memberikan keyakinan bagi perawat dan seluruh anggota tim
kesehatan yang menangani pasien harga diri rendah. Hal ini juga dapat dijadikan
sebagai salah satu bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam program
pemulangan pasien (discharge planning) dalam kaitannya dengan kondisi status
kesehatan pasien.
Selain implikasi tersebut maka hasil penerapan terapi kognitif, terapi perilaku
kognitif dan psikoedukasi keluarga ini juga dapat dijadikan dasar penetapan terapi
modalitas keperawatan bagi pasien pasien harga diri rendah di ruang rawat. Hal
ini untuk melengkapi terapi modalitas lainnya baik keperawatan atau medik serta
dalam pendekatan tim pelayanan keperawatan pada pasien di Ruang Antareja.
Dalam pelaksanaan pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dengan
Universitas Indonesia
pendekatan model stres adaptasi Stuart dan theory of human caring disadari
masih memiliki beberapa keterbatasan yang mempengaruhi pelaksanaan
terapi.Diantara keterbatasan yang dimaksud adalah keterbatasan tenaga dan
lingkungan.
Berdasarkan hasil pelaksanaan yang diperoleh, maka terapi yang efektif dalam
mengatasi diagnosa keperawatan harga diri rendah adalah terapi individu yaitu
terapi kognitif, terapi perilaku kognitif (CBT) dan untuk keluarga adalah terapi
Psikoedukasi keluarga (FPE).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
5.4 Keterbatasan/Kendala
Proses pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah dengan
menggunakan pendekatan teori Stress Adaptation Model dan Theory of Human
Caring oleh Watson, Penulis menemukan beberapa kendala. Kendala ini terkait
dengan manajemen asuhan keperawatan maupun manajemen pelayanan
keperawatan jiwa. Berikut beberapa kendala tersebut :
5.4.1 Pasien yang dirawat adalah lebih banyak adalah pasien kurang mendapat
dukungan baik dari kelompok yang ada di dalam keluarga maupun kelompok
yang ada di dalam masyarakat. Penulis membutuhkan kemampuan waktu yang
agak memanjang dalam proses terapi dalam membantu pasien mengenali sumber-
sumber yang dapat mendukungnya.
5.4.2 Keterlibatan keluarga sangat kurang, karena beberapa pasien yang sama
sekali tidak memiliki dukungan keluarga. Penulis telah mencoba untuk
menghubungi keluarga melalui nomor kontak yang ada namun tidak dapat
dihubungi lagi. Hal ini menyulitkan dalam membantu pasien untuk mendapatkan
caregiver yang memadai jika kelak akan dipulangkan.
Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dan saran ini menguraikan tentang kesimpulan dari penyusunan Karya Ilmiah
Akhir serta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan
jiwa di rumah sakit Jiwa
6.1 Simpulan
Karya tulis ini memberi gambaran tentang manajemen kasus dan pelayanan yang diberikan
terapi generalis, terapi kognitif, terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga pada
pasien harga diri rendah dengan pendekatan teori Stress Adaptation Model oleh Stuart dan
Theory of Human Caring oleh Watson. Kesimpulan yang didapat dari kegiatan tersebut
adalah sebagai berikut:
6.1.1 Karakteristik klien dengan diagnosis harga diri rendah di Ruang Antareja mayoritas
berusia dewasa (21-40 tahun), pendidikan mayoritas menengah (SMP), keseluruhan berjenis
kelamin laki-laki, mayoritas tidak sudah bekerja dan belum menikah, rata-rata lama sakit
lebih dari 3 tahun, frekuensi klien masuk rumah sakit yang terbanyak adalah lebih dari tiga
kali.
6.1.2 Faktor predisposisi pada harga diri rendah di ruang Antareja yang paling banyak
ditemukan pada aspek biologis yaitu menderita gangguan jiwa sebelumnya, aspek psikologis
yaitu pengalaman yang tidak menyenangkan dan pada aspek sosial budaya yaitu status
ekonomi rendah dan masalah pekerjaan.
6.1.3 Faktor presipitasi pada harga diri rendah yang paling banyak ditemukan pada aspek
biologis karena putus obat, aspek psikologis adalah keinginan yang tidak terpenuhi, aspek
sosial kultural adalah masalah ekonomi, asal stresor adalah internal, waktu stresor adalah
lebih dari 2 bulan, dan jumlah stresor lebih dari 3 stresor.
6.1.4 Tanda dan gejala klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan
generalis dan terapi kognitif, pada respon kognitif, afektif , fisiologis dan perilaku terjadi
penurunan tanda dan gejala.
134
Universitas Indonesia
6.1.5 Tanda dan gejala klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan
generalis, terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga juga terjadi penurunan pada respon
kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku.
5.1.6 Tanda dan gejala klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan
generalis, terapi kognitif prilaku dan terapi psikoedukasi keluarga terjadi penurunan pada
respon kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku.
5.1.7 Kemampuan klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan generalis
dan terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga terjadi peningkatan kemampuan
dalam mengidentifikasi pikiran otomatis negatif, menggunakan tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif , mampu mengidentifikasi manfaat penggunaan tanggapan rasional
dan mampu menggunakan support system.
5.1.8 Kemampuan klien setelah diberikan tindakan keperawatan generalis, terapi Kognitif
prilaku dan terapi psikoedukasi keluarga terjadi peningkatan kemampuan pada identifikasi
pikiran otomatis negatif, mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negatif, dan mampu menggunakan support system.
5.1.9 Kemampuan keluarga setelah diberikan tindakan generalis dan terapi psikodukasi
keluarga terjadi peningkatan pada mengenal masalah, mampu memutuskan untuk mengatasi
masalah, mampu merawat, mampu memodifikasi lingkungan positif, dan mampu
memanfaatkan pelayanan kesehatan, mampu manajemen stres, dan mampu manajemen
beban.
6.2 Saran
Hasil pelaksanaan tindakan keperawatan memberikan dampak terhadap pelayanan
keperawatan, sehingga saran penulis sebagai berikut:
6.2.1. Pelayanan Keperawatan Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
a). Perawat memberikan terapi kognitif, terapi prilaku kognitif secara individu karena
masing-masing klien harga diri rendah mempunyai kemampuan yang berbeda. b). Perawat
dalam memberikan tindakan keperawatan berorientasi untuk mengurangi tanda dan gejala
serta meningkatkan kemampuan sehingga klien dapat kembali produktif pada saat kembali ke
Universitas Indonesia
klien dengan harga diri rendah. b. Memfasilitasi praktik mandiri keperawatan jiwa spesialis
melalui program standarisasi dan lisensi praktik keperawatan jiwa spesialis melalui strategi
uji kompetensi.
Universitas Indonesia
Allemand, Steiger, Robin, Fend (2014) Low and Decreasing Self-Esteem During
Adolescence Predict Adult Depression Two Decades Later, APA (2014),
Journal of Personality and Social Psychology vol. 106, No2, 325-338
Brady, N., & McCain, G.C., (2004). Living with Schizophrenia: A Family
Perspective. Online J Issues Nurs. 10(1):7.
http://www.nursingworld.org/MainMenuCategories?ANAMarketplace?A
NAPeriodicals?OJIN/TableofContents/Volume102005/No1Jan05/HirshArt
icl e/LivingwithSchizophrennia.html. Diakses 17 Mei 2014.
Car, C. (1999). Caring philosophy and theory for the advancement of the nursing
discipline. Faculty of Nursing, Université de Montréal, C.P. 6128, Succursale
Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The Nurse Patient Journey. (2th ed.).
Philadelphia: W.B. Sauders Company.
Chien, W.T., & Wong, K.F., (2007). A Family Psychoeducation Group Program
for Chinese People with Schizophrenia in Hong Kong.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17602019. Diakses 03 Juni 2014.
Copel, L.C. (2007). Kesehatan Jiwa & Psikiatri, Pedoman Klinis Perawa
(Psychiatric and Mental Health Care: Nurse’s Clinical Guide). Edisi
Bahasa Indonesia (Cetakan kedua). Alihbahasa : Akemat. Jakarta : EGC.
De Laune, S.C., & Ladner, P.K., (2002). Fundamentals of Nursing: Standards &
Practice, Clifton Park, NY: Delmar, a division of Thomson Learning, Inc.
Fauziah, Hamid, A.Y., Nuraini, T. (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif pada
klien skizoprenia dengan perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan
Friedman, M.M., (2010). Family Nursing: Research, Theori & Practice. (5 nd ed).
Connecticut: Appleton & Lange.
Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006) Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.).
Canada: Thompson corporation
Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing (6th Ed.) New Jersey: Pearson
Education Inc.
Fortinash, K.M., & Worret, P.A.H., (2004). Psychiatric Mental Health Nursing.
(3rd ed.). St. Louis Missiouri: Mosby
Guindon (2010). Self - Esteem Across the lifespan Issues and Intervention. Taylor
and Francis Group, LLC, New York London.
Kaplan & Saddock. (2007). Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis.
(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Kaplan, H.I., Saddock, B.J., & Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I. (7th ed.). Jakarta : Bina
Rupa Aksara. Jakarta
Kazadi, N.J.B., Moosa, M.Y.H., & Jeenah, F.Y., (2008). Factors Associated with
Relapse in Schizophrenia. http://www.ajol.info/index.php/sajpsyc/article/
viewFile/34432/6360. Diakses 17 Juni 2014.
Lelono, Keliat BA, Besral (2011). Efektivitas Cognitif Behaviour Therapy dan
Rational Emotive Therapy terhadap klien perilaku kekerasan, halusinasi
dan harga diri rendah di RS.Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis FIKUI tidak
dipublikasikan.
Maslim, R. (2003). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari
PPDGJ-III. Direktorat Kesehatan Jiwa. Jakarta
National Institute of Mental Health (2012). The number count: Mental Disorder
in America. www.nimh.nih.gov/health/publications//the –number-count-
mental disorder-in-america/index. Diakses pada tanggal 30 Mei 2014 .
Notoatmodjo, Soekidjo (2010) promosi kesehatan, teori dan aplikasi ed. Revisi
Yokyakarta Rhinekacipta
Owen (2013). The effects of Watson’s Theory and The Nurse Utilization of Caring
Atrubuttes.Thesis Suitted School of Nursing in Partial Fulfillment of The
requirements for The Master of Scien in Nursing Degree. Proquest
LLC.789east eisenhover.
Parker & Smith (2010) Aplication: Theory Into Practice Plan Implementation
(www.google.com.search: watson+Theory+from+parker+smith)
Parker, Marilyn dan Smith, Marlaine C (2010). Nursing Theory & Nursing
Practice, 3rd edition, F.A. Davis Compani. Philadelphia
Right, J., (2012). How to Integrate Jean Watson’s Theory of Caring Into Nursing
Practice, http://www.ehow.com/how_6644521_integrate-theory caring
nursing- practice., diakses 10 Juni 2014.
Sorensen (2006). Breaking The Chaim of Low Esteem, Secon Edition. Wolf
Publishing Co. Sherwood, OR 97140
Suerni, Keliat BA, Helena N.CD (2013) Penerapan terapi Kognitif dan
Psikoedukasi Keluarga pada klien Harga diri rendah di Ruang Yudistira
RSMM Bogor. Karya Ilmiah Akhir FIKUI. Tidak dipublikasikan.
Stuart, G.W & Laraia. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (5th
edition). St. Louis : Mosby Nursing( Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. (6th
ed). St. Louis : Mosby Years Book Inc.
Tomey, A.M,. dan Alligood, M.R,. ( 2014) Nursing Theorists and Their Work..
Ed.USA: Mosby, Inc
Wainwright, N., (2012). How to Apply Jean Watson Nursing Theory Into Nursing,
http://www.ehow.com/how_7350428_apply-watson-nursing-theory
intonursing. html., diakses 05 Juni 2014.