Anda di halaman 1dari 163

UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA


PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH MENGGUNAKAN
STRESS ADAPTATION MODEL DAN TEORY OF HUMAN
CARING DI RUANG ANTAREJA RUMAH SAKIT.
H.MARZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR

HASNIAH
1106122493

PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2014

i
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA


PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH MENGGUNAKAN
STRESS ADAPTATION MODEL DAN TEORY OF HUMAN
CARING DI RUANG ANTAREJA RUMAH SAKIT.
H.MARZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR

Disusun guna memenuhi tugas untuk menyelesaikan Mata Ajar KIA


pada Program Spesialis Keperawatan Jiwa

HASNIAH
1106122493

PROGRAM PENDIDIKAN PERAWAT SPESIALIS JIWA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2014

ii
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi Robbil Aalamiin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat Rahmat dan Kasih Sayang-Nya Karya Ilmiah Akhir dengan judul “ Manajemen
Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Pasien Harga Diri Rendah menggunakan teori
Stuart Stress Adaptation Model dan teori of Human Caring oleh Jean Watson di Ruang
Antareja Rumah Sakit H. Marzoeki Mahdi Bogor” dapat penulis selesaikan tepat pada
waktunya. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk
meraih gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.

Selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, penulis senantiasa mendapatkan petunjuk
dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat membantu. Maka pada kesempatan ini,
dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Direktur utama RS.Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan
kesempatan bagi penulis untuk menggunakan BLU sebagai tempat praktik.
2. Dra. Juniarti Sahar. PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
3. Henny Permatasari M.Kep.Sp.Kep.Kom, selaku Ketua Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
4. Prof. Achir Yani S. Hamid, D.N.Sc, selaku Koordinator Mata Ajar Karya Ilmiah
Akhir yang telah memberikan arahan kepada penulis.
5. Dr. Novy Helena Catharina Daulima, SKp, MN selaku pembimbing 1 yang telah
memberikan saran, arahan, bimbingan serta motivasi dalam penyusunan Karya
Ilmiah Akhir ini hingga selesai.
6. Ice Yulia Wardhani, SKp. M.Kep Sp.Kep J, selaku pembibing 2 yang telah
memberikan arahan, saran dan motivasi dalam penulisan karya ilmiah akhir ini.
7. Yossie Susanti Eka Putri, SKp.MN, selaku Ketua kelompok keilmuan sekaligus
Pembimbing Akademik bagi penulis dari semester 1 hingga semester 6 yang telah
memberikan motivasi dan dukungan selama proses studi bagi penulis.
8. Dr. Mustikasari, SKp, MARS, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada
Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


9. Staf Pengajar Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia yang telah emberikan ilmu, sehingga penulis mampu menyususn karya
ilmiah akhir ini.
10. Suami tercinta (Wahidun Hutabarat, SP) dan anak-anakku tercinta (Putri Nadya, Alya
Nabila, Syafiq Aryan Pasha) yang telah dengan sabar merelakan waktu, kebersamaan
dan merupakan penyemangat utama bagiku.
11. Seluruh keluar besarku di Banda Aceh terutama ibu dan adik-adikku yang merupakan
support system bagiku, juga keluarga besar POLTEKKES Aceh yang telah banyak
membantu selama proses studi.
12. Teman-teman perawat jiwa ruang Antareja, Abimanyu, Antasena, Kresna dan Kresni,
Saraswati, IGD Jiwa, dan Poliklinik Unit rawat jalan Psikiatri RSMM Bogor yang
telah memfasilitasi dan bekerjasama yang baik dengan penulis selama praktik PJL,
Aplikasi Residensi 1, 2 dan 3.
13. Rekan-rekan mahasiswa Program Pendidikan Perawat Spesialis Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universirtas Indonesia senasib seperjuangan, terutama teman-teman
yang praktik residensi 3 di RSMM, Misesa yang selalu ada untukku, tina teman
yang sangat peduli, kita semua luar biasa.
14. Semua pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam penyususnan Karya
Ilmiah Akhir ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat untuk semua kebaikan yang telah
penulis terima dan semoga laporan Karya Ilmiah Akhir ini dapat dipergunakan untuk
peningkatan kualitas pelayanan keperawatan jiwa.

Depok, Juli 2014

Penulis

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
ABSTRAK

Nama : Hasniah
Program Studi : Spesialis keperawatan jiwa
Judul : Manajemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Pasien
Harga Diri Rendah menggunakan teori Stuart Stress Adaptation
Model dan teori of Human Caring oleh Jean Watson di Ruang
Antareja Rumah Sakit H. Marzoeki Mahdi Bogor

Kasus gangguan jiwa berat di dunia terutama pasien skizofrenia terjadi peningkatan khususnya di negara-
negara berkembang. Sebagian besar klien yang dirawat di Ruang Antareja Rumah Sakit Marzoeki adalah
Klien harga diri rendah . Tujuan Karya Ilmiah Akhir ini adalah menggambarkan hasil manajemen kasus
spesialis terhadap klien harga diri rendah. Tindakan keperawatan dilakukan pada 20 orang pasien meliputi
terapi individu harga diri rendah, terapi kognitif, terapi perilaku kognitif, terapi psikoedukasi keluarga
pada pasien dengan harga diri rendah. Hasil menunjukkan bahwa kombinasi terapi individu, terapi
kognitif, terapi perilaku kognitif, dan terapi psikoedukasi keluarga efektif dalam menurunkan tanda dan
gejala pasien harga diri rendah dan peningkatan kemampuan pasien dan keluarga dengan pendekatan teori
stress adaptation model oleh Stuart dan teori of Human Caring oleh Watson. Rekomendasi hasil karya
ilmiah ini adalah terapi kognitif, terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga dapat dilakukan
pada pasien harga diri rendah di seluruh tatanan pelayanan kesehatan jiwa.

Kata kunci: Harga diri rendah, Terapi kogniif, Terapi Perilaku Kognitif, Terapi Psikoedukasi Keluarga

Daftar Pustaka: 84 (2002-2014)

viii

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


ABSTRACT

Name : Hasniah
Study Program : Psychiatric Nurse Specialist
Title : Nursing Management Specialist Mental to patient with low self
esteem using Stuart Stress Adaptation Model Theory and the
theory of Human Caring By Jean Watson in Antareja Ward DR.
H Marzoeki Mahdi Hospital

Cases of severe mental disorder in the world, especially patients with skizofrenia increased,
especially in developing countries. Most of the clients were treated in Antareja Ward Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor is low self esteem. The purpose of this work is to describe final
scientific result of the patients case management specialist of low self esteem. Nursing
Intervention performed on 20 patients include low self esteem individual therapy, cognitive
therapy, cognitive behavioral therapy, family psychoeducation therapy in patienst with low
self esteem. The result showed that the combination of individual therapy, cognitive therapy,
cognitive behavioral therapy, family psychoeducation therapy effective in reducing the signs
and symptoms of low self esteem patients and increased patient and family’s ability to
approach theorical models of stress adaptation by Stuart and theory of Human Caring by
Watson. Recommendations of this scientific work is cognitive therapy, cognitive behavioral
therapy and family psychoeducation therapy can be performed in patients with low self
esteem throughout the structure of mental health services.

Key words: low self esteem, cognitive therapy, cognitive behavior therapy, family psychoeducation

ix

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................... i
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN............................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME........................................ vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................... vii
ABSTRAK................................................................................................................... viii
ABSTRACT................................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR................................................................................................ x
DAFTAR ISI............................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL....................................................................................................... xii
DAFTAR SKEMA...................................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................................... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2 Tujuan................................................................................................................ 10
1.3 Manfaat penelitian.............................................................................................. 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Input.................................................................................................................. 15
2.1.1 Faktor predisposisi.......................................................................................... 17
2.1.2 Stressor presipitasi.......................................................................................... 18
2.1.3 Penilaian terhadap respon............................................................................... 21
2.1.4 Sumber koping................................................................................................ 24
2.1.5 Diagnosa keperawatan.................................................................................... 25
2.2 Process........................................................................................................... 36
2.2.1 Diagnosa medis pada klien harga diri rendah................................................. 36
2.2.2 Terapi medis pada klien harga diri rendah...................................................... 38
2.2.3 Diagnosa Keperawatan pada klien harga diri rendah...................................... 39
2.2.4 Tindakan Keperawatan pada klien harga diri rendah...................................... 39
2.2.5 Aplikasi theory of Human Caring oleh Watson dalam keperawatan.............. 46
2.3 Output.............................................................................................................. 56
2.4 Konsep Manajemen Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP)......... 56
2.4.1 Model Praktik Keperawatan Profesional Pemula........................................... 56
2.4.2 Model Praktik Keperawatan Profesional I...................................................... 56
2.4.3 Model Praktik Keperawatan Profesional II..................................................... 56
2.4.4 Model Praktik Keperawatan Profesional III................................................... 57

BAB 3 PROFIL RUMAH SAKIT DAN HASIL MANAJEMEN PELAYANAN


DI RUMAH SAKIT Dr.H. MARZOEKI MAHDI BOGOR
3.1 Gambaran umum rumah sakit Dr. H.Marzoeki Mahdi Bogor........................... 59
3.2 Hasil Pelaksanaan Manajemen Pelayanan di RSMM Bogor............................. 60

BAB 4 MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN............................................ 69


4.1 Hasil pengkajian................................................................................................ 69

xii

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


4.1.1 Karakteristik..................................................................................................... 69
4.1.2 Faktor Predisposisi........................................................................................... 70
4.1.3 Faktor Presipitasi.............................................................................................. 71
4.1 4 Penilaian terhadap stresor................................................................................ 73
4.1.5 Sumber koping klien harga diri rendah............................................................ 74
4.2 Diagnosa Medis dan Terapi Medis.................................................................. 76
4.3 Diagnosis Keperawatan dan Tindakan Keperawatan....................................... 77
4.3.1 Diagnosis Keperawatan.................................................................................... 77
4.3.2 Rencana Tindakan Keperawatan...................................................................... 78
4.4 Pelaksanaan Tindakan Keperawatan................................................................ 79
4.4.1 Pelaksanaan Tindakan Keperawatan pada pasien harga diri rendah................ 80
4.5 Evaluasi Hasil................................................................................................... 85
4.5.1 Kemampuan Klien Harga Diri Rendah dan Keluarga sebelum dan sesudah 85
diberikan tindakan keperawatan........................................................................ 85
4.5.2 Perubahan tanda dan gejala pada pasien harga diri rendah.............................. 91

BAB 5 PEMBAHASAN
5.1 Pengkajian........................................................................................................ 100
. 5.1.1 Karakteristik pasien harga diri rendah ............................................................ 100
5.1.2 Faktor predisposisi........................................................................................... 109
5.1.3 Faktor presipitasi.............................................................................................. 112
5.1.4 Penilaian terhadap stresor................................................................................ 114
5.1.5 Sumber koping................................................................................................. 119
5.1.6 Perubahan kemampuan pasien harga diri rendah............................................. 120
5.1.7 Perubahan kemampuan keluarga ..................................................................... 127

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan...................................................................................................... 134
6.2 Saran................................................................................................................. 136

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiii

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Hasil penilaian kemampuan kepala ruang dalam kegiatan MPK
(Residensib3, residensi 2 dan residensi 3 februar 2014)................................. 65

Tabel 3.2. Hasil evaluasi kemampuan Ketua Tim 1 Ruang Antareja dalam
Manajemen kegiatan MPKP............................................................................ 67

Tabel 3.3. Hasil evaluasi kemampuan Ketua Tim21 Ruang Antareja dalam
Manajemen kegiatan MPKP............................................................................ 68

Tabel 4.1 Karakteristik Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit Dr.
H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-18 April 2013 (n =20) 70

Tabel 4.2 Faktor Predisposisi Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-18 April
2014 (n = 20)................................................................................................... 71

Tabel 4.3 Faktor Presipitasi Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah
Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-18 April 2014 (n
= 20)................................................................................................................ 72

Tabel 4.4 Penilaian Terhadap Stresor Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-
18 April 2014 (n = 20).................................................................................... 74

Tabel 4.5 Sumber Koping Pada Klien Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-
18 April 2014 (n =20)..................................................................................... 75

Tabel 4.6 Diagnosis Medis Dan Terapi Medis Keperawatan Pada Klien Harga Diri
Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor,
Periode 17 Februari-18 April 2014 (n = 20)................................................... 77

Tabel 4.7 Diagnosis Keperawatani Pada Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-18 April
2014 (n = 20)................................................................................................... 78

Tabel 4.8 Distribusi Terapi Keperawatan Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Periode 17 Februari-18 April 2014 ................................................................ 80

Tabel 4.9 Pelaksanaan Terapi Kognitif Klien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Periode 17 Februari- 18 April 2014 (n-10) .................................................... 82

xv

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Tabel 4.10 Pelaksanaan Terapi Perilaku Kognitif klien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014 (n=10).................................... 84

Tabel 4.11 Pelaksanaan Terapi Psikoedukasi Keluarga Klien Harga Diri Rendah di
Ruang Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014................................... 85

Tabel 4.12 Evaluasi Kemampuan Klien Harga Diri Rendah Dan Keluarga di Ruang 87
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, Periode 17 Februari-
18 April 2043 (n = 20).....................................................................................

Tabel 4.13 Evaluasi Kemampuan klien dan keluarga Pre-Post tindakan keperawatan
di Ruang Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014................................ 89

Tabel 4.14 Evaluasi tanda dan gejala klien harga diri rendah Pre-Post Tindakan
Keperawatan di Ruang Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014 yang
mendapat terapi generalis, terapi kognitif dan FPE....................................... 91

Tabel 4.15 Evaluasi tanda dan gejala Klien Harga Diri Rendah Pre-Post Tindakan
Keperawatan di Ruang Antareja Periode 17 Februar 18 April 2014 yang
mendapat terapi Generalis, terapi perilaku kognitif dan FPE...................... 94

xvi

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


DAFTAR SKEMA

Gambar 2.1 Gambaran tentang model stres adaptasi oleh Stuart 25

Gambar 2.2 Rentang respon konsep diri (Stuart, 2013) 27

Gambar 2.3 Kerangka Konsep pendekatan Stress adaptation model dan 61


teori of Human Caring Jean Watson.

xvii

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa didefinisikan sebagai suatu kondisi sejahtera ketika seseorang
mampu merealisasikan potensi yang dimiliki, memiliki koping yang baik terhadap
stressor, produktif dan mampu memberikan kontribusi terhadap masyarakat WHO
(2007, dalam Varcarolis & Halter, 2010). Kesehatan jiwa adalah keadaan
sejahtera yang ditandai dengan kebahagiaan, merasa puas, berprestasi, optimis
atau mampu mencapai tujuan hidup (Stuart, 2013). Apabila seseorang dapat
berespon positif maka akan tercapai sehat jiwa yang ditandai dengan kondisi
sejahtera baik secara emosional, psikologis, maupun sosial, mampu menyadari
kelebihan dan kekurangan dirinya. Seseorang yang sehat jiwanya tentu
mempunyai kemampuan untuk mengenal dan memberdayakan kemampuan yang
dimilikinya dalam mengatasi stressor yang dialami dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga dapat hidup produktif secara pribadi dan sosial sedangkan seseorang
mengalami gangguan jiwa ketika individu tidak mampu menghadapi stressor
kehidupan secara wajar.

Gangguan jiwa menurut American Psychiatric Association (1994, dalam Shives


2012) adalah gangguan atau sindrom dengan manifestasi psikologis atau perilaku
berupa kerusakan fungsi sosial, psikologis, genetik, fisik/kimia, atau gangguan
secara biologis. Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologis yang
ditunjukkan oleh seseorang yang disebabkan oleh gangguan fungsi pikiran,
perasaan dan perilaku serta penurunan kualitas hidup (Stuart, 2013). Menurut
Kaplan dan Sadock (2007), gangguan jiwa merupakan gejala yang
dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi
perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma,
dihubungkan dengan distres atau penyakit, tidak hanya dari respon yang
diharapkan pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan
lingkungan sekitarnya. Jadi seseorang dikatakan mengalami gangguan jiwa
apabila dirinya menunjukkan sekumpulan gejala pada pikiran, perasaan dan

1 Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


2

perilaku yang tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dan optimal dalam
kehidupan sehari-harinya.

Prevalensi gangguan jiwa di Amerika Serikat sekitar 50% dari penduduk yang
berusia lebih dari 14 tahun dan tiga perempat pada usia 24 tahun pernah memiliki
masalah kejiwaan dan penyalahgunaan zat dalam rentang hidupnya. Pada tahun
2020 gangguan jiwa dan penyalahgunaan zat jumlahnya akan melebihi semua
penyakit fisik sebagai penyebab utama kecacatan di seluruh dunia (Stuart, 2013).
WHO (2012) memperkirakan sekitar 24 juta jiwa penduduk dunia mengalami
gangguan Skizofrenia. Sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat
ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia
tertentu selama hidupnya. Usia ini biasa terjadi pada dewasa muda antara 18-21
tahun. Menurut National institute of mental health gangguan jiwa mencapai 13%
dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 35%
di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi
gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagi negara. Berdasarkan hasil sensus
Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18-30
tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2012).

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, mengungkapkan bahwa


terdapat 0,17% penduduk Indonesia yang menderita gangguan jiwa berat,
sejumlah 6% gangguan mental emosional dari angka tersebut Aceh dan Jogja
menduduki posisi tertinggi untuk gangguan jiwa berat yaitu 0,27% diikuti posisi
kedua yaitu Sulawesi selatan 0,26%, ketiga yaitu Jawa tengah dan Bali 0,23%
posisi keempat adalah Jawa Timur 0,22%. Jika dilihat dari hasil survey Riskesdas
(2007) maka angka ini menunjukkan penurunan dari sebelumnya. Riskesdas
(2007) menyatakan 19 juta penduduk Indonesia yang mengalami masalah
kejiwaan dan satu juta diantaranya mengalami gangguan jiwa berat atau psikosis
dengan prevalensi tertinggi di DKI Jakarta yaitu 20,3%. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa angka kejadian gangguan jiwa di Indonesia mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya, hal ini dapat disebabkan oleh semakin
membaiknya pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


3

Gangguan jiwa berat yang sering ditemui di masyarakat adalah skizofrenia


(Ibrahim, 2011). Skizofrenia adalah penyakit mental yang serius yang
mengganggu kemampuan seseorang untuk berpikir jernih, mengelola emosi,
membuat keputusan dan berhubungan dengan orang lain (NAMI, 2013).
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat yang mempengaruhi
sekitar 7 per seribu dari populasi orang dewasa, terutama di kelompok usia 15-35
tahun. Meskipun angka kejadian ini rendah namun akan menjadi tinggi karena
adanya kronisitas dari penyakit ini. Sekitar 24 juta jiwa penduduk dunia
mengalami gangguan skizofrenia (WHO, 2012) dan menurut Taylor, (2011) lebih
dari 2,5 juta orang mengalami skizofrenia di Amerika Serikat. Sekitar 2,4 juta
orang dewasa Amerika atau sekitar 1,2% dari populasi 18 tahun ke atas menderita
skizofrenia (NIMH, 2012).

Pasien dengan skizofrenia terdapat ketidakseimbangan neurotransmiter pada


sistem limbik lobus frontal, lobus temporal dan hipothalamus yang berfungsi
untuk pengaturan atensi dan mood sehingga individu merasa emosi labil yang
dapat menyebabkan frustasi, kurang motivasi dalam melaksanakan kegiatan
(Townsend, 2014). Dopamin, jenis neurotransmitter katekolamin, berpikir untuk
bertindak dalam sel-sel otak tertentu dan saluran saraf untuk membantu mengatur
gerakan serta emosi. Oleh karena itu Dopamin, mempengaruhi suasana hati,
mempengaruhi pikiran dan perilaku motorik. Hipotesis dopamin, menunjukkan
bahwa skizofrenia dikaitkan dengan peningkatan tingkat dopamin di daerah
tertentu dalam otak (Varcarolis & Halter, 2010).

Skizofrenia ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif (PPDGJ III,
2003). Gejala skizofrenia di bagi dalam dua kategori utama yaitu gejala positif
dan negatif (Videbeck, 2008; Videbeck, 2011; Stuart, 2009; Stuart, 2013). Gejala
positif atau gejala nyata mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran,
bicara, perilaku yang tidak teratur. Gejala negatif atau gejala samar, seperti afek
datar, tidak memiliki kemauan, menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak
nyaman (Videbeck, 2008). Pengkatagorian lain dari gejala skizofrenia adalah

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


4

terdiri dari tiga kategori gejala, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gejala
disorganized ( Brady, 2004; Shives, 2005; Shives, 2012). Penderita skizofrenia
sering kali tidak mampu menghasilkan pikiran logis yang kompleks karena sistem
yang rusak didalam pengolahan informasi otak oleh neutransmitter. Sering terjadi
penurunan fungsi kognitif sehingga akan mempengaruhi cara seseorang dalam
berpikir, mengamati, perasaan, berperilaku dan hubungan dengan orang lain
(Stuart, 2013). Penurunan fungsi kognitif berdampak juga pada kesulitan memulai
pembicaraan, afek tumpul atau datar, berkurangnya motivasi, berkurangnya
atensi, pasif, apatis, dan penarikan diri secara sosial dan rasa tidak nyaman, yang
merupakan gejala pada pasien dengan harga diri rendah (Videbeck, 2008)

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri. Sering disertai dengan kurangnya perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera
makan menurun, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk,
berbicara lambat dan nada suara lemah (Keliat, 2010). Harga diri rendah adalah
penilaian negatif terhadap diri dan dihubungkan dengan perasaan lemah, tidak
berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak berharga (Stuart, 2013). Harga
diri rendah menunjukkan penolakan terhadap diri yang diekspresikan secara
langsung atau tidak lanngsung. Ekspresi langsung dapat dilihat dari perilaku,
mengkritik diri, penurunan kemampuan, rasa bersalah dan khawatir, penolakan
diri, menunda keputusan, menghindari kesenangan, hubungan interpersonal
terganggu, isolasi sosial, merusak diri. Ekspresi tidak langsung dapat diamati dari
perilaku tidak langsung, mempunyai tujuan yang tidak realistis, kritik dan memuji
diri berlebihan, kebosanan, kepribadian tertutup, kebingungan, kekecewaaan
dan keterasingan (Stuart, 2013).

Berdasarkan survey serta pengalaman merawat 47 pasien di Rumah Sakit Jiwa


Marzoeki Mahdi Bogor khususnya ruang psikiatri (Antareja) periode 17 Februari-
18 April 2014, diperoleh gambaran diagnosis medis skizofrenia paranoid adalah
sejumlah (100%). Adapun gambaran masalah keperawatan jiwa diantaranya
adalah 53% pasien mengalami isolasi sosial, 74,4% harga diri rendah, defisit

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


5

perawatan diri 12,7%, halusinasi 80%, resiko perilaku kekerasan 70%, waham
17% dan risiko bunuh diri 12,7%. Data diatas menunjukkan bahwa harga diri
rendah merupakan masalah keperawatan yang cukup banyak dialami oleh pasien
gangguan jiwa.

Harga diri rendah telah terbukti berhubungan dengan fenomena negatif seperti
kehamilan pada remaja, penyalahgunaan alkohol dan narkoba, kekerasan,
depresi, kecemasan sosial dan bunuh diri (Twenge & Campbell, 2002, Twenge
& Crocker, 2002 dalam Guindon, 2010). Dalam sebuah penelitian dari 1.190
orang rawat jalan pada layanan psikiatri hampir sebagian besar memiliki harga
diri rendah terutama pada pasien dengan depresi, gangguan makan dan
penyalahgunaan zat (Silverstone & Salsali, 2003 dalam Guindon, 2010).
Penderita dengan diagnosis ganda dan salah satu diagnosanya adalah depresi
berisiko memiliki harga diri rendah dan harga diri rendah meningkatkan
kerentanan untuk gangguan jiwa (Guindon, 2010).

Dampak lainnya yang dapat terjadi pada pasien harga diri rendah yang tidak
mendapat penanganan dengan baik dan intensif adalah terjadinya masalah baru
yang dapat mengarah pada upaya bunuh diri (Keliat, 2006). Hal ini terjadi karena
pasien telah terfokus pada perasaan dan pikiran negatif tentang dirinya sendiri,
sehingga pasien merasakan dirinya tidak bermakna lagi baik bagi diri sendiri
maupun untuk orang lain. Menurut Hunt et al (2006, dalam Stuart, 2009) harga
diri rendah berkontribusi terhadap perilaku bunuh diri dengan insiden pada pasien
skizofrenia sebesar 10-15% meninggal akibat bunuh diri, 20-40% melakukan
percobaan bunuh diri, dan 40% menyampaikan ide bunuh diri. Demikian juga
pada pasien depresi dengan insiden bunuh diri sebesar 15%. Data ini
menunjukkan harga diri rendah adalah masalah yang sangat serius dan perlu
penanganan segera.

Harga diri rendah kronis dapat berlanjut kepada gangguan sosial dan mental.
Gangguan sosial dan mental yang dapat timbul karena harga diri rendah adalah
menarik diri dari orang lain dan lingkungan karena pikiran-pikiran negatifnya

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


6

membuat individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu, takut salah,
serta putus asa terhadap hubungan dengan orang lain (Keliat, 2006). Dampak
yang ditimbulkan dengan adanya gangguan sosial dan mental dapat menurunkan
produktifitas dan menurunkan fungsi di tempat kerja, karena kecendrungan pasien
menarik diri dari peran dan fungsi sebelum sakit, membatasi hubungan sosial
dengan orang lain, dengan berbagai macam alasan. Penelitian yang menunjukkan
bahwa harga diri rendah dapat mengakibatkan gangguan dalam fungsi pekerjaan
atau dalam aktivitas sosial atau hal yang berhubungan dengan orang lain,
dilakukan oleh Canadian Association Psychiatric dengan prevalensi ketakutan
dalam berhubungan sosial lebih tinggi (14,9%) pada pasien yang mempunyai
masalah harga diri rendah dari pada yang mempunyai harga diri tinggi (6,6%)
(Canadian Association Psychiatric, 2004)

Dampak yang begitu besar pada kasus harga diri kronis menunjukkan perlunya
asuhan keperawatan yang dilakukan secara holistik dan komprehensif. Upaya
yang dapat dilakukan oleh perawat dalam mengatasi masalah yang dialami oleh
pasien terkait dengan diagnosa harga diri rendah adalah memberikan tindakan
keperawatan dengan menggunakan pendekatan model Stress Adaptation oleh
Stuart dan teori “Transpersonal Caring Relationship” oleh Watson. Pendekatan
kedua teori ini dapat menjembatani peningkatan pemahaman perawat terhadap
masalah harga diri rendah dalam program perawatan yang dijalaninya. Model
Stress Adaptation memandang manusia secara holistik yang terdiri dari dimensi
biologis, psikologis, sosiokultural dan ketiga dimensi tersebut saling berhubungan
satu sama lain dan terintegrasi dalam satu kesatuan, model tersebut juga
menganalisis faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor. sumber
koping, mekanisme koping yang digunakan baik yang bersifat konstruktif maupun
destruktif sehingga dapat memberikan gambaran alur berfikir tentang proses
timbulnya masalah keperawatan jiwa pada pasien gangguan jiwa.

Teori Watson “Transpersonal Caring Relationship”. dianggap tepat pada pasien


dengan diagnosa keperawatan harga diri rendah karena teori Watson memandang
dan menghargai manusia yang memiliki keyakinan dasar dan nilai yang sangat
mementingkan keberadaan manusia dan membiarkan individu memilih dan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


7

menentukan program perawatannya. Perawat dapat menggunakan teori ini sebagai


bentuk kepeduliannya dan perhatian yang penuh kepada pasien dan keluarga.
Teori ini mampu memfasilitasi hubungan yang penuh caring antara perawat
pasien dengan kepedulian dalam memandang pasien secara holistik dari berbagai
aspek kehidupan pasien. Caring adalah sentral untuk praktek keperawatan karena
caring merupakan suatu cara pendekatan yang dinamis, perawat bekerja untuk
lebih meningkatkan kepeduliannya kepada pasien.

Pendekatan teori keperawatan Caring menurut Watson digunakan dalam


penanganan pasien harga diri rendah karena perawat bisa menghadirkan diri
secara terapeutik dengan mempertahankan trust, komunikasi terapeutik,
mengembangkan kemampuan untuk terbuka, fleksibel, empati, menghargai
pasien, peka terhadap respon pasien, asih dan memperluas kesadaran diri (Tomey,
2006). Kunci dari kwalitas pelayanan asuhan keperawatan dalam model Caring
adalah perkatian, empati dan kepedulian perawat. Hal ini sangat sesuai dengan
sikap yang diharapkan dari perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan
yang berkwalitas.

Pendekatan menggunakan model Stress Adaptation , yang membagi pengkajian


pada beberapa elemen yaitu faktor predisposisi, stressor presipitasi dan penilaian
terhadap stressor. Elemen pada faktor predisposisi dan presipitasi adalah biologi,
psikologi dan sosiokultural. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan yang
dilakukan oleh Stuart sejalan dengan Watson yang menyatakan bahwa “caring”
dapat dicapai dengan adanya usaha menyediakan lingkungan yang mendukung,
melindungi dan atau memperbaiki kondisi mental, fisik, sosial dan spiritual.

Teori caring Watson yang dituangkan melalui 10 faktor karatif dapat digunakan
pada semua proses keperawatan mulai dari pengkajian, penentuan diagnosa,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Penggunaan teori Watson juga sangat
bermanfaat dalam perawatan pasien dengan harga diri rendah. Perilaku caring
perawat dapat berupa membantu pasien dan keluarga dalam melakukan upaya
peningkatan status kesehatan dan peningkatan pengetahuan untuk mencegah

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


8

kekambuhan dengan melakukan serangkaian terapi-terapi yang sesuai dengan


kebutuhan pasien dan keluarga dengan harga diri rendah.

Pengembangan teori transpersonal relationship dari Watson dapat digambarkan


sebagai berikut yakni memunculkan hubungan caring dengan pasien, merawat
pasien secara holistik, menerima pasien terhadap kondisi apapun, merawat pasien
dengan penghargaan yang positif, peningkatan derajat kesehatan melalui
intervensi keperawatan dan peningkatan pengetahuan dan bersedia mendengar
pasien. Dasar teori hubungan transpersonal caring inilah sehingga perawat dapat
menjalin hubungan yang terapeutik dengan pasien, dapat meningkatkan perannya
dalam peningkatan kemampuan perawatan dirinya, hal inilah yang mendasari
penulis dalam menggabungkan antara tindakan keperawatan dengan teori
keperawatan.

Tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memberikan intervensi keperawatan


pada pasien dengan harga diri rendah terbagi atas dua tindakan yakni tindakan
keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis. Tindakan keperawatan
generalis dilakukan pada pasien dan keluarga, sedangkan tindakan keperawatan
spesialis meliputi terapi kognitif (Suerni, Keliat, Helena N.CD: 2013), terapi
perilaku kognitif (Sasmita, Keliat, Budiharto, 2007; Hidayat, Keliat, Wardani,
2011; Lelono, Keliat, Besral, 2011) terapi psikoedukasi keluarga (Pandeirot,
2007; Wardaningsih, Keliat, Helena CD, 2007; Sari, Keliat, Mustikasari, 2009)

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Sasmita, Keliat, Budiharto, 2007)


yaitu Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy (CBT) pada pasien harga diri
rendah di Rumah Sakit Dr .Marzoeki Mahdi Bogor menunjukkan terjadinya
peningkatan kemampuan kognitif sebesar 29,31% dan kemampuan perilaku
sebesar 22,4% kemampuan kognitif dan perilaku lebih tinggi secara bermakna
pada pasien yang mendapat CBT dibandingkan pada klen yang tidak mendapat
CBT. Kondisi ini sejalan dengan hasil penerapan terapi perilaku kognitif yang
dilaksanakan penulis pada praktik residensi 3 yang berlangsung dari tanggal 17
Februari-18 April 2014 di ruang Antareja RSMM Bogor menunjukkan penurunan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


9

tanda dan gejala harga diri rendah lebih dari 50% dan peningkatan kemampuan
secara kognitif dan perilaku lebih dari 70%.

Hidayat, Keliat, dan Wardhani (2011) dalam penelitiannya pengaruh Cognitive


Behaviour Therapy (CBT) dan Rational Emotive Therapy (REBT) terhadap
pasien prilaku kekerasan dan harga diri rendah di RS. Marzoeki Mahdi Bogor.
Hasil penelitian menunjukkan penurunan gejala dan peningkatan kemampuan
pasien prilaku kekerasan dan harga diri rendah yang mendapat CBT dan REBT.
Lelono, Keliat, Besral (2011) dalam penelitiannya efektivitas CBT dan REBT
terhadap pasien perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah di RS.
Marzoeki Mahdi Bogor. Menunjukkan hasil terapi CBT dan REBT efektif
menurunkan perilaku kekerasan sebesar 61%, halusinasi 52,1% dan harga diri diri
rendah 66,2%. Peningkatan kemampuan kognitif, afektif dan perilaku pada
kelompok intervensi sebesar 74,53%. Hal ini menunjukkan bahwa CT dapat
membantu meningkatkan harga diri pada pasien dengan harga diri rendah.
Kondisi ini juga sangat sesuai dengan hasil praktik residensi 3 yang telah penulis
laksanakan. Pasien yang telah mendapatkan CT dan CBT terjadi penurunan
tanda dan gejala harga diri rendah dan peningkatan kemampuan secara kognitif,
afektif dan perilaku..

Penelitian yang dilakukan Sari, Keliat, Mustikasari (2009) tentang Pengaruh


Family Psychoeducation Therapy terhadap Beban dan Kemampuan Keluarga
dalam Merawat Pasien pasung di Kabupaten Bireun Nanggroe Aceh Darussalam
menunjukkan hasil penurunan beban keluarga dan peningkatan kemampuan
keluarga secara bermakna setelah diberikan FPE. Penelitian Kustiawan (2012),
pengaruh Psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan Keluarga merawat Pasien
HDR di Kota Tasikmalaya terhadap 50 keluarga menunjukkan hasil kemampuan
keluarga dalam merawat pasien HDR pada keluarga yang mendapat psikoedukasi
keluarga lebih tinggi dibandingkan pada keluarga yang tidak mendapatkan
psikoedukasi keluarga. Pada keluarga yang penulis berikan intervensi
Psikoedukasi keluarga juga terjadi peningkatan kemampuan keluarga dalam
merawat pasien dengan harga diri rendah, dibuktikan dengan lebih intensifnya

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


10

keluarga mengunjungi pasien ke RSMM dan keluarga memahami cara perawatan


pasien HDR saat pasien akan dipulangkan ke rumah. Namun tidak semua keluarga
mendapat intervensi ini berhubung selama pasien dirawat masih ada beberapa
pasien yang belum pernah dikunjungi oleh anggota keluarganya.

Karya ilmiah akhir ini merupakan analisis hasil pelaksanaan praktek asuhan
keperawatan spesialis jiwa yang dilaksanakan di ruangan perawatan psikiatri
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor sejak tanggal 17 Februari-18 April 2014
dengan jumlah pasien yang penulis rawat sebanyak 20 pasien (mengalami harga
diri rendah dan mendapat terapi CT, CBT dan Psikoedukasi keluarga).
Pelaksanaan asuhan keperawatan dilaksanakan di ruang Antareja RSMM Bogor
yang merupakan ruangan tenang untuk perawatan dewasa pada pasien yang telah
memasuki fase pemulihan/rehabilitasi untuk persiapan pulang. Ruangan inipun
telah melaksanakan pendekatan pelayanan model praktik profesional. Kegiatan
asuhan keperawatan di ruangan menggunakan pendekatan manajeman model
praktik profesional. Pelayanan model paktik profesional dilaksanakan
berpedoman pada empat pilar profesionalisme keperawatan yaitu management
approach, compensatory reward, professional relationship, dan patient care
delivery (Keliat, dkk, 2010).

Berdasarkan hasil-hasil yang telah dicapai selama penulis melaksanakan praktik


residensi III dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien harga diri
rendah, maka penulis tertarik untuk menuangkan dalam bentuk karya ilmiah akhir
tentang “Manajemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Pasien Harga diri
rendah menggunakan Teory Stress Adaptation Model oleh Stuart dan Teory of
Human Caring oleh Watson di Ruang Antareja RSMM Bogor”

1.2 Tujuan
1.1 Tujuan Umum
Menggambarkan hasil analisis manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa
terhadap pasien harga diri rendah dengan pendekatan teory Stress

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


11

Adaptation Model oleh Stuart dan teory of Human Caring oleh Watson di
ruang Antareja RSMM Bogor

1.2 Tujuan Khusus


1.2.1 Teridentifikasi karakteristik pasien yang mengalami harga diri rendah di
ruang Antareja RSMM Bogor.
1.2.2 Teridentifikasi masalah dan kebutuhan pada pasien yang mengalami harga
diri rendah di ruang Antareja RSMM Bogor.
1.2.3 Teridentifikasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan harga
diri rendah di ruang Antareja RSMM Bogor.
1.2.4 Teridentifikasi hasil analisis pelaksanaan manajemen kasus pada pasien
harga diri rendah di ruang Antareja RSMM Bogor dengan pendekatan
teory Stress Adaptation Model oleh Stuart dan teory of Human Caring
oleh Watson di ruang Antareja RSMM Bogor
1.2.5 Tersusunnya rencana tindak lanjut untuk asuhan keperawatan pada pasien
harga diri rendah di ruang Antareja RSMM Bogor
1.2.6 Tersusunnya rekomendasi untuk manajemen asuhan keperawatan pada
pasien dengan harga diri rendah.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Aplikatif
1.3.1.1 Sebagai pedoman asuhan keperawatan pada pasien dengan harga diri
rendah yang dilakukan di unit rawat inap psikiatri khususnya ruang
antareja.
1.3.1.2 Sebagai pedoman pelaksanaan manajeman asuhan keperawatan pada
pasien dengan harga diri rendah. Hasil dari praktik ini akan
meningkatkan pemahaman tentang manajemen ruang rawat sehingga
akan melandasi penyusunan rencana manajemen ruangan terkait
manajemen kasus keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah di
unit pelayanan rawat inap psikiatri.
1.3.2.3 Sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan khususnya pada pasien dengan masalah harga diri rendah di
unit rawat inap psikiatri.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


12

1.3.2.4 Sebagai pertimbangan bagi pihak rumah sakit untuk menempatkan


perawat spesialis keperawatan jiwa sebagai konsultan di unit rawat inap
psikiatri.

1.3.2 Manfaat Keilmuan dan Institusi Pendidikan


1.3.2.1 Hasil praktik dalam bentuk karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai gambaran peran perawat kesehatan jiwa
dalam menangani harga diri rendah pada pasien gangguan jiwa di Rumah
Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
1.3.2.2 Hasil pelaksanaan pemberian asuhan akan memberikan gambaran tentang
manajemen ruangan dan manajemen asuhan keperawatan pada pasien
dengan harga diri rendah dengan kombinasi tindakan keperawatan
generalis dan spesialis menggunakan pendekatan model adaptasi stress,
stuart
1.3.2.3 Hasil pelaksanaan pemberian asuhan sebagai dasar dalam penerapan
ilmu dan konsep keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan
asuhan keperawatan jiwa spesialis dan teori of human caring bagi
perawat sebagai pelaksana utama dalam pelayanan keperawatan jiwa.
1.3.2.4 Model asuhan keperawatan yang telah diberikan pada pelaksanaan praktik
ini diharapkan mendasari pelaksanaan manajemen kasus spesialis
khususnya pada pasien harga diri rendah di unit rawat inap dengan
berbagai kombinasi terapi spesialis yang diberikan. Penggunaan
kombinasi terapi spesialis yang efektif menjadi dasar penyusunan paket
intervensi yang diberikan kepada pasien.

1.3.3 Manfaat metodelogi


1.3.3.1 Hasil praktik dalam bentuk karya ilmiah dapat dijadikan sebagai dasar
pengembangan riset keperawatan. Studi ini akan menghasilkan wawasan
tentang manajemen ruang dan manajemen asuhan keperawatan pada
diagnosis harga diri rendah sebagai dasar pengembangan terapi-terapi
spesialis keperawatan jiwa di tatanan pelayanan psikiatri. Pengembangan
riset keperawatan yang dilakukan akan meningkatkan kemampuan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


13

perawat dalam melakukan manajemen kasus keperawatan dan memenuhi


kebutuhan kesehatan jiwa khususnya pada pasien dengan harga diri
rendah di unit pelayanan psikiatri RSMM Bogor.
1.3.3.2 Hasil pelaksanaan manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa pada
pasien dengan harga diri rendah akan menjadi evidence base practice
pelaksanaan praktik keperawatan jiwa pada pasien dengan harga diri
rendah.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


14

BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

Bab ini memaparkan teoritis tentang konsep-konsep dasar keperawatan yang


mendasari penulisan Karya Ilmiah Akhir ini, diantaranya theory stress adaptation
model oleh Stuart dan theory of human caring oleh Watson dalam penanganan
pasien dengan harga diri rendah, penjelasan mengenai terapi yang digunakan
terapi kognitif, terapi kognitif perilakur, psikoedukasi keluarga dalam
penanganan pasien dengan harga diri rendah dan konsep manajemen Model
Praktik Keperawatan Profesional (MPKP).

Penerapan manajemen asuhan keperawatan pada klien harga diri rendah


menggunakan pendekatan Theory Stress Adaptation oleh Stuart dan Theory of
Human Caring oleh Watson. Theory Stress Adaptation oleh Stuart terdiri dari
proses pengkajian (input), untuk menetapkan diagnosa keperawatan Stuart
membagi pengkajian pada beberapa elemen yaitu faktor predisposisi, stresor
presipitasi dan penilaian terhadap stresor. Elemen pada faktor predisposisi dan
presipitasi adalah biologis, psikologi, dan sosiokultural. Berdasarkan data yang
diperoleh ditegakkan diagnosa keperawatan harga diri rendah (HDR). Dilanjutkan
dengan mengidentifikasi segala aspek kelebihan, kelemahan dan pola
penyelesaian masalah yang bisa digunakan oleh pasien hingga akhirnya bisa
ditentukan jenis terapi untuk menyelesaikan diagnosa keperawatan yang muncul
yaitu sumber koping dan mekanisme koping pasien.

Tahap berikutnya yaitu tahap implementasi (process) fokus pada tindakan


keperawatan yaitu memberikan Cognitif Therapy (CT), Cognitif Behavior
Therapy (CBT) dan Family Psychoeducasi (FPE). Tahap ini juga bertujuan untuk
menurunkan gejala HDR dan meningkatkan keyakinan positif pasien.
Keberhasilan pencapaian tujuan secara langsung dan tidak langsung akan
meningkatkan sumber koping pasien sehingga pemilihan mekanisme koping juga
akan lebih adaptif dari sebelumnya. Output merupakan hasil akhir dari

14
Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


15

pelaksanaan terapi, peningkatan sumber koping dan mekanisme koping dengan


pendekatan teori Stres Adaptasi dan

Seluruh pendekatan selama masa input dan proses, seluruh tindakan keperawatan
merujuk pada teori “caring” Watson yang mengedepankan penggunaan 10
carative faktor. Watson menekankan pada hubungan pasien dan perawat yang
terapeutik.

2.1 Input
Perubahan perilaku akibat gangguan jiwa dan sindrom psikologis yang
disebabkan oleh distress pasien, ketidakmampuan atau resiko akibat pertahanan
akan ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan APA (2000, dalam Varcarolis
& Halter, 2010). Pengkajian merupakan tahap penting yang harus dilakukan oleh
perawat untuk mengetahui dengan jelas penyebab munculnya gangguan jiwa.
Pengkajian dapat dilakukan apabila pasien memiliki kepercayaan untuk membina
hubungan transpersonal dengan orang lain. Perawat sebagai tenaga kesehatan
memiliki peran besar untuk membina hubungan terapeutik yang didasari adanya
rasa saling percaya. Hubungan transpersonal merupakan dasar tindakan
keperawatan, seperti halnya salah satu carative faktor yang dikembangkan oleh
Watson yaitu Membangun hubungan kemanusiaan yang saling percaya dan bahu
membahu Watson (1979 dalam Parker & Smith, 2010).

Kehadiran perawat yang masuk ke wilayah kehidupan pribadi pasien mampu


mendeteksi kondisi kesehatan dan segala bentuk faktor yang melatarbelakangi
munculnya masalah. Tanpa adanya rasa saling percaya tujuan tersebut akan sulit
untuk dicapai. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan dari Townsend (2009) bahwa
pengalaman akan kejadian traumatik seringkali menimbulkan rasa tidak percaya
dengan orang lain terutama bagi korban kekerasan sehingga mempengaruhi
hubungan secara sosial. Hal ini akan menyebabkan masalah menjadi semakin
berat. begitu juga dengan pasien HDR yang cenderung akan mengalami masalah
dalam membina hubungan sosial. Oleh karena itu, membangun rasa saling
percaya antara pasien dan perawat merupakan awal terjadinya hubungan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


16

transpersonal yang terapeutik. Pendekatan menggunakan model Stress


Adaptation oleh Stuart (2013), membagi pengkajian pada beberapa elemen yaitu
faktor predisposisi, stresor presipitasi dan penilaian terhadap stresor. Elemen pada
faktor predisposisi dan presipitasi adalah biologi, psikologi dan sosiokultural. Hal
ini menunjukkan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh stuart sejalan dengan
watson yang menyatakan bahwa “caring” dapat dicapai dengan adanya usaha
menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi dan atau memperbaiki
kondisi mental, fisik, sosial dan spiritual Watson (1979 dalam Parker & Smith,
2010).

Perawat menghadirkan dirinya kepada pasien secara utuh ketika akan melakukan
asuhan keperawatan. Kehadiran perawat yang masuk ke wilayah kehidupan
pribadi pasen mampu mendeteksi kondisi kesehatan dan segala bentuk faktor yang
melatarbelakangi munculnya masalah, tanpa adanya rasa saling percaya tujuan
tersebut akan akan sulit dicapai. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Townsend
(2009) bahwa pengalaman akan kejadian traumatik seringkali menimbulkan rasa
tidak percaya dengan orang lain terutama bagi korban kekerasan sehingga
mempengaruhi hubungan secara sosial. Hal ini akan menyebabkan masalah
menjadi semakin berat. begitu juga dengan pasien HDR yang cendrung akan
mengalami masalah dalam membina hubungan sosial.

Sehubungan dengan itu, membangun rasa saling percaya antara pasien dan
perawat merupakan awal terjadinya hubungan transpersonal yang terapeutik.
Teori “caring” tidak hanya memungkinkan perawat untuk berlatih seni
memberikan kasih sayang untuk membantu pasien dan keluarga, mengurangi
penderitaan dan untuk meningkatkan penyembuhan, tetapi juga dapat
berkontribusi memperluas aktualisasi diri perawat. Meningkatkan dan
menerapkan nilai-nilai”caring” dalam praktik keperawatan tidak hanya penting
bagi kesehatan kita sebagai perawat, namun namun hubungan yang mendasar
adalah untuk mencari makna dalam pekerjaan kita ( Cara C, 2000)

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


17

Pendekatan menggunakan model stress adaptation Stuart (2013), membagi


pengkajian pengkajian pada beberapa elemen yaitu faktor predisposisi, stresor
presipitasi, dan penilaian terhadap stresor.

2.1.1. Faktor predisposisi


Faktor predisposisi menggambarkan faktor resiko yang dimiliki oleh pasien. stuart
menganggap bahwa pengalaman masa lalu memiliki makna dan pengaruh
tersendiri bagi setiap individu. Faktor predisposisi dibagi menjadi tiga elemen
yaitu biologi, psikologi dan sosiokultural.
2.1.1.1 Biologi
Komponen biologi yang menjadi faktor predisposisi antara lain faktor genetik,
status nutrisi, sensitivitas biologi, keadaan kesehatan umum, paparan terhadap
racun, neurotransmitter, riwayat trauma kepala, penggunaan obat-obatan (Stuart,
2013)

Pada beberapa dekade terakhir berbagai pembuktian secara ilmiah dilakukan


untuk meningkatkan pemahaman terjadinya gangguan jiwa, terutama setelah
berkembang berbagai teknologi yang memungkinkan penelitian tanpa
membutuhkan pembedahan otak. Pada era 1990-an dikenal sebagai “dekade otak”,
hal ini karena pada tahun ini telah banyak penelitian dilakukan untuk melihat
hubungan antara otak dan perilaku, sehat, sakit dan hubungan keseluruhan aspek
terkait. Pendekatan biologi menemukan beberapa faktor yang berperan terhadap
munculnya perubahan perilaku dan pikiran yang menyebabkan gangguan jiwa
(Varcarolis, 2010;Videbeck, 2008;Stuart, 2013).

Sistem limbik merupakan bagian otak yang berperan dalam pengaturan emosi.
Sistem ini terdiri atas amygdala, septum, hippocampus. Hipertrophy amygdala
berhubungan dengan depresi, sama halnya dengan atrophy hippocampus, hal ini
ditunjukkan dengan adanya pengecilan hippocampus pada pasien depresi.
Kerusakan pada septum akan mempengaruhi kemampuan untuk mengontrol
kemarahan, agresi, dan ketakutan (Videbeck, 2011).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


18

Syaraf juga menjadi bagian penting dalam menjaga homeostatis keadaan


psikologis, terutama dalam perannya menyalurkan neurotransmitter dalam tubuh.
Neurotransmitter merupakan faktor penting untuk memahami kerja otak dalam
mempengaruhi perilaku dan termasuk efek pengobatan medis (Stuart, 2013).
Norepinefrin merupakan neurotransmitter yang mempengaruhi mood dan pada
beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan pada zat ini akan
menyebabkan gangguan jiwa terutama yang berhubungan dengan mood, ansietas,
menarik diri, dan depresi. Serotonin berperan dalam menyebabkan halusinasi,
waham dan menarik diri pada pasien skizofrenia. Gangguan pada kadar dopamin
akan menimbulkan gangguan psikotik dan parkinson. Asam Gama-amnobutirat
berperan penting dalam penyakit degeneratif seperti hutinghon dan alzheimer
(Videbeck, 2008;Stuart, 2013, Varcarolis, 2010).

Faktor herediter dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya gangguan jiwa.


Penelitian akan adanya pengaruh genetik dalam gangguan jiwa telah
dikembangkan sejak tahun 1998 hingga 2003 oleh Human Genom Project.
Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa faktor genetik memiliki peran
dalam menyebabkan gangguan jiwa ditandai dengan banyaknya penelitian yang
melihat hubungan orang tua dan anak atau kejadian gangguan jiwa pada kembar
terutama monozigotik. Faktor genetik berperan dalam kejadian depresi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joska dan Stein (2008), ditemukan
bahwa kejadian depresi meningkat secara signifikan pada kembar monozygotik,
yaitu sekitar 37%. Jika salah satu dari kembar monozygotik mengalami depresi
maka kembar lainnya akan memiliki kemungkinan sebesar 37% juga. Penggunaan
obat-obatan narkotik dan trauma kepala dipercaya dapat mempengaruhi terjadinya
gangguan jiwa. Hingga saat ini masih banyak penelitian yang dilakukan untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Stuart (2013) dalam penjelasannya menyatakan
bahwa faktor penting yang harus diidentifikasi terkait riwayat kesehatan adalah
adanya trauma kepala, kecelakaan dan penyakit lainnya yang mungkin
berpengaruh.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


19

Faktor adanya penyakit penyerta juga menyebabkan peningkatan kejadian


gangguan jiwa. Hal ini biasanya terjadi pada individu dengan penyakit kronik
atau mematikan. Gaynes et al (2008); Hermann (2006); Pirl (2004) dalam
Varcarolis & Halter (2010) menyebutkan kejadian depresi sendiri pada penyakit
terminal dan kronik mencapai 20% hingga 50%. Berdasarkan angka tersebut
kejadian depresi terbanyak di alami oleh pasien kanker (50%), HIV (41%),
Diabetes (9% - 27%), dan penyakit stroke (20% - 30%).

2.1.1.2 Psikologi

Faktor predisposisi psikologi yang dapat menyebabkan gangguan jiwa termasuk


intelegensia, kemampuan bicara, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu,
konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan kemampuan pengontrolan diri
(Stuart, 2013)

Konsep diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya berdasarkan perilaku


sesuai dengan ideal dirinya (Stuart, 2013). Konsep diri dapat berkembang dari
masa kanak-kanak dan dipengaruhi oleh adanya penerimaan, lingkungan, dan
penghargaan dari orang lain. Ketiadaan faktor-faktor tersebut, adanya gangguan
dalam masa pertumbuhan akan mempengaruhi konsep diri individu termasuk
harga diri. Menurut Rosenberg (1965) & Owen (2013 dalam Guinon, 2010) harga
diri adalah totalitas pikiran dan perasaan tentang diri. Untuk menilai harga diri
seseorang Rosenberg telah mengembangkan instrument mengukur harga diri yang
dikenal dengan Rosenberg Self-Esstem Scale (Rosenberg, 1965).

Perubahan atau gangguan pada masa tumbuh kembang dianggap menjadi faktor
penyebab terjadinya gangguan jiwa berdasarkan teori psikoanalitik Sigmund
Freud’s dan Erik Erikson. Freud (1969, dalam Varcarolis 2010) menyatakan
bahwa gangguan perilaku muncul apabila terjadi gangguan dalam perkembangan
psikoseksual yang terbagi menjadi 5 tahap yaitu fase oral, anal, phalic, latency
dan genital. Misalnya gangguan pada tahap anal (1-3 tahun) dapat memunculkan
gejala pola pikir kaku, Obsessive Compulsive Disorder (OCD) atau perilaku
merusak, tidak terarah dan kejam. Erik erikson (1963, dalam Varcarolis, 2010)

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


20

juga menghasilkan teori yang sama seperti gangguan pemenuhan tugas


perkembangan industry pada usia sekolah dapat menyebabkan anak menjadi harga
diri rendah.

2.1.1.3 Sosiokultural

Predisposisi sosiokultural meliputi faktor usia, jenis kelamin, pendidikan,


penghasilan, pekerjaan, status sosial, latar belakang budaya, agama, keyakinan
dan pengalaman sosialisasi (Stuart, 2013).

Identifikasi faktor sosial dianggap penting karena berdasarkan beberapa penelitian


ditemukan bahwa faktor sosial menjadi faktor resiko munculnya gangguan jiwa.
Kecenderungan tingginya angka kejadian pada kelompok jenis kelamin tertentu,
kelompok usia tidak dapat disimpulkan secara umum karena setiap bentuk
gangguan memiliki kekhasan tersendiri. Perubahan status sosial, seperti
kehilangan pasangan, adanya penurunan kemampuan fisik, kehilangan pekerjaan,
penghasilan atau karena tidak tercapainya suatu keinginan dapat menyebabkan
munculnya gangguan konsep diri (Stuart, 2009;Varcarolis & Halter, 2010).

Perbedaan budaya pada setiap wilayah juga mempegaruhi angka kejadian


gangguan jiwa atau perilaku maladaptif lainnya.. Sebagai contoh perilaku minum-
minuman beralkohol di negara-negara asia cenderung rendah, Hal ini terjadi
karena terdapat pengaruh budaya dalam bentuk pola pikir dan perilaku individu.
Budaya asia cenderung menganggap minuman beralkohol merupakan minuman
haram yang tidak baik dikonsumsi. Contoh lainnya adalah pengguna napza wanita
jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini karena wanita
pengguna napza akan memiliki citra diri lebih negatif sehingga mencegah
peningkatan angka kejadian (Varcarolis & Halter, 2010).

2.1.2 Stresor Presipitasi


Stresor presipitasi adalah stimulus yang menantang, mengancam, atau menuntut
untuk individu. Membutuhkan energi yang banyak dan menghasilkan keadaan
ketegangan dan stress. Termasuk didalamnya adalah faktor biologis, psikologis.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


21

atau sosial budaya. Stresor tersebut berasal dari lingkungan internal dan eksternal
individu. Memiliki kejelasan waktu kemunculannya dan termasuk juga jumlah
stresor yang muncul. Jumlah stresor yang muncul dalam waktu bersamaan akan
memperberat keadaan psikologis seseorang (Stuart, 2013).

2.1.3 Penilaian terhadap stresor


Faktor predisposisi atau stresor precipitasi yang muncul dapat menimbulkan
reaksi yang berbeda bagi setiap orang. terdapat lima respon yang dapat
menggambarkan perubahan keadaan psikologis individu yaitu kognitif, perilaku,
afektif, psikologi dan sosial. Kelima faktor ini saling berkaitan satu sama lainnya
(Stuart, 2013). Bentuk respon dari setiap masalah yang dialami dapat beragam
baik bersifat positif ataupun negatif. Tindakan keperawatan yang mengedepankan
hubungan transpersonal, hubungan kemanusiaan harus dapat menerima ungkapan
ekspresi perasaan yang dialami oleh pasien. respon positif dan negatif akan stresor
menentukan diagnosa keperawatan yang muncul.

2.1.3.1 Respon kognitif

Respon kognitif melihat pengaruh stresor terhadap kognitif. Kognitif memegang


peranan penting dalam model ini (Monat & Lazarus, 1991 dalam Stuart, 2013).
Berdasarkan respon kognitif dapat diketahui kemampuan individu dalam
menghadapi masalah, pola penyelesaian masalah yang digunakan, dan kondisi
psikologisnya. kognitif menjadi penghubung antara lingkungan dan individu.

HDR dapat dinilai dari adanya perubahan kognitif dan perilaku. Tanda dan gejala
langsung HDR adalah sikap kritik akan diri sendiri, merendahkan diri sendiri,
perasaan bersalah, ketakutan, menolak keberadaan diri, menolak kenyataan, tidak
mampu mengambil keputusan. Gejala tidak langsung yang dapat muncul seperti
terjadi ilusi, delusi, sensitivitas terhadap diri berlebihan, bosan, dan polarisasi
pandangan hidup yang cenderung pesimis (Stuart, 2013).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


22

2.1.3.2 Respon Afektif

Stuart (2013) menyatakan bahwa afektif merupakan gambaran perasaan. Tidak


ada respon afek tertentu untuk setiap stresor yang muncul. Bentuk afek yang dapat
muncul pada stresor antara lain senang, sedih, takut, marah, menerima, tidak
percaya, kaget. Pada respon afektif juga meliputi lama waktu muncul, intensitas,
dan jenisnya. Perawat sebaiknya cermat terhadap afek yang muncul. Periode
munculnya afek dapat diartikan berbeda. misalnya periode munculnya afek dalam
jangka panjang dapat dianggap sebagai pola perilaku yang biasa digunakan.

2.1.3.3 Respon fisiologis

Respon fisiologis diidentifikasi untuk melihat sejauh mana keadaan stresor


mempengaruhi kondisi fisik. Perubahan kondisi fisiologis menggambarkan telah
terjadi interaksi beberapa neuroendokrin meliputi Growth hormone (GH),
prolactin, adrenocorticotropic hormon (ACTH), luetinizing dan follicle
Stimulating Hormones (FSH), Thyroid Stimulating Hormones (TSH), vasopressin,
oxytocin, insulin, epinefrine, norepinefrine, dan neurotransmitter lainnya (Stuart,
2013). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan fisiologis menggambarkan
kemampuan fight or flight individu untuk berespon terhadap masalah.

2.1.3.4 Respon perilaku

Respon perilaku adalah hasilnya tanggapan emosional dan fisiologis, serta analisis
kognitif seseorang dari situsi stres. Caplan (1981 dalam Stuart, 2013).Terdapat
empat fase respon perilaku individu untuk peristiwa stres: Tahap 1 adalah
perilaku yang mengubah lingkungan stres atau memungkinkan individu melarikan
diri dari hal tersebut, tahap 2 adalah perilaku yang memungkinkan individu untuk
mengubah keadaan eksternal dan akibatnya, tahap 3 adalah perilaku intrapsikis
yang berfungsi untuk mempertahankan terhadap rangsangan emosional yang tidak
menyenangkan. tahap 4 adalah perilaku intrapsikis yang membantu seseorang
menerima masalah dan gejala sisa. Pengaturan kembali perilaku merupakan hasil
dari perasaan dan keadaan psikologis sebagaimana juga merupakan hasil dari
analisa kognitif.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


23

HDR dapat dinilai dari adanya perubahan kognitif dan perilaku. Tanda dan gejala
langsung HDR adalah sikap kritik akan diri sendiri, merendahkan diri sendiri,
perasaan bersalah, ketakutan, menolak keberadaan diri, menjauh dari orang lain,
menolak kenyataan, merusak diri, muncul gejala fisik seperti psikosomatik,
kekerasan, penggunaan zat terlarang, minum beralkohol, atau makan berlebihan,
tidak mampu mengambil keputusan. Gejala tidak langsung yang dapat muncul
seperti terjadi ilusi, delusi, sensitivitas terhadap diri berlebihan, bosan, dan
polarisasi pandangan hidup yang cenderung pesimis (Stuart, 2013).

2.1.3.5 Respon sosial

Dampak lain dari adanya stresor atau stimulus adalah respon sosial. Respon
terhadap sosial untuk setiap individu beragam dan berbeda untuk setiap pasien.
Individu yang merasa bahwa masalahnya muncul sebagai akibat dari kesalahan
biasanya akan bereaksi dengan mengisolasi diri dari lingkungan. Bentuk lainnya
dari respon sosial adalah bagaimana respon individu terhadap kebutuhan
dukungan dari lingkungan sosial (Stuart, 2013)

2.1.4 Sumber koping

Diagnosa keperawatan yang telah ditegakkan akan diatasi menggunakan terapi


keperawatan, akan tetapi untuk melihat kemungkinan keberhasilan terapi perlu
diidentifikasi sumber-sumber koping yang dimiliki oleh pasien sebagai dukungan
penyelesaian diagnosa keperawatan. Stuart (2013) membagi sumber koping
menjadi 4 yaitu kemampuan personal, dukungan sosial, aset metarial dan
keyakinan positif.

2.1.4.1 Kemampuan personal


Peningkatan kemampuan personal terutama dalam menghadapi masalah dan
dampaknya akan mempengaruhi mekanisme koping pasien. pengetahuan dan
intelegensia memungkinkan individu untuk melihat cara yang berbeda dalam
menghadapi situasi sulit. Kemampuan personal yang ingin dicapai oleh pasien
adalah kemampuan dalam menghadapi situasi sulit, pengetahuan pasien akan
kondisi sehat, sakit, cara penyelesaiannya (Stuart, 2013)

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


24

2.1.4.2 Dukungan sosial


Keterampilan/dukungan sosial membantu memecahkan masalah yang melibatkan
orang lain, meningkatkan kemungkinan mendapatkan kerjasama dan dukungan
dari orang lain, dan memberikan kontrol sosial yang lebih besar individu (Stuart,
2013)

2.1.4.2 Aset materi

Kepemilikan jaminan kesehatan, sumber rujukan dan pelayanan kesehatan


dimasyarakan serta sumber keuangan merupakan aset materi yang dimiliki oleh
pasien untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah (Stuart,
2013)

2.1.4.3 Keyakinan positif


Keyakinan diri yang positif dapat meningkatkan harapan sehingga mempengaruhi
kemampuan individu dalam menghadapi masalah (Stuart, 2013). Gambaran
tentang model stres adaptasi oleh Stuart secara jelas dapat dilihat pada skema 2.1.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


25

Faktor Predisposisi

Biologi Psikologis Soasiokultural

Faktor Presipitasi

Nature Origin Timing Number

Penilaian Stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial

Sumber Koping

Kemampuan Personal Dukungan Sosial Aset Materi Keyakinan Positif

Koping Mekanisme

Konstruktif Destruktif

RENTANG RESPON KOPING

Adaptif Maladaptif

DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Komponen biopsikososialkultural Model Stuart Stress Adaptasi
(Stuart, 2013)

2.1.5 Diagnosa Keperawatan

Hasil pengkajian terhadap faktor predisposisi, stresor presipitasi dan penilaian


terhadap stresor menghasilkan diagnosa keperawatan harga diri rendah (HDR)
yang merupakan diagnosa yang diangkat pada penulisan ini.

Harga diri rendah adalah penilaian negatif terhadap diri dan dihubungkan dengan
perasaan lemah, tidak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak berharga
(Stuart, 2013). Harga diri rendah menunjukkan penolakan terhadap diri yang
diekspresikan secara langsung atau tidak lanngsung. Ekspresi langsung dapat
dilihat dari perilakur, mengkritik diri, penurunan kemampuan, rasa bersalah dan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


26

khawatir, penolakan diri, menunda keputusan, menghindari kesenangan,


hubungan interpersonal terganggu, isolasi sosial, merusak diri. Ekspresi tidak
langsung dapat diamati dari perilakur tidak langsung, mempunyai tujuan yang
tidak realistis, kritik dan memuji diri berlebihan, kebosanan, kepribadian tertutup,
kebingungan, kekecewaaan dan keterasingan (Stuart, 2013).

Harga diri merupakan tingkat penghargaan individu terhadap diri sendiri dan
penilaian ini berdasarkan pada kemampuan yang dimiliki individu tersebut
(Townsend, 2009). Menurut Sorensen (2006) Harga diri rendah adalah dasar kita
melihat semua nilai, atau menghargai diri kita sendiri, pandangan negatif dari diri
menghasilkan harga diri rendah/Low Self-Esteem (SLE). Harga diri rendah kronis
merupakan penilaian diri negatif dan penghargaan yang kurang terhadap
kemampuan diri yang terjadi dalam jangka waktu lama.

NANDA (2010) mengklasifikasikan harga diri rendah menjadi dua yakni harga
diri rendah situasional dan harga diri rendah kronis. Harga diri rendah situasional
adalah berkembangnya persepsi diri yang negatif dalam berespon terhadap situasi
yang sedang terjadi atau spesifik (NANDA, 2010). Sedangkan harga diri rendah
kronis adalah keadaan yang lama mengenai evaluasi diri atau perasaan mengenai
diri atau kemampuan diri yang negatif (NANDA, 2010). Menurut Keliat (2006)
harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan kemampuan
diri. Klien dengan gangguan konsep diri harga diri rendah banyak ditemui di
rumah sakit jiwa, namun tidak sedikit hanya berobat jalan atau bahkan dibiarkan
di rumah dengan perawatan seadanya. Klien dapat mengalami frustasi dalam
upaya memenuhi perannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Peran dan
fungsinya di keluarga maupun di masyarakat dapat terganggu karena klien
mengalami kesulitan berfikir dengan jernih, mengingat, memusatkan pikiran,
konsentrasi serta kurang motivasi.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


27

2.1.5.1 Rentang Respon Konsep diri


Rentang respons konsep diri dari adaptif sampai maladaptif adalah :

Adaptif Maladaptif

Aktualisasi diri Konsep diri(+) Harga diri rendah Kekacauan Identitas Depersonalisasi

Skema 2.2 Rentang respon konsep diri (Stuart, 2013)

2.1.5.2 Proses terjadinya Harga Diri Rendah Kronis


Konsep diri terbentuk dari pengalaman internal seseorang, hubungan dengan
orang lain dan interaksi dengan lingkungan. Konsep diri memiliki pengaruh yang
kuat pada perilaku manusia (Stuart, 2013). Faktor kegagalan yang berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, dan
ideal diri yang tidak realistis merupakan faktor dari dalam diri. Sedangkan yang
berasal dari orang lain adalah penolakan orang tua atau harapan orang tua yang
tidak realistis.

Proses terjadinya harga diri rendah dapat diuraikan melalui analisa faktor
predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan
mekanisme koping konstruktif atau destruktif dalam rentang adaptif sampai
maladaptif dengan model stress adaptasi dari Stuart.

2.1.5.3 Faktor Predisposisi


Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep Diri. Faktor predisposisi yang dimulai
pada usia dini dapat berkontribusi pada masalah konsep diri. Karena bayi awalnya
melihat dirinya seperti orang tuanya melihat mereka. Bayi sangat responsif
terhadap emosional kedua orang tuannya. Perilaku penolakan menyebabkan anak
tidak percaya diri dan berhubungan dengan orang lain. (Stuart, 2013). Faktor

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


28

predisposisi adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber
risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stress (Stuart, 2013). Faktor
ini meliputi biologis, psikologis dan sosial budaya.

a. Faktor biologis
Faktor biologis merupakan karakteristik fisik yang mempengaruhi seseorang
dalam menghadapi suatu stresor. Faktor biologis terjadinya harga diri rendah
meliputi struktur otak hipotalamus dan neurotransmitter. Struktur otak yang
berhubungan dengan dengan perilaku agresif serta depresi yang mengakibatkan
harga diri rendah adalah sistem limbik, lobus frontal, lobus temporal dan
hipotalamus. Sistem limbik terdiri dari amygdala, septum dan hyppocampus
dimana kerusakan pada septum akan mempengaruhi kemampuan untuk
mengontrol kemarahan, agresi dan ketakutan (Videbeck, 2008).
Ketidakseimbangan neurotransmitter juga mendorong munculnya perilaku
kekerasan atau depresi (Stuart, 2009; Kaplan & Saddock, 2010).

Neurotransmitter di otak dapat mempengaruhi perilakur manusia. Gangguan pada


norepinefrin yang merupakan neurotransmitter dapat mempengaruhi mood,
ansietas, menarik diri dan depresi. Rendahnya neurotransmitter serotonin
menimbulkan iritabilitas, hipersensitivitas terhadap provokasi dan perilakur amuk.
Individu dengan impulsif, bunuh diri dan membunuh, mempunyai serotonin lebih
rendah daripada level 5 hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA). Gangguan pada
sistem limbik yaitu kerusakan pada septum serta gangguan pada neurotransmitter
yaitu norepinephrin merupakan faktor predisposisi biologis terjadinya harga diri
rendah.

b. Faktor Psikologis

Faktor predisposisi psikologis terjadinya harga diri rendah diantaranya


intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, konsep diri,
motivasi, pertahanan psikologis, kemampuan mengendalikan (Stuart, 2013).
Kepribadian merupakan faktor psikologis dari seseorang, seperti tipe kepribadian
introvert, menutup diri dari kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya,

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


29

sehingga tidak memiliki orang terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya.
Seseorang tidak memiliki landasan untuk membentuk mekanisme koping dalam
menghadapi masalah dalam kehidupannya jika tidak dikenalkan dengan konsep
moral baik dan buruk, mmisalnya terkait dengan keyakinan spiritual (Townsend,
2009). Harga diri rendah terjadi pada seseorang apabila pertahanan psikologis
terhadap suatu stresor yang berkembang berdasarkan pengalaman traumatik dan
disertai kepribadian tidak stabil.

c. Faktor Sosial Budaya

Faktor sosial budaya sebagai faktor predisposisi meliputi status sosial, umur,
pendidikan, agama, dan kondisi politik. Perubahan status sosial seperti kehilangan
pasangan hidup, adanya penurunan kemampuan fisik, kehilangan pekerjaan,
penghasilan, tidak tercapainya suatu keinginan dapat menyebabkan gangguan
konsep diri (Varcarolis & Halter, 2010; Stuart 2009). Menurut Sasmita, Keliat,
Budiharto (2007) meliputi usia, jenis kelamin, riwayat pekerjaan, pendidikan.
Menurut Fauziah, Hamid, Nuraini (2009) terdiri atas pendidikan terakhir dan
lama sakit/riwayat gangguan jiwa. Berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa kehilangan pasangan, kehilangan pekerjaan dan adanya
keinginan yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan seseorang mengalami harga
diri rendah.

2.1.5.4 Stresor presipitasi


Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah meliputi stresor psikologis dan
stresor sosial budaya (Stuart, 2013). Sifat dari stresor yang tergolong komponen
biologis, misalnya: penyakit infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak.
Komponen psikologis misalnya: stresor terkait dengan pertumbuhan dan
perkembangan seperti adanya abuse dalam keluarga atau adanya kegagalan-
kegagalan dalam hidup. Komponen sosial budaya misalnya: adanya aturan yang
sering bertentangan antara individu dan kelompok masyarakat, tuntutan
masyarakat yang tidak sesuai dengan kemampuan seseorang, ataupun adanya
stigma dari masyarakat terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


30

2.1.5.5 Penilaian terhadap stresor

Penilaian terhadap stresor menggambarkan arti dan makna sumber stres pada
suatu situasi yang dialami individu. Penilaian terhadap stresor dapat diketahui dari
respon individu dalam menghadapi stresor yang meliputi respon kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku dan sosial (Townsend, 2014; NANDA, 2010; Stuart, 2013).
Adanya stresor yang menjadi faktor presipitasi, akan menyebabkan individu
melakukan penilaian dan mempersepsikan stresor sebagai suatu hal yang negatif
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan timbulnya harga diri rendah. Berikut
ini dijelaskan tanda dan gejala harga diri rendah secara rinci:
a. Respon kognitif
Penilaian kognitif merupakan tanggapan atau pendapat klien terhadap diri sendiri,
orang lain dan lingkungan (Stuart, 2013). Masalah kognitif didominasi oleh
evaluasi seseorang terhadap diri seseorang, dunia seseorang dan masa depan
seseorang. Apabila evaluasi tersebut ke arah negatif, misalnya seseorang
memandang dirinya negatif maka orang tersebut akan mengalami harga diri
rendah. Klien menjadi kebingungan, kurang perhatian, merasa putus asa, merasa
tidak berdaya dan merasa tidak berguna.

b. Respon afektif
Tanda dan gejala afektif terkait dengan respon emosi dalam menghadapi masalah
(Stuart, 2013). Respon emosi sangat bergantung dari lama dan intensitas stresor
yang diterima dari waktu ke waktu. Afek/emosional klien harga diri rendah yang
dapat diamati adalah kemarahan, rasa kesal, murung, ketidakberdayaan,
keputusasaan, kesepian dan kesedihan, merasa berdosa dan kurang motivasi,
melebih-lebihkan umpan balik negatif, melihat dunia secara negatif dan
menyatakan kegagalan secara verbal.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


31

c. Respon fisiologis

Respon fisik terhadap perubahan harga diri adalah perasaan lemah, penurunan
energi, penurunan libido, insomnia/hipersomnia, penurunan/peningkatan nafsu
makan, anoreksia, sakit kepala, agitasi, tidak berdaya, keluhan fisik, merusak diri
sendiri (Stuart, 2013). Respon fisik pada harga diri rendah ditunjukkan dengan
ekspresi rasa bersalah, ekspresi rasa malu, kontak mata kurang, konsentrasi
menurun dan penilaian negatif tentang tubuhnya (Herdman, 2012).

d. Respon Perilaku

Tanda dan gejala perilaku dihubungkan dengan tingkah laku yang ditampilkan
atau kegiatan yang dilakukan klien berkaitan dengan pandangannya terhadap diri
sendiri, orang lain dan lingkungan (Stuart, 2013). Perilaku adalah suatu kegiatan
atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2010). Pada klien harga diri rendah
perilaku yang ditampilkan yaitu mengkritik diri sendiri, menunda keputusan,
hubungan yang buruk, merusak diri sendiri, bermusuhan, motivasi menurun dan
penurunan perawatan diri/kebersihan diri. Perilaku secara langsung yang
menunjukkan klien yang mengalami harga diri rendah adalah :
(1) Kritik diri negatif; terjadi pada klien dengan mempunyai pikiran dan
keyakinan bahwa dirinya akan mendapat kegagalan atau malapetaka. Ekspresi
yang ditunjukkan klien adalah klien mengatakan dirinya “bodoh”, “tidak
baik” atau “terlahir dengan kekurangan”.
(2) Pengurangan diri; dilakukan klien dengan meminimalkan kemampuan yang
dimilikinya (menghindar, mengabaikan, atau menolak untuk mengingat
kekuatan dan kekayaan nyata yang dimilikinya).
(3) Merasa khawatir dan bersalah; mengekspresikan perasaan khawatir dan
bersalah dalam bentuk mimpi buruk, fobia, mempunyai obsesi atau
mengenang kenangan yang menyakitkan dan menyudutkan
(mendeskreditkan) diri. Tanda-tanda ini menunjukkan adanya penolakan
terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh klien.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


32

(4) Manifestasi fisik; manifestasi fisik yang menunjukkan klien mengalami harga
diri rendah adalah hipertensi, penyakit psikosomatik dan penyalahgunaan zat
seperti alkohol, obat-obat, tembakau (rokok) atau makanan.
(5) Menunda keputusan; penundaan produktivitas dan kebingungan akan
meningkatkan rasa kegelisahan.
(6) Menyangkal kesenangan; penolakan diri sendiri yang dirasakan klien
merupakan hukuman bagi dirinya dan diekspresikan dengan menyangkal
sesuatu yang diinginkan atau yang menyenangkan seperti kesempatan
berkarir, kekayaan materi atau hubungan yang menyenangkan.
(7) Gangguan berhubungan; ditunjukkan klien dengan perilaku kasar,
merendahkan diri, memanfaatkan (eksploitasi) orang lain dan isolasi sosial
karena merasa tidak berguna. Perilaku yang ditunjukkan adalah menjadi pasif
dan tergantung pada orang lain.
(8) Penarikan diri dari realita; merupakan bentuk mekanisme koping atau bentu
pertahanan diri yang mengindikasikan adanya kebingungan identitas.
(9) Merusak diri sendiri; diekspresikan klien dengan melakukan sesuatu yang
cenderung mencelakakan atau perbuatan yang berbahaya.
(10) Merusak yang lainnya; perasaan bersalah yang sangat besar akan membuat
klien untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan lingkungan yaitu
berupa aktivitas yang menunjukkan kehilangan rasa bencinya dan
memindahkan atau kekerasan pada korban lain.

Secara keseluruhan Stuart (2013) menggambarkan perilaku klien dengan harga


diri rendah sebagai berikut: kritik terhadap diri sendiri atau orang lain, penurunan
produktivitas, perilaku merusak, gangguan dalam berhubungan, membesar
besarkan perasaan diri yang sangat penting, merasa tidak adekuat (tidak mampu),
merasa bersalah, iritabel dan mudah marah, perasaan negatif tentang bagian tubuh,
merasa adanya ketegangan peran, pandangan hidup yang pesimis, mengeluh
adanya sakit fisik, pandangan hidup yang bertentangan, penolakan kemampuan
klien, merusak diri sendiri, pengurangan tenaga diri sendiri, menolak hubungan
sosial, penyalahgunaan zat, menolakan terhadap realitas dan rasa khawatir.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


33

Tanda dan gejala harga diri rendah menurut NANDA (2010) adalah: menjauhi
rasionalisasi atau menolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik
negatif mengenai diri (kronis), mengungkapkan diri negatif (kronis), keraguan
dalam mencoba hal atau situasi baru (kronis), kurang kontak mata, pasif atau non
asertif, kurang sukses dalam bekerja atau kejadian lain berulang, mencari
ketenangan berlebih, penyesuaian berlebih untuk tergantung pada pendapat orang
lain dan bimbang. Berdasarkan tanda dan gejala yang telah dikemukakan di atas
menunjukkan bahwa pada klien dengan harga diri rendah kronis akan ditemukan
pikiran dan perilaku negatif yang sangat merugikan diri klien itu sendiri, orang
lain dan lingkungan.

e. Respon sosial
Respon sosial klien harga diri rendah yang dapat diamati adalah berlebihan
mencari penguatan, menolak umpan balik positif diri sendiri, pengurungan diri,
sedikit atau tidak ada partisipasi, isolasi sosial, penilaian negatif terhadap orang
lain, menolak kehadiran orang lain, keterasingan terhadap orang lain.

2.1.5.7 Sumber koping


Sumber koping merupakan pilihan atau strategi yang dapat membantu dalam
menghadapi suatu masalah. Sumber koping dapat berasal dari dalam maupun dari
luar diri. Sumber koping meliputi aset ekonomi, kemampuan dan ketrampilan,
teknik pertahanan diri, dukungan sosial, dan motivasi (Stuart, 2013). Koping yang
dimiliki oleh klien dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu kemampuan internal dan
kemampuan eksternal. Kemampuan internal bersumber dari individu,
meliputikemampuan personal (personal abilities) dan keyakinan positif (positive
belief), sedangkan kemampuan eksternal bersumber dari luar individu. Termasuk
dalam kemampuan eksternal yaitu dukungan sosial (social support) dan
ketersediaan materi (material assets). Secara keseluruhan beberapa sumber
koping yang dapat digunakan klien adalah: olah raga dan kegiatan di luar
ruangan, hobi dan kerajinan, seni, kesehatan dan perawatan diri, pendidikan atau
pelatihan, posisi seseorang, bakat khusus, Imajinasi dan kreativitas, hubungan
interpersonal. Ketika sumber koping yang digunakan klien jelas, perawat harus

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


34

berbagi pengamatan dengan pasien untuk memperluas kesadaran diri pasien dan
memilih intervensi berikutnya (Stuart, 2013)

a. Kemampuan Personal (Personal Abilities)


Kemampuan personal merupakan kemampuan yang dimiliki oleh klien dalam
mengatasi harga diri rendah (Stuart, 2013). Kemampuan pada klien harga diri
rendah adalah mengidentifikasi kemampuan dan aspek yang dimiliki, kemampuan
untuk melatih kemampuan positif yang dimiliki, kemampuan mengidentifikasi
pikiran otomatis negatif, mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap
pikiran negatif, mampu mengidentifikasi manfaat penggunaan tanggapan rasional
terhadap pikiran negatif dan mampu menggunakan support system.

b. Dukungan Sosial (Social Support)


Dukungan sosial akan membuat klien merasa tidak sendiri dan berada pada
lingkungan keluarga atau masyarakat yang peduli pada dirinya. Dukungan sosial
tidak adekuat maka klien akan merasa sendiri dan terlalu berat menghadapi stresor
(Friedman, 2010). Dukungan sosial bagi klien dapat bersumber dari keluarga,
kelompok dan orang-orang di sekitar klien (masyarakat).
(1) Keluarga
Keluarga merupakan sekelompok individu yang saling berinteraksi, memberikan
dukungan dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam melakukan berbagai
fungsi dasar menurut (Shieves, 2012). Keluarga adalah sumber pendukung utama
bagi klien yang meliputi dukungan dalam merawat klien yang mengalami harga
diri rendah (Stuart, 2013). Keluarga merupakan suatu sistem, sehingga setiap sub
sistem akan berinteraksi dan saling mempengaruhi di dalam keluarga. Artinya
bahwa jika terjadi gangguan pada salah seorang anggota keluarga maka sistem
keluarga secara keseluruhan akan terganggu. Keluarga yang mempunyai anggota
keluarga dengan gangguan jiwa secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi seluruh keluarga tersebut.

Konsep kesehatan jiwa keluarga merupakan program kesehatan jiwa masyarakat


yang berfokus kepada keluarga. Artinya pemberdayaan masyarakat harus berkerja

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


35

di tingkat keluarga. Setiap anggota keluarga harus termotivasi untuk mengambil


peran dalam mempromosikan perilaku hidup sehat dan dapat mendeteksi,
mencegah dan mencari akses pelayanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan
(Friedman, 2010). Lima tugas kesehatan yang harus dimiliki keluarga meliputi:
kemampuan mengenal masalah harga diri rendah, mengambil keputusan yang
tepat untuk mengatasi masalah harga diri rendah, merawat anggota keluarga yang
mengalami masalah harga diri rendah, memodifikasi lingkungan (fisik, psikis dan
sosial) yang tepat untuk menurunkan gejala harga diri rendah yang muncul dan
mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara tepat.

(2) Kelompok
Sumber dukungan dari kelompok bisa diperoleh klien dari orang lain disekitar
tempat tinggal klien, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki masalah
yang hampir sama (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Kemampuan yang harus
dimiliki oleh kelompok meliputi pemberi dukungan (informasi, instrumental dan
afektif), sosialisasi, peningkatan informasi, pemberdayaan dan menjalin
persahabatan antar anggota kelompok.

(3) Masyarakat
Masyarakat adalah sumber pendukung klien yang diperoleh dari orang-orang yang
bertempat tinggal di sekitar klien (Stuart, 2013). Masyarakat yang dapat menjadi
sumber pendukung adalah: tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan jiwa
dan tetangga yang tinggal dalam satu wilayah dengan klien. Kader kesehatan jiwa
(KKJ) merupakan sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di
kelurahan siaga sehat jiwa (Keliat, Panjaitan & Riasmini, 2007). Kemampuan
menciptakan lingkungan psikologis tercermin dari pemberian dukungan
emosional, informasional dan instrumental bagi klien agar mampu mengatasi
masalah harga diri rendah klien.

c. Ketersediaan materi (Material Asset)


Material asset dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu finansial dan ketersediaan
pelayanan kesehatan. Dukungan finansial merupakan ketersediaan dana yang

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


36

dimiliki oleh klien untuk membantu dalam perawatan dan kehidupan sehari-hari.
Ketersediaan finansial akan membantu klien dalam menjangkau pusat layanan
kesehatan. Finansial meliputi sumber penghasilan, aset/investasi (tanah, rumah,
dll) dan tabungan, apabila finansial mencukupi, maka klien relatif mudah
menjangkau pusat pelayanan kesehatan, tetapi kenyataan di realita menunjukkan
bahwa beberapa klien kesulitan dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan
primer. Status ekonomi yang adekuat merupakan sumber koping dalam
menghadapi situasi yang penuh dengan stres (Townsend, 2009). Salah satu
kendala yang menghambat akses klien menuju pusat pelayanan kesehatan primer
yaitu keterbatasan finansial.

d. Keyakinan positif (Positive Belief)


Keyakinan positif klien dalam hal ini adalah keyakinan terhadap tenaga kesehatan,
keyakinan tentang kemampuan mengatasi masalah, keyakinan bahwa perilaku
dapat diubah dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Keyakinan harus
dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan
afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik
(Stuart, 2013). Keyakinan positif pada klien dengan harga diri rendah yang harus
dikuatkan adalah kemampuan untuk dapat menggunakan kemampuan dan aspek
positif yang dimiliki serta keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Adanya
keyakinan yang positif akan meningkatkan motivasi klien untuk menggunakan
koping konstruktif, sebaliknya jika keyakinan klien negatif maka akan
menggunakan koping destruktif.

2.2 Process
Penatalaksanaan tindakan keperawatan untuk menyelesaikan diagnosa
keperawatan dilakukan dengan pemberian terapi keperawatan dan terapi medis
dalam penanganan klien dengan harga diri rendah.

2.2.1 Diagnosis Medis Pada Klien Harga Diri Rendah


Penetapan diagnosis dan terapi medis dilakukan oleh dokter umum atau dokter
jiwa (psikiater). Dalam penetapan diagnosis medis pada klien harga diri rendah

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


37

kronis menggunakan Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa III


dengan Diagnosis multi aksial (Maslim, 2003), sebagai berikut :
AKSIS I : F 20 Skizofrenia, F 32 Episode Depresif
AKSIS II : F 60 Gangguan Kepribadian Khas
AKSIS III : Ada atau Tidak adanya gangguan atau penyakit fisik
AKSIS IV :Masalah keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, ekonomi, berkaitan interaksi dengan hukum/kriminal serta masalah
psikososial dan lingkungan lain.
AKSIS V : GAF saat ini dan satu tahun terakhir

Berdasarkan pendekatan multiaksial maka pada klien dengan harga diri rendah
dapat ditetapkan diagnosa medis Skizofrenia (F 20) atau Depresi Berat dengan
Gejala Psikotik (F 32.3) atau Gangguan Kepribadian Skizoid (F 60.1). Harga
diri rendah kronis dapat ditegakkan pada klien dengan diagnosis medis skizofrenia
dan depresi (Stuart, 2013). Harga diri merupakan tingkat penghargaan klien
terhadap diri sendiri dan penilaian ini berdasarkan pada kemampuan yang dimiliki
klien tersebut (Townsend, 2009).

Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri dan sering disertai dengan kurangnya perawatan diri, berpakaian
tidak rapi, selera makan menurun, tidak berani menatap lawan bicara, lebih
banyak menunduk, berbicara lambat dan nada suara lemah (Keliat, 2010). Harga
diri rendah kronik merupakan masalah keperawatan dan tidak digolongkan secara
khusus pada diagnosis medis seperti skizofrenia atau yang lainnya, tetapi harga
diri rendah merupakan bagian dari gejala suatu diagnosis gangguan jiwa lain.
Berdasarkan penggolongan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ III), harga diri
rendah dapat dikelompokkan pada gejala negatif skizofrenia.

Diagnosis skizofrenia ditegakkan dengan karakteristik kognitif dan persepsi serta


afek yang tidak wajar (Maslim, 2003). Skizofrenia adalah sekumpulan sindroma
klinik yang ditandai dengan perubahan kognitif, emosi, persepsi dan aspek lain

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


38

dari perilaku (Kaplan & Sadock, 2010). Skizofrenia merupakan kombinasi dari
gangguan pikir, gangguan persepsi, perilaku abnormal, gangguan afektif dan
ketidakmampuan dalam bersosialisasi (Fontain, 2009). Skizofrenia terjadi karena
kerusakan otak yang menyebabkan gangguan dalam berpikir, bahasa, emosi,
perilaku sosial dan kemampuan dalam mempersepsikan realita secara akurat
(Varcarolis & Halter, 2010). Skizofrenia merupakan salah satu dari gangguan
psikotik, yang dikarakteristikan dengan symptom positif dan negatif serta
dihubungkan dengan kemunduran penderita dalam menjalankan fungsinya sehari-
hari (Sinaga, 2006). Harga diri rendah merupakan gejala negatif yang muncul
pada klien skizofrenia,sebagai akibat dari kerusakan fungsi kognitif, afektif dan
perilaku yang menyebabkan terganggunya fungsi hidup secara keseluruhan
sehingga klien mengalami kesulitan dalam berpikir jernih, mengenali realita,
menentukan perasaan, mengambil keputusan dan berhubungan dengan orang lain.

2.2.2 Terapi Medis Pada Klien Harga Diri Rendah


Pemberian terapi psikofarmaka pada klien gangguan jiwa menggunakan obat yang
digolongkan dalam psikotropik, yaitu obat anti psikotik, anti depresan, penstabil
mood, anti ansietas dan stimulan (Viedebeck, 2011). Syarat psikofarmaka yang
ideal adalah: dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu relatif singkat,
tidak ada efek samping, jika adapun relatif kecil, dalam waktu relatif singkat dapat
menghilangkan gejala positif maupun gejala negatif, lebih cepat memulihkan
fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat), tidak menyebabkan rasa mengantuk
tetapi memperbaiki pola tidur, tidak menyebabkan adiksi dan dependensi, tidak
menyebabkan lemas otot dan jika mungkin pemakaiannya dalam dosis tunggal
(Hawari, 2001). Psikofarmaka ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter
pada sistem saraf, sehingga lebih dapat menghilangkan gejala negatif pada
skizofrenia dibandingkan gejala positifnya atau sebaliknya, terbagi menjadi dua
golongan yaitu golongan obat tipikal dan atipikal (Hawari, 2001).

Jenis anti psikotik golongan tipikal (golongan generasi pertama) adalah


Chlorpromazine, Fenotiazine, Perpenazine, Fluopenazin, Thioridazine,
Mesoridazine, Trifluoperazine, Tioksanten, Tiotiksen, Butirofenon, Halloperidol,

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


39

Benzodiazepin, Loksapin, Dihidroindolon dan Molindon (Stuart, 2013; Hawari,


2001; Viedebeck, 2011). Obat golongan tipikal mempunyai farmako kinetik
utama mengatasi gejala-gejala positif skizofrenia. Jenis anti psikotik golongan
atipikal (golongan generasi kedua) adalah Risperidone, Clozapine, Quetiapine,
Olanzapine, Ziprasidone dan Aripiprazole (Stuart, 2013; Hawari, 2001;
Viedebeck, 2011).

Golongan obat atipikal mempunyai kelebihan antara lain gejala positif maupun
negatif dapat dihilangkan, efek samping extra pyramidal syndrome (EPS) sangat
minimal atau boleh dikatakan tidak ada, serta memulihkan fungsi kognitif.
Keuntungan penggunaan obat atipikal adalah menyebabkan gejala EPS yang jauh
lebih rendah, mengurangi gejala negatif dari skizofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti pada pemberian golongan tipikal, menurunkan gejala afektif
dari skizofrenia dan menurunkan gejala kognitif pada skizofrenia (Sinaga, 2007).
Pemberian obat golongan atipikal lebih efektif untuk membantu pemulihan fungsi
kognitif klien sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam
mengatasi masalah harga diri rendah.

2.2.3 Diagnosis Keperawatan Pada Klien Harga Diri Rendah


Diagnosis keperawatan adalah suatu pernyataan tentang status atau
masalahkesehatan klien baik aktual maupun potensial. Dengan demikian
diagnosis keperawatan merupakan kesimpulan perawat tentang masalah klien
berdasarkan respon klien (tanda dan gejala klinis) baik bersifat aktual maupun
potensial atau risiko (NANDA, 2010). Diagnosis keperawatan merupakan
identifikasi atau penilaian terhadap pola respon klien baik aktual maupun
potensial (Stuart, 2013). Pada klien yang mempunyai tanda dan gejala perasaan
bersalah, tidak berguna, pasif, pandangan suram terhadap masa depan, pesimis
dan kontak mata terbatas selama interaksi, maka pada klien ini dapat ditegakkan
diagnosis keperawatan harga diri rendah. Apabila fenomena ini berlangsung lebih
dari 6 (enam) bulan maka diagnosis tersebut menjadi harga diri rendah kronis.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


40

2.2.4 Tindakan Keperawatan Pada Klien Harga Diri Rendah


Fokus perawatan adalah untuk membantu klien memahami dirinya secara utuh
dan tepat sehingga dia dapat secara langsung memperoleh arah hidup yang lebih
memuaskan (Stuart, 2013). Tindakan keperawatan diperlukan untuk
menyelesaikan diagnosis keperawatan tertentu sesuai dengan tujuan yang
ditetapkan. Tindakan keperawatan tidak hanya ditujukan kepada individu klien,
tetapi juga diberikan pada keluarga, kelompok dan masyarakat.

2.2.4.1 Tindakan Keperawatan Generalis Pada Klien Harga Diri Rendah


Tindakan keperawatan generalis merupakan terapi keperawatan yang dapat
dilakukan oleh perawat pada semua jenjang pendidikan seperti perawat dengan
pendidikan DIII keperawatan, Ners serta Spesialis. Tindakan keperawatan
generalis pada masalah harga diri rendah dibagi berdasarkan sasaran tindakan
yaitu klien, keluarga dan kelompok. Berikut ini penjelasan tentang perencanaan
tindakan keperawatan generalis:
a. Tindakan Keperawatan Individu
Tindakan keperawatan pada klien harga diri rendah adalah yang pertama membina
hubungan saling percaya, kedua mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki, ketiga menilai kemampuan yang dapat digunakan ,keempat adalah
memilih kegiatan sesuai dengan kemampuan dan kelima adalah melatih kegiatan
yang dipilih sesuai dengan kemampuan (Keliat. BA dkk, 2010).
b. Tindakan Keperawatan Keluarga
Tindakan keperawatan keluarga pada klien harga diri rendah bertujuan agar
keluarga mampu merawat klien dengan harga diri rendah. Tindakan keperawatan
yang diberikan adalah mendiskusikan bersama-sama keluarga mengenai masalah
yang dihadapi keluarga dalam merawat klien dengan harga diri rendah,
selanjutnya mendiskusikan bersama-sama keluarga faktor-faktor yang
menyebabkan harga diri rendah dan mendemonstrasikan cara merawat klien
dengan harga diri rendah. Keluarga diajarkan juga untuk memfasilitasi
pelaksanaan kemampuan yang masih dimiliki klien, memotivasi klien untuk
melakukan kegiatan yang sudah dilatih dan memberikan pujian atas keberhasilan
klien dan menilai perkembangan perubahan kemampuan klien. Dalam rangka

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


41

perencanaan pulang pada klien, keluarga diharapkan dapat merawat klien dengan
harga diri rendah di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif bagi klien.

Tindakan keperawatan pada keluarga bertujuan untuk menurunkan angka


kekambuhan dan meningkatkan kemampuan berfungsi sosial klien, sehingga
keluarga mampu merawat anggotanya yang sakit, memberikan dukungan kepada
klien, serta menjaga stabilitas hubungan antar anggota keluarga (Ibrahim, 2011).

c. Tindakan Keperawatan Kelompok


Tindakan keperawatan generalis untuk kelompok klien dengan harga diri rendah
adalah terapi aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi untuk harga diri
rendah. Terapi aktivitas kelompok ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi hal
positif yang ada pada diri klien serta melatih hal positif yang dapat digunakan
klien (Keliat, dkk 2010). Terapi kelompok pada klien harga diri rendah ini sangat
menunjang proses penyembuhan klien.

2.2.4.2 Tindakan Keperawatan Spesialis Pada Klien Harga Diri Rendah


Tindakan keperawatan spesialis jiwa diberikan pada klien untuk mengoptimalkan
tujuan perawatan. Terapi spesialis keperawatan jiwa ini dapat diberikan oleh
perawat dengan jenjang pendidikan minimal spesialis keperawatan jiwa (S2
keperawatan jiwa). Terapi spesialis keperawatan jiwa pada klien dengan harga diri
rendah kronis diberikan dalam bentuk terapi spesialis individu, terapi spesialis
keluarga, terapi spesialis kelompok dan terapi spesialis masyarakat.

a. Terapi Kognitif (Cognitive Therapy)


(1) Pengertian
Terapi kognitif adalah salah satu psikoterapi berdasarkan proses patologi mental,
fokus dari terapi ini adalah mengatasi dan memodifikasi distorsi kognitif dan
perilaku yang maladaptif (Townsend, 2009). Terapi kognitif berfokus pada
pemrosesan pikiran dengan segera, yakni bagaimana individu mempersepsikan
atau menginterpretasi pengalamannya dan menentukan cara ia merasa dan
berperilaku (Viedebeck, 2008). Melalui terapi kognitif maka individu diajarkan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


42

atau dilatih untuk mengontrol distorsi pikiran atau gagasan atau ide dengan benar
benar mempertimbangkan faktor dalam berkembangnya dan menetapnya
gangguan mood (Townsend, 2009). Pemberian terapi kognitif ini dapat
membantu individu untuk mengubah pernyataan dirinya yang mempengaruhi
perasaannya ke arah pikiran yang lebih positif.
(2) Tujuan
Tujuan terapi kognitif adalah untuk mengubah respon maladaptif dari distorsi
kognitif yang terjadi (Stuart, 2009). Distorsi kognitif meliputi logika yang salah,
membuat alasan yang salah, atau ketika seseorang tidak mampu melihat apa yang
terjadi sesuai dengan realita yang terjadi. Aspek kognitif berfokus pada pola
pikiran yang menyimpang/distorsi yang menyebabkan perasaan tidak
menyenangkan atau gejala-gejala dari gangguan jiwa (Fontaine, 2009).

Terapi kognitif berfokus pada bagaimana cara mengidentifikasi dan memperbaiki


persepsi-persepsi klien yang bias yang terdapat dalam pikirannya (Frisch &
Frisch, 2006). Tujuan terapi kognitif menurut Beck (1987, dalam Townsend,
2009) adalah memonitor pikiran otomatis negatif, menghubungkan antara pikiran,
perasaan dan perilaku. Melawan pikiran otomatis negatif dan mengidentifikasi
latar belakang disfungsi kepercayaan dan pengalaman masa lalu. Berdasarkan
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan terapi kognitif adalah untuk
merubah pikiran negatif terhadap diri menjadi pikiran yang positif. Sejalan
dengan itu maka klien akan merasa bahwa dia masih memiliki sesuatu yang patut
dihargai terhadap dirinya serta mampu mengurangi rasa putus asa.

Penelitian sebelumnya tentang penggunaan terapi kognitif terhadap klien


skizofrenia terdapat dalam tulisan Kingdon & Turkington (2008) dalam bukunya
Cognitive Therapy of Schizophrenia yang memaparkan hasil-hasil penelitian,
diantara penelitian tersebut dilakukan oleh: Beck (1952); Meinchenbaum &
Cameron (1973); Kingdon & Turkington (1991,1994); Fowler et al (1995); Kem
et al (1996); Drury et al (1996); Birchwood & Igbal (1998); Durham et al (2002);
Lewis at al (2002; Mc Gorry et al (2002); Turkington & Kingdon (2002).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


43

(3) Indikasi
Terapi kognitif diterapkan untuk masalah depresi dan masalah psikiatrik lainnya
seperti panik, masalah pengontrolan marah dan penggunaan obat, harga diri
rendah, risiko bunuh diri, dan ketidakberdayaan. Selain itu juga efektif pada
gangguan makan (bulimia dan anoreksia nervosa), gangguan kepribadian (Stuart,
2009). Berdasarkan pandangan teori di atas, terapi kognitif sangat tepat untuk
klien dengan harga diri rendah kronis.
(4) Prinsip Pelaksanaan
Pelaksanaan terapi kognitif mencakup empat proses yaitu: mencetuskan pikiran
otomatis, menguji pikiran otomatis, mengidentifikasi dugaan maladaptif yang
mendasari, dan menguji validitas dugaan maladaptif (Kaplan & Saddock, 2010).
Mencetuskan pikiran otomatis sering juga disebut distorsi kognitif, yaitu kognisi
yang timbul antara peristiwa eksternal dan reaksi emosional seseorang terhadap
suatu peristiwa. Menguji pikiran otomatis yaitu mengkaji ulang keseluruhan
situasi dan membantu menempatkan kembali penyebab peristiwa yang tidak
menyenangkan, sehingga dapat dicari alternatif untuk meruntuhkan pikiran
otomatis yang tidak akurat. Mengidentifikasi dugaan maladaptif dilakukan selama
interaksi untuk mengidentifikasi pikiran otomatis, sehingga ditemukan dugaan
maladaptif yang memandu kehidupan klien. Menguji validitas dugaan maladaptif
dilakukan dengan meminta klien untuk mempertahankan validitas dugaan mereka
yang dalam hal ini adalah melatih potensinya.

b. Terapi Psikoedukasi Keluarga


(1) Pengertian
Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang bersifat edukasi dan
pragmatik (Stuart, 2009). Psikoedukasi merupakan suatu alat terapi keluarga yang
makin populer sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor risiko yang
berhubungan dengan perkembangan gejala-gejala perilaku (Carson, 2000).
Terapikeluarga adalah intervensi yang berfokus untuk mengubah interaksi

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


44

diantara anggota keluarga dan berupaya untuk memperbaiki fungsi keluarga


sebagai suatu unit yang terdiri dari klien-klien (Kaplan & Saddock, 2010).
Pendapat lain menyampaikan bahwa terapi keluarga adalah bentuk terapi
kelompok dimana klien dan anggota keluarganya berpartisipasi (Viedebeck,
2008).

(2) Tujuan
Tujuan psikoedukasi keluarga adalah untuk berbagi informasi tentang perawatan
klien dengan gangguan jiwa pada anggotanya (Varcarolis & Halter 2010).
Psikoedukasi keluarga untuk mengurangi kekambuhan klien gangguan jiwa,
meningkatkan fungsi klien dan keluarga sehingga mempermudah klien kembali ke
lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap
fungsi sosial dan okupasi klien gangguan jiwa (Levine, 2002 dalam Stuart, 2009).
Psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang
penyakit dan pengobatan, meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya
menurunkan angka kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga
untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota
keluarga dan orang lain.

Penelitian yang terkait dengan psikoedukasi keluarga dilakukan oleh


(Wardhaningsih, Keliat, Helena, 2007) terhadap 28 responden dan menunjukkan
hasil bahwa adanya pengaruh Family Psychoeducation Therapy secara bermakna
dalam menurunkan beban keluarga sebesar 6,82 dan meningkatkan kemampuan
keluarga dalam merawat klien halusinas sebesar 25,36 Penelitian lainnya
dilakukan oleh Sari, dkk (2009) terhadap 20 responden, dengan hasil bahwa
terdapat peningkatan kemampuan keluarga secara bermakna setelah mendapat
Family Psychoeducation Therapy.

(3) Indikasi
Indikasi dari terapi psikoedukasi keluarga adalah anggota keluarga dengan aspek
psikososial dan gangguan jiwa. Beberapa penelitian psikoedukasi keluarga cukup
efektif diterapkan pada keluarga dengan klien gangguan bipolar, kekambuhan,

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


45

depresi, rawat inap berulang Miklowitz (dalam Stuart & Laraia, 2005). Indikasi
lain dapat juga dilakukan pada skizofrenia, gangguan jiwa umum lain, serta
keluarga dengan penolakan dan beban yang tinggi Clarkin (dalam Stuart & Laraia,
2005). Indikasi psikoedukasi menurut Carson (2000, dalam Sari, Keliat dan
Budiharto, 2009) adalah: informasi dan latihan tentang area khusus kehidupan
keluarga, seperti latihan keterampilan komunikasi atau latihan menjadi orang tua
yang efektif; Informasi dan dukungan terhadap kelompok keluarga khusus stres
dan krisis, seperti pada kelompok pendukung keluarga dengan penyakit
Alzheimer; pencegahan dan peningkatan seperti konseling pranikah untuk
keluarga sebelum terjadinya krisis. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
indikasi dari psikoedukasi keluarga bisa diberikan kepada keluarga yang
membutuhkan pembelajaran tentang mental, keluarga yang mempunyai anggota
yang sakit mental atau mengalami masalah kesehatan dan keluarga yang ingin
mempertahankan kesehatan mentalnya dengan training maupun latihan
ketrampilan.

(4) Prinsip Pelaksanaan


Prinsip psikoedukasi keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan lima
tugas pokok kesehatan, yaitu: mengenal masalah kesehatan yang timbul, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga yang
sakit, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat dan menggunakan sumber
yang ada di masyarakat. Hasil penelitian tentang efektivitas psikoedukasi
dilakukan oleh Chien dan Wong (2007) pada 84 keluarga dengan skizofrenia di
hongkong. Terapi untuk keluarga dapat mengurangi angka kekambuhan tahunan
dari 25% -50% pada klien yang tidak menjalani terapi keluarga, menjadi 5%-10%
pada klien yang menjalani terapi tersebut (Kaplan & Saddock, 2010).

c. Cognitive Behaviour Therapy CBT)


(1) Pengertian
Cognitive behaviour therapy adalah terapi yang membantu individu merubah cara
berfikir dan perilakurnya sehingga perubahan itu membuat individu merasa lebih
baik, dan terapi ini berfokus pada masalah here and now serta kesulitan yang

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


46

dihadapi. (British Association for Behavioural and Cognitive Psychotherapies,


2006).

(2) Tujuan
Stuart (2009) mengatakan tujuan cognitive behaviour therapy adalah untuk
mengubah keyakinan yang tidak rasional, kesalahan penalaran dan pernyataan
negatif tentang keberadaan individu. Sedangkan menurut Tujuan utama dalam
tehnik CBT adalah (1) membangkitkan pikiranpikiran negative / berbahaya,
dengan bicara pada sendiri (self talk) dan interprestasi terhadap kejadian-kejadian
yang dialami. Distorsi kognisi menyebabkan perilaku maladaptive yang
menambah berat masalahnya, (2) terapis bersama pasien mengumpulkan bukti
yang mendukung atau menyanggah interprestasi yang telah diambil. Cognitive
behaviour therapy diarahkan untuk membantu klien mengenali dan mengubah
distorsi kognitif. Klien dilatih mengenali pikirannya dan mendorong untuk
menggunakan ketrampilan, menginterprestasikan secara lebih rasional terhadap
kognitif yang maladaptive, (3) menyusun desain eksperimen (pekerjaan rumah)
untuk menguji validitas interprestasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi
di dalam proses terapi.

(3) Indikasi
Indikasi cognitive behaviour therapy menurut Froggrat (2006) adalah pada pasien
depresi, ansietas termasuk obsesive compulsive, agooraphobia, phobia spesifik,
ansietas menyeluruh dan posttrauma, stress, gangguan makan, adikksi,
hypochondriasis, disfungsi sexual, manajemen marah, gangguan pengkontrolan
impuls, perilakur antisosial, kecemburuan, pemulihan sexual abuse, gangguan
kepribadian, masalah kesehatan mental kronis, disability psikis, skizofrenia,
manajemen nyeri, manajemen stress, gangguan perilakur pada anak dan remaja
dan masalah hubungan dalam keluarga.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


47

2.2.5 Teori of Human Caring oleh Jean Watson

2.2.5.1 Sumber-sumber teori


Teori Watson berasal dari pengetahuan keperawatan dan karya-karya dari
Nightingale, Henderson, Krueter, dan Hall. Watson juga mengakui karya
Leininger dan Gadow sebagai yang mendasari karyanya. Hasil karyanya baru-
baru ini, Watson merujuk pada teori lainnya seperti Maslow, Heidegger, Ericson,
Selye dan Lazarus, dengan pengembangan kerangka kerja yang melukiskan secara
rinci tentang ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, menjelaskan kejadian-kejadian,
eksistensi dan orientasi spiritual.

Teor Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2014)mungkin merupakan filosofi
yang paling lengkap dari teori-teori keperawatan saat ini. Hanya Watson seorang
pembuat teori keperawatan yang secara eksplisit mendukung konsep kejiwaan dan
menekannkan pada dimensi spiritual dari keberadaan manusia. Watson
menyatakan bahwa filosofinya berorientasi pada eksistensi-fenomenologi,
spiritual, dan bagian dari filosofi ketimuran. Watson juga menggambarkan secara
substansial tentang humanistik, eksistensial dan psikologi transpersonal. Beberapa
filosofer yang diketahui sebagai sumber Watson diantaranya: Hegel, Marcel,
Whitehead, Kierkegaard, dan Teihard de Chardin.

Terapis membantu pasien dengan cara mengklarifikasi dan mengungkapkan


perasaan-perasaan yang belum jelas bagi pasien. Untuk menyelesaikan tujuan ini
terapis harus mengerti maksud, perasaan dan sikap pasien. Perhatian yang hangat
dari terapis memudahkan dalam memperoleh pengertian dari pasien. Konsep lain
dari teori Rogers yang diadopsi oleh Watson adalah hubungan terapis-pasien
telah penting dalam mencapai tujuan suatu asuhan keperawatan daripada metode-
metode tradisional.

2.2.5.2. Penggunaan fakta-fakta Empiris


Melalui pengumpulan data yang digunakan dalam mengklasifikasi perilaku caring
untuk menggambarkan persamaan dan perbedaan antara apa yang menjadi
pertimbangan perawat dan apa pula yang menjadi pertimbangan pasien dalam

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


48

keperawatan, dan untuk menghasilkan hipotesa yang dapat diujicoba dalam


lingkup konsep asuhan keperawatan Watson dan Koleganya berupaya mengkaji
konsep caring. Mereka mempelajari respon dari registered nurse, siswa perawat,
dan pasien melalui pertanyaan terbuka meliputi beberapa aspek Watson (1979
dalam Tomey & Alligood, 2014): “ taking care of and (2) caring about” pasien-
pasien. Penemuan-penemuan mereka mengungkapkan ketidaksesuaian dari segi
pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai terpenting bagi pasien, siswa perawat dan
registered nurse. Mereka menekankan pada kebutuhanuntuk penelitian lebih
lanjut guna mengklarifikasi perilaku dan nilai apa yang penting dari masing-
masing sudut pandang.

Penelitian Watson memasukkan caring secara empirik namun menekankan


metodeloginya harus dimulai dari fenomena perawat yang lebih daripada ilmu
pengetahuan dasar. Watson menggunakan ilmu kemanusiaan, fenomenologi
empirik dan fenomenologi transcenden dalam pekerjaan akhirnya.

2.2.5.3. Konsep utama dan Definisi.


Berdasarkan teorinya tentang praktek keperawatan pada 10 carative factor. Saling
mempunyai komponen pendekatan yang dinamis sehubungan dengan keterlibatan
individu dalam hubungannya dengan keperawatan. (Watson, 1979 dalam Tomey
dan Alligood, 2014). Tiga utama faktor saling ketergantungan disebut sebagai
“fondasi filosofi pada ilmu keperawatan”.

2.2.6 Aplikasi Theory of Human Caring oleh Watson dalam


penatalaksanaan keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan dalam mengatasi masalah HDR dengan CT, CBT


dan Psikoedukasi keluarga dilakukan dengan pendekatan teori “caring” Watson.
The Teory of Human Caring telah dikembangkan oleh Watson antara tahun 1975
dan 1979 pada saat mengajar di Universitas Colorado. Teori ini dikembangkan
dari pandangannya akan keperawatan dikombinasikan dengan informasi selama
menempuh pendidikan doktor, praktik klinik dan sosial psikologi. Ide ini muncul
dari adanya keinginan untuk menunjukkan pentingnya profesi keperawatan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


49

sebagai profesi kesehatan yang memiliki keunikan, ilmu pengetahuan, dan praktik
yang memiliki etika dan misi sosial.

Teori ini dikembangkan untuk menunjukkan bahwa ilmu dan praktik keperawatan
dengan pendekatan “caring” kepada sesama manusia dapat membantu proses
penyembuhan dari dalam, sehingga dikembangkan konsep caritas yang berasal
dari bahasa yunani yang berarti “untuk menghargai”, “untuk memberikan
perhatian”. Kata ini memiliki konotasi yang baik selayaknya carative yang
bermakna cinta atau kasih sayang sehingga memiliki konotasi makna mengobati
diri sendiri dan orang lain Watson (1985 dalam Tomey & Alligood, 2014)

Kosep utama dalam teori ini adalah 10 carative faktor, transpersonal caring
relationship, caring moment or caring occasion dan caring-healing modalities.
Faktor “Carative” dapat menjadi dasar atau inti tindakan keperawatan. Carative
faktor memiliki makna yang luas dan mendalam hal ini menunjukkan bahwa
profesi keperawatan merupakan profesi yang mampu bertahan dalam waktu,
prosedur, fungsi dan spesialisasi terkait penyakit, terapi dan teknologi. 10 faktor
carative meliputi hal berikut :
2.2.6.1 Terbentuknya sistem nilai kemanusiaan dan bersifat altruistik
Faktor ini dapat dapat digambarkan sebagai kepuasan melalui cara memberi dan
meluaskan perasaan dirinya. Menurut Stuart (2013) berpendapat bahwa
merupakan hal yang sangat penting bagi perawat dalam memenuhi kebutuhan
pasien. Perawat menghargai otonomi dan kebebasan dari pasiennya terhadap
pilihan-pilihan program pengobatan dan menentukan terapi-terapi yang
diprogramkan. Menurut Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014) bahwa
nilai-nilai humanistik dan altruistik telah lebih awal dipelajari dalam hidup tetapi
nilai-nilai tersebut dapat dipengaruhi oleh perawat sebagai pendidik, faktor ini
dapat diartikan sebagai kepuasan melalui pemberian asuhan dan memahami
kepentingan orang lain.

Asuhan keperawatan mengikuti etika standar dalam aplikasi dan praktik


keperawatan. Setiap tindakan keperawatan bertujuan untuk memberikan manfaat

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


50

sebesar-besarnya kepada pasien, keluarga dan masyarakat. Prinsip etika


beneficence dapat diartikan sebagai sebuah komitmen untuk meningkatkan status
kesehatan pasien (BACP, 2010).
Perawat memiliki kemampuan untuk mengembangkan hubungan berbasis kasih
sayang, bersifat menyembuhkan dan menyeluruh dan tidak hanya berpusat pada
sakit, penyakit dan patologi. Nilai-nilai kemanusiaan dicapai melalui hubungan
transpersonal yang mengedepankan kebutuhan saling menghargai, menghormati
antar sesama.

HDR merupakan gangguan yang terjadi karena adanya perubahan pola pikir
sehingga mempengaruhi perilaku dan perasaan. Hal ini mengindikasikan bahwa
terapi kognitif dan terapi kognitif perilaku merupakan kombinasi yang tepat untuk
mengatasinya. Terapi yang paling banyak dikembangkan untuk mengatasi
perubahan kognitif dan perilaku adalah Cognitif therapy, Cognitive Behaviour
Therapy.

2.2.6.2 Menanamkan harapan dan keyakinan

Perwujudan caring dalam aplikasi asuhan keperawatan dapat juga dicapai dengan
tindakan yang memberikan harapan dan keyakinan pada pasien. Faktor ini
menggabungkan humanistik dan nilai-nilai altruistik, memfasilitasi keperawatan
holistik dan kesehatan bagi pasien. Watson juga menjelaskan peran perawat dalam
mengembangkan keterkaitan perawat pasien yang efektif dan meningkatkan
kesehatan dengan cara perilaku caring Watson (1979 dalam Tomey & Alligood
2014). Setiap pasien mendambakan menjadi individu sehat selayaknya orang lain.
Salah satu tujuan perawatan pasien baik di rumah sakit ataupun di rumah
bertujuan untuk meningkatkan status kesehatannya.

2.2.6.3 Membentuk sensitivitas satu dengan yang lainnya

Pengakuan perasaan menyebabkan aktualisasi diri melalui penerimaan diri bagi


perawat dan pasien. Sebagai perawat mereka sensitif dan menjadi lebih peka
terhadap orang lain, Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014). Hubungan
interpersonal adaptif tidak dapat dicapai hanya berdasarkan rasa percaya antara

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


51

perawat dan terapis tetapi juga berdasarkan perilaku perawat yang terapeutik
selama terapi berlangsung. Kualitas moral terapis juga memegang peranan penting
untuk mencapai efek terapi yang baik, salah satunya adalah sikap empati. Empati
dapat diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi dengan memahami orang lain
berdasarkan perspektifnya. Kemampuan berempati mutlak harus dimiliki oleh
perawat yang dalam asuhannya selalu berhadapan dengan orang lain.

Perilaku caring yang dapat ditampilkan oleh perawat adalah bersikap empati dan
mampu menempatkan diri pada posisi pasien, ikut merasakan masalah yang
dihadapi oleh pasien Jourard (1971, dalam Stuart, 2013.) Penatalaksanaan Asuhan
keperawatan untuk mengatasi masalah pasien, diawali dengan membangun rasa
percaya satu sama lain.Hal ini bertujuan agar terapi perawat dapat memahami
kondisi pasien sepenuhnya secara mendalam. Sensitivitas dapat dibentuk dengan
adanya peningkatan kesadaran diri individu. Individu dengan kesadaran diri baik
mampu mengenal dirinya dengan baik sehingga memiliki kepekaan terhadap
orang lain.

Perilaku caring perawat selalu memberikan harapan yang realistis terhadap


prognosis yang baik maupun yang buruk. Perawat dapat mendorong dan
memotivasi pasien dalam bekerjasama untuk mengikuti program perawatan dan
pengobatannya. Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014).

2.2.6.4 Membangun hubungan kemanusiaan yang saling percaya dan saling


membantu

Perkembangan hubungan perawat pasien sangat penting bagi interpersonal caring


Suatu hubungan saling percaya meningkatkan penerimaan dari ekspresi perasaan
positif dan negatif, ini melibatkan kesesuaian, empati, tidak menguasai yang lain
(Nonpossessive Warmth) dan komunikasi yang efektif, kejujuran, ketulusan dan
otentik. Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan dengan demikian
memahami persepsi dan perasaan orang lain dan mengkomunikasikan
pemahamannya. (Nonpossessive Warmth) ditunjukkan oleh volume bicara yang

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


52

sedang, sikap santai dan terbuka, ekspresi wajah yang sesuai dengan komunikasi.
Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014).

Lebih lanjut Stuar (2013) menekankan bahwa perawat yang berperilaku caring
mampu menunjukkan sifat hangat, bersahabat, mau meluangkan waktu untuk
mendiskusikannya dan mampu menjelaskan setiap tindakan keperawatan yang
akan dilakukannya. Perawat dapat berperan besar dengan memahami kondisi-
kondisi pasien yang kurang mendapatkan informasi terkait program-program
pengobatan yang dijalankannya.

Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien HDR terjadi krisis
kepercayaan terhadap orang lain bahkan pada keluarga. Tanpa adanya hubungan
saling percaya perawat dan pasien tidak mungkin terapi dilaksanakan.
Pengalaman akan kejadian traumatik mempengaruhi kemampuan pasien untuk
mengembangkan rasa percaya, terutama bagi korban yang mendapatkan
perilaku kekerasan dari orang lain. Demikian juga dengan pasien HDR sebagian
besar pasien mengalami gangguan kepercayaan pada orang lain. Pasien HDR
mengalami gangguan kognitif sehingga cenderung berfikir negatif pernyataan ini
sesuai dengan yang ditulis Stuart (2013) yang mengatakan harga diri rendah
adalah penilaian negatif terhadap diri dan dihubungkan dengan perasaan lemah,
tidak berdaya, putus asa, ketakutan, rentan, rapuh, tidak berharga.

Pernyataan-pernyataan diatas mendukung keberadaan Theory of Human Caring


Watson yang menyatakan bahwa untuk mencapai mewujudkan aplikasi “caring”
perlu adanya hubungan saling percaya dan saling membantu Watson (1985, dalam
Tomey & Alligood, 2014). Hubungan transpersonal yang saling percaya dapat
membantu perawat untuk melihat lebih jelas siapa dan bagaimana masalah pasien
bisa terjadi. Hal inilah yang menjadi dasar hubungan penuh kasih sayang dalam
konteks “caring”

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


53

2.2.6.5 Meningkatkan kemampuan penerimaan umpan balik positif dan


negatif
Setiap tindakan keperawatan akan berdampak kepada pasien, apakah berdampak
baik ataupun buruk. Umpan balik atas terapi sepenuhnya dapat digunakan untuk
menilai kemungkinan akan kegagalan atau keberlanjutan terapi dan menjadi
kolaborasi antara pasien dan perawat untuk bersama-sama menyusun tujuan
positif (Narcsross, 2010). Untuk dapat meningkatkan kemampuan penerimaan
umpan balik positif dan negatif seorang perawat harus mempunyai kesadaran diri.
Menurut (La Torre, 2005; Vandemark, 2006; Scheick, 2011 dalam Stuart, 2013)
mengatakan kesadaran diri adalah bagian penting dari pengalaman keperawatan
jiwa dan tujuan perawat adalah untuk mencapai keterbukaan, otentik, komunikasi
personal perawat harus mampu mengetahui perasaan pribadi, tindakan dan respon
pemahaman yang baik dari penerimaan diri memungkinkan perawat untuk
mengakui perbedaan dan keunikan pasien.

Aplikasi terapi CT, CBT dan Psikoedukasi keluarga terhadap pasien HDR akan
berdampak berbeda untuk setiap pasien. hasil akhir bergantung pada kemampuan
pasien. tidak hanya pada saat pengkajian, selama proses terapi berlangsung,
perawat juga memiliki peran untuk menjadi pendengar yang baik bagi setiap
masalah yang dialami oleh pasien. Watson menakankan bahwa perawat harus
dapat melihat, mengenali, mendeteksi dan terhubung dengan keadaan pasien.
setiap ucapan, perilaku, pikiran, bahasa tubuh, perasaan, intuisi berkontribusi
dalam hubungan interpersonal dengan pasien (Tomey & Alligood, 2014).

2.2.6.6 Menggunakan pendekatan pemecahan masalah


Penggunaan proses keperawatan merupakan pendekatan pemecahan masalah
secara ilmiah. Asuhan keperawatan menghilangkan citra tradisional perawat
sebagai pembantu dr. Proses keperawatan sama dengan proses penelitian karena
sistematis dan terorganisir Watson (1979, dalam Tomey & Alligood 2014).

Perilaku caring perawat yang dapat dilakukan adalah melakukan pengkajian,


penentuan diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil asuhan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


54

keperawatan secara berkesinambungan sesuai dengan masalah pasien yang terlihat


saat itu juga. Perawat melakukan penilaian terhadap kemampuan pasien dan
keluarga terlibat dalam asuhan keperawatan tersebut baik secara mandiri maupun
bantuan (De Laune & Ladner, 2002).

Terkait dengan konsep stress adaptasi oleh Stuart maka pendekatan pemecahan
masalah menurut konsep tersebut adalah integrasi landasan teori, komponen
biopsikososial, pola respon dan proses keperawatan dalam perawatan pasien.
Setelah pola koping diketahui perawat menentukan tahap perawatan pasien dan
impleentasi asuhan keperawatan. Model ini mengidentifikasi 4 tahap intervensi
yaitu: tahap krisis, akut, pemeliharaan kesehatan dan promosi kesehatan.

2.2.6.7 Meningkatkan proses belajar mengajar

Faktor ini adalah sebuah konsep yang penting pada keperawatan yang
membedakan antara perawatan dan pengobatan. Hal ini membolehkan pasien
diberikan informasi sehingga terjadi pergeseran tanggung jawab dari perawat
kepada pasien itu sendiri. Perawat dalam hal ini memfasilitasi proses ini dengan
menggunakan tehnik belajar mengajar yang dirancang untuk membuat pasien
melakukan perawatan dirinya sendiri, menentukan apa yang diinginkannya dan
menyediakan kesempatan bagi pertumbuhan mereka Watson (1979 dalam Tomey
& Alligood, 2014).

Perilaku caring perawat dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan yang


baik tentang penyakitnya dan bagaimana cara mengatasi kondisinya saat ini.
Mengajarkan cara memenuhi kebutuhannya dan melakukan perawatan secara
mandiri serta memberikan penjelasan yang sederhana yang dapat diterima sesuai
dengan kemampuan dan tingkat pengetahuan pasien. Perawat dapat menggunakan
alat/media yang sederhana untuk memudahkan bagaimana perjalanan penyakitnya
dan bagaimana cara mereka mengatasi masalah-masalah yang muncul (De Laune
& Ladner, 2002).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


55

Perawat memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuannya untuk kebaikan


pasiennya dan untuk meningkatkan kesadaran akan keberadaan psikoterapi
dimasyarakat dengan menyediakan informasi dan pendidikan kesehatan (BACP,
2010). Perawat memiliki peran sebagai pendidik bagi pasien, keluarga dan
masyarakat. Secara spesifik, perawat berperan untuk meningkatkan pengetahuan
pasiennya terhadap gangguan atau permasalahan yang dialami sehingga pasien
memiliki kesadaran diri terhadap gangguan yang dialami. Harapannya, dengan
meningkatnya kesadaran diri pasien proses pelaksanaan asuhan keperawatan akan
menjadi lebih mudah baik bagi perawat maupun pasien.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Buston dan Stichler (2010 dalam Owen
2013) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara subscala
perawat yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dengan perawat yang
fatique, terhadap asuhan keperawatan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Parker
& Smith (2010) yang menyatakan bahwa orientasi ilmu merawat diperlukan untuk
kelangsungan hidup keperawatan dalam evolusi manusia. Berikut Parker & Smith
(2010) menyatakan juga konsep pengembangan pribadi profesional yang
berkelanjutan berdampak terhadap pasien dan perawat.

2.2.6.8 Menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi dan atau


memperbaiki kondisi mental,fisik, sosial dan spiritual

Perawat harus mengenali pengaruh lingkungan interal dan eksternal terhadap


kesehatan dan kesakitan individu. Konsep tersebut relevan terhadap lingkungan
internal termasuk kesejahteraan mental dan spiritual dan kepercayaan
sosiokultural dari seorang individu. Dalam tambahan variabel epidemiologi,
variabel yang lain termasuk kenyamanan, privasi, keselamatan, dan kebersihan,
estetika. Watson (1979, dalam Tomey & Alligood 2014).

Perilaku caring perawat dapat memfasilitasi pasien dalam memenuhi


kebutuhannya dan mendukung akan kebutuhannya terkait dengan beradaptasi
dengan lingkungan, keinginan membentuk kelompok dan bergaul. Perawat juga
sebaiknya menghargai pandangan pasien terhadap keyakinan-keyakinannya

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


56

mengenai penyakit yang dialaminya tanpa menghakimi (De Laune dan Ladner,
2002).

2.2.6.9 Membantu pemenuhan kebutuhan dasar manusia

Perawat dapat mengenali kebutuhan-kebutuhan biofisikal, psikofisikal,


psikososial dan intrapersonal dari dirinya dan pasien. Pasien harus tercukupi
urutan kebutuhan yang lebih rendah sebelum mencoba mencapai kebutuhan yang
lebih tinggi. Makanan, eliminasi, dan ventilasi adalah contoh dari urutan
kebutuhan yang lebih rendah sedangkan aktivitas/inaktivitas dan sexualitas
dipertimbangkan sebagai urutan kebutuhan psikososial yang lebih rendah. Prestasi
dan keanggotaan adalah urutan kebutuhan psikososial yang lebih tinggi.
Aktualisasi diri adalah kebutuhan intrapersonal-interpersonal yang lebih tinggi
lagi. Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014)

Perilaku caring perawat dapat dilakukan dengan membantu memenuhi kebutuhan


dasarnya dan memberikan penghargaan yang positif kepada pasien dalam
pencapaiannya. Kemampuan yang sekecil apapun, perawat sebaiknya memberikan
penghargaan dan menghormatinya sehingga kemampuannya dalam memodifikasi
pikiran-pikran negatifnya menjadi lebih baik (Stuart, 2013).

Sebagaimana telah diketahui bahwa gangguan jiwa juga dapat terjadi pada
individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar
berdasarkan teori Maslow terdiri atas enam bagian diawali dengan kebutuhan
fisiologis dan kebutuhan aktualisasi diri .Dalam hal ini perawat berusaha
memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan dengan cara mempelajari respon
yang ditunjukkan Pasien dan mencoba empati atas kebutuhan yang dimaksud

2.2.6.10 Bantuan kekuatan phenomenological existential.


Ini menggambarkan data dari situasi saat ini yang membantu seseorang mengerti
fenomena yang ada. Existential psychology adalah sebuah ilmu tentang eksistensi
manusia yang menggunakan analisa phenomenological. Watson
mempertimbangkan faktor-faktor ini akan sulit untuk dimengerti. Watson percaya

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


57

bahwa perawat mempunyai tanggung jawab pada 10 caratif factor dan


memfasilitasi pengembangan pasien dalam area promosi kesehatan melalui aksi
pencegahan (preventif). Tujuan ini dapat dipenuhi dengan cara mengajarkan
pasien tentang perubahan personal untuk mempromosikan kesehatan, menyiapkan
situasi yang mendukung, mengajarkan metode pemecahan masalah, dan
mengenali kemampuan koping dan adaptasi terhadap kehilangan. Watson (1979,
dalam Tomey & Alligood, 2014).

2.3 Output
Hasil akhir dari pelaksanaan terapi, peningkatan sumber koping dan mekanisme
koping dengan pendekatan teori Stress adaptation model Stuart dan Theory of
Human caring Watson adalah adanya penurunan gejala pada HDR rata-rata lebih
dari 70% Selain itu, kemampuan dalam menghadapi masalah juga terjadi
peningkatan. Tujuan pelaksanaan terapi CT, CBT dan FPE meningkatkan
kemampuan pasien dalam membina hubungan interpersonal dan sosial di
masyarakat.

2.4 Konsep Manajemen Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP)


Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) di rumah sakit jiwa merupakan
pengembangan dan modifikasi dari MPKP di rumah sakit umum (Keliat &
Akemat, 2010). MPKP telah dikembangkan dan dimodifikasi untuk Rumah Sakit
Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dan diawali di Ruangan Srikandi.
Pengembangan MPKP menyesuaikan kondisi sumber daya manusia yang ada.
Berikut ini adalah uraian lebih lanjut tentang MPKP profesional.

2.4.1 Model Praktik Keperawatan Profesional Pemula


MPKP pemula adalah tenaga yang ada semua minimal berpendidikan DIII
Keperawatan, pengembangannya akan menuju ke MPKP Profesional I.

2.4.2 Model Praktik Keperawatan Profesional I


MPKP ini merupakan basic (dasar) dengan tenaga perawat pelaksana minimal
DIII Keperawatan, tetapi kepala ruangan dan ketua tim berpendidikan minimal S1

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


58

Keperawatan. Model MPKP ini menggunakan komponen utama yaitu ketenagaan,


metode pemberian asuhan keperawatan dan pendokumentasi keperawatan.

2.4.3 Model Praktik Keperawatan Profesional II


MPKP ini merupakan intermediate (menengah) dengan tenaga minimal DIII
Keperawatan dan mayoritas Ners Sarjana Keperawatan dan sudah memiliki tenaga
Spesialis Keperawatan Jiwa. Pada model MPKP ini sudah dilaksanakan penelitian
dan penerapan hasilnya.

2.4.4 Model Praktik Keperawatan Profesional III


MPKP ini merupakan advance (tingkat lanjut) yang semua perawatnya minimal
Ners Sarjana Keperawatan, sudah mempunyai tenaga Spesialis Keperawatan Jiwa
dan Doktor Keperawatan yang bekerja di area keperawatan jiwa. Sesuai dengan
konsep MPKP bahwa pelayanan MPKP dilaksanakan dengan berpedoman pada
empat pilar yaitu: pilar management approach, compensatory reward,
professional relationship dan patient care delivery (Keliat, & dkk 2010).

2.4.4.1 Pilar Management Approach

Pilar Management approach diterapkan dalam bentuk fungsi manajemen yang


terdiri dari: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan
(directing) dan pengendalian (controlling). Tahap awal setiap kegiatan
keperawatan adalah proses pengumpulan data secara lengkap serta sistematis
untuk dikaji dan dianalisis sehingga ditetapkan suatu masalah. Keberhasilan
pengkajian sangat membantu dalam penetapan masalah yang akan diselesaikan.
Berdasarkan penetapan masalah, maka suatu rencana kegiatan dapat disusun dan
dilaksanakan melalui management approach. Pada kegiatan perencanaan meliputi
visi, misi, filosofi dan rencana jangka pendek. Kegiatan pengorganisasian meliputi
struktur organisasi, jadual dinas dan daftar klien. Kegiatan pengarahan meliputi
operan, pre conference, post conference, iklim motivasi, pendelegasian dan
supervisi. Kegiatan pengendalian meliputi indikator mutu, audit dokumentasi
keperawatan, survey kepuasan dan survey masalah keperawatan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


59

2.4.4.2 Pilar Compensatory Reward

Pilar Compensatory Reward untuk mengatur Sumber Daya Manusia (SDM) di


ruang MPKP yang meliputi rekruitmen, seleksi, orientasi, evaluasi/penilaian
kinerja dan pengembangan staf.

2.4.4.3 Pilar Profesional Relationship

Pilar ini mengatur bagaimana pola kerja sama antar tim keperawatan dan tim
kesehatan lain melalui kegiatan konferensi kasus, visite dokter, rapat tim
keperawatan dan rapat tim kesehatan.

2.4.4.4. Pilar Patient Care Delivery

Pola ini mengatur bagaimana asuhan keperawatan diberikan pada klien dan
keluarganya. Pada pilar meliputi tentang asuhan keperawatan yang ada di ruangan
tersebut beserta penerapan SAK dan pemberian pendidikan kesehatan. Kegiatan
Patient Care Delivery dalam MPKP bekerjasama dengan Tim kesehatan yang
bertugas di ruangan. Melalui perencanaan masing-masing perawat dengan
membuat rencana kegiatan harian untuk melaksanakan tindakan keperawatan
kepada klien kelolaan. Pada kegiatan operan dilaksanakan timbang terima
asuhankeperawatan setiap klien kelolaan tentang masalah keperawatan, tindakan
yangsudah dilakukan serta rencana tindak lanjut yang harus dilakukan oleh
perawat shift jaga selanjutnya. Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan asuhan
keperawatan untuk masing-masing klien kelolaan dibahas per Tim melalui
kegiatan pre-postconference. Jika karena suatu penyebab akhirnya perawat tidak
bisa melakukan asuhan pada klien kelolaannya, maka didelegasikan kepada
perawat pengganti.

Dalam rangka meningkatkan kemampuan masing-masing perawat dalam


memberikan asuhan keperawatan pada klien kelolaan, maka dilakukan supervisi
secara bertingkat dari Karu ke Katim dan dari Katim ke perawat pelaksana. Pada
pengendalian dilaksanakan evaluasi indikator mutu oleh kepala ruang melalui
audit dokumentasi asuhan keperawatan yang dilakukan, survey kepuasan pada
klien dan keluarga mengenai asuhan keperawatan yang sudah dilakukan. Dalam

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


60

rangka meningkatkan pengetahuan, meningkatkan koordinasi dalam rencana


asuhan keperawatan dan mencari alternatif penyelesaian masalah maka dilakukan
case conference setiap dua minggu sekali dan kolaborasi dengan dokter melalui
kegiatan visit dokter.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Input Proses Output

1. Faktor Predisposisi Manajemen Pelayanan  Gejala HDR berkurang


Keperawatan Profesional
 Biologi  Peningkatan kemampuan
1. Manajemen Approac
 Psikologi 2. Compensatory Reward menghadapi stressor
 Sosiobudaya
2. Stressor Presipitasi
3. Professional Relationship  Peningkatan Keyakinan
4. Patient Care Delivery
 Biologi positif
 Psikologi  Peningkatan Kemampuan
 Sosiokultural hubungan Interpersonal /
3. Penilaian terhadap stressor sosial
 Kognitif
 Afektif HDR CT, CBT, FPE
 Fisiologis
 Perilaku
 Sosial
4. Sumber Koping
5. Kemampuan personal Mekanisme
6. Dukungan Sosial
7. Aset Material Koping
8. Keyakinan Positif

1. Meningkatkan sensitivitas 1. Membentuk sistem nilai kemanusiaan dan bersifat altruistik


2. Membangun hubungan saling 2. Menanamkan keyakinan dan harapan
percaya dan bahu membahu. 3. Meningkatkan sensitivitas
3. Meningkatkan penerimaan 4. Meningkatkan penerimaan ekpresi positif dan negatif
ekpresi positif dan negatif 5. Menggunakan pendekatan pemecahan masalah
6. Meningkatkan proses belajar-mengajar
(10 Carrative Faktor Jane 7. Menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi
Watson, 1979) 8. dan atau memperbaiki kondisi mental, fisik, sosial dan spiritual Kombinasi kerangka kerja
9. Membantu pemenuhan kebutuhan dasar berdasarkan teori Stress Adaptation
Stuart (2013) dan Theory of Human
10. Memberikan kesempatan pemenuhan sumber spiritual.
Caring Watson (1979)
(10 Carrative Faktor Jane Watson, 1979)

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


61

BAB 3
PROFIL RUMAH SAKIT DAN HASIL MANAJEMEN PELAYANAN
DI RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR

Bab ini menguraikan hasil manajemen pelayanan di ruang rawat psikiatri dan
manajemen bidang perawatan Rumah Sakit. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Kegiatan yang dilakukan meliputi pengkajian terhadap pelaksanaan kegiatan
model praktik keperawatan profesional, dengan mengacu kepada penerapan
Model Praktik Keperawatan Profesional di ruang Antareja. Pelaksanaan
manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada pasien dengan diagnosa
Harga Diri Rendah (HDR) dilakukan dengan menggunakan pendekatan model
konsep Stress Adaptation model oleh Stuart dan Theory of human caring
Relationship oleh Watson.

3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H.Marzoeki Mahdi Bogor.


Rumah Sakit Jiwa Bogor (RSJ) berdiri pada tahun 1862 dan berdasarkan SK
Menkes No.266/ menkes/sk/IV/2002 tanggal 10 April 2002 diberi nama Rumah
Sakit DR. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
awalnya hanya memberikan pelayanan bagi klien yang mengalami gangguan jiwa,
kemudian berkembang melakukan perawatan klien NAPZA dan pelayanan umum.
RSMM bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
(FIK-UI) berupaya untuk memaksimalkan fungsi rumah sakit yang lebih
profesional dan secara proaktif melakukan antisipasi terhadap perubahan terutama
melalui pengembangan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP).

Pengembangan MPKP dilakukan untuk menyediakan pelayanan dan


asuhankeperawatan yang berkualitas dan profesional, memberikan pelayanan dan
asuhan keperawatan yang berkesinambungan dalam konteks keluarga,
memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara tim (perawat, dokter, psikolog),
sebagai model yang dapat diunggulkan bagi rumah sakit jiwa dan unit
keperawatan jiwa di dalam maupun di luar negeri, dan sebagai tempat belajar bagi

61
Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


62

perawat yang akan mengambil spesialis keperawatan jiwa (Wardani, Keliat,


Mustikasari, 2003).

Saat ini RSMM telah memiliki 14 ruang rawat inap psikiatri, 3 ruang rawat inap
NAPZA dan 8 ruang rawat inap umum, dengan perincian 516 tempat tidur untuk
rawat inap psikiatri, 60 tempat tidur untuk rawat inap NAPZA, dan 144 tempat
tidur untuk rawat rawat inap umum. RSMM Bogor juga memiliki unit rawat jalan
psikiatri, instalasi gawat darurat psikiatri, unit rawat jalan spesialistik lain dan
instalasi gawat darurat umum.

3.2 Hasil Pelaksanaan Manajemen Pelayanan di RSMM Bogor Pada akhir


pelaksanaan kegiatan MPKP yang dilakukan mahasiswa residensi 3 selama 9
minggu di unit psikiatrik, mahasiswa melakukan evaluasi untuk melihat
keefektifan dalam pelaksanaan kegiatan MPKP yang dilakukan di Ruang
Antareja. Evaluasi dilakukan dengan metode observasi untuk mengamati
kinerja Karu, Katim dan PP dalam menerapkan manajemen pelayanan dengan
metode MPKP dibandingkan dengan hasil evaluasi diri (self evaluation (SE))
dari data awal pengkajian yang mengacu kepada pendekatan 4 pilar MPKP,
yaitu
Management Approach, kegiatan pilar ini meliputi visi, misi, filosofi,
rencana harian, bulanan dan tahunan. Kepala ruangan sebagai staf
struktural baru telah mengenal visi, misi, dan filosofi rumah sakit. Visi, misi
dan filosofi yang tertera di ruangan merupakan visi, misi rumah sakit.
Sedangkan filosofi juga merupakan pengembangan yang telah ada. Baik
kepala ruangan, ketua tim telah mengenal dan menghafal visi, misi dan
filosofi serta menerapkannya dalam praktik pemberian asuhan keperawatan.

Penyusunan rencana tahunan telah dilakukan oleh kepala ruangan dan


setiap awal tahun diserahkan ke bidang keperawatan sebagai rencana
anggaran belanja tahunan. Rencana bulanan disusun bersama kepala ruangan
dan ketua tim untuk kemudian disesuaikan dengan rencana harian. Ketua tim
1 dan 2 telah mampu menyusun rencana dengan bantuan perawat dan pada

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


63

bulan maret mampu melakukannya secara mandiri. Sedangkan rencana


harian belum semua staf dapat menerapkannya dalam praktik pemberian
asuhan keperawatan walaupun sudah memiliki kemampuan untuk menyusun
rencana harian.

Struktur organisasi di Ruang Antareja diperbaharui sesuai dengan struktur


baru yang ada di ruangan. Pada pelaksanaan penyususnannya terjadi kritik
dan saran dari salah satu staf perawat sehingga mahasiswa perlu untuk
meninjau ulang mengenai cara penyusunannya. Setelah dilakukan konsultasi
disimpulkan bahwa bentuk yang sudah ada dapat dilanjutkan pelaksanaannya
karena tidak menyalahi dari aturan yang telah ada.

Penyusunan daftar dinas dapat berjalan dengan lancar. Penyususnan daftar


dinas bulan maret dan april dilakukan oleh ketua tim untuk meningkatkan
kemampuan ketua tim menjadi kepala ruangan. Penyusunan daftar dinas
masih dilakukan menyesuaikan dengan jumlah perawat di ruangan. Oleh
karena itu, mahasiswa memberikan pelatihan kepada ketua tim untuk
melakukan penyusunan berdasarkan penghitungan menurut teori. Aplikasi
penyusunan daftar dinas sesuai denga teori Douglas, 1984 tidak dapat
diterapkan karena kurangnya jumlah perawat di ruang perawatan Antareja.
Daftar alokasi pasien diperbaharui oleh ketua tim setiap hari sesuai dengan
kapasitas pasien di ruangan.

Operan ruangan menjadi rutinitas, operan dari dinas pagi ke dinas sore selalu
dilakukan oleh kepala ruangan dan terkadang mendelegasikannya kepada
ketua tim, namun setelah ada peraturan baru dimana kepala ruangan berakhir
dinas pada sore hari (pukul 16 WB) maka kegiatan operan dilakukan oleh
kepala ruangan. Aktifitas pre dan post conference belum dapat berlangsung
dengan baik di ruang perawatan. Kegiatan pre conference masih dapat
dilakukan pada beberapa kesempatan akan tetapi kegiatan post konference
belum dapat berlangsung optimal. Iklim motivasi dan pendelegasian

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


64

dilakukan insidentil ketika dibutuhkan oleh perawat atau berhalangan masuk


ketua tim.

Pendelegasian dilakukan berjenjang sesuai struktur yang berlaku. Kegiatan


pendelegasian perlu ditingkatkan dengan cara menyediakan format
pendelegasian, sehingga pendelegasian yang diberikan kepada struktur di
bawahnya dapat dipertanggungjawabkan secara tertulis. Supervisi belum
dapat dilakukan secara optimal terutama supervisi berjenjang. Supervisi yang
biasa dilakukan adalah pada kemampuan perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan yang dilakukan oleh ketua tim kepada anggota timnya.

Penghitungan Indikator rmutu dilakukan kegiatannya oleh kepala ruangan


dan kegiatan tersebut juga melibatkan mahasiswa dalam pelaksanaannya.
Penghitungan indikator mutu dilakukan setiap awal bulan dengan melakukan
penghitungan berdasarkan catatan buku mutasi ruangan. Sejauh mahasiswa
mengamati tidak terjadi kekeliruan dalam penghitungan indikator mutu.
Kepala ruangan mampu malakukan secara mandiri. Survey masalah juga
dihitung bersamaan dengan penghitungan indikator mutu setiap bulannya.
Tidak ditemukan kendala saat melakukan penghitungan survey masalah.
Audit dokumentasi belum dilakukan oleh kepala ruangan.

Hasil penghitungan indikator mutu selama periode penulis berpraktik adalah


BOR bulan Maret 2014 adalah 57.7 % dan AvLos 28 hari dan TOI 89%,
survey kepuasan keluarga 98%. Kegiatan yang dilaksanakan pada praktik
manajemen pelayanan keperawatan di Ruang Antareja adalah melakukan
pengkajian, menyusun perencanaan, melaksanakan tindakan manajeman
pelayanan keperawatan, dengan pola MPKP yang terdiri atas Management
Approach, Compensatory Reward, Profesional Relationship dan patient Care
Delivery.

Compensatory Reward, penilaian kinerja dilakukan oleh kepala ruangan


terhadap ketua tim, dan ketua tim bertanggung jawab untuk melakukan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


65

penilaian seluruh perawat perawat pelaksana. Kegiatan ini biasanya dilakukan


penilaian kinerja setiap harinya dan setelah mendapatkan penilaian, kepala
ruangan dan ketua tim berdiskusi mengenai hasil dan cara
penyelesaiannya.Pengembangan staf berjalan baik di ruangan Antareja.
Seluruh staf mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri
baik melalui pendidikan berkelanjutan maupun pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit.

Profesional Relationship, Kegiatan visite dokter berlangsung dengan baik


dan sesuai dengan SOP yang ada, seluruh ketua tim dan kepala ruangan
mampu melakukan pendampingan saat visite dokter. Kegiatan case
conference, belum berjalan dengan rutin karena belum ada penjadwalan yang
pasti untuk kegiatan tersebut, namun kegiatan tersebut sering berlangsung
pada hari kamis. Kegiatan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan
pelaksanaan rapat keperawatan. Selama mahasiswa melakukan prktik
residensi pelaksanaan case conference hanya dilakukan oleh mahasiswa yang
sedang berpraktik di ruang Antareja, belum membudayanya pelaksanaan case
converence oleh perawat di ruang Antareja rapat tim keperawatan selama
mahasiswa berpraktik rapat tim keperawatan ada dilakukan 1 kali oleh
ruangan. Untuk kegiatan rapat tim keperawatan selama mahasiswa berpraktik
belum pernah melihat pelaksanaan kegiatan tersebut. Jadi perlunya
ditingkankan kegiatan rapat tim kesehatan di ruang Antareja.

Patient Care Delivery, kegiatan ini berupa pemberian asuhan keperawatan


yang dilakukan oleh perawat di ruangan sesuai dengan tangung jawab
perawat untuk masing-masing tim. Karena di ruanga Antareja terdapat 2 tim
maka jumlah pasien yang dirawat adalah jumlah keseluruhan pasien yang
dibagi habis kepada kedua tim. Selama mahasiswa prktik residensi III rata-
rata pasien yang dirawat adalah 35 klien, jadi masing-masing tim
bertanggung jawab terhadap 16 atau 17 pasien. Sehubungan dengan adanya
mahasiswa yang praktik di Ruang Antareja (Mahasiswa Spesialis
Keperawatan Jiwa) maka pengelolaan pasien terkait terapi spesialis

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


66

dilaksanakan oleh mahasiswa spesialis keperawatan, sedangkan untuk terapi


generalis dilaksanakan oleh perawat di ruangan dan mahasiswa DIII yang lagi
praktik di Ruang Antareja. Perawat dengan latar belakang pendidikan DIII
keperawatan melakukan asuhan keperawatan pada 5 diagnosa keperawatan
umum yaitu halusinasi, Risiko perilaku kekerasan, isolasi sosial, harga diri
rendah, dan defisit keperawaytan diri. Untuk diagnosa yang lain selain yang
telah tersebut sebelumnya maka penanganannya dilakukan oleh perawat
spesialis yang sedang praktik residensi III di ruangan tersebut.

Selama melakukan praktik keperawatan residensi III (9 minggu) mahasiswa


berkesempatan melakukan pengelolaan terhadap 47 pasien gangguan jiwa di
Ruang Antareja RSMM Bogor. Adapun komposisi diagnosa keperawatan
yang telah penulis kelola adalah; diagnosis medis skizofrenia paranoid
(95%), skizoafektif (2%), psikotik akut (3%). Gambaran masalah
keperawatan diantaranya adalah 53% pasien mengalami isolasi sosial,
74,4% harga diri rendah, defisit perawatan diri 12,7%, halusinasi 80%,
resiko perilaku kekerasan 70%, waham 17% dan risiko bunuh diri 12,7%.
Data diatas menunjukkan bahwa harga diri rendah merupakan masalah
keperawatan yang cukup banyak dialami oleh pasien gangguan jiwa.

Pelaksanaan tindakan keperawatan terutama terapi generalis diberikan oleh


perawat terlebih dahulu untuk kemudian mendapatkan terapi generalis
diberikan bersamaan dengan terapi Spesialis. Selama mahasiswa
melaksanakan praktik residensi III, untuk diagnosa keperawatan telah
melaksanakan seluruh diagnosa keperawatan yang terdapat pada pasien.
Untuk pelaksanaan terapi spesialis terapi yang sering dilakukan adalah
Cognitif Therapy, Cognitif Behaviors therapy, Family Psikoeducasy, Sosial
Skill Training Therapy, Asertive Therapy, sedangkan Assertive Comitment
therapy ada dilakukan beberapa kali..

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


67

Tabel 3.1
Hasil penilaian kemampuan Kepala Ruang dalam Kegiatan MPKP
(Residensi 3, residensi 2, sept 2013 dan residensi 3 febr 2014)

Res 3 Res 2 Res 3


NO KEGIATAN Sept ‘13 Nov’13 Febr’14 KET
SE EK SE EK SE EK

I MANAGEMENT APPROACH

A Perencanaan

1 Visi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Misi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan


3 Tujuan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

4 Rencana Kegiatan
a. Rencana Kegiatan Harian 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

b. Rencana Kegiatan Bulanan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

c. Rencana Kegiatan Tahunan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

B Pengorganisasian
1 Struktur organisasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Janwal Dinas 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

3 Daftar Pasien 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

C Pengarahan
1 Operan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Observasi Pre-conference Katim 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
3 Observasi Post-conference Katim 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

4 Iklim Motivasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

5 Pendelegasian 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

6 Supervisi Katim 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

D Pengendalian
1 Indikator Mutu 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Audit Dokumentasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

3 Survey Kepuasan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

4 Survey Masalah Kesehatan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

II COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja Katim 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Rencana Pengembangan Staf 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
III PROFESSIONAL RELATIONSHIP
1 Rapat Keperawatan 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
2 Konferensi Kasus 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan
3 Rapat Tim Kesehatan 100 - - - - Pendampingan

4 Jadual Visite Dokter 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

IV PATIENT CARE DELIVERY (PCD)


1 Harga diri rendah (HDR) 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


68

Res 3 Res 2 Res 3


NO KEGIATAN Sept ‘13 Nov’13 Febr’14 KET
SE EK SE EK SE EK
2 Risiko perilaku kekerasan (RPK) 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

3 Isolasi sosial 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

4 GSP: Halusinasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

5 GPP: waham 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

6 Risiko bunuh diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

7 Defisit perawatan diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


69

Tabel 3.2
Hasil evaluasi kemampuan Ketua Tim 1 Ruang Antareja
dalam manajemen pelayanan Kegiatan MPKP (Residensi 3 Sept’13, Residensi 2
November’13, Residensi 3 Februari 2014)

Res 3 Res 2 Res 3


NO KEGIATAN Sept ‘13 Nov’13 Febr’14 KET
SE EK SE EK SE EK

I MANAGEMENT APPROACH
A Perencanaan
1 Rencana Kegiatan
a. Rencana Kegiatan Harian 85 100 85 100 85 100 Pembudayaan

b. Rencana Kegiatan Bulanan 90 100 90 100 90 100 Pembudayaan

B Pengorganisasian
1 Jadwal Dinas 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Daftar Pasien 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

C Pengarahan
1 Memimpin Pre-conference 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Memimpin Post-conference 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

3 Iklim motivasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

4 Pendelegasian 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan


5 Supervisi PP 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

II COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja PP 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

III PROFESSIONAL RELATIONSHIP


1 Konferensi Kasus 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Jadual Visite Dokter 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

IV PATIENT CARE DELIVERY


1 Harga diri rendah (HDR) 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Risiko perilaku kekerasan (RPK) 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

3 Isolasi sosial 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

4 GSP: Halusinasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

5 GPP: waham 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

6 Risiko bunuh diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

7 Defisit perawatan diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


70

Tabel 3.3
Hasil evaluasi kemampuan Ketua Tim 2 Ruang Antareja dalam manajemen pelayanan
Kegiatan MPKP Residensi 3 -9-’13, Residensi 2-11-’13, Residensi 3-2- 2014

Res 3 Res 2 Res 3


NO KEGIATAN Sept ‘13 Nov’13 Febr’14 KET
SE EK SE EK SE EK

I MANAGEMENT APPROACH

A Perencanaan
1 Rencana Kegiatan
a. Rencana Kegiatan Harian 85 100 85 100 85 100 Pembudayaan

b. Rencana Kegiatan Bulanan 85 100 85 100 85 100 Pembudayaan

B Pengorganisasian
1 Jadwal Dinas 90 100 90 100 90 100 Pembudayaan

2 Daftar Pasien 90 100 90 100 90 100 Pembudayaan

C Pengarahan
1 Memimpin Pre-conference 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Memimpin Post-conference 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan


3 Iklim Motivasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

4 Pendelegasian 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

5 Supervisi PP 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

II COMPENSATORY REWARD
1 Penilaian Kinerja PP 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

III PROFESSIONAL RELATIONSHIP


1 Konferensi Kasus 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Jadual Visite Dokter 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

IV PATIENT CARE DELIVERY


1 Harga diri rendah (HDR) 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

2 Risiko perilaku kekerasan (RPK) 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

3 Isolasi sosial 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

4 GSP: Halusinasi 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

5 GPP: waham 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

6 Risiko bunuh diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

7 Defisit perawatan diri 100 100 100 100 100 100 Pembudayaan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


71

Tabel 3.4
Hasil Pengkajian Perawat Pelaksana
Ruang Antareja RSMM Bogor Februari 2014

No Fungsi Manajemen Daftar Masalah Data yang diperoleh


1 Management Approach
a. Perencanaan Potensial  Berdasarkan data SE dan EK :
optimalnya rencana harian 100
 Wawancara: rencana harian
pelaksanaan
sudah dibuat, sudah
kegiatan didokumentasikan sesuai format
perencanaan PP yang ada.
berupa rencana  Observasi: kinerja PP sudah
berdasarkan pada visi, misi dan
kegiatan harian filosofi. Format rencana harian
sudah ada
4. Patient Care Delivery Potensial  Berdasarkan data hasil EK
optimalnya sebelumnya, hasil wawancara
dan observasi Patient Care
pemberian asuhan
Delivery memiliki nilai rata-rata
keperawatan 100 untuk masalah gangguan.
gangguan gangguan gangguan persepsi sensori, risiko
perilaku kekerasan, waham,
persepsi sensori,
isolasi sosial, defisit perawatan
risiko perilaku diri/ DPD; harga diri rendah
kekerasan, waham, (HDR), dan risiko bunuh diri
isolasi sosial, defisit  Wawancara: sudah tersedia SAK
untuk 5 diagnosa keperawatan
perawatan diri/
fisik dan 5 psikososial. Penkes
DPD; harga diri pada keluarga belum
rendah (HDR), dan menggunakan media / alat bantu
(leaflet).
risiko bunuh diri.
 Dokumentasi yang dilakukan
belum sesuai dengan pedoman.
 Observasi: sudah ada SAK
diagnosa keperawatan
psikososial yang paling sering
ditemukan yaitu ansietas,
gangguan citra tubuh,
ketidakberdayaan. Dokumentasi
sudah dilakukan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


72

BAB 4
MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

Bab ini menjelaskan tentang pelaksanaan asuhan keperawatan dan pengelolaan


pelayanan keperawatan terkait diagnosa keperawatan harga diri rendah dan terapi
spesialis keperawatan jiwa yang dilakukan di Ruang Antareja. Pada bab ini akan
dibahas mulai dari pengkajian yang berdasarkan model Stress Adaptasi (Stuart,
2013) pada pasien harga diri rendah, perencanaan terapi spesialis, pelaksanaan
terapi spesialis dan hasil/evaluasi dari terapi yang diberikan.

Penulis melaksanakan praktik di Ruang Antareja RS. Dr. H. Marzoeki Mahdi


Bogor yang berlangsung mulai tanggal 17 Februari – 18 April 2014. Selama
rentang waktu melaksanakan praktik tersebut, Penulis menangani pasien
diagnosa keperawatan harga diri rendah sejumlah 20 orang pasien yang akan
dijabarkan berikut ini.

4.1 Hasil pengkajian


Pengkajian terhadap pasien dengan diagnosis keperawatan harga diri rendah
dilakukan menggunakan pendekatan teori stres adaptasi Stuart (2013) yang
dikembangkan dalam bentuk pola pengkajian menggunakan scanning. Hasil
pengkajian yang meliputi karakteristik pasien, faktor predisposisi, faktor
presipitasi, penilaian tanda dan gejala serta kemampuan yang dimiliki pasien,
terhadap 20 orang pasien.

4.1.1 Karakteristik
Karakteristik 20 pasien dengan harga diri rendah di Ruang Antareja meliputi usia,
status perkawinan, pekerjaan, pendidikan, onset dan frekuensi rawat. Tabel 4.1
memperlihatkan pasien terbanyak pada kelompok usia 21 – 40 tahun sejumlah 13
orang (65,0%) dan semuanya berjenis kelamin laki-laki sejumlah 20 orang
(100%) karena ruang Antareja adalah ruang rawat laki-laki. Status perkawinan
pasien lebih banyak yang belum menikah sejumlah 12 orang (60,0%), status
bekerja lebih banyak daripada yang belum bekerja 13 orang (65,0%) dengan

72 Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


73

riwayat pendidikan terbanyak berpendidikan SMP sejumlah 9 orang (45%). Lama


sakit yang dialami oleh pasien >3 tahun tahun sejumlah 17 orang (85,0%).
Frekuensi dirawat di rumah sakit sejumlah < 3 kali 13 orang (65,0%).

Tabel 4.1
Distribusi Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Pebruari – 18 April 2014
(n = 20 orang)

No KARAKTERISTIK JUMLAH PRESENTASE


1. Usia
a. < 20 tahun 2 10
b. 21 – 40 tahun 13 65
c. 40 – 65 tahun 5 25
2. Stutus Pernikahan
a. Belum menikah 12 60
b. Menikah 6 30
c. Janda/duda 2 10
3. Pekerjaan
a. Bekerja 13 65
b. Tidak Bekerja 7 35
4. Pendidikan
a. SD 5 25
b. SMP 9 45
c. SMA 3 15
d. PT 3 15
5. Lama Sakit
a. < 3 tahun 7 35
b. > 3 tahun 13 65
6. Frekuensi Rawat
a. < 3 kali 13 65
b. > 3 kali 7 35

4.1. 2 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi adalah faktor risiko terjadinya stres yaitu meliputi faktor
biologis, psikologis, dan sosial budaya. Pada pasien diagnosis harga diri rendah
faktor predisposisi terjadinya masalah dapat diidentifikasi berdasarkan tiga
komponen tersebut (Stuart, 2013). Secara rinci tentang faktor predisposisi dapat
dilihat pada tabel 4.2

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


74

Tabel 4.2
Faktor Predisposisi Pada Pasien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 17 Februari-18 April 2014 (n=20)

NO FAKTOR PREDISPOSISI JUMLAH PROSENTASE


1 Biologis
a. Herediter 4 20
b. Gangguan jiwa sebelumnya 16 80
c. Trauma/penyakit fisik 7 35
d. Penyalahgunaan NAPZA 6 30
2. Psikologis
a. Kepribadian introvert 16 80
b. Pengalaman tidak menyenangkan 20 100
c. Riwayat kegagalan/kehilangan 14 70
d. Gangguan konsep diri 16 80
3. Sosial kultural
a. Masalah sekolah 4 20
b. Status ekonomi rendah 15 75
c. Masalah pekerjaan 15 75
d. Masalah pernikahan 5 25

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dijelaskan bahwa pada faktor predisposisi biologis
terdapat 16 pasien (80%), yang mempunyai riwayat gangguan jiwa sebelumnya,
faktor psikologis pengalaman yang tidak menyenangkan terdapat 20 pasien
(100%), faktor sosial kultural adalah status ekonomi rendah dan masalah
pekerjaan sebanyak 15 pasien (75%).

4.1.3 Faktor Presipitasi


Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eksternal yang mengancam
individu, dapat bersifat biologis maupun sosial kultural yang menyebabkan pasien
dirawat. Aspek yang dikaji meliputi sifat stresor, asal stresor, waktu dan jumlah
stresor (Stuart, 2013). Distribusi faktor presipitasi terjadinya masalah harga diri
rendah tabel 4.3.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


75

Tabel 4.3
Faktor Presipitasi Pada Pasien Harga Diri Rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 17 Februari-18 April 2014 (n=20)

No Faktor Presipitasi Jumlah Prosentase


1 Biologis
a. Putus obat 16 80
2. Psikologis
a. Keinginan tidak terpenuhi 18 90
b. Kehilangan orang berarti 11 55
c. Gagal dalam bekerja 13 65
d. Gagal membina hubungan dengan 17 85
lawan jenis (putus cinta)
e. Gagal sekolah 9 45
f. Gagal berumah tangga (cerai) 6 30

3. Sosial kultural
a. Masalah ekonomi 15 75
b. Konflik di lingkungan kerja 5 25
c. Konflik keluarga 13 65
d. Konflik lingkungan 5 25

4. Asal stresor
a. Internal 20 100
b. Eksternal 8 40

5. Waktu Stresor
a. 1 bulan 3 15
b. 2 bulan 4 20
c. > 2 bulan 13 65

6. Jumlah Stresor
> 3 stresor 20 100

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa pada faktor presipitasi biologis
adalah putus obat sebanyak 16 pasien (80%), sedangkan pasien 4 pasien yang lain
merupakan pasien baru yang baru pertama berobat. Penyebab pasien putus obat
adalah karena adanya faktor kebosanan dari pasien karena sudah lama minum
obat, ada juga disebabkan karena pasien sudah merasa sembuh sehingga pasien
tidak mau minum obat dan tidak mau diajak kontrol. Pada faktor psikologis
sebagian besar pasien memiliki keinginan yang tidak terpenuhi yaitu sejumlah 18
pasien (90%) keinginan tersebut diantaranya adalah keinginan untuk memiliki
pekerjaan dan penghasilan yang layak, keinginan untuk melanjutkan pendidikan,
keinginan untuk menikah, keinginan untuk dihargai dan diperlakukan sama dalam
keluarga, keinginan untuk mendapatkan perhatian dari orang tua, keinginan untuk

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


76

dihargai oleh istri atau suaminya. Pada faktor sosial budaya adalah masalah
ekonomi sebanyak 15 pasien (75%), walaupun data menunjukkan bahwa dari 20
pasien lebih banyak yang bekerja dibandingkan dengan yang tidak bekerja, namun
pekerjaan pasien rata-rata adalah sebagai buruh kasar, buruh bangunan, buruh
pabrik, pedagang kecil, dengan penghasilan yang kecil juga sehingga tidak
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Asal stresor menunjukkan
bahwa stresor yang berasal dari individu itu sendiri (internal) sebanyak 20 pasien
(100%), waktu stresor yang terbanyak adalah lebih dari 2 bulan yaitu sebanyak
13 pasien (65%), jumlah strsor yang terbanyak adalah lebih dari 3 stresor 20 orang
(100%).

4.1.4 Penilaian terhadap stresor


Penilaian terhadap stresor dapat dilihat dari tanda dan gejala harga diri rendah
yang menunjukkan respon pasien terhadap stresor serta dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Stuart yang meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku, dan respon sosial sehingga dapat dilihat pemahaman individu terhadap
kejadian yang dialaminya (Stuart, 2013) seperti pada tabel 4.4

Berdasarkan tabel 4.4 dapat dijelaskan penilaian terhadap stresor pada 20 pasien
harga diri rendah untuk respon kognitif sebanyak 20 pasien (100%) merasa tidak
berguna(menjadi beban orang lain, tidak berguna bagi keluarga), tidak berarti dan
tidak berharga. Pada respon afektif sebanyak 20 orang (100%) merasa sedih.
Respon perilaku sebanyak 20 pasien (100%) mengkritik diri sendiri. Respon
sosial sebanyak 15 pasien (75%) dengan aktifitas terbatas.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


77

Tabel 4.4
Penilaian terhadap Stresor Pasien Harga Diri rendah di Ruang Antareja
Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 17 Februari – 18 April 2014

No Penilaian terhadap Stresor n Prosentase


1. Respon kognitif:
a. Tidak berguna/menjadi beban orang lain 20 100
b. Sulit konsentrasi 15 75
c. Tidak mempunyai kemampuan 11 55
d. Hubungan tak berarti dengan orang lain 10 50
2 Respon afektif:
a. Sedih 20 100
b. Bingung 15 75
c. Kecewa 17 85
d. Malu 12 60
3 Respon fisiologis:
a. Gangguan pola tidur 12 60
b. Gangguan pola makan 10 50
c. Keluhan fisik 5 25
4 Respon perilaku:
a. Mengkritik diri 20 100
b. Merusak diri 2 10
c. Motivasi menurun 15 75
5 Respon sosial:
a. Hubungan dengan orang lain buruk 18 81
b. Aktifitas terbatas 15 75
c. Menghindari interaksi 12 50

4.1.5 Sumber koping pasien harga diri rendah


Sumber koping adalah kekuatan yang dimiliki individu dalam berespon terhadap
berbagai stresor yang dihadapi. Sumber koping merupakan kemampuan yang
dimiliki (personal abilities), dukungan sosial (social support), ketersediaan
materi (material assets) dan kepercayaan (positive belief) (Stuart, 2013).
Kemampuan atau koping adalah pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan
apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi suatu masalah. Koping terdiri dari
sumber koping yang dimiliki 20 pasien dengan harga diri rendah di Ruang
Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor dapat dilihat pada tabel 4.5.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


78

Tabel 4.5
Sumber Koping Pasien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja Rumah Sakit
Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Periode 17 Februari – 18 April 2014
(n=20)

No Sumber Koping Jumlah Prosentase


(n=20)
1 Kemampuan pasien
a. Tidak mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek 12 60
positif yang dimiliki.
b. Tidak mampu memilih kegiatan yang dapat dilakukan 13 65
c. Tidak mampu melakukan kegiatan yang dipilih 14 70
d. Tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis negatif 20 100
e. Tidak mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif 20 100
f. Tidak mampu mengidentifikasi manfaat tanggapan
rasional terhadap pikiran otomatis negatif. 20 100
g. Tidak mampu memanfaatkan support system 20 100
2 Keyakinan positif
a. Yakin akan sembuh 15 75
b. Tidak yakin akan sembuh 3 15
c. Tidak yakin terhadap pelayanan kesehatan 3 15
3 Dukungan keluarga
a. Keluarga tidak mengenal masalah harga diri rendah 15 75
b. Keluarga tidak mampu memberikan pujian dan 15 75
dukungan kepada pasien
c. Keluarga tidak mampu merawat pasien 20 100
d. Keluarga tidak mampu modifikasi perilaku positif 20 100
e. Keluarga tidak mampu memanfaatkan pelayanan 13 65
kesehatan
f. Keluarga tidak mampu manajemen stres 20 100
g. Keluarga tidak mampu manajemen beban 20 100

4 Dukungan kelompok
a. Kelompok tidak memberikan motivasi 20 100
b. Kelompok tidak tahu cara merawat 20 100
c. Kelompok tidak memberikan bantuan 20 100
5 Ketersediaan aset
Pembayaran
a. BPJS 19 95
b. Pribadi 1 5
6 Jangkauan ke rumah sakit
a. Jauh 6 30
b. Dekat 14 70

Berdasarkan tabel 4.5 maka dapat dijelaskan bahwa sebanyak 12 pasien (60%)
tidak mampu mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki,
sebanyak 13 pasien (65%) tidak mampu memilih kegiatan yang akan dilakukan,
sebanyak 14 pasien (70%) tidak mampu melakukan kegiatan yang dipilih,
sebanyak 20 pasien (100%) tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


79

negatif, tidak mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis


negatif, tidak mampu mengidentifikasi manfaat tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif, tidak mampu memanfaatkan support system. Pada
keyakinan positif sebanyak 15 pasien (75%) yakin sembuh. Pada dukungan
keluarga 20 keluarga (100%) tidak mampu merawat pasien, tidak mampu
modifikasi perilaku positif, tidak mampu manajemen stres dan tidak mampu
manajemen beban. Pada dukungan kelompok maka sebanyak 20 pasien (100%)
tidak memiliki dukungan dari teman atau tetangga, namun perawat yang berada
di sekitar pasien sepenuhnya memberikan dukungan dan motivasi. Ketersediaan
aset pembayaran sebagian besar dengan BPJS yaitu sebanyak 19 pasien (95%),
Jangkauan rumah sakit sebanyak 14 pasien (70%) dengan jarak yang dekat dari
tempat tinggal pasien.

4.2 Diagnosa Medis dan terapi medis


Selama menjalankan praktik klinik keperawatan jiwa 3 di ruang Antareja Rumah
Sakit Marzoeki Mahdi Bogor teridentifikasi bahwa pasien dengan harga diri
rendah memiliki diagnosis medis mendapatkan terapi medis seperti pada tabel 4.6.

Berdasarkan tabel 3.6 didapatkan data bahwa semua pasien memiliki diagnosa
skizofrenia paranoid (100%). Pemberian terapi psikofarmaka jenis antipsikotik
tipikal terbanyak adalah cholpromazine dengan dosis 100 mg (1 tablet perhari),
triheksipenidil 2mg (3 tablet perhari) dan haloperidol 5mg (2-3 tablet perhari).
Psikofarmaka yang diberikan sudah pada tahap pemeliharaan dimana kondisi
pasien di Ruang Antareja sudah ada pada tahap rehabilitasi dan persiapan pulang.
Kegiatan kolaborasi di ruangan Antareja dilakukan bersama dengan psikiater dan
dokter umum yang bertanggung jawab terhadap ruangan melalui kegiatan visit
dokter untuk melihat perkembangan pasien terhadap terapi psikofarmaka yang
diberikan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


80

Tabel 4.6
Diagnosa Medis dan Terapi Medis pada pasien dengan harga diri rendah di
Ruang Antareja Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Periode 17 Februari-18 April 2014 (n=20)

No Aspek Medis n (20) Persentase


(%)
1. Diagnosa Medis 20 100
- Skizofrenia paranoid
2. Terapi Medis 20 100
- Anti Psikotik Tipikal

4.3 Diagnosis Keperawatan dan Tindakan Keperawatan


4.3.1 Diagnosis Keperawatan
Pasien harga diri rendah yang dikelola oleh penulis memiliki diagnosis penyerta
lain yang dapat dilihat pada tabel 4.7.

Tabel 4.7
Diagnosis Keperawatan Yang menyertai Pada Pasien harga Diri Rendah di
Ruang Antareja Periode 17 Februari – 18 April 2014 (n=20)

Diagnosis Isolasi PRTI DPD RPK Halusinasi Jumlah Prosentase


utama Sosial

v v v 11 55
HargaDiri v v v v 5 25
Rendah v v v 4 20

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa diagnosis utama harga diri rendah
dengan penyerta isolasi sosial, penataan regiment terapeutik tidak efektif (PRTI)
dan halusinasi adalah yang terbanyak yaitu 11 pasien (55%), Diagnosis utama
harga diri rendah dengan penyerta isolasi sosial, PRTI, Defisit perawatan diri
(DPD) dan risiko perilaku kekerasan (RPK) sebanyak 5 pasien (25%), Diagnosis
utama harga diri rendah dengan penyerta isolasi sosial, Penatalaksanaan Regimen
Terapeutik Inefektif (PRTI), dan DPD sebanyak 4 pasien (20%).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


81

4.3.2 Rencana Tindakan Keperawatan


Rencana tindakan keperawatan jiwa dilakukan dengan menyusun tindakan
keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis yang akan diberikan
kepada pasien harga diri rendah dan keluarga berdasarkan pada upaya mencegah
dan mengelola perilaku negatif pada pasien. Rencana tindakan keperawatan yang
ditetapkan pada pasien harga diri rendah dan keluarga adalah pemberian terapi
generalis harga diri rendah, terapi spesialis pada pasien dengan terapi kognitif,
terapi kognitif perilaku dan terapi psikoedukasi keluarga untuk keluarga.

4.3.2.1 Terapi generalis


Tindakan keperawatan untuk pasien
Tujuan:
Agar pasien mampu
mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki; mampu menilai,
memilih, melatih, dan melakukan kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan, serta
mengikuti program pengobatan secara optimal. Rencana tindakan yang ditetapkan
yaitu: bantu pasien mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
dan latih kemampuan sesuai pilihan pasien, motivasi pasien melakukan kegiatan
yang dilatih sesuai kemampuan dan berikan reinforcement positif.

Rencana tindakan generalis kelompok yang ditetapkan untuk pasien harga diri
rendah adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi harga diri rendah.
Tujuan terapi kelompok ini adalah untuk mengidentifikasi hal positif pada diri dan
melatih hal positif pada diri melalui kegiatan dalam kelompok.

Tindakan keperawatan untuk keluarga


Tujuan yang ditetapkan adalah keluarga mampu mengenal masalah harga diri
rendah, keluarga mampu mengambil keputusan untuk merawat anggota keluarga
dengan masalah harga diri rendah, keluarga mampu merawat anggota dengan
masalahharga diri rendah, keluarga mampu memodifikasi lingkungan yang
mendukung untuk merawat anggota keluarga dengan masalah harga diri rendah

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


82

dan keluarga mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk merawat


anggotakeluarga dengan masalah harga diri rendah.

Rencana tindakan keperawatan generalis yang ditetapkan untuk keluarga adalah


tindakan keperawatan generalis untuk merawat anggota keluarga yang mengalami
harga diri rendah. Rencana tindakan tersebut adalah bantu keluarga mengenal
masalahharga diri rendah, bantu keluarga untuk mengambil keputusan merawat
anggota keluarga yang mengalami harga diri rendah, bantu keluarga merawat
anggota keluarga yang mengalamiharag diri rendah, bantu keluarga memodifikasi
lingkungan yang mendukung untuk merawat anggota keluarga dan bantu keluarga
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

4.3.2.2 Terapi Spesialis


Rencana Tindakan Keperawatan Spesialis
Pemilihan terapi spesialis yang tepat dilakukan melalui analisa masalah pasien
serta kebutuhan yang harus dicapai berdasarkan pendekatan secara individu,
keluarga, maupun kelompok. Terapi spesialis yang dilakukan pada pasien dengan
harga diri rendah meliputi : Terapi individu: terapi kognitif, terapi perilaku
kognitif, Terapi keluarga : psikoedukasi keluarga.

4.4 Pelaksanaan Tindakan Keperawatan


Tindakan keperawatan yang diberikan berdasarkan pada rencana yang telah
ditetapkan meliputi tindakan keperawatan generalis dan tindakan spesialis yang
dilakukan oleh penulis bersama tim kesehatan di Ruang Antareja Rumah sakit Dr.
H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien
adalah tindakan generalis pasien harga diri rendah sedangkan tindakan spesialis
yang diberikan adalah terapi kognitif, terapi kognitif perilaku. Tindakan
keperawatan yang diberikan kepada keluarga adalah tindakan generalis dan terapi
psikoedukasi keluarga.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


83

4.4.1 Pelaksanaan Tindakan Keperawatan pada pasien Harga Diri Rendah


4.4.1.1.Tindakan Keperawatan Generalis
Tindakan keperawatan generalis dilakukan kepada 20 pasien harga diri rendah
bekerjasama dengan perawat yang bertugas di Ruang Antareja serta mahasiswa
yang sedang praktik klinik di ruangan baik DIII keperawatan maupun S1
keperawatan. Pelaksanaan tindakan generalis ini disesuaikan dengan perawat yang
bertanggung jawab terhadap pasien di Tim 1 dan Tim 2 yang sedang shif jaga.
Pemberian terapi generalis rata-rata dilakukan 4-5 kali pertemuan. Tindakan
keperawatan generalis yang diberikan adalah harga diri rendah.

Penatalaksanaan pada pasien dengan harga diri rendah meliputi pemberian


tindakan keperawatan berupa terapi generalis dan terapi spesialis. Tindakan
keperawatan yang diberikan pada pasien tidak hanya berfokus pada masalah harga
diri rendah namun juga mempertimbangkan diagnosa penyerta lainnya. Hal ini
dikarenakan tindakan yang dilakukan saling berkontribusi terhadap tujuan akhir
yang akan dicapai. pada tabel 4.8 berikut digambarkan terapi keperawatan pada
pasien dengan harga diri rendah.

Tabel 4.8
Distribusi Terapi Keperawatan Pasien Harga Diri Rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Februari-18 April 2014
(n=20)
No Terapi Keperawatan Jumlah Presentase
1 Terapi Generalis
a. Individu 20 100
 Identifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki
 Menilai kemampuan yang masih dapat digunakan
 Bantu pasien memilih kemampuan yang akan dilatih
 Melatih kemampuan yang dipilih
b. Keluarga
 Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam
merawat pasien.
 Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala, proses
terjadinya HDR, dan mengambil keputusan merawat
pasien.
9 45
 Mendiskusikan kemampuan atau aspek positif pasien
yang pernah dimiliki.
 Melatih keluarga cara merawat harga diri rendah dan
berikan pujian.
 Melatih keluarga memberi tanggung jawab kegiatan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


84

pertama yang dipilih serta membimbing keluarga


merawat harga diri rendah dan memberikan pujian
2 Terapi Spesialis
a. Terapi kognitif 10 50
 Identifikasi pikiran otomatis negatif
 Penggunaan tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif
 Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negatif
 Support System
b. Terapi perilaku kognitif 10 50
 Mengidentifikasi pikiran otomatis negatif
akibat serta akibat negatif pada perilaku
 Penggunaan tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif
 Memodifikasi perilaku negatif menjadi positif
dengan token
 Mengevaluasi perkembangan pikiran dan
perilaku positif
 Menjelaskan pentingnya psikofarmaka dan
terapi modalitas untuk mencegah kekambuhan
dan mempertahankan dan membudayakan
pikiran positif dan perilaku positif
c. Terapi psikoedukasi keluarga
9 45
 Mengidentifikasi masalah keluarga; dalam
merawat klien dan masalah care giver
 Perawatan klien oleh keluarga
 Management stress oleh keluarga
 Management beban keluarga
 Pemberdayaan komunitas membantu keluarga

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukkan bahwa pada pelaksanaan terapi generalis


tindakan keperawatan telah dilakukan pada semua pasien dengan harga diri
rendah sejumlah 20 pasien (100%). namun hanya 9 pasien (45%) yang
keluarganya dilakukan tindakan keperawatan generalis. Sedangkan untuk terapi
spesialis, sebagian pasien dilakukan terapi kognitif 10 pasien (50%) dan sebagian
pasien lagi dilakukan terapi perilaku kognitif 10 pasien (50%). Penjelasan tentang
tindakan keperawatan yang diberikan diuraikan sebagai berikut.

Tindakan keperawatan pada pertemuan pertama adalah mengidentifikasi


kemampuan dan aspek positif yang dimiliki, mampu menilai, memilih dan
melatih satu kegiatan yang dipilih sesuai dengan kemampuan pasien. Tindakan
kedua ini berhasil dilakukan dalam satu kali pertemuan pada 20 pasien (100%).
Tindakan keperawatan pertemuan ketiga adalah melatih satu kegiatan yang lain
pada pasien harga diri rendah. Setiap tindakan keperawatan yang sudah dilakukan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


85

selalu dilakukan pendokumentasian tindakan keperawatan pada format


dokumentasi pasien yang sudah tersedia. Hasil yang dicapai pada pertemuan
ketiga secara keseluruhan pasien (100%) mampu mendemonstrasikan kembali
kemampuan yang telah dilatih serta secara mendiri memilih satu kegiatan lagi
untuk dilatih. Karena ada beberapa pasien tidak langsung mampu ketika dilatih
maka harus diulangi lagi untuk pelaksanaan tindakan keperawatan sesuai dengan
kondisi pasien.

4.4.1.2. Tindakan Keperawatan Spesialis


Terapi kognitif
Tindakan keperawatan spesialis yang dilakukan untuk pasien adalah pemberian
terapi kognitif. Terapi kognitif diberikan dengan dimodifikasi sesuai kondisi dan
kemampuan pasien harga diri rendah. Pasien yang diberikan terapi kognitif
sebanyak 10 pasien. Pelaksanaan terapi kognitif dilakukan secara individu setiap
pasien dan dilakukan sendiri oleh penulis. Pemberian terapi dilakukan masing-
masing 6 kali pertemuan. Proses pelaksanaan terapi kognitif terdiri dari empat sesi
pertemuan, namun beberapa kali memerlukan pertemuan ulang, sehingga rata-rata
dilakukan sebanyak enam kali pertemuan.

Terapi kognitif diberikan kepada 10 orang pasien (50%). Selama proses


pelaksanaan terapi sebagian besar pasien mampu mengikuti latihan dengan baik
dan mampu menyelesaikan sesi-sesi terapi yang telah diprogramkan.
Tabel 4.9
Pelaksanaan Terapi Kognitif Pasien Harga Diri rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Pebruari – 18 April 2014
(n = 10 orang)

No Sesi Terapi Jumlah Presentase


1 Sesi 1 : Identifikasi pikiran otomatis negatif 10 100
2 Sesi 2 : Penggunaan tanggapan rasional terhadap 10 100
pikiran otomatis negatif
3 Sesi 3 : Manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran 10 100
otomatis negatif
4 Sesi 4 : Support system 10 100

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


86

Berdasarkan tabel 4.9. sejumlah 10 orang pasien (100%) mengikuti pertemuan


dan tidak ada pasien yang drop out dari pelaksanaan terapi ini. Namun terdapat 1
orang pasien (10%) yang mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi pikiran
rasional untuk melawan pikiran negatif karena pasien ini merasa dirinya telah
dibuang oleh keluarga sehingga hal positif apapun yang dilakukan tidak akan
berarti apa-apa namun sebagian besar pasien yang dilakukan terapi kognitif telah
memiliki kemampuan untuk melawan pikirannya terkait dengan program
pengobatan dan pikiran negatif lain yang terkait.

Terapi Perilaku kognitif


Terapi perilaku kognitif diberikan pada 10 orang pasien (50%) dengan frekuensi
interaksi rata-rata 5-6 kali pertemuan. Terapi ini diberikan pada pasien harga diri
rendah yang menunjukkan perilaku maladaptif berupa sikap kritik akan diri
sendiri, merendahkan diri sendiri, perasaan bersalah, ketakutan, menolak
keberadaan diri, menjauh dari orang lain, menolak kenyataan, merusak diri,
muncul gejala fisik seperti psikosomatik, kekerasan, penggunaan zat terlarang,
minum beralkohol, atau makan berlebihan, tidak mampu mengambil keputusan.
Tujuan pelaksanaan terapi ini adalah merubah pikiran maupun perilaku negatif
yang ada pada diri pasien untuk dirubah menjadi hal positif yang bersifat adaptif
sehingga mereka teratur dalam program pengobatan dan perawatannya.

Tabel 4.10 menunjukkan bahwa pelaksanaan terapi perilaku kognitif terbanyak


dilakukan sejumlah 6 kali pertemuan yakni 10 orang pasien (50%). Pada
pelaksanaan terapi ini pasien mampu mengikuti sesi-sesi terapi yang telah
diprogramkan dan tidak ada drop out.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


87

Tabel 4.10
Pelaksanaan Terapi Perilaku Kognitif pasien Harga Diri Rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Pebruari – 18 April 2014
(n = 10 orang)
No Sesi Terapi Jumlah Prosentase
1 Sesi 1: Mengidentifikasi pikiran otomatis negatif 10 100
Akibat serta akibat negatif terhadap perilaku

2 Sesi 2: Penggunaan tanggapan rasional terhadap


10 100
pikiran otomatis negatif

3 Sesi 3: Memodifikasi perilaku negatif menjadi 10 100


positif dengan token

4 Sesi 4: Mengevaluasi perkembangan pikiran dan


perilaku positif 10 100

5 Sesi 5: Menjelaskan pentingnya 10 100


psikofarmaka dan terapi
modalitas lainnya untuk mencegah kekambuhan
dan mempertahankan dan membudayakan pikiran
positif dan perilaku positif

Terapi Psikoedukasi Keluarga


Psikoedukasi keluarga diberikan pada 9 orang keluarga pasien (45%) dengan
frekuensi pertemuan rata-rata sebanyak 1-2 kali pertemuan dengan
menggabungkan beberapa sesi, misalnya menggabungkan sesi 1-3 dan sesi 4-5.
Pelaksanaan terapi ini terdiri dari 5 sesi namun untuk mengefektifkan
pelaksanaannya maka sesi-sesi tersebut digabungkan dengan mempertimbangkan
kemampuan keluarga dalam mengikuti kegiatan terapi psikoedukasi keluarga ini.
Hal ini dilakukan untuk memudahkan keluargadan meminimalisasi tidak
tuntasnya pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga, mengingat beberapa keluarga
yang mempunyai jarak yang jauh antara rumah dengan rumah sakit dan
kemampuan ekonomi keluarga untuk biaya pulang-pergi. Pelaksanaan terapi
psikoedukasi keluarga dilakukan pada saat pertama kali bertemu dengan keluarga,
dimana terapis mengkaji terlebih dahulu masalah-masalah yang dihadapi keluarga
terkait dengan anggota keluargayang mengalami gangguan jiwa.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


88

Tabel 4.11
Pelaksanaan Terapi Psikoedukasi Keluarga Pasien Harga Diri Rendah
di Ruang Antareja Periode 17 Pebruari – 18 April 2014
(n = 9 orang)
No Sesi Terapi Jumlah Prosentase
1 Sesi 1: Pengkajian masalah yang dialami oleh 9 100
keluarga

2 Sesi 2: Manajemen pengetahuan keluarga terkait 9 100


dengan programpengobatan, cara merawat

3 Sesi 3: Manajemen Stres Keluarga terkait dengan 9 100


masalah yang dialami keluarga

4 Sesi 4: Manajemen Beban Keluarga terkait dengan 9 100


beban keluarga yang dialami dalam memberikan
perawatan anggota keluarga

5 Sesi 5: Pemberdayaan Komunitas Membantu 9 100


Keluarga

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa pelaksanaan terapi psikoedukasi pada keluarga


telah mampu diselesaikan 9 orang (100%). Pelaksanaan terapi dengan
memodifikasi teknis pelaksanaan terapi psikoedukasi keluarga ini yaitu
menggabungkan semua sesi yang dilaksanakan secara bersamaan, namun hal ini
tidak semua keluarga dilakukan penggabungan pada satu kali pertemuan.
Pertemuan dilakukan sebanyak 1 – 2 kali pertemuan setiap keluarga pasien.
Penggabungan dari kelima sesi tersebut dilakukan dengan memperhatikan
kemungkinan keluarga untuk droup out dalam terapi karena kesibukan dan
kesulitan membuat janji dengan keluarga dan kemampuan dari keluarga untuk
menerima informasi dan ada keluarga yang droup out.

Keluarga pasien menunjukkan peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang


penyakit dan perawatan anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
setelah mendapat terapi psikoedukasi keluarga. Hal ini berdampak juga pada
perkembangan kondisi pasien, dimana perawatan pasien terpantau dan pasien
mendapatkan dukungan yang adekuat dari keluarganya sebagai care giver pasien.
Selain itu keluarga dapat mengenali support system masyarakat juga membantu
pemulihan pasien khususnya dalam memandirikan pasien dengan masalah harga
diri rendah.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


89

4.5 Evaluasi Hasil


Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien
menggunakan beberapa indikator, yakni tanda dan gejala yang berkurang serta
kemampuan yang dimiliki oleh pasien dan keluarga. Tabel 4.12 di bawah ini
menunjukkan lama hari rawat pasien dengan harga diri rendah (data yang
ditampilkan hanya terhadap pasien yang sudah pulang saat penulis praktik (13
orang) sedangkan sejumlah 7 orang lagi masih dirawat dan hari rawat belum
mencapai 21 hari)

4.5.1 Kemampuan Pasien Harga Diri Rendah dan Keluarga Sebelum dan
Sesudah diberikan Tindakan Keperawatan
Kemampuan pasien dengan harga diri rendah diukur dengan membandingkan
antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan keperawatan seperti yang terinci
pada tabel 4.12

Berdasarkan tabel 4.12 menunjukkan bahwa pasien harga diri rendah yang
mendapat kombinasi tindakan generalis dan terapi kognitif mengalami
peningkatan kemampuan antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan
keperawatan. Selisih antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan keperawatan
menunjukkan keberhasilan. Rerata kemampuan pasien sebelum diberikan
tindakan keperawatan adalah 0,9 sedangkan setelah mendapat tindakan
keperawatan menjadi 6,6 berarti terjadi kenaikan sejumlah 5,7 Dengan demikian
terapi generalis dan terapi kognitif sangat tepat diterapkan pada pasien dengan
masalah harga diri rendah.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


90

Tabel 4.12
Evaluasi Kemampuan Pasien dan Keluarga dengan anggota keluarga harga
diri rendah Pre-Post Tindakan Keperawata di Ruang Antareja
Periode 17 Februari – 18 April 2014
No Kemampuan Pasien Tindakan generalis Tindakan generalis (+)
(+) terapi kognitif Terapi kognitif (+) FPE
(n=6) (n=4)
Pre Post Selisih Pre Post Selisih
1 Kemampuan pasien
a. Mampu mengidentifikasi 0 1 1 0 1 1
kemampuan dan aspek
positif yang dimiliki
b. Mampu memilih kegiatan 0 0,8 0,8 0 1 1
yang dapat dilakukan
c. Mampu untuk melakukan 0 0,8 0,8 0 0,75 0,75
kegiatan yang dipilih
d. Mampu mengidentifikasi 0,2 1 0,8 0 1 1
pikiran otomatis negatif
e. Mampu menggunakan 0,2 1 0,8 0 1 1
tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis
negatif
f. Mampu mengidentifikasi 0,3 1 0,7 0 1 1
manfaat tanggapan rasional
terhadap pikiran otomatis
negatif
g. Mampu memanfaatkan 0,2 1 0,8 0,5 1 0,5
support system
Rerata kemampuan 0,9 6,6 5,7 0,5 6,75 6,25
pasien
2 Keyakinan positif
a. Tidak yakin akan sembuh 0 1 1 0 1 1
b. Tidak yakin terhadap 0 1 1 0 1 1
pelayanan kesehatan
Rerata keyakinan (+) 0 2 2 0 2 2
3 Kemampuan Keluarga
a. Keluarga mengenal 0 1 1
masalah
b. Keluarga mampu 0 1 1
memutuskan
c. Keluarga mampu merawat 0 1 1
pasien
d. Keluarga mampu 0 1 1
modifikasi
e. Keluarga mampu 0 1 1
memanfaatkan pelayanan
kesehatan
f. Keluarga mampu 0 0,5 0,75
manajemen stres
g. Keluarga mampu
manajemen beban 0 0,5 0,75
Rerata kemampuan keluarga 0 6 6,5

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


91

Berdasarkan tabel 4.12 dapat diketahui juga efek dari pemberian terapi generalis,
terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga. Setelah diberikan tindakan terapi
generalis ditambah terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga menunjukkan
kenaikan skor rata-rata kemampuan pasien. rerata kemampuan pasien sebelum
dilakukan tindakan keperawatan adalah 0,5 dan setelah dilakukan tindakan
keperawatan adalah 6,75 dengan kenaikan skor adalah 6,25. Dengan demikian
maka terapi generalis ditambah dengan terapi kognitif dan terapi psikoedukasi
keluarga lebih efektif untuk mengatasi masalah harga diri rendah pada pasien
yang dirawat di Ruang Antareja RSMM.

Berdasarkan tabel 4.12 juga dapat dilihat kemampuan keluarga setelah diberikan
terapi psikoedukasi keluarga. Rerata kemampuan keluarga sebelum dilakukan
tindakan keperawatan adalah 0 dan setelah dilakukan tindakan keperawatan
adalah 0,5 dengan kenaikan skor adalah 6,5. Berdasarkan hasil tersebut maka
terapi psikoedukasi keluarga sangat bermanfaat diterapkan pada keluarga dengan
anggota keluarga yang mempunyai masalah harga diri rendah.

Berdasarkan tabel 4.13 menunjukkan bahwa pasien harga diri rendah yang
mendapat kombinasi tindakan generalis dan terapi perilaku kognitif (CBT)
mengalami peningkatan kemampuan antara sebelum dan sesudah diberikan
tindakan keperawatan. Selisih antara sebelum dan sesudah diberikan tindakan
keperawatan menunjukkan keberhasilan. Sehingga rerata skor sebelum terapi
diberikan adalah 0,7 dan setelah terapi diberikan adalah 4,6 berarti terdapat
kenaikan skor yaitu sejumlah 4 setelah dilakukan tindakan keperawatan.

Berdasarkan tabel 4.13 dapat diketahui juga perubahan kemampuan pasien


sebelum diberikan terapi generalis, terapi perilaku kognitif dan Psikoedukasi
keluarga dengan setelah diberikan terapi generalis perilaku kognitif dan
Psikoedukasi keluarga. Rerata kenaikan skor setelah dilakukan terapi adalah 6,2.
Dengan demikian terapi generalis, terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi
keluarga lebih efektif diterapkan dalam meningkatkan kemampuan pasien harga
diri rendah.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


92

Tabel 4.13
Evaluasi Kemampuan Pasien dan Keluarga Pre-Post Tindakan Keperawatan
Pasien Harga diri rendah dan Keluarga di Ruang Antareja Periode
17 Februari – 18 April 2014

No Kemampuan Pasien Tindakan generalis (+) terapi Tindakan generalis


perilaku kognitif (n=5) (+) terapi perilaku
kognitif (+) FPE
(n=5)
Pre Post Selisih Pre Post Selisih
1 Kemampuan pasien
a. Mampu Mengungkapkan 0 1 1 0 1 1
pikiran otomatis negatif
serta akibat negatif pada
perilaku

b. Mampu penggunaan 0,2 0,8 0,8 0 0,8 0,8


tanggapan rasional terhadap
pikiran negatif

c. Mampu memodifikasi 0,1 0,8 0,6 0 0,8 0,8


perilaku negatif menjadi
positif dengan token

d. Mampu Mengevaluasi 0,2 1 0,8 0,2 1 0,8


perkembangan pikiran dan
perilaku positif

e. Mampu Menjelaskan 0,2 1 0,8 0,2 1 0,8


pentingnya
psikofarmaka dan terapi
modalitas lainnya

Rerata kemampuan pasien 0,7 4,6 4 0,4 4,6 4,2


2 Keyakinan positif
a. Tidak yakin akan sembuh 0 1 1 0 1 1
b. Tidak yakin terhadap 0 1 1 0 1 1
pelayanan kesehatan

3 Kemampuan Keluarga
a. Keluarga mengenal 0 1 1
masalah
b. Keluarga mampu 0 1 1
memutuskan
c. Keluarga mampu merawat 0 1 1
pasien
d. Keluarga mampu 0 0,8 0,8
modifikasi
e. Keluarga mampu 0 0,8 0,8
memanfaatkan pelayanan
kesehatan
f. Keluarga mampu 0,2 1 0,8
manajemen stres
g. Keluarga mampu
manajemen beban 0,2 1 0,8
Rerata kemampuan –keluarga 0,4 6,6 6,2

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


93

Berdasarkan tabel 4.14 dapat diketahui juga kemampuan keluarga setelah


mendapat psikoedukasi keluarga. Sebelum diberikan terapi kemampuan keluarga
dalam mengenal masalah keluarga, memutuskan dan kemampuan merawat pasien
adalah 0 setelah diberikan terapi kemampuan keluarga adalah 1. Sebelum
diberikan terapi kemampuan keluarga untuk memodifikasi lingkungan dan
memanfaatkan pelayanan kesehatan adalah 0 setelah diberikan terapi adalah 0,8
Kemampuan keluarga dalam manajeman stres dan manajemen beban sebelum
dilakukan terapi adalah 0,2 setelah diberikan terapi adalah 1. Berdasarkan uraian
tersebut dapat dilihat perubahan kemampuan keluarga setelah diberikan terapi
psikoedukasi keluarga yaitu rerata peningkatan skor adalah 5.8 Dengan demikian
pemberian terapi psikoedukasi keluarga sangat bermanfaat dalam peningkatan
kemampuan keluarga dengan anggota keluarga yang mempunyai masalah harga
diri rendah.

4.5.2 Perubahan Tanda dan Gejala Pada Pasien Harga Diri Rendah
Perubahan tanda dan gejala pasien harga diri rendah dilihat pada respon pasien
terhadap stresor yang diukur dan dibandingkan antara sebelum dan setelah
mendapatkan tindakan keperawatan, meliputi respon kognitif, afektif, fisiologis,
perilaku dan sosial yang dapat dilihat pada tabel 4.14

Evaluasi tanda dan gejala (respon) yang penulis masukkan ke dalam karya ilmiah
akhir ini sumber data berasal dari hasil scanning asuhan keperawatan dan catatan
perkembangan pasien selama penulis melaksanakan residensi 3 di Ruang Antareja
Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


94

Tabel 4.14
Evaluasi Tanda dan Gejala Pasien Harga Diri Rendah Pre-Post
Tindakan Keperawatan di Ruang Antareja Periode 17 Febr – 18 April 2014
yang mendapat Terapi Generalis, Terapi Cognitif dan FPE

1 Penilaian terhadap Stresor Tindakan Generalis (+) Tindakan Generalis (+)


Terapi Terapi kognitif (+) FPE
kognitif (n=6) FPE (n=4)
Respon Kognitif Pre Post Selisih Pre Post Selisih
a. Berpikir tidak berguna 1 0,3 0,7 1 0,25 0.75
b. Sulit konsentrasi 0,8 0,1 0,7 1 0 1
c. Tidak mempunyai 0,6 0,1 0,5 1 0,25 0,75
kemampuan
d. Hubungan tak berarti 0,5 0,2 0,3 0,75 0,25 0,5
dengan orang lain
Rata-rata kognitif 2,9 0,7 2,2 3,75 0,75 3
2 Respon afektif
a. Sedih 1 0,3 0,7 1 0 1
b. Murung 0,8 0,2 0,6 0,5 0 0,5
c. Kecewa 1 0,3 0,7 1 0,5 0,5

d. Malu 0,5 0,3 0,2 1 0,5 0,5


Rata-rata afektif 3,3 1,1 2,2 3,5 0,5 2.50
3 Respon fisiologis

a. Gangguan pola tidur 1 0,5 0,5 1 0 1


b. Gangguan pola makan 0,4 0,2 0,2 1 0 1
c. Keluhan fisik 0,4 0,2 0,2 1 0 1

Rata-rata fisiologis 1,8 0,9 0,9 3 0 3


4 Respon perilaku
a. Mengkritik diri 1 0,2 0,8 1 0 1
b. Merusak diri 0,2 0,1 0,1 0,25 0 0,25
c. Motivasi menurun 0,8 0,2 0,6 0,5 0 0,5
Rata-rata perilaku 2 0,5 1.5 1,75 0 1,75

5 Respon Sosial
a. Hubungan dengan 0,5 0,2 0,3 0,5 0,25 0,25
orang lain buruk
b. Aktivitas terbatas 0,5 0,2 0,3 0,25 0 0,25
c. Menghindari interaksi 0,2 0,1 0,1 0,25 0 0,25
Rata-rata Sosial 1,2 0,5 0,7 1 0,25 0,75

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


95

Berdasarkan tabel 4.14 di atas dapat dibandingkan tentang penilaian tanda dan
gejala melalui respon pasien harga diri rendah terhadap stresor sebelum dan
sesudah diberikan kombinasi tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan
terapi psikoedukasi keluarga. Berdasarkan respon pasien terhadap stresor, secara
umum pasien mengalami penurunan respon terhadap stresor yang artinya terdapat
penurunan tanda dan gejala gejala/respon yang menunjukkan adanya harga diri
rendah pada pasien dengan membandingkan respon pasien saat pre-post diberikan
tindakan keperawatan.

Evaluasi hasil tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif menunjukkan


respon yang belum semuanya tuntas. Beberapa pasien masih menunjukkan
perubahan pada respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku,
dan respon sosial. Artinya pasien dengan pemberian tindakan keperawatan
generalis dan terapi kognitif secara efektif dapat menurunkan tanda dan gejala
pada pasien harga diri rendah yang ditunjukkan melalui penurunan respon
penilaian terhadap stresor pada respon kognitif, afektif dan perilaku serta
meningkatkan kemampuan pasien.

Penuruan tanda dan gejala setelah mendapat tindakan terapi generalis dan terapi
kognitif yang menunjukkan perubahan besar adalah pada aspek kognitif dan
afektif yaitu rata-rata selisih 1,1 selisih. Sebelum diberikan terapi generalis dan
terapi kognitif didapatkan rata-rata respon kognitif harga diri rendah skor 2,9.
Demikian juga untuk respon afektif dari skor 3,3 respon afektif pasien harga diri
rendah maka setelah pemberian terapi generalis dan terapi kognitif terjadi
penurunan skor menjadi 2,2 pada respon afektif skor 1,1. Pada respon fisiologis
terjadi selisih skor 0,9. Respon fisiologis pasien harga diri rendah dan pada
respon perilaku terjadi perubahan atau skor menjadi 0,5. Pada respon sosial
terjadi perubahan skor menjadi 0,5

Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi
kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan respon kognitif berfikir tidak berguna, sulit

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


96

konsentrasi, dan tidak mempunyai kemampuan skor rata-rata adalah 3,75 dan
setelah diberikan tindakan terjadi penurunan dari respon kognitif menjadi 0,75.

Evaluasi dari pemberian terapi kognitif, dan psikoedukasi keluarga menunjukkan


banyak perubahan terutama pada aspek kognitif terjadi perubahan skor hingga
menjadi 3 demikian juga untuk aspek fisiologis. Perubahan berikutnya terjadi
pada aspek afektif hingga mencapai skor 2,50. Selanjutnya pada aspek perilaku
mencapai skor 1,75 dan aspek soaial mencapai skor 0,75. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian terapi kognitif dan pasikoedukasi keluarga sangat bermanfaat
pada pasien dengan harga diri rendah.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


97

Tabel 4.15
Evaluasi Tanda dan Gejala Pasien Harga Diri Rendah Pre-Post
Tindakan Keperawatan di Ruang Antareja Periode 17 Febr – 18 April 2014
yang mendapat terapi Generalis, Terapi Perilaku kognitif dan FPE

No Penilaian terhadap Tindakan generalis (+) Tindakan generalis (+) Terapi Kognitif
stresor Terapi (+) FPE (n=5)
perilaku kognitif(n=5)
Pre Post Selisih Pre Post Selisih
1 Respon Kognitif
a. Merasa tidak 1 0,1 0,9 1 0 1
berguna
b. Sulit konsentrasi 0,8 0,1 0,9 0,8 0,25 0,55
c. Tidak mempunyai 0,6 0,1 0,5 0,75 0,25 0,5
kemampuan
d. Hubungan tak 2,4 0,2 0,4 0,6 0 0,6
berarti dengan orang
Rata-rata kognitif 3 0,5 2,7 3,15 0,5 2,65
2 Respon afektif
a. Sedih 1 0,25 0,75 1 0,3 0,7
b. Murung 0,6 0,25 0,35 0,8 0,2 0,6
c. Kecewa 0,6 0,25 0,35 0,8 0,3 0,5
d. Malu 0,6 0,35 0,35 0,6 0 0,6
2,8 1,1 1,8 3,2 0,8 2,4
3 Respon fisiologis
a. Gangguan pola tidur 1 0,3 0,7 1 0 1
b. Gangguan pola 0,4 0,2 0,2 1 0 1
makan
c. Keluhan fisik 0,1 0 0,1 0,25 0 0,25
Rata-rata Fisiologis 1,5 0,5 1 2,25 0 2,25
4 Respon perilaku
a. Mengkritik diri 1 0,2 0,8 1 0 1
b. Merusak diri 0,25 0,1 0,1 0,25 0 0,25
c. Motivasi 1 0,2 0,8 1 0 0,5
menurun
Rata-rata respon 2,25 0,5 1,7 1,75 0 2,75
perilaku
5 Respon Sosial
a. Hubungan dengan 0,3 0,1 0,2 0,5 0,25 0,25
orang lain buruk
b. Aktivitas terbatas 0,3 0,1 0,2 0,25 0,25 0
c. Menghindari 0,2 0,1 0,1 0,25 0 0,25
interaksi
Rata-rata Respon sosial 0,8 0,3 0,5 1 0,5 0,5

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


98

Berdasarkan tabel 4.15 di atas dapat diketahui bahwa pasien harga diri rendah
yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan terapi perilaku kognitif,
sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan respon kognitif skor 3,
dan setelah mendapat terapi generalis dan terapi perilaku kognitif skor menjadi
0,5. Respon afektif sebelum diberikan tindakan keperawatan 2,8 setelah diberikan
tindakan keperawatan 1,1. Respon fisiologis sebelum diberikan tindakan
keperawatan 1,5 dan setelah diberikan tindakan keperawatan 0,5. Respon perilaku
sebelum diberikan tindakan keperawatan skor 2,25 dan setelah diberikan tindakan
keperawatan 0,5. Respon sosial sebelum diberikan tindakan keperawatan 0,8 dan
setelah diberikan tindakan keperawatan 0,3. Selisih penurunan tanda dan gejala
yang tertinggi adalah pada respon kognitif mencapai 2,7.

Tabel 4.15 juga menunjukkan tanda dan gejala yang masih ada setelah terapi
generalis dan terapi perilaku diberikan yaitu pada aspek kognitif: merasa tidak
berguna 0,1, sulit konsentrasi 0,1, tidak mempunyai kemampuan 0,1, hubungan
tidak berarti dengan orang lain 0,2; respon afektif sedih, murung dan kecewa 0,25,
malu 0,35. Pada respon fisiologis gangguan tidur 0,3, gangguan pola makan 0,2.
Respon perilaku mengkritik diri 0,2, merusak diri 0,1, motivasi menurun 0,2.
Respon sosial hubungan dengan orang lain buruk 0,1, aktivitas terbatas 0,1 dan
menghindar interaksi 0,1.

Berdasarkan tabel 4.15 diketahui juga perubahan respon yang terbesar terjadi pada
aspek perilaku skor 2,25, diikuti respon kognitif 2, berikutnya adalah respon
afektif skor 1,8, berikut adalah respon fisiologis skor 1 dan respon sosial 0,5
Dengan demikian dapat dilihat bahwa terapi kognitif perilaku tepat diberikan pada
pasien harga diri rendah karena dapat membawa perubahan respon perilaku.

Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi
kognitif Perilaku dan terapi psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan rata-rata respon kognitif sebelum dilakukan tindakan
keperawatan adalah 3,15 dan setelah mendapat tindakan keperawatan adalah 0,5,

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


99

pada respon afektif sebelum intervensi 3,2 dan setelah intervensi 0,8. Respon
fisiologis sebelum untervensi 2,25 dan setelah intervensi 0. Pada respon perilaku
sebelum intervensi 1,75 dan setelah intervensi adalah 0, dan pada respon sosial
sebelum intervensi keperawatan adalah 1 dan setelah intervensi menunjukkan data
0,5. Dengan demikian dapat dilihat bahwa perubahan yang tertinggi terdapat pada
respon perilaku (selisih 2,75), dilanjutkan dengan respon afektif (selisih 2,4),
respon fisiologis (selisih 2,25) dan respon sosial (selisih 0,5)

Evaluasi hasil tindakan keperawatan generalis, terapi perilaku kognitif dan terapi
psikoedukasi keluarga juga menunjukkan respon yang belum semuanya tuntas.
Pada respon kognitif kurang konsentrasi dan mersa tidak mempunyai kemampuan
0,25, pada respon afektif merasa sedih dan 0,3 murung 0,2 pada respon sosial
hubungan dengan orang lain buruk dan aktivitas terbatas 0,25 Artinya pada
kelompok pasien yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi perilaku
kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil yang lebih efektif
untuk terjadi penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan baik
pasien maupun keluarga.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


100

BAB 5
PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pembahasan manajemen kasus spesialis berupa asuhan
keperawatan pada pasien harga diri rendah di Ruang Antareja RS. Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor, manajemen pelayanan yang menunjang pelaksanaan
asuhan keperawatan tersebut, serta keterbatasan yang ditemukan selama proses
pelaksanaan asuhan keperawatan. Pembahasan manajemen kasus spesialis
meliputi hasil pengkajian pasien harga diri rendah secara detail dan efektifitas
manajemen asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah yang diberikan
terapi kognitif, terapi perilaku kognitif, dan terapi psikoedukasi keluarga
menggunakan pendekatan Theory Stress Adaptation Model oleh Stuart dan
Theory of Human Caring oleh Watson.

Aplikasi tindakan keperawatan pada tahap input, process dan output


menggunakan pendekatan model Stress Adaptation oleh Stuart, 2013. Model ini
menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk utuh. Stuart memandang
manusia sebagai sistem yang dapat beradaptasi terhadap setiap perubahan dalam
hidupnya. Pengkajian yang dilakukan melihat pada model ini baik dari faktor
predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan
mekanisme koping hingga dapat disimpulkan masalah apa saja yang dapat terjadi
jika individu dihadapkan dengan stresor. Pendekatan lainnya adalah
menggunakan Theory of Human Caring Jean Watson baik pada input, process
maupun output. Pembahasan efektifitas manajemen asuhan keperawatan pada
pasien harga diri rendah yang diberikan terapi kognitif, terapi perilaku kognitif,
dan terapi psikoedukasi keluarga secara terintegrasi meliputi seluruh aspek proses
keperawatan dari pengkajian secara umum hingga evaluasi keperawatan.
Perilaku caring digunakan oleh Penulis saat mulai interaksi dengan pasien,
melakukan pengkajian, penegakan diagnosis, perencanaan tindakan, pelaksanaan
tindakan keperawatan baik generalis maupun spesialis dan evaluasi tindakan
keperawatan.

Universitas Indonesia
100
Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014
0
101

Pembahasan tentang manajemen pelayanan Model Praktik Keperawatan


Profesional (MPKP) yang menunjang pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan
juga meliputi pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi secara
terintegrasi.

5.1 Pengkajian
5.1.1 Karakteristik Pasien Harga Diri Rendah di Ruang Antareja
Hasil pengkajian karakteristik pasien dengan masalah harga diri rendah terdiri dari
usia, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, pendidikan, lama sakit, dan
frekuensi rawat.
5.1.1.1 Usia Pasien
Pasien dengan harga diri rendah yang dirawat di Ruang Antareja sebagian besar
berada dalam rentang usia 21 – 41 tahun atau pada masa dewasa yaitu 13 orang
(65%). Usia merupakan aspek sosial budaya terjadinya gangguan jiwa dengan
risiko frekuensi tertinggi mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia dewasa
(Stuart, 2009). Umur merupakan salah satu faktor penentu kematangan seseorang
namun hal ini tidak dapat berlaku secara umum karena beberapa orang muda
secara umur namun telah matang dalam pola pikirnya. Menurut Susihar (2011)
mengungkapkan bahwa semakin bertambah umur sesorang maka kepuasan
seseorang juga akan meningkat. Namun hal ini dibantah oleh Anjaswarni (2002)
yang mengatakan bahwa semakin bertambah usia maka semakin bertambah tinggi
pula tuntutan kebutuhan akan “caring” sehingga kemungkinan akan sulit untuk
terpenuhi.

Tahap perkembangan usia dewasa awal individu meningkatkan hubungan dengan


yang khusus dengan lawan jenis. Usia dewasa awal merupakan masa produktif
dimana pasien memiliki tuntutan aktualisasi diri baik dari diri sendiri, keluarga,
maupun lingkungan, harus mencapai integritas diri, ketika kondisi ini tidak
tercapai, seseorang akan mudah mengalami frustasi dan putus asa dalam
menghadapi segala permasalahan hidup yang semakin kompleks. Aktualisasi diri
dapat dicapai dengan terlebih dulu mencapai harga diri yang positif (Maslow,
1970 dalam Townsend, 2009). Individu yang merasa gagal, merasa tidak

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


102

berguna, ditambah lagi adanya stresor lain seperti gagal menemukan pasangan
akan membawa dampak kepada pasien. Perasaan malu untuk bersosialisasi
merupakan akibat dari ketidakmampuan pasien dalam mencapai aktualisasi diri.
Tugas perkembangan yang tidak dapat diselesaikan dengan baik dapat menjadi
stresor untuk perkembangan berikutnya dan jika stresor tersebut menumpuk
sangat berisiko mengalami gangguan jiwa. Kondisi tersebut akan menyebabkan
individu merasa rendah diri dan apabila berlangsung lama akan menjadi harga diri
rendah kronis.

Usia mempengaruhi kemampuan kognitif dan kemampuan seseorang (Edelman &


Manie 1994, dalam Potter, 2005). Usia berhubungan dengan pengalaman
seseorang dalam menghadapi berbagai macam stresor, kemampuan memanfaatkan
sumber dukungan dan keterampilan dalam mekanisme koping (Stuart & Laraia,
2005). Pasien pada usia dewasa sudah mampu untuk memilih serta mengambil
keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan dan dapat melakukan
tindakan yang dapat memperbaiki kondisi dirinya. Pada usia dewasa sudah
mampu berfikir lebih rasional untuk mencari pelayanan kesehatan yang lebih
dekat dan cepat sehingga tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit.

Pemberian asuhan keperawatan oleh perawat untuk mencapai perilaku ”caring”


dapat mempertimbangkan faktor usia dari pasiennya. Sehingga perawat dapat
berkomunikasi sesuai dengan tingkatan usia pasiennya, dan akan berdampak
terhadap pasien berupa kenyamanan, rasa diharga, dan diterima. Seperti telah
disebutkan di atas bahwa harga diri rendah banyak ditemukan pada pasien diakhir
usia remaja, maka perilaku “caring” sangat dibutuhkan dalam asuhan yang
diberikan. Karena menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Stiger, Allemand,
Robin dan Fend (2014) menunjukkan bahwa individu yang memasuki masa
remaja dengan harga diri rendah atau harga diri yang semakin menurun di usia
remaja lebih mungkin untuk menunjukkan gejala depresi yang diawali dengan
penilaian negatif terhadap diri pada 2 dekade berikutnya sebagai orang dewasa,
untuk itu pentingnya memperhatikan pengembangan diri remaja demi kesehatan
jiwa di usia dewasa.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


103

5.1.1.2 Status Pernikahan


Pasien harga diri rendah yang dirawat oleh penulis sebagian besar belum menikah
yaitu sejumlah 12 pasien (60%). Status duda 2 orang (10%). Status perkawinan
bisa merupakan faktor pendukung dan penghambat pasien dengan masalah harga
diri rendah. Status pernikahan merupakan salah satu faktor sosial budaya sebagai
faktor predisposisi terjadinya gangguan jiwa pada seseorang. Banyak masalah
perkawinan dapat menjadi sumber stres bagi seseorang dan merupakan salah satu
penyebab umum gangguan jiwa (Hawari, 2001). Masalah umum yang sering
terjadi dalam suatu perkawinan adalah pertengkaran, ketidaksetiaan, kematian
salah satu pasangan, perceraian yang jika tidak dapat diatasi menjadi sumber stres
penyebab gangguan jiwa pada seseorang. Salah satu faktor pendukung terjadinya
gangguan konsep diri pada pasien adalah karena gagalnya menjalankan fungsi dan
peran (Stuart, 2013). Pendapat lain mengatakan bahwa kombinasi antara penyakit
fisik yang dimiliki oleh pasien dan status pernikahannya merupakan suatu
kejadian yang menyebabkan stres (Fontaine, 2009)

Bagi seseorang yang telah melangsungkan pernikahan akan dihadapkan pada


beberapa stresor, stresor yang dialami tidak terlepas dari fungsi keluarga yang
akan dijalani. Individu yang sebelumnya tidak dihadapkan pada tanggung jawab
yang besar setelah berkeluarga akan menjalani semua tanggung jawab tersebut.
Adapun fungsi keluarga tersebut adalah seperti yang dikemukakan Friedman,
(2010) yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi,
serta fungsi memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggota keluarga.
Fungsi keluarga yang dapat dipenuhi dengan baik oleh anggota keluarga akan
membentuk kepercayaan diri anggota keluarga. Sebaliknya ketidakmampuan
dalam memenuhi fungsi keluarga dapat menyebabkan seseorang mengalami
penurunan minat, kurang motivasi dan bahkan tidak mampu menjalani interaksi
dengan orang lain. Hal tersebut terdapat pada individu dengan harga diri rndah.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


104

Sebagai contoh ketidakmampuan dalam menjalani fungsi keluarga juga terdapat


pada pasien yang penulis rawat yaitu 2 orang pasien (10%) yang telah
menyandang status duda. Menurut salah seorang pasien masalah kesehatan jiwa
yang dialami pasien telah mengharuskan pasien mengkonsumsi obat-obat anti
psikotik dalam jangka waktu yang lama. Salah satu gejala dari efek penggunaan
obat anti psikotik yang sangat dirasakan pasien adalah terjadinya masalah
gangguan fungsi seksual pada pasien, dimana pasien mengalami penurunan fungsi
ereksi (pasien menyebutnya impotensi). Karena kondisi tersebut pasien merasa
dirinya kurang berguna bagi pasangannya sehingga pasien menggunakan koping
yang maladaptif dalam menyelesaikan masalahnya yaitu perilaku kekerasan dan
penggunaan NAPZA. Strategi koping yang salah telah membuat pasien tidak
mampu memenuhi salah satu fungsi keluarga yaitu fungsi reproduksi.
Ketidakmampuan memenuhi fungsi reproduksi ternyata berpengaruh terhadap
semua fungsi keluarga yang lainnya.

Kasus yang dialami oleh pasien tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan Tuty (2005), menunjukkan bahwa prevalensi disfungsi ereksi pada
pasien skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotik dan antikolinergik adalah
26%. Variabel yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya disfungsi ereksi
adalah terapi tipikal yaitu sebanyak 3,5 kali lebih banyak dari terapi atipikal.
Official Journal of The World Psychiatric Association /WPA (2008), melaporkan
bahwa pasien dengan skizofrenia lebih sering terkena disfungsi seksual
dibandingkan dengan gangguan afektif, dan bahkan pasien skizofrenia yang tidak
diobati memiliki disfungsi sedikit dibandingkan dengan mereka yang
mendapatkan obat antipsikotik.

Penulis sebagai perawat yang ketika itu berada di samping pasien saat melakukan
pengkajian menyadari sepenuhnya sebagai orang yang akan memasuki wilayah
privasi pasien dengan melihat pengalaman masa lalu dan saat ini. Perilaku
“caring” yang penulis lakukan saat itu adalah mendengar sepenuhnya keluhan
pasien dengan sikap yang terapeutik dan melibatkan empati sebagai sikap
kepedulian terhadap masalah yang dialami pasien. Hal ini penulis lakukan untuk

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


105

terbentuknya hubungan terapeutik perawat pasien. Hubungan terapeutik perawat


pasien tidak berjalan jika perawat tidak mampu menanamkan rasa percaya dan
memberikan perawatan dengan penuh kenyamanan (Stuart, 2013).

5.1.1.3 Pekerjaan
Pasien yang dirawat dengan harga diri rendah sebagian besar telah memiliki
pekerjaan, 15 orang pasien (75%). Namun jika ditinjau dari satutus sosial
ekonomi maka sebagian besar (75%) berada pada sosial ekonomi rendah. Hal ini
dapat penulis jelaskan bahwa walaupun sebagian besar dari pasien telah bekerja,
namun pekerjaan yang dimiliki rata-rata adalah sebagai buruh/pekerja kasar,
dengan penghasilan yang belum mencukupi. Masalah yang ditemukan pada pasien
harga diri rendah terkait dengan pekerjaan adalah adanya pikiran tidak mampu,
merasa diri bodoh, hidup dengan penghasilan yang kurang, merasa tidak pernah
sepadan dengan orang lain, merasa tidak ada lagi orang lain yang peduli.

Pekerjaan merupakan salah satu faktor predisposisi dan presipitasi sosial budaya
proses terjadinya gangguan jiwa. Individu dengan status ekonomi rendah akan
rentan terhadap masalah kesehatan jiwa dalam kehidupannya sehari-hari (Vega,
et al. 1999, dalam Stuart, 2013). Uraian tersebut menjelaskan bahwa seseorang
yang tidak memiliki pekerjaan sehingga berada dalam sosial ekonomi rendah akan
lebih berisiko untuk mengalami berbagi masalah terutama kurangnya rasa percaya
diri dalam menjalankan aktivitas hidup sehari-hari. Untuk itu diperlukan adanya
terapi yang dapat merubah persepsi negatif pasien terhadap dirinya sehingga akan
mengembalikan kepercayaan diri dan berdampak kepada produktifitasnya.

Menurut penulis bahwa pekerjaan sangat penting bagi pasien yang mengalami
harga diri rendah. Penulis berpendapat bahwa seorang perawat yang berperilaku
“caring” merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan dalam memberikan
perawatan pada pasien tanpa melihat latar belakang pekerjaan. Pekerjaan bisa
merupakan hal yang sensitif bagi pasien untuk dibicarakan karena kemungkinan
mereka akan mengalami rendah diri. Oleh karena itu perawat yang berperilaku
“caring” dapat menghilangkan hambatan ini. Menurut Tomey & Alligood (2014),

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


106

seorang perawat seharusnya mampu meningkatkan sensifitas terhadap dirinya


sendiri dan orang lain serta bersikap kredibel.

5.1.1.5 Pendidikan
Pasien yang dirawat dengan masalah harga diri rendah sebagian besar memiliki
latar belakang pendidikan sekolah menengah (SMP) yaitu 9 orang pasien
(45%). Hal ini menunjukkan bahwa pasien mempunyai latar belakang pendidikan
yang cukup memenuhi syarat dalam menerima informasi baru. Pasien sebagian
besar mampu memahami penjelasan, pengarahan, melakukan latihan terapi yang
disampaikan oleh perawat. Pendidikan menjadi tolak ukur kemampuan seseorang
dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Stuart, 2013). Kemampuan
seseorang untuk menerima informasi dalam rangka mengatasi masalah yang
dihadapi sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan. Pasien dengan
pendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih besar sehingga
menghasilkan kebiasaan mempertahankan yang lebih baik Redman (1993, dalam
Potter, 2005). Pada waktu individu menyadari tentang kesehatannya, individu
akan mencari penyelesaian terhadap masalahnya dengan melibatkan orang lain.
Banyak penelitian mengungkapkan pentingnya pendidikan sebagai sumber
koping dan pencegahan terhadap gangguan jiwa.

Menurut penelitian yang dilakukan Anjaswarni (2002) menjelaskan bahwa tingkat


pendidikan seseorang mempunyai kontribusi dalam menentukan tingkat
kepuasan pasien terhadap perilaku “caring” perawat. Lebih lanjut menurutnya
tingkat kepuasan ini kurang pada orang yang berpendidikan tinggi diakibatkan
oleh banyaknya tuntutan yang ada pada orang yang berpendidikan tinggi, berbeda
dengan pasien yang berpendidikan rendah maka mereka juga cepat puas setelah
kebutuhan dasarnya terpenuhi.

Melihat hasil-hasil penelitian tersebut, penulis beranggapan bahwa pendidikan


tetap menjadi faktor penentu akan kemampuan pasien dalam menghadapi stresor
yang akan menentukan pasien berada pada harga diri tinggi atau rendah dari
stresor yang diterima. Namun sebagai perawat yang berperilaku “caring” maka

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


107

tugasnya adalah memberikan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien, dan


memberikan informasi yang dibutuhkan terhadap masalah perubahan harga diri
yang sedang dialami pasien. Dalam pemberian informasi atau penjelasan tentang
kondisi pasien perawat mnyesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien dan
kemampuannya dalam menerima informasi. Hal inipun dibutuhkan perhatian
terkait dengan gangguan kognitif yang dialami pasien. Pasien diberikan bahan-
bahan ajar/lembar balik untuk meningkatkan pengetahuan pasien terkait harga
harga diri rendah yang sedang dialami pasien.

Cara yang digunakan penulis dalam memberikan penjelasan kepeda pasien


merupakan aspek ke tujuh dalam Interpersonal Relationship Caring yang
dikembangkan oleh watson (1979, dalam Tomey & Alligood 2014). Menurut
Tomey & Alligood (2014) perawat dapat memfasilitasi proses belajar mengajar
yang bertujuan untuk memandirikan pasien dalam memenuhi kebutuhannya dan
memberikan kesempatan untuk perkembangan pribadinya.

5.1.1.6 Lama Sakit


Lama sakit merupakan awal seseorang merasakan tanda dan gejala sampai saat ini
(saat pertemuan dengan penulis). Data hasil pengkajian selama penulis
melaksanakan praktik di Ruang Antareja menunjukkan bahwa lama sakit dari
sejumlah pasien yang dirawat adalah terbanyak > 3 tahun yaitu sejumlah 13 orang
(65%). Menurut Stuart (2013) waktu atau lamanya terpapar stresor, yaitu sejak
kapan, sudah berapa lama dan berapa kali kejadian (frekuensi akan memberikan
dampak adanya keterlambatan dalam mencapai kemampuan dan kemandirian).
Berdasarkan pengalaman penulis selama praktik residensi 1, 2 dan 3 pasien yang
lama sakit akan memberikan dampak kemunduran fungsi kognitif dan sosial.
Semakin cepat sembuh maka akan meminimalkan kemunduran fungsi kognitif
dan sosial.

Brady (2004) mengatakan 20 sampai 25% dari mereka yang didiagnosis dengan
skizofrenia akan mengalami remisi, sekitar 50% dari remaja yang terkena dampak
atau dewasa muda akan terus memiliki gejala persisten atau intermitten. Meskipun

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


108

obat berkontribusi terhadap prognosis, beberapa orang akan mengalami masalah


kognitif, interpersonal dan kemunduran fungsi sosial. Seiring waktu, sebagian
besar akan menganggap peran sosial pasien gangguan jiwa kronis. Sekitar 10-
15% dari orang yang didiagnosis dengan skizofrenia akhirnya akan bunuh diri,
sering dalam sepuluh tahun pertama penyakit (Melzter, 2001; Pillmann,
Balzuweit, Haring, Bloink, & Marneros, 2003 dalam Brady N, 2004)

Sebanyak 20 orang pasien yang penulis rawat, memiliki lama sakit dengan waktu
terlama adalah 30 tahun dan terpendek adalah kurang dari 1 bulan. Pasien yang
memiliki lama sakit 30 tahun tersebut ternyata memiliki faktor predisposisi yang
lebih komplit dibandingkan pasien lain yang lama sakit < dari 3 tahun. Diantara
faktor pendukung yang menyebabkan pasien tersebut memiliki lama sakit sampai
30 tahun adalah penyakit fisik yaitu pasien mengidap epilepsi semenjak usia
kanak-kanak, pasien juga sering mendapat trauma kepala karena pasien memiliki
aktivitas sebagai petinju di usia remaja, menurut keluarga pasien juga mempunyai
sifat tempramental semenjak kecil (ketidakmampuan mengontrol emosi) hingga
saat sekarang pasien sering menggunakan koping destruktif yaitu marah-marah
dengan istri di rumah dan konfrontasi dengan teman sekerjanya, disamping itu
pasien juga seorang perokok dan pecandu kopi. Pasien tersebut adalah dengan
diagnosa Skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan perkembangan syaraf otak,
bukan disebabkan oleh satu penyebab tetapi merupakan interaksi yang kompleks
dari genetik dan faktor lingkungan lainnya. Skizofrenia adalah gangguan
neurobiologis yang kompleks, defisit neuroanatomi, kelainan neuroelektrik dan
disregulasi sirkulasi neurologis dan akhirnya menunjukkan gejala klinis
skizofrenia Gilmore ( 2010 dalam Stuart, 2013). Gangguan jiwa pada pasien yang
penulis asuh juga disebabkan oleh berbagai faktor pendukung sehingga memiliki
waktu yang lama untuk menderita penyakit tersebut.

Pasien yang menderita penyakit dalam waktu lama (kronis) dan sering mengalami
kekambuhan akan berdampak semakin memburuknya keadaan pasien, disebabkan
setiap kali mengalami kekambuhan akan terjadi penurunan kemampuan. Pasien
skizofrenia dengan prognosis buruk salah satu cirinya adalah selama tiga tahun

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


109

pengobatan tidak terjadi perbaikan (Sinaga, 2007). Kekambuhan adalah sesuatu


yang sering terjadi pada pasien skizofrenia. Hal ini disebabkan oleh insight yang
buruk terhadap sakitnya, tidak mengikuti pengobatan dengan baik, kurangnya
dukungan keluarga, ketidakmampuan koping individu dan putus obat karena
pengobatan dalam jangka waktu panjang (Maguire, 2002 dalam Fortinas &
Worret, 2004). Pemberian terapi diperlukan agar insight pasien dan keluarga
terhadap penyakit baik sehingga bersedia mengikuti program pengobatan dalam
rangka mencegah kekambuhan.

Perilaku “caring” pada pasien perawat yang dapat dilakukan adalah memberikan
keamanan dan kenyamanan untuk mengikuti perawatan yang diberikan oleh
perawat. Semakin lama seorang sakit maka kemungkinan mereka akan bosan.
Oleh karena itu perawat hendaknya dapat memberikan pemahaman kepada pasien
bahwa pengobatan yang dijalankan adalah untuk membawa pasien ke arah yang
lebih baik, dengan cara-cara yang dapat diterima pasien dan keluarga dengan
menghadirkan lingkungan yang kondusif, ini merupakan bentuk “caring” perawat.
Menurut Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014) mengatakan bahwa
perawat perlu menyediakan lingkungan yang mendukung, melindungi dan atau
memperbaiki mental, sosiokultural dan spiritual. Tomey & Alligood (2014)
menjelaskan lebih lanjut sangat perlu menyediakan lingkungan eksternal dan
internal yang dapat mempengaruhi kesehatan pasien, seperti menciptakan
lingkungan yang aman dan nyaman serta keleluasaan pribadi pasien. Perawat
dalam hal ini dapat memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga pasien dapat
mengatasi masalahnya.

5.1.1.6 Frekuensi rawat


Frekuensi rawat adalah jumlah pasien dirawat di Rumah Sakit, terhitung mulai
pertama kali dirawat sampai saat terakhir mereka dirawat. Hasil yang penulis
temukan pada pasien yang penulis rawat menunjukkan bahwa frekuensi pasien
dirawat terbanyak pada < 3 kali rawat yaitu sebanyak 13 orang (65%).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


110

Frekuensi rawat seorang penderita skizofrenia sangat tergantung dari kekambuhan


penyakit tersebut. Kekambuhan pasien sangat dipengaruhi oleh kepatuhan pasien
dalam mengikuti program pengobatan. Penelitian yang dilakukan oleh Centrino
(2001) menyatakan bahwa kepatuhan dalam program pengobatan pasien tidak
terkait dengan lama mereka mendapat perawatan. Hal lain diutarakan oleh Gascon
et al (2004) dalam Jin et al (2008). Penyakit akut memiliki tingkat kepatuhan yang
tinggi dibandingkan dengan penyakit kronik.

Menurut Watson (1979) dalam Tomey & Alligood (2014) bahwa 10 carrative
factors yakni aspek meningkatkan dan menerima ekspresi pasien tentang perasaan
positif dan negatifnya. Selanjutnya hal ini dijelaskan oleh Tomey & Alligood
(2014) bahwa perawat harus menyiapkan diri dalam menghadapi berbagai
ekspresi perasaan yang dialami baik positif maupun negatif.

Penulis beranggapan bahwa pasien akan menunjukkan perilaku, perasaan atau


pengalaman apapun saat mereka dirawat, untuk itu perawat diharapkan mampu
menghadirkan diri secara terapeutik untuk mendengar dan menampung serta
memfasilitasi pasien keluar dari masalahnya. Perilaku “caring” tercermin dari
kesiapan perawat mendampingi pasien dan hadir sepenuhnya bagi pasien.

5.1.2. Faktor Predisposisi


5.1.2.1 Aspek Biologis
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah
sumber risiko yang dapat menyebabkan individu mengalami stres (Stuart, 2013).
Beberapa bagian faktor predisposisi yang telah dibahas secara terintegrasi dengan
karakteristik pasien tersebut di atas.

Berdasarkan hasil pengkajian yang penulis lakukan terhadap 20 orang pasien


gangguan jiwa di Ruang Antareja RSMM menunjukkan bahwa pada aspek
biologis adalah gangguan jiwa sebelumnya terdapat 16 orang (80%) dan
semuanya sudah pernah dirawat baik di RSMM ataupun di RS Jiwa lainnya,

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


111

trauma/penyakit fisik 7 orang (35%), herediter 4 orang (20%) dan


penyalahgunaan NAPZA 6 orang (30%).

Kazadi, Moosa, Jeenah (2008) mengemukakan bahwa sejumlah 46% pasien


kambuh telah mengalami gangguan psikotik sebelumnya. Kekambuhan pasien ini
tentunya sangat erat kaitannya dengan ketidakpatuhan pasien menjalani program
pengobatan. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Raevuori, at al (2007)
menunjukkan hasil bahwa pada anak laki-laki faktor genetik berpengaruh 80%
sedangkan sisanya adalah faktor lingkungan. Pada anak perempuan faktor genetik
mempengaruhi 31% sedangkan faktor lingkungan adalah 61%. Pada trauma
kepala yang berakibat pada kerusakan otak akan mempengaruhi proses berpikir,
menilai dan mempengaruhi kepribadian seseorang, sehingga gangguan pada otak
dapat mengakibatkan seseorang mengalami harga diri rendah. Struktur kimia otak
mempengaruhi alam perasaan dan gangguan mood. Neurotransmitter yang
mempengaruhi perubahan mood antara lain serotonin, norepinephrine dan GABA
(Fortinash & Worret, 2004). Pemberian terapi ditujukan untuk membantu pasien
mengembangkan cara berpikir bahwa pasien dengan gangguan jiwa tidak harus
merasa minder, tidak percaya diri serta masih tetap dapat melakukan interaksi
dengan orang lain.

5.1.2.2. Aspek Psikologis


Faktor predisposisi psikologis yang dikelola secara keseluruhan aspek psikologis
terbanyak pasien adalah pengalaman yang tidak menyenangkan yaitu 20 orang
(100%), kepribadian introvert dan gangguan konsep diri masing-masing sebanyak
16 orang (80%) serta riwayat kegagalan/kehilangan sebanyak 14 orang (70%).
Semua pasien yang dirawat mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.
Pada pasien yang penulis rawat pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut
diantaranya adalah faktor penolakan dari lingkungan baik lingkungan keluarga
atau masyarakat, faktor pengabaian (kurang mendapat perhatian dari orang tua),
perbedaan perlakuan dengan sesama anggota keluarga oleh orang tua terhadap
anak (melibatkan pola asuh sebelumnya oleh orang tua terhadap anak), perlakuan
kasar terhadap pasien baik dari lingkungan rumah atau di luar rumah. Kegagalan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


112

Pengalaman kehilangan, penolakan dan kegagalan dalam mempertahankan


rumah tangga.

Pengalaman kehilangan, penolakan dan kegagalan akan mempengaruhi respon


individu dalam mengatasi stresornya. Hal ini sesuai pendapat yang mengatakan
pengalaman penolakan orang tua di masa bayi akan membuat seseorang menjadi
tidak percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain Erickson (1963), dalam
Townsend (2009). Teori psikoanalisa Freud (1994) menyampaikan bahwa
ketidakmampuan menyelesaikan masalah, konflik yang tidak disadari antara
impuls agresif atau kepuasan libido dan pengakuan terhadap ego dari kerusakan
eksternal, bersal dari kepuasan. Pasien yang rapuh psikologinya tidak mampu
beradaptasi terhadap stresor yang ada, sehingga akan menyelesaikan masalahnya
dengan cara destruktif.

Pasien harga diri rendah mempunyai tipe kepribadian introvert dengan pola
komunikasi tertutup. Kegagalan tugas perkembangan menyebabkan kepribadian
introvert, gangguan kemampuan komunikasi verbal, menutup diri dari
kemungkinan orang-orang yang memperhatikannya dan tidak memiliki orang
terdekat atau orang yang berarti dalam hidupnya. Faktor psikologis yang
mempengaruhi seseorang menarik diri dari lingkungan adalah kegagalan, malu
karena kehilangan status sosial dan stresor pada tahapan tumbuh kembang
(Townsend, 2009). Dalam rangka mengembangkan hubungan positif setiap orang
harus dapat melalui delapan tugas perkembangan (development task) sesuai
dengan proses perkembangan usia (Erikson, 2000 dalam Keliat, 2007). Kegagalan
dalam melaksanakan tugas perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak
percaya diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, tidak
mampu merumuskan dan mengungkapkan keinginan dan merasa tertekan.

5.1.2.3 Aspek sosial Budaya


faktor sosial kultural terbanyak adalah status ekonomi rendah dan pekerjaan
masing-masing sebanyak 15 orang (75%). Lingkungan sangat mempengaruhi
terhadap gangguan jiwa seseorang. Hal ini dikarenakan individu selalu terpapar

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


113

dan terlibat dalam kehidupan sosial seperti hidup di lingkungan yang miskin,
lingkungan dengan tingkat kriminalitas yang tinggi, migrasi atau tumbuh di luar
negeri dengan budaya yang berbeda (Tandon, dkk, 2008 dalam Varcarolis &
Halter, 2010). Dalam hubungannya dengan kesehatan mental maka kemiskinan
mempunyai efek negatif yang ditunjukkan dengan tingginya angka gangguan jiwa
serta angka pasien yang dirawat (Stuart, 2013).Kemiskinan yang dialami oleh
seseorang menjadikan terjadinya keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan
pokok seperti nutrisi, pemenuhan kesehatan, kurangnya perhatian terhadap
pemecahan masalah yang dapat menimbulkan munculnya stres. Faktor status
sosial ekonomi yang rendah lebih banyak mengalami gangguan jiwa yang
menyebabkan harga diri rendah dibandingkan pada tingkat sosial ekonomi tinggi.

5.1.3 Faktor Presipitasi


Berdasarkan hasil pengkajian yang penulis lakukan terhadap 20 pasien harga diri
rendah diperoleh bahwa 16 orang (80%) dengan putus obat. Hal ini dikarenakan
sebagian besar pasien adalah mereka yang mempunyai riwayat gangguan jiwa
sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa pasien berada pada kondisi kronis yang
dalam perjalanan perawatannya memerlukan waktu yang cukup lama dan kondisi
ini dikarenakan kebosanan untuk patuh pada terapi atau obat, sehingga
menyebabkan terjadi kekambuhan/relaps pada pasien.

Pasien yang mengalami putus obat ditemukan alasan yaitu adanya perasaan bosan,
merasa sudah sembuh, merasa obat tidak cocok karena jika minum obat menjadi
mudah mengantuk, tidak nyaman, lemas setelah minum obat sehingga tidak bisa
bekerja lagi, merasa obat tidak cocok karena meskipun obat sudah habis tetapi
belum sembuh juga dan ada perasaan khawatir menjadi ketergantungan obat.
Hasil riset menunjukkan bahwa alasan pasien memiliki perilaku tidak patuh dalam
minum obat dikarenakan pasien dan keluarga tidak merasakan manfaat minum
obat dan merasa tidak nyaman khususnya secara fisik dengan mengkonsumsi
obat-obat antipsikotik (Wardani, dkk, 2009). Kurangnya informasi kepada pasien
dan keluarga yang adekuat dari fasilitas pelayanan kesehatan tentang manfaat dan
efek obat berdampak pada kekambuhan sehingga memperburuk kondisi pasien.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


114

Terapi antipsikotik yang diberikan pada fase pemeliharaan (maintenance)


bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan meningkatkan fungsi yang dimiliki
pasien. Pada fase pemeliharaan, pasien yang menggunakan antipsikotik secara
teratur mengalami kekambuhan sekitar 16-23%, sedangkan pasien yang tidak
mendapatkan antipsikotik secara teratur mengalami kekambuhan lebih tinggi yaitu
53-72% (Kaplan & Saddock, 2010). Berdasarkan uraian di atas menunjukkan
bahwa antipsikotik dapat menyembuhkan beberapa pasien skizofrenia, namun
beberapa pasien lainnya mengalami kekambuhan dan memiliki gejala negatif
yang menetap sehingga perlu upaya untuk mengatasinya.

Menurut Penulis, faktor presepitisi tersebut saling mendukung diantara satu


dengan yang lainnya yang berakibat penurunan harga diri. Semakin banyak faktor
presipitasi yang ada maka semakin besar kemungkinan seorang pasien untuk
terjadinya harga diri rendah. Oleh karena itu seorang perawat dalam melakukan
pengkajian dan tindakan harus memperhatikan keseluruhan faktor tersebut
sehingga aspek-aspek yang menyebabkan pasien terjadi penurunan harga diri
dapat diatasi. Menurut Watson (1979, dalam Tomey & Alligood, 2014)
mengatakan bahwa seorang perawat dalam berperilaku “caring” harus
menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan
keputusan. Perawat dalam hal ini menggunakan proses keperawatan yang
sistematis dan terorganisir sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan untuk
menyelesaikan masalah.

Hasil karya ilmiah ini selanjutnya memperlihatkan bahwa asal stressor terbanyak
berasal dari internal sejumlah 20 orang pasien (100%) dengan waktu stressor
pada pasien yang terbanyak adalah > 2 bulan sejumlah 13 orang (65%) dengan
jumlah stressor terbanyak > 3 yakni sejumlah 20 orang pasien (100%). Menurut
Stuart (2013) jumlah stresor lebih dari satu yang dialami oleh individu dalam
satu waktu atau dalam waktu yang bersamaan lebih sulit diselesaikan
dibandingkan dengan satu stresor dalam satu waktu. Setiap stressor yang muncul

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


115

merupakan beban bagi pasien sehingga apabila stressor semakin banyak maka
kemampuan pasien tersebut akan semakin menurun.

Penulis sependapat dengan apa yang disampaikan oleh pakar tersebut. Penulis
beranggapan bahwa semakin banyak stressor yang muncul maka semakin
memberikan tekanan kepada pasien. Kemampuan pasien dalam mengatasi
masalahnya berbeda-beda masing-masing individu. Menurut Wainwright (2012)
perawat dalam memberikan bantuan kepada pasien harus meluangkan waktu
tanpa ada gangguan. Berikan kesempatan kepada pasien untuk menanyakan
kecemasannya secara menyeluruh. Dengan kekhawatiran pasien tanpa
memperlihatkan kegelisahan seperti sering melihat jam, melihat keluar jendela
karena hal ini merupakan tanda bahwa perawat tidak dapat berperilaku “caring”
terhadap pasien.

5.1.4 Penilaian terhadap Stresor


Penilaian terhadap stresor yang ditemukan berdasarkan hasil pengkajian pada
pasien harga diri rendah dimanifestasikan dalam bentuk respon kognitif, respon
afektif, respon fisiologis, perilaku dan respon sosial. Respon-respon ini dapat
terlihat bersamaan dan berbagai macam pada tiap pasien. Namun hal ini berbeda-
beda masing-masing pasien. Hasil karya ilmiah ini menunjukkan bahwa respon
kognitif terbanyak yakni pasien berpikir kalau dirinya tidak berguna/menjadi
beban orang lain sebanyak 20 pasien (100%). Respon afektif, pasien lebih banyak
menyatakan merasakan kesedihan sejumlah 20 orang pasien (100%), dan
respon fisiologis yang dialami oleh pasien terbanyak mengalami gangguan pola
tidur sejumlah 20 orang (100%). Respon perilaku menunjukkan gejala mengkritik
diri sendiri sejumlah 20 orang (100%). Respon sosial menunjukkan gejala yang
terbanyak adalah hubungan dengan orang lain buruk 10 orang (50%).

5.1.4.1 Respon Kognitif


Pada respon kognitif pasien harga diri rendah sebelum diberikan tindakan
keperawatan teridentifikasi 1 score (100%) pasien merasa tidak berguna atau
memiliki score 1 terhadap gejala tersebut, dan score 1 atau 100% pasien

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


116

menyatakan sulit konsentrasi Respon kognitif pasien harga diri rendah setelah
diberikan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif menunjukkan
penurunan. Pasien yang merasa tidak berguna turun menjadi 0,3 dan pasien yang
menyatakan sulit konsentrasi turun menjadi 0,1 Evaluasi akhir pada kelompok
pasien yang mendapat terapi generalis dan terapi kognitif ,tidak ada lagi pasien
yang merasa tidak berguna, u memiliki rerata score 0,2 terhadap gejala tersebut
20% pasien berfikir hubungannya dengan orang lain tak berarit atau meiliki rerata
score 0,2 terhadap gejala tersebut. Kelompok ini merupakan pasien yang yang
sama sekali belum pernah dikunjungi oleh keluarganya selama dirawat,
mempunyai latar belakang pendidikan SMP dan mempunyai lama rawat 3 bulan

Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi
kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan respon kognitif berfikir tidak berguna sebanyak 100%
atau memiliki rerata score 1 terhadap gejala tersebut, setelah dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan hasil penurunan menjadi 25% pada respon kognitif
atau memiliki rerata score 0,25 terhadap gejala tersebut (berfikir tidak berguna).
Evaluasi hasil tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan terapi
psikoedukasi keluarga juga menunjukkan respon yang belum semuanya tuntas.
Pada respon kognitif sebanyak 25% rerata score 0,25, pada gejala sulit
konsentrasi dan tidak mempunyai kemampuan, pada respon afektif sedih dan
kecewa 30% atau meiliki rerata score 0,3 terhadap gejala tersebut, pada respon
sosial 25% pasien atau meiliki score 0,25 mempunyai hubungan buruk dengan
orang lain dan menghindar interaksi. Artinya pada kelompok pasien yang
mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi kognitif dan terapi
psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil yang lebih efektif untuk terjadi
penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan baik pasien maupun
keluarga.

5.1.4.2 Respon Afektif


Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif, sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan respon

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


117

afektif sebanyak 100% atau meiliki rerata score 1 mempunyai perasaan sedih dan
kecewa, sebanyak 80% merasa kecewa atau rerta score 0,8. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan didapatkan pada respon afektif sebanyak 30% pasien rerata
score 0,3 mempunyai perasaan sedih, malu dan kecewa, sebanyak 20% rerata
score 0,2 murung.

Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis, terapi
kognitif dan psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan keperawatan
menunjukkan respon afektif sebanyak 100% mempunyai perasaan sedih, kecewa
malu dan sebanyak 100%. Setelah dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan
hasil penurunan menjadi 30% rerata score 0,3 pada respon afektif pasien
mempunyai perasaan sedih, kecewa dan malu dan 20% pasien, rerata score 0,2
yang masih murung. Pada kelompok pasien yang mendapatkan kombinasi
tindakan generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga menunjukkan hasil
yang lebih efektif untuk terjadi penurunan tanda dan gejala serta peningkatan
kemampuan baik pasien maupun keluarga.

5.1.4.3 Respon Perilaku


Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif, sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan respon
perilaku sebanyak 100% (score 1) mengkritik diri sendiri. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan menunjukkan hasil penurunan pada respon perilaku
sebanyak 0% mengkritik diri sendiri. Evaluasi hasil tindakan keperawatan
generalis dan terapi kognitif menunjukkan respon yang belum semuanya tuntas.
Evaluasi hasil tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi
keluarga juga menunjukkan penurunan respon menjadi 0%. Ini menunjukkan
kombinasi tindakan generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga
membawa dampak yang lebih efektif untuk terjadi penurunan tanda dan gejala.

Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif perilaku, sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan
respon perilaku sebanyak 100% mengkritik diri sendiri. Setelah dilakukan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


118

tindakan keperawatan menunjukkan hasil penurunan pada respon perilaku


sebanyak 0% mengkritik diri sendiri. Evaluasi hasil tindakan keperawatan
generalis dan terapi kognitif menunjukkan respon yang belum semuanya tuntas.
Evaluasi hasil tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif dan psikoedukasi
keluarga juga menunjukkan penurunan respon menjadi 0%. Ini menunjukkan
kombinasi tindakan generalis, terapi kognitif perilaku dan psikoedukasi keluarga
membawa dampak yang lebih efektif untuk terjadi penurunan tanda dan gejala.

Respon perilaku merefleksikan respon emosi dan fisiologis sebagai hasil analisis
kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh stres. Caplan (1981), dalam
Sutart & Laraia (2005), mengemukakan 4 (empat) fase respon perilaku individu
terhadap suatu stresor, yaitu 1) Fase pertama, perilaku berubah karena stresor dari
lingkungan dan individu lari dari masalah; 2) Fase kedua, perilaku yang membuat
seseorang merubah pengaruh dari luar; 3) Fase ketiga, perilaku untuk bertahan
atau melawan perasaan dan emosi yang tidak nyaman; 4) Fase keempat, perilaku
yang datang menggambarkan suatu kejadian agar seseorang mampu
menyesuaikan diri secara berulang.

5.1.4.4 Respon Fisiologis


Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif, sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan respon
fisiologis sebanyak 100%( score 1) mengalami gangguan pola tidur. Setelah
dilakukan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif maka respon
fisiologis menunjukkan penurunan menjadi sebanyak 50% (score 0,5) mengalami
gangguan pola tidur dan sebanyak 20% atau score 0,2 mengalami gangguan pola
makan. Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis,
terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga sebelum dilakukan tindakan
keperawatan menunjukkan respon fisiologis 100% pasien mengalami gangguan
pola tidur dan mengalami gangguan pola makan 100%. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan respon fisiologis turun menjadi 0% pasien yang mengalami
gangguan pola makan dan pola tidur.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


119

Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif perilaku, sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan
respon fisiologis sebanyak 100% mengalami gangguan pola tidur dan sebanyak
100% mengalami gangguan pola makan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan
generalis dan terapi kognitif maka respon fisiologis menunjukkan penurunan
menjadi sebanyak 0% mengalami gangguan pola tidur dan sebanyak 0%
mengalami gangguan pola makan. Pasien harga diri rendah yang mendapatkan
kombinasi tindakan generalis, terapi kognitif perilaku dan psikoedukasi keluarga
sebelum dilakukan tindakan keperawatan menunjukkan respon fisiologis 100%
pasien mengalami gangguan pola tidur dan mengalami gangguan pola makan
100%. Setelah dilakukan tindakan keperawatan respon fisiologis turun menjadi
0% pasien yang mengalami gangguan pola makan dan pola tidur.

5.1.4.5 Respon Sosial


Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif, respon sosial yang ditunjukkan adalah sebanyak 50% rerata score
0,5 pasien mengalami hubungan yang buruk dengan orang lain, sebanyak 50%
rerata score 0,5 pasien mempunyai aktivitas yang terbatas. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan respon sosial menjadi menurun menjadi 20% rerata score
0,2 pasien yang mengalami hubungan yang buruk dengan orang lain dan yang
mempunyai aktivitas yang terbatas. Setelah dilakukan tindakan keperawatan
respon menjadi menurun menjadi 20% rerata score 0,2 pasien mengalami
hubungan yang buruk dengan orang lain dan 20% rerata score 0,2 pasien yang
mengalami aktivitas terbatas.

Menurut Penulis, sebaiknya apapun yang diperlihatkan oleh pasien, seorang


perawat tidak perlu memperlihatkan respon-respon yang tidak perlu karena hal ini
akan mempengaruhi interaksi perawat-pasien sehingga sangat berpengaruh
terhadap pengkajian dan penggalian respon-respon yang dirasakan tersebut.
Perawat sebaiknya memperlihatkan perilaku netral dan empati terhadap perilaku
yang diperlihatkan oleh tersebut.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


120

Pasien harga diri rendah yang mendapatkan kombinasi tindakan generalis dan
terapi kognitif perilaku, respon sosial yang ditunjukkan adalah sebanyak 60%
pasien mengalami hubungan yang buruk dengan orang lain, sebanyak 20% pasien
mempunyai aktivitas yang terbatas. Setelah dilakukan tindakan keperawatan
respon sosial menjadi menurun menjadi 20% pasien yang mengalami hubungan
yang buruk dengan orang lain dan yang mempunyai aktivitas yang terbatas.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan respon menjadi menurun menjadi 20%
pasien mengalami hubungan yang buruk dengan orang lain dan 0% pasien yang
mengalami aktivitas terbatas.

Menurut Watson (1979), dalam Tomey & Alligood, (2006) perawat dalam
berperilaku “caring” harus meningkatkan dan menerima ekspresi pasien tentang
perasaan positif dan negatifnya. Menurut Right (2012) berpesan bahwa perawat
sebaiknya merawat pasien dengan penghargaan yang positif. Perluas penghargaan
kepada pasien dengan memberikan dorongan dorongan yang positif, terbuka dan
menunjukkan kepedulian dan terlepas dari sikap pasien.

5.1.5 Sumber Koping


Hasil karya ilmiah menggambarkan bahwa pasien dengan harga diri rendah
sebagian tidak mampu mengidentifikasi pikiran otomatis negatif, tidak mampu
menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, tidak mampu
menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif sejumlah 20
orang (100%). Pasien yakin akan sembuh dimiliki oleh 15 pasien (75%).
Dukungan sosial pasien menunjukkan bahwa sebagian besar memiliki dukungan
keluarga namun tidak mampu merawatnya sejumlah 20 orang pasien (100%),
sedangkan dari dukungan kelompok keseluruhan pasien tidak memiliki dukungan
kelompok di tempat tinggalnya yakni 20 orang (100%), dan pasien juga terbanyak
tidak memiliki dukungan dari masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Sharif et al (2004) menunjukkan bahwa pada


sebagian besar pasien dan keluarga yang ditelitinya memperlihatkan sikap frustasi

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


121

apabila tidak dilibatkan dalam program pengobatannya. Mereka yang diberikan


tanpa penjelasan yang baik maka mereka kurang terlibat dalam program
pengobatannya. Sumber dukungan keluarga, sumber koping lainnya, masalah
keuangan pasien dan keluarga, tidak ada jaminan asuransi dan jarak tempuh
dengan layanan kesehatan mempunyai kontribusi dalam meningkatkan kepatuhan
pasien mengikuti terapi yang diberikan perawatan (Almond et al, 2004).

Menurut Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2006) dengan karatif faktor
bahwa perawat perlu membina hubungan saling percaya dan saling membantu.
Hubungan yang tercipta antara pasien dengan perawat akan meningkatkan
keterlibatan pasien dalam program perawatannya. Keluarga yang dilibatkan dari
awal juga akan meningkatkan peran serta mereka dalam program terapi pasien.

5.1.6 Perubahan Kemampuan Pasien Harga Diri Rendah


Kemampuan pasien harga diri rendah sebelum dilakukan tindakan keperawatan
generalis dan terapi kognitif menunjukkan rerata rerata score nilai sebelum
diberikan tindakan keperawatan adalah 0,9 dan setelah diberikan tindakan
keperawatan menunjukkan peningkatan rerata score menjadi 6,6. Dengan
demikian terjadi peningkatan rerata rerata score sejumlah 5,7 atau 81% terhadap
kemampuan pasien dalam mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki, kemampuan memilih kegiatan yang dapat dilakukan, kemampuan untuk
melakukan kegiatan yang dipilih, kemampuan mengidentifikasi pikiran otomatis
negatif, kemampuan menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis
negatif, dan kemampuan mengidentifikasi manfaat tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif dan kemampuan memanfaatkan support system.
Peningkatan masing-masing kemampuan pasien tersebut secara lebih terinci dapat
dilihat pada tabel 4.13.

Evaluasi hasil dari kombinasi tindakan generalis, terapi kognitif dan terapi
psikoedukasi keluarga menunjukkan bahwa dari 4 pasien yang diamati rerata
rerata score kemampuan sebelum diberikan tindakan keperawatan adalah 0,5,

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


122

setelah diberikan tindakan keperawatan adalah 6,75, berarti terjadi peningkatan


rerata score sejumlah 6,25 atau 89%. terhadap kemampuan pasien dalam
mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki, kemampuan
memilih kegiatan yang dapat dilakukan, kemampuan untuk melakukan kegiatan
yang dipilih, kemampuan mengidentifikasi pikiran otomatis negatif, kemampuan
menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran otomatis negatif, dan
kemampuan mengidentifikasi manfaat tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negatif dan kemampuan memanfaatkan support system. Peningkatan
masing-masing kemampuan pasien tersebut secara lebih terinci dapat dilihat pada
tabel 4.13.

Tindakan keperawatan spesialis dengan pemberian terapi kognitif bertujan untuk


membantu pasien mengembangkan pola pikir yang rasional, berfikir realitas dan
membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal (Copel,
2007). Terapi kognitif berfokus pada pemrosesan pikiran dengan segera, yaitu
bagaimana individu mempersepsikan atau menginterpretasi pengalamannya dan
menentukan bagaimana cara dia merasakan dan berperilaku (Viedebeck, 2008).
Pemberian terapi kognitif dapat membantu pasien untuk mengubah pernyataan
dirinya yang mempengaruhi perasaannya ke arah pikiran yang lebih positif.

Penurunan tanda dan gejala pada respon kognitif menunjukkan bahwa tindakan
terapi kognitif tersebut membawa dampak yang signifikan ketika diberikan pada
pasien yang mengalami harga diri rendah. Terapi kognitif diberikan ada pasien
harga diri rendah berdasarkan hasil identifikasi masalah pasien yang didapatkan
adanya pikiran otomatis negatif sehingga tidak mampu lagi berfikir secara
rasional. Hasil akhir yang didapat ini sesuai dengan pendapat pakar yang
menyampaikan bahwa terapi kognitif difokuskan untuk mengenal pikiran-pikiran
otomatis negatif, mengubah pemikiran otomatis negatif, mengubah kepercayaan
(anggapan) yang tidak logis, penalaran salah, mengembangkan pola pikir yang
rasional, dan mengatasi kelainan bentuk pikiran (distorsi kognitif) dengan cara
menggantikannya dengan pikiran-pikiran yang lebih realistis (Stuart, 2009);
Townsend (2009); Copel (2007); Beck et al (1987) dalam Townsend, 2009).

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


123

Pencapaian hasil pada pasien sesuai dengan rumusan beberapa pakar tentang
tujuan dan fokus terapi kognitif, yaitu dengan diberikannya terapi kognitif terbukti
dapat membantu meningkatkan kemampuan pasien harga diri rendah yang dapat
dilihat pada respon kognitif, afektif, fisiologis, psikomotor dan sosial.

Pelaksanaan sesi satu terapi kognitif pada pasien harga diri rendah ditemukan
pikiran otomatis negatif pada pasien berupa penilaian diri sebagai orang yang
tidak berguna, tidak berharga, gagal dalam hidup, tidak ada orang yang peduli
dengan pasien, pikiran tidak memiliki kemampuan apapun, ragu-ragu, serta malu
dengan kondisi diri. Temuan ini sesuai dengan pendapat yang mengungkapkan
bahwa pada pasien harga diri rendah kronis ditemukan perasaan dan penilaian diri
secara negatif tentang kondisi dan kemampuan diri (Keliat, 2006; NANDA, 2012;
Townsend, 2009; Stuart, 2009). Pada pasien dengan harga diri rendah akan terjadi
penolakan dan membenci kondisi diri sendiri.

Hasil pelaksanaan psikoedukasi keluarga didapat data bahwa sebelum diberikan


tindakan keperawatan rerata kemampuan keluarga adalah 0, sedangkan setelah
diberikan tindakan keperawatan menunjukkan hasil 6,2, dengan demikian terjadi
peningkatan rerata score sebesar 6,2 atau 88% terhadap pasien yang telah
mendapat tindakan keperawatan berupa terapi psikoedukasi keluarga. Artinya
terapi psikoedukasi keluarga sangat tepat diberikan kepada keluarga yang
mempunyai anggota keluarga dengan masalah harga diri rendah, karena dapat
membantu keluarga menangani anggota keluarganya dengan efektif.

Berdasarkan uraian hasil dari penurunan tanda dan gejala serta peningkatan
kemampuan pada pasien harga diri rendah pada kelompok yang mendapatkan
tindakan generalis dan terapi kognitif menunjukkan bahwa terapi kognitif dan
terapi perilaku kognitif efektif untuk pasien harga diri rendah. Namun demikian
hasil yang didapat dari penurunan tanda dan gejala serta peningkatan kemampuan
pada kelompok pasien yang mendapat tindakan keperawatan generalis, terapi
kognitif, terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga menunjukkan
lebih signifikan. Perbedaan perubahan tanda dan gejala serta kemampuan pada

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


124

pasien harga diri rendah dapat sebagai dasar untuk menarik kesimpulan bahwa
kombinasi tindakan keperawatan generalis, terapi kognitif, terapi kognitif perilaku
dan psikoedukasi keluarga lebih efektif untuk pasien harga diri rendah.

Tahap pengkajian pada pasien harga diri rendah dilakukan melalui intreraksi
perawat-pasien melalui komunikasi terapeutik untuk mengumpulkan data dan
informasi tentang status kesehatan pasien. Pada tahap ini terjadi proses interaksi
perawat pasien. Jika ditinjau dari 10 carative factor yang dikemukakan oleh
Watson maka tahap awal pengkajian pada pasien harga diri rendah ini merupakan
carative factor ke empat yaitu membangun hubungan kemanusiaan yang saling
percaya dan saling bantu. Seperti di jelaskan sebelumnya bahwa pada pasien HDR
terjadi krisis kepercayaan terhadap orang lain bahkan pada keluarga. Tanpa
adanya hubungan saling perawat dan pasien tidak mungkin tindakan keperawatan
dilakukan. Pasien HDR sebagian besar mengalami gangguan kepercayaan pada
orang lain. Watson menyatakan bahwa untuk mencapai perwujudan aplikasi
“caring” perlu adanya hubungan saling percaya dan saling membantu.

Selanjutnya perawat bersama-sama pasien menetapkan masalah yang


dihadapipasien, menentukan tujuan yang akan dicapai , mengidentifikasi cara atau
rencana kegiatan, serta melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan
yang telah ditentukan melalui pemberian tindakan keperawatan generalis dan
terapi kognitif.

Tindakan Keperawatan Spesialis dengan pemberian terapi kognitif bertujuan


untuk membantu pasien mengembangkan pola pikir yang rasional, berfikir realitas
dan membentuk kembali perilaku dengan mengubah pesan-pesan internal (Copel,
2007). Terapi kognitif berfokus pada pemprosesan pikiran dengan segera, yaitu
bagaimana individu mempersepsikan atau menginterpretasikan pengalamannya
dan menentukan bagaimana cara dia merasakan dan berperilaku (Videbeck, 2008).

Pelaksanaan terapi kognitif menggunakan pedoman yang telah teruji melalui


beberapa riset yang menunjukkan hasil keefektifan terapi pada pasien harga diri

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


125

rendah kronis (Rahayuningsih, dkk, 2007; Sasmita, dkk, 2007). Hasil penerapan
terapi kognitif ini juga menunjukkan hasil bahwa dengan penerapan terapi
kognitif didapatkan kemampuan pasien melawan pikiran otomatis negatif dengan
perilaku rasional secara mandiri sehingga pasien mampu menerima diri terkait
dengan stresor yang dihadapi (Jumaini, dkk, 2011; Syarniah, dkk, 2011; Sartika,
dkk, 2011). Pemberian tindakan terapi kognitif bermanfaat untuk dapat
meningkatkan harga diri pasien secara bermakna. Pelaksanaaan terapi kognitif
dilakukan secara individu setiap pasien dan dilakukan sendiri oleh penulis.
Pemberian terapi kognitif diberikan dengan frekuensi interaksi rata-rata enam (6)
kali pertemuan dengan tiap pertemuan berlangsung selama 30-45 menit. Proses
pelaksanaan terapi kognitif terdiri dari empat (4) sesi pertemuan, namun beberapa
pasien memerlukan pertemuan ulang tergantung dari jumlah pikiran negatif yang
muncul, sehingga rata-rata dilakukan sebanyak enam (6) kali pertemuan.

Menurut Watson (1979, dalam Tomey & Alligood 2006) mengatakan bahwa
perawat dapat meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan pasien baik negatif
maupun positif. Menurut Stuart & Laraia, (2005) memberikan contoh bahwa
seorang perawat yang berperilaku caring adalah mampu menjadi pendengar yang
aktif, mendengarkan keluhan pasien dengan sabar, ekspresi perasaannya,
keinginan dan hambatan pasien terkait kepatuhannya dalam program perawatan..

Menurut Penulis, pendapat Watson sangat tepat dilakukan pada pelaksanaan terapi
kognitif, karena terapi ini akan mengidentifikasi pikiran-pikiran otomatis negatif
pasien yang muncul. Perawat dapat mengidentifikasi lebih banyak pikiran-pikiran
negatif tersebut dan berusaha memfasilitasi pasien untuk menggantikan pikiran
positif rasionalnya. Perilaku yang sebaiknya ditunjukkan oleh perawat adalah
berperilaku yang sabar dalam menggalinya dan menggantikan pikiran-pikiran
tersebut. Kemungkinan pasien belum ingin menggantinya karena masih belum
nyaman dengan hal-hal baru.

Terapi berikutnya yang juga penulis berikan kepada pasien saat melakukan
intervensi keperawatan adalah Cognitif Behavior Therapy (CBT)/ terapi perilaku

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


126

kognitif. Cognitive behaviour therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif


mencoba untuk mengidentifikasi dan mengubah “distorsi” atau cara berpikir
“unrealistic” dan pada akhirnya akan mempengaruhi emosi dan tingkah laku.
Cognitive behaviour therapy adalah terapi kombinasi, aspek perilaku membantu
pasien mengidentifikasi reaksi kebiasaan terhadap situasi yang merepotkan dan
aspek kognitif berfokus pada pola pemikiran menyimpang yang menyebabkan
perasaan tidak enak atau gejala gangguan jiwa (Fontaine, 2009). CBT berorientasi
pada pemecahan masalah, dengan pandangan pasien sebagai pembuat keputusan
utama terkait tujuan dan masalah yang akan ditanggani selama pelaksanaan terapi.
Jadi cognitive behaviour therapy atau terapy perilaku kognitif merupakan suatu
terapi yang dapat membantu pasien membuat keputusan dengan merubah pikiran
dan perilakunya yang negatif menjadi positif dan berfokus pada keadaan atau
masalah yang dihadapi pasien saat ini. Menurut penulis uraian di atas dimana
pasien diberi kesempatan untuk membuat keputusan utama terkait tujuan dan
masalah yang dihadapi sangatlah sesuai dengan asumsi-asumsi utama ilmu
“caring”, diantara asumsi tersebut adalah lingkungan “caring” menawarkan
pengembangan potensi yang membiarkan seseorang memilih tindakan yang
terbaik untuk dirinya pada waktu yang telah ditentukan.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sasmita, (2007) pada pasien dengan
harga diri rendah menemukan bahwa efektifitas terapi perilaku kognitif mampu
meningkatkan kemampuan kognitifnya sebesar 29,31% dan kemampuan
perilakunya sebesar 22,4%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Setyaningsih,
(2011) menunjukkan bahwa terdapat perubahan harga diri baik dari aspek kognitif
maupun perilaku pada pasien yang dilakukan terapi perilaku kognitif pasien
dengan gagal ginjal kronik.

Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Antonio, Prendes
dan Stella dalam tulisannya Cognitif Behavioral Theory, menyatakan bahwa terapi
cognitif perilaku merupakan pendekatan yang berakal pada fundamental kognisi
individu yang memainkan peran utama dan berhubungan dengan situasi
kehidupan. Dalam CBT proses kognitif membentuk makna, penilaian, dan asumsi

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


127

yang terkait dengan kehidupan tertentu dan merupakan penentu utama dari
perasaan dan perilaku seseorang. Menurut Berger (2010) CBT sesuia diberikan
pada pasien yang memiliki pikiran negatif yang dikategorikan dalam distorsi
kognitif karena akan memberi kontrol terhadap pikiran negatif dengan
memperbaiki distorsi atau mengoreksi kesalahan berpikir dalam proses yang
disebut restrukturisasi kognitif.

Watson (1979 dalam Tomey & Alligood, 2006) percaya bahwa perawat
mempunyai tanggung jawab pada 10 carative factor dan memfasilitasi
pengembangan pasien dalam area promosi kesehatan melalui aksi pencegahan
(preventive). Tujuan ini dapat dipenuhi dengan cara mengajarkan pasien tentang
perubahan personal untuk mempromosikan kesehatan, menyiapkan situasi yang
mendukung, mengajarkan metode pemecahan masalah, dan mengenali
kemampuan koping dan adaptasi terhadap kehilangan.

Menurut Penulis, terapi perilaku kognitif yang dilakukan pada pasien dengan
harga diri rendah adalah membantu dan mendukung pasien dalam pengembangan
diri dan memfasilitasi dalam pemecahan masalah yang dihadapi. Terapi perilaku
kognitif ini melatih pasien dalam mengenali kemampuan yang dimilikinya dan
memodifikasi pikiranpikiran yang menyimpang terkait dengan program
pengobatannya. Kemampuan-kemampuan yang telah dipelajari akan menjadi
kekuatan koping yang dimiliki oleh pasien dalam mengahadapi kondisi-kondisi
sulitnya.

Terapi berikutnya yang telah diberikan pada pasien kelolaan adalah Family
Psichoeducasi (FPE). Psikoedukasi keluarga sangat diperlukan dalam perawatan
pasien gangguan jiwa karena dapat mengurangi kekambuhan pasien gangguan
jiwa, meningkatkan fungsi pasien dan keluarga sehingga mempermudah pasien
kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat dengan memberikan
penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi pasien gangguan jiwa (Levine,
2002 dalam Stuart, 2009). Keterlibatan keluarga dalam pengambilan keputusan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


128

perawatan pasien meningkatkan hasil dengan cara bekerjasama dalam pendidikan


dan dukungan keluarga (Stuart & Laraia, 2005).

5.1.7 Perubahan Kemampuan Keluarga Pasien Harga Diri Rendah Dengan


Pemberian Tindakan Keperawatan Terapi Psikoedukasi Keluarga
Perubahan kemampuan dari 9 keluarga pasien harga diri rendah sebelum
diberikan tindakan keperawatan menunjukkan bahwa keluarga tidak mampu
merawat pasien, tidak mampu modifikasi suasana positif, tidak mampu
manajemen stres dan tidak mampu manajemen beban yaitu sebanyak 100% atau
(0) keluarga yang mampu. Berdasarkan tabel 4.13 diketahui bahwa terjadi
perubahan yang sangat besar setelah keluarga mendapat tindakan keperawatan
berupa pemberian psikoedukasi keluarga. Dari 4 keluarga yang mengikuti terapi
psikoedukasi keluarga dan juga telah mendampingi anggota keluarganya dalam
pemberian terapi kognitif diketahui bahwa sebelum dilakukan tindakan
keperawatan tidak ada keluarga yang memiliki kemampuan untuk mengenal
masalah, memutuskan, merawat modifikasi lingkungan, memanfaatkan pelayanan
kesehatan, manajemen stress dan manajemen beban. Setelah diberikan tindakan
keperawatan maka terjadi kenaikan sebesar 6,2 atau 88% dari kemampuan
keluarga. Kondisi ini menunjukkan bahwa psikoedukasi keluarga tepat diberikan
pada keluarga dengan anggota keluarga yang mempunyai masalah harga diri
rendah

Tujuan program pendidikan ini adalah meningkatkan pencapaian pengetahuan


keluarga tentang penyakit, mengajarkan keluarga bagaimana teknik pengajaran
untuk keluarga dalam upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan
mengetahui gejala-gejala perilaku dan mendukung kekuatan keluarga (Stuart &
Laraia, 2005). Psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan kemampuan keluarga
karena dalam pelaksanaan terapi mengandung unsur meningkatkan pengetahuan
keluarga tentang penyakit, mengajarkan teknik yang dapat membantu keluarga
untuk mengetahui gejala-gejala penyimpangan perilaku serta peningkatan
dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Psikoedukasi keluarga dapat
meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang penyakit dan pengobatan,

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


129

meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menurunkan angka


kekambuhan, mengurangi beban keluarga, melatih keluarga untuk lebih bisa
mengungkapkan perasaan, bertukar pandangan antar anggota keluarga dan orang
lain. Pelaksanaan tindakan keperawatan psikoedukasi keluarga pasien harga diri
rendah terdiri dari pengkajian kemampuan keluarga, merencanakan tindakan
keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan, dan melakukan evaluasi
terhadap tindakan yang dilakukan.

Pelaksanaan psikoedukasi keluarga ini menggunakan pedoman yang telah teruji


melalui beberapa penelitian, dimana menunjukkan hasil dapat menurunkan beban
keluarga dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat pasien
gangguan jiwa (Wardhaningsih, dkk, 2007; Sari, dkk, 2009; Nurbani, dkk, ;
Kustiawan, dkk, 2012). Pelaksanaan tindakan psikoedukasi keluarga dilakukan
secara terpisah pada masing-masing keluarga dengan frekuensi rata-rata 2-3 kali
serta dilakukan penggabungan sesi sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi keluarga. Pelaksanaan tindakan sesi satu dan dua dilakukan dalam satu
kali pertemuan, yaitu mengidentifikasi masalah dan cara perawatan pasien harga
diri rendah. Sesi tiga dalam pelaksanaannya digabung dengan sesi empat, yaitu
melatih keluarga dalam manajemen stres dan manajemen beban keluarga. Sesi 5
yaitu pemberdayaan komunitas dilakukan tersendiri dilakukan tersendiri.

Pelaksanaan psikoedukasi keluarga ini dilaksanakan berdasarkan pada kebutuhan


keluarga dan memberi kesempatan untuk bertanya dan bertukar pandangan.
Peningkatan pengetahuan keluarga tentang gangguan jiwa akan mempengaruhi
tentang persepsinya tentang gangguan jiwa, termasuk dalam menghadapi stigma
tentang gangguan jiwa di masyarakat. Hasilnya adalah bahwa sikap positif
keluarga dapat mengarahkannya untuk mengendalikan emosi dalam memberikan
perawatan dan menghadapi stigma di masyarakat. Keluarga akan menerima
dengan secara positif apa yang diberikan Tuhan berupa anggota keluarga yang
gangguan jiwa. Sehingga pasien gangguan jiwa tidak menjadi beban psikologis
keluarga karena dapat menurunkan semangat atau motivasi keluarga dalam
menghadapi kehidupan bersama anggota keluarga yang gangguan jiwa.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


130

Hasil terapi psikoedukasi yang berupa kemampuan keluarga pada aspek


psikomotor akan mempercepat kemandirian pasien dengan gangguan jiwa harga
diri rendah. Hal ini dikarenakan sikap dan perlakuan keluarga setelah dilakukan
psikoedukasi keluarga menjadi lebih baik kepada pasien, sebagai dampak dari
pengetahuan yang diterima dari perawat selama proses terapi diberikan. Hal ini
merupakan tahap awal yang bagus untuk pasien karena sikap dan perilaku
keluarga diharapkan akan sama kepada pasien, baik pasien sedang di rawat di
rumah sakit ataupun ketika nanti sudah pulang dan kembali ke masyarakat.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pandeirot, (2007) menunjukkan


bahwa keluarga yang mendapat tindakan terapi keluarga menunjukkan
peningkatan dukungan dalam merawat pasien dengan masalah perilaku kekerasan.
Sedangkan hasil penelitian lain menunjukkan hasil secara bermakna dalam
menurunkan beban keluarga dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam
merawat pasien halusinasi dan pasien korban pasung (Wardaningsih, 2007; Sari,
2009). Pada penelitian Wardani, (2009) menggambarkan pengalaman keluarga
dalam merawat anggota keluarga mengalami ketidakpatuhan yakni dukungan,
beban yang dirasakan dan cara keluarga dalam mengatasi beban yang dirasakan.

Salah satu kendala dalam upaya penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa
adalah pengetahun keluarga (Hawari, 2003). Banyak keluarga menganggap
gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan dan membawa aib bagi
keluarga. Dampak dari pengetahuan tersebut banyak keluarga yang membawa
pengobatan ke dukun atau orang pinter. Kondisi tersebut diperberat dengan sikap
keluarga terhadap pasien gangguan jiwa dengan cara disembunyikan, diisolasi dan
dikucilkan dari masyarakat. Peningkatan pengetahuan keluarga tentang gangguan
jiwa membuat keluarga mengerti tentang harga diri rendah dan bagaimana
memperlakukan pasien yang mengalami harga diri rendah.

Perubahannya yang terjadi pada kemampuan psikomotor tidak seperti pada


kemampuan kognitif, karena untuk merubah perilaku atau kemampuan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


131

psikomotor memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perubahan


pada kognitif. Ditambah dengan perawatan pada gangguan jiwa bersifat jangka
panjang (Videbeck, 2008). Peran keluarga didalam perubahan perilaku ini sangat
menentukan karena keluarga dapat memberikan perasaan mampu atau tidak
mampu, diterima atau ditolak (Stuart & Laraia, 2005).

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan keluarga dalam merawat anggotanya,


dapat meningkatkan kemampuan pasien harga diri rendah. Perilaku caring
perawat dapat dilakukan dengan membantu memenuhi kebutuhan dasarnya dan
memberikan penghargaan yang positif kepada pasien dalam pencapaiannya.
Kemampuan yang sekecil apapun, perawat sebaiknya memberikan penghargaan
dan menghormatinya sehingga kemampuannya dalam memodifikasi pikiran-
pikran negatifnya menjadi lebih baik (Stuart dan Laraia, 2005).

Dari penerapan terapi spesialis ini bahwa implikasi yang dapat diraih dari pada
pasien adalah adanya efektifitas kognitif dan psikoedukasi keluarga bagi diagnosis
keperawatan harga diri rendah dalam meningkatkan kemampuan berfikir positif
dan menggunakan sumber koping yang dimiliki. Selain memberikan manfaat bagi
pasien dan keluarganya, hasil terapi ini juga memberikan pengaruh yang positif
terhadap pelayanan keperawatan secara menyeluruh di Ruang Antareja. Hasil
penerapan ini dapat memberikan keyakinan bagi perawat dan seluruh anggota tim
kesehatan yang menangani pasien harga diri rendah. Hal ini juga dapat dijadikan
sebagai salah satu bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam program
pemulangan pasien (discharge planning) dalam kaitannya dengan kondisi status
kesehatan pasien.

Selain implikasi tersebut maka hasil penerapan terapi kognitif, terapi perilaku
kognitif dan psikoedukasi keluarga ini juga dapat dijadikan dasar penetapan terapi
modalitas keperawatan bagi pasien pasien harga diri rendah di ruang rawat. Hal
ini untuk melengkapi terapi modalitas lainnya baik keperawatan atau medik serta
dalam pendekatan tim pelayanan keperawatan pada pasien di Ruang Antareja.
Dalam pelaksanaan pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga dengan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


132

pendekatan model stres adaptasi Stuart dan theory of human caring disadari
masih memiliki beberapa keterbatasan yang mempengaruhi pelaksanaan
terapi.Diantara keterbatasan yang dimaksud adalah keterbatasan tenaga dan
lingkungan.

Berdasarkan hasil pelaksanaan yang diperoleh, maka terapi yang efektif dalam
mengatasi diagnosa keperawatan harga diri rendah adalah terapi individu yaitu
terapi kognitif, terapi perilaku kognitif (CBT) dan untuk keluarga adalah terapi
Psikoedukasi keluarga (FPE).

5.2 Manajemen Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP)


Pelaksanaan manajemen pelayanan keperawatan di ruang Antareja telah
menggunakan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) sehingga Penulis
dapat bekerjasama dengan staf keperawatan ruangan dengan baik. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Gillies (1994) bahwa manajemen keperawatan adalah suatu
proses bekerja melalui anggota staf keperawatan untuk memberikan asuhan,
pengobatan dan bantuan terhadap pasien. Upaya untuk mendukung kegiatan
perawat ruangan dalam pemberian asuhan keperawatan sesuai dengan kegiatan
manajemen MPKP meliputi pelatihan, pendampingan dan supervisi insidental
terhadap keempat pilar MPKP. Pelayanan model praktik keperawatan profesional
dilaksanakan berpedoman pada empat pilar-pilar profesionalisme keperawatan
yaitu pilar managementapproach, compensatory reward, professional
relationship, dan patient care delivery (Keliat dan Akemat, 2010)
.
Langkha-langkah kegiatan yang dilakukan pada awal masuk di ruangan tersebut
adalah melakukan menilai baseline data terdahulu yang telah dilakukan oleh
mahasiswa residensi 2 terdahulu. Hal ini dilakukan untuk menilai kemampuan
yang telah dicapai oleh perawat ruangan baik kepala ruangan, katim maupun
perawat pelaksana. Kemampuan-kemampuan tersebut kemudian akan dibahas
melalui kontrak awal dengan pihak ruangan akan hal yang ingin dicapai
selanjutnya. Selanjutnya kegiatan yang dipilih oleh masing-masing staf ruangan

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


133

akan dilakukan pelatihan, pendampingan atau supervisi insidental sesuai dengan


kemampuan masing-masing staf ruangan yang telah dicapainya.

Kegiatan masing-masing pilar yang dilakukan pelatihan, pendampingan dan


supervisi insidental adalah pilar management approach meliputi; perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan
pengendalian (controlling). Pilar compensatory reward meliputi rekruitmen,
seleksi, orientasi, evaluasi/penilaian kinerja, dan pengembangan staf. Pilar
professional relationship melalui kegiatan konferensi kasus, visite dokter, rapat
tim keperawatan, dan rapat tim kesehatan. Pada pilar patient care delivery yang
merupakan pilar keempat dari model praktik keperawatan profesional yakni
asuhan keperawatan pasien dan keluarganya pada 7 diagnosa keperawatan (Keliat
dan Akemat, 2010).

Pilar patient care delivery meliputi 7 diagnosa keperawatan untuk perawat


generalis yakni perilaku kekerasan, halusinasi, harga diri rendah, isolasi sosial,
waham, defisit perawat diri dan risiko bunuh diri. Diagnosa tersebut merupakan
hasil kesepakatan dari Workshop Keperawatan Jiwa (2010), sehingga untuk
diagnosa keperawatan harga diri rendah dilaksanakan oleh Penulis, sedangkan
perawat ruangan melakukan intervensi pada pasien terkait dengan strategi
pelaksanaan tindakan keperawatan terkait dengan obat pada diagnosa halusinasi
dan risiko perilaku kekerasan.

Pelaksanaan strategi pelaksanaan tindakan keperawatan mengenai obat pada


diagnosa halusinasi dan risiko perilaku kekerasan tetap dilakukan oleh perawat
ruangan kemudian dilakukan evaluasi dan memberikan tindakan kembali terkait
dengan regimen terapeutik inefektif. Pemberian tindakan ini untuk memastikan
bahwa pasien telah memahami dengan baik akan tindakan keperawatan yang
dilakukan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


134

5.4 Keterbatasan/Kendala
Proses pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien harga diri rendah dengan
menggunakan pendekatan teori Stress Adaptation Model dan Theory of Human
Caring oleh Watson, Penulis menemukan beberapa kendala. Kendala ini terkait
dengan manajemen asuhan keperawatan maupun manajemen pelayanan
keperawatan jiwa. Berikut beberapa kendala tersebut :
5.4.1 Pasien yang dirawat adalah lebih banyak adalah pasien kurang mendapat
dukungan baik dari kelompok yang ada di dalam keluarga maupun kelompok
yang ada di dalam masyarakat. Penulis membutuhkan kemampuan waktu yang
agak memanjang dalam proses terapi dalam membantu pasien mengenali sumber-
sumber yang dapat mendukungnya.
5.4.2 Keterlibatan keluarga sangat kurang, karena beberapa pasien yang sama
sekali tidak memiliki dukungan keluarga. Penulis telah mencoba untuk
menghubungi keluarga melalui nomor kontak yang ada namun tidak dapat
dihubungi lagi. Hal ini menyulitkan dalam membantu pasien untuk mendapatkan
caregiver yang memadai jika kelak akan dipulangkan.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


134

BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran ini menguraikan tentang kesimpulan dari penyusunan Karya Ilmiah
Akhir serta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik keperawatan
jiwa di rumah sakit Jiwa

6.1 Simpulan
Karya tulis ini memberi gambaran tentang manajemen kasus dan pelayanan yang diberikan
terapi generalis, terapi kognitif, terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga pada
pasien harga diri rendah dengan pendekatan teori Stress Adaptation Model oleh Stuart dan
Theory of Human Caring oleh Watson. Kesimpulan yang didapat dari kegiatan tersebut
adalah sebagai berikut:

6.1.1 Karakteristik klien dengan diagnosis harga diri rendah di Ruang Antareja mayoritas
berusia dewasa (21-40 tahun), pendidikan mayoritas menengah (SMP), keseluruhan berjenis
kelamin laki-laki, mayoritas tidak sudah bekerja dan belum menikah, rata-rata lama sakit
lebih dari 3 tahun, frekuensi klien masuk rumah sakit yang terbanyak adalah lebih dari tiga
kali.

6.1.2 Faktor predisposisi pada harga diri rendah di ruang Antareja yang paling banyak
ditemukan pada aspek biologis yaitu menderita gangguan jiwa sebelumnya, aspek psikologis
yaitu pengalaman yang tidak menyenangkan dan pada aspek sosial budaya yaitu status
ekonomi rendah dan masalah pekerjaan.

6.1.3 Faktor presipitasi pada harga diri rendah yang paling banyak ditemukan pada aspek
biologis karena putus obat, aspek psikologis adalah keinginan yang tidak terpenuhi, aspek
sosial kultural adalah masalah ekonomi, asal stresor adalah internal, waktu stresor adalah
lebih dari 2 bulan, dan jumlah stresor lebih dari 3 stresor.

6.1.4 Tanda dan gejala klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan
generalis dan terapi kognitif, pada respon kognitif, afektif , fisiologis dan perilaku terjadi
penurunan tanda dan gejala.

134
Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


135

6.1.5 Tanda dan gejala klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan
generalis, terapi kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga juga terjadi penurunan pada respon
kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku.

5.1.6 Tanda dan gejala klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan
generalis, terapi kognitif prilaku dan terapi psikoedukasi keluarga terjadi penurunan pada
respon kognitif, afektif, fisiologis dan perilaku.

5.1.7 Kemampuan klien harga diri rendah setelah diberikan tindakan keperawatan generalis
dan terapi perilaku kognitif dan terapi psikoedukasi keluarga terjadi peningkatan kemampuan
dalam mengidentifikasi pikiran otomatis negatif, menggunakan tanggapan rasional terhadap
pikiran otomatis negatif , mampu mengidentifikasi manfaat penggunaan tanggapan rasional
dan mampu menggunakan support system.

5.1.8 Kemampuan klien setelah diberikan tindakan keperawatan generalis, terapi Kognitif
prilaku dan terapi psikoedukasi keluarga terjadi peningkatan kemampuan pada identifikasi
pikiran otomatis negatif, mampu menggunakan tanggapan rasional terhadap pikiran
otomatis negatif, dan mampu menggunakan support system.

5.1.9 Kemampuan keluarga setelah diberikan tindakan generalis dan terapi psikodukasi
keluarga terjadi peningkatan pada mengenal masalah, mampu memutuskan untuk mengatasi
masalah, mampu merawat, mampu memodifikasi lingkungan positif, dan mampu
memanfaatkan pelayanan kesehatan, mampu manajemen stres, dan mampu manajemen
beban.

6.2 Saran
Hasil pelaksanaan tindakan keperawatan memberikan dampak terhadap pelayanan
keperawatan, sehingga saran penulis sebagai berikut:

6.2.1. Pelayanan Keperawatan Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
a). Perawat memberikan terapi kognitif, terapi prilaku kognitif secara individu karena
masing-masing klien harga diri rendah mempunyai kemampuan yang berbeda. b). Perawat
dalam memberikan tindakan keperawatan berorientasi untuk mengurangi tanda dan gejala
serta meningkatkan kemampuan sehingga klien dapat kembali produktif pada saat kembali ke
Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


136

masyarakat. c) Perawat melibatkan keluarga dalam setiap tindakan keperawatan melalui


pendidikan kesehatan dan psikoedukasi keluarga, untuk mengoptimalkan penurunan tanda
dan gejala serta peningkatan kemampuan klien serta kemampuan keluarga dalam merawat
anggotanya yang mengalami gangguan jiwa.

6.2..2 Manajemen Rumah Sakit Jiwa H. Marzoeki Mahdi Bogor


a. Kepala Bidang Keperawatan
(1) Memfasilitasi untuk menyediakan ruangan konsultasi di setiap ruang rawat untuk menjaga
privasi klien dan keluarga pada saat diberikan tindakan keperawatan. (2) Memfasilitasi
penerapan pelayanan keperawatan yang bersifat spesialistik melalui program perencanaan
pengembangan tenaga perawat spesialis jiwa dan membuat usulan penetapan standar asuhan
keperawatan penerapan terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada klien harga diri
rendah.

b. Direktur Rumah Sakit


(1) Menetapkan kebijakan agar setiap klien yang dirawat minimal 3 kali dikunjungi dalam
rangka memberikan pelayanan keperawatan yang komprehensif. (2) Menetapkan kebijakan
untuk mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa di unit umum, sebagai upaya
penanggulangan pada klien dan keluarga yang mengalami hal yang tidak menyenangkan serta
kehilangan yang diakibatkan oleh penyakit fisik. (3) Melakukan koordinasi dengan dinas
kesehatan untuk mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa masyarakat melalui penyuluhan
kesehatan jiwa sebagai upaya promotif dan preventif. (4) Melakukan koordinasi dan
memberdayakan Puskesmas untuk memudahkan klien mendapatkan terapi baik secara medis
maupun keperawatan sebagai upaya mengurangi angka putus obat yang berakibat pada
kekambuhan. (5) Memfasilitasi sarana-prasarana serta sumber daya di rumah sakit untuk
memberikan pelayanan yang profesional, sebagai upaya kuratif pada klien gangguan jiwa. (6)
Melakukan koordinasi dan memberdayakan kader kesehatan jiwa untuk mendukung dan
memonitor pemanfaatan obat klien selama di rumah serta memotivasi untuk menggunakan
fasilitas kesehatan dalam upaya rehabilitatif.

6.2.1.3 Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK-UI dan Kolegium


a. Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit dalam pelaksanaan praktik dan juga
pengembangan berbagai terapi keperawatan baik generalis maupun spesialis yang bersifat
individu maupun kelompok untuk meningkatkan kemampuan perawat dalam menangani
Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


137

klien dengan harga diri rendah. b. Memfasilitasi praktik mandiri keperawatan jiwa spesialis
melalui program standarisasi dan lisensi praktik keperawatan jiwa spesialis melalui strategi
uji kompetensi.

6.2.1.4 Riset Keperawatan


a. Mengembangkan penelitian tentang ketepatan pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi
keluarga pada diagnosis keperawatan harga diri rendah. b. Mengembangkan penelitian
tentang pengaruh dan efektifitas pemberian terapi kognitif dan psikoedukasi keluarga pada
diagnosis keperawatan harga dirirendah. c. Mengembangkan penelitian tentang faktor-faktor
penyebab klien harga diri rendah mengalami putus obat.

Universitas Indonesia

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


DAFTAR PUSTAKA

Allemand, Steiger, Robin, Fend (2014) Low and Decreasing Self-Esteem During
Adolescence Predict Adult Depression Two Decades Later, APA (2014),
Journal of Personality and Social Psychology vol. 106, No2, 325-338

Almond, S., et al (2004). Relapse in Schizophrenia: Costs, Clinical Outcomes and


Quality of Life. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15056580. Diakses
17Juni 2014.

Anjaswarni, T., (2002). Analisis tingkat kepuasan klien terhadap perilaku


"caring" perawat di rumah sakit umum daerah Dr. Saiful Anwar Malang
tahun 2002. Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia. Tesis. Tidak Dipublikasikan.

Antonio, Prendes, Stella (__________) Cognitif Behavioral Therapy. Diunduh


http://www.sangepub.com/upm_data /406892 tanggal 30 Juni 2014

Auden et al, (2010) Characteristics Associated With Low-Self Esteem Among US


Adolescens. Academic Pediatrics 2010, 10, 238-44

BABCP (2006). Cognitive Behavioural Therapy. http://www.babcp.com/Public/


What-is-CBT.aspx. Diakses 01 Juni 2014.

Berger (2010) Cognitive Behavioral Therapy


wwwpsychologistanywhereanytime.com. diunduh tanggal 30 Juni 2014

Bhar, Holloway, Brown, Beck (2008) Self-Esteem and sucide ideation


Psychiatric outpatients; The American Association of Suicidelogy, oct
2008; 38.5 Proquest. pg. 115

Brady, N., & McCain, G.C., (2004). Living with Schizophrenia: A Family
Perspective. Online J Issues Nurs. 10(1):7.
http://www.nursingworld.org/MainMenuCategories?ANAMarketplace?A
NAPeriodicals?OJIN/TableofContents/Volume102005/No1Jan05/HirshArt
icl e/LivingwithSchizophrennia.html. Diakses 17 Mei 2014.

Cara C (2000) A Pragmatic View of Jean Watson’s Caring Theory. Faculty of


Nursing, Université de Montréal, C.P. 6128, Succursale Centre-ville,
Montréal, Québec, Canada, H3C 3J7. chantal.cara@umontreal.ca. Diunduh 1
juni 2014

Car, C. (1999). Caring philosophy and theory for the advancement of the nursing
discipline. Faculty of Nursing, Université de Montréal, C.P. 6128, Succursale

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Centre-ville, Montréal, Québec, Canada, H3C 3J7.chantal.cara@umontreal.ca
diunduh 1 Juni 2014-07-01

Carson, V.B. (2000). Mental Health Nursing: The Nurse Patient Journey. (2th ed.).
Philadelphia: W.B. Sauders Company.

Chien, W.T., & Wong, K.F., (2007). A Family Psychoeducation Group Program
for Chinese People with Schizophrenia in Hong Kong.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17602019. Diakses 03 Juni 2014.

Copel, L.C. (2007). Kesehatan Jiwa & Psikiatri, Pedoman Klinis Perawa
(Psychiatric and Mental Health Care: Nurse’s Clinical Guide). Edisi
Bahasa Indonesia (Cetakan kedua). Alihbahasa : Akemat. Jakarta : EGC.

Depkes RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik (2003) Pedoman Penggolongan


dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta

De Laune, S.C., & Ladner, P.K., (2002). Fundamentals of Nursing: Standards &
Practice, Clifton Park, NY: Delmar, a division of Thomson Learning, Inc.

Fauziah, Hamid, A.Y., Nuraini, T. (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif pada
klien skizoprenia dengan perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
dipublikasikan

Friedman, M.M., (2010). Family Nursing: Research, Theori & Practice. (5 nd ed).
Connecticut: Appleton & Lange.

Frisch, N.C. & Frisch, L.E. (2006) Psychiatric Mental Health Nursing. (3th Ed.).
Canada: Thompson corporation

Froggrat, W., (2006) Cognitive-Behavior Therapy. http://www.rational.org.nz/


prof-docs/Intro-CBT/pdf. Diakses 05 Juni 2014.

Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing (6th Ed.) New Jersey: Pearson
Education Inc.

Fortinash, K.M., & Worret, P.A.H., (2004). Psychiatric Mental Health Nursing.
(3rd ed.). St. Louis Missiouri: Mosby

Gillies, D.A. (1994). Nursing Management: A system approach. (3rd ed.).


Philadelphia: W.B. Saunders Company

Guindon (2010). Self - Esteem Across the lifespan Issues and Intervention. Taylor
and Francis Group, LLC, New York London.

Hawari, D. (2001). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia, Jakarta


: FKUI

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Herdman, T. (2012). Nursing Diagnosis : Definition & Classification 2012–2014.
Indianapolis: Willey – Balckwell.

Hidayat, Keliat BA, Wardhani (2011) Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy


(CBT) dan Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) terhadap klien
perilaku kekerasan, dan harga diri rendah di RS. Marzoeki Mahdi
Bogor. Tesis FIKUI tidak dipublikasikan.

Ibrahim (2011). Skizofrenia. Tangerang, Jelajah Nusa

Kaplan & Saddock. (2007). Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis.
(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Kaplan, H.I., Saddock, B.J., & Grebb, J.A. (2010). Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I. (7th ed.). Jakarta : Bina
Rupa Aksara. Jakarta

Kazadi, N.J.B., Moosa, M.Y.H., & Jeenah, F.Y., (2008). Factors Associated with
Relapse in Schizophrenia. http://www.ajol.info/index.php/sajpsyc/article/
viewFile/34432/6360. Diakses 17 Juni 2014.

Keliat, B.A.(2006). Gangguan Konsep Diri. Jakarta: EGC

Keliat B.A, dkk (2010). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok.


Jakarta: EGC

Keliat B.A, Panjaitan R.U, Riasmini M, (2007) Manajemen Keperawatan Jiwa


Komunitas Desa Siaga CMHN (Interediet Course EGC Jakarta Indonesia

Kingdon & Turkington (2008) Cognitive Therapy of Schizophrenia The Guilford


Press New Yorl London

Kustiawan (2012). Pengaruh Psikoedukasi Keluarga Terhadap Kemampuan


Keluarga Merawat Klien Harga Diri Rendah di Kota Tasikmalaya. Tesis
FIKUI Tidak dipublikasikan

Lelono, Keliat BA, Besral (2011). Efektivitas Cognitif Behaviour Therapy dan
Rational Emotive Therapy terhadap klien perilaku kekerasan, halusinasi
dan harga diri rendah di RS.Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis FIKUI tidak
dipublikasikan.

Maslim, R. (2003). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari
PPDGJ-III. Direktorat Kesehatan Jiwa. Jakarta

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Marilyn., Langeland, Willie., Gersons, Berthold P R (2004). The Psychobiology of
PTSD: coping with trauma, Psychoneuro endocrinology (2005) 30,
974-982. Elsiever

Mueser, K.T., & Gingerich, S. (2006). The Complete Family Guide of


Schizophrenia. New York: The Guilford Press.

NANDA. (2010). Nursing Diagnosis, Nanda International, Canada.

National Alliance of Mental Illness (NAMI)(2013). http://www.nami


.org/factsheets/Mental Ilnes-factsheets, pdf. Diunduh 30 Mei 2014

National Institute of Mental Health (2012). The number count: Mental Disorder
in America. www.nimh.nih.gov/health/publications//the –number-count-
mental disorder-in-america/index. Diakses pada tanggal 30 Mei 2014 .

Narcross, John C (2010) Evidance-Based Therapy Relationship. New York:


Oxford University Press.

Notoatmodjo, Soekidjo (2010) promosi kesehatan, teori dan aplikasi ed. Revisi
Yokyakarta Rhinekacipta

Owen (2013). The effects of Watson’s Theory and The Nurse Utilization of Caring
Atrubuttes.Thesis Suitted School of Nursing in Partial Fulfillment of The
requirements for The Master of Scien in Nursing Degree. Proquest
LLC.789east eisenhover.

Pandeirot, M.N., (2007). Pengaruh Terapi Keluarga terhadap DukunganKeluarga


dalam Merawat Klien dengan Masalah Perilaku Kekerasan diKota
Surabaya. Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu KeperawatanUniversitas
Indonesia. Tesis. Tidak Dipublikasikan.

Parker & Smith (2010) Aplication: Theory Into Practice Plan Implementation
(www.google.com.search: watson+Theory+from+parker+smith)

Parker, Marilyn dan Smith, Marlaine C (2010). Nursing Theory & Nursing
Practice, 3rd edition, F.A. Davis Compani. Philadelphia

________(2014) The human genom Project (http;//ghr.nlm.nih.gov) Parker,

Potter, P.A. & Perry, A. G. (2005). Fundamental of Nursing : Concepts, Process


and Practice. Philadelphia : Mosby Year Book Inc.

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Raevuori, et al (2007), Genetik and Environmental Factors AffectyngSelf-Esteem
Age 14 to 17; A longitudinal Study of Finnish Twins. Psychologica
Medicine, 2007, 37, 1625-1633. Cambridge University Press.

Right, J., (2012). How to Integrate Jean Watson’s Theory of Caring Into Nursing
Practice, http://www.ehow.com/how_6644521_integrate-theory caring
nursing- practice., diakses 10 Juni 2014.

Rosenberg (1965) Rosenberg Self-esteem Scale. The Morris Rosenberg Fondation


Departemen of Sosiology University of Maryland
(www.Yorku.Ca/rokada/Psychiatri/Rosenberg pdf) diakses 10 Juni 2014

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007: Laporan nasional 2007. Jakarta.

Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013: Laporan nasional 2013. Jakarta.

Sari, Keliat BA, Mustikasari (2009) Pengaruh Family Psychoedukasi Therapy


Terhadap Beban dan Kemandirian Keluarga dalam Merawat Klien Pasung
di Kab Bireun NAD. Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia. Tesis. Tidak Dipublikasikan.

Sasmita H., Keliat, B.A., Budiharto. (2007). Efektifitas Cognitive Behavioral


Therapy (CBT) pada Klien Harga Diri Rendah di RS Dr. Marzoeki Mahdi
Bogor tahun 2007. Tesis FIKUI.Tidak dipublikasikan

Sharif, S.A., et al. (2004). Reasons for Non-Compliance to Treatment among


Patients with Psychiatric Illness: A Qualitative Study.
http://www.ajol.info/index.php/safp/article/viewFile/13055/38169.
Diakses 15 Juni 2014.

Sinaga, B.R. (2007). Skizofrenia & diagnosa banding.Jakarta:Balai penerbit


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Sorensen (2006). Breaking The Chaim of Low Esteem, Secon Edition. Wolf
Publishing Co. Sherwood, OR 97140

Stein & Joska (2009). The International Encyclopedia of Depression. Spinger


publishing Company (www.spingerpub.com/samples/9780826137937 pdf
Diunduh 2 juni 2014

Suerni, Keliat BA, Helena N.CD (2013) Penerapan terapi Kognitif dan
Psikoedukasi Keluarga pada klien Harga diri rendah di Ruang Yudistira
RSMM Bogor. Karya Ilmiah Akhir FIKUI. Tidak dipublikasikan.

Susihar (2011). Pengaruh pelatihan perilaku caring terhadap motivasi perawat


dan kepuasan pasien di instalasi rawat inap Rumah Sakit Royal Progress
Jakarta. Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Indonesia. Tesis. Tidak Dipublikasikan.

Shives, L.R. (2012). Basic Concept of Psychiatric-Mental Health

Steadman (2005) Kamus Ringkas Kedokteran untuk Profesi Kesehatan. 4 th


Edition EGC, Jakarta Indonesia

Stuart, G.W & Laraia. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (5th
edition). St. Louis : Mosby Nursing( Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.

Stuart, G.W (2009). Principles and practice of psychiatric nursing. edition).


St Louis: Mosby

Stuart, G.W (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. edition).


St Louis: Mosby

Sunarto, Hamid AY, Wardhani IY (2012), Manajemen Asuhan Keperawatan


Pasien dengan Regimen Terapeutik Inefektif menggunakan Model
Tranpersonal Caring Relationship: Jean Watson di Ruang Antareja RS.Dr.
H. Marzoeki Mahdi Bogor. TESIS FIK UI Tidak dipublikasikan.

Susihar (2011). Pengaruh pelatihan perilaku caring terhadap motivasi perawat


dan kepuasan pasien di instalasi rawat inap Rumah Sakit Royal Progress
Jakarta. Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia. Tesis. Tidak Dipublikasikan.

Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2006). Nursing Theories and Their Work. (6th
ed). St. Louis : Mosby Years Book Inc.

Tomey, A.M,. dan Alligood, M.R,. ( 2014) Nursing Theorists and Their Work..
Ed.USA: Mosby, Inc

Townsend, M.C. (2009). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in


Evidence-Based Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company

Townsend & M.C (2014). Psychiatric Mental Health Nursing. ( )


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Taylor, V., (2011), Prevalence of Schizofrenia, http://www.schizophrenia.com/


articles/schizophrenia/prevalence-schizophrenia. diakses 01 Juni 2014

Tuty, Kandou J, Elvira SD (2005), Prevalensi Disfungsi Ereksi pada pasien


Skizofrenia yang mendapat terapi antipsikotik dan anti kolinergik di RS Dr.
Ciptomangunkusumo; RS Dr. Soeharto Heerdjan dan RS.Dr. Marzoeki

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Mahdi Bogor. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tesis. Tidak
dipublikasikan.

Universitas Indonesia. 2008. Pedoman Teknis Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa


Universitas Indonesia. Jakarta: UI

Van Zyl, Cronjé, Payze (2006). Low Self-Esteem of Psychotherapy Patients: A


Qualitative Inquiry The Qualitative Report Volume 11 Number 1 March
2006 182-208

Varcarolis dan Halter. (2010). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing.


(6th edition). Philadelphia: FA Davis Company.

Videbeck, S.L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Videbeck, S.L. (2011). Psychiatric–Mental Health Nursing( edition)


Philadelphia: FA Davis Company

Wardaningsih, Keliat BA, Helena CD (2007). Pengaruh Family Psychoeducation


terhadap Beban dan Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien dengan
Halusinasi di Kabupaten Bantul Yogyakarta. Tesis.FIKUI Tidak
Dipublikasikan.

Wardani, I.Y., Hamid, A.Y., Wiarsih, W (2009) Pengalaman Keluarga


Menghadapi Ketidakpatuhan Anggota Keluarga dengan Skizofrenia dalam
mengikuti regimen terapeutik: Pengobatan, Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Tesis. Tidak
Dipublikasikan.

Wardani., I.Y., Keliat BA, Helena CD (2010). Manajemen kasus spesialis


keperawatan jiwa pada pasien dengan diagnosa keperawatan risik perilaku
kekerasan di ruang Dewi Amba dan Antareja RSMM Bogor. KTI. Jakarta.
FIK UI. Tidak dipublikasikan

Wainwright, N., (2012). How to Apply Jean Watson Nursing Theory Into Nursing,
http://www.ehow.com/how_7350428_apply-watson-nursing-theory
intonursing. html., diakses 05 Juni 2014.

World Health Organization (2012), Mental Health: Schizofrenia


http://www.who.int/mental_health/manajemen/schizofrenia/en/diakses 30
Mei 2014

Word Psychiatric (2008), Side effect of atypical antipsychotic; a brief overview


US National Library of Medicine National Institutes of Health Feb 2008; 7
(1): 58-62.

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014


Workshop Keperawatan Jiwa FIK UI. (2011, 2012, 2013). Draft Standar Asuhan
Keperawatan Program Spesialis Jiwa. Tidak dipublikasikan.

Yunitri, Hamid A.Y, Mustikasari (2013) Manajemen Terapi Keperawatan


Cognitif Behavior Therapy Menggunakan Pendekatan Stress Adaptation
Model Stuart dan Theory of Human Caring Watson di Rumah Sakit DR. H.
Marzoeki Mahdi Bogor. TESIS FIK UI Tidak dipublikasikan.

Manajemen asuhan…, Hasniah, FIK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai