Anda di halaman 1dari 12

AMBIGUITAS

DALAM PSIKOLINGUISTIK

MAKALAH
Dipresentasikan di Program Pascasarjana
BKU Linguistik
Januari 2008

Oleh
Tri Yulianty K.
NIP 132310586

FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2008
Abstrak

Ambiguitas atau ketaksaan makna atau kegandaan makna dapat terjadi


pada tingkat fonetik, leksikal, dan gramatikal. Kalimat ambigu akan sulit
dipahami oleh orang yang mengalami gangguan hemisfer kanan dan akan
sulit diproses oleh orang yang memiliki kapasitas kerja memori yang
rendah. Dari sisi psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi proses pemahaman
terhadap ujaran, yaitu kalimat yang ambigu memerlukan waktu lebih lama
untuk dipahami. Ambiguitas dapat dihindarkan melalui konteks (situasi dan
kalimat), pemberian penanda batas (leksikal, unsur prosodi berupa jeda,
tanda baca), dan kecermatan struktur gramatikal dengan memerhatikan
fitur-fitur semantik kata.
Ambiguitas dalam Psikolinguistik

A. Pendahuluan

Ambiguitas atau ketaksaan makna adalah gejala dapat terjadinya

tafsiran lebih dari satu makna. Hal ini dapat terjadi baik dalam ujaran lisan

maupun tulisan. Tafsiran lebih dari satu ini dapat menimbulkan keraguan

dan kebingungan dalam mengambil keputusan tentang makna yang

dimaksud. Ujaran seperti Anak istri lurah cantik dapat menimbulkan

kebingungan, apakah maksudnya anak dan istri lurah yang cantik? ataukah

anak, istri, dan lurah semuanya cantik? Begitu pula dengan kalimat Ini bisa.

Kita tidak tahu apakah bisa di sini berarti racun atau dapat.

B. Jenis Ambiguitas

Ullmann (dalam Pateda, 2001: 202; Djajasudarma, 1999: 54) membagi

ambiguitas menjadi tiga tipe utama, yaitu ambiguitas tingkat fonetik, tingkat

leksikal, dan tingkat gramatikal.

1. Ambiguitas tingkat fonetik

Ambiguitas tingkat fonetik timbul akibat membaurnya bunyi-bunyi

bahasa yang diujarkan, kadang karena kata-kata yang membentuk kalimat

diujarkan terlalu cepat sehingga orang menjadi ragu akan makna kalimat
yang diujarkan (Pateda, 2001: 202), seperti tampak pada contoh dalam

bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berikut:

(1) beruang /beruaN/  ‘mempunyai uang’ atau ‘nama binatang’

(2) /bukanaNka/  bukan angka, buka nangka, bukan nangka

(3) a near ’ginjal’ – an ear ‘telinga’

Ambiguitas ini berhubungan dengan keraguan kita terhadap bunyi

bahasa yang kita dengar. Kadang-kadang karena ragu-ragu, kita

mengambil keputusan yang keliru.

2. Ambiguitas tingkat leksikal

Ambiguitas tingkat leksikal adalah macam ambiguitas yang

disebabkan oleh bentuk leksikal yang dipakai (Dardjowidjojo, 2005: 76). Hal

ini berkaitan dengan makna yang dikandung setiap kata yang dapat

memiliki lebih dari satu makna atau mengacu pada sesuatu yang berbeda

sesuai lingkungan pemakaiannya, sebagaimana tampak pada contoh-

contoh berikut:

(4) Ini bukunya.

(5) Masing-masing mendapat satu kursi.

(6) He was shot near the bank.

Pada (4) kata buku dapat mengandung makna lebih dari satu, sehingga

pada kalimat tersebut tidak jelas yang manakah makna buku dimaksud.

Begitu pula halnya pada (5) dan (6), kata kursi dan bank dapat
mengandung lebih dari satu makna dan pada kedua kalimat tersebut tidak

ada kejelasan makna apa yang dimaksud.

3. Ambiguitas tingkat Gramatikal

Ambiguitas ini muncul pada tataran morfologi dan sintaksis

(Djajasudarma, 1999: 55). Pada tataran morfologi ambiguitas muncul dalam

pembentukan kata secara gramatikal, misalnya kata Pemukul (peN + pukul)

yang bermakna ganda ‘orang yang memukul’ atau ‘alat untuk memukul’.

Dalam bahasa Inggris prefiks in- yang mengakibatkan makna ‘into, within,

towards, upon’, pada bentuk indent (*in + dent) bermakna ‘memasukkan’

atau ‘lekuk’.

Pada tataran sintaksis ambiguitas muncul pada frasa, klausa, dan

kalimat. Tiap kata yang membentuk frasa atau kalimat itu telah jelas, tetapi

dalam pengombinasiannya dapat memiliki tafsiran lebih dari satu

pengertian. Frasa orang tua dapat bermakna ‘orang yang tua’ atau ‘ibu-

bapak’. Dalam kalimat I met a number of old friends and acquitances

apakah kata old hanya mengacu pada friends ataukah pada friends dan

acqutances, hal ini merupakan suatu tafsiran ganda.

Gleason dan Ratner (1998, dalam Dardjowidjojo, 2005: 77) membagi

ambiguitas gramatikal menjadi dua macam, yaitu:

a. Ambiguitas sementara (local ambiguity), yaitu fungsi sintaktik suatu

bentuk leksikal berstatus ambigu sampai pada suatu saat di mana kita
memperoleh kata-kata tambahan yang mengudari (disambiguate)

ambiguitas itu. Contoh:

(7) The horse raced past the barn fell.

Sebelum mendengar kata fell, kata raced diduga sebagai predikat the

horse karena urutan NP-VP maka V merupakan predikat NP.

Interpretasi pertama kita adalah bahwa kuda itu berlari melewati

kandang. Namun, begitu mendengar verba fell jelaslah bahwa

predikatnya bukan raced, tetapi fell. Dengan demikian kalimat tersebut

tidak lagi ambigu setelah munculnya verba fell.

b. Ambiguitas abadi (standing ambiguity), yaitu kalimat yang tetap ambigu

walaupun telah sampai pada kata terakhir. Contoh:

(8) The shooting of the hunter was terrible.

(9) Old men and women went to town.

Pada kalimat-kalimat tersebut tetap ada dua tafsiran makna untuk

masing-masing kalimat walaupun kalimat tersebut telah berakhir.

C. Ambiguitas dari Segi Neurologi dan Psikologi

Faktor neurologis merupakan faktor yang juga sangat penting dalam

penguasaan bahasa. Proses berbahasa ini dikendalikan oleh otak yang

merupakan pengatur dan pengendali gerak semua aktivitas manusia.

Bagian otak manusia yang menangani fungsi bahasa disebut korteks

selebral, yang terdiri dari dua bagian, yaitu hemisfer kiri dan kanan. Kedua
hemisfer ini dihubungkan oleh korpus kalosum yang mengintegrasikan dan

mengkoordinasikan kerja kedua hemisfer tersebut.

Pada mulanya, melalui berbagai penelitian dan tes yang dilakukan

para ahli (Wada, Kimura, dll), dinyatakan bahwa hemisfer kiri bertanggung

jawab dalam pengelolaan bahasa. Namun, perkembangan terakhir

menunjukkan bahwa hemisfer kanan pun turut bertanggung jawab dalam

penggunaan bahasa walaupun tidak seintensif hemisfer kiri. Hal ini didapati

pada orang-orang yang terganggu hemisfer kanannya, yaitu antara lain

kemampuan mengurutkan peristiwa sebuah cerita menjadi kacau,

kesukaran menarik inferensi, kesukaran memahami metafora atau

sarkasme, dan tidak dapat memahami kalimat yang ambigu (lihat

Dardjowidjojo, 2005: 212-213). Dari uraian tersebut tampak bahwa kesulitan

mendeteksi kalimat yang ambigu dapat berkaitan dengan faktor neurologis,

terutama hemisfer kanan. Pada kondisi otak yang normal (kedua hemisfer

tidak mengalami kerusakan) ambiguitas berkaitan dengan kerja memori

leksikal manusia. Angela D. Friederici (dari Max Planck Institute of Cognitive

Neuroscience) menyatakan bahwa kalimat yang ambigu akan sulit diproses

oleh orang yang memiliki kapasitas kerja memori yang rendah.

Dari sudut psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi oleh komprehensi

yang berkaitan dengan pemahaman atas ujaran. Pemahaman terhadap

kalimat yang ambigu memerlukan waktu yang lebih lama untuk diproses.

Hal ini terjadi karena pendengar menerka makna tertentu, tetapi ternyata
terkaan itu tidak benar sehingga harus mundur kembali untuk memroses

ulang seluruh interpretasi dia (Dardjowodjojo, 2005: 76).

Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain oleh MacKay (1966),

Foss (1970), dan Garret (1970) yang membuktikan bahwa ambiguitas

berpengaruh terhadap pemahaman. Melalui analisis Reaction Times (RT)

terhadap kalimat ambigu didapati hasil bahwa kalimat ambigu

memperlambat proses pemahaman dibandingkan dengan kalimat yang

tidak ambigu. Foss dan Jenkins (1973) bahkan mengaitkan proses

pemahaman terhadap kalimat ambigu ini dengan konteks yang netral dan

bias, seperti tampak pada tabel berikut (dalam Foss, 1978: 123):

Sentence Type
Context
Ambiguous Unambiguous
The merchant put his straw The merchant put his oats
Netral beside the machine. beside the machine.
RT = 564 RT = 525
The farmer put his straw beside The farmer put his oats beside
Biased the machine. the machine.
RT = 549 RT = 513

RT: msec

D. Pemecahan Masalah Ambiguitas

Dalam berbagai macam ambiguitas mana pun, yang memegang

peranan sangat penting adalah konteks. Dari konteks itulah kita dapat

menentukan makna yang dimaksud (lihat Dardjowodjojo, 2005: 78; Chaer,


2003: 288) sehingga ambiguitas dapat dihilangkan. Konteks ini dapat

berupa konteks situasi sehingga pada kalimat (6), bila konteksnya adalah

transaksi uang, maka bank kemungkinannya merujuk pada tempat simpan-

menyimpan uang. Bila konteksnya polisi brutal yang mengejar-ngejar

pemburu, maka kalimat (8) mungkin berarti penembakan terhadap si

pemburu, bukan kualitas tembakan si pemburu itu.

Selain konteks situasi seperti contoh di atas, konteks kalimat pun

dapat menghilangkan ambiguitas. Misalnya, bila kalimat (5) diujarkan “Pada

pemilihan anggota dewan masing-masing partai mendapat satu kursi”

jelaslah acuan makna kursi dalam kalimat itu, yaitu kedudukan.

Pemberian penanda batas dapat pula menghindarkan ambiguitas,

antara lain penanda batas:

1. Leksikal, seperti pada contoh berikut:

(10) Guru baru datang

a. Guru baru itu datang

b. Guru itu baru datang

2. Unsur prosodi berupa jeda (dalam ragam lisan), sehingga klausa (10)

menjadi:

c. Guru baru // datang

d. Guru // baru datang

Begitu pula dengan kalimat bahasa Inggris They are broiling hens

yang melalui jeda dalam pengucapan dapat dipahami maksudnya apakah

They // are broiling // hens ataukah They are // broiling hens. Namun,
terdapat pula struktur gramatikal yang ambiguitasnya tidak dapat diatasi

melalui jeda seperti dalam kalimat bahasa Inggris berikut:

(11) The chicken is ready to eat.

Untuk menghindarkan ambigu, kalimat tersebut dapat diparafrase (cara

leksikal) sebagai berikut:

a. The chicken is ready to eat (something).

b. The chicken is ready to be eaten.

3. Tanda baca (dalam ragam tulis), misalnya:

(12) Buku sejarah baru

a. Buku-sejarah baru (Yang baru adalah buku sejarah)

b. Buku sejarah-baru (Buku tentang sejarah baru)

Ambiguitas pun dapat dihindarkan melalui kecermatan struktur

gramatikal termasuk pula dengan memperhatikan fitur-fitur semantik kata

(leksem). Sebagai contoh, ambiguitas frasa dari C.A. Mess (dalam Chaer,

2003: 289):

(13) Lukisan Yusuf

Struktur frasa tersebut memiliki interpretasi:

(a) Lukisan itu milik Yusuf.

(b) Lukisan itu karya Yusuf.

(c) Lukisan itu menampilkan wajah Yusuf.

Interpretasi-interpretasi tersebut muncul karena fitur-fitur makna inheren

yang dimiliki leksem Yusuf, yaitu:


- [+manusia] yang berpotensi [+pemilik] sehingga menimbulkan

interpretasi (a)

- [+pelaku] yang memunculkan interpretasi (b)

- [+objek] yang memunculkan interpretasi (c).

E. Penutup

Ambiguitas dapat terjadi pada tingkat fonetik (pengujaran yang terlalu

cepat), leksikal (setiap kata dapat memiliki lebih dari satu makna), dan

tingkat gramatikal (pada tataran morfologi dan sintaksis).

Dari sisi neurologi, kalimat ambigu akan sulit dipahami oleh orang yang

mengalami gangguan hemisfer kanannya. Pada kondisi otak yang tidak

mengalami gangguan, kalimat ambigu akan sulit diproses oleh orang yang

memiliki kapasitas kerja memori yang rendah.

Menurut psikolinguistik, ambiguitas dipengaruhi oleh proses

pemahaman terhadap suatu ujaran. Kalimat yang ambigu memerlukan

waktu yang lebih lama untuk dipahami dibandingkan dengan kalimat yang

tidak ambigu.

Ambiguitas dapat dihindarkan antara lain melalui konteks (situasi dan

kalimat), pemberian penanda batas (leksikal, unsur prosodi berupa jeda,

tanda baca), dan kecermatan struktur gramatikal dengan memerhatikan

pula fitur-fitur semantik kata.


Pustaka Acuan

Aminuddin. 2003. Semantik. Pengantar Studi tentang Makna. Bandung:


Sinar Baru Algensindo.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
__________ . 2003. Psikolinguistik. Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik. Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Djajasudarma, T. Fatimah. 1999. Semantik 1. Pengantar ke Arah Ilmu
Makna. Bandung: Refika.
Foss, Donald J. dan Hakes, David T. Tanpa tahun. Psycholinguistics. An
Introduction to The Psychology of Language. New Jersey:
Prentice-Hall.
Lyons, John. 1983. Semantics. Volume 2. Cambridge: Cambridge University
Press.
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
http://theses.lub.lu.se/archive/2006/04/27/JohannaFrojmark.pdf. Diakses tgl
8 Oktober 2007.
http: //www.Cos.Cam.ac.uk/Psycho.pdf. Diakses 8 Oktober 2007.
http://www.linguist.org.cn/doc. Diakses 8 Oktober 2007.

Anda mungkin juga menyukai