Anda di halaman 1dari 6

KAMPUS FARMASI

kumpulan materi kuliah mahasiswa farmasi dan bahan ajar dosen farmasi

Sunday, July 5, 2015

distribusi obat

Secara umum distribusi obat dapat diartikan sebagai proses pemindahan barang dari suatu tempat ke
tempat lain seperti:

Pemindahan dari supplier ke gudang pabrik (GP)

Pemindahan dari GP ke unit produksi atau pemakai

Pemindahan produk dari unit produksi ke GP

Pemindahan dari GP ke gudang cabang pabrik(GCP)

Pemindahan GP/GCP ke gudang distributot (GD)

Pemindahan GD ke gudang cabang distributor (GCD)

Pemindahan GD/GCD ke pengencer

Pemindahan dari pengencer ke konsumen

Proses pemindahan tersebut dapat berlangsung cepat atau lama bahkan dapat membutuhkan waktu
beberapa hari tergantung jarak,kualitas transportasi seperti jalan dan alat angkut, Selama proses
pemindahan mutu dan jumlah barang harus tetap dapat dipertahankan,karena itu alat angkut harus
memiliki fasilitas untuk menjaga mutu dan keamanan barang, Proses komunikasi dan administrasi juga
merupakan factor penting dalam proses distribusi.

Ruang lingkup distribusi perbekalan farmasi, mencakup organisasi, personalia, bangunan dan
fasilitas, penanganan produk dan control produk, pemusnahan produk, dokumentasi, keluhan produk,
penarikan kembali produk, penerimaan produk kembalian, produk palsu, inspeksi diri serta kegiatan
kontrak.

Distribusi dapat dilakukan dengan 2 cara:

Sentaralisasi :seluruh kebutuhan user disuplai dari gudang pusat


Desentralisasi : seluruh kebutuhan user disuplai dari depo(satelit) yang berada didekat atau disekitar
user. Persediaan Depo display Gudang pusat

Ditinjau dari sejarahnya, sebenarnya industri farmasi kita berasal dari berkembangnya Pedagang
Besar Farmasi ( PBF ) dan Importir di masa lalu. Jadi, kalau kita menyaksikan industri farmasi yang
memiliki fasilitas manufaktur seperti sekarang ini, sebenarnya hal itu baru berkembang sekitar tahun
1970-an.

Sekarang tantangan berat yang dialami industri pada saat yang bersamaan juga mengimbas ke
perusahaan-perusahaan distributor farmasi atau distributor obat, terutama dihadapi oleh kalangan
distributor lokal yang memiliki daya saing rendah. Pasalnya, ketimpangan yang tajam antara jumlah
perusahaan farmasi dengan jumlah distributor obat, apotek dan toko obat, semakin kurang kondusif bagi
perkembangan usaha jika dilihat dari sisi skala ekonominya.

Kondisi industri farmasi nasional sekarang ini terasa sangat timpang. Betapa tidak, dengan hanya
196 pabrik obat, jumlah distributornya (PBF-Pedagang Besar Farmasi) ada sebanyak 2.250, yang berarti 1
pabrik obat rata-rata berhadapan dengan 11 distributor, ditambah lagi 1 distributor (PBF) berhadapan
dengan 2,3 apotek. Ketimpangan tersebut bagaikan sebuah piramid terbalik, dimana untuk mencapai
skala ekonomi atau efisiensi, seharusnya jumlah distributor nasional jauh lebih sedikit dibandingkan
jumlah pabriknya. Dengan begitu, akan diperoleh rasio dimana 1 distributor obat dapat melayani
puluhan pabrik, tidak seperti sekarang ini dimana 1 pabrik obat dilayani oleh beberapa puluh distributor.
Kondisi ini pula yang justru menjadikan PBF lokal, terutama yang tidak memiliki bentuk kerjasama,
misalnya sebagai ‘distributor tunggal’ atau ‘sub distributor’, tidak lagi mampu bersaing.

Ketidakseimbangan ini semakin mendorong tidak efisiennya biaya operasional pendistribusian


obat. Kecilnya volume yang didistribusikan oleh satu PBF, bukan saja tidak efisien, juga tidak ekonomis,
sehingga tidak dapat bersaing secara baik. Dampaknya, obat-obat yang telah diproduksi mengikuti CPOB
(cara pembuatan obat yang baik) tidak dapat disimpan dan didistribusikan dengan baik. Begitu juga
kualitas obatnya pun tidak lagi terjamin oleh distributor, karena PBF tersebut tidak sanggup
melaksanakan GDP (good distribution practice).

Berdasarkan regulasi pemerintah, setiap pabrik obat dalam mendistribusikan produk obatnya
harus menggunakan jalur PBF. Saat ini jumlahnya sudah mencapai 2.250 distributor. Sedang jumlah
retailer-nya: sekitar 5.695 apotek dan 5.513 toko obat – besar dan kecil.

Selain itu, dari 196 perusahaan farmasi, sekitar 60 pabrik obat menguasai lebih dari 80% total pasar,
sedangkan 20% sisanya diperebutkan oleh 140 parik obat lainnya. Dari jumlah itu perbandingan antara
perusahaan lokal dan multinasional masih 60 berbanding 40. Gambaran ini menunjukkan betapa
lemahnya persaingan industri farmasi di Indonesia, termasuk lemahnya skala ekonomi distributornya,
sehingga tak heran bila harga obat di Indonesia bisa begitu melangit.
Peningkatan jumlah PBF yang sangat dramatis, selain karena rata-rata pabrik obat mendirikan PBF
sendiri, juga lebih dikarenakan regulasi pemerintah yang memungkinkan perusahaan-perusahaan yang
tidak berbasis industri farmasi untuk mendirikan PBF. Jadi, meski jumlah pabrik obat tidak bertambah,
sebaliknya malah berkurang, namun jumlah PBF terus meningkat.

Perusahaan-perusahaan distributor dari negara- negara maju, yang memang telah terdukung oleh
aplikasi TI, mereka dapat lebih efisien. Selain itu, skala ekonomisnya sangat baik terpenuhi, karena
volumenya sangat besar, sehingga meski mendapatkan margin penjualan yang tipis, yakni antara 3-4%
dari penjualan, hal itu masih sangat menguntungkan.Di Indonesia rata-rata besar marginnya masih
antara 11-12% dan tergantung pada beberapa faktor lainnya, sehingga dalam konteks ini kemampuan
distributor nasional untuk bersaing semakin kecil alias tak mampu bersaing dengan baik.Pada tahun
2003, pasar produk-produk farmasi diperkirakan tumbuh sekitar 20%, namun daya beli masyarakat
sudah sangat menurun. Produk obat-obatan yang selama ini diproduksi oleh 196 pabrik obat, 4 di
antaranya merupakan 4 BUMN, 31 perusahaan PMA, dan sisanya adalah PMDN.

Goods Distribution Practice (GDP) masih menjadi hal yang baru di Indonesia untuk diterapkan didalam
aktifitas logistik sehari-hari. Standar penanganan logistik tertinggi ini masih belum banyak difahami oleh
pegiat dan pekerja di logistik. Secara khusus GDP diterapkan didalam industri farmasi/obat-obatan
dengan nama lokal yaitu CDOB (Cara Distribusi Obat yang Baik) dan dikontrol secara langsung oleh BPOM
(Badan Pengawas Obat dan Makanan). Namun ternyata tidak ada yang salah saat prinsip-prinsip GDP ini
diterapkan disemua jenis industri selain industri farmasi.

Good Distribution Practice (GDP) adalah bagian dari fungsi pemastian kualitas (quality assurance),
untuk memastikan produk, agar secara konsisten disimpan, dikirim, dan ditangani sesuai kondisi yang
dipersyaratkan oleh spesifikasi produk. GDP sangat penting artinya, sebab untuk menunjang standar
Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang ditujukan untuk
menjamin kualitas setiap produk obat yang dihasilkan oleh industri farmasi. Sehingga, diperlukan pula
sistem distribusi yang handal yang sesuai dengan persyaratan GDP dan atau CDOB, agar stabilitas dan
efektifitas obat tetap terjamin hingga sampai kepada pasien.

GDP diperlukan untuk memastikan, agar pasien mendapatkan obat dengan kualitas dan khasiat
yang sama, seperti saat lolos uji dari Quality Assurance di pabrik (sesuai GMP-Good Manufacturing
Practices). GDP juga untuk memastikan tidak adanya "mix up, contamination & cross contamination"
obat sepanjang jalur distribusi.

Good Distribution Practice atau GDP adalah sistem jaminan kualitas yang berhubungan dengan
persyaratan :

– pengadaan,

– penerimaan,

– penyimpanan dan

– pengiriman obat-obatan
Dengan menerapkan GDP didalam logistik yang dijalankan, maka akan diperoleh komitmen yang
jelas terhadap tujuan pencapaian kepuasan pelanggan yang diakomodasikan pada pelayanan
penanganan barang dengan sempurna dan pengiriman yang terjamin serta adanya pengembangan-
pengembangan yang berkelanjutan terhadap system operasional logistik yang dijalankan.

Komponen GDP terdiri dari 20 klausul yang dikontrol secara langsung oleh WHO dan edisi terakhir
yang dipublikasikan adalah edisi tahun 2006. 17 diantaranya yang terpenting yang mencakup organisasi
aktifitas logistic.

Komponen-komponen GDP :

1. Organisasi and managemen

2. Personnel

3. kondisi kendaraan dan peralatan

Penjabaran masing-masing GDP akan dilakukan secara praktis dan disesuaikan dengan kondisi logistik
di Indonesia secara umum:

1.Organisasi and managemen

Diperlukan adanya struktur organisasi management yang jelas, ringkas dan memiliki fungsi yang
saling mendukung satu dengan yang lainnya. Karena fokus GDP lebih banyak kearah distribusi, maka
harus dipastikan bahwa dibagian tersebut telah berjalan struktur yang jelas dan memiliki fungsi tangkal
terhadap adanya suatu permasalahan.

Kelengkapan Job description yang sejalan dengan kondisi gudang dan distribusi serta kelengkapan
Standard Operationg Procedure (SOP) yang dijalankan secara konsisten akan memberikan jaminan
bahwa managemen memiliki komitmen tinggi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan
sempurna.

· Struktur organisasi yang jelas – otorisasi & tanggung jawab

· Job description yang jelas

· Change management

· Prosedur keselamatan – personel dan property, proteksi lingkungan.

2.Personnel
Persyaratan terhadap karyawan yang menjalankan aktifitas logistik harus disiapkan dan dipenuhi
secara utuh didalam pelaksanaanya.

Seorang warehousmen misalnya, harus memiliki kapabilitas untuk membaca dan menulis, pendidikan
minimal SMA dan memiliki penampilan yang sopan dan bersih adalah salah satu contoh bagaimana
persyaratkan terhadap seluruh level posisi disiapkan.

Training terhadap karyawan dan evaluasi yang dilakukan terhadap training tsb akan memberikan nilai
tambah didalam pengembangan ketrampilan karyawan.

• Training GDP bagi seluruh staf

• Staf yang cukup dan berpengalaman didalam standar mutu nasional

• Data training yang tercatat

• Perlengkapan kerja

• Prosedur higienis karyawan

• Prosedur P3K

• Pembagian penempatan staf yang jelas

3. Kondisi kendaraan dan peralatan

Kondisi kendaraan dan peralatan pendukung logistik merupakan bagian kedua yang memiliki
klausul terberat yang meliputi:

• SOP penanganan kendaraan secara keseluruhan

• Keamanan kendaraan terhadap barang dan orang yang menggunakannya

• Kebersihan kendaraan dan tidak menimbulkan kontaminasi barang yang dibawanya

• Dedikasi khusus untuk obat-obatan, jika tidak maka harus ada prosedur yang mengatur bagaimana
proses penggantian untuk barang-barang non obat-obatan

• control pada kendaraan

• Bahan untuk membersihkan harus ramah lingkungan dan tidak merupakan sumber kontaminasi
dengan barang yang dibawanya

• Pencatatan suhu dan perubahanya dan kalibrasi suhu kendaraan

• Kapasitas yang cukup


• Adanya pemisahan untuk barang yang baik, barang return/tolakan dan barang recall.

• Label yang jelas pada setiap kemasan barang

Untuk menjaga agar proses pendistribusian perbekalan farmasi berjalan dengan baik maka
dibutuhkan aturan perundang-undangan yang mengaturnya agar semua perbekalan farmasi yang sampai
ketangan konsumen sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Unknown at 9:16 PM

Share

No comments:

Post a Comment

Home

View web version

Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai