PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama,
dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan
keberadaan agama-agama lainnya.
Toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah
“damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian
sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn”
(agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan
untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog
dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa
keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak
Allah, karena itu tak mungkin disamakan.
Melihat agama Islam yang begitu penuh toleransi terhadap agama-agama
lainnya, Oleh karena itu kami kami akan membahas tentang “Toleransi
dalam islam dan bagaimana menurut surat Al-Kafirun.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Toleransi dan Jenisnya?
2. Apa Hakekat toleransi dalam Islam ?
3. Bagaimana Surah Al-Kafirun memandang toleransi antar umat
beragama ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mngetahu definisi Toleransi dan Jenisnya?
2. Mengetahui Hakekat toleransi dalam Islam ?
3. Mengetahui Surah Al-Kafirun memandang toleransi antar umat
beragama ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Toleransi
Kata Toleransi berasal dari Bahasa Latin, “tolerare” yang berarti sabar terhadap
sesuatu. Jadi toleransi merupakan suatu sikap atau perilaku manusia yang
mengikuti aturan, di mana seseorang dapat menghargai, menghormati terhadap
perilaku orang lain. Istilah toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap
kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Selain itujuga
kata Toleransi adalah serapan yang diambil dari bahasa inggris yaitu kata
tolerance. Tolerance memiliki arti membiarkan. Sehingga dari akar katanya,
toleransi adalah tindakan pembiaran. (Romade, 2019)
Dalam bahasa Arab kata yang serupa dengan makna toleransi adalah
Ikhtimal dan Tasammuh, yang memiliki makna sikap membiarkan, teposelero dan
lapang dada. Akan tetapi Al-quran tidak pernah menyebutkan kata tasamuh secara
tersurat di dalamnya, namun secara eksplisit Al-quran menjelaskan berbagai
konsep toleransi dengan batasanbatasannya secara jelas. Oleh karena itu, ayat-ayat
yang bersangkutan dengan makna toleransi beragama dapat di jadikan rujukan
utama dalam implementasi dalam kehidupan bermasyarakat. (Mustafa,2019)
B. Jenis Toleransi
Adapun jenis-jenis toleransi sebagai berikut:
1. Toleransi Agama
Hal utama yang dibutuhkan dan biasanya digunakan dalam
toleransi yakni dalam beragama. Dan Agama ini menjadi segmen
penting dalam setiap kehidupan masyarakat. Dengan penuh
keyakinan masyarakat melaksanakan agama, dengan terdapat
perbedaan yang tidak diikuti pada toleransi ini bisa menimbulkan
perpecahan serta peperangan dalam masyarakat.
2. Toleransi Budaya
Budaya juga salah satu bentuk toleransi yang sangat penting untuk
dipahami oleh masyarakat, budaya yang tidak sama menyebabkan
adat serta istiadat yang berbeda pula. karna itu harus terdapat
regulasi yang mengatur keanekaragaman yang ada.
3. Toleransi Politik
2
Toleransi politik ialah bagian dari toleransi, perbedaan pilihan
dalam kepemimpinan merupan salah satu sumber masalah sosial.
Semua ini disebabkan karena tidak adanya sikap saling menghargai
pilihan masing-masing individu dalam masyarakat, seperti
pemilihan yang dilakiukan lembaga politik dalam pilihan Kepala
Daerah dan bahkan dalam pilihan kepala desa. ( Anwar, 2019)
Saepul anwar
C. Hakekat Toleransi Dalam Islam
3
ranah muamalah (hubungan sosial) duniawiyah, itupun memiliki
beberapa persyaratan yang ketat, di antaranya:
a) Muamalah tersebut tidak masuk dalam ranah Aqidah dan
Ibadah. Jika muamalah tersebut masuk dalam ranah Aqidah dan
Ibadah maka hal tersebut diharamkan, sebagai bentuk saddudz
dzari’ah yang akan menimbulkan madharat yang lebih besar,
yaitu terjerumus dalam kekufuran dan kemusyrikan,
b) Muamalah tersebut diwajibkan selama orang-orang kafir tidak
memerangi kaum muslimin baik Aqidahnya maupun Fisiknya,
dan tidak mengusir kaum muslimin dari negeri-negeri mereka,
serta tidak membantu orang lain dalam mengusir kaum
muslimin dari negeri mereka. (Annur,2019)
D. Toleransi dari Perspektif Surah Al-Kafirun
1. Al-Qurān Surat Al-Kāfirūn ayat 1-6
2. Makna Mufrādaħ
قل يا ّيها الكافرون ال
katakanlah Hai Orang-orang kafir tidak
أعبد ما تعبدون و
Aku menyembah Apa Kamu sembah dan
ال أنتم عابدون ما
Tidak/bukan Kamu penyembah apa
أعبد و ال انا
Aku sembah Dan tidak aku
عابد ما عبدتم لكم
penyembah Apa Kamu telah untukmu
sembah
دينكم و لي دين
agamamu Dan untukku Agama
4
3. Asbāb al-Nuzūl
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Qurāisy berusaha
mempengaruhi Nabī saw dengan menawarkan harta kekayaan agar
baliau menjadi orang yang paling kaya di kota Makkaħ. Mereka juga
menawarkan kepada beliau untuk menikahi wanita mana saja yang
beliau kehendaki (Shaleh, 2009, hal. 684).
5
selain-Nya. Kemudian Allāh menurunkan surat ini sebagai balasan
atas ajakan mereka (Al-Maragi, 1993, hal. 446).
6
Kautsar Allāh memerintahkan kepada rosul-Nya, agar beribadah
dengan Ikhlas dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan
khususnya ni’mat yang tak dapat diukur oleh apapun. Maka
dalamk surat Al-Kāfirūn mengandung penjelasan terhadap apa
yang diisaratkan terdahulu kepada manusia, yaitu jauh sebelum
adanya manusia, yakni ketika berada dalam kandungan ia telah
menyatakan beriman kepada Allāh SWT. ('Abdulloh, 2009, Hal :
223)
a) Ayat pertama
١ َُُ ۡل َٰيََٰٓأَيُّ َها ۡٱل َٰ َك ِف ُرون
Artinya : Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, ."(Q.S. Al-
Kāfirūn [109]:1)
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
(2009:678), kata قلqul / katakanlah dicantumkan pada awal ayat
di atas, jika Anda mendiktekan sesuatu kepada orang lain agar dia
mengucapkan sesuatu, Anda tidak harus mengulangi kata
“Katakanlah”, hal ini untuk menunjukan bahwa rasul saw. tidak
mengurangi sedikitpun dari wahyu yang beliau terima, walaupun
7
dari segi lahiriah kelihatannya kata itu tidak berfungsi. Di sisi
lain, kita tidak dapat berkata bahwa pencantuman kata qul tidak
mengandung makna. Peranan kata qul (katakanlah) dalam
berbagai ayat-ayat Al-Qurān. 332 kali kata itu terulang dalam Al-
Qurān dan secara umum dapat dikatakan bahwa kesemuanya
berkaitan dengan persoalan yang hendaknya menjadi jelas dan
nyata bagi pihak-pihak yang bersangkutan agar mereka dapat
menyesuaikan sikap mereka dengan sikap umat Islam. Kata
الكافرونterambil dari kata كفرyang pada mulanya berarti menutup.
Al-Qurān menggunakan kata tersebut untuk berbagai mekna yang
masing-masing dapat dipahami sesuai dengan kalimat dan
konteksnya. Masih ada arti lain dari kata kufur, namun dapat
disimpulkan bahwa secara umum kata itu menunjuk kepada
sekian banyak sikap yang bertentangan dengan tujuan
kehadiran/tuntunan agama.
Senada dengan Pendapat lain dikemukakan oleh Prof. Dr.
Hamka dalam bukunya “Tafsir Al-Azhar” (1985:288),
“katakanlah”, olehmu hai utusanku kepada orang-orang yang
tidak mau percaya itu:”Hai orang-orang kafir” hai orang-orang
yang tidak mau percaya. Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini
disuruh sampaikan Tuhan oleh Nabī-Nya kepada orang-orang
kafir itu, yang sejak semula berkeras menantang Rasul dan sudah
diketahui dalam ilmu Allāh Ta’alã bahwa sampai saat terakhir
pun mereka tidaklah akan mau menerima kebenaran mereka
menantang, dan nabī saw pun tegas pula dalam sikapnya
menantang penyembahan mereka terhadap berhala, sehingga
timbullah suatu pertandingan siapakah yan lebih kuat
semangatnya mempertahankan pendirian masing-masing. Maka
pada satu waktu terasalah oleh mereka sakitnya pukulan-pukulan
itu, mencela berhala mereka. Maka bermuafakatlah pemuka-
pemuka Quraisy musyrikin itu hendak menemui Nabī. Mereka
8
bermaksud hendak mencari, “damai”. Yang mendatangi Nabī itu
menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina ialah al-Walid bin
al-Mughirah, al-‘Ash bin Wa’il, al-Aswad bin al-Muṭalib dan
Umayyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu usul damai: “ ya
Muhammad ! mari kita berdamai. Penulis bersedia menyembah
yang penulis sembah, tetapi engkaupun bersedia menyembah apa
yang penulis sembah, dan didalam urusan didalam negri kita ini,
engkau turut serta bersama penulis. Kalau seruan yang engkau
bawa ini memang ada baiknya dari pada apa yang ada pada
penulis, supaya agar penulis turut merasakannya dengan engkau.
Dan jika pegangan penulis ini yang paling benar dari pada apa
yang engkau serukan maka engkaupun telah merasakannya
dengan penulis, sama mengambil bahagian padanya.
Begitupula pendapat yang lain tentang ayat pertama ini
yaitu “ Mereka dipang mereka di panggil dengan hakikat yang
ada pada diri mereka tidak berpegang pada suatu agama pun dan
mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hanya orang
kafir. Oleh karena itu tidak dapat bertemu dengan mereka dalam
kehidupan (Al Qurthubi, 2009, Hal : 364)
b) Ayat Kedua
Artinya : aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (Q.S. Al-
Kāfirūn [109]:2)
9
yang akan datang bahkan sepanjang masa tidak akan menyembah,
tunduk, atau taat kepada apa yang sedang kamu sembah, wahai
kaum musyrikin (Shihab, 2002, Hal : 680)
c) Ayat ketiga
Artinya:”. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.” (Q.S.
Al-Kāfirūn [109]:2)
10
disembah oleh Rasūlullāh saw. Sehingga pernyataan ayat ini
tidak bertentangan dengan sejarah bagsa arab yang kafir yang
berduyun-duyun memeluk agama Islam. Seperti yang
dikemukakan bahwasanya ayat ini ditujukan kepada kafir-kafir
mekah yang ketika itu datang kepada Rasūlullāh saw. Yang
menawarkan komromi dalam hal beribadah.
Sehingga dilihat dari sudut pandangan kandungan ayat diatas
sama dengan firman Allāh SWT.
Yang dimaksud kafir dalam surat ini yaitu orang kafir yang
bermukim dimekah dan madinah bukan semua orang kafir
keseluruhan, karena, jika ayat ini tertuju kepada semua orang
kafir, tentu Nabi tidak akan memperingatkan lagikarna ayat diatas
menginformasikan bahwa mengingatkan dan tidak mengingatkan
hasilnya sama saja, yaitu mereka tidak beriman. Akan tetapi
setelah turunnya ayat tersebut Rasūlullāh tetap sja mengingatkan
sehingga dari sebagian orang kafir memeluk agama Islam.
Sehingga ayat 1-3 memberi pesan terhadap Rasūlullāh untuk
menolak secara tegas akan usulan kaum musyrikin dan
11
mempertegas akan kekafiran yang telah mendarah daging pada
kaum musyrikin pada saat itu .dan mustahil dan tidak ada sedikit
pun harapan untuk bekerja sama sekarang maupun masa yang
akan datang. (Shaleh, 2009, Hal:. 680-681)
d) Ayat keempat
Artinya: “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah,” (Q.S. Al-Kāfirūn [109]:4)
Setelah ayat yang lalu menegaskan bahwa tokoh-tokoh kafir
itu tidak akan menyembah dimasa datang. Dan sementara itu para
mufasir berpendapat bahwa kandungan ayat 4 surah ini tidak
berbeda dengan kandungan ayat 2, demikian juga ayat 5 sama
dengan ayat 3. Pendapat ini kurang tepat karena tanpa ada
kesulitan akan dapat membedakan edaksi yang ada.
Dalam rangka memahami perbedaan itu kita harus
mnengarahkan pandangan kepada kata )( )عبدتمdalam bentuk kata
12
Dilain pihak ulama tafsir berpendapat seperti Prof. Dr. Hamka
dalam bukunya “Tafsir Al-Azhar (1985:289)”, menjelaskan
perbedaan yang disembah. Dan isi dua ayat berikutnya (ayat 4
dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara beribadat. Tegasnya
yang disembah lain dan cara menyembah pun lain. Tidak satu dan
tidak sama. Yang aku sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang
bersih dari segala macam persekutuan dan pengkongsian dan
mustahil menyatakan diriNya pada diri seorang atau sesuatu
benda. Allāh yang menyatakan karuniaNya kepada siapapun yang
tulus ikhlas beribadat kepadaNya. Dan Maha Kuasa menarik
ubun-ubun orang yang menolak kebenaranNya dan menghukum
orang yang menyembah selain kepadaNya. Sedang yang kamu
sembah itu bukan Allāh melainkan benda, kamu menyembah
selain Allāh dan kamu sekutukan yang lain itu dengan Allāh.
Sebab itu, menurut aku ibadahmu itu bukan ibadah dan tuhanmu
itu pun bukan Tuhan.
Ayay ini sebagai penegas terhadap point pertama dalam pola
kalinat nominal (jumlah ismiyah), yang lebih tegas petunjuknya
terhadap kemantapan sifat tersebut dan konsistensinya (Qutub,
2001, p. 364)
e) Ayat ke lima
Artinya : “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
Aku sembah.” (Q.S. Al-Kāfirūn [109]:5)
Ayat ini sebagai penegas terhadap poin kedua, supaya tidak
ada lagi salah sangka dan kesamaran. Juga supaya tidak ada
lapangan untuk berprasangka yang bukan-bukan dan tidak ada
syubhat (kesamaran) lagi sesudah penegasan berulang-ulang
dengan segenap pola pengulangan dan penegasan ini!. Kemudian
ditegaskan secara global tentang hakikat keterpisahan yang tidak
13
mungkin dipertemukan ini, yakin hakikat perbedaan yang tidak
ada kesamaran padanya, keterputusan yang tidak mungkin
bersambung, dan keberbedaan yang tidak mungkin bercampur
aduk. (Qutub, 2001, hal. 364)
14
keempat) adalah mashdariyaħ sehingga kedua ayat ini berbicara
tentang cara beribadah: “aku tidak pernah menjadi penyembah
dengan (cara) penyembahan kamu, kamu sekalian pun tidak akan
menjadi penyembah-penyembah dengan cara penyembahanku.”
Memang, ada tuntunan-tuntunan agama yang pada mulanya
bersumber dari ajaran Ibrāhīm a.s., yang diamalkan oleh Nabī saw
dan diamalkan pula oleh orang musyrrikin di Makkaħ, tetapi
dengan melakukan perubahan dalam tatacara pelaksanaannya,
salah satu di antaranya adalah pelaksanaan ibadah haji (Shihab,
2002, hal. 683).
f) Ayat keenam
15
sesuai. Bagi mereka, ada balasannya, dan bagi Nabī pun
demikian. Baik atau buruk balasan itu diserahkan kepada Tuhan.
Dialah yang menentukan. Di dahulukannya kata ( )لكمlakum dan
16
bagiku adalah agamaku pula. Tinggilah dinding yang membatasi,
dan dalamnya jurang di antara kita. Maksudnya tidak akan bisa
dua agama yang dicampuradukkan begitu saja dengan suatu
paksaan.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan
mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi
di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk
mempraktikkannya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam
keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-
kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian
mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak
boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk
mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati
keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-
haknya.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena
pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap
historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru
dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah
menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah
peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.
4.2 Saran
Demikian Makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam
penjelasan maupun dalam penulisan penulis mohon maaf. kami mengharap kritik
dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga
menjadikan apa yang penulis buat ini lebih baik di masa mendatang. Semoga
karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya bagi pembaca.
18
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allāh SWT yang telah memberikan
petunjuk, berkah, dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
ini tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu upaya kami untuk
memenuhi tugas dari Mata kuliah Ke-Islam-An pada kegiatan Pra Kuliah Pasca
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2
A. Pengertian Toleransi .................................................................................... 2
B. Jenis-Jenis Toleransi .................................................................................... 2
C. Hakekat Toleransi Islam ............................................................................. 3
D. Toleransi dari persperktif Surah Al-Kafirun .............................................. 4
1. Surah Al-Kafiruan .................................................................................. 4
2. Makna Mufrodah .................................................................................... 4
3.Asbabun Nuzul ........................................................................................ 5
4.Makna Global .......................................................................................... 6
5.Pendapat para Mufasir .............................................................................. 7
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18
A. Kesimpulan .................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... .iii
ii
DAFTAR PUSTAKA
Al Qurthubi, S. I. (2009). Al Jami' li Ahkam al-Quran (Vol. 20). (D. Rosyadi, &
Faturrahman, Penerj.) Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-jazairi, S. A. (2009). tafsir Al-Qurān Al- Aisar (Vol. 7). (F. Amaliye, Penerj.)
Jakarta: Darus sunnah.
Hamka, D. P. (1985). Tafsir al-Azhar (Vol. 28, 29,30). Jakarta: Pustaka Panjimas.
Jarir, A. J. (2009). Tafsir Ath Thabari (Vol. 26). Jakarta: Pustaka Azam.
Qutub, S. (2001). Tafsir Fidzilalil Qur'an (Vol. 12). (A. '. Yasin. A's'ad, Penerj.)
Beurut: Gems Insani.
iii
iv