Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Toleransi adalah istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama,
dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan
keberadaan agama-agama lainnya.
Toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah
“damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian
sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn”
(agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan
untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog
dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa
keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak
Allah, karena itu tak mungkin disamakan.
Melihat agama Islam yang begitu penuh toleransi terhadap agama-agama
lainnya, Oleh karena itu kami kami akan membahas tentang “Toleransi
dalam islam dan bagaimana menurut surat Al-Kafirun.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Toleransi dan Jenisnya?
2. Apa Hakekat toleransi dalam Islam ?
3. Bagaimana Surah Al-Kafirun memandang toleransi antar umat
beragama ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mngetahu definisi Toleransi dan Jenisnya?
2. Mengetahui Hakekat toleransi dalam Islam ?
3. Mengetahui Surah Al-Kafirun memandang toleransi antar umat
beragama ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Toleransi
Kata Toleransi berasal dari Bahasa Latin, “tolerare” yang berarti sabar terhadap
sesuatu. Jadi toleransi merupakan suatu sikap atau perilaku manusia yang
mengikuti aturan, di mana seseorang dapat menghargai, menghormati terhadap
perilaku orang lain. Istilah toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama
berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap
kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu masyarakat. Selain itujuga
kata Toleransi adalah serapan yang diambil dari bahasa inggris yaitu kata
tolerance. Tolerance memiliki arti membiarkan. Sehingga dari akar katanya,
toleransi adalah tindakan pembiaran. (Romade, 2019)

Dalam bahasa Arab kata yang serupa dengan makna toleransi adalah
Ikhtimal dan Tasammuh, yang memiliki makna sikap membiarkan, teposelero dan
lapang dada. Akan tetapi Al-quran tidak pernah menyebutkan kata tasamuh secara
tersurat di dalamnya, namun secara eksplisit Al-quran menjelaskan berbagai
konsep toleransi dengan batasanbatasannya secara jelas. Oleh karena itu, ayat-ayat
yang bersangkutan dengan makna toleransi beragama dapat di jadikan rujukan
utama dalam implementasi dalam kehidupan bermasyarakat. (Mustafa,2019)

B. Jenis Toleransi
Adapun jenis-jenis toleransi sebagai berikut:
1. Toleransi Agama
Hal utama yang dibutuhkan dan biasanya digunakan dalam
toleransi yakni dalam beragama. Dan Agama ini menjadi segmen
penting dalam setiap kehidupan masyarakat. Dengan penuh
keyakinan masyarakat melaksanakan agama, dengan terdapat
perbedaan yang tidak diikuti pada toleransi ini bisa menimbulkan
perpecahan serta peperangan dalam masyarakat.
2. Toleransi Budaya
Budaya juga salah satu bentuk toleransi yang sangat penting untuk
dipahami oleh masyarakat, budaya yang tidak sama menyebabkan
adat serta istiadat yang berbeda pula. karna itu harus terdapat
regulasi yang mengatur keanekaragaman yang ada.
3. Toleransi Politik

2
Toleransi politik ialah bagian dari toleransi, perbedaan pilihan
dalam kepemimpinan merupan salah satu sumber masalah sosial.
Semua ini disebabkan karena tidak adanya sikap saling menghargai
pilihan masing-masing individu dalam masyarakat, seperti
pemilihan yang dilakiukan lembaga politik dalam pilihan Kepala
Daerah dan bahkan dalam pilihan kepala desa. ( Anwar, 2019)
Saepul anwar
C. Hakekat Toleransi Dalam Islam

Untuk memahami hakikat toleransi dalam Islam, maka sebagaimana dijelas di


atas bahwa Islam adalah agama yang samahah (murah) dan suhulah (mudah
dan gampang), tetapi bukan dimudah-mudahkan. Untuk lebih jelasnya,
toleransi dalam Islam bias kita bagi kepada dua bagian:

1. Toleransi Internal Kaum Muslimin


Maksud dari toleransi internal kaum muslimin adalah bahwa syariat
Islam telah memberikan kelonggaran (rukhshah) dan taysir
(kemudahan) atas individu kaum muslimin terhadap beberapa perkara
yang telah disyari’atkan.
Sebagai contoh misalnya dalam masalah badah, Islam bersifat toleran.
Maksudnya, pelaksanaan ibadah di dalam Islam bersifat tidak
membebani. Hal tersebut bisa kita lihat ketika seseorang ingin
berwudhu dan tidak ada air, maka Islam mempermudah cara berwudhu
dengan cara tayamum. Di dalam shalat, ketika seseorang tidak mampu
berdiri, maka boleh dengan duduk. Begitu juga puasa, ketika seseorang
sedang sakit, maka boleh di qadha pada hari-hari di luar Ramadhan.
Sifat mempermudah dan tidak membebankan seseorang inilah yang
menjadi ciri khas bahwa Islam adalah agama yang toleran dari segi
ibadah. Juga dalam beberapa perkara furu’ yang masih dalam ranah
perbedaan ijtihadiyah, Islam juga memberikan kelonggaran kepada
kaum muslimin untuk mengamalkan sesuai dengan pendapat yang rajih
menurut keyakinannya, tentunya berdasarkan ilmu dan manhaj yang
benar.

2. Toleransi Eksternal Kaum Muslimin


Maksud dengan toleransi eksternal kaum muslimin adalah toleransi
kaum muslimin kepada orang-orang non muslim. Toleransi (samahah)
Islam dalam perkara ini berdasarka kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an
yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun
kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam yang bersifat
mengajak, bukan memaksa. Toleransi Islam pada tataran ini hanya pada

3
ranah muamalah (hubungan sosial) duniawiyah, itupun memiliki
beberapa persyaratan yang ketat, di antaranya:
a) Muamalah tersebut tidak masuk dalam ranah Aqidah dan
Ibadah. Jika muamalah tersebut masuk dalam ranah Aqidah dan
Ibadah maka hal tersebut diharamkan, sebagai bentuk saddudz
dzari’ah yang akan menimbulkan madharat yang lebih besar,
yaitu terjerumus dalam kekufuran dan kemusyrikan,
b) Muamalah tersebut diwajibkan selama orang-orang kafir tidak
memerangi kaum muslimin baik Aqidahnya maupun Fisiknya,
dan tidak mengusir kaum muslimin dari negeri-negeri mereka,
serta tidak membantu orang lain dalam mengusir kaum
muslimin dari negeri mereka. (Annur,2019)
D. Toleransi dari Perspektif Surah Al-Kafirun
1. Al-Qurān Surat Al-Kāfirūn ayat 1-6

‫َل أَن َ۠ا‬


َٰٓ َ ‫ َو‬٣ ُ‫عبِدُونَ َما َٰٓ أ َ ۡعبُد‬ َ َٰ ‫َل أَنت ُ ۡم‬
َٰٓ َ ‫ َو‬٢ َ‫َل أ َ ۡعبُدُ َما ت َعۡ بُدُون‬ َٰٓ َ ١ َ‫قُ ۡل َٰيََٰٓأَيُّ َها ۡٱل َٰ َك ِف ُرون‬
٦ ‫ِين‬ ِ ‫يد‬ َ ‫ لَ ُك ۡم دِينُ ُك ۡم َو ِل‬٥ ُ‫عبِدُونَ َما َٰٓ أ َ ۡعبُد‬
َ َٰ ‫َل أَنت ُ ۡم‬َٰٓ َ ‫ َو‬٤ ‫عبَدت ُّ ۡم‬
َ ‫ َّما‬ٞ‫عابِد‬ َ

Artinya :“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan


menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan
penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."(Q.S. Al-
Kāfirūn [109]:1-6)

2. Makna Mufrādaħ
‫قل‬ ‫يا ّيها‬ ‫الكافرون‬ ‫ال‬
katakanlah Hai Orang-orang kafir tidak
‫أعبد‬ ‫ما‬ ‫تعبدون‬ ‫و‬
Aku menyembah Apa Kamu sembah dan
‫ال‬ ‫أنتم‬ ‫عابدون‬ ‫ما‬
Tidak/bukan Kamu penyembah apa
‫أعبد‬ ‫و‬ ‫ال‬ ‫انا‬
Aku sembah Dan tidak aku
‫عابد‬ ‫ما‬ ‫عبدتم‬ ‫لكم‬
penyembah Apa Kamu telah untukmu
sembah
‫دينكم‬ ‫و‬ ‫لي‬ ‫دين‬
agamamu Dan untukku Agama

Sumber : al-Jumānatūl ‘Alī, al-Qurān dan terjemah (2005:603)

4
3. Asbāb al-Nuzūl
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kaum Qurāisy berusaha
mempengaruhi Nabī saw dengan menawarkan harta kekayaan agar
baliau menjadi orang yang paling kaya di kota Makkaħ. Mereka juga
menawarkan kepada beliau untuk menikahi wanita mana saja yang
beliau kehendaki (Shaleh, 2009, hal. 684).

Adapun riwayat sabab Nuzūl surat al-Kāfirūn ini, antara lain


adalah bahwa beberapa tokoh kaum Musyrikin di Makkaħ, seperti al-
Walīd Ibn al-Mughīraħ, Aswad Ibn ‘Abdul Muṭṭalib, Umayyah Ibn
Khalaf, datang kepada Rasūl saw menawarkan kompromi menyangkut
pelaksanaan tuntunan agama (kepercayaan). Usul mereka adalah agar
Nabī bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka dan mereka
pun akan mengikuti ajaran Islam. Tema utamanya adalah penolakan
usul kaum Musyrikin untuk penyatuan ajaran agama dalam rangka
mencapai kompromi, sambil mengajak agar masing-masing
melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya tanpa saling
mengganggu. (Shihab, 2002, hal. 675).

Diriwayatkan bahwa Al-Walid Ibn Mughiraħ, Al-‘As Ibn Wa’il


As-Sahmy, Al-Aswad Ibn ‘Abdil-Muṭṭalib, Umayyah Ibn Khalaf dan
sebagainya, mendatangi nabī saw dan mengatakan, “Hai Muhammad,
marilah engkau mengikuti agama penulis, dan penulis akan mengikuti
agamamu. Penulis juga akan senantiasa mengajakmu dalam segala
kegiatan penulis. Kamu menyembah Tuhan penulis selama setahun,
dan penulis menyembah Tuhanmu selama setahun juga. Jika yang
engkau bawa itu adalah lebih baik, maka penulis akan mengikutimu
dan melibatkan diri didalamnya. Dan jika ternyata yang ada pada
penulis itu lebih baik, maka engkau mengikuti penulis, dan engkau
pun melibatkan diri di dalam agama penulis. Nabī saw menjawab,
“Aku berlindung kepada Allāh agar tidak menyekutukan-Nya dengan

5
selain-Nya. Kemudian Allāh menurunkan surat ini sebagai balasan
atas ajakan mereka (Al-Maragi, 1993, hal. 446).

4. Makna Global surat Al-Kāfirūn ayat 1-6


Surat al-Kāfirūn disebut juga dengan surat al-Baroah, yang
artinya pembersihan diri dari pekerjaan-pekerjaan yang berbau
musyrik, dan memerintahkan berbuat ikhlas karena Allāh dalam
beribadah ‘(Uniba, 2008, hal. 530).

Begitu pula menurut Tafsir Juz ‘Amma (2008:530),” Bahwa


sannya ayat 1-6 bermakna global yaitu pembersihan diri dari
kemusyrikan dan surat ini menunjukan atas adanya perbedaan
yang sangat mendasar antara agama Islam dan agama non Islam,
pertama dari segi keyakinan, yaitu dzat yang harus disembah;
kedua, ajarannya; dan ketiga, tata cara beribadahnya atau
penyembahannya. Dalam agama Islam, dzat yang disembah
adalah Allāh semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan ajarannya datang
dari Allāh dan rasul-Nya begitu juga dalam tata cara
beribadahnya sudah ditentukan oleh Allāh dan rasul-Nya.
Sementara, agama non Islam atau kafir yang disembahnya adalah
patung atau simbol-simbol lainnya. Dilihat dari tata cara
beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu, ajaran tidak dapat
bertemu antara ajaran yang iman kepada Allāh dan rasul-Nya
dengan yang kafir yang tidak beriman kepada rasul-Nya. Selain
banyaknya perbedaan mendasar dari segi Aqīdaħ dan ajarannya,
orang-orang kafir sepakat memusuhi Islam sejak dahulu sampai
sekarang, sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i “sebab kekufuran
satukesatuan di dalam menghadapi Islam” yaitu dalam menentang
ajarannya dan memusuhi pemeluknya.”

Selain itu juga kandungan ayat ini berkaitan dengan kandunga


surat sebelumnya, yaitu Al- Kautsar. Dan jika dalam surat Al-

6
Kautsar Allāh memerintahkan kepada rosul-Nya, agar beribadah
dengan Ikhlas dan selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan
khususnya ni’mat yang tak dapat diukur oleh apapun. Maka
dalamk surat Al-Kāfirūn mengandung penjelasan terhadap apa
yang diisaratkan terdahulu kepada manusia, yaitu jauh sebelum
adanya manusia, yakni ketika berada dalam kandungan ia telah
menyatakan beriman kepada Allāh SWT. ('Abdulloh, 2009, Hal :
223)

Surah al-Kāfirūn ayat 1-6 mengandung makna gelobal dilihat


dari segi cara bersikap menghadapi perbedaan keyakinan
beragama. Hal seperti ini telah ditunjukan oleh Rasūlullāh saw.
Saat menghadapi kaum musyrikin Qurays. Sebagai mana yang
telah dipahami Rasūlullāh selalu mendakwahkan kebenaran
ajaran yang dibawanya yaitu Islam. Namun jika ada orang atau
pihak yang menolak atau mengecam ajaran beliau, yang
dilakukan pertama kali adalah mendoakan orang-orang yang
menolaknya.

5. Pendapat Para Ulama Tafsir


Beberapa ulama tafsir berpendapat terhadap surat al-Kāfirūn,
adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut;

a) Ayat pertama
١ َ‫ُُ ۡل َٰيََٰٓأَيُّ َها ۡٱل َٰ َك ِف ُرون‬
Artinya : Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, ."(Q.S. Al-
Kāfirūn [109]:1)
Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
(2009:678), kata ‫ قل‬qul / katakanlah dicantumkan pada awal ayat
di atas, jika Anda mendiktekan sesuatu kepada orang lain agar dia
mengucapkan sesuatu, Anda tidak harus mengulangi kata
“Katakanlah”, hal ini untuk menunjukan bahwa rasul saw. tidak
mengurangi sedikitpun dari wahyu yang beliau terima, walaupun

7
dari segi lahiriah kelihatannya kata itu tidak berfungsi. Di sisi
lain, kita tidak dapat berkata bahwa pencantuman kata qul tidak
mengandung makna. Peranan kata qul (katakanlah) dalam
berbagai ayat-ayat Al-Qurān. 332 kali kata itu terulang dalam Al-
Qurān dan secara umum dapat dikatakan bahwa kesemuanya
berkaitan dengan persoalan yang hendaknya menjadi jelas dan
nyata bagi pihak-pihak yang bersangkutan agar mereka dapat
menyesuaikan sikap mereka dengan sikap umat Islam. Kata
‫ الكافرون‬terambil dari kata ‫ كفر‬yang pada mulanya berarti menutup.
Al-Qurān menggunakan kata tersebut untuk berbagai mekna yang
masing-masing dapat dipahami sesuai dengan kalimat dan
konteksnya. Masih ada arti lain dari kata kufur, namun dapat
disimpulkan bahwa secara umum kata itu menunjuk kepada
sekian banyak sikap yang bertentangan dengan tujuan
kehadiran/tuntunan agama.
Senada dengan Pendapat lain dikemukakan oleh Prof. Dr.
Hamka dalam bukunya “Tafsir Al-Azhar” (1985:288),
“katakanlah”, olehmu hai utusanku kepada orang-orang yang
tidak mau percaya itu:”Hai orang-orang kafir” hai orang-orang
yang tidak mau percaya. Menurut Ibnu Jarir panggilan seperti ini
disuruh sampaikan Tuhan oleh Nabī-Nya kepada orang-orang
kafir itu, yang sejak semula berkeras menantang Rasul dan sudah
diketahui dalam ilmu Allāh Ta’alã bahwa sampai saat terakhir
pun mereka tidaklah akan mau menerima kebenaran mereka
menantang, dan nabī saw pun tegas pula dalam sikapnya
menantang penyembahan mereka terhadap berhala, sehingga
timbullah suatu pertandingan siapakah yan lebih kuat
semangatnya mempertahankan pendirian masing-masing. Maka
pada satu waktu terasalah oleh mereka sakitnya pukulan-pukulan
itu, mencela berhala mereka. Maka bermuafakatlah pemuka-
pemuka Quraisy musyrikin itu hendak menemui Nabī. Mereka

8
bermaksud hendak mencari, “damai”. Yang mendatangi Nabī itu
menurut riwayat Ibnu Ishaq dari Said bin Mina ialah al-Walid bin
al-Mughirah, al-‘Ash bin Wa’il, al-Aswad bin al-Muṭalib dan
Umayyah bin Khalaf. Mereka kemukakan suatu usul damai: “ ya
Muhammad ! mari kita berdamai. Penulis bersedia menyembah
yang penulis sembah, tetapi engkaupun bersedia menyembah apa
yang penulis sembah, dan didalam urusan didalam negri kita ini,
engkau turut serta bersama penulis. Kalau seruan yang engkau
bawa ini memang ada baiknya dari pada apa yang ada pada
penulis, supaya agar penulis turut merasakannya dengan engkau.
Dan jika pegangan penulis ini yang paling benar dari pada apa
yang engkau serukan maka engkaupun telah merasakannya
dengan penulis, sama mengambil bahagian padanya.
Begitupula pendapat yang lain tentang ayat pertama ini
yaitu “ Mereka dipang mereka di panggil dengan hakikat yang
ada pada diri mereka tidak berpegang pada suatu agama pun dan
mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hanya orang
kafir. Oleh karena itu tidak dapat bertemu dengan mereka dalam
kehidupan (Al Qurthubi, 2009, Hal : 364)

b) Ayat Kedua
   


Artinya : aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (Q.S. Al-
Kāfirūn [109]:2)

Kata ( ‫) اعبد‬berbentuk kata kerja masa kini dan datang atau


(mudhori) yang mengandung arti dilakukannya pekerjaan
dimaksud pada saat ini, atau masa yang akan datang, atau cara
terus menerus. Dengan demikian, Nabi Muhammad Saw.
Diperintah untuk menyatakan bahwa: aku sekarang dan di masa

9
yang akan datang bahkan sepanjang masa tidak akan menyembah,
tunduk, atau taat kepada apa yang sedang kamu sembah, wahai
kaum musyrikin (Shihab, 2002, Hal : 680)

Maksudnya, selama kemusyrikan dan kekaafiran, yang tidak


akan menyembah Allāh tuhan yang disembah muslimin, yaitu
tuhan yang maha Esa, karena tuhan seorang muslimin dan non-
muslim berlainan sifat-sifatNya dari sifat tuhan yang disembah
dan tidak mungkin dipertemukan kedua macam sifat tersebut
(Uniba, 2088, Hal :. 531)

Sedangkan menurut tafsiran Ibnu Katsir yang telah dikutip


oleh Hamka (1985 Hal : 288) ‘yang disalin dari Ibnu Taimiyah
arti ayat yang kedua : “ Aku tidaklah menyembah apa yang kamu
sembah,” Ialah menafikan perbuatan (nafyul fi’li). Artinya bahwa
perbuatan begitu tidaklah pernah aku kerjakan.” Dan tidak pula
kamu menyembah apa yang aku sembah.” ‘

c) Ayat ketiga
  
  

Artinya:”. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.” (Q.S.
Al-Kāfirūn [109]:2)

Setelah ayat yang lalu memerintahkan Nabi Muhammad saw.


Untuk menyatakan bahwa beliau tidak mungkin untuk masa kini
dan masa mendatang menyembah sesembahan kaum musyrikin,
sehingga ayat selanjutnya yaitu ayat ketiga menyatakan bahwa: “
Dan tidak juga kamu, wahai tokoh-tokoh kaum musrikin, akan
menjadi penyembah-penyembah apa yang aku sembah.”
Dengan demikian, ayat ketiga ini memberikan isyarat bahwa
mereka orang-orang kafir tidak akan pernah mengabdi dan taat
kepada Allāh, tuhan yang sekarang dan yang akan datang

10
disembah oleh Rasūlullāh saw. Sehingga pernyataan ayat ini
tidak bertentangan dengan sejarah bagsa arab yang kafir yang
berduyun-duyun memeluk agama Islam. Seperti yang
dikemukakan bahwasanya ayat ini ditujukan kepada kafir-kafir
mekah yang ketika itu datang kepada Rasūlullāh saw. Yang
menawarkan komromi dalam hal beribadah.
Sehingga dilihat dari sudut pandangan kandungan ayat diatas
sama dengan firman Allāh SWT.

  


 
  
  

Artinya : ”Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu
beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak
juga akan beriman. (QS. Al-Baqarah[2] : 6)

Yang dimaksud kafir dalam surat ini yaitu orang kafir yang
bermukim dimekah dan madinah bukan semua orang kafir
keseluruhan, karena, jika ayat ini tertuju kepada semua orang
kafir, tentu Nabi tidak akan memperingatkan lagikarna ayat diatas
menginformasikan bahwa mengingatkan dan tidak mengingatkan
hasilnya sama saja, yaitu mereka tidak beriman. Akan tetapi
setelah turunnya ayat tersebut Rasūlullāh tetap sja mengingatkan
sehingga dari sebagian orang kafir memeluk agama Islam.
Sehingga ayat 1-3 memberi pesan terhadap Rasūlullāh untuk
menolak secara tegas akan usulan kaum musyrikin dan

11
mempertegas akan kekafiran yang telah mendarah daging pada
kaum musyrikin pada saat itu .dan mustahil dan tidak ada sedikit
pun harapan untuk bekerja sama sekarang maupun masa yang
akan datang. (Shaleh, 2009, Hal:. 680-681)
d) Ayat keempat
   
 
Artinya: “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah,” (Q.S. Al-Kāfirūn [109]:4)
Setelah ayat yang lalu menegaskan bahwa tokoh-tokoh kafir
itu tidak akan menyembah dimasa datang. Dan sementara itu para
mufasir berpendapat bahwa kandungan ayat 4 surah ini tidak
berbeda dengan kandungan ayat 2, demikian juga ayat 5 sama
dengan ayat 3. Pendapat ini kurang tepat karena tanpa ada
kesulitan akan dapat membedakan edaksi yang ada.
Dalam rangka memahami perbedaan itu kita harus
mnengarahkan pandangan kepada kata )‫( )عبدتم‬dalam bentuk kata

kerja masa lampau) yang oleh ayat 4 dan kata )‫ ( )تعبدون‬yang


berbentuk kata kerja masa kini dan masa yang akan datang yang
digunakan oleh ayat 2. Kesan pertama yang diperoleh berkaitan
dengan perbedaan tersebut adalah bahwa bagi nabi saw. Ada
keistiqomahan atau konsitensi dalam objek pengabdian dan
ketaatan, dalam arti yang beliau sembah tidak berubah-ubah.
Berbeda halnya dengan orang-orang kafir itu. Rupanya, apa yang
mereka sembah hari ini dan esok berbeda dengan apa yang
mereka sembah kemarin. Nah, ini letak perbedaan ayat-ayat
tersebut. Ayat 2 dan 4 bermaksud menegaskan bahwa Nabi saw.
tidak mungkin akan menyembah atau pun taat kepada sembah-
sembah mereka, baik yang mereka sembah hari ini dan besok
maupun yang pernah mereka sembah kemarin. (Shihab, 2002, p.
682)

12
Dilain pihak ulama tafsir berpendapat seperti Prof. Dr. Hamka
dalam bukunya “Tafsir Al-Azhar (1985:289)”, menjelaskan
perbedaan yang disembah. Dan isi dua ayat berikutnya (ayat 4
dan 5) ialah menjelaskan perbedaan cara beribadat. Tegasnya
yang disembah lain dan cara menyembah pun lain. Tidak satu dan
tidak sama. Yang aku sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang
bersih dari segala macam persekutuan dan pengkongsian dan
mustahil menyatakan diriNya pada diri seorang atau sesuatu
benda. Allāh yang menyatakan karuniaNya kepada siapapun yang
tulus ikhlas beribadat kepadaNya. Dan Maha Kuasa menarik
ubun-ubun orang yang menolak kebenaranNya dan menghukum
orang yang menyembah selain kepadaNya. Sedang yang kamu
sembah itu bukan Allāh melainkan benda, kamu menyembah
selain Allāh dan kamu sekutukan yang lain itu dengan Allāh.
Sebab itu, menurut aku ibadahmu itu bukan ibadah dan tuhanmu
itu pun bukan Tuhan.
Ayay ini sebagai penegas terhadap point pertama dalam pola
kalinat nominal (jumlah ismiyah), yang lebih tegas petunjuknya
terhadap kemantapan sifat tersebut dan konsistensinya (Qutub,
2001, p. 364)

e) Ayat ke lima
  
  
Artinya : “Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
Aku sembah.” (Q.S. Al-Kāfirūn [109]:5)
Ayat ini sebagai penegas terhadap poin kedua, supaya tidak
ada lagi salah sangka dan kesamaran. Juga supaya tidak ada
lapangan untuk berprasangka yang bukan-bukan dan tidak ada
syubhat (kesamaran) lagi sesudah penegasan berulang-ulang
dengan segenap pola pengulangan dan penegasan ini!. Kemudian
ditegaskan secara global tentang hakikat keterpisahan yang tidak

13
mungkin dipertemukan ini, yakin hakikat perbedaan yang tidak
ada kesamaran padanya, keterputusan yang tidak mungkin
bersambung, dan keberbedaan yang tidak mungkin bercampur
aduk. (Qutub, 2001, hal. 364)

Adapun menurut Uniba dalam bukunya “Tafsir Juz ‘Amma


(2008: 532)”, ayat ini menunjukan tatacara beribadah. Kemudian,
sesudah Allāh menyatakan tidak mungkin ada persamaan sifat
antara Tuhan yang disembah oleh nabi saw dengan yang
disembah mereka, maka dengan sendirinya tidak ada persamaan
tentan ibadah. Mereka menganggap ibadah yang mereka lakukan
di hadapan berhala-berhala atau tempat-tempat beribadah lainnya,
atau ditempat-tempat sepi, bahwa ibadah itu dilakukan secara
ikhlas untuk Allāh. Sedangkan nabi tidak melebihi mereka
sedikitpun dalam hal itu. Maka, dalam ayat-ayat ini Allāh
memerintahkan nabiNya agar menjelaskan bahwa “aku tidak
beribadah sebagai ibadahmu dan kamu tidak beribadah sebagai
ibadahku”.

Perbedaan ayat ketiga dan kelima yang redaksinya persis


sama. Keduanya berbunyi: wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud, maka
sementara ulama membedakannya dengan memberi arti yang
berbeda terhadap kata (‫ )ما‬pada masing-masing ayat. Huruf mā,
antara lain berarti apa yang, dan ketika itu dalam istilah
kabahasaan yang dinamai (‫)ما موصوله‬,dan bisa berfungsi
mengubah kata yang menyertainya sehingga kata tersebut
menjadi kata jadian, dan ketika itu dinamai (‫)ما مصدرية‬. Menurut
mereka, mā pada ayat ketiga (demikian juga pada ayat
kedua)pada ayat ketiga (demikian juga pada ayat kedua) berarti
apa yang sehingga wa lā antum ‘ābidūna mā a’bud berarti kamu
tidak akan menjadi penyembah apa yang sedang dan akan kamu
sembah. Sedangkan, mā pada ayat kelima (demikian pula

14
keempat) adalah mashdariyaħ sehingga kedua ayat ini berbicara
tentang cara beribadah: “aku tidak pernah menjadi penyembah
dengan (cara) penyembahan kamu, kamu sekalian pun tidak akan
menjadi penyembah-penyembah dengan cara penyembahanku.”
Memang, ada tuntunan-tuntunan agama yang pada mulanya
bersumber dari ajaran Ibrāhīm a.s., yang diamalkan oleh Nabī saw
dan diamalkan pula oleh orang musyrrikin di Makkaħ, tetapi
dengan melakukan perubahan dalam tatacara pelaksanaannya,
salah satu di antaranya adalah pelaksanaan ibadah haji (Shihab,
2002, hal. 683).

f) Ayat keenam

  


 
Artinya: ” Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."(Q.S. Al-
Kāfirūn [109]:6)
Setelah menegaskan tidak mungkinnya bertemu dalam
keyakina ajaran Islam dan kepercayaan Nabī Muhammad saw
dengan kepercayaan kaum yang mempersekutukan Allāh , ayat di
atas menetapkan cara pertemuan dalam kehidupan bermasyarakat
yakni: bagi kamu secara khusus agama kamu. Agamu itu tidak
menyentuhku sedikitpun, kamu bebas untuk mengamalkannya
sesuai kepercayaan kamu dan bagiku juga secara khusus
agamaku, aku pun mestinya memperoleh kebebasan untuk
melaksanakannya, dan kamu tidak akan disentuh sedikit pun
olehnya.

Kata (‫ )دين‬dīn dapat berarti agama, balasan, atau kepatuhan.


Sementara ulama memahami kata tersebut di sini dalam arti
balasan. Antara lain dengan alasan bahwa kaum musyrikin
Makkaħ tidak memiliki agama. Mereka memahami ayat di atas
dalam arti masing-masing kelompok akan menerima balasan yang

15
sesuai. Bagi mereka, ada balasannya, dan bagi Nabī pun
demikian. Baik atau buruk balasan itu diserahkan kepada Tuhan.
Dialah yang menentukan. Di dahulukannya kata (‫ )لكم‬lakum dan

(‫ )لي‬liya berfungsi menggambarkan Kekhusuan, karena itu pula


masing-masing agama biarlah berdiri sendiri dan tidak perlu
dicampurbaurkan. Tidak perlu mengajak penulis untuk
menyembah sembahan kalian setahun agar kalian menyembah
pula Allāh. Sedankan kata (‫ )دين‬dīn diartikan agama, ayat ini
tidak berarti bahwa Nabī diperintahkan mengakui kebenaran
anutan mereka. Ayat ini hanya mempersilahkan mereka menganut
apa yang mereka yakini. Apabila mereka telah mengetahui
tentang ajaran agama yang benar dan mereka menolaknya serta
bersikeras menganut ajaran mereka. Ayat 6 di atas merupakan
pengakuan eksistensi secara timbal balik, bagi kamu agamamu
dan bagi aku agamaku. Sehingga dengan demikian masing-
masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar
dan baik, tanpa memutlakkan pendapat kepada orang lain tetapi
sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan masing-masing (Shihab,
2002, hal. 684-685).

Sedangkan redaksi lain mengatakan, untukmu agamamu, aku


tidak akan mengikutimu, “dan untukmulah agamamu” janganlah
kamu mengikutiku. Dengan ini semua, Allāh menjadikan
RasulNya tidak mengarapkan keimanan mereka. Padahal
sebelumnya Rasūlullāh saw sangat mengharapkan keimanan
mereka. Demikian juga Allāh menjadikan orang-orang musyrik
akan mati di dalam keadaan kafir dan tidak ada seorangpun dari
mereka yang beriman. (Al-jazairi, 2009, hal. 1062)

Pendapat terakhir dikemukakan oleh Prof. Dr. Hamka dalam


bukunya “Tafsir Al-Azhar (1985:289)”, bagi kamu agama kamu,

16
bagiku adalah agamaku pula. Tinggilah dinding yang membatasi,
dan dalamnya jurang di antara kita. Maksudnya tidak akan bisa
dua agama yang dicampuradukkan begitu saja dengan suatu
paksaan.

Dari pernyataan para mufasir diatas dapat diambil


kesimpulan bahwa surat Al-Kāfirūn ini memberi pedoman bagi
kita pengikut Nabī Muhammad bahwasannya akidah tidaklah
dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tidak dapat
dipertemukan, hak dan yang bathil tidak dapat disatukan. Oleh
karena itu, Akidah Tauhid itu tidaklah mengenal apa yang
dinamai menyesuai-nyesuaikan.

17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan
mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi
di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk
mempraktikkannya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam
keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-
kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian
mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak
boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk
mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati
keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-
haknya.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena
pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap
historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru
dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah
menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah
peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.

4.2 Saran

Demikian Makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam
penjelasan maupun dalam penulisan penulis mohon maaf. kami mengharap kritik
dan saran yang membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga
menjadikan apa yang penulis buat ini lebih baik di masa mendatang. Semoga
karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya bagi pembaca.

18
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kepada Allāh SWT yang telah memberikan
petunjuk, berkah, dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah
ini tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu upaya kami untuk
memenuhi tugas dari Mata kuliah Ke-Islam-An pada kegiatan Pra Kuliah Pasca
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kami menyadari sepenuhnya, walaupun telah berusaha sebaik-baiknya


dalam menyusun karya tulis ini, tetapi masih terdapat kekurangan-kekurangan
yang tidak diharapkan. Karena itu, kritik dan saran senatiasa penulis nantikan.
Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
para pambaca pada umumnya.

Bandung, 25 Agustus 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2
A. Pengertian Toleransi .................................................................................... 2
B. Jenis-Jenis Toleransi .................................................................................... 2
C. Hakekat Toleransi Islam ............................................................................. 3
D. Toleransi dari persperktif Surah Al-Kafirun .............................................. 4
1. Surah Al-Kafiruan .................................................................................. 4
2. Makna Mufrodah .................................................................................... 4
3.Asbabun Nuzul ........................................................................................ 5
4.Makna Global .......................................................................................... 6
5.Pendapat para Mufasir .............................................................................. 7
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 18
A. Kesimpulan .................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... .iii

ii
DAFTAR PUSTAKA

'Abdulloh, N. (2009). Tafsir ayat-ayat pendidikan. Jakarta: Raja wali pers.

Al Qurthubi, S. I. (2009). Al Jami' li Ahkam al-Quran (Vol. 20). (D. Rosyadi, &
Faturrahman, Penerj.) Jakarta: Pustaka Azzam.

Al-jazairi, S. A. (2009). tafsir Al-Qurān Al- Aisar (Vol. 7). (F. Amaliye, Penerj.)
Jakarta: Darus sunnah.

Al-Maragi, A. M. (1993). Tafsir Al-Maragi (Vol. 28). (H. N. Bahrun Abubakar,


Penerj.) Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.

Hamka, D. P. (1985). Tafsir al-Azhar (Vol. 28, 29,30). Jakarta: Pustaka Panjimas.

Jarir, A. J. (2009). Tafsir Ath Thabari (Vol. 26). Jakarta: Pustaka Azam.

Misrawi, Z. (2010). Al-Qurān Kitab Toleransi . Jakarta: Pustaka Oasis.

Qutub, S. (2001). Tafsir Fidzilalil Qur'an (Vol. 12). (A. '. Yasin. A's'ad, Penerj.)
Beurut: Gems Insani.

Shaleh, Q. (2009). Asbab an-Nuzul. Bandung: CV diponerogo.

Shihab, M. Q. (2002). Tafsir al-Misbah (Vol. 15). Jakarta: Lentera Hati.

Uniba. (2088). Tafsir Juz 'Amma. Bandung: PT Unisba.

Zuhairini. (2008). filsafat pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Romade, (2019, Agustus Ahad) Pengertian Toleransi


ttps://www.romadecade.org/pengertian-toleransi/ diambil kembali dari
www.google.com di akses pada jam 11 .00 WIB

Mustafa, (”Toleransi Beragama dalam Perspektif Al-quran” TASAMUH,


Vol. 7, No. 1, Agustus 2019, hlm.5

Anwar, (2019, Agustus Ahad ) https://duniapendidikan.co.id/pengertian-


toleransi-pengertian-jenis/ diambil kembali dari www.google.com
diakses Pada jam 12.00 WIB

iii
iv

Anda mungkin juga menyukai