Anda di halaman 1dari 17

PENILAIAN KLINIS DAN MEKANISME PREDIKSI

Uvynavelia Hardysta (1521900018)

Fakultas Psikologi

Universitas 17 Agustus 1945

Surabaya
PENILAIAN KLINIS DAN MEKANISME PREDIKSI
(Clinical Judgment and Mechanical Prediction)
Yang menjadi salah satu kompetensi yang harus dimiliki oaleh seorang psikolog adalah
menetukan alat assessment yang akan digunakan. Oleh sebab itu perlu kiranya seorang psikolog
mengetahui kelemahan dan kelebihan metode umum dalam membuat mekanisme perdiksi
(assessment)

Dua metode umum dalam membuat penilaian dan keputusan akan digambarkan dan
dijelaskan pada bab ini: penilaian klinis dan mekanisme prediksi. Setelah mengalami kesulitan
dengan kelas-kelas statistik, murid-murid dan professional dapat menolak istilah mechanical
prediction. Bahkan mereka merasa lemah dan bingung ketika dihadapkan dengan istilah-istilah
seperti prediksi aktuarial (actuarial prediction), asesmen otomatis (automated assessment),dan
prediksi statis (statistical prediction). Secara terminologi membingungkan, jadi hal ini kan
membuat kita memerlukan waktu untuk menjelaskan artinya dan istilah-istilah lain.

Pada konteks asesmen kepribadian, penilaian klinis (clinical judgment) artinya metode
dalam menilai dan memutuskan telah dibuat oleh para profesional kesehatan mental. Prediksi
statistik (stasistical prediction) maksudnya adalah metode dalam menilai dan memutuskan
menggunakan penjumlahan matematis (bahannya sering berhubungan dengan penurunan
persamaan-persamaan). Persamaan-persamaan matematika ini biasanya secara empirik
berdasarkan pada hal-hal tersebut, parameter dan pertimbangan pada persamaan-persamaan ini
biasanya berasal dari data empiris. Namun, beberapa aturan prediksi statistik (statistical
prediction) (mis. Unit aturan yang berhubungan dengan pertimbangan) tidak berasal dari
penggunaan data empiris. Istilah prediksi statistik (statistical prediction) dan prediksi aktuarial
(actuarial prediction) sama artinya dengan: mereka dapat dugunakan secara bergantian untuk
menjelaskan aturan yang berdasarkan pada data empirik. Prediksi statistik (statistical prediction)
dan prediksi aktuarial (actuarial prediction) dapat dibedakan dari penilaian otomatis (automated
assessment). Program komputer automated assessment terdiri dari macam-macam pernyataan
“jika-maka”. Pernyataan ini ditulis oleh ahli klinis berdasarkan pengalaman klinis mereka dan
pengetahuan mereka mengenai literatur penelitian dan penegtahuan klinis. Program interpretasi
berbasis komputer merupakan contoh dari program automated assessment.
Secara historis, masalah klinis dengan prediksi statistik merupakan hal yang sering
diperdebatkan. Masalah ini pada awalnya menggambarkan permasalahan besar yang menarik
perhatian pada 1954 ketika Paul Meehl mempublikasikan buku terbaiknya, Clinical versus
Statistical Prediction: A Theoretical Analysis and a Review of the Evidence. Ini adalah buku yang
selama beberapa tahun dibaca oleh seluruh sarjana program studi klinis dan konseling psikologi.
Dalam buku ini, Meehl menuliskan hampir seluruh perbandingan antara prediksi klinis maupun
statistik, prediksi statis setara atau lebih baik untuk penilaian tidak formal. Kesimpulan ini secara
umum dijabarkan pada bab selajutnya (e.g.,Dawes, Faust, & Meehl, 1989, 1993; Garb, 1994;
Goldberg, 1991; Groveetal.,2000;Grove&Meehl,1996;Kleinmuntz,1990; Marchese, 1992; Meehl,
1986; Wiggins, 1981). Meehl adalah salah satu psikolog yang mendapat penghargaan tertinggi
pada sejarah psikologi klinis, dan diakhir karirnya ia menyesalkan fakta bahwa psikolog
mengabaikan penelitian tentang statistical prediction. Termasuk milik Meehl (1986).

“Tidak ada perdebatan dalam ilmu sosial yang menunjukkan begitu banyak kajian yang
beragam secara kualitatif keluar begitu seragam ke arah yang sama. Ketika Anda mendorong
90 investigasi, memprediksi semuanya, mulai dari hasil pertandingan sepak bola hingga
diagnosis penyakit hati dan ketika anda hampir tidak dapat menghasilkan setengah lusin
kajian yang menunjukkan kecenderungan yang lemah dalam mendukung ahli klinis, inilah
saatnya untuk menarik kesimpulan praktis, meskipun perbedaan teoretis mungkin masih
diperdebatkan.”

Menurut Meehl dan para pendukung yang lain dari prediksi statistik, para profesional
kesehatan mental harus menggunakan aturan statistik untuk menegakkan diagnosis, deskripsi
gambaran-gambaran dan gejala-gejala, prediksi perilaku, dan jenis-jenis lain dari penilaian dan
keputusan. Namun, dokter harus berdiskusi dengan baik.

Topik berikut akan dibahas di dalam bab ini: (a) hasil pada prediksi klinis vs mekanis, (b)
kekuatan dan pembatasan penilaian klinis, (c) kekuatan dan pembatasan penilaian otomatis
(Automated assessment), dan (d) kekuatan dan keterbatasan prediksi statistik. Rekomendasi akan
dibuat untuk meningkatkan cara penilaian dan membuat keputusan merupakan praktik yang
bersifat linier.

PREDISI MEKANIS vs KLINIS


Tinjauan studi yang paling menyeluruh dan canggih tentang prediksi klinis versus mekanis
dilakukan oleh Grove dkk (2000). Selain menemukan lebih banyak studi daripada orang lain,
mereka menerbitkan satu-satunya meta-analisis di bidang ini. Ulasan mereka akan dijelaskan
secara rinci.

Dalam pencarian literatur mereka, Grove dkk (2000) hanya memasukkan studi di bidang
psikologi dan kedokteran. Studi dimasukkan jika dokter dan prosedur mekanik digunakan untuk
"memprediksi perilaku manusia, membuat diagnosa atau prognosis psikologis atau medis, atau
menilai keadaan dan sifat-sifat (termasuk perilaku abnormal dan kepribadian normal)" (hal. 20).
Juga, studi dimasukkan hanya jika dokter dan prosedur mekanik memiliki akses ke "variabel
prediktor yang sama (atau hampir sama)" (hal. 20).

Secara keseluruhan, hasil meta-analisis mendukung keunggulan umum prediksi mekanik.


Namun, mengingat temuan-temuan ini, komentar yang dibuat oleh pendukung statistical
prediction tampaknya terlalu ekstrem. Sebagai contoh, Meehl's (1986, p. 374) mengklaim bahwa
"hanya beberapa studi menunjukkan kecenderungan yang lebih baik dalam mendukung dokter"
tampaknya tidak lagi akurat. Seperti dicatat oleh Grove et al. (2000), "Hasil kami memenuhi syarat
atas pernyataan dalam literatur bahwa keunggulan seperti itu sepenuhnya sama" (p. 25).

Grove dkk (2000) juga melaporkan temuan menarik lainnya. Keunggulan umum prediksi
mekanis berlaku di semua kategori: "Ini berlaku dalam kedokteran umum, kesehatan mental,
kepribadian, dan dalam pengaturan pendidikan dan pelatihan" (hal. 25). Mereka juga menemukan
bahwa prediksi mekanik biasanya lebih baik terlepas dari apakah dokter yang "menilai tidak
berpengalaman atau berpengalaman" (hal. 25). Berkenaan dengan hasil yang ketiga, satu variabel
penting dalam delapan studi di mana penilaian klinis mengungguli prediksi mekanik: Dalam tujuh
dari delapan studi tersebut, dokter menerima lebih banyak data dari pada aturan prediksi mekanik.
Salah satu implikasi dari temuan ini adalah bahwa informasi yang optimal tidak selalu digunakan
sebagai input untuk aturan prediksi mekanis. Satu hasil lagi akan disebutkan. Aturan prediksi
mekanik lebih unggul daripada dokter dengan margin yang lebih besar ketika informasi
wawancara tersedia. Keterbatasan informasi wawancara telah dijelaskan dalam literatur penilaian
klinis (Ambady & Rosenthal, 1992; Garb, 1998, hlm. 18-20).

Untuk memeriksa integritas temuan mereka, Grove dkk (2000) melakukan analisis tambahan:
“Kami memeriksa faktor desain penelitian spesifik yang secara rasional terkait dengan
kualitas (mis., Jurnal yang ditinjau sejawat terhadap bab atau disertasi, ukuran sampel,
tingkat pelatihan dan pengalaman untuk penilai, rumus statistik lintas-validasi dan non-
lintas-validasi). Pada dasarnya semua faktor desain penelitian ini gagal secara signifikan
memengaruhi ukuran efek studi; tidak ada faktor yang menghasilkan pengaruh yang cukup
besar terhadap hasil studi. (hal. 25)
Dengan demikian, hasil yang kurang lebih sama diperoleh dalam penelitian yang bervariasi dalam
hal kualitas metodologis.

KRITIK TERHADAP PREDIKSI MEKANIK

Automated Assessment (Penilaian Otomatis)

Program Automated Assessment terdiri dari serangkaian pernyataan jika-maka yang dibuat
oleh para ahli klinis berdasarkan pengalaman klinis, pengetahuan mengenai literatur penelitian dan
pengetahuan klinis yang dimiliki. Hal ini diperhitungkan sebagai aturan prediksi mekanis karena
pernyataan yang dihasilkan oleh program tersebut dapat direproduksi 100%. Beberapa kelebihan
dari program tersebut. Pertama, isinya ditulis oleh para psikolog yang dianggap ahli. Kelebihan
lainnya adalah mereka merupakan metode prediksi mekanis dengan reliabilitas test-retest yang
sempurna (misalnya pemberian protokol uji MMPI-2, laporan pengujian yang sama akan selalu
ditulis).

Terdapat beberapa kelemahan dari program tersebut. Pertama, dalam studi empiris, dugaan
para ahli tidak lebih akurat daripada psikolog lain. Kedua, meskipun reliabilitas test-retest
sempurna, tetapi tidak dengan reliabilitas inter-rater. Umumnya, laporan pengujian berbasis
komputer yang dihasilkan oleh program automated assessment digunakan oleh psikolog bersama
informasi lainnya (cth, informasi riwayat pasien) sehingga jangan diasumsikan bahwa psikolog
akan membuat penilaian dan keputusan yang sama ketika semua informasi diintegrasikan. Namun,
pada akhirnya, banyak tokoh yang mengemukakan banyak program Automated Assessment yang
digunakan untuk menafsirkan hasil tes psikologi tidak tervalidasi dan memberikan kesan tidak
beralasan jika ditinjau dari presisi ilmiah.

Prediksi Statistik
Seseorang dapat mengharapkan aturan prediksi statistik lebih akurat daripada program
penilaian otomatis dan penilaian klinis. Lagi pula, aturan prediksi statistik biasanya didasarkan
pada umpan balik yang akurat. Artinya, ketika memperoleh aturan prediksi statistik, skor kriteria
yang akurat biasanya diperoleh. Dengan kata lain (Garb, 2000a), “Secara umum, aturan prediksi
statistik akan baik karena mereka menggunakan metode induktif. Aturan prediksi astronat akan
berjalan dengan baik sejauh seseorang dapat menggeneralisasi dari sampel derivasi ke sampel
baru” (hal. 32). Sebaliknya, dalam praktik klinis, biasanya terlalu mahal bagi ahli klinis untuk
mendapatkan skor kriteria yang baik. Sebagai contoh, ahli klinis tidak dapat menindaklanjuti
dengan pasien setelah periode 6 bulan untuk mengetahui apakah mereka telah melakukan
kekerasan. Demikian pula, ketika menulis program interpretasi tes berbasis komputer, seorang ahli
klinis ahli biasanya tidak akan mengumpulkan informasi kriteria.

Ada alasan penting lain yang dapat diharapkan aturan prediksi statistik lebih akurat
daripada program penilaian otomatis dan penilai klinis. Penggunaan aturan prediksi statistik dapat
meminimalkan terjadinya kesalahan dan bias, termasuk bias ras dan bias gender (Garb, 1997).
Program penilaian otomatis dapat menjadi bias (mis., Deskripsi mungkin lebih akurat untuk klien
kulit putih daripada klien kulit hitam), karena skor kriteria biasanya tidak diperoleh untuk
mempelajari apakah akurasi bervariasi berdasarkan karakteristik klien (misalnya, ras). Kesalahan
dan bias yang terjadi ketika ahli klinis membuat penilaian akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Cukuplah untuk mengatakan bahwa aturan statistik yang diturunkan dengan hati-hati tidak akan
membuat prediksi yang bervariasi sebagai fungsi ras atau jenis kelamin kecuali ras atau jenis
kelamin telah terbukti terkait dengan perilaku yang diprediksi seseorang. Untuk memastikan
bahwa prediksi statistik tidak bias, efek dari karakteristik klien (mis., Ras, jenis kelamin) perlu
diselidiki.

Meskipun ada alasan untuk percaya bahwa aturan prediksi statistik akan mengubah
penilaian psikologis, penting untuk menyadari bahwa aturan saat ini memiliki nilai terbatas (Garb,
1994, 1998, 2000a). Untuk tugas yang melibatkan diagnosis atau menggambarkan ciri-ciri
kepribadian atau gejala kejiwaan, banyak aturan prediksi statistik menggunakan hanya informasi
terbatas (mis., Hasil dari hanya satu tes psikologis). Ini mungkin memuaskan jika penyelidik
pertama kali menentukan bahwa informasi penilaian mewakili informasi terbaik yang tersedia.
Namun, ini bukan masalahnya. Untuk tugas yang melibatkan diagnosis dan menggambarkan ciri-
ciri kepribadian dan gejala kejiwaan, investigator jarang mengumpulkan sejumlah besar informasi
dan mengidentifikasi prediktor yang optimal.

Ada alasan metodologis mengapa informasi yang optimal jarang digunakan untuk tugas-
tugas diagnosis dan menggambarkan ciri-ciri kepribadian dan gejala kejiwaan. Ketika aturan
prediksi statistik diturunkan untuk tugas-tugas ini, penilaian kriteria biasanya dibuat oleh psikolog
yang menggunakan informasi yang tersedia dalam praktik klinis (mis., Informasi riwayat dan
wawancara). Jika informasi yang digunakan oleh penilai kriteria juga digunakan sebagai informasi
masukan untuk aturan prediksi statistik, kontaminasi kriteria dapat terjadi. Untuk menghindari
kontaminasi kriteria, informasi yang diberikan kepada penilai kriteria tidak digunakan sebagai
informasi input untuk aturan prediksi statistik, meskipun informasi ini mungkin optimal. Dengan
demikian, dalam banyak penelitian, prediksi statistik dibuat menggunakan hasil dari tes psikologis
tetapi bukan hasil dari sejarah dan informasi wawancara.

Untuk menghindari kontaminasi kriteria, metode baru perlu digunakan untuk membangun
dan memvalidasi aturan statistik untuk tugas-tugas diagnosis dan menggambarkan sifat-sifat
kepribadian dan gejala kejiwaan (Garb, 1994, 1998, 2000a). Misalnya, dengan mengumpulkan
informasi longitudinal, seseorang dapat memperoleh skor kriteria yang tidak didasarkan pada
informasi yang biasanya digunakan oleh para profesional kesehatan mental. Jadi, jika aturan
statistik membuat diagnosis depresi berat, tetapi data longitudinal mengungkapkan bahwa klien
kemudian mengembangkan episode manik, maka kita dapat mengatakan bahwa diagnosis ini tidak
benar.

Kontaminasi kriteria bukan masalah untuk prediksi perilaku (mis., Memprediksi bunuh
diri), sehingga tidak mengherankan bahwa aturan prediksi statistik yang telah digunakan untuk
memprediksi perilaku didasarkan pada informasi yang optimal. Untuk prediksi perilaku, skor hasil
diperoleh setelah informasi penilaian telah dikumpulkan dan prediksi telah dibuat. Semua
informasi yang biasanya tersedia dalam praktik klinis dapat digunakan oleh aturan prediksi
statistik tanpa takut akan kontaminasi kriteria.

Meskipun aturan aktuaria yang berharga untuk memprediksi kekerasan mungkin segera
tersedia, prospek kurang menjanjikan untuk prediksi bunuh diri. Ini adalah tugas yang sangat
penting sehingga jika suatu aturan dapat memperoleh bahkan tingkat akurasi yang rendah, itu
mungkin berguna dalam praktik klinis. Namun, hasil untuk aturan aktuaria mengecewakan.
Misalnya, dalam satu penelitian (R. B. Goldstein, Black, Nasrallah, & Winokur, 1991), prediksi
dibuat untuk 1.906 pasien yang telah diikuti selama beberapa tahun. Empat puluh enam pasien
bunuh diri. Beberapa faktor risiko untuk bunuh diri diidentifikasi (mis., Riwayat upaya bunuh diri,
ide bunuh diri pada penerimaan indeks, dan jenis kelamin). Namun, faktor-faktor risiko ini tidak
dapat digunakan secara bermakna untuk membuat prediksi. Ketika faktor-faktor risiko
dimasukkan ke dalam aturan statistik, lima prediksi bunuh diri dibuat, tetapi hanya satu dari
mereka yang valid dan prediksi tidak bunuh diri dibuat untuk 45 dari 46 pasien yang bunuh diri.
Aturan statistik tidak berjalan dengan baik meskipun diturunkan dan divalidasi pada set data yang
sama.

Di antara aturan prediksi statistik paling berharga yang saat ini tersedia adalah aturan
penilaian perilaku. Aturan-aturan ini bermanfaat untuk melakukan analisis fungsional.

Kelemahan penilaian klinis untuk analisis fungsional diilustrasikan dalam sebuah studi
oleh O'Brien (1995). Dalam penelitian ini, data pemantauan diri untuk klien yang mengeluh sakit
kepala diberikan kepada delapan mahasiswa pascasarjana psikologi klinis. Selama 14 hari, klien
memantau sejumlah variabel termasuk tingkat stres, pertengkaran, jam tidur, jumlah sakit kepala,
keparahan sakit kepala, durasi sakit kepala, dan jumlah obat penghilang rasa sakit yang diminum.
Tugas untuk mahasiswa pascasarjana adalah untuk memperkirakan "besarnya hubungan
fungsional yang ada antara pasangan perilaku target dan faktor-faktor pengendalian dengan
menghasilkan korelasi subjektif" (p. 352). Hasilnya mengejutkan dan mengecewakan: Mahasiswa
pascasarjana mengidentifikasi variabel kontrol yang paling kuat berkorelasi dengan masing-
masing gejala sakit kepala hanya 51% dari waktu.

Mengingat kekurangan penilaian klinis untuk menggambarkan hubungan fungsional,


penting untuk dicatat bahwa analisis probabilitas sekuensial dan kondisional telah digunakan untuk
menganalisis data pemantauan diri. Analisis statistik ini telah digunakan untuk mengklarifikasi
hubungan fungsional yang terlibat dalam berbagai masalah termasuk kecanduan merokok,
bulimia, hipertensi, dan obesitas (mis., Schlundt & Bell, 1987; Shiffman, 1993).

KRITIK PENILAIAN KLINIS


Kekuatan dari penilaian klinis terletak pada ketersediaan berbagai macam informasi yang
dimiliki para professional dalam praktik klinis dibandingkan dengan program automated
assessment dan aturan prediksi statistik yang hanya menggunakan informasi yang terbatas. Tujuh
dari delapan penelitian menemukan psikolog secara substansial lebih akurat dibandingkan dengan
aturan prediksi mekanik (Grove et al., 2000), selama mereka berhati-hati dengan informasi yang
digunakan, menghindari pembuatan penilaian untuk tugas yang sangat sulit, dan hati-hati dalam
bagaimana mereka membuat penilaian.

Dalam bagian ini fokus utama pembahasan terkait batasan penilaian klinis. Hasil dari studi
empiris mengungkapkan secara mengejutkan para professional kesehatan mental kesulitan untuk
belajar dari pengalaman klinis. Artinya sejumlah penelitian bertentangan dengan kepercayaan
yang menyebutkan semakin banyak pengalaman dari psikolog, semakin besar kemungkinan
mereka dapat membuat penilaian yang akurat. Hal ini didukung dengan beberapa penelitian yang
menunjukkan ketika para psikolog dari kelompok berbeda diberikan set informasi yang identik,
hasil yang diperoleh menunjukkan psikolog yang berpengalaman tidak lebih akurat dibandingkan
dengan psikolog yang kurang berpengalaman.

Pengalaman dan Validitas


Validitas penilaian akan dideskripsikan untuk ahli klinis yang dianggap ahli vs dokter
yang tidak berpengalaman, dokter yang berpengalaman vs yang kurang berpengalaman, ahli klinis
vs mahasiswa pascasarjana, serta mahasiswa pascasarjana yang tidak tepat waktu. Hasil dari semua
studi ini menggambarkan hubungan antara hasil prediksi dari keahlian, pengalaman, dan validitas.
Untuk menguji interpretasi kepribadian yang nyata, prediksi para ahli tidak lebih akurat daripada
dokter lain.
Hubungan antara pengalaman dan validitas juga telah diselidiki oleh psikiater. Hasilnya
menunjukkan bahwa di suatu keadaan tertentu pengalaman tidak berhubungan dengan validitas
diagnosis dan keputusan perawatan (Hermann, Ettner, Dorwart, Langman-Dorwart, & Kleinman,
1999; Kendell, 1973; Muller & Davids, 1999). Asumsi yang sering dibuat tanpa kita sadari
adalah bahwa psikolog klinis dan konseling lebih akurat daripada mahasiswa pascasarjana. Untuk
mempelajari tentang hubungan antara pengalaman dan validitas, seseorang dapat melakukan
penelitian/studi. Dalam satu studi (Aronson & Akamatsu, 1981), 12 mahasiswa pascasarjana
membuat penilaian menggunakan MMPI sebelum dan sesudahnya mereka menyelesaikan praktik
penilaian dan terapi selama setahun. Untuk menentukan validitas, penilaian mahasiswa
pascasarjana membandingkan penilaian yang dibuat untuk pasien dan keluarga. Hasil
mengungkapkan bahwa validitas meningkat dari 0,42 menjadi hanya 0,44 setelah mahasiswa
pascasarjana menyelesaikan praktikum mereka. Pengalaman praktikum tidak berpengaruh untuk
meningkatkan akurasi secara signifikan.
Pertanyaan yang belum terjawab tetap ada. Apakah psikolog yang menafsirkan gambar
projektif mengetahui literatur penelitian tentang validitas tanda gambar tertentu? Apakah mereka
akan berhenti membuat interpretasi yang tidak valid jika mereka menjadi sadar akan temuan
negatif atau akankah mereka menimbang pengalaman klinis mereka lebih berat daripada temuan
penelitian? Penelitian tentang pengalaman dan validitas penting karena membantu kita memahami
masalah yang bisa terjadi ketika psikolog mengabaikan temuan penelitian dan hanya dibimbing
oleh pengalaman klinis mereka.
Pelatihan dan Validitas

Dalam beberapa studi, psikolog dan mahasiswa pascasarjana lebih akurat dibandingkan
dengan penilai awam (cth sarjana). Pada penelitian lain menyebutkan profesional kesehatan mental
dengan pelatihan khusus lebih akurat daripada profesional kesehatan tanpa pelatihan khusus. Hal
ini dijelaskan pada bagian ini bahwa hasil bukti empiris menunjang nilai sebuah pelatihan.

Penelitian lain misalnya, ketika tugas yang diberikan untuk menggambarkan psikopatologi
dengan menggunakan data wawancara, maka psikolog dan mahasiswa pascasarjana lebih unggul
dibandingkan dengan mahasiswa sarjana (Grigg, 1958; Waxer, 1976; Brammer, 2002). Namun
dengan tugas yang sama, mereka tidak bisa lebih unggul dari ilmuwan fisik. Sama halnya saat
tugas yang diberikan untuk menggambarkan psikopatologi berdasarkan data riwayat kasus, saat
membahas penilaian dibuat untuk pasien psikiatri maka psikolog akan lebih unggul dari penilai
awam (Horowitz, 1962; Lambert & Wertheimer, 1988; dsb). Tetapi berbeda saat penilaian dibuat
untuk pasien normal (Griswold & Dana, 1970; Oskamp, 1965; Weiss, 1963). Hal ini tentu saja
dikarenakan psikolog jarang membuat penilaian untuk individu yang tidak menerima perawatan
dan dapat berakibat psikolog secara keliru mengambarkan orang normal sebagai orang yang
memiliki psikopatologi.

Pada akhirnya, hasil positif diperoleh untuk MMPI. Beberapa penelitian mengenai
penggunaan MMPI, psikolog dan mahasiswa pascasarjana lebih akurat daripada penilai awam
(Aronson & Akamatsu, 1981; Goldberg & Rorer, 1965, dan Rorer & Slovic, 1966, dijelaskan
dalam Goldberg, 1968; Karson & Freud, 1956; Oskamp, 1962). Aronson dan Akamatsu (1981)
dalam penelitian membandingkan kemampuan mahasiswa pascasarjana dan sarjana dalam
melakukan metode Q-sorts untuk menggambarkan karakteristik kepribadian pasien psikiatri
berdasarkan protokol MMPI. Perbandingan dilakukan pada mahasiswa pascasarjana yang telah
menyelesaikan pelatihan MMPI dan memiliki beberapa pengalaman menginterpretasikan
instrument tersebut dengan mahasiswa yang baru menghadiri dua kali kelas MMPI. Pengukuran
validitas menggunakan criterion ratings berdasarkan wawancara keluarga dan pasien. Hasil
menunjukkan koefisien validitas 0.44 untuk mahasiswa pascasarjana dan 0.22 untuk mahasiswa
dengan kesimpulan bahwa mahasiswa pascasaraja secara signifikan lebih akurat daripada
mahasiswa.

KESULITAN BELAJAR DARI PENGALAMAN

Penting untuk dipahami mengapa profesional kesehatan mental mengalami kesulitan untuk
belajar dari pengalaman. Assesmen yang tidak valid, proses kognitif yang keliru, dan umpan balik
yang tidak memadai adalah beberapa faktor yang dapat menuntun pada penilaian yang buruk dan
kegagalan untuk belajar dari pengalaman (Arkes, 1981; Brehmer, 1980; Dawes, 1994; Dawes et
al., 1989; Einhorn, 1988; Garb, 1998).

Informasi assesmen

Akan sulit bagi para klinisi untuk belajar dari pengalaman jika mereka menggunakan
informasi yang tidak sah atau sedikit. Hal ini dibuat oleh Trull dan Phares (2001):

Keakuratan prediksi terbatas oleh ukuran dan metode yang digunakan sebagai alat bantu
dalam proses prediksi. Misalnya skor dari tes psikologis tidak kuat berkorelasi dengan kriteria
minat, maka tidak mungkin seseorang bisa mengamati pengalaman klinisnya. Keakuratan prediksi
terbaik tidak akan tergantung pada bagaimana "pengalaman klinis" seseorang. (p. 277).

Dari pemikiran ini, setiap individu harus menyadari bahwa beberapa teknik psikologis
yang kontroversial dapat digunakan untuk beberapa tugas. Sebagai contoh, ada kontroversi seputar
penggunaan Rorschach (Lilienfeld et al., 2000, 2001). Salah satu masalahnya adalah norma dari
sistem komprehensif Rorschach (Exner, 1993) mungkin tidak akurat dan mungkin cenderung
membuat individu terlihat patologis bahkan ketika tidak ada patologi. Masalah juga telah dibahas
(Aronow, 2001; Exner, 2001; & Di Giulio, 2001; di hunsley Meyer, 2001; Widiger, 2001; Kayu,
Nezworski, Garb, & Lilienfeld, 2001a, 2001b)

Proses kognitif

Bias kognitif, heuristik kognitif, dan proses memori dapat memberikan dampak negatif
yang besar pada strategi penilaian dan pengambilan keputusan. Bias kognitif adalah prasangka
atau keyakinan negatif yang dapat mempengaruhi penilaian klinis. Heuristik kognitif adalah aturan
sederhana yang menggambarkan bagaimana klinisi, dan orang lain, membuat penilaian dan
keputusan pengobatan. Ketergantungan pada heuristik kognitif dapat efisien karena mereka
sederhana dan memungkinkan kita untuk membuat penilaian dan keputusan dengan cepat dengan
sedikit usaha. Tetapi jika salah dapat menyebabkan kegagalan untuk belajar dari pengalaman.
Berkenaan dengan memori, harus jelas bahwa klinisi tidak akan belajar dari pengalaman ketika
kenangan mereka dari pengalaman tersebut tidak benar.

Beberapa bias kognitif dan heuristik akan dijelaskan. Konfirmasi bias terjadi ketika dokter
mencari, menghadiri, dan mengingat informasi yang dapat mendukung tetapi tidak melawan firasat
atau hipotesis mereka. Ketika psikolog mengajukan pertanyaan yang dapat mengkonfirmasi tetapi
tidak menyangkal kesan mereka dari klien, mereka tidak mungkin bisa membuat penilaian yang
baik dan mereka tidak mungkin belajar dari pengalaman mereka. Demikian pula, psikolog tidak
mungkin untuk belajar dari pengalaman jika kenangan mereka terdistorsi untuk mendukung
prasangka mereka. Penelitian empiris menunjukkan bahwa bias konfirmasi terjadi ketika psikolog
bekerja dengan klien (Haverkamp, 1993; Lee, Barak, Uhlemann, & Patsula, 1995; Murdock, 1988;
Strohmer, Shivy, & Chiodo, 1990).

Bias hindsight menggambarkan bagaimana individu, termasuk profesional kesehatan


mental, menghasilkan penjelasan mengenai peristiwa yang telah terjadi. Psikolog umumnya tidak
menyadari bahwa pengetahuan tentang suatu hasil mempengaruhi kemungkinan yang dirasakan
dari hasil itu (Fischhoff, 1975). Dengan kata lain, setelah peristiwa terjadi, orang cenderung
percaya bahwa peristiwa itu pasti terjadi. Hasil pada bias hindsight telah direplikasi di berbagai
tugas penilaian (Hawkins & hastie, 1990), termasuk diagnosis gangguan neurologis (arkes, Faust,
guilmette, & Hart, 1988). Penting untuk memahami bias hindsight mengapa profesional kesehatan
mental mengalami kesulitan belajar dari pengalaman klinis karena menunjukkan bahwa mereka
berpikir dalam deterministik (bukan probabilistik). Seperti yang diamati oleh Einhorn (1988):

Pendekatan klinis untuk diagnosis dan prediksi dapat ditandai dengan ketergantungan yang
kuat untuk menjelaskan semua data. Memang, fitur yang signifikan dari pemikiran diagnostik
adalah kecepatan yang luar biasa dan kelancaran bahwa orang mampu untuk menjelaskan hasil
apapun. Misalnya, "bagian diskusi" dalam jurnal artikel, jarang dijelaskan mengapa hasil tidak
keluar seperti yang diperkirakan (cf. Slovic & Fischhoff, 1977).

Profesional kesehatan mental akan mengalami kesulitan belajar dari pengalaman jika
mereka tidak mengakui bahwa semua informasi penilaian adalah keliru dan bahwa kita sering tidak
dapat membuat prediksi dengan tingkat kepastian yang tinggi. Artinya, mereka akan percaya
bahwa mereka telah belajar banyak hal dari sebuah kasus padahal masih banyak yang belum
mereka ketahui. Kesimpulannya, proses kognitif yang dijelaskan oleh bias hindsight dapat
menyebabkan klinisi dengan keyakinan keliru bahwa kombinasi tertentu dari gejala atau perilaku
hampir selalu terkait dengan hasil tertentu.

Berkenaan dengan heuristik kognitif, heuristik yang paling relevan untuk memahami
mengapa dokter dapat memiliki waktu yang sulit belajar dari pengalaman adalah ketersediaan
heuristik (Kahneman, Slovic, & Tversky, 1982). Heuristik ini menjelaskan bagaimana selektif
memori dapat menyebabkan kesalahan menghakimi. Profesional kesehatan mental biasanya hanya
mengingat informasi yang dipilih tentang suatu kasus karena sulit, atau bahkan mustahil untuk
mengingat semua rincian tentang klien. Jika ingatan mereka tentang kasus tidak memadai, mereka
akan mengalami kesulitan belajar dari kasus ini. Menurut ketersediaan heuristik, kekuatan memori
terkait dengan kejelasan informasi dan kekuatan hubungan asosiatif verbal antar peristiwa.

Satu teori lain tentang memori dan penilaian klinis disebutkan, tindakan membuat
diagnosis dapat mempengaruhi bagaimana profesional kesehatan mental mengingat gejala klien
(Arkes & Harkness, 1980). Menurut teori ini, seorang profesional kesehatan mental mungkin lupa
bahwa klien memiliki gejala tertentu karena gejala ini tidak khas dari gejala yang terkait dengan
diagnosis klien. Demikian pula, gejala yang khas dari diagnosis mungkin "diingat kembali,"
meskipun klien tidak memiliki gejala. Tentu saja, sulit untuk belajar dari pengalaman ketika
rincian kasus diingat dengan tidak benar.
Faktor lingkungan

Profesional kesehatan mental belajar dari pengalaman ketika mereka menerima umpan
balik yang tidak bias, tetapi manfaat umpan balik cenderung menetapkan hal yang spesifik. Dalam
beberapa studi (Goldberg & Rorer, 1965 dan Rorer & Slovic, 1966, cited in Goldberg, 1968;
Graham, 1971), psikolog membuat diagnosa menggunakan profil MMPI. Mereka menjadi lebih
akurat ketika mereka diberitahu apakah diagnosa mereka sah atau tidak sah, tetapi hanya ketika
semua protokol MMPI berasal dari pengaturan yang sama.

Sayangnya, profesional kesehatan mental biasanya tidak menerima umpan balik yang
akurat tentang apakah penilaian dan keputusan mereka berlaku. Misalnya, setelah membuat
diagnosis, tidak ada yang datang dan memberitahu mereka apakah diagnosis benar atau tidak
benar. Mereka terkadang menerima umpan balik yang bermanfaat dari klien, namun umpan balik
klien bersifat subjektif dan dapat menyesatkan. Sebaliknya, ketika dokter membuat penilaian,
mereka sering menerima umpan balik yang akurat dari hasil laboratorium, studi radiologi, dan
dalam beberapa kasus seperti otopsi. Dalam kebanyakan kasus, bagi para profesional kesehatan
mental untuk menentukan keakuratan penilaian atau keputusan, data longitudinal atau hasil harus
dikumpulkan. Longitudinal dan data hasil dikumpulkan dalam studi empiris, tetapi kebanyakan
klinisi menemukan data ini terlalu mahal dan memakan waktu untuk mengumpulkan dalam
praktek klinis.

Umpan balik klien dapat menyesatkan karena beberapa alasan. Pertama, klien mungkin
enggan untuk membantah hipotesis dari terapis. Hal ini dapat terjadi jika klien pasif, dibisikkan,
takut otoritas, atau termotivasi untuk menjadi menyenangkan. Kedua, klien mungkin tidak dapat
memberikan umpan balik yang akurat karena mereka mungkin tidak dapat menggambarkan semua
sifat dan gejala mereka secara akurat. Bahkan laporan mereka apakah mereka telah membaik akan
subjektif dan akan dipengaruhi oleh bagaimana perasaan mereka ketika mereka diminta. Akhirnya,
profesional kesehatan mental dapat menggambarkan klien dalam istilah umum. Deskripsi mereka
mungkin benar dari klien pada umumnya dan mungkin tidak menggambarkan sifat-ciri yang
spesifik untuk klien (misalnya, "Anda memiliki rasa humor yang luar biasa" dan "Anda memiliki
kebutuhan yang terlalu kuat agar orang lain mengagumi anda"-dari Logue, Sher, & Frensch, 1992,
p. 228). Fenomena ini telah diberi label Barnum effect, setelah sosok sirkus P. T. Barnum (Meehl,
1954). Terjadinya efek Barnum akan menyesatkan untuk klinisi jika mereka percaya penilaian dan
keputusan mereka berlaku untuk klien tertentu dan bukan untuk klien pada umumnya.

Umpan balik klien juga akan menyesatkan jika klinisi membuat interpretasi yang salah
tetapi meyakinkan klien mereka bahwa mereka benar. Sebagai contoh, setelah diberitahu oleh
terapis mereka bahwa mereka disiksa, beberapa klien salah ingat telah disalahgunakan (Loftus,
1993; Ofshe & Watters, 1994). Terapis ini telah menggunakan berbagai teknik untuk membantu
klien percaya bahwa mereka ingat telah disalahgunakan, termasuk mengatakan kepada mereka
bahwa mereka disiksa, berulang kali meminta mereka untuk mengingat peristiwa, menafsirkan
impian mereka, menghipnotis mereka. Tentu saja, dokter akan memiliki waktu sulit belajar dari
pengalaman jika mereka meyakinkan klien untuk menerima salah interpretasi dan penilaian.

SUMMARY AND DISCUSSION

Tidak mungkin untuk mencakup semua bidang penelitian tentang penilaian klinis dan
prediksi mekanisme dalam bab ini. Terutama, sangat sedikit yang menyebutkan mengenai validitas
penilaian yang dilakukan oleh profesional kesehatan mental (cth reliabilitas diagnosis, validitas
pendeskripsian kepribadian). Tetapi pada bab ini, kesimpulan dari bidang utama penelitian
dijabarkan. Pertama, banyak program automated assessment untuk interpretasi hasil tes psikologi
tidak valid. Kedua, meskipun ada alasan untuk mempercayai aturan prediksi statistik akan
mengubah penilaian psikologi, tetapi situasi saat ini aturan tersebut memiliki nilai terbatas.
Terakhir, nilai dari pelatihan dalam bidang psikologi dan bidang kesehatan mental lainnya menjadi
penunjang, Sebuah penelitian menggambarkan terjadi kesulitan proses belajar dari pengalaman
klinis. Oleh sebab itu, disebutkan pentingnya untuk melanjutkan studi walaupun terbatas pada nilai
kecuali kalua dengan memanfaatkan penelitian empiris.

Dalam keadaan tertentu pengalaman klinis sangat mungkin berharga. Profesional


kesehatan mental yang berpengalaman mungkin lebih mahir dalam menyusun tugas penilaian
(Brammer, 2002). Dihampir semua penelitian yang telah dilakukan, para psikolog telah menyusun
tugas-tugas dari penilaian apa yang harus dibuat dan informasi-informasi apa saja yang penting
disampaikan. Namun, dalam praktik klinis, supervisi (pengawasan) dapat sangat membantu
terutama pertanyaan terkait penilaian apa yang perlu dibuat (Apakah Anda pikir dia bunuh diri?
Apakah klien pernah mengalami episode manik?). Demikian pula, supervisi dapat bermanfaat
karena memberikan arahan tentang informasi apa yang harus dikumpulkan. Dalam beberapa kasus,
pengalaman mungkin bermanfaat dalam keadaan tertentu tapi dapat tidak bermanfaat saat
membantu psikolog mengevaluasi instrument penilaian. Dan juga tidak membantu psikolog dalam
membuat penilaian yang lebih valid daripada mahasiswa pascasarjana terkait penilaian yang
dibuat untuk tugas terstruktur.

Beberapa rekomendasi dibuat untuk psikolog praktik dan peneliti untuk meningkatkan cara
penilaian dan pengambilan keputusan. Pertama, profesional kesehatan mental tidak boleh
menggunakan program automated assessment untuk menginterpretasi hasil tes kecuali jika
program divalidasi dengan tepat. Kedua, metode baru untuk membangun dan memvalidasi aturan
prediksi statistik perlu digunakan. Data perlu dikumpulkan untuk tugas penilaian yang belum
dipelajari. Termasuk analisis baru seperti neural network models (model jaringan saraf) dan
multivariate taxometric analyses (analisis taksometrik multivariat),harus dipergunakan dalam
membangun aturan statistic (Marshall & Inggris, 2000; Harga, Spitznagel, Downey, Meyer, &
Risiko, 2000; N. G. Waller & Meehl, 1998). Ketiga, profesional kesehatan mental harus terbiasa
dengan literatur penelitian tentang penilaian klinis. Dengan membiasakan diri dengan hasil studi
tentang validitas penilaian yang dibuat oleh para profesional kesehatan mental, mereka dapat
menghindari memberi penilaian untuk tugas-tugas yang sangat sulit dan tidak mungkin akurat.
Keempat, psikolog harus lebih mengandalkan catatan mereka dibandingkan pada ingatan mereka.
Kelima, untuk mengurangi confirmatory bias (kecenderungan untuk berfokus pada informasi yang
mendukung dugaan interpretasi yang dianggap benar oleh seseorang dan mengabaikan hal-hal
yang berlawaan dengan yang dipercayai), psikolog harus mempertimbangkan hipotesis alternatif
ketika membuat penilaian dan keputusan. Keenam, ketika memutuskan apakah akan menggunakan
instrumen penilaian atau metode treatment, psikolog harus lebih mengutamakan hasil temuan
empiris dibandingkan pengalaman klinis. Artinya mereka tidak boleh menggunakan instrumen
penilaian atau metode treatment hanya karena tampaknya akan berhasil. Sebagai kesimpulan,
untuk meningkatkan praktik klinis secara drastis, aturan prediksi statistik yang kuat perlu dibangun
dan psikolog perlu lebih sedikit menekankan pada pengalaman klinis mereka dan menekankan
lebih besar pada temuan ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

Graham, J.R & Naglieri J.A. 2003. Handbook of Psychology Volume 10 Assesment Psychologi.
John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey

Anda mungkin juga menyukai