Disusun oleh :
Kelompok 3 Kelas B
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
3
Komposting memiliki peran penting dalam upaya tersebut karena kemampuannya
mengubah sampah organik menjadi soil conditioner yang bermanfaat bagi perbaikan
kesuburan tanah. Kegiatan komposting di Indonesia umumnya tidak berjalan sinambung;
hal tersebut diakibatkan oleh beberapa sebab, yakni kegagalan pasar, lemahnya dukungan
pemerintah, lemahnya manajemen dan ketidaklayakan teknik yang digunakan. Kegagalan
pemasaran kompos perlu diatasi melalui upaya mobilisasi konsumen kompos di
lingkungan internal perkotaan. Masalah kurangnya dukungan pemerintah dan lemahnya
manajemen kompos sebagai penyebab lain dari kegagalan komposting dapat didekati
pemecahannya dengan kebijakan penerapan sistem desentralisasi dan atau sentralisasi
komposting. Namun, mekanisme pemilihan sistem tersebut belum ada. Sementara itu,
ketidaklayakan teknologi komposting, dapat didekati pemecahannya dengan seleksi
teknologi yang terintegrasi. Namun, mekanisme penyeleksiannya juga belum tersedia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi komposting?
2. Apa saja bahan dan alat untuk membuat komposting?
3. Apa saja faktor yang memengaruhi proses komposting?
4. Bagaimana metode komposting?
5. Apa saja unsur atau senyawa yang terkandung di dalam komposting?
6. Bagaimana cara penyimpanan kompos yang baik?
7. Apa saja manfaat atau peranan kompos terhadap pengelolaan limbah?
8. Apa kelebihan dan kekurangan komposting?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi komposting.
2. Untuk mengetahui apa saja bahan dan alat untuk membuat komposting.
3. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi proses composting.
4. Untuk mengetahui metode komposting.
5. Untuk mengetahui unsur atau senyawa yang terkandung di dalam komposting.
6. Untuk mengetahui bagaimana cara penyimpanan kompos yang baik.
4
7. Untuk mengetahui apa saja manfaat atau peranan komposting terhadap pengelolaan
limbah.
8. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan komposting.
D. MANFAAT
Bagi Mahasiswa :
Bagi pembaca :
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. TINJAUAN PUSTAKA
Komposting adalah proses pengendalian penguraian secara biologi dari bahan organik,
menjadi produk seperti humus yang dikenal sebagai kompos. Penguraian bahan organik itu
(disebut juga dekomposisi) dilakukan oleh mikro-organisme menghasilkan senyawa yang
lebih sederhana. Pada saat komposting terjadi proses-proses perubahan secara kimia, fisika
dan biologi. Kecepatan dekomposisi dipegaruhi oleh banyak faktor. Dalam dekomposisi,
dimana nutrisi dilepaskan, terjadi ketika substrak organik kaya akan nutrisi, nisbah C/N dan
C/P sangat renda. Perbedaan formulasi bahan organik, perbedaan teknik dan lamanya
pengomposan, serta perbedaan tingkat aplikasi (teknik dan perbedaan waktu), akan
berpengaruh terhadap penyebaran nutrisi dari bahan organik. (Pusat Inovasi Agroteknologi
Universitas Gadjah Mada)
Metode pengomposan modern merupakan suatu metode multi tahap, seperti proses
penataan dan pengukuran pemberian masukan air, udara dan bahan kaya karbon dan
nitrogen. Proses penguraian dapat dibantu dengan terlebih dahulu mengkoyak-koyak bahan
tanaman yang digunakan, menambahkan air dan memastikan terciptanya aerasi yang sesuai
dengan cara membalik-balik campuran bahan tersebut.
Menurut analisis yang dilakukan oleh Pusat Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (BPPT) komposting memiliki peran penting dalam upaya
pendauran ulang sampah, karena kemampuannya mengubah sampah organik menjadi pupuk
organik kompos. Tingginya presentase bahan organik pada sampah kota 70%, menjadikan
sampah kota sangat prospektif untuk dijadikan kompos. Hasil analisis finansial dan
eksternalitas menyimpulkan bahwa desentralisasi komposting, lebih efisien daripada
sentralisasi komposting. Penelitian tersebut mendukung proses pembuatan kompos skala
kawasan. Dengan memanfaatkan sampah menjadi kompos skala kawasan, maka jumlah
sampah yang dibuang ke TPA menjadi lebih sedikit, sehingga biaya transportasi sampah
menjadi lebih ringan dn umur TPA menjadi lebih lama.
6
BAB III
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KOMPOSTING
Kompos adalah hasil penguraian parsial atau tidak lengkap dari campuran bahan-bahan
organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam
kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H
Crawford, 2003). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian kompos
adalah pupuk campuran yang terdiri atas bahan organik (seperti daun dan jerami yang
membusuk) dan kotoran hewan. Sedangkan komposting adalah proses pengendalian
penguraian secara biologi dari bahan organik, menjadi produk seperti humus yang dikenal
sebagai kompos. Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan
mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang dimaksud
mikroba disini bakteri, fungsi, dan jasad renik lainnya. Bahan organik disini merupakan
bahan baku untuk kompos yaitu jerami, sampah kota, limbah pertanian, kotoran
hewan/ternak dan sebagainya. Pengomposan adalah proses dimana bahan organik
mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang
memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi (Murbandono, LHS, 2004:14).
Penguraian bahan organik itu (disebut juga dekomposisi) dilakukan oleh mikroorganisme
menghasilkan senyawa yang lebih sederhana. Pada saat komposting terjadi proses-proses
perubahan secara kimia, fisika, dan biologi. Tujuan pengomposan adalah untuk
memantapkan bahan-bahan organik yang berasal dari bahan limbah, mengurangi bau busuk,
membunuh organisme pathogen (penyebab penyakit), membunuh biji-biji gulma dan pada
akhirnya menghasilkan pupuk organik / kompos yang sesuai dengan tanah. Pengomposan
dikatakan selesai apabila kompos dalam keadaan matang. Kematangan kompos ditandai bila
kompos disimpan tidak menimbulkan gangguan atau jika diaplikasikan ke dalam tanah tidak
menimbulkan masalah.
7
B. BAHAN PROSES KOMPOSTING
Komposting merupakan proses dekomposisi bahan organik (sampah organik) secara biologis
dalam kondisi aerobik dan termofilik terkendali menjadi produk stabil seperti humus, yaitu
kompos. Kompos merupakan salah satu jenis pupuk organik. Pupuk organik adalah pupuk
yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah
organik lainnya yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat
diperkaya dengan bahan mineral dan/atau mikroba, yang bermanfaat untuk meningkatkan
kandungan hara dan bahan organik tanah, serta memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi
tanah .
Bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber pupuk organik dapat berasal dari
limbah/hasil pertanian dan non pertanian (limbah kota dan limbah industri) (Kurnia et al.,
2001). Dari hasil pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan), sisa
hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, dan belotong), pupuk kandang
(kotoran sapi, kerbau, ayam, itik, dan kuda), dan pupuk hijau. Limbah kota atau sampah
organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar-pasar atau sampah rumah tangga dari daerah
permukiman serta taman-taman kota. Limbah industri yang dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk organik antara lain limbah industri pangan. Berbagai bahan organik tersebut dapat
dijadikan pupuk organik melalui teknologi pengomposan sederhana maupun dengan
penambahan mikroba perombak serta pengkayaan dengan hara lain.
8
Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:
1. Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga
40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk
sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk
energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan
kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
Umumnya, masalah utama pengomposan adalah pada rasio C/N yang tinggi, terutama
jika bahan utamanya adalah bahan yang mengandung kadar kayu tinggi (sisa gergajian
kayu, ranting, ampas tebu, dsb). Untuk menurunkan rasio C/N diperlukan perlakuan
khusus, misalnya menambahkan mikroorganisme selulotik (Toharisman, A. 1991) atau
dengan menambahkan kotoran hewan karena kotoran hewan mengandung banyak
senyawa nitrogen.
2. Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih
luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses
dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya
ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan
dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
3. Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob).
Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan
udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos.
Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan(kelembapan). Apabila
aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau
yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau
mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
9
4. Porositas
6. Temperatur/suhu
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu
dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi
oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat
terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 - 60
C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60 C
akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap
bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen
tanaman dan benih-benih gulma.
7. pH
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum
untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak
umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan
10
menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh,
proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan
pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang
mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH
kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
8. Kandungan Hara
D. METODE KOMPOSTING
Wind row system adalah proses pembuatan kompos atau komposting yang paling
sederhana dan paling murah dalam soal biayanya. Bahan baku kompos ditumpuk secara
11
memanjang, tinggi tumpukan 0,6 sampai 1 meter, lebar 2 sampai 5 meter. Sementara
itu panjang tumpukan bisa mencapai 40 hingga 50 meter. Sistem ini memanfaatkan
sirkulasi udara yang alami. Optimalisasi lebar, panjang dan tinggi tumpukan sangat
dipengaruhi oleh keadaan bahan baku, kelembababan, ruang pori, dan sirkulasi udara
untuk mencapai bagian tengah tumpukan bahan baku. Idealnya adalah pada tumpukan
bahan baku ini harus dapat melepaskan panas, untuk mengimbangi pengeluaran panas
yang ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Wind
Row sistem ini merupakan sistem proses komposting yang baik dan telah berhasil
dilakukan di banyak tempat untuk memproses pupuk kandang, sampah kebun, sampah
selokan, sampah kota dan lain-lain. untuk mengukur temperatur, kelembaban dan
oksigen, pada windrow sistem ini , maka dilakukan proses pembalikan secara periodik,
inilah yang membedakan dari proses komposting yang lain. Kelemahan sistem wind
row ini yaitu memerlukan areal lahan yang cukup luas.
Sistem pembuatan kompos lainnya yang lebih maju adalah Aerated Static Pile, secara
prinsip proses komposting ini hampir sama dengan metode windrow sistem, tetapi
dalam sistem Aerated Static Pile ini dipasang pipa yang dilubangi untuk mengalirkan
udara. Udara ditekan menggunakan blower. Karena ada sirkulasi udara, maka tumpukan
bahan baku yang sedang diproses dapat lebih tinggi dari 1 meter. Proses itu sendiri
diatur dengan pengaliran oksigen. Apabila temperatur terlalu tinggi, aliran oksigen
dihentikan, sementara apabila temperatur turun aliran oksigen ditambah. Karena tidak
12
ada proses pembalikan, maka bahan baku harus dibuat sedemikian rupa homogen sejak
awal. Dalam pencampuran harus terdapat rongga udara yang cukup. Bahan-bahan baku
yang terlalu besar dan panjang harus dipotong-potong mencapai ukuran 4-10 cm.
In Vessel System
Sistem yang ketiga adalah sistem In Vessel Composting. Dalam sistem ini dapat
menggunakan kontainer berupa apa saja, dapat silo atau parit memanjang. Karena
sistem ini dipengaruhi oleh struktur kontainer, sistem ini baik digunakan untuk
mengurangi pengaruh bau yang tidak sedap seperti bau sampah kota. Sistem in vesse ini
juga mempergunakan pengaturan udara seperti sistem Aerated Static Pile. Sistem ini
memiliki pintu pemasukan bahan kompos dan pintu pengeluaran kompos jadi yang
berbeda.
13
E. UNSUR ATAU SENYAWA YANG ADA DALAM KOMPOSTING
Parameter utama yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses komposting yang baik
adalah rasio C/N, kadar air, konsentrasi oksigen, ukuran partikel, suhu, pH dan ketersediaan
konsorsium mikroorganisme. Perbandingan karbon dan nitrogen (rasio C/N) ideal untuk
suatu proses komposting adalah antara 20 sampai 40 atau optimalnya 30 karbon berbanding
dengan 1 (satu) nitrogen. Sampah kota memiliki rasio C/N 30-40 berbanding 1(satu),
sehingga cukup optimal untuk suatu proses komposting. Begitu pula kadar air sampah kota
yang berkisar antara 44 %,81 % -56 %,58% untuk sampah pemukiman dan pasar akan
mendukung kebutuhan kadar air optimal proses komposting yang 50 % -60%. Apabila
dalam proses komposting dirasakan kekurangan kadar air, maka dapat dilakukan
penyiraman agar kondisi kadar air optimal selalu dapat dipertahankan. Proses pengomposan
merupakan proses aerob. Paling sedikit 50% konsentrasi oksigen yang ada di udara dapat
mencapai seluruh bagian materi yang dikomposkan. Untuk itu aerasi dari materi yang
dikomposkan harus baik, dan hal tersebut bisa dicapai apabila ukuran bahan baku berkisar
antara 2,5 cm -7,5 cm. Secara umum, sampah kota sudah memiliki ukuran tersebut. Dengan
bahan baku yang baik dan ditunjang oleh proses yang benar, maka suhu dari materi sampah
yang dikomposkan akan naik hingga sekitar 700°C. Begitu pula dengan pH akan berada
pada rentang pH netral (7). Kalau itu yang terjadi, maka proses komposting dapat dikatakan
berjalan baik Proses komposting merupakan proses dekomposisi secara biologis oleh
konsorsium mikroorganisme. Oleh karena itu konsorsium mikroba merupakan mesin utama
dalam proses dekomposisi, sehingga keberadaannya mutlak diperlukan. Keberadaan
konsorsium mikroba dalam sampah kota sudah berlimpah, sehingga tidak perlu penambahan
mikroba khusus dari luar. Berdasarkan hal tersebut di atas terlihat bahwa sifat dan karakter
sampah kota cukup ideal untuk suatu proses pengomposan. Apabila proses kompostingnya
benar, akan dihasilkan kompos dengan kualitas baik . Kompos yang dihasilkan akan
membantu mengatasi permasalahan rendahnya kandungan bahan organik tanah. Tanah
umumnya mengandung 2 % -10 % bahan organik. Walaupun persentasenya sedikit, namun
peranannya sangat penting terhadap kesuburan tanah dan nutrisi tanaman, sehingga bahan
organik disebut sebagai nyawanya tanah. Kondisi kandungan C-organik tanah saat ini 73%
tergolong rendah (<2%), 23% tergolong sedang (2 % -3%) dan hanya 4% yang tergolong
tinggi (>3%). Secara lebih spesifik, dinyatakan bahwa 65% dari 7,9 juta hektar lahan sawah
14
di Indonesia memiliki kandungan bahan organik rendah sampai sangat rendah (C-
organik<2%) .
F. PENYIMPANAN KOMPOS
Kompos yang sudah jadi sebaiknya disimpan sampai 1 atau 2 bulan untuk mengurangi unsur
yang beracun, walaupun penyimpanan ini dapat menyebabkan terjadinya sedikit kehilangan
unsur yang diperlukan seperti Nitrogen. Tetapi secara umum kompos yang disimpan dahulu
lebih baik. Penyimpanan kompos harus dilakukan sengan hati-hati, terutama yang harus
diperhatikan adalah :
15
Apabila kompos akan dikemas, pilihah bahan kemasan yang kedap udara dan tidak mudah
rusak. Bahan kemasan tidak tembus cahaya matahari lebih baik. Kompos merupakan bahan
yang apabila berubah, tidak dapat kembali ke keadaan yang semula (irreversible). Apabila
kompos mengering, unsur hara yang terkandung didalamnya akan ikut hilang bersama
dengan air dan apabila kompos ditambah dengan air maka unsur hara yang hilang tadi tidak
dapat kembali lagi. Demikian pula pengaruhya dengan air hujan. Apabila kompos
kehujanan, unsur hara akan larut dan terbawa air hujan. Kemasan kompos sebaiknya bahan
yang kedap adalah untuk menghindari kehilangan kandungan air. Kemasan yang baik
membuat kompos mampu bertahan sampai lebih dari 3 tahun.
Pupuk organik mengandung unsur hara yang lengkap, baik unsur hara makro maupun
unsur hara mikro. Kondisi ini tidak dimiliki oleh pupuk buatan (anorganik). Pupuk
organik mengandung asam-asam organik, antara lain asam humic, asam fulfic, hormon
dan enzym yang tidak terdapat dalam pupuk buatan yang sangat berguna baik bagi
tanaman maupun lingkungan dan mikroorganisme. Pupuk organik mengandung makro
dan mikro-organisme tanah yang mempunyai pengaruh yang sangat baik terhadap
perbaikan sifat fisik tanah dan terutama sifat biologis tanah.
16
Berikut ini merupajkan keunggulan dari pupuk organik:
2) Kekurangan
Kandungan unsur hara jumlahnya kecil, sehingga jumlah pupuk yang diberikan harus
relatif banyak bila dibandingkan dengan pupuk anorganik. Karena jumlahnya banyak,
menyebabkan memerlukan tambahan biaya operasional untuk pengangkutan dan
implementasinya. Dalam jangka pendek, apalagi untuk tanah. Tanah yang sudah miskin
unsur hara, pemberian pupuk organik yang membutuhkan jumlah besar sehingga menjadi
beban biaya bagi petani. Sementara itu reaksi atau respon tanaman terhadap pemberian
pupuk organik tidak sespektakuler pemberian pupuk buatan.
17
BAB IV
A. KESIMPULAN
1. Menurut KBBI, komposting adalah proses pengendalian penguraian secara biologi dari
bahan organik, menjadi produk seperti humus yang dikenal sebagai kompos.
2. Pembuatan Kompos berasal dari bahan organik yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran
hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses
rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan/atau
mikroba. Selain itu juga dapat berasal dari limbah/ hasil pertanian dan non pertanian (
limbah kota dan limbah industri)
3. Beberapa faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan yaitu Rasio C/N,
Ukuran partikel, Aerasi, Porositas, Kelembapan (Moisture content), Temperatur/suhu, pH,
Kandungan Hara, Kandungan Bahan Berbahaya, Lama pengomposan.
4. Cara pembuatan komposting dapat menggunakan beberapa metode yaitu Wind Row
System, Sistem Aerated Static Pile, Sistem In Vessel
5. Unsur ataupun senyawa dalam composting antara lain karbon (C), nitrogen (N) , air,
oksigen,
6. Kompos yang sudah jadi lebih baik dikemasan pada kemasan yang kedap udara, tidak
mudah rusak, dan lebih baik bahan kemasan tidak tembus cahaya matahari. Penyimpanan
kompos sebaiknya disimpan sampai 1 atau 2 bulan untuk mengurangi unsur yang beracun,
namun harus memperhatikan kelembaban yang jangan sampai kurang 20 persen dari
bobotnya, tidak terkena sinar matahari dan air hujan secara langsung.
7. Kompos memiliki kelebihan kandungan makro dan mikro-organisme tanah yang
mempunyai pengaruh yang sangat baik terhadap perbaikan sifat fisik tanah dan terutama
sifat biologis tanah. Sedangkan kekurangannya yaitu kandungan unsur hara jumlahnya
kecil, sehingga jumlah pupuk yang diberikan harus relatif banyak dan berdampak pada
pengeluaran biaya yang lebih besar.
18
8. Manfaat kompos atau pembuatan kompos adalah untuk mengurangi limbah limbah
oraganik yang ada di lingkungan untuk dijadikan pupuk yang berguna untuk kegiatan
pertanian manusia sendiri.
B. SARAN
Komposting merupakan salah satu cara untuk mengubah limbah ataupun bahan organik yang
sudah tidak digunakan oleh manusia menjadi pupuk yang tentunya sangat bermanfaat untuk
kegiatan pertanian. Untuk itu diharapkan masyarakat lebih sadar dan memanfaatkan limbah
ataupun bahan organik yang dapat diolah kembali dengan cara komposting.
19
DAFTAR PUSTAKA
Berita EPL PIAT. 2016. Teknologi Inovasi Daur Ulang dari UGM diakses pada 7 Oktober 2019
http://piat.ugm.ac.id/sub-bidang-energi-dan-pengolahan-sampah/
Dewi, Y.S., Tresnowati., 2012. Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga Menggunakan Metode
Komposting. Vol 8 no. 2
Pemerintah Kota Probolinggo. (2005). Laporan Akhir Studi Potensi Sumber Sampah dan
pemanfaatannya di Kota Probolinggo. Pemerintah Kota Probolinggo.
STP Administrator. 2015. Pengolahan Sampah Organik “Pengomposan” diakses pada 8 Oktober
2019 http://technopark.surakarta.go.id/id/component/k2/item/416-pengolahan-sampah-organik-
pengomposan?tmpl=component&print=1
20