Anda di halaman 1dari 4

Rasa gurih pada ikan bandeng disebabkan oleh tingginya kandungan protein.

Ikan bandeng
merupakan ikan yang digemari masyarakat karena harganya relatif murah dan mempunyai
kandungan protein sekitar 20-24% yang terdiri dari asam amino glutamat 1,23% dan lisin 2,25%
(Hafiludin 2015; Prasetyo et al. 2015), selain kandungan protein, ikan bandeng juga kaya akan
kandungan asam lemak omega 3 yang mencapai 14,2% dari total lemak (Nusantari et al. 2016).

Ikan bandeng (Chanos chanos) merupakan salah satu hasil budi daya ikan yang hidup di air payau.
Ikan bandeng memiliki kandungan gizi per 100 gram yaitu 129 kkal energi, 150 gram fosfor, 20 gram
kalsium, 2 mg zat besi, 150 SI vitamin A, 0,05 gram vitamin B1, 74 gram air, 20 gram protein
dan 4,8 gram lemak, sehingga digolongkan ikan berprotein tinggi dan berlemak sedang.
(Saparinto, 2006).

Hafiludin. 2015. Analisis kandungan gizi pada ikan bandeng yang berasal dari habitat yang
berbeda. Jurnal Kelautan. 8(1): 37-43.

Prasetyo DY, Darmanto YS, Swastawati F. 2015. Efek perbedaan suhu dan lama pengasapan
terhadap kualitas ikan bandeng (Chanos chanos Forsk) cabut duri asap. Jurnal Aplikasi dan
Teknologi Pangan. 4(3): 94-98.

Nusantari E, Abdul A, Harmain RM. 2016. Ikan bandeng tanpa duri (Chanos chanos) sebagai
peluang bisnis masyarakat Desa Mootinelo, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.
Agrokreatif. 3(1):78-87.

Saparinto, Cahyo.,Ida Purnomowati, Dan Diana Hidayati. 2006. Bandeng Duri


Lunak.Yogyakarta : Kanisius.

PEMBAHASAN

PENDINGINAN
Penyimpanan daging ikan nila pada suhu rendah dapat memperpanjang masa simpan daging ikan
nila tersebut, karena selama pendinginan pertumbuhan mikrob dapat diperlambat atau dicegah.
Prinsip dasar penyimpanan pada suhu rendah adalah menghambat pertumbuhan mikroba dan
menghambat reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi, dan biokimiawi. Penyimpanan beku pada suhu sekitar
-18 C akan mencegah kerusakan mikrobiologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu
yang besar

TEKSTUR

Nilai organoleptik tekstur ikan cakalang menurun seiring dengan lama penyimpanan. Nilai
organoleptik tekstur ikan tertinggi yaitu pada perlakuan dengan lama penyimpanan 0 jam pada
semua metode pendinginan yaitu 9,00 dan nilai terendah hasil perlakuan tanpa es selama
penyimpanan 6 jam yaitu 3,40. Penurunan nilai organoleptik tekstur ikan pada perlakuan tanpa es
selama penyimpanan disebabkan adanya aktivitas mikroorganisme yang berpengaruh terhadap
keadaan tekstur ikan.

Adanya perubahan pada tekstur yaitu terjadi pelunakan, bekas jari terlihat bila ditekan, mudah
menyobek daging dari tulang belakang. Penurunan mutu tersebut ditunjukkan oleh penurunan nilai
organoleptik dari nilai awal 9 sesaat setelah ikan mati di atas kapal. Nilai organoleptik dan tekstur
menurun selama penyimpanan dalam es (Andersen et al., 1995; Sveinsdottir et al., 2002). Green-
Petterson et al., (2006) dan Farmer et al., (2000) melaporkan bahwa tidak hanya spesies tetapi juga
perlakuan dan kondisi penyimpanan sangat berpengaruh terhadap karakteristik produk ikan.

Farmer, L.J., J.M. McConnell, and D.J. Kilpatrick. 2000. Sensory characteristics of farmed and wild
Atlantic salmon. J. Aquaculture, 187:105-125.

Green-Petersen, D., J. Nielsen, and G. Hyldig. 2006. Sensory profiles of the most common salmon
products on the Danish market. J. Sensory Stud, 21:415-427.

BAU

semakin lama waktu penyimpanan menye-babkan nilai organoleptik dari segi bau semakin
menurun. Perlakuan ikan tanpa es menyebabkan terjadinya perubahan pada bau dimana bau
amoniak mulai tercium dan sedikit bau asam. Bau amoniak merupakan hasil samping
penguraian protein dari akti-vitas bakteri, sehingga hubungan jumlah bakteri dengan
amoniak yang terbentuk ber-banding lurus. Menurut Widiastuti (2007), kehadiran
mikroorganisme pada ikan juga mengakibatkan perubahan bau. Faktor yang menyebabkan ikan
cepat mengalami bau busuk adalah kadar glikogennya rendah se-hingga rigor mortis
berlangsung lebih cepat (Syamsir,2008).

Widiastuti,I.M. 2007. Sanitasi dan mutu kesegaran ikan konsumsi pada pasar tradisional di
Kotamadya Palu. J.Agroland,14(1):77-81.

Syamsir, E. 2008. Proses pembusukan ikan.http://id.shvoong.com/exact-sciences/1790308-


proses-pembusukan-ikan/. [Diakses 29 November 2016].

Berdasarkan data nilai mutu organoleptik ikan Bandeng setelah pendinginan selama 3
hari (Tabel 2) dapat diketahui bahwa ikan Bandeng dari ketiga perlakuan tersebut mutunya masih
baik, karena syarat nilai mutu organoleptik menurut SNI minimum 7,0 (Badan Standardisasi
Nasional, 1994). Adapun tandatandanya adalah sebagai berikut : mata agak cerah, bola mata rata,
warna insang merah agak kusam, tanpa lendir; lapisan lendir dipermukaan mulai keruh, sayatan
daging sangat cemerlang, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut agak lembek,
dinding perut dagingnya utuh, tidak berbau, netral, konsistensi agak lunak.

Diduga bahwa ikan telah mengalami sedikit penurunan mutu akibat adanya aktivitas
mikroorganisme yang tahan suhu dingin yang masih terdapat pada tubuh ikan.

KESIMPULAN : Hal ini menunjuk-kan bahwa ikan Bandeng masih segar, layak dikonsumsi, karena
menurut Badan Standarisasi Nasional (1994), nilai minimal persyaratan mutu ikan segar secara
organoleptik adalah 7, sedangkan dibawah nilai tersebut mutu ikan sudah tidak segar lagi.

suhu rendah 0 – 6 oC menyebabkan aktivitas mikroorganisme dan enzim penyebab pembusukan


terganggu sehingga pembentukan basa volatile nitrogen yang diduga akibat reaksi kimia setelah
proses post rigor mortis dan aktivitas bakteri juga akan terganggu. Apabila kesegaran ikan menurun
maka kandungan nitrogen yang mudah menguap akan meningkat sehingga akan meningkatkan
kadar TVBN.
PENGERINGAN
TEKSTUR

Hal ini disebakan karena proses pengeringan mengakibatkan kandungan air berkurang, akibat
penguapan air pada produk. Seiring dengan lamanya proses pengeringan mengakibatkan terjadinya
penyusutan. Hal ini mempengaruhi bobot, sehingga berdampak pada tekstur ikan nike, dimana
tekstur ikan nike yang dihasilkan berada pada spesifikasi mutu keras tetapi tidak rapuh.

Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 95 Penentuan Lama
Pengeringan dan Laju Perubahan Mutu Nike (Awaous melanocephalus) Kering Fera Tuina, 1Asri
Silvana Naiu, dan 1Nikmawati Susanti Yusuf

PENGGARAMAN

tekstur

meningkatnya konsentrasi garam dan lama perendaman, perlakuan tersebut menyebabkan ikan asin
terlihat lebih kering karena kadar air yang rendah. Menurut Sofiyanto (2001), bahwa penggunaan
garam yang bersifat higroskopis pada ikan asin menyebabkan tekstur ikan menjadi kompak dan
padat.
Afrianto dan Evi Liviawaty (1993), menjelaskan bahwa selama penyimpanan, terjadinya perubahan
tekstur daging diakibatkan oleh kerja enzim dan mikroorganisme.

Perlakuan konsentrasi garam yang tinggi dan perendaman yang lama menyebabkan ikan
asin tersebut kelihatan kering karena kadar air yang rendah. Menurut Syaffrudin (2005),
pembeli atau konsumen memberikan kelas pada ikan asin, yaitu ikan asin kelas A adalah
ikan asing yang bersifat kering.
Syaffrudin. 2005. Ikan Asin Hasilkan Puluhan Miliar Rupiah.
http://www.bpid.kaltim.go.id/detail/index.php?pid=242. Tangga

Warna

Perlakuan konsentrasi garam dan lama perendaman tidak memberikan perbedaan yang
nyata terhadap tingkat kesukaan warna ikan asin gabus. Hal ini karena warna ikan asin
gabus pada semua perlakuan tidak jauh berbeda walaupun tingkat kesukaan panelis
terhadap warna ikan asin gabus cenderung semakin menurun dengan semakin
meningkatnya konsentrasi garam dan lama perendaman. Semakin tinggi konsentrasi dan
semakin lama perendaman menyebabkan pengaruh pengotoran yang terdapat dalam garam
semakin tinggi. Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) garam yang mengandung senyawa
Fe dan Cu dapat mengakibatkan ikan asin berwarna coklat kotor atau kuning.
Bau

Penyebabnya diduga karena proses oksidasi yang belum berlanjut sehingga ketengikan terhambat
prosesnya. Selain itu ikan bandeng asin ini belum mengalami penyimpanan sehingga proses
perombakan lemak oleh enzim belum terjadi.

Menurut Rahayu, dkk. (1992) dalam Rochima (2005), meskipun oksidasi lemak dapat mengakibatkan
ketengikan (rancidity), namun apabila prosesnya belum berlanjut, maka akan menghasilkan aroma
yang justru disukai oleh konsumen. Ditambahkan juga oleh Rinto, dkk. (2009), bahwa ikan asin yang
baru diproduksi / diolah cenderung lebih disukai oleh konsumen, karena belum adanya
penyimpangan secara fisik seperti bau. Winarno (1997) dalam Lestary (2007) menyatakan bahwa,
perubahan atau penguraian lemak dapat mempengaruhi bau dan rasa suatu bahan makanan
khususnya pada masa penyimpanan, sehingga kerusakan lemak dapat menurunkan nilai gizi serta
menyebabkan penyimpangan bau dan rasa.

Wijatur (2009) dalam Suardi (2011), menyatakan bahwa konsentrasi garam mempengaruhi tingkat
kenampakan, warna dan rasa akan tetapi tidak mempengaruhi aroma dan tekstur pada ikan
kembung (rasteriger sp) dengan fermentasi sepontan.

Suardi, P. J. 2011. Penggaraman Basah pada Ikan layang (Decapterus rusalli). PWJIARD.
Bau diakibatkan oleh adanya rangsangan pada saraf pembau oleh senyawa organik yang
sudah menguap (Tranggono dan Sutardi, 1990). Ilyas (1981) menambahkan bahwa adenosin trifosfat
(ATP) memegang peranan penting dalam pembentukan bau. Lebih lanjut dikatak bahwa terbentuknya
bau karena adanya enzim-enzim yang berperanan dalam reaksi autolysis seperti enzim protease.
Enzim ini dapat mendegradasi protein menjadi asam-asam amino sederhana sehingga membentuk
bau yang spesifik. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap
bau ikan asin kering. Menjadi tengiknya bau dari ikan asin kering yang dihasilkan selama penyimpanan,
diakibatkan oleh oksidasi yang berlangsung. Menurut Genisa (2003), oksidasi akan mengakibatkan
persenyawaan yang menimbulkan aroma menglami penurunan nilai alamiah. Penurunan ini akan
terjadi serentak dengan oksidasi lemak.

Tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap tingkat kesukaan aroma ikan asin gabus dari
perlakuan konsentrasi garam dan lama perendaman tersebut disebabkan garam tidak
mempengaruhi aroma ikan asin gabus.

Anda mungkin juga menyukai