3.4 P-Treatment................................................................................................................................. 13
2.1 Vertigo
Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin, vertere, yang berarti
memutar. Secara umum, vertigo dikenal sebagai ilusi bergerak atau halusinasi gerakan. Vertigo
ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa berputar – putar atau rasa bergerak dari lingkungan
sekitar (vertigo sirkuler) namun kadang – kadang ditemukan juga keluhan berupa rasa didorong
atau ditarik menjauhi bidang vertikal (vertikal linier).2Vertigo bukan merupakan suatu penyakit,
tetapi merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan
pada sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula
terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada visual
(retina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif.
Vertigo bukanlah suatu penyakit tersendiri melainkan gejala dari penyakit yang letak lesi
dan penyebabnya berbeda – beda. Oleh karena itu pada setiap penderita vertigo harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak
lesi, dan penyebabnya. Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa
yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat.
1. Teori Cupulolithiasis
Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk menerangkan BPPV. Dia
menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsiurn karbonat dari fragmen otokonia
(otolith) yang terlepas dari macula utriculus yang sudah berdegenerasi, menernpel pada
permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif
akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda
berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil,
malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral. Ini
digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang
posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior ke
superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan
pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang
menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.
2. Teori Canalithiasis
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi
kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo,
nistagmus, mual dan muntah.
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai
reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif, atau
ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan.
Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul
respons yang dapat berupa nnistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit
berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari
sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan
gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini otak
mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu saat
dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan,
timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan
berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi
timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi
gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan. (Gb.3)
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin (Lucat)
yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi
sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori Sinaps
b. Kalsium Antagonis
2.2 Obat-Obatan
Diphenhydramine
1. Anastesi lokal
Obat ini dapat menghalangi konduksi saraf bila ditangkap secara lokal ke jaringan
saraf pada konsentrasi yang tepat. Obat ini bertindak pada setiap tipe sel saraf. Jika
kontak dengan nerve trunk, anastesi ini dapat menyebabkan kelumpuhan sensorik dan
motorik. Namun, diphenhydramine hydrochloride bekerja reversible (Gilman AG, et al,
Goodman dan Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed). Tindakan
seperti anastesi pada umumnya, yakni cenderung mengurangi kerja voltage-dependent
channel natrium.
3. Antimimetik
Obat ini digunakan untuk mencegah mual atau muntah.
5. Anti-alergi
Obat ini dapat digunakan untuk mengobati reakksi alergi. Sebagian besar obat ini bekerja
dengan mencegah pelepasan mediator inflamasi atau menghambat tindakan mediator
yang dilepaskan pada sel target mereka. (AMA Drug Evaluations Annual, 1994, halaman
457).
6. Antagonis Histamin H1
Obat ini secara selektif mengikat tapi tidak mengaktifkan reseptor histamin H1 sehingga
menghalangi tindakan histamin endogen. Diphenhydramine hydrochloride termasuk
antihistamin klasik yang bekerja antagonis atau mencegah kerja histamin pada reaksi
hipersensitifitas langsung. Obat ini bekerja di bronki, kapiler, dan beberapa otot halus
lainnya, dan digunakan untuk mencegah atau meredakan mabuk, rhinitis musiman,
reseptor H1 pada sistem saraf pusat masih belum begitu dipahami.
FARMAKODINAMIK
Difenhidramin ini memblokir aksi histamin, yaitu suatu zat dalam tubuh yang
menyebabkan gejala alergi. Difenhidramin menghambat pelepasan histamin (H1) dan
asetilkolin (menghilangkan ingus saat flu). Hal ini memberi efek seperti peningkatan
kontraksi otot polos vaskular, sehingga mengurangi kemerahan, hipertermia dan edema
yang terjadi selama reaksi peradangan. Difenhidramin menghalangi reseptor H1 pada
perifer nociceptors sehingga mengurangi sensitisasi dan akibatnya dapat mengurangi
gatal yang berhubungan dengan reaksi alergi. Memberikan respon yang menyebabkan
efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer untuk mengatasi
gejala-gejala alergi dan penekanan susunan saraf pusat (efek sekunder).
MEKANISME KERJA
Penyerapan
Bioavabilitas : Per oral, 42-62% (obat diserap dengan baik tetapi mengalami first pass
effect.
Durasi: kurang dari sama dengan12 jam (penekanan flare histamin); kurang dari sama
denga 10 jam (histamin induksi wheal suppression)
Eliminasi
SAFETY
Gejala lain yang mungkin muncul dari penggunaan diphenhydramine hydrochloride adalah
sebagai berikut:
Penggunaan obat ini juga kontra indikasii bila pernah mengalami hipersensitifitas, penyakit
saluran penfasan bagian baah, (seperti asma akut), bayi premature atau neonates, ibu menyusui,
dan untuk membuat anak di bawah 6 tahun tidur (tanpa resep dokter).
INTERAKSI OBAT
Aturan Pemakaian
ANAK-ANAK:
Oral, i.m, i.v:
Reaksi alergi : 5 mg/kg/hari atau 150 mg/m2/hari dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam, tidak
lebih dari 300 mg/hari
Alergi rhinitis ringan dan mabuk perjalanan:
Usia 2 sampai <6 tahun : 6,25 mg tiap 4-6 jam; maksimal 37,5 mg/hari
Usia 6 sampai <12 tahun : 12,5-25 mg tiap 4-6 jam; maksimal 150 mg/hari
Usia ≥ 12 tahun : 25-50 mg tiap 4-6 jam; maksimal 300 mg/hari
Promethazine
FARMAKODINAMIK
Mekanisme kerja
Promethazine masuk ke dalam golongan obat antihistamin. Oleh karena itu, obat
ini juga bisa dipakai untuk menangani reaksi alergi yang timbul akibat pajanan debu,
gigitan serangga, serbuk sari, dan bulu binatang.
14
Promethazine termasuk dalam obat antihistamin H1. Obat ini dapat menembus
sawar darah otak sehingga memiliki efek sedasi yang cukup tinggi. Setelah pemberian
oral atau parenteral, antihistamin H1 diabsorbsi secara baik. Pemberian secara oral
efeknya timbul 15-30 menit. Ikatan dengan protein plasma sekitar 78-99%. Sebagian
besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function
exygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis
tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. Anti histamin
H1 dieksresi melalui urin setalah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya Obat ini
bekerja dengan cara menghambat histamin. Memliki efek mengurangi motion sickness,
memiliki hambatan terhadap reseptor α sehingga dapat menyebabkan takikardi. Dapat
menyebabkan respiratory depression pada anak – anak.
Dosis
Standar dosis dewasa untuk Anaphylaxis
Parenteral: 25 mg IV atau IM sekali, dilanjutkan dengan pengawasan ketat untuk melihat respon.
Dosis ini dapat diulangi dalam waktu 2 jam bila diperlukan. Pengobatan oral segera diberikan
sesegera mungkin jika pengobatan diperlukan
Oral: 25 mg diminum sekali. Dosis ini dapat diulangi setiap 4 jam sesuai kebutuhan.
Rectal: 25 mg diberikan sekali. Dosis ini dapat diberikan ulang setiap 4 jam sesuai kebutuhan.
Oral atau rectal: 12.5 mg sebelum makan dan 25 mg saat akan tidur, bila diperlukan. Alternatif,
25 mg dosis tunggal diberikan saat akan tidur atau 6.25 mg sampai 12.5 mg tiga kali sehari
IM atau IV: 25 mg, dapat diulangi dalam waktu 2 jam bila diperlukan.
15
Parenteral: 25 mg IV atau IM sekali, dilanjutkan dengan pengawasan ketat untuk melihat respon.
Dosis ini dapat diulangi dalam waktu 2 jam bila diperlukan. Pengobatan oral diberikan sesegera
mungkin jika pengobatan diperlukan
Oral: 25 mg saat akan tidur. Alternatif, 12.5 mg dapat diberikan sebelum makan malam dan
diberikan lagi saat akan tidur untuk efek antihistamine.
Rectal: 25 mg saat akan tidur. Alternatif, 12.5 mg dapat diberikan sebelum makan malam dan
diberikan lagi saat akan tidur untuk efek antihistamine.
Keamanan dari penggunaan promethazine dalam waktu lama untuk mengobati alergi rhinitis
belum ditentukan.
Parenteral: 25 mg IV atau IM sekali, dilanjutkan dengan pengawasan ketat untuk melihat respon.
Dosis tambahan, sampai dengan 50 mg, dapat diberikan untuk memperoleh efek klinis yang
diinginkan.
Oral: 25 mg sekali. Dosis tambahan, sampai dengan 50 mg, dapat diberikan untuk memperoleh
efek klinis yang diinginkan.
Rectal: 25 mg sekali. Dosis tambahan, sampai dengan 50 mg, dapat diberikan untuk memperoleh
efek klinis yang diinginkan.
Oral atau rectal: 25 mg 30 sampai 60 menit sebelum keberangkatan, kemudian setiap 12 jam
sesuai kebutuhan
Oral, rectal, IM atau IV: 12.5 sampai dengan 25 mg setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan.
Oral, rectal, IM atau IV: 25 sampai dengan 50 mg setiap 4 jam yang diperlukan untuk menambah
efek opioid yang diberikan secara bersamaan.
Parenteral: 25 mg IV atau IM, dilanjutkan dengan pengawasan ketat untuk melihat respon. Dapat
dapat diberikan ulang dalam kurun waktu 2 jam bila dibutuhkan. Pengobatan oral diberikan
sesegera mungkin bila pengobatan lanjutan diperlukan.
Oral: 25 mg menjelang tidur. Alternatif, 12.5 mg dapat diberikan sebelum makan malam dan
diberikan ulang menjelang tidur untuk efek antihistamine
Rectal: 25 mg menjelang tidur. Alternatif, 12.5 mg dapat diberikan sebelum makan malam dan
diberikan ulang menjelang tidur untuk efek antihistamine
Acute Vertigo:
Pemeliharaan:
Lebih dari atau setara dengan 2 tahun: oral atau rectal: 0.1 mg/kg/dosis setiap 6 jam selama siang
dan 0.5 mg/kg/dosis saat menjelang tidur sesuai kebutuhan
17
Lebih dari atau setara dengan 2 tahun: oral atau rectal: 0.5 mg/kg (tidak lebih dari 25 mg) 30
menit sampai dengan 1 jam sebelum keberangkatan, kemudian setiap 12 jam sesuai kebutuhan.
Lebih dari atau setara dengan 2 tahun: oral atau rectal, IM atau IV: 0.25 sampai 1 mg/kg/dosis
(tidak lebih dari 25 mg) 4 sampai dengan 6 kali sehari sesuai kebutuhan
Sedasi: oral, IM, IV, atau rectal: 0.5 sampai 1 mg/kg/dosis (tidak lebih dari 25 mg) setiap 6 jam
sesuai kebutuhan.
Lebih dari atau setara dengan 2 tahun: pra operasi analgesia/hypnotic adjunct: IM, IV: 1.1 mg/kg
sekali dikombinasikan dengan analgesik atau hypnotic (dosis dikurangi) dan dengan agent
sejenis atropine (pada dosis yang sesuai). Catatan: dosis promethazine tidak boleh melewati
separuh dari dosis yang disarankan bagi orang dewasa.
Efek Samping
mengalami reaksi alergi: gatal-gatal; Gemetar yang tidak terkendali, meneteskan
kesulitan bernapas; bengkak pada wajah, air liur, kesulitan menelan, masalah pada
bibir, lidah, atau tenggorokan. keseimbangan atau saat berjalan
Merasa resah, gelisah
efek samping serius berikut: Demam tinggi, kaku pada otot, berkeringat,
detak jantung cepat atau tidak teratur, napas
Berkedut atau gerakan tak terkendali pada
cepat
mata , bibir, lidah, wajah, lengan, atau kaki
Merasa akan pingsan
18
KONTRAINDIKASI
Cisapride Pimozide
Dronedarone Piperaquine
Grepafloxacin Sodium Oxybate
Mesoridazine Sparfloxacin
Metoclopramide Thioridazine
Menggunakan obat ini dengan salah satu obat berikut biasanya tidak dianjurkan, tetapi mungkin
diperlukan pada beberapa kasus. Jika kedua obat terdapat bersamaan dalam resep, Dengan
mengubah dosis atau frekuensi jika menggunakan salah satu atau kedua obat tersebut.
EFEK SAMPING
Betahistine
Betahistine Hydrochloride merupakan obat anti vertigo. Pertama kali digunakan
di Eropa tahun 1970 untuk mengobati Meniere disease. Selain untuk mengobati Meniere
disease, betahistine juga biasa diresepkan untuk pasien dengan gangguan keseimbangan
dan vertigo.
Farmakodinamik:
Betahistine memiliki afinitas kuat sebagai antagonis histamine H3 reseptor dan afinitas
lemah sebagai agonis histamine H1 reseptor. Betahistine bekerja sebagai dilator
pembuluh darah di telinga tengah yang dapat mengurangi tekanan berlebih dari cairan
endolimfe
Betahistine memiliki dua jenis cara kerja. Pertama, menstimulasi reseptor H1 yang
terletak dipembuluh darah telinga dalam. Efek ini akan menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas, sehingga dapat mengurangi masalah hidrops endolimfatik.
Kedua, betahistine memiliki efek kuat sebagai antagonis reseptor H3, sehingga akan
meningkatkan jumlah neurotransmitter yang dikeluarkan oleh nerve ending. Jumlah
neurotransmitter yang meningkat akan menambah efek vasodilatasi di telinga dalam.
Interaksi obat
Efek samping
22
Sakit kepala, insomnia, mual, penurunan nafsu makan, alergi, Stephen Johnson (efek
samping 10%)
Kontraindikasi
Dosis
Keluhan penyerta
3.5 P Drug
Kelompok
Efficacy Safety Suitability Cost
Anti-Histamin Score
(50%) (30%) (10%) (10%)
Keterangan:
Betahistin dari segi efficiacy betahistin bekerja pada receptor H1 dan H3 yang mengurangi
perasaan berputar pada pasien seperti kasus diatas dan meningkatkan sirkulasi darah menuju
telinga tegah, dari segi safety dapat menyebabkan asma, ulcus pepticum, stehen Johnson
syndrome, pusing, rash tetapi kemungkinan kecil hanya 10%, dari segi suitability sediaan oral
nyaman pada diminum oleh si pasien, kemudian cost harga obat cukup terjangkau.
Diphenhydramin dari segi efficacy fungsi obat sebagai motion sickness , dari segi safety
yaitu memiliki efek sedative yang cukup kuat dan ikatan dengan protein yang kuat sehingga
dapat menghambat kerja obat yang lain apabila digunakan secara bersamaan, dari segi suitability
ada dengan sediaan per oral dan paranteral dengan dosis awal yang tinggi kemudian berangsur
angsur diturunkan sehingga mempermudah si pasien, dari segi cost harga cukup terjangkau
Promethazin dari segi efficiacy bekerja sebagai antiemetic sekaligus antihistamin untuk
pasien, dari segi safety memiliki efek sentral (sedasi) yang kuat dan menghambat alfa reseptor
dan juga menyebabkan hipotensi, dari segi subtabillity sediaan oral masih nyaman untuk si
pasien kemudian dari segi cost harga obatnya cukup mahal yang tidak sesuai dengan kasus
ekonomi pasien
25
Dari hasil perhitungan, obat betahistin mendapatkan nilai tertinggi dibandingkan obat
golongan lain, berdsarkan eficciacy, safety, suitability dan cost. sehingga obat pilihan pertama
jatuh pada betahistin.
Resep
Pro : Rian
Umur : 50 tahun
Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah penyakit ringan dan dapat sembuh secara
spontan dalam beberapa bulan. Banyak penelitian yang membuktikan, pemberian terapi dengan
26
manuver reposisi partikel/ Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif
menghilangkan vertigo jenis BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh
pada pasien.
Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi, mulai 70-100%. Beberapa efek
samping dari melakukan manuver seperti mual, muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi. Hal
itu karena adanya debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit,
misalnya saat berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan manuver,
hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit, untuk menghindari risiko
jatuh.
Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi awal, yaitu
pada makula utrikulus. Ada lima manuver yang dapat dilakukan, tergantung varian BPPV-nya.
1. Manuver Epley. Manuver ini paling sering digunakan pada kanal vertikal. Pasien
diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45 derajat, lalu pasien
berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Berikutnya, kepala
ditolehkan 90 derajat ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral
dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada
pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara perlahan.
2. Manuver Semont. Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala
dimiringkan 45 derajat ke sisi yang sehat, kemudian secara cepat bergerak ke posisi
berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat
diobservasi. Setelah itu, pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa
kembali ke posisi duduk lagi.
3. Manuver Lempert. Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal
lateral. Pasien berguling 360 derajat, dimulai dari posisi supinasi lalu pasien menolehkan
kepala 90 derajat ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral
dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral
dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90 derajat dan tubuh kembali ke posisi lateral
27
Edukasi
BAB IV KESIMPULAN
1.1 Kesimpulan
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut mengalami Benign
Paroxysmal Positional Vertigo.Dimana Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbu pada
gangguan vestibular dapat disebabkan oleh Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV),
Meniere’s disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri labirin dan sebagainya, sedangkan vertigo
non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang yang timbul pada gangan system
propioseptif atau system visual dapat disebabkan oleh polineuropati, mielopati, orthostatic
hypotension dan sebagainya.
Untuk kasus ini berdasarkan p- drugs diatas untuk terapi farmakologis diberikan tablet
betahistin bagi penderita untuk menghilangkan keluhan vertigo.
1.2 Saran
Treatment yang diberikan kepada pasien adalah:
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6.
Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.
Katzung, Bertram G. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 12. Jakarta: EGC
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9621/DIAGNOSIS%20VERTIGO-
MA.pdf?sequence=1
http://apps.ethicaldigest.com/2017/09/26/penting-ketepatan-penatalaksanaan-vertigo/