Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 2

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 2

1.2 Rumusan Masalah dan Diagnosis ................................................................................................. 2

1.3 Tujuan Diskusi .............................................................................................................................. 2

1.4 Manfaat Diskusi ............................................................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................. 4

2.1 Vertigo ...................................................................................... Error! Bookmark not defined.3

2.2 Penatalaksanaan ........................................................................ Error! Bookmark not defined.6

2.3 Obat-Obatan .................................................................................................................................. 7

BAB III. PEMBAHASAN .......................................................................................................................... 13

3.1 Keluhan utama ............................................................................................................................ 13

3.2 Kata kunci ................................................................................................................................... 13

3.3 Tujuan Pengobatan Spesifik: ...................................................................................................... 13

3.4 P-Treatment................................................................................................................................. 13

3.5 P drug .......................................................................................................................................... 14

BAB IV KESIMPULAN ............................................................................................................................ 16

4.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 16

4.2 Saran ........................................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 19


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seorang laki-laki berusia 50 tahun bekerja sebagai seorang juru parkir datang ke
Puskesmas dengan keluhan nyeri kepala berputar sejak satu hari yang lalu. Nyeri kepala berputar
semakin terasa jika pasien melihat ke arah atas. Selain itu, pasien juga merasakan pusing, disertai
mual & muntah sebanyak satu kali. Dari hasil anamnesis, diketahui bahwa dua minggu
sebelumnya pasien mengalami kecelakaan hingga pingsan tetapi tidak di opname. Namun,
setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, didapatkan hasil vital sign dan pemeriksaan
neurologis normal. Pasien telah mengonsumsi obat pusing yang dibeli di warung sebagai upaya
untuk mengurangi rasa pusing, tetapi keluhan tidak berkurang.

1.2 Rumusan Masalah dan Diagnosis


1.2.1 Rumusan Masalah
P-treatment dan P-drug apa yang tepat diberikan untuk pasien?
1.2.2 Diagnosis

Benign Paroxysmal Positional Vertigo

1.3 Tujuan Diskusi


1.3.1 Tujuan Umum

- Membuat diagnosis klinis dari penderita

- Menghilangkan keluhan dan mencegah keparahan penyakit penderita dan menghambat


timbulnya penyakit baru.

1.3.2 Tujuan Khusus


Memberikan terapi farmakologi (P-drug) dan non-farmakologi (P-treatment),
yang spesifik dan sesuai dengan diagnosa penyakit penderita. Pemilihan yang ditentukan
berdasarkan pemilihan obat 5 tepat yang dapat diketahui dari anamnesa yang telah
dilakukan dengan penderita.
1.4 Manfaat Diskusi
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dengan adanya kegiatan diskusi mengenai obat vertigo yang telah dilaksanakan
diharapkan mahasiswa dapat menambah wawasan mengenai farmakologi dan terapi
terkhusus untuk pengetahuan mengenai pemilihan obat yang tepat untuk kasus vertigo
dengan teori yang telah didapat selama kegiatan berdiskusi.

1.4.2 Manfaat Praktis


Pemanfaatan dari hasil diskusi yang telah dilakukan adalah mahasiswa dapat
menerapkan ilmu yang didapat selama kegiatan berdiskusi dengan memberikan masukan
dan edukasi mengenai penyakit vertigo untuk pasien dan masyarakat. Dalam hal
praktikal, mahasiswa dapat menentukan farmakologi dan terapi untuk pengobatan
vertigo yang sesuai untuk pasien tersebut dalam pembelajaran, terlebih manfaat klinis
yaitu untuk mengurangi kasus vertigo.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Vertigo

2.1.1 Definisi Vertigo

Vertigo adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Latin, vertere, yang berarti
memutar. Secara umum, vertigo dikenal sebagai ilusi bergerak atau halusinasi gerakan. Vertigo
ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa berputar – putar atau rasa bergerak dari lingkungan
sekitar (vertigo sirkuler) namun kadang – kadang ditemukan juga keluhan berupa rasa didorong
atau ditarik menjauhi bidang vertikal (vertikal linier).2Vertigo bukan merupakan suatu penyakit,
tetapi merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan keseimbangan
pada sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula
terjadi akibat gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada visual
(retina), vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif.

Vertigo bukanlah suatu penyakit tersendiri melainkan gejala dari penyakit yang letak lesi
dan penyebabnya berbeda – beda. Oleh karena itu pada setiap penderita vertigo harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak
lesi, dan penyebabnya. Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa
yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat.

Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain :

1. Teori Cupulolithiasis

Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk menerangkan BPPV. Dia
menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsiurn karbonat dari fragmen otokonia
(otolith) yang terlepas dari macula utriculus yang sudah berdegenerasi, menernpel pada
permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi sensitif
akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan keadaan benda
berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit untuk tetap stabil,
malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke posisi netral. Ini
digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang
posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior berubah posisi dari inferior ke
superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan keluhan
pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang
menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nistagmus.

2. Teori Canalithiasis

Tahun1980 Epley mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith bergerak bebas di


dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini berada pada posisi yang
sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang
partikel ini berotasi ke atas sarnpai ± 900 di sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan
cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok
(deflected), hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala
ditegakkan kernbali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus
yang bergerak ke arah berlawanan. Model gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil
yang berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali
karena gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan
pusing. Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan
keterlambatan "delay" (latency) nistagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk
mulai bergerak. Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin
kurang efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat
menerangkan konsep kelelahan "fatigability" dari gejala pusing.
2.1.2 Patogenesis Vertigo

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)

Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi
kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu, akibatnya akan timbul vertigo,
nistagmus, mual dan muntah.

2. Teori konflik sensorik.

Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai
reseptor sensorik perifer yaitu mata/visus, vestibulum dan proprioceptif, atau
ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik yang berasal dari sisi kiri dan kanan.
Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul
respons yang dapat berupa nnistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit
berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (berasal dari
sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan
gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.

3. Teori neural mismatch

Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik, menurut teori ini otak
mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu, sehingga jika pada suatu saat
dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan,
timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan
berulang-ulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi
timbul gejala.

4. Teori otonomik

Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha adaptasi
gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan,
sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan. (Gb.3)

5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin (Lucat)
yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam pengaruhi
sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

6. Teori Sinaps

Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjai peranan neurotransmisi dan


perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya
ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF
(corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan
susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa
meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat meneangkan gejala
penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi
setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

2.1.3 Penatalaksanaan Vertigo

1. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan


metode brandDaroff.
2. Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung, dengan
kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi, pertahankan
selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan dengan cepat
ke sisi lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu duduk kembali. Lakukan latihan ini 3
kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing diulang 5 kali serta dilakukan
selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi dan sore hari.
3. Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita sering kali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali menggunakan
pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan
bervariasi. Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Beberapa golongan yang sering digunakan:

a. Antihistamin (Dimenhidrinat, Difenhidramin, Meksilin, Siklisin)


 Dimenhidrinat lama kerja obat ini ialah 4 – 6 jam. Obat dapat diberi per oral atau
parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan dosis 25 mg – 50 mg (1
tablet), 4 kali sehari.
 Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4 – 6 jam, diberikan dengan
dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari per oral.
 Senyawa Betahistin (suatu analog histamin): - Betahistin Mesylate dengan dosis
12 mg, 3 kali sehari per oral. - Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari.
Maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.

b. Kalsium Antagonis

Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan dapat mengurangi


respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3
kali sehari atau 1x75 mg sehari.

2.2 Obat-Obatan

Diphenhydramine

Diphenhydramine adalah antihistamin yang mengurangi efek natural histamin


dalam tubuh. Histamin biasa diproduksi pada gejala-gejala seperti bersin, gatal, mata
berair, pilek, dan lain Di sisi lain, diphenhydramine juga biasa digunakan untuk
mengatasi mabuk perjalanan, menginduksi tidur, dan untuk mengobbagai obaati gejala-
gejala pasti penyakit Parkinson. Namun, diphenhydramine belum terdaftar sebagai
panduan pengobatan.

Diphenhydramine hydrochloride adalah bentuk garam hidroklorida


diphenhydramine, merupakan antagonis histamin etanolamin dan generasi pertama
dengan aktivitas anti alergi. Diphenhydramine hydrochloride secara kompetitif
menghambat reseptor H1, sehingga dapat mencegah tindakan histamin pada otot polos
bronkial, kapiler, dan otot polos gastrointestinal. Diphenhydramine hydrochloride dapat
mencegah bronkokonstriksi yang diinduksi oleh histamin, vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan kejang otot polos GI.
Diphenhydramine hydrochloride juga dapat berfungsi sebagai:

1. Anastesi lokal
Obat ini dapat menghalangi konduksi saraf bila ditangkap secara lokal ke jaringan
saraf pada konsentrasi yang tepat. Obat ini bertindak pada setiap tipe sel saraf. Jika
kontak dengan nerve trunk, anastesi ini dapat menyebabkan kelumpuhan sensorik dan
motorik. Namun, diphenhydramine hydrochloride bekerja reversible (Gilman AG, et al,
Goodman dan Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed). Tindakan
seperti anastesi pada umumnya, yakni cenderung mengurangi kerja voltage-dependent
channel natrium.

2. Alat bantu tidur


Obat ini digunakan untuk menginduksi tidur, mencegah kekurangan tidur, atau
mengobati gangguan tidur.

3. Antimimetik
Obat ini digunakan untuk mencegah mual atau muntah.

4. Hipnotik dan sedatif


Obat ini digunakan untuk menginduksi kantuk, tidur, atau untuk mengurangi
kegembiraan atau kegelisahan psikologis.

5. Anti-alergi
Obat ini dapat digunakan untuk mengobati reakksi alergi. Sebagian besar obat ini bekerja
dengan mencegah pelepasan mediator inflamasi atau menghambat tindakan mediator
yang dilepaskan pada sel target mereka. (AMA Drug Evaluations Annual, 1994, halaman
457).

6. Antagonis Histamin H1
Obat ini secara selektif mengikat tapi tidak mengaktifkan reseptor histamin H1 sehingga
menghalangi tindakan histamin endogen. Diphenhydramine hydrochloride termasuk
antihistamin klasik yang bekerja antagonis atau mencegah kerja histamin pada reaksi
hipersensitifitas langsung. Obat ini bekerja di bronki, kapiler, dan beberapa otot halus
lainnya, dan digunakan untuk mencegah atau meredakan mabuk, rhinitis musiman,
reseptor H1 pada sistem saraf pusat masih belum begitu dipahami.

FARMAKODINAMIK

Difenhidramin ini memblokir aksi histamin, yaitu suatu zat dalam tubuh yang
menyebabkan gejala alergi. Difenhidramin menghambat pelepasan histamin (H1) dan
asetilkolin (menghilangkan ingus saat flu). Hal ini memberi efek seperti peningkatan
kontraksi otot polos vaskular, sehingga mengurangi kemerahan, hipertermia dan edema
yang terjadi selama reaksi peradangan. Difenhidramin menghalangi reseptor H1 pada
perifer nociceptors sehingga mengurangi sensitisasi dan akibatnya dapat mengurangi
gatal yang berhubungan dengan reaksi alergi. Memberikan respon yang menyebabkan
efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer untuk mengatasi
gejala-gejala alergi dan penekanan susunan saraf pusat (efek sekunder).

MEKANISME KERJA

Kerja antihistaminika H1 akan meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada


reseptor H1, dan tidak mempengaruhi histamin yang ditimbulkan akibat kerja pada
reseptor H2. Reseptor H1 terdapat di saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran
pernapasan. Difenhidramin bekerja sebagai agen antikolinergik (memblok jalannya
impuls-impuls yang melalui saraf parasimpatik), spasmolitik, anestetika lokal dan
mempunyai efek sedatif terhadap sistem saraf pusat.

Penyerapan

Bioavabilitas : Per oral, 42-62% (obat diserap dengan baik tetapi mengalami first pass

effect.

Onset: 15-30 menit

Durasi: kurang dari sama dengan12 jam (penekanan flare histamin); kurang dari sama
denga 10 jam (histamin induksi wheal suppression)

Waktu serum puncak: 2 jam (peroral)


Distribusi

Protein terikat: 98,5%

Eliminasi

Half-time: 5 jam (anak-anak); 9 jam (ewasa); 13,5 jam (lansia)

Ekskresi: urin (50-75%), terutama sebagai metabolit.

SAFETY

Gejala lain yang mungkin muncul dari penggunaan diphenhydramine hydrochloride adalah
sebagai berikut:

 Fotosensitifitas  Muntah  Menggigil  Anoreksia


 Hipotensi  Diare  Kekeringan  Sulit buang air
 Sakit kepala  Konstipasi pada mulut, kecil
 Anemia  Sesak dada hidung dan  Retensi urin
hemolitik  Anafilaksis syok tenggorokan  Menstruasi dini
 Pusing  Kelelahan  Palpitasi  Penebaan
 Koordinasi  Kebingungan  Takikardi sekresi bronkial
terganggu  Gelisah  Ekstrasistol  Mengi dan nasal
 Kegelisahan  Euphoria  Trombositipenia tersumbat
 Tremor  Diplopia  Agranulositosi  Ketidakmampua
 Insomnia  Frekuensi  Sedasi n berkonsentrasi
 Penglihatan kencing  Eksitasi  Kelemahan otot
kabur  Kantuk  Mudah  Kesemutan berat
 Tinnitus  Urtikaria tersinggung  Kelemahan
 Gangguan  Ruam obat  Parestesia ultangan
epigastric  Keringat  Labirin akut
 Mual berlebihan  Kejang saraf
12

Pada penggunaan overdosis, dapat mencakup:

 Gejala seperti atropim


 Mulut kering
 Mydriasis
 Pembilasan
 Gejala gastrointestinal
 Depresi system saraf pusat terhadap rangsangan
 Halusinasi
 Kejang
 Kematian
Berbahaya bila dipanaskan hingga dekomposisi karena zat kimia tersebut akan mengeluarkan
asap yang sangat beracun dari oksigen nitrogen dan hidrogen klorida.

Penggunaan obat ini juga kontra indikasii bila pernah mengalami hipersensitifitas, penyakit
saluran penfasan bagian baah, (seperti asma akut), bayi premature atau neonates, ibu menyusui,
dan untuk membuat anak di bawah 6 tahun tidur (tanpa resep dokter).

INTERAKSI OBAT

Diphenhydramine hydrochloride, dalam penggunaannya di-kontraindikasi-kan dengan eliglustat.


Obat ini akan menghasilkan efek samping yang serius jika digunakan bersama eluxadoline,
isocarboxazid, mefloquine, pramlintinde, quinidine, sodium oxybate, thioridazine, dan
tranylcypromine.

Aturan Pemakaian
ANAK-ANAK:
Oral, i.m, i.v:
 Reaksi alergi : 5 mg/kg/hari atau 150 mg/m2/hari dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam, tidak
lebih dari 300 mg/hari
 Alergi rhinitis ringan dan mabuk perjalanan:
Usia 2 sampai <6 tahun : 6,25 mg tiap 4-6 jam; maksimal 37,5 mg/hari
Usia 6 sampai <12 tahun : 12,5-25 mg tiap 4-6 jam; maksimal 150 mg/hari
Usia ≥ 12 tahun : 25-50 mg tiap 4-6 jam; maksimal 300 mg/hari

 Membantu tidur dimalam hari: diminum 30 menit sebelum tidur


Usia 2 sampai <12 tahun : 1 mg/kg/dosis tiap 4 jam; maksimal 50 mg/hari
13

Usia ≥ 12 tahun : 50mg


Oral sebagai antitusif
Usia 2 sampai <6 tahun : 6,25 mg tiap 4 jam; maksimal 37,5 mg/hari
Usia 6 sampai <12 tahun : 12,5-25 mg tiap 4 jam; maksimal 75 mg/hari
Usia ≥ 12 tahun : 25 mg tiap 4 jam; maksimal 150 mg/hari
Pemberian secara i.m dan i.v: perawatan reaksi dystonic 0,5-1 mg/kg/dosis
DEWASA:
 Oral : 25-50 mg tiap 6-8 jam
 Alergi rhinitis ringan dan mabuk perjalanan: 25-50 mg tiap 4-6 jam; maksimal 300
mg/hari
 Membantu tidur dimalam hari: 50 mg sebelum tidur
 Pemberian secara i.m dan i.v: 10-50 mg dosis tunggal tiap 2-4 jam, tidak lebih dari 400
mg/hari
Reaksi dystonic : 50 mg dosis tunggal, ulang setelah 20-30 menit jika perlu

 Topical : tidak boleh diberikan lebih dari 7 hari


Merk dagang :Benacol, Bidryl, Fortusin, Ikadryl, Inadryl, Koffex, Licodril

Promethazine

FARMAKODINAMIK

Mekanisme kerja

Promethazine merupakan obat yang dapat digunakan untuk beberapa kondisi,


salah satunya mencegah rasa mual, baik mual akibat vertigo maupun mual yang muncul
akibat mabuk perjalanan. Selain itu, promethazine juga bisa digunakan untuk mengatasi
gangguan tidur karena obat ini memiliki efek sedatif.

Promethazine masuk ke dalam golongan obat antihistamin. Oleh karena itu, obat
ini juga bisa dipakai untuk menangani reaksi alergi yang timbul akibat pajanan debu,
gigitan serangga, serbuk sari, dan bulu binatang.
14

Promethazine termasuk dalam obat antihistamin H1. Obat ini dapat menembus
sawar darah otak sehingga memiliki efek sedasi yang cukup tinggi. Setelah pemberian
oral atau parenteral, antihistamin H1 diabsorbsi secara baik. Pemberian secara oral
efeknya timbul 15-30 menit. Ikatan dengan protein plasma sekitar 78-99%. Sebagian
besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function
exygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis
tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. Anti histamin
H1 dieksresi melalui urin setalah 24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya Obat ini
bekerja dengan cara menghambat histamin. Memliki efek mengurangi motion sickness,
memiliki hambatan terhadap reseptor α sehingga dapat menyebabkan takikardi. Dapat
menyebabkan respiratory depression pada anak – anak.

Dosis
Standar dosis dewasa untuk Anaphylaxis

Parenteral: 25 mg IV atau IM sekali, dilanjutkan dengan pengawasan ketat untuk melihat respon.
Dosis ini dapat diulangi dalam waktu 2 jam bila diperlukan. Pengobatan oral segera diberikan
sesegera mungkin jika pengobatan diperlukan

Oral: 25 mg diminum sekali. Dosis ini dapat diulangi setiap 4 jam sesuai kebutuhan.

Rectal: 25 mg diberikan sekali. Dosis ini dapat diberikan ulang setiap 4 jam sesuai kebutuhan.

Standar dosis dewasa untuk Reaksi Alergi

Oral atau rectal: 12.5 mg sebelum makan dan 25 mg saat akan tidur, bila diperlukan. Alternatif,
25 mg dosis tunggal diberikan saat akan tidur atau 6.25 mg sampai 12.5 mg tiga kali sehari

IM atau IV: 25 mg, dapat diulangi dalam waktu 2 jam bila diperlukan.
15

Standar dosis dewasa untuk Alergi Rhinitis

Parenteral: 25 mg IV atau IM sekali, dilanjutkan dengan pengawasan ketat untuk melihat respon.
Dosis ini dapat diulangi dalam waktu 2 jam bila diperlukan. Pengobatan oral diberikan sesegera
mungkin jika pengobatan diperlukan

Oral: 25 mg saat akan tidur. Alternatif, 12.5 mg dapat diberikan sebelum makan malam dan
diberikan lagi saat akan tidur untuk efek antihistamine.

Rectal: 25 mg saat akan tidur. Alternatif, 12.5 mg dapat diberikan sebelum makan malam dan
diberikan lagi saat akan tidur untuk efek antihistamine.

Keamanan dari penggunaan promethazine dalam waktu lama untuk mengobati alergi rhinitis
belum ditentukan.

Standar dosis dewasa untuk Sedasi Ringan

Parenteral: 25 mg IV atau IM sekali, dilanjutkan dengan pengawasan ketat untuk melihat respon.
Dosis tambahan, sampai dengan 50 mg, dapat diberikan untuk memperoleh efek klinis yang
diinginkan.

Oral: 25 mg sekali. Dosis tambahan, sampai dengan 50 mg, dapat diberikan untuk memperoleh
efek klinis yang diinginkan.

Rectal: 25 mg sekali. Dosis tambahan, sampai dengan 50 mg, dapat diberikan untuk memperoleh
efek klinis yang diinginkan.

Standar dosis dewasa untuk Mabuk

Oral atau rectal: 25 mg 30 sampai 60 menit sebelum keberangkatan, kemudian setiap 12 jam
sesuai kebutuhan

Standar dosis dewasa untuk Mual/Muntah-muntah

Oral, rectal, IM atau IV: 12.5 sampai dengan 25 mg setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan.

Standar dosis dewasa untuk Opiate Adjunct


16

Oral, rectal, IM atau IV: 25 sampai dengan 50 mg setiap 4 jam yang diperlukan untuk menambah
efek opioid yang diberikan secara bersamaan.

Standar dosis dewasa untuk Urticaria

Parenteral: 25 mg IV atau IM, dilanjutkan dengan pengawasan ketat untuk melihat respon. Dapat
dapat diberikan ulang dalam kurun waktu 2 jam bila dibutuhkan. Pengobatan oral diberikan
sesegera mungkin bila pengobatan lanjutan diperlukan.

Oral: 25 mg menjelang tidur. Alternatif, 12.5 mg dapat diberikan sebelum makan malam dan
diberikan ulang menjelang tidur untuk efek antihistamine

Rectal: 25 mg menjelang tidur. Alternatif, 12.5 mg dapat diberikan sebelum makan malam dan
diberikan ulang menjelang tidur untuk efek antihistamine

Standar dosis dewasa untuk Sedasi

Oral, rectal, IM atau IV: 25 sampai dengan 50 mg/dosis

Standar dosis dewasa untuk Vertigo

Acute Vertigo:

Awal: 25 mg IM, IV, diminum atau supositoria.

Pemeliharaan:

12.5 sampai dengan 50 mg setiap 4 sampai 8 jam

Dosis maksimal tidak melebihi 75 mg.

Dosis Untuk Anak - Anak

Standar dosis pediatrik untuk Reaksi Alergi

Lebih dari atau setara dengan 2 tahun: oral atau rectal: 0.1 mg/kg/dosis setiap 6 jam selama siang
dan 0.5 mg/kg/dosis saat menjelang tidur sesuai kebutuhan
17

Standar dosis pediatrik untuk Mabuk Darat

Lebih dari atau setara dengan 2 tahun: oral atau rectal: 0.5 mg/kg (tidak lebih dari 25 mg) 30
menit sampai dengan 1 jam sebelum keberangkatan, kemudian setiap 12 jam sesuai kebutuhan.

Standar dosis pediatrik untuk Mual/Muntah-muntah

Lebih dari atau setara dengan 2 tahun: oral atau rectal, IM atau IV: 0.25 sampai 1 mg/kg/dosis
(tidak lebih dari 25 mg) 4 sampai dengan 6 kali sehari sesuai kebutuhan

Standar dosis pediatrik untuk Sedasi

Lebih dari atau setara dengan 2 tahun:

Sedasi: oral, IM, IV, atau rectal: 0.5 sampai 1 mg/kg/dosis (tidak lebih dari 25 mg) setiap 6 jam
sesuai kebutuhan.

Lebih dari atau setara dengan 2 tahun: pra operasi analgesia/hypnotic adjunct: IM, IV: 1.1 mg/kg
sekali dikombinasikan dengan analgesik atau hypnotic (dosis dikurangi) dan dengan agent
sejenis atropine (pada dosis yang sesuai). Catatan: dosis promethazine tidak boleh melewati
separuh dari dosis yang disarankan bagi orang dewasa.

Promethazine tersedia dalam dosis-dosis sebagai berikut.

Tablets: 12.5 mg; 25 mg; 50 mg

Efek Samping
mengalami reaksi alergi: gatal-gatal;  Gemetar yang tidak terkendali, meneteskan
kesulitan bernapas; bengkak pada wajah, air liur, kesulitan menelan, masalah pada
bibir, lidah, atau tenggorokan. keseimbangan atau saat berjalan
 Merasa resah, gelisah
efek samping serius berikut:  Demam tinggi, kaku pada otot, berkeringat,
detak jantung cepat atau tidak teratur, napas
 Berkedut atau gerakan tak terkendali pada
cepat
mata , bibir, lidah, wajah, lengan, atau kaki
 Merasa akan pingsan
18

 Kejang-kejang  Detak jantung lambat, denyut nadi lemah,


 Kulit pucat, mudah luka atau berdarah, pingsan, napas lambat (bahkan napas bisa
tenggorokan sakit, gejala flu berhenti).
 Penglihatan menurun pada malam, mata
Efek samping yang tidak terlalu serius di
berair, sensitif terhadap cahaya meningkat
antaranya:
 Halusinasi
 Mual dan nyeri perut, ruam kulit, dan sakit
 Pusing, mengantuk, cemas
kuning (menguning pada kulit atau mata);
 Pandangan kabur, mulut kering, hidung
 Jarang buang air kecil
mampet
 Nyeri sendi atau bengkak disertai dengan
 Dengung pada telinga
demam, kelenjar bengkak, nyeri otot,
 Berat badan bertambah, bengkak pada
tingkah laku atau pikiran yang berbeda dari
tangan atau kaki
biasanya, warna kulit tidak merata; atau
 Impotensi, sulit orgasme; atau
 Sembelit.

KONTRAINDIKASI

 Cisapride  Pimozide
 Dronedarone  Piperaquine
 Grepafloxacin  Sodium Oxybate
 Mesoridazine  Sparfloxacin
 Metoclopramide  Thioridazine

Menggunakan obat ini dengan salah satu obat berikut biasanya tidak dianjurkan, tetapi mungkin
diperlukan pada beberapa kasus. Jika kedua obat terdapat bersamaan dalam resep, Dengan
mengubah dosis atau frekuensi jika menggunakan salah satu atau kedua obat tersebut.

 Acrivastine  Apomorphine  Buprenorphine


 Alfuzosin  Aripiprazole  Bupropion
 Amiodarone  Arsenic Trioxide  Buserelin
 Amitriptyline  Asenapine  Carbinoxamine
 Amoxapine  Astemizole  Chloroquine
 Anagrelide  Azithromycin  Chlorpromazine
19

 Ciprofloxacin  Hydrocodone  Ondansetron


 Citalopram  Hydromorphone  Oxycodone
 Clarithromycin  Ibutilide  Oxymorphone
 Clomipramine  Iloperidone  Paliperidone
 Clozapine  Imipramine  Pazopanib
 Crizotinib  Isradipine  Pentamidine
 Dabrafenib  Ivabradine  Perflutren Lipid
 Dasatinib  Ketoconazole Microsphere
 Delamanid  Lapatinib  Posaconazole
 Desipramine  Leuprolide  Procainamide
 Deslorelin  Levofloxacin  Procarbazine
 Disopyramide  Levorphanol  Prochlorperazine
 Dofetilide  Lithium  Propafenone
 Dolasetron  Lopinavir  Protriptyline
 Domperidone  Lumefantrine  Quetiapine
 Droperidol  Meclizine  Quinine
 Erythromycin  Mefloquine  Ranolazine
 Escitalopram  Methadone  Salmeterol
 Fentanyl  Metrizamide  Saquinavir
 Fingolimod  Metronidazole  Sevoflurane
 Flecainide  Mifepristone  Sodium Phosphate
 Fluconazole  Morphine  Sodium Phosphate,
 Fluoxetine  Morphine Sulfate Dibasic
 Gatifloxacin Liposome  Sodium Phosphate,
 Gemifloxacin  Moxifloxacin Monobasic
 Gonadorelin  Nafarelin  Solifenacin
 Goserelin  Nilotinib  Sorafenib
 Granisetron  Norfloxacin  Sotalol
 Halofantrine  Nortriptyline  Sunitinib
 Haloperidol  Octreotide  Suvorexant
 Histrelin  Ofloxacin  Tapentadol
20

 Telavancin  Trifluoperazine  Vemurafenib


 Telithromycin  Trimipramine  Voriconazole
 Terfenadine  Triptorelin  Ziprasidone
 Tetrabenazine  Umeclidinium  Zolpidem
 Toremifene  Vandetanib
 Tramadol  Vardenafil
Menggunakan obat ini dengan salah satu obat berikut akan meningkatkan risiko pada efek
samping tertentu. Jika kedua obat terdapat bersamaan dalam resep.

Kontra indikasi dengan penyakit-penyakit berikut

 Penyakit atau cedera otak  Penyakit jantung atau pembuluh darah


 Masalah pada pernapasan atau paru-paru  Gangguan pencernaan
(misal, asma, COPD)  Penyakit hati (termasuk sakit kuning)
 Kondisi koma  Sindrom neuroleptic malignant
 Sindrom Reye  Depresi pernapasan
 Apnea—Sebaiknya tidak digunakan pada  Tukak lambung
pasien kondisi ini  Sulit buang air kecil—Gunakan dengan hati-
 Penyumbatan kandung kemih hati. Dapat memperparah kondisi
 Penyakit sumsum tulang (contoh,  Kejang-kejang—Obat ini dapat
agranulocytosis, leukopenia) meningkatkan risiko kejang-kejang
 Pembesaran prostat khususnya pada pasien yang juga
 Glaukoma menggunakan obat narkotik atau anestetik.

EFEK SAMPING

 Kesulitan saat bernapas  Detak jantung cepat


 Napas lambat atau berhenti  Otot kaku hingga sulit untuk bergerak
 Pusing  Tangan dan kaki tidak bisa berhenti
 Pening bergerak
 Pingsan  Mulut kering
 Hilang kesadaran
21

 Bola mata membesar (lingkar hitam pada  Sembelit


bagian tengah dalam mata)  Merasa semangat yang berlebih atau resah
 Flushing  Mimpi buruk
 Mual

Betahistine
Betahistine Hydrochloride merupakan obat anti vertigo. Pertama kali digunakan
di Eropa tahun 1970 untuk mengobati Meniere disease. Selain untuk mengobati Meniere
disease, betahistine juga biasa diresepkan untuk pasien dengan gangguan keseimbangan
dan vertigo.

Farmakodinamik:

Betahistine memiliki afinitas kuat sebagai antagonis histamine H3 reseptor dan afinitas
lemah sebagai agonis histamine H1 reseptor. Betahistine bekerja sebagai dilator
pembuluh darah di telinga tengah yang dapat mengurangi tekanan berlebih dari cairan
endolimfe

Betahistine memiliki dua jenis cara kerja. Pertama, menstimulasi reseptor H1 yang
terletak dipembuluh darah telinga dalam. Efek ini akan menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas, sehingga dapat mengurangi masalah hidrops endolimfatik.
Kedua, betahistine memiliki efek kuat sebagai antagonis reseptor H3, sehingga akan
meningkatkan jumlah neurotransmitter yang dikeluarkan oleh nerve ending. Jumlah
neurotransmitter yang meningkat akan menambah efek vasodilatasi di telinga dalam.

Interaksi obat

Efek terapeutik berkurang dengan antihistamin. Dapat menurunkan efek bronkodilator


agonis beta 2. Konsentrasi serum meningkat dengan MAOI (Monoamine Oxidase
Inhibitors).

Efek samping
22

Sakit kepala, insomnia, mual, penurunan nafsu makan, alergi, Stephen Johnson (efek
samping 10%)

Kontraindikasi

Pasien dengan peptic ulcer, asma, tumor adrenal, hamil, menyusui

Dosis

Inisial 16mg TID. Maintenance 24-48mh/hari


23

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Keluhan utama


 Nyeri kepala berputar
 Diperberat jika melihat ke atas
 Pusing sejak 1 hari lalu

Keluhan penyerta

 Mual dan muntah sebanyak 1 kali

3.2 Kata kunci


 Laki-laki
 50 tahun
 2 minggu sebelumnya kecelakaan hingga pingsan
 Minum obat warung tapi tidak berubah
 Vital sign dan pemeriksaan neurologis normal

3.3 Tujuan Pengobatan Spesifik:


- Obat Betahistine diberikan untuk merangsang reseptor histamin H1 yang terletak pada
pembuluh darah telinga dalam. Rangsangan ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi lokal
dan peningkatan permeabilitas sehingga bisa mengurangi tekanan endolimfatik.
3.4 P-Treatment

 Menghindari gerakan tiba-tiba supaya tidak terjatuh


 Segera duduk jika vertigo menyerang
 Gerakkan kepala secara perlahan
 Kenalilah pemicu vetigo
 Keluarga turut mendukung dengan memotivasi pasien dalam mencari penyebab vertigo
dan mengobatinya sesuai penyebabnya
24

3.5 P Drug

Kelompok
Efficacy Safety Suitability Cost
Anti-Histamin Score
(50%) (30%) (10%) (10%)

Betahistin 8 x 50 = 400 7 x 30 = 210 9 x 10 = 90 9 x 10 = 90 790

Diphenhydramin 7 x 50 = 350 7 x 30 = 210 7 x 10 = 70 8 x 10 = 80 710

Promethazine 7 x 50 = 350 7 x 30 = 210 9 x 10 = 90 3 x 10 = 30 680

Keterangan:

Betahistin dari segi efficiacy betahistin bekerja pada receptor H1 dan H3 yang mengurangi
perasaan berputar pada pasien seperti kasus diatas dan meningkatkan sirkulasi darah menuju
telinga tegah, dari segi safety dapat menyebabkan asma, ulcus pepticum, stehen Johnson
syndrome, pusing, rash tetapi kemungkinan kecil hanya 10%, dari segi suitability sediaan oral
nyaman pada diminum oleh si pasien, kemudian cost harga obat cukup terjangkau.

Diphenhydramin dari segi efficacy fungsi obat sebagai motion sickness , dari segi safety
yaitu memiliki efek sedative yang cukup kuat dan ikatan dengan protein yang kuat sehingga
dapat menghambat kerja obat yang lain apabila digunakan secara bersamaan, dari segi suitability
ada dengan sediaan per oral dan paranteral dengan dosis awal yang tinggi kemudian berangsur
angsur diturunkan sehingga mempermudah si pasien, dari segi cost harga cukup terjangkau

Promethazin dari segi efficiacy bekerja sebagai antiemetic sekaligus antihistamin untuk
pasien, dari segi safety memiliki efek sentral (sedasi) yang kuat dan menghambat alfa reseptor
dan juga menyebabkan hipotensi, dari segi subtabillity sediaan oral masih nyaman untuk si
pasien kemudian dari segi cost harga obatnya cukup mahal yang tidak sesuai dengan kasus
ekonomi pasien
25

Dari hasil perhitungan, obat betahistin mendapatkan nilai tertinggi dibandingkan obat
golongan lain, berdsarkan eficciacy, safety, suitability dan cost. sehingga obat pilihan pertama
jatuh pada betahistin.

Pertimbangan harga obat:

1. Diphenhydramin :bentuk sediaan kapsul 50 mg [25 × 4's (Rp61,500/boks)]

3. Promethazine :bentuk sediaan tablet 25 mg [10 x 10's (Rp298,980/boks)]

4. Betahistine :bentuk sediaan tablet 8 mg [100's (Rp130,650/boks)]

Resep

Klinik Medical Bosowa


Jl. Urip Sumoharjo
Dokter : Samuel
SIP : 4516111000
Makassar, 13 Desember
2017

R/ Tab Betahistin 24 mg No. X


S. 3. d.d Tab I

Pro : Rian
Umur : 50 tahun

Terapi non farmakologi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah penyakit ringan dan dapat sembuh secara
spontan dalam beberapa bulan. Banyak penelitian yang membuktikan, pemberian terapi dengan
26

manuver reposisi partikel/ Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif
menghilangkan vertigo jenis BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh
pada pasien.

Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi, mulai 70-100%. Beberapa efek
samping dari melakukan manuver seperti mual, muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi. Hal
itu karena adanya debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit,
misalnya saat berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan manuver,
hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit, untuk menghindari risiko
jatuh.

Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan partikel ke posisi awal, yaitu
pada makula utrikulus. Ada lima manuver yang dapat dilakukan, tergantung varian BPPV-nya.

1. Manuver Epley. Manuver ini paling sering digunakan pada kanal vertikal. Pasien
diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45 derajat, lalu pasien
berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Berikutnya, kepala
ditolehkan 90 derajat ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral
dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada
pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara perlahan.
2. Manuver Semont. Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala
dimiringkan 45 derajat ke sisi yang sehat, kemudian secara cepat bergerak ke posisi
berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat
diobservasi. Setelah itu, pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa
kembali ke posisi duduk lagi.
3. Manuver Lempert. Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal
lateral. Pasien berguling 360 derajat, dimulai dari posisi supinasi lalu pasien menolehkan
kepala 90 derajat ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral
dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral
dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 90 derajat dan tubuh kembali ke posisi lateral
27

dekubitus, lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan selama


15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel, sebagai respon terhadap gravitasi.
4. Forced Prolonged Position. Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral.
Tujuannya untuk mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada sisi
telinga yang sakit, dipertahankan selama 12 jam.
5. Brandt-Daroff exercise. Manuver ini dikembangkan sebagai latihan di rumah. Dapat
dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan, pada pasien yang tetap
simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini dapat membantu pasien
menerapkan beberapa posisi, sehingga menjadi terbiasa.

Edukasi

1. Memosisikan Kepala yang Lebih Tinggi saat Tidur


2. Menghindari Perubahan Posisi secara Mendadak
3. Mengubah posisi anda perlahan-lahan, terutama saat berpindah dari posisi berbaring atau
duduk ke posisi berdiri.
4. Hindari kegiatan seperti menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah berulang-ulang.
Cobalah untuk menghindari menjaga kepala dengan posisi miring untuk jangka waktu
yang lama
5. Memperbanyak minum air putih, mengurangi garam agar tidak sering kencing, dan
hindari alkohol. Alkohol dapat membuat Anda dehidrasi.
6. Saat vertigo menyerang, segera duduk.
28

BAB IV KESIMPULAN

1.1 Kesimpulan
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut mengalami Benign
Paroxysmal Positional Vertigo.Dimana Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbu pada
gangguan vestibular dapat disebabkan oleh Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV),
Meniere’s disease, neuritis vestibularis, oklusi arteri labirin dan sebagainya, sedangkan vertigo
non vestibular adalah rasa goyang, melayang, mengambang yang timbul pada gangan system
propioseptif atau system visual dapat disebabkan oleh polineuropati, mielopati, orthostatic
hypotension dan sebagainya.
Untuk kasus ini berdasarkan p- drugs diatas untuk terapi farmakologis diberikan tablet
betahistin bagi penderita untuk menghilangkan keluhan vertigo.

1.2 Saran
Treatment yang diberikan kepada pasien adalah:

1. Hindari gerakan secara tiba-tiba agar tidak terjatuh.


2. Saat vertigo menyerang, segera duduk.
3. Saat tidur, gunakan beberapa bantal agar posisi kepala menjadi lebih tinggi.
4. Saat menggerakkan kepala, gerakkan kepala secara perlahan-lahan.
5. Hindari gerakan kepala mendongak, berjongkok, atau tubuh membungkuk.
6. Kenalilah pemicu vertigo Anda dan lakukan latihan yang dapat memicu vertigo Anda.
Otak Anda akan menjadi terbiasa dan malah menurunkan frekuensi kambuhnya vertigo.
Lakukan latihan ini dengan meminta bantuan orang lain.
7. Bagi pasien yang juga menderita penyakit Meniere, batasi konsumsi garam dalam menu
sehari-hari.
29

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6.
Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.

Katzung, Bertram G. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 12. Jakarta: EGC

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/9621/DIAGNOSIS%20VERTIGO-
MA.pdf?sequence=1

http://apps.ethicaldigest.com/2017/09/26/penting-ketepatan-penatalaksanaan-vertigo/

Anda mungkin juga menyukai