Anda di halaman 1dari 4

PEMANFAATAN DNA DALAM BIDANG

KEDOKTERAN FORENSIK

Nama : Anna Maria Wele


NIM: 1965050071
FK : UKI

DNA adalah suatu asam nukleat yang menyimpan segala informasi biologis yang unik
dari setiap makhluk hidup dan beberapa virus. Struktur kimianya berupa makromolekul
kompleks yang terdiri atas 3 macam molekul, yaitu gula pentosa (deoksiribosa), asam fosfat,
dan basa nitrogen. DNA sangat penting dalam identifikasi di bidang kedokteran forensik.
Analisis DNA forensik memiliki kemampuan yang lebih spesifik dibanding metode lain
dalam disiplin ilmu forensik. Analisis DNA memberikan kemampuan yang tidak ditemukan
dalam sebagian besar disiplin ilmu forensik lainnya. Ketika materi biologis ditransfer antara
pelaku dan korban dalam kejahatan dengan kekerasan seperti pembunuhan dan pemerkosaan,
DNA memiliki potensi mengidentifikasi pelaku. Semakin pesatnya perkembangan teknologi
memungkinkan polisi mampu memecahkan suatu kasus lebih cepat, ini dikarenakan
penerapan teknologi DNA atau deoxyribonucleic acid merupakan asam nukleat yang
menyusun informasi genetis pada makhluk hidup. Catatan FBI menunjukkan bahwa sudah
berakhir 250.000 investigasi kriminal telah dibantu melalui Tes DNA pada akhir 2014.

Barang bukti forensik yang ditemukan harus diambil sampelnya untuk diperiksa di
laboratorium demi mendapatkan data pelengkap dan pendukung. Salah satu pemeriksaan
yang penting dan hasilnya bisa didapat dengan cepat adalah tes sidik DNA. Pelacakan
identitas forensik akan dilakukan dengan mencocokkan antara DNA korban dengan terduga
keluarga korban. Hampir semua sampel biologis tubuh dapat digunakan untuk sampel tes
sidik DNA, tetapi yang sering digunakan adalah darah, rambut, usapan mulut pada pipi
bagian dalam (buccal swab), dan kuku. Untuk kasus- kasus forensik, sperma, daging, tulang,
kulit, air liur atau sampel biologis apa saja yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP)
dapat dijadikan sampel tes sidik DNA.

Pada tahun 1980, Alec Jeffreys dengan teknologi DNA berhasil mendemonstrasikan bahwa
DNA memiliki bagian-bagian pengulangan (sekuen) yang bervariasi. Hal ini dinamakan
polimorfisme, yang dapat digunakan sebagai sarana identifikasi spesifik (individual) dari
seseorang, sidik DNA tidak dapat dirubah oleh siapapun dan dengan alat apapun. Sidik DNA
menjadi suatu metode identifikasi yang sangat akurat Hanya sekitar 3 juta basa DNA yang
berbeda antara satu orang dengan orang lain. Para ahli menggunakan daerah yang berbeda ini
untuk menghasilkan profil DNA dari seseorang individu, menggunakan sampel dari darah,
tulang, rambut atau jaringan tubuh yang lain. Pada kasus kriminal, biasanya melibatkan
sampel dari barang bukti dan tersangka, mengekstrak DNAnya, dan menganalisanya untuk
melihat suatu daerah khusus pada DNA. Para ilmuwan telah menemukan marker di dalam
sampel DNA dengan mendesain sepotong kecil DNA (probe) yang masing-masing akan
mencari dan berikatan dengan sekuen DNA pasangan/komplementernya pada sampel DNA.
Satu seri probe akan berikatan dengan DNA sampel dan menghasilkan pola yang berbeda
antara satu individu dengan individu yang lain. Para ahli forensik membandingkan profil
DNA ini untuk menentukan apakah sampel dari tersangka cocok dengan sampel pada bukti.
Marker sendiri biasanya tidak bersifat khusus untuk setiap individu, jika dua sampel DNA
mirip pada empat atau lima daerah, sampel tersebut mungkin berasal dari individu yang
sama. jika profil sampel tidak sama, berarti seseorang tersebut bukan pemilik DNA yang
ditemukan pada lokasi kriminalitas.

Jika pola yang ditemukan sama, tersangka tersebut kemungkinan memiliki DNA pada sampel
bukti. DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti sel.
DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah
sedangkan DNA dalam mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu,
yang dapat berubah seiring dengan perkawinan keturunannya. Kasus-kasus kriminal,
penggunaan kedua tes DNA di atas, bergantung pada barang bukti apa yang ditemukan di
Tempat Kejadian Perkara (TKP). Misalnya dalam kasus korban ledakan bom, serpihan tubuh
para korban yang sulit dikenali diambil sekuens genetikanya. Bentuk sidik DNA berupa
garis-garis yang mirip seperti bar-code di kemasan makanan atau minuman. Membandingkan
kode garis-garis DNA, antara 30 sampai 100 sekuens rantai kode genetika, dengan DNA
anggota keluarga terdekatnya, biasanya ayah atau saudara kandungnya, maka identifikasi
korban forensik atau kecelakaan yang hancur masih dapat dilacak.

Berdasarkan jurnal elseiver forensic science internatiozzxnal DNA juga digunakan dalam
Identifikasi mayat dari tempat kejadian massa bencana menggunakan amplifikasi DNA
tandem pendek ulangi (STR) loci, dengan menggunakan spesimen jaringan lunak seperti otot
dalam, kulit dan organ dalam, dan sampel kerangka, seperti tulang utuh dan fragmen tulang.
Beberapa spesimen mengalami pembusukan tingkat lanjut dan yang lainnya mengalami
kerusakan parah. Meskipun beberapa tubuh telah diidentifikasi dengan perbandingan gigi,
sidik jari, radiografi atau kombinasi dari semua ini, sekitar 40 masih tetap sampai
diidentifikasi secara positif. Selama program identifikasi DNA, semua sampel yang
diserahkan diuji menggunakan STR quadruplex dan sebagai tambahan, tes PCR-basbdsex
digunakan pada beberapa sampel. Pertama, untuk membantu melakukan identifikasi yang
sesuai dan kedua untuk memberikan informasi gender di mana tidak tersedia dari hasil
patologi yang ada. Tes seks bergantung pada amplifikasi bagian gen XY-homotogous,
amelogenin.

Untuk kasus pemerkosaan diperiksa spermanya tetapi yang lebih utama adalah kepala
spermatozoanya yang terdapat DNA inti sel di dalamnya. Jika di TKP ditemukan satu helai
rambut maka sampel ini dapat diperiksa asal ada akarnya. Namun untuk DNA mitokondria
tidak harus ada akar, cukup potongan rambut karena diketahui bahwa pada ujung rambut
terdapat DNA mitokondria sedangkan akar rambut terdapat DNA inti sel. Teknologi DNA
memiliki keunggulan mencolok dalam hal potensi diskriminasinya dan sensitifitasnya maka
tes sidik DNA menjadi pilihan dalam penyelidikan kasus-kasus forensik dibanding teknologi
konvensional seperti serologi dan elektroforesis. Kedua tes ini hanya mampu menganalisis
perbedaan ekspresi protein dan membutuhkan sampel dengan jumlah relatif besar. Tes sidik
DNA sebaliknya hanya membutuhkan sampel yang relatif sedikit. Metode Southern Blots
misalnya sudah mampu menedeteksi loki polimorfisme dengan materi DNA sekecil 60
nanogram, sedangkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) hanya memerlukan DNA
sejumlah beberapa nanogram saja. Pada kasus kriminal dengan jumlah sampel barang bukti
yang diambil di TKP sangat kecil dan kemungkinan mengalami degradasi maka metode yang
cocok dan sensitif adalah PCR.
Daftar Pustaka
1. Butttler, J M. The Future of forensic DNA Analysis. US National Library of Medicine
National Institute of Health –The Royal Society Publisihng. 2015 Aug 5; 370(1674):
Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4580997/. Diakses
tanggal 21 November 2019

2. T.M. Clayton et al. Maguire . Identification of bodies from the scene of a mass
disaster using DNA amplification of short tandem repeat (STR) loci. Forensic Science
International- Elseiver. Diunduh dari
https://www.researchgate.net/publication/14608390_Identification_of_bodies_from_t
he_scene_of_a_mass_disaster_using_DNA_amplification_of_short_tandem_repeat_S
TR_loci. 2003. May. 8-15. Diakses pada tanggal 21 November 2019

3. Luftig, M. A. and Richey S. DNA and Forensic Science. New England Law Review.
2010. Vol. 35:3 ( 609-613) Diunduh dari
https://pdfs.semanticscholar.org/5c3b/c6dfbc60b771e2eaa959d803f898cfbb5f26.pdf.
Diakses tanggal 21 November 2019

4. Yeni W. Hartati, Iman P. Maksum. 2004. Amplifikasi 0,4 Kb Daerah D-Loop DNa
Mitokondria Dari Sel Epitel Rongga Mulut Untuk Keperluan Forensik. Jurusan
Kimia, FMIPA, Universitas Padjadjaran. Hasil Penelitian. Tidak dipublikasi

Anda mungkin juga menyukai