Anda di halaman 1dari 17

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kacang hijau

Kacang hijau merupakan suku (famili) Leguminosae dan merupakan

tanaman pangan semusim berupa semak yang tumbuh tegak berumur pendek (60

hari) dengan ketinggian 30-110 cm (Rukmana, 1997). Tanaman kacang hijau

disebut juga mungbean, green gram atau golden gram (Somaatmadja, 1993 dalam

Bariza, 2010).

Menurut Purwono dan Hartono (2012), kacang hijau memiliki klasifikasi

botani sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicetyledonae

Ordo : Rosales

Keluarga : Leguminosae (Fabaceae)

Genus : Vigna

Jenis : Vigna radiata

Batang kacang hijau berbentuk bulat dan berbuku-buku. Buah kacang

hijau berbentuk polong. Panjang polong sekitar 5-16 cm setiap polong berisi 6-16

biji. Polong kacang hijau berbentuk bulat silindris atau pipih dengan ujung agak

runcing atau tumpul. Polong muda berwarna hijau, setelah tua berubah menjadi

kecoklatan atau kehitaman (Rukmana, 1997). Biji kacang hijau berbentuk bulat.

kulitnya hijau berbiji putih. Biji kacang hijau lebih kecil dibandingkan dengan biji

kacang tanah atau kacang kedelai yaitu bobotnya hanya sekitar 0,5-0,8 mg

6
7

(Purwono dan Hartono, 2012). Trustinah (1993 dalam Muafifah 2006)

menambahkan buah atau polong kacang hijau dibedakan menjadi tiga yaitu

pendek berukuran (12,0-13,5 cm), sedang berukuran (15,2-16,8 cm) dan panjang

berukuran (18,5-20,0 cm).

Benih kacang hijau merupakan benih ortodoks, yaitu jenis benih yang

tahan terhadap pengeringan sampai kadar air 5% dan dapat disimpan pada suhu

rendah. Daya simpan benih dapat diperpanjang dengan menurunkan kadar air dan

suhu (Hasanah, 2002). Menurut Kuswanto (1996) salah satu faktor yang

mempengaruhi benih dalam penyimpanan adalah kadar air. Kadar air benih yang

tinggi pada benih ortodoks dapat menyebabkan terjadinya penurunan viabilitas

benih, begitu juga sebaliknya kadar air benih terlalu rendah dibawah 5% dapat

menyebabkan penurunan waktu perkecambahan benih, benih menjadi keras,

sehingga pada waktu dikecambahkan air tidak dapat berimbibisi ke dalam benih

dan dapat menyebabkan kematian embrio.

Biji kacang hijau merupakan biji dikotil yaitu biji berkeping dua dan

memiliki tipe perkecambahan epigeal. Campbell dkk. (2000) mengatakan tipe

perkecambahan epigeal ditandai dengan hipokotil yang tumbuh memanjang

sehingga plumula dan kotiledon terangkat ke atas (permukaan tanah). Kotiledon

dapat melakukan fotosintesis selama daun belum terbentuk. Organ pertama yang

muncul ketika biji berkecambah adalah radikula. Radikula ini kemudian akan

tumbuh menembus permukaan tanah. Untuk tanaman dikotil yang dirangsang

dengan cahaya, ruas batang hipokotil akan tumbuh lurus ke permukaan tanah

mengangkat kotiledon dan epikotil. Epikotil akan memunculkan daun pertama


8

kemudian kotiledon akan rontok ketika cadangan makanan di dalamnya telah

habis digunakan oleh embrio. Biji kacang hijau sering dibuat kecambah atau taoge

(Purwono dan Hartono, 2012).

Benih kacang hijau merupakan biji tanaman kacang hijau yang tumbuh

menjadi tanaman muda. Selanjutnya tanaman muda tersebut menjadi dewasa yang

menghasilkan bunga dan berbuah. Untuk menghasilkan tanaman kacang hijau

dengan produksi maksimal, salah satunya dibutuhkan benih bermutu tinggi. Benih

bermutu (berkualitas) merupakan syarat mutlak untuk menghasilkan tanaman

kacang hijau yang tumbuh subur dan menghasilkan buah maksimal (Purwono dan

Hartono, 2012).

B. Mutu Benih

Menurut UU RI No. 12 Tahun 1992 tentang sistem Budidaya Tanaman,

Bab 1 Pasal 1 ayat 4 benih tanaman adalah tanaman atau bagiannya yang

digunakan untuk memperbanyak dan atau mengembangbiakkan tanaman.

Menurut Kartasapoetra, (2003) benih bermutu ialah benih yang telah dinyatakan

sebagai benih yang berkualitas tinggi dari jenis tanaman unggul dengan daya

tumbuh lebih dari 80 %.

Input dasar yang paling penting dalam pertanian adalah mutu benih.

Penggunaan benih bermutu memiliki fungsi agronomis yang menentukan

keberhasilan dalam pertanaman. Penggunaan benih yang tidak bermutu dan tidak

jelas asal-usulnya dapat menyebabkan kerugian secara langsung bagi petani baik

dari segi biaya maupun waktu. Kesalahan dalam penggunaan bahan tanam akan
9

menyebakan kerugian jangka panjang. Penggunaan benih bermutu merupakan

salah satu kunci untuk mendapatkan pertanaman yang mampu memberikan hasil

yang memuaskan (Situmorang, 2010 dalam Samuel dkk., 2012)

Saenong dkk (2006) menyatakan bahwa mutu benih mencangkup tiga

aspek, yaitu: (a) mutu genetis, yaitu aspek mutu benih yang ditentukan

berdasarkan identitas genetik yang telah ditetapkan oleh pemulia dan tingkat

kemurnian dari varietas yang dihasilkan, identitas benih yang dimaksud tidak

hanya ditentukan oleh tampilan benih, tetapi juga fenotipe tanaman; (b) mutu

fisiologis, yaitu aspek mutu benih yang ditunjukan oleh viabilitas benih meliputi

daya berkecambah atau daya tumbuh dan vigor benih; (c) mutu fisik, yaitu aspek

mutu benih yang ditunjukan oleh tingkat kebersihan, keseragaman biji dari segi

ukuran maupun bobot, kontaminasi dari benih tanaman lain atau biji gulma, dan

kadar air .

Benih bermutu ditandai dengan karakteristik yaitu memiliki daya tumbuh

yang tinggi yakni lebih dari 80%, kecepatan tumbuh (vigor) benih baik (kurang

dari 4 hari), murni atau tidak tercampur dengan varietas lain, sehat atau tidak

mengandung bibit hama atau penyakit, tidak tercampur dengan biji gulma, biji

berwarna mengilat, tidak keriput, dan bebas dari luka bekas gigitan serangga

(Rukmana, 1997).

Wirawan dan Wahyuni (2002) mengatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi mutu benih antara lain:


10

a. faktor genetik, merupakan faktor bawaan yang berkaitan dengan komposisi

genetik benih. Setiap varietas memiliki identitas genetika yang berbeda.

Perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan gen yang ada dalam benih.

b. Faktor lingkungan, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap mutu benih

berkaitan dengan kondisi dan perlakuan selama prapanen, pascapanen,

maupun saat pemasaran benih.

c. Faktor kondisi fisik dan fisiologis benih, yaitu berkaitan dengan performa

benih seperti tingkat kemasakan, tingkat kerusakan mekanis, tingkat

keusangan, tingkat kesehatan, ukuran dan berat jenis, komposisi kimia,

struktur benih, tingkat kadar air dan dormansi benih.

Mutu benih yang baik merupakan dasar bagi produktivitas pertanian yang

lebih baik. Kondisi sebelum, selama dan sesudah panen menentukan mutu benih.

Walaupun mutu benih yang dihasilkan baik, penanganan yang kurang baik akan

menyebabkan mutu langsung menurun. Salah satu masalah yang dihadapi dalam

penyediaan benih bermutu adalah penyimpanan. Penyimpanan benih kacang-

kacangan di daerah tropis lembab seperti di Indonesia dihadapkan kepada masalah

daya simpan yang rendah. Harrington (1972) mengatakan bahwa masalah yang

dihadapi dalam penyimpanan benih makin kompleks sejalan dengan

meningkatnya kadar air benih.

C. Penyimpanan Benih

Penyimpanan benih adalah mengkondisikan benih pada suhu dan

kelembaban optimum untuk benih agar bisa mempertahankan mutunya.


11

Penyimpanan benih bertujuan untuk mempertahankan viabilitas benih dalam

periode simpan sepanjang mungkin sampai benih tersebut ditanam kembali

Justice dan Bass (2002). Tujuan penyimpanan benih juga untuk menjamin

ketersediaan benih bermutu bagi suatu program penanaman karena setelah

pengumpulan benih, penyemaian tidak langsung dilaksanakan karena biasanya

pada daerah dengan iklim musim penanaman pendek sangat tidak memungkinkan

untuk langsung menyemai benih. Oleh karena itu, benih perlu disimpan untuk

menunggu saat yang tepat untuk disemai.

Penurunan mutu dan kerusakan benih selama penyimpanan tidak dapat

dihentikan, akan tetapi dapat diperlambat dengan mengatur kondisi penyimpanan.

Kondisi penyimpanan sangat mempengaruhi viabilitas dan vigor benih. Menurut

Sutopo (2004), viabilitas benih dalam penyimpanan dipengaruhi oleh dua faktor

yaitu faktor luar dan faktor dalam.

1. Faktor dalam

a) Jenis dan sifat benih. Sangat penting diketahui apakah benih tersebut

berasal dari benih tanaman dari daerah tropis, sedang atau dingin yang

bersifat hydrophyt, mesophyt atau xerophyt: apakah termasuk ke dalam

golongan mikrobiotik, mesobiotik atau makrobiotik dan lain-lain. Semua

keterangan tersebut untuk menyesuaikan cara dan tempat penyimpanan

Sebagai contoh benih kacang hijau yang termasuk dalam golongan

mikrobiotik yang harus disimpan pada suhu 20°C dengan kadar air 11%.

b) Viabilitas awal benih. Benih-benih dengan viabilitas awal yang tinggi

lebih tahan terhadap kelembaban serta temperatur tempat penyimpanan


12

yang kurang baik dibandingkan dengan benih-benih yang memiliki

viabilitas awal yang rendah.

c) Kandungan air benih. Benih yang akan disimpan sebaiknya memiliki

kandungan air yang optimal, yaitu kandungan air tertentu sesuai dengan

jenis dan sifat benih dimana benih tersebut dapat disimpan lama tanpa

mengalami penurunan viabilitas benih. Sebagai contoh benih kacang hijau,

kadar air sebelum disimpan harus mencapai 11-12%.

2. Faktor Luar

a) Temperatur. Temperatur yang optimum untuk penyimpanan benih jangka

panjang adalah 0°-32°C. Temperatur berhubungan erat dengan kerja

enzim, apabila temperatur naik, maka kerja enzim juga meningkat,

sebaliknya apabila temperatur turun, maka kerja enzim juga menurun.

Kenaikan temperatur berakibat degradasi perombakan cadangan makanan

lebih giat.

b) Kelembaban. Kandungan air yang tinggi dalam benih dengan kelembaban

udara yang rendah dapat menyebabkan penguapan air dari dalam benih

dan mempertinggi kelembaban udara di sekitar benih. Kebanyakan jenis

benih kelembaban nisbi antara 50-60% adalah cukup baik untuk

mempertahankan viabilitas benih.

c) Gas disekitar benih. Adanya gas disekitar benih dapat mempertahankan

viabilitas benih, misalnya gas CO2 yang akan mengurangi konsentrasi O2

sehingga respirasi benih dapat dihambat atau menggantikan O2 dengan gas

nitrogen. Benih sebagai suatu organisme hidup akan menggunakan O2


13

yang ada dan menghasilkan CO2 sehingga konsentrasi O2 menjadi turun

sedangkan konsentrasi CO2 naik.

d) Organisme. Kegiatan organisme yang tergolong dalam hama dan penyakit

gudang dapat mempengaruhi viabilitas benih yang disimpan, karena

organisme tersebut akan mengakibatkan kerusakan benih. Selain itu,

cendawan, bakteri, dan virus juga dapat menyerang benih kacang hijau di

dalam gudang penyimpanan, misalnya virus Bean common mosaic dan

Tobacco ring-spot.

D. Hama Gudang Callosobruchus chinensis

Menurut Kalshoven (1987), C. chinensis L. diklasifikasikan sebagai

berkut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insekta

Ordo : Coleoptera

Family : Bruchidae

Genus : Callosobruchus

Species : Callosobruchus chinensis L

Menurut Swibawa (1991 dalam Fahrezi, 2016), C. chinensis merupakan

hama yang banyak ditemukan di gudang penyimpanan komoditas kacang hijau.

Hama kumbang kacang hijau C. chinensis memiliki ukuran tubuh yang relative

kecil dibanding dengan hama gudang lainnya. Kumbang jantan berukuran 2,4-3
14

mm sengkan betina 2,76-3,49 mm. Antena jantan bertipe sisir (pectinate) dan

betina bertipe gergaji (serrate).

Imago betina dapat bertelur hingga 150 butir, telur diletakkan pada

permukaan biji yang disimpan dan akan menetas pada suhu 24,4-700C dengan

kelembapan nisbih 67-82,6%. Telur berbentuk lonjong agak transparan atau

kekuning-kuningan. Panjang telur 0,57 mm. (Endha, 2010 dalam Fahrezi, 2016).

Stadia telur berlangsung antara 4-8 hari (Sudarmo, 1991).

Gambar 1. Proses Peletakan Telur, Larva, Pupa dan Imago C. chinensis pada biji

kacang hijau (Kalshoven, 1981 dalam Nuraeni, 2015

Larva yang baru menetas akan terus menggerek dengan cara memakan

kulit telur yang menempel pada biji dan masuk ke dalam kotiledon. Larva hidup

berkembang dengan cara memakan kulit biji hingga memenuhi satu butir biji,

membentuk satu lubang keluar persis di bawah kulit biji sebagai jendela bulat

yang terlihat dari luar (Gambar 1) Bato & Sanches (1998). Masa larva

berlangsung sekitar 14 hari dan masa kepompong (pupa) 4-6 hari. Kemudian pupa

berubah menjadi imago. Beberapa hari tetap berada dalam kacang hijau, 2-3 hari

keluar dari biji dengan cara mendorong kulit biji yang digores dengan
15

mandibelnya sehingga terlepas dan terbentuklah lubang. (Ayyaz dkk, 2006 dalam

Fahrezi 2016).

Menurut Gunawan (2008 dalam Nuraeni, 2015) Hama C.chinensis

menyerang pada bagian biji kacang hijau mulai dari merusak biji, hingga

memakannya sampai tinggal bubuknya saja (Gambar 2), akibatnya viabilitas

benih menurun serta terjadinya penyusutan bobot yang sangat tinggi hingga

kacang hijau tidak dapat lagi digunakan untuk benih. Bato dan Sanches (1998)

menambahkan bahwa serangan hama C. chinensis dapat menyebabkan

menurunnya cadangan makanan pada benih sehingga menyebabkan penurunan

mutu benih ketika dikecambahkan karena hama tersebut telah merusak kotiledon

biji. Serangan hama C.chinensis berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas biji

kacang hijau hingga mencapai 70% (Suyono, 1988 dalam Fahrezi, 2016).

Gambar 2. Kerusakan akibat serangan hama C.chinensis

Kehilangan hasil yang ditimbulkan oleh hama C.chinensis menandakan

bahwa perlu diadakan perbaikan teknik penyimpanan atau pengendalian yang

terjangkau sehingga dapat menekan kehilangan hasil kacang hijau di kalangan


16

petani. Selama ini pengendalian yang dilakukan adalah dengan menggunakan

pestisida sintesis karena dapat menekan hama dalam waktu yang singkat, relatif

mudah diaplikasikan dan sudah diformulasikan dalam bentuk yang sudah siap

digunakan. Namun penggunaan pestisida sintetis yang kurang bijaksana dapat

menimbulkan efek samping seperti kematian organisme bukan sasaran, terjadinya

resistensi dan resurjensi, serta residu pestisida pada bahan yang disimpan

(Kardinan, 2001 dalam Nuraeni, 2015). Untuk itu perlu upaya untuk mencari

alternatif bahan pengendalian yang dapat menekan populasi C. chinensis tapi

mampu mengurangi efek samping dari pengendalian yang dilakukan, salah

satunya adalah dengan penggunaan biopestisida nabati.

E. Biopestisida

Biopestisida adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari bahan

hidup, terbuat dari tanaman sehingga disebut sebagai pestisida nabati. Irawati dkk

(2010) menyatakan secara umum biopestisida diartikan sebagai suatu pestisida

yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan

kemampuan dan pengetahuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan

alami/nabati maka jenis pestisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di

alam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia karena

residu mudah hilang. biopestisida ini dapat berfungsi sebagai penolak, penarik,

antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk lainnya.

Suatu tanaman yang akan dijadikan bahan biopestisida harus memenuhi

beberapa kriteria, antara lain : (a) mudah dibudidayakan, (b) tanaman tahunan, (c)
17

tidak perlu dimusnahkan apabila suatu saat bagian tanamannya diperlukan, (d)

tidak menjadi gulma atau inang bagi organisme pengganggu tanaman, (e)

mempunyai nilai tambah, (f) mudah diproses sesuai dengan kemampuan petani.

Selain itu, tanaman yang mengandung komponen aktif seperti alkaloid, terpenoid,

kumarin, glikosida dan beberapa sterol serta minyak atsiri dapat berpotensi

sebagai pestisida (Dewi, 2007 dalam Nuraeni, 2015).

Biopestisida adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tumbuhan

atau bagian tumbuhan seperti akar, daun, batang atau buah. Bahan-bahan ini

diolah menjadi berbagai bentuk, antara lain bahan mentah berbentuk tepung,

ekstrak atau resin yang merupakan hasil pengambilan metabolit sekunder dari

bagian tumbuhan (Irawati dkk, 2010) Secara garis besar pembuatan pestisida

nabati dapat dilakukan dengan cara penggerusan, penumbukkan, pembakaran atau

pemerasan untuk menghasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta (Kardinan,

2001 dalam Nuraeni, 2015)

Sa’diyah (2013 dalam Nuraeni 2015) menjelaskan bahwa biopestisida dapat

digunakan sebagai alternatif pengendalian serangga hama utama pada tanaman

atau pada penyimpanan benih karena memenuhi beberapa kriteria yang

diinginkan, yaitu aman, murah, mudah diterapkan petani dan efektif membunuh

hama. Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai biopestisida adalah

ekstrak daun gamal.


18

F. Kandungan Zat Kimia Daun Gamal

Tanaman gamal (Gliricidia sepium) adalah tumbuhan asli daerah tropis

Pantai Pasifik di Amerika Tengah. Pada tahun 1600-an penyebaran tanaman ini

terbatas pada hutan musim kering gugur daun, tetapi banyak tumbuh di dataran

rendah yang tersebar di Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan bagian utara,

Asia dan diperkirakan masuk ke Indonesia pertama kali sekitar tahun 1900

(Gambar 3) (Elevitch dan Francis, 2006).

Dalam taksonomi, menurut (Elevitch and John, 2006), tumbuhan gamal

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Ordo : Fabales

Famili : Fabaceae

Subfamili : Faboideae

Genus : Gliricidia

Spesies : Gliricidia maculata atau Gliricidia sepium

Tanaman gamal memiliki banyak manfaat. Tanaman ini sering digunakan

sebagai pagar hidup dalam penanaman lada, vanili, dan ubi jalar. Daunnya dapat

dimanfaatkan sebagai obat-obatan, rodentisida, pestisida, dan pakan ternak,

sedangkan kayu tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai alat pertanian dan kayu

bakar (Elevitch dan Francis, 2006).

Tanaman gamal mudah tumbuh dengan cepat di daerah tropis. Di

Indoensia dikenal oleh petani terutama di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi


19

digunakan untuk pupuk, kayu bakar dan pencegah erosi. Beberapa peternak

memanfaatkannya untuk makanan ternak (ruminansia) karena daunnya

mengandung lebih dari 20% protein kasar meskipun cukup toksik untuk hewan

lain, seperti kuda (Duke, 1983).

Gambar 3. Tanaman Gamal

Pada genus Gliricidia, saat ini terindentifikasi terdapat tiga spesies yaitu

Gliricidia maculate, Gliricidia sepium, dan Gliricidia brenningii. Gliricidia

maculate memiliki daun yang berbulu dan biasanya bunganya berwarna putih

pada bunga majemuk yang terjumpai. Gliricidia sepium memiliki daun yang

ukurannya lebih panjang dan lembaran daun yang seperti kertas, serta bunga yang

berwarna merah muda pada bagian ujung bunga majemuk yang menjorok keluar.

Gliricidia brenningii memiliki banyak daun-daun berukuran kecil, dan lembaran-

lembaran kecil dipangkal batang daun serta memiliki polong yang lebih panjang

dan gelap (Elevitch dan Francis, 2006).

Tanaman gamal merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat digunakan

sebagai pestisida nabati. Gamal banyak mengandung senyawa yang bersifat toksik
20

seperti dikumarol, prussic acid, alkaloid, tannin, dan senyawa pengikat protein

yang juga tergolong zat anti nutrisi (Setiawati dkk., 2008).

Dikumarol merupakan hasil konversi dari kumarin yang disebabkan oleh

bakteri ketika fermentasi. Kumarin merupakan senyawa golongan flavonoid yang

diduga dapat mengiritasi kulit dan menghambat transportasi asam amino leusin.

Kemampuan daya bunuh ekstrak daun gamal disebabkan karena adanya

kandungan senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik. Salah satunya adalah

senyawa flavonoid, senyawa ini diketahui berpotensi sebagai biopestisida

(Robinson, 1995). Menurut Sinaga (2009) kandungan metabolit sekunder pada

tanaman seperti glikosida flavonoid bersifat racun perut (stomach poisoning),

yang bekerja apabila senyawa tersebut masuk dalam tubuh serangga maka akan

mengganggu organ percernaannya. Senyawa flavonoid paling banyak ditemukan

pada ekstrak air serbuk daun gamal.

Alkaloid memiliki sifat metabolit terhadap satu atau beberapa asam amino.

Efek toksik lain bisa lebih kompleks dan berbahaya terhadap insekta, yaitu

mengganggu aktifitas tirosin yang merupakan enzim esensial untuk pengerasan

kutikula insekta (Harborne, 1982).

Tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang

tidak larut dalam air. Dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim

sitoplasma. Bila hewan memakannya, maka reaksi penyamaan dapat terjadi.

Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai oleh cairan pencernaan hewan

kita menganggap salah satu fungsi utama tannin dalam tumbuhan ialah sebagai

penolak hewan termasuk serangga (Harborne, 1987). Gejala yag diperlihatkan dari
21

hewan yang mengkonsumsi tannin yang banyak adalah menurunnya laju

pertumbuhan, kehilangan berat badan dan gejala gangguan nutrisi (Howe dan

Westley, 1990 dalam Yus, 1996).

Ekstrak daun gamal yang dicampurkan dengan detergen dan minyak tanah

dapat menekan hama kutu daun kapas setelah 24 jam penyemprotan dan mampu

membunuh hama kutu daun sebesar 70% setelah 48 jam pada skala laboratorium

(Tukimin dan Rizal, 2002 dalam Nismah dkk. 2011). Hasil penelitian (Nukmal

dkk. 2009 dalam Nismah dkk., 2011) juga membuktikan bahwa ekstrak polar (air

dan etanol) daun gamal dapat menyebabkan kematian 100% pada imago hama

bisul dadap (Quadrastichus erythrinae) setelah 72 jam perlakuan pada skala

laboratorium. Ekstrak air daun gamal dengan konsentrasi terendah 2,19% dapat

mematikan 50% hama penghisap buah lada (Dasynus Piperis) setelah perlakuan

uji bioassay pada skala laboratorium (Nukmal dkk. 2010 dalam Nismah dkk.

2011).

Hasil uji toksisitas ekstrak air daun gamal oleh Nismah dkk (2011)

terhadap hama kutu putih tanaman pepaya. Diketahui bahwa nilai LC50, ekstrak

daun gamal dengan larutan air efektif dalam mematikan hama kutu putih tanaman

pepaya karena pada konsentrasi 1,32%-8,5% sudah dapat mematikan 50%

serangga uji dalam waktu 48 jam.

Dari hasil uji pendahuluan berupa uji ekstrak daun gamal kontak selama

24 jam dengan konsentrasi 10% pada jam ke 4 sudah mampu menyebabkan

kematian hama dan diketahui bahwa ekstrak daun gamal mempunyai toksisitas

kontak terhadap C. chinensisse sebesar 26,36%. Dari uji toksisitas pakan selama
22

satu minggu diketahui bahwa ekstrak daun gamal dengan konsentrasi terkecil 30%

pada hari pertama sudah mampu menyebabkan kematian hama C. chinensis L

10% dan hari ke 5 mencapai 100%. Dari uji pakan diketahui bahwa ekstrak daun

gamal mempunyai toksisitas kontak terhadap C. chinensisse sebesar 82%.

Adanya kandungan bahan yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati pada

bagian-bagian tanaman gamal tersebut maka potensi tanaman gamal sebagai

pengendali serangga hama termasuk hama gudang C. chinensis L. sangat besar

untuk dikembangkan sebagai biopestisida.

G. Hipotesis

1. Ekstrak daun gamal mampu mengendalikan C. chinensis dan menjaga mutu

benih kacang hijau dalam penyimpanan.

2. Konsentrasi ekstrak daun gamal 20% adalah konsentrasi terbaik untuk

mengendalikan hama C. chinensis dan mampu mempertahankan mutu benih

kacang hijau dalam penyimpanan.

Anda mungkin juga menyukai